• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.4. Proses Sosialisasi

George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan melalui tahap-tahap sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan (Prepatory Stage), tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk

memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna.

2. Tahap meniru (Play Stage), tahap ini ditandai dengan sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai terbentuk kesadaran tentang nama diri, nama orang tua, dan nama kakak atau abangnya, dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anaknya. Dengan kata lain, kemampuan untuk menempatkan diri pada posisis orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini. Kesadaran bahwa dunia social manusia berisikan banyak orang mulai terbentuk. Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai. Bagi seorang anak, orang-orang ini disebut orang-orang yang amat berarti.

3. Tahap siap bertindak (Game Stage) peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menetapkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanay kemampuan bermain secara bersama-sama. Anak mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubungannya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya diluar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku diluar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku dikeluarganya.

4. Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized Stage), pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, ia dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya tetapi juga dengan masyarakat luas. Manusia dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama bahkan dengan orang lain yang tidak dikenalnya secara matang. Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.

2.1.5. Agen Sosialisasi

Fuuler dan Jacobs dalam (Kamanto Sunarto 1993:30-35) meengidentifikasikan lima agen sosialisasi utama yaitu keluarga, kelompok bermain, media massa dan sekolah. Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Dalam hal ini yang menjadi agen sosialisasi adalah orangtua difabel yang bekerja sebagai tukang pijat di Kelurahan Sei Sikambing D Medan.

2.1.6 Tipe Sosialisasi

Agar sosialisasi dapat berjalan dengan lancar tertib dan berlangsung terus menerus maka terdapat dua tipe sosialisasi yaitu sosialisasi formal dan sosialisasi informal. Sosialisasi formal adalah sosialisasi yang terbentuk melalui lembaga yang dibentuk oleh pemerintah dan masyarakat yang memiliki tugas khusus dalam mensosialisasikan nilai, norma dan peranan-peranan yang harus dipelajari oleh masyarakat. Artinya adalah sosialisasi formal yang diberikan oleh guru-guru disekolah.

Sosialisasi informal adalah sosialisasi yang terdapat dalam pergaulan sehari-hari yang bersifat kekeluargaan. Artinya sosialisasi yang diberikan oleh keluarga seperti dengan diskusi dan penanaman norma-norma baik yang ada dikeluarga maupun yang ada dimasyarakat. 

(http://sharenexchange.blogspot.com/2010/02/sosialisasi-masyarakat8061.html diakses tanggal 21-02-2011 pukul 09.44)

2.1.7. Pola Sosialisasi

Bronfrenbrenner, Kohn dan Jaeger dalam (Kamanto Sunarto 1993;33) meyebutkan ada dua pola sosialisasi yaitu pola sosialisasi represif dan pola sosialisasi partisipatoris. Sosialisasi represif menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan, menekankan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan. Dalam hal ini yang dimaksud dari pengertian tersebut adalah apabila anak melakukan kesalahan pasti akan mendapat yang hukuman atau ganjaran. Sosialisasi partisipatoris merupakan pola yang didalamnya anak diberi imbalan manakala berperilaku baik, hukuman dan imbalan bersifat simbolik, anak diberi kebebasan, penekanan diletakkan pada interaksi, komunikasi bersifat lisan, anak menjadi pusat sosialisasi, keperluan anak dianggap penting.

2.1.8. Peran dan fungsi Keluarga

Keluarga

Keluarga adalah ikatan yang sedikit banyak berlangsung lama antar suami istri, dengan atau tanpa anak. Sedangkan mnurut Sumner dan Keller merumuskan keluarga sebagaiminiatur dari organisasi social, meliputi sedikitnya dua generasi dan terbentuk secara khusus melalui ikatan darah (Gunarsa,1993:230)

Keluarga merupakan kelompok primer yang paling penting didalam masyarakat. Keluarga merupakan sebuah grup yang terbentuk dari perhubungan antara laki-laki dan perempuan, hubungan ini sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak. Didalam keluarga memiliki sifat-sifat tertentu yang sama, dimana saja dalam satuan masyarakat.

