PENGUJIAN PERDA OLEH LEMBAGA
EKSEKUTIF DAN YUDIKATIF
TESIS
Oleh
RUDY HENDRA PAKPAHAN
077005151/HK
S
E K O L AH
P A
S C
A S A R JA
NA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGUJIAN PERDA OLEH LEMBAGA
EKSEKUTIF DAN YUDIKATIF
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora
dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
RUDY HENDRA PAKPAHAN
077005151/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PENGUJIAN PERDA OLEH LEMBAGA EKSEKUTIF DAN YUDIKATIF
Nama Mahasiswa : Rudy Hendra Pakpahan
Nomor Pokok : 077005151
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
Ketua
(Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS) (Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi D i r e k t u r
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Telah diuji pada
Tanggal 12 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota : 1. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS
2. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum
3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
ABSTRAK
Dalam peraturan perundang-undangan, Perda memiliki posisi yang unik karena meski kedudukan Perda berada di bawah undang-undang, tetapi tidak terdapat kesatuan pendapat antara para pakar mengenai siapa sebenarnya yang berwenang mengujinya. Perdebatan mengenai berlakunya excecutive review dan judicial review terhadap Perda menjadi pertanyaan tersendiri di era otonomi daerah saat ini mengingat Perda adalah produk Kepala Daerah dan DPRD di suatu daerah yang bersifat otonom. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah prinsip otonomi seluas-luasnya artinya daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Metode penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif. Data pokok dalam penelitian adalah data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data terhadap data sekunder dilakukan dengan analisis kualitatif.
Disarankan agar instrumen hukum pembatalan Perda tidak cukup dengan menggunakan Keputusan Menteri Dalam Negeri karena syarat dan mekanisme pembatalan Perda dewasa ini harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Seharusnya pembatalan Perda dilakukan oleh Presiden melalui Peraturan Presiden kemudian disarankan batas waktu proses pengujian peraturan perundang-undangan diatur secara jelas dalam Peraturan Mahkamah Agung agar Perda yang sedang diuji tidak terkatung-katung pelaksanaannya di daerah karena pengujian yang lama
ABSTRACT
According to legislation rules, regional regulation has a unique position ssince though regional regulation is placed under The Act yet there is no unity of opinion among the experts on the subject of the person who actually has the power to examine. Debate upon the validity of executive review and judicial review toward regional regulation becomes nowadays question in the era of area that has autonomy regarding the regional regulation is the product of District Head and Assembly at Provincial Level (DPRD) in an autonomous district. As stated in The Act Number 32 in 2004, principle of autonomous district applied is autonomy principle, which is as widespread as possible, that is, the district is given authority to manage all governmental things excepts those which become government responsibility as it is stated on The Act. Districts have authority to make their own policy to give service, role improvement, initiative, and make an efficient society aiming to improve society’s welfare.
The research is commited by normative law method. The main data are secondary data. The data are collected by library research and field research. The secondary data are analyzed by qualitative analysis.
Dualism of the annulment regional regulation arrangement occurs in Indonesia which is done by the government as administrative institution and a trial done by Supreme Court. The dualism is visible in Article 145 subsection 2 and 5 Act Number 32 in 2004 concerning District Government. That Acts differentiate the authority of regional regulation trial in a different subsection. Consequently, the regional regulation is called off temporarily because of the law of regional regulation trial commited by Supreme Court, namely if one regional regulation is contradicted with legislation rules hence Supreme Court grants the request and ask District Government and Assembly at Provincial Level (DPRD) to abrogate the regional regulation maximum of 90 days. The judicial review can not be submitted to the decision of calling off the regional regulation made by Supreme Court.
As a suggestion, law instrument used to call off the regional regulation is not sufficient only by applying the decision of Minister of Domestic Affair since the qualifications and mechanism of regional regulation annulment must refer to The Act Number 32 in 2004. The annulment suppose to be committed by President with Presidential Regulation. Subsequently, as a suggestion, the time limit of the process of regional regulation trial should be obviously managed in Supreme Court regulation so that the regional regulation which is being examined will not be pending in the district because of a long time trial.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat kasih karunia-Nyalah penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan tepat
waktu. Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk meraih gelar Sarjana Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Dalam tesis ini, penulis menyajikan judul : ”Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif dan Yudikatif”. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh
dari sempurna karena kemampuan penulis yang sangat terbatas. Untuk itu dengan segenap kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatmya membangun dari semua pihak untuk penyempurnaannya dikemudian hari.
Pada kesempatan ini, dengan segala hormat penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H. SpA (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Program Magister Ilmu
4. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS selaku anggota Komisi Pembimbing
yang dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan dan arahan-arahan yang sangat membantu dalam penyelesaian penulisan tesis ini.
5. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan saran, bimbingan, perhatian dan dukungan yang tiada henti-hentinya demi selesainya penulisan tesis ini tepat pada waktunya.
6. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Anggota Komisi Penguji. 7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Penguji.
8. Para Dosen Penulis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmunya dan membuka cakrawala berpikir penulis yang akan bermanfaat dikemudian hari.
9. Bapak Drs. Mashudi, Bc.IP, MAP selaku Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Provinsi Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Studi Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum di
Universitas Sumatera Utara atas biaya Kanwil serta Bapak Drs. Rosman Siregar, SH, MH selaku Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM.
10.Orangtuaku tercinta, Ayahanda M. Pakpahan dan Ibunda T. Br. Silaban yang telah membesarkan, mendidik dan memberikan doa yang tiada putus-putusnya demi kebaikan dan keberhasilan anaknya serta mertuaku Amang K. Butarbutar
dan Inang H. Br. Sinaga atas doanya.
11.Teristimewa untuk “Istriku Tercinta Asian Novalina Butarbutar, SP” terima kasih
yang seharusnya kuhabiskan denganmu namun terpakai untuk menyelesaikan
kuliah... Maafkan aku yah.... Terimakasih juga untuk anak-anakku Alvaro GC Pakpahan dan Alessandro Nathaniel Pakpahan.
12.Terimakasih buat Kakakku Lisrawaty Goretty Pakpahan dan Lae M. Marbun, atas doa dan dukungan yang tiada hentinya serta Lae Ivan, Lae Henry dan Adekku Yohana.
13.Rekan-rekan seperjuangan pada Kelas Paralel Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Angkatan Tahun 2007, atas
dukungan dan kebersamaanya. Cepat ada yang dikejar dan lambat ada yang ditunggu....
14.Seluruh staf dan pegawai di Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara atas segala bantuan-bantuan, pelayanan dan kemudahan yang telah diberikan, kiranya Tuhan jualah yang membalas semua kebaikannya.
