LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui oleh :
Nama : Berha Meka Hutauruk
NIM : 070901060
Departemen : Sosiologi
Judul : POLA ASUH ORANGTUA DIFABEL TERHADAP ANAK YANG NORMAL
(Studi deskriptif: Pada Keluarga Difabel Yang Bekerja Sebagai Tukang
Pijat di Kelurahan Sei Sikambing D Medan)
Dosen Pembimbing Ketua Departemen
(Dra. Linda Elida, M.Si) (Dra. Lina Sudarwati, M.Si)
NIP. 131967683 NIP. 19660318 198903 2 001
Dekan
(Prof. Dr. Badaruddin, M.Si)
ABSTRAK
Keluarga adalah kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. Secara historis terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan organisasi terbatas, dan mempunyai ukuran yang minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan. Keluarga dapat didefenisikan sebagai suatu kelompok kecil yang disatukan dalam ikatan perkawinan, darah, ataupun adopsi. Merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi, dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan social bagi suami istri, ayah, ibu, putra, putri, yang menganut budaya-budaya yang sama. Dengan demikian keluarga mempunyai system jaringan interaksi yang lebih bersifat hubungan inpersonal, dimana masing-masing anggota keluarga dimungkinkan mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Misalnya antara ayah dan ibu, ibu dan anak, ayah dan anak, maupun antara anak dengan anak. Dan keluarga pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari suatu hubungan seks yang tetap, untuk menyelenggarakan hal-hal yang berkenan dengan keorangtuaan dan pengasuhan anak.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan studi deskriptif. Dalam hal ini data dikumpulkan dengan menggunakan beberapa metode pengumpulan data berupa observasi, wawancara mendalam, dokumentasi, dan penelusuran secara online kemudian data-data dan informasi yang telah diperoleh dari lapangan diinterpretasikan dan dianalisis sehingga mendapatkan kesimpulan.
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur yang teramat dalam Penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus
sang Juruselamat yang selalu memberikan Pertolongan dan Kasih Karunia serta Kekuatan
yang tidak terhitung kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang
berjudul: “POLA ASUH ORANGTUA DIFABEL TERHADAP ANAK YANG NORMAL
(Studi Deskriptif: Pada Keluarga Pasangan Tunanetra Yang Bekerja Sebagai Tukang Pijat di
Kelurahan Sei Sikambing D Medan)
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak keterbatasan, dalam
penyelesaian skripsi ini, penulis juga mengucapkan terima kasih banyak terhadap segala pihak
yang telah membantu dan selalu memberikan dukungan sampai akhirnya skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Kedua orang tua saya Bapak H. Hutauruk dan Mama R. Silalahi dan untuk
abangku Herry Hutauruk S.Kom yang selalu mendoakan, pengorbanan serta
memberikan nasehat kepada saya mulai dari awal perkuliahan sampai pada
penulisan skripsi ini.
2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi.
4. Ibu Linda Elida, S.Sos, M.Si selaku dosen pembimbing yang selalu menyediakan
waktu dan memberikan bimbingan, saran serta sumbangan pemikiran dan ide-ide
5. Seluruh staf pengajar Departemen Sosiologi, Pak Junjungan, Pak Henry, Buk Lina,
Buk Ria, Pak Sismudjito, Pak Rizabuana, Pak Muba, Buk Marhaeni, Buk
Rosmiani, Bang Bisruhanafi, Pak Syahrul Humaidi (statistika), Kak Feny dan Kak
Betti terimakasih penulis ucapkan atas segalanya.
6. Seluruh staf pengajar FISIP USU terimakasih buat semuanya.
7. Kepada seluruh keluarga penulis yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu
terimakasih atas segala doa dan motivasinya.
8. Kepada seluruh staf birokrasi Kelurahan Sei Sikambing D Medan, yang
memberikan izin bagi penulis dalam melakukan penelitian.
