• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. PEMBAHASAN

5.1. Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Proses Produksi Teh Hitam

5. PEMBAHASAN

5.1.Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Proses Produksi Teh Hitam

Menurut Ghani (2002), tanaman teh (Camellia sinensis) termasuk tanaman perdu dengan tinggi 6-9 m. Tanaman teh tumbuh pada area beriklim tropis, memiliki ketinggian 200-2000 mdpl dan memiliki suhu cuaca berkisar antara 14-25°C. Klasifikasi tanaman teh:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyte Sub divisi : Angiospermae Claas : Dicotyledoneae Ordo : Guttiferales Famili : Tehaceae Genus : Camelia

Spesies : Camellia sinensis (Setyamidjaja, 2000).

Teh terbagi menjadi 3 jenis berdasarkan cara pengolahan yaitu teh hitam, teh oolong dan teh hijau. Proses pembuatan teh hitam terdapat proses fermentasi atau dikenal dengan istilah oksidasi enzimatik. Pada teh jenis ini, dibuat dengan bantuan enzim fenolase, sehingga adanya perubahan senyawa kafein menjadi thaeflavin dan

thaerubigin yang berperan dalam pembentukkan warna dan aroma khas teh hitam.

Pembuatan teh oolong melalui proses fermentasi namun tidak sempurna atau sebagian fermentasi. Oleh karena itu, teh oolong dikenal senagai teh semi fermentasi. Pembuatan teh hijau tanpa melalui tahap fermentasi sehingga kandungan katekin tetap terjaga. Pada teh jenis ini, kandunagn enzim fenolase justru diinaktif melalui proses pemanasan. Inaktif enzim dilakukan untuk mencegah reaksi oksidasi enzimatik terhadap katekin (Hartoyo, 2003).

Terdapat dua sistem pengolahan teh hitam yaitu sistem CTC (Crushing, Tearing, dan

Curling) dan sistem orthodox. PT. Perkebunan Nusantara IX Kebun Kaligua

CTC terjadi secara serempak dalam satu kali putaran dari sepasang roll, dalam proses penggilingan daun. Pada pengolahan sistem CTC, hampir semua sel daun (pucuk) teh menjadi hancur sehingga fermentasi berjalan dengan merata pada bubuk basah. Hal ini menyebabkan teh CTC mempunyai warna seduhan merah pekat dan rasa yang kuat. Proses pengolahan teh hitam CTC terdiri dari beberapa tahap yaitu penyediaan bahan baku, pelayuan, gilingan persiapan, gilingan CTC, fermentasi, pengeringan, sotasi kering dan pengemasan. Sistem orthodox yang banyak diterapkan dalam proses pengolahan teh yaitu sistem orthodox rotor vane. Pada sistem ini, terdapat beberapa tingkat kegiatan yang terdiri dari penyediaan bahan baku (pucuk segar), pelayuan, penggulungan, penggilingan, sortasi basah, fermentasi, pengeringan, sortasi kering, serta pengepakan(Setyamidjaja, 2000). Perbandingan cara pengolahan teh hitam sistem

orthodox dan sistem CTC dapat dilihat pada Tabel 4, sedangkan perbedaan antara teh

hitam orthodox dan teh CTC dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 4. Perbandingan cara pengolahan teh hitam sistem orthodox dan sistem CTC

No Sistem Orthodox Sistem CTC

1 Derajat layu pucuk 44%-46% Derajat layu pucuk 32%-35%

2 Ada sortasi bubuk basah Tanpa dilakukan sortasi bubuk basah 3 Tangkai atau tulang terpisah

disebut badag

Bubuk basah ukuran hampir sama

4 Diperlukan pengering ECP

(Endless Chain Pressure Drier)

Pengeringan cukup FBD (Fluid Bed Drier)

5 Cita rasa air seduhan kuat Cita rasa kurang kuat, air seduhan cepat dan berwarna merah

6 Tenaga kerja banya Tenaga kerja sedikit 7 Tenaga listrik besar Tenaga listrik kecil 8 Sortasi kering kurang sederhana Sortasi kering sederhana 9 Fermentasi bubuk basah 105-120

menit

Fermentasi bubuk basah 80-85 Menit

10 Waktu proses pengolahan berlangsung lebih dari 20 jam

Proses pengolahan waktunya cukup pendek (kurang dari 20 jam)

(Arifin, 1994).