2.1.8.1. Peran Keluarga

Peranan Keluarga

Struktur dalam keluarga dimulai dari ayah dan ibu, kemudian bertambah dengan adanya anggota lain yaitu anak. Dengan demikian, terjadi hubungan segitiga antara orangtua-anak, yang kemudian membentuk suatu hubungan yang berkesinambungan. Peranan keluarga mengasuh membimbing, melindungi, merawat, mendidik anak, menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Orangtua didalam keluarga memiliki peran yang besar dalam menanamkan dasar kepribadian yang ikut menentukan corak dan gambaran kepribadian seseorang setelah dewasa kelak. Peran orangtua merupakan gambaran tentang sikap dan perilaku orangtua dan anak dalam berinteraksi, berkomunikasi selama mengadakan kegiatan pengasuhan (Khairuddin.1997:34) 2.1.8.2. Fungsi- fungsi

UU No. 10 tahun 1992 PP No. 21 tahun 1994

Secara umum fungsi keluarga adalah sebagai berikut:

a. Fungsi keagamaan

• Menerjemahkan agama kedalam tingkah laku hidup sehari-hari kepada seluruh anggota keluarga

• Memberikan contoh konkrit dalam hidup sehari-hari dalam pengalaman dari ajaran agama

• Melengkapi dan menambah proses kegiatan belajar anak tentang keagamaan yang kurang diperolehnya disekolah atau masyarakat

• Membina rasa, sikap dan praktek kehidupan keluarga beragama sebagai fondasi menuju keluarga kecil bahagia sejahtera

b. Fungsi budaya

• Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk meneruskan norma-norma dan budaya masyarakat dan bangsa yang ingin dipertahankan

• Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk menyaring norma dan budaya asing yang tidak sesuai

• Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga yang anggotanya mencari pemecahan masalah dari berbagai pengaruh negatif gobalisasi dunia

• Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga yang anggotanya dapat berperilaku yang baik sesuai dengan norma bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan globalisasi

• Membina budaya keluarga yang sesuai, selaras, dan seimbang dengan budaya masyarakat atau bangsa untuk menjunjung terwujudnya norma keluarga kecil bahagia sejahtera

• Menumbuhkan kembangkan potensi kasih sayang yang telah ada antara anggota keluarga kedalam simbol-simbol nyata secara optimal dan terus menerus • Membina tingkah laku saling menyayangi baik antar anggota keluarga secara kuantitatif dan kualitatif

• Membina praktik kecintaan terhadap kehidupan duniawi dan ukhrowi dalam keluarga secara serasi, selaras dan seimbang

• Membina rasa, sikap, dan praktik hidup keluarga yang mampu memberikan dan menerima kasih sayang sebagai pola hidup ideal menuju keluarga kecil bahagia sejahtera. d. Fungsi perlindungan

• Memenuhi kebutuhan rasa aman anggota keluarga baik dari rasa tidak aman yang timbul dari dalam maupun dari luar keluarga

• Membina keamanan keluarga baik fisik maupun psikis dari berbagai bentuk ancaman dan tantangan yang datang dari luar

• Membina dan menjadikan stabilitas dan keamanan keluarga sebagai modal menuju keluarga kecil bahagia sejahtera

e. Fungsi reproduksi

• Membina kehidupan keluarga sebagai wahana pendidikan reproduksi sehat baik bagi anggota keluarga maupun bagi keluarga sekitarnya

• Memberikan contoh pengamalan kaidah-kaidah pembentukan keluarga dalam usia, pendewasaan keluarga dalam hal usia, pendewasaan fisik maupun mental

• Mengamalkan kaidah-kaidah reproduksi sehat, baik yang berkaitan dengan waktu melahirkan, jarak antara 2 anak dan jumlah ideal anak yang diinginkan dalam keluarga