9. Kepada seluruh informan yang telah memberikan waktu dan dengan baik
menerima penulis dalam meneliti di Kelurahan Sei Sikambing D Medan.
10. Kepada abang dan kakak senior stambuk 06,05,04,03, terimakasih atas
motivasinya.
11. Kepada teman-teman seperjuangan Departemen Sosiologi Stambuk 2007
Uberallez: Jefri, Martin, Dini, Ester, Lia, Romaito, Putri, Helen, Sari, Leo, Ninda,
Ayu, Neko, Santi, Irna, Evi, Lona, Rini, Mutiara, Suryani, Martogi, Nanda, dan
semuanya teman-teman seperjuangan yang sudah selalu memberikan semangat
buat penulis.
12. Kepada adik-adik Stambuk 2008 Uberallez: Yola, Santi, Robby, Irma, Hesty,
Silky, Virna, Lusi, Lia, Riama, Salmen, Vani, Pipit, Wistin, dan semuanya
adik-adik junior yang sudah memberikan support buat penulis.
13. Kepada Rio Pardamean Purba, S.Sos terimakasih atas doa, dukungan, dan
14. Kepada teman-teman SMA Methodist 1 Medan: Angel, Jesica, Steven, Frans.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih penuh dengan kekurangan
dan jauh dari kesempurnaan yang disebabkan oleh keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki
oleh penulis. Dengan kerendahan hati penulis selalu mengharapkan saran dan kritik yang
sifatnya membangun.
Medan, September 2011
Penulis
(BERTHA MEKA HUTAURUK)
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Persetujuan
Lembar Pengesahan
ABSTRAK ………...………...…………... i
KATA PENGANTAR …...………...………... ii
DAFTAR ISI .………...………..………...…. v
DAFTAR TABEL ..……….………... viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ....………...…...………... 1
1.2. Perumusan Masalah ....………...……... 5
1.3. Tujuan Penelitian ....………...………...…….. 5
1.4. Manfaat Penelitian ....………..………... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka ………...…………...…... 7
2.1.1. Teori Peran (Role Theory) ………...…………... 7
2.1.3. Sosialisasi Primer dan Sosialisasi Sekunder .………....……... 9
2.1.4. Proses Sosialisasi ... 9
2.1.5. Agen Sosialisasi ..………...………... 11
2.1.6. Tipe Sosialisasi ..………...………...…... 11
2.1.7. Pola Sosialisasi .………...……...….... 12
2.1.8. Peran dan Fungsi Keluarga ... 12
2.1.9. Pola Asuh Orangtua ... 19
2.2. Difabel dan Tunanetra ... 24
2.2.1. Klasifikasi Tunanetra ... 26
2.2.2. Faktor Penyebab Tunanetra ... 29
2.3. Defenisi Konsep ... 30
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ………...………...……... 31
3.2. Lokasi Penelitian ………...…...…... 31
3.3. Unit Analisis dan Informan ………...…...…...…... 32
3.4. Teknik Pengumpulan Data ………...……...…... 33
3.6. Jadwal Penelitian ...………...…………. 36
BAB IV DESKRIPSI WILAYAH DAN PROFIL INFORMAN
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ………...………...……….... 37
4.1.1. Lokasi dan Keadaan Penduduk ...…………...…... 37
4.2. Data Pribadi Informan ...………...……….…………... 42
4.2.1. Profil Keluarga Dengan Orangtua Difabel Yang Bekerja Sebagai Tukang
Pijat ... 42
4.3. Interpretasi Data ……… ………...……... 54
4.3.1. Karakteristik Orangtua Difabel dan Pengaruhnya Atas Pola
Asuh Terhadap Anak Yang Normal …...…...…………... 54
4.3.2. Tingkat Pendidikan Orangtua Difabel Serta Pengaruhnya Terhadap Pola
Asuh Yang diberikan Kepada Anak …...………... 58
4.3.3. Latar Belakang Budaya Orangtua Difabel Serta Pengaruhnya Terhadap Pola
Asuh Yang diberikan Kepada Anak ... 61
4.3.4. Pola Asuh Didalam Keluarga Difabel ... 63
4.3.5. Peran Yang Dilakukan Orangtua Difabel Tukang Pijat ... 74
4.3.6. Fungsi Keluarga Oleh Orangtua Difabel Terhadap Anak Yang Normal ... 77
4.3.8. Perilaku Anak Yang Norma ... 83
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 85
5.2. Saran ... 87
DAFTAR PUSTAKA ... 88
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jadwal Penelitian ... 36
Tabel 2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 38
Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan ... 39