Tabel 5. Perbedaan antara teh hitam orthodox dan teh CTC(Setyamidjaja, 2000).

No Uraian Teh Orthodox Teh CTC

1 Bentuk Agak pipih Butiran

2 Citarasa Kuat Kurang

3 Penyajian Lambat Cepat

52

5.1.1.Proses Pelayuan Pucuk Daun Teh

Pelayuan adalah proses menguapkan kadar air yang terkandung dalam daun teh karena perbedaan tekanan antara air dalam daun dan bagian permukaan daun teh (Santoso dkk, 2008). Proses pelayuan dilakukan dengan menggunakan mesin palung pelayuan

(withering trough) sebagai tempat daun teh dihamparkan. Tebal hamparan yaitu

sekitar30 cm. Pelayuan dapat dilakukan dengan mengalirkan udara kering atau dengan aliran udara panas selama sekitar 20 jam (Ningrat, 2006).

Prinsip pelayuan yaitu melewatkan udara panas dan udara segar melalui daun teh sampai mencapai derajat layu 44-46% (Santoso dkk, 2008). Pengendalian pengaliran udara segar dilakukan dengan mengatur kecepatan blower sebagai sumber udara segar. Apabila kelayuan daun dirasa masih kurang, maka kecepatan blower dinaikkan. Berkaitan dengan lokasi pabrik yang terletak di daeran dengan kelembaban yang tinggi, tentunya pelayuan tidak cukup hanya dilakukan dengan udara segar. Oleh sebab itu, udara hangat dilewatkan bersamaan dengan udara segar. Pengendalian pengaliran udara panas dilakukan dengan selalu mengecek suhu pada tungku pemanas. Suhu udara panas yang tepat untuk pelayuan daun teh yaitu 60oC. Apabila tungku menghasilkan panas terlalu tinggi maka dilakukan pengurangan bahan bakar dan pintu tungku dibuka agar panasnya berkurang. Namun tentunya hal tersebut belum cukup untuk mengurangi suhu hingga batas yang diinginkan. Maka pengendalian juga dapat dilakukan pada bagian bawah (lorong) withering trough yang merupakan daerah untuk menyimpan udara panas yang adakan dilewatkan ke daun teh. Withering trough juga dilengkapi termometer untuk mengukur suhu WT, apabila suhu di dalam WT terlalu tinggi maka pintu WT dibuka agar panasnya berkurang sehingga suhu menjadi sesuai untuk mengeringkan pucuk daun teh.

Tingkat kelayuan pucuk teh dinyatakan dalam 2 istilah yaitu derajat layu dan persentase layu. Derajat laju adalah perbandingan antara berat bubuk teh setelah dikeringkan dangan berat pucuk layu. Standar derajat layu daun teh yaitu 44-46%. Perbandingan antara berat pucuk layu dengan berat pucuk segar dikenal dengan istilah persentase layu. Persentase layu menyatakan banyaknya kandungan air yang hilang setelah pucuk teh dilayukan. Standar persentase layu berkisar antara 49-50% (Santoso dkk, 2008).

Menurut Siswoputranto (1978), pelayuan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu cuaca, kondisi pucuk teh segar, suhu pelayuan, lama pelayuan dan tebal hamparan.

