• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Oksigen

2.6.3. Proses Pernafasan

Oksigen dibutuhkan manusia terutama dalam proses pernapasan sehingga dapat menghasilkan energi yang dapat digunakan untuk aktivitas kerja sel tubuh (Harris, 2007). Jalur oksigen secara normal berasal dari udara bebas yang kemudian masuk melalui saluran pernapasan sehingga dapat digunakan untuk membantu proses metabolisme yang berlangsung di dalam tubuh. Proses pernapasan merupakan proses pertukaran gas yang berasal dari makhluk hidup dengan gas yang ada di lingkungannya. Pernapasan dapat terjadi, baik secara sadar ataupun tidak disadari. Proses masuknya udara dari luar tubuh sampai ke

dalam paru-paru dikenal dengan proses inspirasi, sedangkan proses keluarnya udara dari saluran pernapasan ke luar tubuh disebut proses ekspirasi (Rhoades et. al, 2009).

Aliran udara yang masuk dan keluar dari paru-paru dikontrol oleh sistem saraf yang menjamin pola dan kecepatan pernapasan manusia secara normal. Proses pernapasan dimulai oleh sekelompok sel saraf pada batang otak yang bertugas sebagai pusat respirasi. Sel-sel ini akan mengirimkan sinyal pada otot diafragma dan otot perut untuk memulai pernapasan. Rata-rata kecepatan pernafasan pada manusia dewasa adalah 12-15 tarikan nafas per menit. Dari sekitar 500 ml setiap kali bernapas atau kira-kira 7 liter/menit udara yang masuk ke dalam paru-paru, sejumlah volume oksigen yang masuk ke dalam tubuh ± 1.47 liter/menit (Rhoades et. al, 2009).

Proses pernapasan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pernapasan eksternal, internal, dan seluler. Pernapasan eksternal adalah pertukaran udara antara darah dan atmosfer. Pernapasan internal adalah pertukaran udara yang terjadi antara darah dan sel-sel tubuh. Dan pernapasan seluler merupakan proses kimia yang terjadi di dalam mitokondria sel-sel (Rhoades et. al, 2009).

Saluran pernapasan terdiri dari rongga hidung, faring, laring, trakea, bronkus, paru-paru, bronkiolus, dan alveolus. Udara pertama kali mengalir masuk melalui rongga hidung dan kemudian mengalami penyaringan dari debu dan kotoran yang ikut masuk karena ada bulu-bulu halus di dalam hidung. Selain berfungsi untuk menyaring kotoran, hidung juga berfungsi untuk memanaskan dan melembabkan udara dengan mengatur suhu udara pernapasan yang masuk. Setelah melewati hidung, udara akan masuk ke faring yang merupakan saluran penghubung antara rongga hidung dan tenggorokan. Selain itu faring berfungsi sebagai katup yang memisahkan antara saluran pernapasan (tenggorokan) dan saluran pencernaan (kerongkongan), jadi pada saat udara masuk katup ini akan menutup jalur saluran pencernaan (Davies et. al, 2003).

Selanjutnya udara yang dihirup masuk ke laring. Pada laring terdapat pita suara sehingga pada saat kita berbicara, bagian ini akan bergetar. Laring merupakan saluran yang dikelilingi oleh tulang rawan. Setelah itu, udara akan menuju trakea, yaitu bagian yang tersusun atas empat lapisan, antara lain lapisan

19

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mukosa, lapisan submukosa, lapisan tulang rawan, dan lapisan adventitia. Trakea memiliki panjang ± 11.5 cm dengan diameter 2.4 cm. Trakea bercabang menjadi dua bronkus yang masing-masing menuju paru-paru kanan dan kiri. Di dalam paru-paru, bronkus bercabang-cabang lagi menjadi bronkiolus. Pada ujung-ujung bronkiolus terdapat sekumpulan kantong udara yang disebut alveolus. Di sekitar alveoulus terdapat kapiler-kapiler pembuluh darah. Pada bagian ini memungkinkan terjadinya difusi antara udara alveolus dan udara pada kapiler-kapiler pembuluh darah. Bronkus, bronkiolus, dan alveolus membentuk satu struktur yang disebut paru-paru (Davies et. al, 2003).

Tempat proses pernapasan di dalam tubuh terjadi di bagian alveolus paru-paru, dimana terjadinya pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida yang akan diangkut dari dan ke dalam sel-sel tubuh. Pertukaran gas tersebut terjadi di dalam paru-paru dan jaringan tubuh secara difusi pasif karena adanya perbedaan tekanan. Pada dasarnya gas akan berdifusi dari bagian yag bertekanan parsial tinggi ke bagian yang bertekanan parsial rendah (Levitzky, 2003).