Akhirnya penulis berharap bahwa tesis ini dapat berguna sebagai sumbang dan saran pemikiran mengenai ”Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif dan
Yudikatif”. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua. Amin.
Medan, Juli 2009
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
NAMA : RUDY HENDRA PAKPAHAN
TEMPAT/TGL LAHIR : SIBOLGA, 27 JANUARI 1980
JENIS KELAMIN : LAKI-LAKI
AGAMA : KRISTEN
PEKERJAAN : PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS)
PADA KANTOR WILAYAH DEPARTEMEN HUKUM
DAN HAM SUMATERA UTARA
PENDIDIKAN : 1. SD ROMA KATOLIK I SIBOLGA, LULUS
TAHUN 1992.
2. SMP KATOLIK FATIMA SIBOLGA, LULUS TAHUN 1995.
3. SMA NEGERI 1 SIBOLGA, LULUS TAHUN 1998 .
4. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG, LULUS TAHUN 2004.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR BAGAN ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 13
C. Tujuan Penelitian ... 13
D. Manfaat Penelitian ... 14
E. Keaslian Penelitian ... 14
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15
1. Kerangka Teori ... 15
2. Konsepsi ... 29
G. Metode Penelitian ... 32
1. Jenis Penelitian ... 32
2. Sumber Data ... 32
3. Teknik Pengumpulan Data ... 33
BAB II PENGATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG
PENGUJIAN TERHADAP PERDA ... 35
A. Landasan Hukum Pelaksanaan Pemerintahan Daerah ... 35
1. Pemberlakuan Perundang-undangan Yang Mengatur Tentang Perda ... 41
a. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 ... 42
b. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 .... 44
c. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 ... 46
d. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 .... 48
e. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 ... 50
f. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ... 60
2. Peraturan Daerah Sebagai Landasan Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah ... 62
B. Landasan, Asas-Asas dan Proses Pembentukan Peraturan Daerah Sebagai Produk Peraturan Perundang-Undangan ... 70
1. Landasan Pembentukan Perda ... 70
2. Asas-Asas Pembentukan Perda ... 73
3. Proses Pembentukan Perda ... 81
C. Pengujian Sebagai Bentuk Pengawasan Terhadap Perda ... 83
1. Pengawasan Terhadap Perda ... 83
a. Pengertian Pengawasan ... 85
b. Fungsi Pengawasan ... 89
c. Tujuan Pengawasan ... 90
2. Kewenangan Pengujian Perda ... 95
BAB III PROSES PENGUJIAN PERDA OLEH LEMBAGA EKSEKUTIF DAN YUDIKATIF ... 110
A. Proses Pengujian Sebagai Bentuk Pengawasan Terhadap Perda Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ... 110
1. Pelaksanaan PengawasanTerhadap Perda Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ... 119
2. Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Perda di Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 136
B. Proses Pengujian Perda Oleh Lembaga Yudikatif ... 144
BAB IV AKIBAT HUKUM PENGUJIAN PERDA OLEH LEMBAGA EKSEKUTIF DAN YUDIKATIF ... 159
A. Akibat Hukum Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif ... 159
B. Akibat Hukum Pengujian Perda Oleh Lembaga Yudikatif ... 169
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 176
A. Kesimpulan ... 176
B. Saran ... 178
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
1 Daftar Keputusan Menteri Dalam Negeri Tentang Pembatalan Perda Di Daerah Provinsi Sumatera Utara
Tahun 2007-2008 ... 137
2 Perkembangan Hak Uji Materiil Terhadap Perda
di Mahkamah Agung Tahun 2003-2007 ... 152
3 Perbedaan Pengujian Perda Antara Mahkamah Agung
DAFTAR BAGAN
No Judul Halaman
1 Pembatalan Perda Menurut Pasal 145 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 ... 126
2 Evaluasi Ranperda Menurut Pasal 185 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 ... 129 3 Evaluasi Ranperda Menurut Pasal 186 Undang-Undang
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam penyelenggaraan Pemerintahan di Negara Republik Indonesia tidak dapat dilepaskan dari hubungan penyelenggaraan antara Pemerintah Pusat dan
daerah. Hubungan penyelenggaraan pemerintahan itu harus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Ketentuan
konstitusional itu memberikan pesan bahwa Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dibangun dalam sebuah kerangka Negara yang berbentuk kesatuan (unitary), bukan berbentuk federasi (serikat).144 Hal
tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Muhammad Yamin, bahwa :
“….kita hanya membutuhkan Negara yang bersifat unitarisme dan wujud Negara kita tidak lain dan tidak bukan daripada bentuk suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Membentuk Bangsa Indonesia tidak dapat dengan federalisme dan hanyalah dengan unitarisme”.145
144
Krishna D. Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah, Perkembangan Pemikiran dan
Pelaksanaan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 5.
145
Mengenai Negara Kesatuan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 diikuti dengan sistem desentralisasi. Hal itu dapat dipahami dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (setelah
Amandemen Kedua) mengenai Pemerintahan Daerah, menyatakan sebagai berikut : Pasal 18 ayat (1) : “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas146
daerah-daerah provinsi dan daerah-daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”.
Pasal 18 ayat (2) : “Pemerintahan Daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.
Sementara itu mengenai hubungan penyelenggaraan pemerintahan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah diatur dalam Pasal 18A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan : “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antara provinsi, kabupaten
dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”.
Mengenai hubungan di antara tingkat-tingkat dalam pemerintahan tersebut harus dibedakan antara147 :
146
Penggunaan istilah “dibagi atas” ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah bersifat hirarkis dan vertikal. Hal ini dianggap perlu ditegaskan karena adanya penafsiran yang timbul akibat penerapan kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang mengembangkan pola hubungan antara pusat dan daerah serta hubungan antara daerah yang dipahami bersifat horizontal. Untuk lebih jelasnya lihat Jimly Asshidiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945, (Jakarta: Yarsif Watampone, 2003), hlm. 28.