Berdasarkan Santoso dkk (2008), pengecekan derajat laju hanya dapat dilakukan setelah daun layu diolah menjadi bubuk teh kering. Bubuk teh yang telah melewati tahap pengeringan akan ditimbang kemudian beratnya dicatat. Derajat layu akan diketahui dengan membandingkan berat total daun layu dengan berat total bubuk teh kering dan dinyatakan dalam persen. Pengecekan derajat layu bukan mengenai pengukuran daun layu di bagian pelayuan, namun membandingkan banyaknya jumlah daun layu yang dibutuhkan untuk mencapai jumlah bubuk teh kering tertentu setelah melewati proses penguapan kadar air melalui proses pengeringan.

- Faktor Cuaca

Apabila musim penghujan, pelayuan pucuk teh dilakukan dengan pemberian udara segar 3-4 jam kemudian dialiri udara panas. Hal tersebut dilakukan karena pucuk teh terlalu basah dan kandungan air permukaan menjadi meningkat karena air hujan, maka untuk mempercepat penguapan air tersebut perlu dialiri udara yang dipanaskan melalui

heater(Rosida & Amalia, 2015). Sedangkan pada musim kemarau pelayuan hanya perlu

dilakukan dengan udara segar. Apabila suhu udara lingkungan cukup panas, pintu WT dibuka agar tidak terlalu panas, kemudian blower ditutup sebagian agar udara yang masuk ke WT tidak terlalu banyak untuk menghindari over layuan. Proses pelayuan harus dilakukan secara benar dan sesuai standar untuk menghasilkan bubuk teh yang bermutu tinggi dengan kenampakan yang berwarna hitam. Apabila pucuk daun teh terlalu layu maka kadar airnya terlalu sedikit dan kenampakkan partikel (bubuk teh) setelah dikeringkan terlihat kehijauan yang menandakan mutu teh kurang baik. Namun, pucuk teh yang kurang layu juga akan berpengaruh terhadap kualitas bubuk teh akhir. Pucuk daun teh yang kurang layu (KA>50%), maka apabila digiling akan keluar air, pengeringnya menjadi lebih lama dan kenampakan bubuk teh terlihat hitam kecoklatan.

- Kondisi Pucuk Teh

Pucuk teh yang tua, kasar dan kering lebih cepat layu daripada pucuk muda, halus. dan basah. Pucuk teh yang tua, kadar dan kering memilki kandungan air yang lebih sedikit

54

jika dibandingkan dengan pucuk muda, halus dan basah.

- Suhu Pelayuan

Suhu pelayuan sebaiknya tidak lebih dari 28oC. Suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan protein enzim polifenol oksidase terdenaturasi yang dapat menghambat atau bahkan tidak terjadi proses oksidasi enzimatis dan mempengaruhi tahapan selanjutnya.

- Lama Pelayuan

Pelayuan umumnya berlangsung 10-20 jam. Proses pelayuan dilakukan selama 16-24 jam. Apabila pelayuan terlalu lama maka teh yang dihasilkan akan memiliki rasa sepet, air seduhan berwarna gelap dan aroma kurang enak. Namun, apabila pelayuan terlalu cepat, maka pucuk layu akan sulit digulung dan sifat-sifat organoleptiknya menjadi berkurang.

- Tebal Hamparan

Umumnya tebal hamparan sekitar 30 cm. Apabila hamparan terlalu tebal maka pelayuan menjadi tidak merata dan waktu pelayuan menjadi lama.

5.1.2. Penggilingan, Penggulungan dan Sortasi Basah

Pada tahap ini, merupakan awal terjadinya proses fermentasi. Secara kimia akan terjadi proses bertemunya polifenol dan oksigen dengan bantuan enzim polifenol oksidase yang akhirnya akan menentukan dasar terbentuknya mutu dalam teh. Dalam proses penggilingan akan mengubah pola proses biokimia pada daun teh hidup. Fase ini untuk menciptakan kondisi fisik yang terbaik untuk bertemunya enzim oksidase dan polifenol. Perubahan biokimia pada proses penggilingan merupakan awal dari peristiwa oksidasi, yang memungkinkan terbentuknya warna coklat serta bau/aroma yang khas (Ardheniati, 2008). Persyaratan tahap proses penggulungan, penggilingan dan sortasi basah antara lain :

Suhu ruangan

Suhu ruangan sortasi basah pabrik sekitar 20-25ºC, untuk mempertahankan keaktifan enzim polifenol oksidase.