Tabel 4. Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasakan Jenis Kelamin ... 40
Tabel 5. Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasarkan Agama ... 41
Table 6. Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasarkan Etnis ... 41
ABSTRAK
Keluarga adalah kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. Secara historis terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan organisasi terbatas, dan mempunyai ukuran yang minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan. Keluarga dapat didefenisikan sebagai suatu kelompok kecil yang disatukan dalam ikatan perkawinan, darah, ataupun adopsi. Merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi, dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan social bagi suami istri, ayah, ibu, putra, putri, yang menganut budaya-budaya yang sama. Dengan demikian keluarga mempunyai system jaringan interaksi yang lebih bersifat hubungan inpersonal, dimana masing-masing anggota keluarga dimungkinkan mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Misalnya antara ayah dan ibu, ibu dan anak, ayah dan anak, maupun antara anak dengan anak. Dan keluarga pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari suatu hubungan seks yang tetap, untuk menyelenggarakan hal-hal yang berkenan dengan keorangtuaan dan pengasuhan anak.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan studi deskriptif. Dalam hal ini data dikumpulkan dengan menggunakan beberapa metode pengumpulan data berupa observasi, wawancara mendalam, dokumentasi, dan penelusuran secara online kemudian data-data dan informasi yang telah diperoleh dari lapangan diinterpretasikan dan dianalisis sehingga mendapatkan kesimpulan.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 . Latar Belakang Masalah
Keluarga adalah kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. Secara historis
terbentuk paling dari satuan yang merupakan organisasi terbatas, dan mempunyai ukuran yang
minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan. Keluarga dapat
didefenisikan sebagai suatu kelompok kecil yang disatukan dalam ikatan perkawinan, darah,
ataupun adopsi. Merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi, dan berkomunikasi satu
sama lain yang menimbulkan peranan-peranan social bagi suami istri, ayah, ibu, putra, putri,
yang menganut budaya-budaya yang sama.
Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan seorang anak, tempat belajar
segala sesuatu dan menyatakan diri sebagai mahluk sosial. Keluarga memiliki peran penting
dalam pembentukan kepribadian seseorang. Dalam keluarga umumnya anak dan orang tua
memiliki hubungan interaksi yang intim. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah
laku, watak, moral dan pendidikan anak (Kartono, 1995:25).
Orang tua mempunyai berbagai macam fungsi seperti mengasuh, membimbing,
memelihara dan mendidik anak-anaknya. Setiap orang tua pasti menginginkan anak-anaknya
menjadi manusia yang pandai, cerdas, berakhlak dan berguna bagi semua orang. Akan tetapi
banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa cara mereka mendidik membuat anak merasa
tidak diperhatikan, dibatasi kebebasannya, bahkan ada yang merasa tidak disayangi oleh orang
tuanya. Perasaan tersebut yang banyak mempengaruhi sikap, perasaan, cara berpikir bahkan
Mendidik anak dengan baik dan benar berarti menumbuhkembangkan totalitas potensi
anak secara wajar. Potensi jasmaniah anak diupayakan pertumbuhannya secara wajar melalui
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmani, seperti pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan
papan. Sedangkan potensi rohaniah anak diupayakan pengembangannya secara wajar melalui
usaha pembinaan intelektual, perasaan dan budi pekerti.