147
Philipus M. Hadjon et.al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the
1. Hubungan vertikal (pengawasan, kontrol, dsb)
Mengenai pengawasan yang dilaksanakan oleh badan-badan Pemerintah yang lebih tinggi terhadap badan-badan yang lebih rendah. Untuk pengawasan ini dapat dikemukakan alasan-alasan sebagai berikut :
a. Koordinasi : mencegah atau mencari penyelesaian konflik/perselisihan kepentingan, misalnya di antara kabupaten-kabupaten.
b. Pengawasan kebijaksanaan : disesuaikannya kebijaksanaan dari aparat pemerintah yang lebih rendah terhadap yang lebih tinggi.
c. Pengawasan kualitas : kontrol atas kebolehan dan kualitas teknis pengambilan keputusan dan tindakan-tindakan aparat pemerintah yang lebih rendah.
d. Alasan-alasan keuangan : peningkatan kebijaksanaan yang tepat dan seimbang dari aparat pemerintah yang lebih rendah.
e. Perlindungan hak dan kepentingan warga : dalam situasi tertentu mungkin diperlukan suatu perlindungan khusus untuk kepentingan dari seorang warga. Terhadap pengawasan dan kontrol tersebut ada beberapa bentuknya, yaitu : 1) Pengawasan represif
2) Pengawasan preventif 3) Pengawasan yang positif 4) Kewajiban untuk memberitahu 5) Konsultasi dan perundingan 6) Hak banding administratif
7) Dinas-dinas Pemerintah yang didekonsentrasi 8) Keuangan
9) Perencanaan
2. Hubungan horizontal (perjanjian kerjasama di antara para pejabat yang berada pada tingkat yang sama).
Disamping hubungan secara vertikal ada pula hubungan secara horizontal, umumnya di antara kabupaten dengan kabupaten, propinsi dengan propinsi, atau propinsi dengan kabupaten. Banyak tugas-tugas Pemerintah hanya dapat dilaksanakan secara memuaskan melalui jalan kerjasama. Bagi suatu kerjasama di antara para instansi pemerintah diperoleh berbagai macam jalan. Jalan yang pertama ialah dengan menandatangani perjanjian yang sifatnya hukum Perdata. Di samping itu di beberapa Negara ditemukan adanya kemungkinan kerjasama yang sifatnya hukum publik di antara para pejabat instansi atas dasar suatu undang-undang yang dibuat untuk hal tersebut. Terhadap hal ini ada tiga macam kerjasama :
1) Fungsi yang dipusatkan
Berdasarkan beberapa bentuk pengawasan dan kontrol yang dikemukakan
oleh Philipus M. Hadjon di atas, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah148 lebih menekankan kepada bentuk pengawasan represif dan
kewajiban untuk memberitahu. Sedangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 juga menganut pengawasan represif dan kewajiban untuk memberitahu. 149
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pengawasan terhadap
Peraturan Daerah (selanjutnya ditulis Perda) hanya ditekankan pada pengawasan represif saja. Ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, dimana pada
Undang-Undang tersebut pengawasan terhadap Perda dikenal dua macam, yaitu pengawasan preventif dan represif.150 Perubahan ini menimbulkan permasalahan baru, seperti berubahnya bentuk perwujudan pengawasan Pemerintah Pusat terhadap
Perda.
Dalam hal ajaran rumah tangga daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memuat perubahan dengan menyebutkan adanya urusan wajib dan urusan
148
Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548) kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844)
149
Krishna D. Darumurti dan Umbu Rauta, Op.Cit, hlm. 53.
150
pilihan, bahkan dalam penjelasannya dikenal juga istilah urusan yang sifatnya
concurrent. Pengelompokan urusan-urusan ini dimaksudkan sebagai upaya perbaikan
terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Konsekuensinya dari hal tersebut
daerah dituntut untuk menjalankan urusan rumah tangganya tanpa harus menunggu penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat. Semua urusan pemerintah menjadi urusan Pemerintah Daerah kecuali urusan yang secara tegas disebut sebagai
kewenangan Pemerintah Pusat atau dengan kata lain disebut otonomi luas.151
Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah
pelaksanaannya diatur oleh Perda. Hal ini mengakibatkan Perda makin mempunyai kedudukan yang strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara atau dengan kata lain peran Perda dalam melaksanakan urusan pemerintahan menjadi sangat besar.
Kedudukan yang strategis dari Perda dalam menjalankan urusan pemerintahan dapat menjadi baik jika pembentukan Perda tersebut dilakukan dengan baik dan menjadi bumerang jika dilakukan dengan tidak baik.
Dalam peraturan perundang-undangan, Perda memiliki posisi yang unik karena meski kedudukan Perda berada di bawah undang-undang, tetapi tidak terdapat
kesatuan pendapat antara para pakar mengenai siapa sebenarnya yang berwenang mengujinya. Perdebatan mengenai berlakunya excecutive review dan judicial review terhadap Perda menjadi pertanyaan tersendiri diera otonomi daerah saat ini mengingat
Perda adalah produk Kepala Daerah dan DPRD di suatu daerah yang bersifat otonom.
151
Pakar Hukum Tata Negara, Sri Somentri menjelaskan ada berbagai macam
cara pembatalan Perda karena ada beberapa pihak yang mempunyai hak uji terhadap Perda. Hak uji dilakukan bukan hanya oleh Mahkamah Agung, tapi juga oleh
pemerintah, ada yang oleh Presiden, ada yang oleh Menteri Dalam Negeri.152
Berbeda dengan pendapat tersebut, menurut Jimly Asshiddiqie menyatakan, “Perda sebagai hasil kerja Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD)
tidak dapat dibatalkan oleh keputusan sepihak dari pemerintah pusat begitu saja”.153 Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie berpendapat, bahwa pemerintah pusat sudah
seharusnya tidak diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mencabut Perda sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tetapi yang berwenang menguji Perda adalah Mahkamah
Agung sebagaimana ketentuan Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki
152
Berita diambil dari situs www.hukumonline.com (27 06 2006). Senada dengan Prof. Sri Soemantri, Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri menilai, terhadap Perda dapat dilakukan excecutive review dan judicial review; “Sebenarnya ada dua lembaga (yang berwenang
me-review). Pertama, (berdasarkan) Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ada kewajiban
mengirimkan semua Perda yang sudah ditandatangani ke Departemen Dalam Negeri. Dalam dua bulan, Departemen Dalam Negeri seharusnya me-review. Kalau misalnya (Perda) tidak sesuai peraturan perundang-undangan terkait, bisa dibatalkan. Kalau kemudian Pemda dan DPRD tidak puas, bisa challenge ke MA. Kemudian yang kedua (oleh) MA, melalui mekanisme judicial review,” tambah Bivitri.
153
kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan
peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.154
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang
dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan
jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya.
Apapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan
dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.155
Menurut ketentuan Pasal 42 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, salah satu tugas dan wewenang dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) adalah membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama. Ketentuan tentang Perda terdapat didalam Bab VI Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa :
154
Ibid.
155
Pasal 136 Ayat (1) : “Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD”.
Ayat (2) : “Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah/provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan”.
Ayat (3) : “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah”.
Ayat (4) : “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”.