Kelembaban ruangan (90-98%)

Kelembaban udara harus tinggi untuk mencegah terjadinya penguapan air.

Waktu penggilingan

Proses penggilingan harus dilakukan dengan cepat dan tepat waktu untuk mencegah terjadinya over fermentasi.

Hasil penggilingan diayak pada mesin ayak DIBN dan RRB sehingga proses ini dikatakan berhasil apabila bubuk hasil penggilingan lolos ayakan dengan ukuran partikel mesh 6 dan mesh 7.Tidak seperti yang biasa kita ketahui, mesh adalah ukuran dari jumlah lubang suatu jaring atau kasa pada luasan 1 inch persegi jaring/kasa yang bisa dilalui oleh material padat. Misalnya, Mesh 20 memilki arti: terdapat 20 lubang pada bidang jaring/kasa seluas 1 inch. Namun pada proses pengolahan teh di PT. PN IX Kebun Kaligua, ukuran mesh diukur dengan menggunakan alat yang disebut sigmat atau jangka sorong. Alat sigmat sebenarnya lebih berfungsi sebagai alat pengukur diameter, ketebalan dan kedalaman suatu lubang dengan tingkat ketelitian 0,1 mm. Prosedur pengukurannya dilakukan dengan menarik rahang bawah (external jaws) sepanjang 2,5 cm, kemudian dihitung ada berapa lubang disepanjang 2,5 cm tersebut. Karena disepanjang 2,5 cm itu terdapat 6-7 lubang, maka mesin ayak DIBN dan RRB dikatakan memiliki ukuran lubang mesh 6 dan mesh 7. Rahang bawah (external jaws) pada sigmat berfungsi untuk mengukur panjang suatu benda, namun dalam hal ini lebih untuk mengukur jumlah lubang pada panjang 2,5 cm dari panjang mesin ayak DIBN dan RRB. Oleh sebab itu, partikel bubuk teh hitam memilki ukuran mesh yang berbeda dari ukuran mesh bubuk yang biasa kita kenal.

5.1.3. Proses Fermentasi Teh

Fermentasi merupakan proses oksidasi senyawa fenol dengan bantuan enzim polifenol oksidase, menghasilkan substansi theaflavin dan thearubigin. Proses fermentasi tehtidak menggunakan mikrobia sebagai sumber enzim, melainkan dilakukan oleh enzim fenolase yang terdapat di dalam daun teh itu sendiri. Pada proses ini, sebagian besar katekin dioksidasi menjadi theaflavin dan thearubigin yang berkontribusi dalam pembentukkan rasa, aroma dan warna pada teh hitam (Florida, 2009). Senyawa

56

senyawa thearubigin berperan dalam pembentukkan warna gelap pada teh hitam. Selain itu, menurut Sud and Asha(2000) dalam jurnal Anjarsari (2016), menyatakan bahwa

theaflavin banyak dikaitkan dengan kualitas karena pengaruhnya pada astringency,

brightness dan briskness, sedangkanthearubigin terkait dengan kualitas karena

kontribusinya pada warna, kekuatan (strength), dan rasa di mulut (mouthfell).

Fermentasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kadar air dalam bahan (hasil sortasi basah), suhu dan kelembapan relatif, kadar enzim, jenis bahan, serta tersedianya oksigen. Tahap fermentasi dianggap selesai apabila di dalam bubuk teh terdapat campuran senyawa katekin dan polifenol oksidase, termasuk theaflavin dan thearubigin. Selain itu, fermentasi diakhiri ketika bubuk teh basah berwarna coklat tembaga dengan temperatur pada sebaran bubuk maksimal 26,7oC.