• Mengembangkan kehidupan reproduksi sehat sebagai modal yang kondusif menuju keluarga kecil sejahtera

f. Fungsi sosialisasi

• Menyadari, merencanakan dan menciptakan lingkungan keluarga sebagai wahana pendidikan dan sosialisasi anak pertama dan utama

• Membina proses pendidikan dan sosialisasi yang terjadi dalam keluarga sehingga tidak saja dapat bermanfaat positif bagi anak, tetapi juga bagi orangtua dalam rangka perkembangan dan kematangan hidup bersama menuju keluarga kecil bahagia sejahtera g. Fungsi ekonomi

• Membina kegiatan dan hasil ekonomi keluarga sebagai modal untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera

• Mengatur waktu sehingga kegiatan orang tua diluar rumah dan perhatiannya terhadap anggota keluarga berjalan secara serasi, selaras dan seimbang

h. Fungsi pelestarian lingkungan

• Membina kesadaran, sikap, dan praktik pelestarian lingkungan intern keluarga • Membina kesadaran, sikap, dan praktik pelestarian lingkungan ekstern keluarga • Membina kesadaran, sikap, dan praktik pelestarian lingkungan yang serasi, selaras dan seimbang antara lingkungan keluarga dengan lingkungan hidup masyarakat sekitarnya. http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=print&sid=704 (diakses tanggal 6 April 2011).

Dari berbagai fungsi di atas ada 3 fungsi pokok keluarga, yaitu :

1. Asih adalah memberikan kasih sayang, perhatian, rasa aman, kehangatan,pada anggota keluarga sehingga memungkinkan mereka tumbuh dan berkembang sesuai usia dan kebutuhannya.

2. Asuh adalah menuju kebutuhan pemeliharaan dan perawatan anak agar kesehatannya selalu terpelihara sehingga memungkinkan menjadi anak-anak sehat baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.

3. Asah adalah memenuhi kebutuhan pendidikan anak, sehingga siap menjadi manusia dewasa yang mandiri dalam mempersiapkan masa depannya.

Peranan dan fungsi keluarga sangat luas, dan uraian mengenai ini sangat bergantung dari sudut orientasi mana dilakukan. Peranan dan fungsi keluarga diantaranya yaitu:

1. Dari sudut biologi, keluarga berfungsi untuk melanjutkan garis keturunan.

2. Dari sudut psikologi perkembangan, keluarga berfungsi untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian sehingga bayi yang kecil menjadi anak yang besar dan berkembang dan dikembangkan seluruh kepribadiannya, sehingga tercapai gambaran kepribadian yang matang, dewasa, dan harmonis.

3. Dari sudut pendidikan, keluarga berfungsi sebagai tempat pendidikan informal, yaitu tempat dimana anak mengembangkan dan dikembangkan kemampuan-kemampuan dasar yang dimiliki, sehingga dapat mencapai dan memaksimalkan potensi dan prestasi yang sesuai dengan kemampuan dasarnya. Dan memperlihatkan perubahan perilaku dalam berbagai aspek seperti yang diharapkan atau direncanakan kedua orang tuanya.

4. Dari sudut sosiologi, keluarga berfungsi sebagai tempat untuk menanamkan aspek social agar dapat menjadi anggota masyarakat yang mampu berinteraksi, bergaul, dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Pada dasarnya tugas pokok dari keluarga adalah:

a. Pemeliharaan fisik setiap anggota keluarganya

b. Pemeliharan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga

c. Pembagian tugas masing-masing anggota keluarga sesuai kedudukan masing-masing. d. Sosialisasi antar anggota keluarga

e. Pengaturan jumlah anggota keluarga f. Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga

g. Penempatan anggota keluarga dalam lingkungan masyarakat h. Membangkitkan semangat dan dorongan para anggotanya

Ciri-ciri Struktur Keluarga Menurut Anderson Carter ciri-ciri struktur keluarga : 1. Terorganisasi : saling berhubungan, saling ketergantungan, antara anggota keluarga.