Menurut Pasal 42 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tugas dan wewenang DPRD yang lainnya adalah melaksanakan pengawasan terhadap segala tindakan pemerintah daerah, seperti dalam hal:
1. Pelaksanaan Perda dan Peraturan Perundang-undangan lainnya. 2. Pelaksanaan Keputusan Kepala Daerah.
3. Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
4. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam melaksananakan Program Pembangunan Daerah.
5. Pelaksanaan Kerjasama Internasional di daerah.
pengembangannya. Di sini dapat dilihat ada 2 (dua) cara pemerintah melakukan
pengawasan yakni156 :
1. Pengawasan terhadap Rancangan Perda (Ranperda), yaitu terhadap Rancangan
Perda yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD dan RUTR sebelum disahkan oleh Kepala Daerah terlebih dahulu di evaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Ranperda Provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Ranperda
Kabupaten/Kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hak tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.
2. Pengawasan terhadap semua Perda diluar yang termasuk dalam angka 1 (satu), yaitu setiap Perda wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk Provinsi dan Gubernur untuk Kabupaten/Kota untuk memperoleh klarifikasi.
Terhadap Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.
Pengawasan represif yang dianut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini
dapat dilihat dalam pembentukan Perda yang telah ditetapkan dan disetujui oleh DPRD dapat langsung diberlakukan tanpa menunggu pengesahan dari Pemerintah
Pusat dahulu, tetapi untuk menjaga agar daerah tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan koridor Negara Kesatuan, maka dibuatlah ketentuan yang menyatakan bahwa Perda yang telah disahkan (dan telah berlaku) harus diberitahukan
kepada Pemerintah Pusat. Hal ini terdapat dalam ketentuan Pasal 145 ayat (1), yang
156
menyatakan :“Peraturan Daerah disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7
(tujuh) hari setelah ditetapkan”. Selanjutnya di dalam ayat (2) disebutkan bahwa : “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah”.
Ketentuan Pasal 145 ayat (2) tersebut di atas dapat menjadi problem
tersendiri bagi daerah, karena bisa saja pemerintah membatalkan Perda yang telah ditetapkan dan diberlakukan kepada masyarakat. Untuk itu Pemerintah Daerah harus
berhati-hati dan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta kepentingan masyarakat banyak di daerahnya, sehingga Perda yang telah disahkan Pemerintah Daerah tidak mudah dibatalkan oleh Pemerintah Pusat. Selain
itu akibat dari pengawasan pemerintah terhadap Perda sudah tentu menimbulkan konsekuensi-konsekuensi hukum yang mesti dipatuhi oleh daerah.
Di dalam kepustakaan maupun dalam praktek, dikenal ada 2 (dua) macam
hak menguji (toetsingsrecht atau review), yakni: (1) hak menguji formil (formele
toetsingsrecht); dan (2) hak menguji materiil (materiele toetsingsrecht).157 Yang
dimaksud dengan hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk peraturan perundang-undangan terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
157
berlaku atau tidak. Misalnya, undang-undang adalah produk hukum yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 20 Amandemen Undang-Undang Dasar 1945). Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan
Rakyat dan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama (Pasal 5 jo 20 ayat (2) Amandemen Undang-Undang Dasar 1945). Jadi, produk hukum yang disebut
undang-undang tersebut, harus dibentuk pula dengan, atau berdasarkan tata cara (prosedur) seperti telah tersebut di atas. Demikian pula Perda dibentuk (ditetapkan)
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD bersama dengan Gubernur, Bupati, atau Walikota (Pasal 18 ayat (1) d Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999). Suatu produk hukum tidak dapat disebut Perda apabila hanya ditetapkan oleh Gubernur
saja, tanpa disetujui oleh DPRD.
Tegasnya bahwa hak uji formil berkaitan dengan bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk serta tata cara (prosedur) pembentukkannya.
Sedangkan yang dimaksud dengan hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan
isi dari suatu perundang-undangan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih
tinggi derajatnya.158
Mengingat beratnya beban daerah dalam rangka memenuhi amanat
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam rangka mensejahterakan masyarakat dalam kerangka pembangunan nasional dan daerah maka setiap kebijakan publik yang dihasilkan selain untuk mengejawantahkan peraturan perundangan diatasnya juga
lebih merupakan kebijakan dalam rangka mengatur rumah tangga daerah tersebut. Dengan demikian materi Perda merupakan materi muatan yang bersifat atribusian
maupun yang bersifat delegasian, karena merupakan pengejawantahan peraturan perundang-undangan diatasnya. Meskipun demikian materi muatan Perda dapat juga memuat dan menampung kondisi khusus daerah yang bersangkutan.
Dalam pendahuluan Prolegnas dikatakan bahwa “Supremasi hukum ditempatkan secara strategis sebagai landasan dan perekat bidang pembangunan lainnya serta kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia melalui satu sistem hukum nasional. Hukum sebagai landasan pembangunan bidang lainnya bermakna teraktualisasinya fungsi hukum sebagai alat
rekayasa sosial/pembangunan (law as a tool of social engineering), instrumen pengatur perilaku masyarakat (social control), jika hal tersebut kemudian dinegasikan kepada konteks Perda maka artinya daerah diberikan hak untuk membentuk Perda
dan peraturan lain dalam rangka melaksanakan otonomi daerah, maka tidaklah harus
158
diartikan bahwa daerah tersebut mengatur kewenangan tersebut secara bebas, dalam
artian peraturan yang bertentangan dengan peraturan diatasnya. Sebab hal ini akan bertentangan dengan prinsip-prinsip negara kesatuan.
Bertitik tolak dari uraian-uraian dan berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, penulis merasa tertarik untuk membahas dan menelitinya dengan mengambil judul Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif dan Yudikatif.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah, sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan perundang-undangan tentang pengawasan terhadap Perda?
2. Bagaimana proses pengujian oleh lembaga eksekutif dan yudikatif terhadap Perda?
3. Apa akibat hukum dari pengujian oleh lembaga eksekutif dan yudikatif terhadap
Perda?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
2. Untuk mengetahui proses pengujian oleh lembaga eksekutif dan yudikatif
terhadap Perda.
3. Untuk mengetahui akibat hukum dari pengujian oleh lembaga eksekutif dan
yudikatif terhadap Perda.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya dalam meneliti dan mengkaji Hukum Tata Negara khususnya yang berhubungan
dengan pengujian Perda dalam lingkungan lembaga eksekutif dan yudikatif. 2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah
(eksekutif) baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah serta Mahkamah
Agung (yudikatif) dalam hal pengujian Perda dalam lingkungan lembaga eksekutif dan yudikatif.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti
terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka diketahui bahwa belum ada penelitian yang serupa dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup penelitian penulis ini, yaitu mengenai
Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif dan Yudikatif.