Pada proses fermentasi, bubuk teh dimasukkan ke dalam baki fermentasi dengan tebal hamparan 5-7 cm. Baki disusun pada rak fermentasi dan dibawa ke area fermentasi yang menyatu dengan ruang giling. Agar proses fermentasi berjalan dengan baik, maka suhu ruangan biasanya diusahakan agar tidak >25oC dan kelembaban udara antara 90-98%. Apabila suhu ruangan fermentasi rendah dapat menyebabkan kecepatan oksidasi berjalan lambat, begitu pula sebaliknya. Apabila kelembaban udara <90%, maka bubuk akan menjadi terlalu hitam. Akhir dari proses fermentasi ditandai dengan perubahan warna dan aroma pada bubuk, dari warna hijau daun berubah menjadi coklat kemereh-merahan serta aroma dari berbau langu menjadi seperti buah masak.

5.1.4. Proses Pengeringan Bubuk Teh Hitam

Proses pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air sehingga diperoleh hasil teh yang kering dengan kisaran kadar air 2,5-3%. Pengeringan dilakukan untuk menghentikan proses oksidasi enzimatis sehingga aktivitas senzim polifenol oksidase terhambat karena berkurangnya kadar air. Dengan berkurangnya kadar air maka teh akan memiliki daya simpan yang lama (Temple et al., 2001). Pengeringan dilakukan menggunakan mesin ECP (Endless Chain Pressure). Pada mesin ECP bubuk teh berada di ata stray kemudian dialirkan udara panas yang arahnya berlawanan dengan arah bubuk (counter flow). Bubuk teh pada tray akan berjalan secara horizontal dan saat di

ujung penggerak, bubuk teh yang tadinya berada di atas akan jatuh ke bawah, begitu seterusnya hingga bubuk teh kering keluar dari mesin (Setyarini & Juju, 2011).

Keunggulan pengering tipe ECP yaitu kontak bahan dengan udara panas lebih luas, laju perpindahan panas dan massa lebih besar. Di samping itu, kapasitas pengeringan juga besar sertaseragamnya hamparan sehingga peristiwa case hardening pada teh jarang terjadi, dan gesekan antar partikel teh relatif kecil (Setiawan, 2010). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengeringan yaitu suhu pengeringan, lama proses pengeringan, volume udara, kecepatan aliran udara dan kelembaban udara.

- Suhu Pengeringan

Suhu termasuk faktor terpenting yang harus diperhatikan dalam pengeringan. Apabila suhu masak terlalu tinggi dapat menyebabkan kadar sari teh rendah dan teh menjadi overfired. Sedangkan apabila suhu terlalu rendah dapat mengakibatkan bubuk teh tidak dapat kering sempurna yang nantinya bubuk teh masih berkadar air tinggi sehingga bubuk teh mudah ditumbuhi jamur serta dapat menyebabkan oksidasi enzimatis berlanjut pada bubuk teh yang telah dikeringkan. Suhu inlet dan suhu outlet yang tepat yaitu 90-100oC dan 50-55oC.

- Lama Proses Pengeringan

Waktu pengeringan disesuaikan hingga bubuk teh mencapai kadar air yang diinginkan, namun dipengaruhi juga dengan umur dan keadaan mesin pengering. Di PT. PN IX Kebun Kaligua terdapat tiga mesin pengering ECP. Umumnya, lama pengeringan berlangsung antara 21-22 menit untuk mesin yang masih baru atau keadaannya masih bagus. Namun, dari ketiga mesin di pabrik terdapat 1 (satu) mesin yang berumuran sudah tua (sudah ada saat pabrik pertama dibuka) sehingga proses pengaringan dapat berlangsung hingga 34 menit dan itu hanya digunakan untuk mengeringkan kawul. Apabila waktu pengeringan terlalu lama dapat menyebabkan bubuk teh cepat rapuh dan bisa gosong. Sedangkan waktu pengeringan yang terlalu cepat dapat menyebabkan bubuk teh tidak cukup kering sehingga tidak dapat mencapai kadar air yang diinginkan. Penetapan waktu tidak menggunakan sampling melainkan

58

keadaan mesin dan kemampuan mandor pengering dalam melihat hasil bubuk yang telah dikeringkan.