2. Ada keterbatasan : setiap anggota memiliki kebebasan tetapi mereka juga mempunyai keterbatasan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya masing-masing.

3. Ada perbedaan dan kekhususan : setiap anggota keluarga mempunyai peranan dan fungsinya masing-masing (Goodej,1991:20).

2.1.9. Pola Asuh Orang Tua

Pola asuh adalah perlakuan orang tua dalam rangka berinteraksi dengan anak untuk menanamkan pendidikan, memenuhi kebutuhan , melatih sosialisasi, memberikan perlindungan

dalam kehidupan sehari-hari. Kohn (dalam Taty Krisnawaty 1986:46) menyatakan bahwa pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orangtua meliputi cara orangtua memberikan peraturan-peraturan, hadiah, maupun hukuman, cara orangtua menunjukkan otoritasnya, dan cara orangtua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya.

Tipologi gaya pola asuh Baumrind (1971) mengidentifikasi pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anak-anaknya dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: authoritarian parenting, authoritative parenting, permissive parenting (William.1991:70)

1. Authoritative Parenting (Pola asuh authoritatif/demokrasi)

Kebanyakan orang tua yang menerapkan pola asuh jenis autoritarian ini lebih memilih untuk bertindak rasional dan demokrasi terhadap anak-anaknya. Dalam penerapan pola asuh autoritatif (demokrasi) orang tua lebih banyak memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk melakukan apa pun, seperti belajar, beraktivitas, bermain, dan berkreasi mengikuti keinginan dan kemampuan dari anak-anaknya. Anak-anak bebas bersosialisasi dengan siapa saja yang ada di sekelilingnya, namun masih berada dibawah pengawasan kedua orangtuanya.

Disisi yang lain orang tua menunjukan sikap tegas dan konsisten dengan membuat peraturan dirumah, dan menerapkan disiplin, nilai-nilai dan aturan-aturan yang jelas serta tidak bisa dilanggar. Namun orang tua tetap mau mendengarkan keinginan dan pandangan dan pendapat dari anak-anaknya. Didalam pola pengasuhan demokrasi ini orang tua juga mendidik anak-anaknya untuk tidak meminta secara sesuatu berlebihan, dan tetap memikirkan kondisi dan kesanggupan kedua orangtunya untuk memenuhi permintaan derta keinginannya. Orang tua bernegosiasi dan menghargai hak anak sehingga ikatan kekeluargaan bagaikan hubungan antar

teman yang lebih erat dan akrab. Secara keseluruhan, pendekatan orang tua terhadap anaknya tercipta kehangatan dan mesra.

2. Authoritarian Parenting (Pola asuh otoriter)

Orang tua atau keluarga yang menggunakan metode pengasuhan otoriter ini menganggap bahwa anak adalah hak mutlak yang dimiliki oleh karena itu orang tua cenderung menerapkan standart mutlak pada anaknya. Orang tua menganggap mereka dapat memperlakukan anak-anak dengan sesuka hati. Orang tua selalu dianggap paling benar dan anak-anak-anak-anak salah. Orang tua suka memperlakukan anak secara kasar seperti dengan membentak, berlaku kasar, bahkan tega untuk memukul anak yang dianggap melenceng dari peraturan yang ada dirumah. Meskipun awalnya mungkin hanya untuk menakut-nakuti anak-anak, agar anak-anak tidak berani melawan kedua orangtuanya. Padahal tanpa disadari orang tua yang menerapkan pola asuh ini, anaknya tersebut sebenarnya membantah segala aturan dan perintah yang ditetapkan oleh kedua orangtunya dirumahhnya. Sehingga di masa yang akan datang anak ini akan menentang aturan dan perintah dengan cara kekerasan juga.