Peran keluarga juga turut mempengaruhi terhadap pendewasaan seorang anggotanya. Hal
ini sesuai dengan fungsi keluarga batih dalam didalam masyarakat. Keluarga batih merupakan
kelompok dimana individu dapat menikmati bantuan utama dari sesamanya serta keamanan
dalam hidup. Disisi lain, keluarga merupakan jembatan antara individu dengan kebudayaannya.
Melalui keluarga, anak belajar mengenal nilai-nilai, peran sosial, norma-norma serta adat istiadat
yang ditanamkan oleh orang tua. Praktik-praktik pengasuhan anak ini akan erat hubungannnya
dengan kepribadian anak setelah menjadi dewasa. Hal ini karena ciri-ciri dan unsur watak
seorang individu dewasa sebenarnya sudah diletakkan benih-benihnya ke dalam jiwa individu
sejak awal, dari masih kanak-kanak. Watak juga ditentukan oeh cara-cara dia sewaktu kecil
diajarkan makan, kebersihan, disiplin, main, dan bergaul dengan anak-anak lainnya.
Pembentukan watak dan kepribadian ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain, misalnya
keadaan ekonomi keluarga dan masyarakat setempat, lingkungan budaya yang berupa
aturan-aturan, norma-norma, serta adat istiadat yang diwariskan secara turun menurun. Sehingga
warisan ini memegang peranan yang sangat penting didalam membentuk tingkah laku.
Sosialisasi adalah cara yang pertama dilakukan orangtua dalam mendidik anak-anaknya.
Istilah sosialisasi sebagai suatu konsep telah banyak didefinisikan oleh para ahli. Broom (1981)
dalam Rohidi (1984) mengungkapkan pemikiran sosialisasi dari dua titik pandang yaitu
penyelarasan individu-individu baru anggota masyarakat ke dalam pandangan hidup yang
terorganisasi dan mengajarkan mereka tradisi-tradisi budaya masyarakatnya. Dengan kata lain
sosialisasi adalah tindakan mengubah kondisi manusia dari human-animal menjadi human-being
untuk menjadi mahluk sosial dan anggota masyarakat sesuai dengan kebudayaannya.
Makna individual dari sosialisasi adalah merupakan suatu proses mengembangkan diri..
Sosialisasi memiliki fungsi untk mengembangkan komitmen-komitmen dan kapsitas-kapasitas
yang menjadi prasyarat utama bagi penampilan peranan mereka di masa depan. Komitmen yang
perlu dikembangkan ialah mengimplementasikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat untuk
menampilkan suatu peranan tertentu yang khusus dan spesifik dalam struktur masyarakat.
Sementara kapasistas yang perlu dikembangkan dalam kemampuan atau keterampilan untuk
menunjukkan kewajiban-kewajiban yang melekat dalam peran-peran yang dimiliki oleh individu
yang bersangkutan dan kemampuan untuk hidup dengan orang lain yang memiliki
harapan-harapan untuk saling menyesuaikan perilaku antara pribadi sesuai dengan peran-peran yang
dimiliki.