- Volume Udara

Volume udara untuk pengeringan tergantung pada dua faktor, yakni kelembaban dan suhu yang dipilih. Jika volume udara berada di bawah kebutuhan normal, suhu harus ditingkatkan untuk menghasilkan jumlah panas yang sama. Karena partkel teh pada tahap awal proses pengeringan adalah basah, aliran udara di ujung pemasukan harus lebih besar daripada ujung pengeluaran.

- Ketebalan Hamparan Bubuk Teh

Ketebalan bubuk teh dalam trays harus tepat agar tidak gosong saat pengering dan agar matangnya merata. Ketebalan bubuk dapat diatur dengan spider yang merupakan alat pengatur ketebalan hamparan bubuk teh. Spider diatur maksimal 14 drat sehingga ketebalan bubuk teh pada tray sekitar ±1 cm, agar kadar air tidak lebih dari 3%. Pengaturan ketebalan bertujuan agar proses pematangan bubuk teh menjadi lebih tepat, tidak gosong dan matangnya merata. Tingkat ketebalan bubuk teh pada mesin tergantung pada bubuk yang akan dikeringkan. Tingkat ketebalan bubuk I, II, III dan IV lebih rendah dibandingkan badag karena badag lebih cepat matang dan mudah kering sehingga dilakukan pertebalan bubuk agar tidak gosong dan keringnya merata.

- Kelembaban Udara

Kelembaban udara akan menentukan kadar air bubuk teh kering. Bubuk teh yang telah dikeringkan bersifat higroskopis yang dapat menyerap air dari udara di sekitarnya. Jika udara di sekitar bubuk teh kering tersebut mengandung uap air tinggi atau lembab, maka kecepatan penyerapan uap air oleh bubuk teh tersebut akan semakin cepat. Hampir semua ruang proses pengolahan teh kecuali ruang fermentasi, kelembaban ruangan diatur antara 75-80oC. Untuk menjaga agar kelembapan tetap diantara batasan (75-80oC), maka terdapat humidifyer pada ruang pengeringan.

Pada penerapan di pabrik tidak terlalu memperhatikan kelembaban udara di ruang pengeringan baik musim hujan maupun musim kemarau. Walaupun musim hujan

maupun kemarau, suhu atau kelembaban udara relatif sama karena daerahnya sangat dingin. Selain itu, humidifyer yang ada di ruang pengeringan juga jarang digunakan karena walaupun bubuk teh bersifat higroskopis, namun waktu kontak dengan udara sangat singkat. Bubuk teh yang keluar dari dari mesin pengering langsung dibawa ke hopper sehingga kontak dengan udara luar hanya sebentar. Ada kenaikan kadar air yang dalam rentang tidak terlalu jauh dari standar (2,5-3%) adalah hal yang wajar. Selain itu, untuk bubuk teh yang diekspor ke laur negeri memiliki kadar air 4%, mengingat sifat higroskopis bubuh teh selama proses sortasi kering dan penyimpanan.

5.1.5. Sortasi Kering

Proses sortasi kering adalah kegiatan memisahkan bubuk teh kering menjadi jenis tertentu. Tujuannya adalah mendapatkan ukuran, warna partikel teh kering yang seragam sesuai dengan standar yang diinginkan oleh konsumen. Pada proses sortasi kering, suhu dan kelembaban ruangan perlu diperhatikan sebab ruangan yang terlalu lembab dan bersuhu rendah dapat menyebabkan peningkatan kadar air bubuk teh karena bubuk bersifat menyerap air (higroskopis).