Anak-anak yang dididik dengan pola asuh ini kebanyakan menuruti orangtuanya bukan karena rasa hormat, tetapi karena rasa takut akan hukuman yang akan diberikan kepadanya seandainya tidak menuruti, maka biasanya anak akan berdiam diri dan tidak berani untuk berinisiatif dalam melakukan sesuatu. Komunikasi yang tecipta diantara orang tua dan anak lebih bersifat satu arah dimana segalanya ditentukan oleh orang tua tanpa mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat, pikiran dan perasaan anak. Orang tua dengan pola pengasuhan seperti ini cenderung menjaga jarak dengan anaknya, dan jarang untuk mengajak anak berdiskusi tentang hal apa pun. Biasanya orang tua berbicara kasar kepada anak meskipun ingin meminta

bantuan dari anaknya. Tidak ada keramahan dan kelembutan dalam berkomunikasi diantara anggota keluarga. Anak akan menghindar dan menjauh dari orang tuanya ketika harus bertemu didalam suatu kondisi atau suatu ruang, karena anak merasa kaku dan takut bertemu orangtuanya.

Kebanyakan anak yang diasuh dengan pola pengasuuhan otoriter ini cenderung menarik diri secara social, kurang percaya diri, dan berkata dan bertingkah laku kasar. Pola pengasuhan ini sering kali menjadi pola pengasuhan warisanyang secara berulang-ulang diberikan kepada generasi keluarga berikutnya. Karena seseorang cenderung akan menerapkan pola asuh yang sama dirasakannya sebelumnya kepada keturunan berikutnya.

3. Permisive Parenting Style (Pola asuh permisif)

Pola asuh permisif menekankan ekspresi diri dan self regulation anak. Orangtua yang permisif membuat beberapa peraturan dan mengijinkan anak-anaknya untuk memonitor kegiatan mereka sebanyak mungkin. Ketika mereka membuat peraturan biasanya mereka menjelaskan terlebih dahulu, orangtua berdiskusi dahulu dengan anak dan orang tua tidak mau menghukum anak jika melakukan pelanggaran. Maccoby dan Martin (1983) menambahkan tipologi ini karena adanya tingkat tuntutan orangtua dan tanggapan yang ada. Dengan demikian pola asuh permisif terbagi dua jenis yaitu:

a. Pola asuh penyabar b. Dan pola asuh penelantar

a. Pola asuh penyabar

Pola asuh jenis ini bertolak belakang atau kebalikan dari pola pengasuhan otoriter. Orang tua yang mendidik anak dengan cara ini justru memprioritaskan kebutuhan dan kepentingan anak-anak di posisi yang paling utama. Semua haapan dan keinginan anak dipenuhi tanpa bertanya apa alasan, dan tujuan anak menginginkan kemauannya dipenuhi. Selain itu orang tua juga tidak memikirkan apakah dengan memenuhi dan menuruti segala keinginan si anak tersebut akann member manfaat yang baik untuk si anak. Orang tua lebih suka anaknya memperoleh sesuatu dngan cara yang mudah tanpa perlu mempersulit diri si anak.

Didalam pola asuh ini, kasih sayang yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya terlalu berlebihan sehingga akan mencapai suatu tahap dimana orang tua tidak akan tega untuk menegur, atau mengajar anak dengan keras ketika si anak melakukan kesalahan. Karena takut anaknya menjadi sakit hati, sedih, kecewa, nakal, dan memberontak. Didalam pola pengasuhan ini orang tua cenderung bersikap sangat melindungi anak dalam kondisi apa pun, meskipun si anak sebenarnya didalam kondisi yang salah. Bagi orang tua, anak mereka selalu berada pada kondisi yang benar walaupunsebenarnya si anak melakukan kesalahan, sehingga mengakibatkan anak tidak disiplin dan melakukan segala sesuatu dengan sesuka hati.