Oleh karena itu penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan
memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi
bagi peneliti atau akademisi.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,
teori, tesis, si penulis mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan (problem), yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pasangan teoritis, yang mungkin ia
setujui ataupun tidak disetujuinya dan ini merupakan masukan eksternal bagi pembaca.159
Menurut Kaelan M.S. Landasan teori pada suatu penelitian adalah
merupakan dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian.160
Oleh sebab itu kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan
sebagai berikut :
1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta
yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;
2. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi;
159
Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80.
160
Kaelan M.S, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma bagi
3. Teori biasanya merupakan suatu ikhstisar dari pada hal-hal yang diteliti;
4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor
tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.161
Sejalan dengan hal tersebut, maka terdapat beberapa teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini. Secara konseptual,
teori yang dapat dijadikan acuan dalam membahas pengujian Perda adalah dengan menggunakan pendekatan teori “negara berdasar atas hukum” (Rechtsstaat) sebagai
grand theory yang didukung oleh midle theory “Trias Politica” untuk memperkuat
teori utama, serta konsep pembaharuan hukum dan prinsip-prinsip pembuatan perundang-undangan yang baik dan demokratis sebagai applied theory-nya.
Sebagaimana telah menjadi pengetahuan bersama, gagasan Negara Hukum162 merupakan gagasan modern yang mempunyai banyak perspektif dan boleh dikatakan selalu aktual. Dalam memberikan pengertian mengenai gagasan Negara
Hukum ini,163 setiap orang dapat memberikan bobot penilaian yang berlebihan baik
161
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 121.
162
Padmo Wahjono dengan mengutip pernyataan Oemar Seno Adji dalam Indonesia Negara
Hukum menyimpulkan bahwa penerapan prinsip-prinsip umum negara yang berdasar atas hukum
terletak pada dua hal, yaitu (1) teori Rechtsstaat yang dicirikan dengan adanya pengakuan hak-hak asasi manusia, adanya Trias Politica, adanya pemerintahan yang berdasarkan undang-undang dan adanya peradilan administratif; dan (2) teori Rule of Law yang dicirikan dengan adanya konstitusi yang bersumber pada hak-hak asasi manusia, adanya persamaan menurut hukum bagi semua orang dan adanya prinsip bahwa hukum mengatasi segala-galanya. Padmo Wahjono, “Indonesia Ialah Negara
Yang Berdasarkan Atas Hukum”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, diucapkan pada tanggal 17 Nopember 1979.
163
terhadap kata “negara” maupun kata “hukum”.164 Setidaknya terdapat dua tradisi
besar gagasan Negara Hukum di dunia, yaitu Negara Hukum dalam tradisi Eropa Kontinental yang disebut Rechtsstaat dan Negara Hukum dalam tradisi Anglo Saxon
yang disebut dengan Rule of Law.165
Salah satu ahli yang sering dirujuk ketika membicarakan topik Negara Hukum (Rechtsstaat) dalam tradisi Eropa Kontinental adalah Friedrich Julius Stahl.
Pandangannya tentang Rechtsstaat merupakan perbaikan dari pandangan Immanuel Kant.166 Unsur-unsur yang harus ada dalam Rechtsstaat167 adalah pertama,
pengakuan hak-hak asasi manusia (grondrechten); kedua, pemisahan kekuasaan
(scheiding van machten); ketiga, pemerintahan berdasar atas undang-undang
(wetmatigheid van het bestuur); dan keempat, peradilan administrasi (administratieve
dengan pengertian keduanya pada masa lalu. Tentang hal ini, lihat misalnya Jimly Asshiddiqie, Teori
dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Cetakan I, (Jakarta: Ind Hill-Co., 1997), hlm. 4.
164
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, (Jakarta: Erlangga, 1985), hlm. 11.
165
Menurut Wolfgang Friedmann, gagasan Negara Hukum tidak selalu identik dengan Rule
of Law. Sedangkan istilah Rechtsstaat mengandung pengertian adanya pembatasan kekuasaan negara
oleh hukum. Wolfgang Friedmann, Legal Theory, (London: Steven & Son Limited, 1960), hlm. 456. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, di Inggris sebutan untuk istilah Negara Hukum adalah
Rule of Law, sedangkan di Amerika Serikat Government of Law, But Not of Man. Kusnardi dan
Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1976), hlm. 8.
166
Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Ind-Hill Co, 1989), hlm. 30.
167
Gagasan mengenai Rechtsstaat ini berkembang dalam suasana liberalisme dan kapitalisme yang sedang tumbuh pesat di Eropa pada sekitar abad ke-18 yang dipelopori oleh Immanuel Kant yang mengidealkan paham laissez faire laissez aller dan gagasan negara jaga malam (nachwachtersstaat). Dalam gagasan ini setiap warga negara dibiarkan menyelenggarakan sendiri usaha-usaha kemakmurannya. Negara tidak perlu ikut campur dalam urusan-urusan yang dapat ditangani sendiri oleh masyarakat. Negara cukup berfungsi sebagai penjaga pada malam hari yang melindungi seluruh rakyat agar tetap merasa aman dan hidup tenteram. Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum
Nasional di Abad Globalisasi, Cetakan I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hlm. 90. Tentang
wawasan-wawasan yang terkandung di dalam Rechtsstaat, lihat A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Mengenai Analisis Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”,
rechtspraak).168 Sedangkan unsur-unsur yang harus terdapat dalam Rule of Law169
adalah pertama, supremasi hukum (supremacy of law); kedua, persamaan di depan hukum (equality before the law); ketiga, konstitusi yang berdasarkan atas hak-hak
asasi manusia (constitution based on human rights).170
Syarat-syarat dasar bagi pemerintahan demokratis di bawah konsep Rule of
Law ada
yang penting bagi kedua tradisi negara hukum tersebut.
lah pertama, perlindungan konstitusional; kedua, kekuasaan kehakiman yang
bebas dan tidak memihak;171 ketiga, pemilihan umum yang bebas; keempat, kebebasan menyatakan pendapat; kelima, kebebasan berserikat dan beroposisi; dan
keenam, pendidikan kewarganegaraan.172 Sekali lagi ingin ditekankan di sini bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas menjadi pilar yang sangat penting baik dalam Negara Hukum tradisi Rechtsstaat maupun dalam tradisi Rule of Law. Dengan kata
lain, keberadaan kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak menjadi syarat
168
Lihat misalnya dalam Robert Mohl, Two Concepts of the Rule of Law, (Indianapolis: Liberty Fund Inc., 1973), hlm. 22. Pada titik ini, biasanya negara hukum dikaitkan dengan paham konstitusionalisme yang mengidealkan hukum sebagai alat yang membatasi kekuasaan dan pertanggungjawaban politik pemerintah kepada yang diperintah. C.H. McIlwain, Constitutionalism:
Ancient and Modern, (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1974), hlm. 146.