Pada proses sortasi kering, penggunaan crusser (penggerus) bubuk dihindari pada bubuk yang masih berwarna hitam. Sebab bubuk yang dilakukan crusser akan menyebabkan warna menjadi kemerah-merahan. Pada tahap sortasi kering sangat ditekankan pada efisiensi pemisahan jenis, serat, tulang daun, dan kotoran. Efisiensi pemisahan bubuk dari serat, tulang daun, dan kotoran berpengaruh pada kenampakan bubuk teh akhir (Setiawan, 2010). Semua proses sortasi dilakukan oleh mesin, sedangkan karyawan hanya bertugas menuangkan bubuk teh ke dalam mesin sortasi. Terdapat beberapa alat untuk sortasi kering teh hitam antara lain:

- Buble Tray : Memisahkan bubuk halus dan kasar.

- Vibro Blank : Memisahkan bubuk teh dari tulang dan serat teh.

- Indian Sortir : Memisahkan bubuk teh berdasarkan jenisnya sesuai ukuran partikel

masing-masing jenis bubuk teh hitam.

- Winnowing : Memisahkan bubuk teh berdasarkan berat jenisnya dan memisahkan

60

- Vibro Mesh : Merupakan mesin sortasi terakhir yang digunakan untuk

memisahkan bubuk teh yang telah jadi berdasarkan ukuran mesh partikel bubuk teh. Mesin yang digunakan untuk memperkecil (menghancurkan) ukuran partikel bubuk teh yaitu:

- Drug Roll

- Crusser

5.1.6. Hal-Hal Terkait

Menurut jurnal Anjarsari (2016), teh Indonesia dikenal karena memiliki kandungan katekin (antioksidan alami) tertinggi di dunia. Katekin adalah salah satu turunan dari senyawa polifenol yang memiliki khasiat sebagai antioksidan.Faktor yang mempengaruhi kadar katekin adalah varietas dan klon teh, ketinggian tempat,umur daun, serta jenis petikan. Senyawa katekin paling banyak pada teh hijau, namun masih ada pada teh hitam.

Menurut SNI 01-3836-1995, syarat mutu teh hitam yaitu memiliki kadar air maksimal 12%, kadar abu maksimal 7%, kadar abu larut air minimal 50% dari kadar abu, kadar ekstrak dalam air 33%, tanin minimal 5%, tidak ada logam berbahaya, serta memiliki bau, rasa da keadaan yang normal. Tidak dijelaskan berapa kadar katekinnya. Menurut Bambang et al. (1995), teh hitam orthodox mengandung katekin sebanyak 8,24% berat kering. Namun menurut Karori et al. (2007) dalam Anjarsari (2016), secara umum senyawa katekin akan mengalami degradasi selama pengolahan. Pada proses pengolahan jenis teh hitam, memiliki kandungan katekin sebelum pengolahan yaitu 13,76%, dan akan mengalami penurunan menjadi 5,91% setelah pengolahan.

Berdasarkan uraian proses pembuatan teh hitam di PT. PN IX Kebun Kaligua yang terdiri dari pelayuan, penggilingan, fermentasi, pengeringan dan sortasi kering terdapat 2 tahap terpenting yang perlu diperhatikan yaitu tahap fermentasi dan pengeringan. Kedua tahp tersebut sangat penting karena berhubungan langsung terhadap kualitas akhir produk teh hitam. Tahap fermentasi merupakan tahap oksidasi enzimatik, dimana daun teh yang memar akan mengeluarkan cairan yang mengandung enzim. Enzim akan kontak secara bebas dengan udara. Adanya reaksi oksidasi enzimatik berperan dalam

membentukrasa, aroma dan warna produk akhir teh hitam yang disukai konsumen. Menurut florida (2009), pada proses fermentasi, sebagian besar katekin dioksidasi

Dokumen terkait