Untuk menghasilkan karakter, kepribadian, dan akhlak anak maka diharapkan
menggunakan cara sosialisasi yang baik. Karena sosialisasi merupakan proses belajar
kebudayaan di dalam suatu system sosial tertentu. Sistem sosial berisikan berbagai kedudukan
dan peranan yang terkait dengan suatu masyarakat dengan kebudayaannya. Dalam tingkat system
sosial sosialisasi merupakan proses belajar mengenai nilai dan aturan untuk bertindak dan
berinteraksi seorang individu dengan berbagai individu di sekitarnya dari masa kanak-kanak
Didalam sosialisasi terdapat interaksi sosial. Interaksi sosial menurut Bonner ( Ali
2004:66) merupakan suatu hubungan antara dua orang atau lebih individu, dimana tindakan
seorang individu mempengaruhi perasaan, pikiran dan atau tindakan individu lain atau
sebaliknya. Interaksi akan terjadi jika ada respon dari orang lain atas tindakan kita kepada orang
lain. Melalui interaksi dengan orang lain, seseorang memperoleh identitas, mengembangkan
nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi. Artinya sosialisasi diperlukan sebagai sarana untuk
menumbuhkan kesadaran diri. Bagi individu sosialisasi memiliki fungsi sebagai pengalihan
sosial dan penciptaan kepribadian
Namun dalam kenyataannya tidak semua manusia yang ada didunia terlahir sebagai
manusia normal. Ada manusia yang sejak lahir mengalami kecacatan atau pada masa
pertumbugan mengalami kecacatan atau ketunaan secara fisik. Ketidaksempurnaan ini dapat
menjadi masalah bagi orang-orang yang mengalaminya. Terutama individu yang sudah menjadi
orangtua. Didalam keluarga yang memiliki orang tua difabel (memiliki kemampuan berbeda)
dalam hal ini adalah penyandang cacat tunanetra akan memiliki cara atau metode yang berbeda
dalam mendidik anak-anaknya, hal ini dikarenakan kekurangan fisik yang dimilikinya. Cara atau
metode yang digunakan dalam mendidik dan membina anak sangat berpengaruh pada diri anak.
Orang tua yang mengalami kemampuan yang berbeda atau difabel juga akan mendidik dan
membina anak-anaknya agar menjadi individu yang baik di kemudian hari.
Keterbatasan orang tua yang difabel dalam hal ini penyandang cacat tuna netra tersebut
menimbulkan keingintahuan saya untuk mengetahui apakah mereka kesulitan atau ktidak dalam
memberikan pola asuh kepada anak-anaknya, terutama yang menjadi bahan penelitian adalah
keluarga tunanetra yang bekerja sebagai tukang pijat. Maka sebab itu peneliti tertarik dan ingin
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana pola asuh orang tua difabel terhadap anak yang normal?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun yang diharapkan menjadi tujuan penelitian ini adalah:
Untuk mengetahui dan mendapatkan gambaran yang jelas mengenai pola asuh orang tua
yang difabel dalam hal ini adalah penyandang cacat tunanetra terhadap anak yang normal di
Kelurahan Sei Sikambing D.
1.4.Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat Teoritis
Diharapkan dari penelitian ini dapat memberi informasi dan sumbangan kepada
peneliti lain sebagai bahan perbandingan referensi dalam meneliti masalah yang mirip
dengan peneliitian ini terutama dalam bidang ilmu Sosiologi, khususnya pada
spesialisasi Sosiologi Keluarga.
1.4.2 Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis penelitian ini adalah:
1. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan member pandangan mengenai pola
asuh anak dan pemenuhan sosialisasi yang diberikan kepada anak yang
normal oleh orangtua yang difabel yang bekerja sebagai tukang pijat di
2. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat memperoleh pemahaman
yang baik mengenai pola pengasuhan anak normal oleh orangtua yang difabel
yang bekerja sebagai tukang pijat di Kelurahan Sei Sikambing D Medan.
3. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat melihat tipe pola asuh yang
dilakukan oleh orangtua yang difabel.
4. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat melihat fungsi perlindungan,
fungsi afeksi, dan fungsi sosialisasi yang dilakukan oleh orangtua yang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1. Teori Peran
Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam terminology aktor-aktor yang
bermain sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini,
harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk berperilaku dalam
kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya
sebagai pengacara, dokter, guru, orangtua, anak, wanita, pria, dan lain sebagainya, diharapkan
agar seorang tersebut berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Mengapa seseorang mengobati
orang lain, karena dia adalah seorang dokter. Jadi karena statusnya adalah dokter aka ia harus
mengobati orang sakit yang datang kepadanya. Perilaku ditentukan oleh peran social, kemudian
sosiolog yang bernama Glen Elder (1975) membantu memperluas penggunaan teori peran.