Tabel 2.4. Tekanan parsial oksigen dan karbondioksida (Levitzky, 2003).

Tempat Tekanan Parsial O2 (mmHg) Tekanan Parsial CO2 (mmHg) Atmosfer 160 0,2 Alveoli 104 40 Darah kaya O2 104 40 Darah miskin O2 40 45 Jaringan tubuh 40 45

Ketika darah berada di pembuluh kapiler, karbon dioksida akan berdifusi dari darah menuju udara di alveoli. Sebaliknya, oksigen akan berdifusi dari alveoli ke dalam darah. Pada saat meninggalkan paru-paru, darah yang kaya O2 memiliki

PaO2 yang tinggi dan PaCO2 yang rendah dibandingkan sebelum masuk

paru-paru. Setelah melewati jantung, darah tersebut akan dipompa melalui peredaran darah sistemik. Di dalam kapiler peredaran darah sistemik, perbedaan tekanan parsial menyebabkan terjadinya difusi oksigen dari darah menuju sel tubuh. Pada

saat bersamaan, CO2 akan berdifusi dari sel-sel jaringan menuju darah. Setelah

melepas O2 dan mengangkut CO2, darah akan kembali ke jantung (Levitzky,

2003).

Sistem sirkulasi darah manusia termasuk ke dalam sistem peredaran darah tertutup dan ganda. Sistem sirkulasi tertutup artinya peredaran darah di dalam tubuh selalu berada di dalam pembuluh, sedangkan ganda berarti darah setiap bersirkulasi ke seluruh tubuh melewati jantung sebanyak dua kali. Sistem sirkulasi darah ganda terbagi menjadi dua jalur, yaitu sistem peredaran darah pulmonalis dan peredaran darah sistemik. Organ tubuh yang terlibat di dalam sistem peredaran darah secara umum adalah jantung, pembuluh darah, dan darah (Rhoades et. al, 2009).

Sistem peredaran darah pulmonalis terdiri dari pembuluh nadi (arteri) dan pembuluh balik (vena) yang mendistribusikan darah dari jantung ke paru-paru dan berlaku pula sebaliknya. Sistem ini diawali dari bilik (ventrikel) kanan jantung dan berakhir pada serambi (atrium) kiri jantung. Darah yang kaya oksigen yang berasal dari proses respirasi di dalam paru-paru akan didistribusikan melalui lintasan pulmonalis oleh pembuluh vena paru-paru menuju serambi kiri jantung, diteruskan ke bilik kiri, dan selanjutnya akan memasuki jalur sistemik (Johnson

et. al, 2003).

Pada jalur sistemik darah yang kaya O2 akan dipompa menuju seluruh

organ dan jaringan tubuh melalui aorta, arteri, arteriol, dan pembuluh darah kapiler. Selanjutnya darah yang telah menyalurkan oksigen ke seluruh jaringan tubuh, kemudian akan membawa karbon dioksida yang merupakan hasil sampingan proses metabolisme yang berlangsung di dalam sel untuk dibuang keluar tubuh. Darah yang kaya CO2 tersebut akan dibawa melalui pembuluh vena

sistemik menuju serambi kanan jantung, diteruskan ke bilik kanan jantung lalu menuju jalur pulmonalis kembali (Johnson et. al, 2003).

Bagian darah yang bertanggung jawab terhadap proses pengangkutan oksigen adalah sel darah merah (eritrosit). Hemoglobin merupakan protein utama pengangkut oksigen dan karbon dioksida di dalam sel darah merah. hemoglobin yang telah 100% jenuh dengan oksigen mampu mengikat 1.34 ml oksigen per

21

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

gram hemoglobin. Apabila di dalam 100 ml darah terdapat 15 gram hemoglobin berarti kandungan oksigen di dalamnya sebesar 20.1 ml/dl darah. Pada paru-paru tekanan parsial oksigen tinggi (90-100 mmHg) dan pH relatif tinggi sekitar 7.6, hemoglobin cenderung jenuh maksimum dengan oksigen.