169
Menurut Richard H. Fallon, Jr., sebenarnya tidak ada pengertian yang pasti tentang Rule of
Law ini. Richard H. Fallon, Jr., “The Rule of Law as a Concept in Constitutional Discourse”, dalam Columbia Law Review, Volume 97, No. 1, 1997, hlm. 1-2.
170
A.V. Dicey, An Introduction to Study of the Law of the Constitution, 10th edition, (London: English Language Book Society and MacMillan, 1971), hlm. 223-224.
171
Menurut A.W. Bradley, pengadilan mempunyai peran penting dalam tradisi Rule of Law, karena penafsiran-penafsirannya terhadap peraturan perundang-undangan akan sangat menentukan bagi keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu negara. A.W. Bradley, “The Sovereignty of Parliament-Form or Substance?”, dalam Jeffrey Jowell dan Dawn Oliver, eds., The Changing
Constitution, 4th edition, (Oxford: Oxford University Press, 2000), hlm. 34.
172
South-East Asian and Pacific Conference of Jurist, Bangkok, February 15-19, 1965, The
Dynamic Aspects of the Rule of Law in the Modern Age, (Bangkok: International Commission of Jurist,
Selanjutnya John Locke (1632-1704) memperkenalkan teori pemisahan
kekuasaan.173 Menurutnya, kemungkinan munculnya negara dengan konfigurasi politik t
ukum fundamental lainnya. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaa
otaliter174 bisa dihindari dengan adanya pembatasan kekuasaan negara.
Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga. Hal ini, menurut Locke, dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif
(legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif
(federative power).175
Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang membuat undang-undang dan peraturan-peraturan h
n yang melaksanakan undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang
dibuat oleh kekuasaan legislatif. Sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan
173
Sir Ivor Jennings membedakan pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam arti material dan formal. Pemisahan kekuasaan dalam arti material ialah pemisahan kekuasaan dalam arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam fungsi tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu pada tiga badan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal ialah apabila pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas. Sir Ivor Jennings, The Law
and the Constitution, 4th edition, (London: The English Language Book Society, 1976), hlm. 22.
Robert M. McIver mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material disebut dengan pemisahan kekuasaan (separation of powers), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal disebut dengan pembagian kekuasaan (division of powers). Robert M. McIver, The Modern State, (Oxford: Oxford University Press, 1950), hlm. 364.
174
Dalam konsep negara modern, totaliter ini merupakan kebalikan dari demokrasi. Sidney Hook, “Democracy” [Demokrasi: Sebuah Tinjauam Umum], dalam Denny J.A., Jonminofri, Rahardjo,
eds., Menegakkan Demokrasi: Pandangan Sejumlah Tokoh dan Kaum Muda Mengenai Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: Kelompok Studi Indonesia bekerja sama dengan The Asia FounDaerah Tingkaton,
1989), hlm. 33; Gwendolen M. Carter dan John H. Herz, “Demokrasi dan Totaliterisme: Dua Ujung dalam Spektrum Politik”, dalam Miriam Budiardjo, Masalah Kenegaraan, Cet. III, (Jakarta: Gramedia, 1980), hlm. 88.
175
yang berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang,
perdamaian, liga dan aliansi antarnegara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing. Ketiga cabang kekuasaan tersebut harus terpisah satu sama lain baik yang berkenaan
dengan tugas maupun fungsinya dan mengenai alat perlengkapan yang menyelenggarakannya.176 Dengan demikian, tiga kekuasaan tersebut tidak boleh diserahkan kepada orang atau badan yang sama untuk mencegah konsentrasi dan
penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.177 Dengan adanya kekuasaan yang telah terbatasi, pemegang kekuasaan tidak bisa dengan mudah melakukan
penyalahgunaan kekuasaannya, karena ada mekanisme kontrol yang harus dilaluinya. Pembatasan tersebut juga dimaksudkan agar hak-hak asasi warga negara akan lebih terjamin.178
Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Montesquieu yang membagi kekuasaan ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan
176
Ibid.
177
Abad ke-20 merupakan awal terjadinya kecenderungan semakin leluasanya kekuasaan eksekutif. Penyebabnya adalah (1) gelombang dekolonisasi dan terbentuknya negara-negara baru dengan tahap-tahap konsolidasi awal yang memerlukan pemusatan kekuatan di tangan pemerintah; (2) munculnya era perang dingin yang membelah dunia ke dalam dua blok Barat dan Timur yang diikuti persaingan perebutan pengaruh antar blok; (3) timbulnya fenomena perang antarnegara yang memacu peningkatan anggaran militer diberbagai negara; (4) semakin kompleksnya lingkup tugas-tugas pemerintahan seiring dengan perkembangan jaman; dan (5) munculnya ketidakpuasan umum terhadap praktek multi partai yang dianggap sebagai biang keladi instabilitas internal di berbagai negara. Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah Perbandingan
Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta: UI-Press, 1996), hlm. 106-116; Jimly Asshiddiqie, “Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan”, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada tanggal 13 Juni 1998, hlm. 10.
178
kekuasaa
dikatif. Argumentasi yang dapat dikemuk
arus dipegang adalah kekuasaan
yudikatif
n yudikatif.179 Dalam hal ini, kekuasaan yudikatif sangat ditekankan oleh
Montesquieu karena pada titik inilah letak kemerdekaan individu dan hak-hak asasi manusia dijamin. Montesquieu sangat menekankan kebebasan kekuasaan yudikatif,
karena ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang pada masa itu menjadi korban despotis raja-raja.180
Uraian di atas memperlihatkan bahwa Montesquieu menaruh perhatian yang
sangat besar terhadap kemedekaan kekuasaan yu
akan pemikiran ini adalah bahwa dengan adanya kekuasaan yudikatif yang
merdeka, hak-hak warga negara dapat terlindungi secara maksimal dari korban despotis kekuasaan. Menurut C.F. Strong, kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif inilah yang secara teknis disebut dengan istilah Government (Pemerintah)
yang merupakan alat-alat perlengkapan negara.181
Dalam doktrin Trias Politika, baik dalam pengertian pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan, prinsip yang h
dalam negara hukum harus bebas dari campur tangan badan eksekutif.182 Hal ini dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara sewajarnya
179
Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, tidak ada saling campur tangan di antara ketiga cabang kekuasaan tersebut. Oleh karena itu, dalam ajaran Trias Politika terdapat suasana checks and
balances. Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Edisi II, Cet. I,
(Yogyak
aruhi cara berpikirnya yang sangat mementingkan kekuasaan yudikatif
, 1994), hl
arta: Liberty, 1993), hlm. 19.