Pendekatannya dinamakan “life-course” memaknakan bahwa setiap masyarakat mempunyai
harapan kepada setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan
kategori-kategori usia yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Contohnya, sebagaian besar warga
masyarakat Negara kita Indonesia akan menjadi murid sekolah ketika berusia lima atau enam
tahun, menjadi peserta pemilu pada usia tujuh belas tahun, bekerja usia dua puluh tahun, dan
pension usia lima puluh lima tahun. Urutan tadi dinamakan tahapan usia “age grading:.
Dalam masyarakat kontemporer kehidupan dibagi kedalam empat tahap, yaitu tahapa
2.1.2. Sosialisasi
Broom (1981) dalam Rohidi (1984) mengungkapkan pemikiran sosialisasi dari dua titik
pandang yaitu masyarakat dan individual (Kamanto Sunarto 1993:27). Sosialisasi menurut sudut
pandang masyarakat adalah proses penanaman atau tranfer individu-individu baru anggota
masyarakat ke dalam pandangan hidup yang terorganisasi dan mengajarkan mereka tradisi-tradisi
budaya masyarakatnya. Dengan kata lain sosialisasi adalah tindakan mengubah kondisi manusia
dari human-animal menjadi human-being untuk menjadi mahluk sosial dan anggota masyarakat
sesuai dengan kebudayaannya. Sedang arti individual, sosialisasi merupakan suatu proses
mengembangkan diri. Melalui interaksi dengan orang lain, seseorang memperoleh identitas,
mengembangkan nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi. Artinya sosialisasi diperlukan sebagai sarana
untuk menumbuhkan kesadaran diri. Bagi individu sosialisasi memiliki fungsi sebagai
pengalihan sosial dan penciptaan kepribadian.
Sosialisasi memiliki fungsi untk mengembangkan komitmen-komitmen dan
kapsitas-kapasitas yang menjadi prasyarat utama bagi penampilan peranan mereka di masa depan.
Komitmen yang perlu dikembangkan ialah mengimplementasikan nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat untuk menampilkan suatu peranan tertentu yang khusus dan spesifik dalam struktur
masyarakat. Kemudian Berger mendefenisikan sosialisasi sebagai “a process by which a child
learns to be a participant member of society” proses melalui dimana seorang anak belajar
menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat (Kamanto Sunarto 1993:27).
Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory), karena
dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu. Berdasarkan
jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua yaitu: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi
2.1.3. Sosialisasi Primer dan Sosialisasi Sekunder
Sosialisasi primer didefenisikan Peter.L.Berger dan Luckman sebagai sosialisasi pertama
yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga).
Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk sekolah.
Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mampu
membedakan dirinya dengan orang lain disekitar keluarganya. Dalam tahap ini, orang-orang
yang terdekat menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi bersama
orang terdekat dengannya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna
kepribadian dan interaksi yang terjadi anatar anak dengan anggota keluarga terdekatnya.
Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan
sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). (Kamanto Sunarto, 1993:23).
Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer
yang memperkenalkan individu kedalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu
bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi
suatu identitas diri yang baru, sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami
pencabutan identitas diri yang lama . (Kamanto Sunarto, 1993:31).
2.1.4. Proses Sosialisasi
George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat
dibedakan melalui tahap-tahap sebagai berikut:
1. Tahap Persiapan (Prepatory Stage), tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat
memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan
kegiatan meniru meski tidak sempurna.
2. Tahap meniru (Play Stage), tahap ini ditandai dengan sempurnanya seorang anak
menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai
terbentuk kesadaran tentang nama diri, nama orang tua, dan nama kakak atau abangnya,
dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang dilakukan seorang ibu dan apa
yang diharapkan seorang ibu dari anaknya. Dengan kata lain, kemampuan untuk
menempatkan diri pada posisis orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini. Kesadaran
bahwa dunia social manusia berisikan banyak orang mulai terbentuk. Sebagian dari orang
tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi pembentukan dan
bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai. Bagi seorang anak,
orang-orang ini disebut orang-orang yang amat berarti.