Orang tua ttidak pernah berfikir bahwa anak yang diperlakukan seperti itu suatu saat nanti akan cenderung menjadi implusive (memerlukan dorongan dari orang lain), akan bersifat manja, kurang mandiri, egois dan mau menang sendiri, tidak percaya diri, sombong, dan lain-lain. Dari segi hubungan dengan dunia luar selain lingkungan keluarga, kebanyakan anak yang datang dari latar belakang dengan pola pengasuhan penyabar menjadi anak yang kurang matang secara sosial. Mereka tidak mau memikirkan perasaan dan hati orang lain karena hanya menuntut pemahaman dan pengertian dari orang lain terhadap diri mereka. Hal yang paling utama, mereka

harus menjadi yang pertama dalam segala-segalanya dengan kata lain selalu tidak memperdulikan orang lain.

Walaupun anak yang dididik dengan pola asuh ini kebanyakan akan cenderung menjadi implusive (memerlukan dorongan dari orang lain), manja, kurang mandiri, egois, mau menang sendiri, kurang percaya diri, sombong, dan masih banyak sisi negative yang timbul akibat pola asuh ini, namun pada kenyataannya banyak juga anak yang menjadi agresif, tidak patuh, dan menentang kedua orang tuanya. Hal ini dikarenakan orang tua tidak mau menegur, memarahi, ketika anak melakukan kesalahan atau tidak disiplin. Biasanya hal sperti mulai kelihatan apabila orang tua sudah mulai bertindak tegas, dan membatasi anak.

b. Pola asuh penelantar

Anak yang diasuh dengan pola ini adalah anak yang kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari oaring tuanya. Orang ttua selalu sibuk bekerja, sehingga lupa atas tanggung jawabnya sebagai ayah atau ibu yang merupakan sosok yang paling penting dalam mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan mental, fisik, dan psikologis anak. Orang tua banyak menghabiskan waktu hanya untuk kepentingan pribadinya, seperti bekerja, berbincang-bincang dengan teman, arisan, belanja, dan lain-lain. Terkdang orang tua yang menganut pola asuh ini akan memberikan uang yang bayak kepada anak agar anak tidak merasa kesepian. Anak dibiarkan tumbuh dan berkembang dengan cara dan kemampuannya sendiri. Dan terkadang di tambah dengan pengalaman-pengalaman yang dilihat dan dirasakan anak dilingkungan sekitarnya tanpa mendapat tuntunan dari kedua orang tuanya. Selain itu tidak jarang juga ditemukan anak yang diterlantarkan oleh orang tuanya ini mendapatkan pendidikan akademik dan pendidikan agama yang menunjang kehidupannya di masa yang akan datang.

Terdapat berbagai macam alasan yang menyebabkan orang tua tega menerapkan pola asuh penelantar ini. Dan salah satu alasannya adalah anak yang ditolak kehadirannya didalam keluarga. Banyak kasus yang terjadi di dalam kehidupan nyata diaman orang tua yang menolak kehadiran anaknya tersebut karena anak adopsi, anak tiri, akan dari hasil perselingkuhan, dan anak yang kurang sempurna, seperti anak cacat fisik, cacat mental, dan cacat psikis. Anak yang tidak mampu uuntuk hidup sendiri dibiarkan terlantar tanpa diperhatikan. Orang tua menganggap bahwa memiliki anak dalam kondisi seperti itu malah memberikan kesusahan dan hanya akan menambah beban dalam hidup mereka.

Selain itu, yang menjadi factor pendukung seseorang menjadi orang tua mengasuh dengan pola ini yaitu factor kemiskinan. Mereka masih belum mampu untuk melakukan pekerjaan lain atau tidak bisa mendapsatkan pekerjaan yang lebih baik karena tidak memiliki pendidikan. Pola asuh penelantar merupakan pola asuh yang beresiko paling tinggi menyebabkan penyimpakan kepribadian dan perilaku anti social.

Dokumen terkait