180
Montesquieu, Membatasi Kekuasaan: Telaah Mengenai Jiwa Undang-Undang (The Spirit
of the Laws), (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 44-55. Kenyataan bahwa Montesquieu sebagai seorang
yang berprofesi hakim ikut mempeng
. Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, Cet. IV, (Jakarta: Aksara Baru, 1985), hlm.2.
181
C.F. Strong, Op. Cit., hlm. 6.
182
Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer dan Demokrasi
Pancasila: Kumpulan Karangan Prof. Miriam Budiardjo, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
demi penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia. Melalui
asas kebebasan kekuasaan yudikatif diharapkan keputusan yang tidak memihak dan semata-mata berpedoman pada norma-norma hukum dan keadilan serta hati nurani
hakim dapat diwujudkan.183 Dengan demikian, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman mempunyai peran yang sangat penting, karena memegang kekuasaan untuk menangani dan menyelesaiakan konflik dalam segala derivasinya yang terjadi
dalam kehidupan sebuah negara.
Ketiga cabang kekuasaan tersebut tidak boleh melampau batas kewenangan
masing-masing yang telah diberikan oleh konstitusi. Dalam kerangka inilah, diperluka
pat usaha yaitu: (1) Menyempurnakan (membua
n adanya ajaran mengenai checks and balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan) di antara lembaga-lembaga negara yang mengandaikan adanya
kesetaraan dan saling mengawasi satu sama lain, sehingga tidak ada lembaga yang lebih powerful dari yang lain.184
Dalam perspektif yang lain Sunaryati Hartono mengatakan bahwa makna
pembangunan hukum itu meliputi em
t sesuatu yang lebih baik) (2) Mengubah agar menjadi lebih baik dan
modern (3) Mengadakan sesuatu yang sebelumnya belum ada (4) Meniadakan
183
Budiardjo, Op. Cit.
184
sesuatu yang terdapat dalam sistem lama, karena tidak diperlukan atau tidak cocok
dengan sistem baru.185
Selanjutnya Hans Kelsen dalam membicarakan Determination of the
law-Creating Function yang menyatakan bahwa norma yang lebih tinggi dapat
menentukan badan dan prosedur norma yang lebih rendah dan muatan dari norma yang lebih rendah. Teori ini dikenal dengan istilah Stufentheorie dimana menurutnya
suatu norma itu selalu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu tata susunan, sehingga suatu norma yang lebih rendah selalu bersumber dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yang disebut dengan norma dasar (grundnorm).186
Indonesia sebagai negara hukum yang menganut ajaran negara berkonstitusi seperti negara-negara modern lainnya, memiliki konstitusi tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 ini ditempatkan sebagai
fundamental law sehingga menjadi hukum dasar atau sumber pembuatan
hukum-hukum yang lainnya dan sebagai higher law Undang-Undang Dasar 1945 merupakan
hukum tertinggi dalam tata urutan Perundang-undangan Republik Indonesia.187
185
C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung: Alumni, 1994) hlm. 12.
186
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Andreas Wedberg, (New York: Russel and Russel, 1961), hlm. 112-113.
187
Sejarah memperlihatkan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan
di Indonesia sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Bentuk dan Jenis peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yang terdiri dari :
1. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 2. Peraturan Pemerintah;
3. Peraturan Menteri.188
Setelah undang-undang tersebut pernah berlaku Surat Presiden Nomor
2262/HK/59189 tentang Bentuk Peraturan-Peraturan Negara, kemudian Ketetapan MPRS/XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia.190 TAP MPRS ini baru disempurnakan pada Tahun 2000 dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 dan yang terakhir adalah
188
Dalam undang-undang ini sama sekali tidak diatur tentang peraturan perundang-undangan tingkat daerah, mungkin dikarenakan pada waktu itu Republik Indonesia hanya merupakan negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS).
189
Surat ini menyatakan bahwa bentuk-bentuk peraturan negara selain yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga Penetapan Presiden, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Lihat dalam Haposan Siallagan,
Penerapan Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Dalam Pembuatan Peraturan Daerah, (Medan: Disertasi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2007), hlm.
280.
190
dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.191
Adapun tata urutan peraturan perundang-undangan menurut
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang; 3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah yang terdiri dari Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan Peraturan Desa.
Intinya dari semua hukum positif yang berlaku menempatkan UUD sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi. Hal ini membawa konsekuensi teori penjenjangan norma dari Hans Kelsen menjadi berlaku. Berarti tidak boleh ada peraturan
perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD.
Menurut Hans Kelsen hirarki norma hukum terdiri atas192 :
1. Norma Dasar (Fundamental Norms/Grundnorm/Basic Norm) 2. Norma Umum (General Norms)
3. Norma Konkret (Concrete Norms)
191
Menurut TAP MPR ini jenis peraturan perundang-undangan beserta tata urutannya adalah sebagai berikut : 1. UUD RI 1945; 2. Ketetapan MPR; 3. Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 5. Peraturan Pemerintah; 6. Keputusan Presiden; dan 7. Peraturan Daerah.
192
Fundamental Norms terdapat dalam konstitusi, General Norm terdapat dalam
undang-undang dan Concrete Norms terdapat dalam putusan pengadilan (vonnis) serta keputusan-keputusan pejabat administrasi negara.193 Hans Kelsen
mengemukakan norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki, norma yang dibawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai akhirnya ‘regressus’ ini berhenti pada suatu norma yang tertinggi yang disebut dengan norma dasar (Grundnorm) yang
tidak dapat lagi ditelusuri siapa pembentuknya atau darimana asalnya. Norma dasar ini merupakan yang tertinggi yang berlakunya tidak bersumber dan tidak berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlakunya secara ‘presupposed’, yaitu
ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat.194
Menurut Hans Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Hans Kelsen disebut sebagai norma dasar (Grundnorm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut
sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma
fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan
norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.195
Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi memban-dingkannya dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum
193
Ibid.
194
Ibid.
195
di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan
menggunakan teori Hans Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah196 :
1) Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2) Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi
Ketatanegaraan.
3) Formell gesetz: Undang-Undang.
4) Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan
Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro.197 Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee)
merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm
196
Tata urutan yang dipakai oleh Attamimi adalah berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan tersebut diganti dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pada Tahun 2003 telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Lihat A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana
Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 287.