Pembuluh kapiler Sel darah juga berfungsi untuk mengangkut gas CO2

yang terbentuk sebagai hasil akhir metabolisme dari dalam jaringan menuju ke luar tubuh. Secara keseluruhan, sekitar dua per tiga total kandungan CO2 berada di

dalam plasma dan hanya sepertiganya yang berada di dalam sel darah merah. Akan tetapi hampir semua CO2 darah harus masuk dan keluar sel darah merah

selama pengangkutan CO2 dari jaringan ke paruparu. Sejumlah 72% karbon dioksida dalam tubuh manusia larut dalam plasma darah dalam bentuk ion bikarbonat (HCO3-) dan 8% lainnya dalam bentuk molekul karbondioksida. Sisanya sebesar 20% diikat oleh hemoglobin dalam bentuk carbaminohemoglobin (Bain, 2006).

2.7. Terapi Oksigen Hiperbarik

Pengobatan oksigenasi hiperbarik sudah sejak abad ke-16 digunakan sebagai salah satu metode untuk menyembuhkan penyakit dan pengobatan. Tepatnya, di Inggris tahun 1662 oleh Henshaw, Ruang Udara Bertekanan Tinggi (Hyperbaric Chamber) digunakan untuk mengobati beberapa penyakit kulit dan rickets. Di Perancis tahun 1834 dr. Junot menyatakan adalnya penyembuhan bermana pada pasien dengan penyakit kardiopulmoner yang diobati oleh hiperbarik. Sedangkan pada awal tahun 1900 di Inggris dr. John Haldane, berhasil menemukan tabel rekompresi dan penyelaman, sampai sekarang tabel rekompresi ini masih dipakai dalam pelayanan pengobatan (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2008).

Pengobatan hiperbarik semakin berkembang pesat tahun 1956, dr. I. Boereina dari Belanda, melaporkan keberhasilan suatu tindakan pembedahan jantung paru yang dilakukan dalam Ruang Udara Bertekanan Tinggi (RUBT). Indonesia juga telah sejak lama ikut berperan dalam penggunaan pengobatan hiperbarik. Tepatnya tahun 1960, pengobatan hiperbarik mulai digunakan oleh

TNI AL yang selanjutnya dikembangkan di Tanjung Pinang, Jakarta, Ambom dan Lakesla Surabaya, yang digunakan untuk menangani kasus-kasus cedera penyelaman seperti keracunan gas-gas pernapasan dan penyakit dekompresi (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2008).

Terapi oksigen hiperbarik pertama kali digunakan oleh Behnke pada tahun 1930 untuk menghilangkan simptom penyakit dekompresi (Caisson’s disease) setelah menyelam. Penyakit dekompresi adalah penyakit yang terjadi karena perubahan tekanan, misalnya saat menyelam atau naik pesawat terbang, yakni terjadi pelepasan dan mengembangnya gelembung gas dalam organ. Jika kita kembali ke tekanan awal, maka akan terjadi perubahan tekanan yang dapat mengganggu fungsi beberapa organ tubuh atau penyakit dekompresi (Sourabh B

et. al, 2012).

Kondisi ruang terapi oksigen hiperbarik harus memiliki tekanan udara yang lebih besar dibandingkan dengan tekanan di dalam jaringan tubuh (1 ATA). Keadaan ini daoat dialami oleh seseorang pada waktu menyelam atau dalam ruang udara yang bertekanan tinggi yang dirancang baik untuk kasus penyelaman maupun pngobatan klinis. Setiap penurunan kedalaman 33 kaki (10 meter), tekanan akan naik 1 atm. Tiap terapi diberikan 2-3 ATA, menghasilkan 6 ml oksigen terlarut dalam 100 ml plasma, dan durasi rata-rata terapi sekitar 60-90 menit. Dosis yang digunakan pada perawatan tidak boleh lebih dari 3 ATA karena tidak aman untuk pasien selain berkaitan dengan lamanya perawatan yang dibutuhkan, juga dikatakan bahwa tekanan di atas 2,5 ATA mempunyai efek imunosupresif (Ali S et. al, 2014).

Disamping sebagai terapi untuk penyakit akibat penyelaman, saat ini hiperbarik juga telah digunakan di Indonesia sebagai pengobatan dalam terapi untuk membantu penyembuhan berbagai penyakit klinis, seperti penyembuhan luka infeksi, luka bakar, membantu penyembuhan komplikasi diabetes melitus, serta untuk kesehatan dan kebugaran, terutama untuk pasien lanjut usia (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2008).

Dalam perkembangan di Indonesia, saat ini telah terdapat organisasi profesi berupa perhimpunan dokter spesialis dan perhimpunan seminat dalam

Dokumen terkait