197
Notonagoro, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamental
Negara Indonesia) dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan Ketujuh, (Jakarta: Bina Aksara,
maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari
nilai-nilai Pancasila.198
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto memperkenalkan tujuh asas
Undang-undang yaitu199 :
1. Undang-undang tidak berlaku surut
2. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi pula
3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat lex generalis)
4. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-undang yang berlaku terdahulu (Lex posteriori derogat lex priori)
5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat
6. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual materiil bagi masyarakat maupun individu, melalui
pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat)
7. Undang-undang yang di bawah tidak bertentangan dengan undang-undang yang di atasnya (Lex superiore derogat lex infiriore)
198
Attamimi, Op Cit., hlm. 309.
199
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Ikhtisar Antinomi Aliran Filsafat Sebagai
Landasan Filsafat Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm. 47. Lihat juga B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Sementara itu Amiroeddin Syarief menetapkan adanya lima asas
perundang-undangan yaitu200 : 1. Asas tingkatan hirarkis
2. Undang-undang tak dapat diganggu gugat
3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat lex generalis)
4. Undang-undang tidak berlaku surut
5. Undang-undang yang baru mengenyampingkan Undang-undang yang lama (Lex
posteriori derogat lex priori)
2. Konsepsi
Dalam penelitian hukum kerangka konsepsional diperoleh dari peraturan perundang-undangan atau melalui usaha untuk membentuk pengertian-pengertian hukum. Apabila kerangka konsepsional tersebut diambil dari peraturan
perundang-undangan tertentu maka biasanya kerangka konsepsional tersebut sekaligus merumuskan definisi-definisi tertentu, yang dapat dijadikan pedoman operasional di
dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan konstruksi data.201
Kerangka konsepsional dalam merumuskan atau membentuk pengertian-pengertian hukum, kegunaannya tidak hanya terbatas pada penyusunan kerangka
200
Amiroeddin Syarief dalam Rojidi Ranggawijaya, Pengantar Ilmu Perundang-undangan
Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1998), hlm. 43.
201
konsepsional saja, akan tetapi bahkan pada usaha merumuskan definisi-definisi
operasional di luar peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, konsep merupakan unsur pokok dari suatu penelitian.202
Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca rencana penelitian ini, maka dipandang perlu untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsep-konsep dibawah ini :
1. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.203
2. Perda adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (Gubernur atau Bupati/Walikota).204
3. Hak Menguji Formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk peraturan perundang-undangan terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku atau tidak.205
202
Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 24.
203
Pasal 1 Angka 2, Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, LN No. 53, TLN No. 4389. Bandingkan dengan Maria
Farida Indrati. S, Ilmu Perundang-undangan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 12, yaitu mengenai peraturan perundang-undangan terdapat beberapa unsur yaitu : a. merupakan suatu keputusan yang tertulis, b. dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan, c. mengikat umum.
204
Pasal 1 Angka 7, Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, LN No. 53, TLN No. 4389
205
4. Hak Menguji Materil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian
menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu
kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.206
5. Pengujian Materil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan materi muatan
dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.207
6. Pengujian Formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.208
7. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan adalah secara teori pencabutan
perundang-undangan ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu209 :
a. Pencabutan dengan penggantian adalah suatu pencabutan dengan penggantian terjadi apabila suatu peraturan perundang-undangan yang ada digantikan
dengan suatu peraturan perundang-undangan yang baru.
b. Pencabutan tanpa penggantian adalah suatu peraturan perundang-undangan
yang dilakukan tanpa penggantian, kerangka (kenvorm) dari peraturan
206
Ibid., Bandingkan dengan Pasal 1 Ayat (1), Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materiil yaitu bahwa Hak Uji Materiil adalah hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap peraturan perUndang-undang-Undang-undangan tingkat lebih tinggi.
207
Pasal 4 Ayat 2, Peraturan MK No 06/PMK/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam
Perkara Pengujian Undang-Undang.
208
Ibid., Pasal 4 Ayat 3.
209
perundang-undangan tersebut mempunyai kesamaan dengan perubahan
peraturan perundang-undangan .
8. Perubahan Peraturan Perundang-undangan adalah terjadi apabila terdapat
ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut yang tidak sesuai lagi dengan situasi atau kondisi yang berlaku dalam masyarakat.210
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Untuk mendapatkan data guna menguraikan pengujian Perda oleh lembaga eksekutif dan yudikatif, maka jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian
ini adalah metode penelitian hukum normatif.
Menurut Sunaryati Hartono, dalam penelitian hukum normatif dapat mencari asas hukum, teori hukum dan pembentukan asas hukum baru.211 Sedangkan menurut
Bagir Manan, penelitian normatif adalah penelitian terhadap kaedah dan asas hukum yang ada.212
2. Sumber Data
210
Ibid, hlm. 179
211
C.F.G. Sunaryati Hartono, Op.Cit., hlm. 141.
212
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan
Penelitian ini diarahkan sebagai penelitian hukum normatif, yaitu penelitian
terhadap bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari :213 1. Bahan Hukum Primer
Yaitu mencakup peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah yang diteliti, seperti: Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan-Ketetapan MPR dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengujian Perda oleh
lembaga eksekutif dan yudikatif.
2. Bahan Hukum Sekunder
Dalam hal ini akan dikumpulkan data dari hasil karya ilimiah para sarjana dan hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan pengujian Perda oleh lembaga
eksekutif dan yudikatif. 3. Bahan Hukum Tersier
Bahan diambil dari majalah, surat kabar untuk penunjang informasi dalam
penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
213
1) Penelitian kepustakaan (library research), yaitu melalui penelusuran peraturan
perundang-undangan, dokumen-dokumen maupun buku-buku ilmiah yang sesuai dengan objek yang akan diteliti.
2) Penelitian lapangan (field research), penelitian ini dilakukan guna memperoleh data primer tentang pokok-pokok pengaturan mengenai pengujian Perda oleh lembaga eksekutif dan yudikatif. Data ini diperoleh melalui wawancara dengan
narasumber yang terkait dengan penelitian, yaitu wawancara dengan Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Kepala Divisi Pelayanan Hukum
dan HAM Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara serta dengan Hakim di Pengadilan Negeri Medan.
4. Analisis Data
Setelah data terkumpul dan dirasa telah cukup lengkap, maka tahap selanjutnya adalah mengolah dan menganalisis data. Teknik analisis data yang
dipakai adalah teknik analisis kualitatif, dimana setelah semua data terkumpul, maka dilakukan pengolahan, penganalisisan dan pengkonstruksian data secara menyeluruh.
Setelah data diolah langkah selanjutnya dilakukan interpretasi data untuk menarik kesimpulan dari kenyataan yang ditemui di lapangan. Uraian dan kesimpulan dalam menginterpretasikan data hasil penelitian akan dihubungkan dengan teori-teori,