3. Tahap siap bertindak (Game Stage) peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan
digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran.
Kemampuannya menetapkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga
memungkinkan adanay kemampuan bermain secara bersama-sama. Anak mulai
menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan
teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubungannya semakin
kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya diluar rumah.
Peraturan-peraturan yang berlaku diluar keluarganya secara bertahap juga mulai
dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang
4. Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized Stage), pada tahap ini seseorang telah
dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara
luas. Dengan kata lain, ia dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang
berinteraksi dengannya tetapi juga dengan masyarakat luas. Manusia dewasa menyadari
pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama bahkan dengan orang lain yang tidak
dikenalnya secara matang. Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini telah
menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.
2.1.5. Agen Sosialisasi
Fuuler dan Jacobs dalam (Kamanto Sunarto 1993:30-35) meengidentifikasikan lima agen
sosialisasi utama yaitu keluarga, kelompok bermain, media massa dan sekolah. Agen sosialisasi
adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Dalam hal ini yang menjadi
agen sosialisasi adalah orangtua difabel yang bekerja sebagai tukang pijat di Kelurahan Sei
Sikambing D Medan.
2.1.6 Tipe Sosialisasi
Agar sosialisasi dapat berjalan dengan lancar tertib dan berlangsung terus menerus maka
terdapat dua tipe sosialisasi yaitu sosialisasi formal dan sosialisasi informal. Sosialisasi formal
adalah sosialisasi yang terbentuk melalui lembaga yang dibentuk oleh pemerintah dan
masyarakat yang memiliki tugas khusus dalam mensosialisasikan nilai, norma dan
peranan-peranan yang harus dipelajari oleh masyarakat. Artinya adalah sosialisasi formal yang diberikan
Sosialisasi informal adalah sosialisasi yang terdapat dalam pergaulan sehari-hari yang
bersifat kekeluargaan. Artinya sosialisasi yang diberikan oleh keluarga seperti dengan diskusi
dan penanaman norma-norma baik yang ada dikeluarga maupun yang ada dimasyarakat.
(http://sharenexchange.blogspot.com/2010/02/sosialisasi-masyarakat8061.html diakses tanggal
21-02-2011 pukul 09.44)
2.1.7. Pola Sosialisasi
Bronfrenbrenner, Kohn dan Jaeger dalam (Kamanto Sunarto 1993;33) meyebutkan ada
dua pola sosialisasi yaitu pola sosialisasi represif dan pola sosialisasi partisipatoris. Sosialisasi
represif menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan, menekankan pada
penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan. Dalam hal ini yang dimaksud dari pengertian
tersebut adalah apabila anak melakukan kesalahan pasti akan mendapat yang hukuman atau
ganjaran. Sosialisasi partisipatoris merupakan pola yang didalamnya anak diberi imbalan
manakala berperilaku baik, hukuman dan imbalan bersifat simbolik, anak diberi kebebasan,
penekanan diletakkan pada interaksi, komunikasi bersifat lisan, anak menjadi pusat sosialisasi,
keperluan anak dianggap penting.
2.1.8. Peran dan fungsi Keluarga
Keluarga
Keluarga adalah ikatan yang sedikit banyak berlangsung lama antar suami istri, dengan
atau tanpa anak. Sedangkan mnurut Sumner dan Keller merumuskan keluarga sebagaiminiatur
dari organisasi social, meliputi sedikitnya dua generasi dan terbentuk secara khusus melalui
Keluarga merupakan kelompok primer yang paling penting didalam masyarakat.
Keluarga merupakan sebuah grup yang terbentuk dari perhubungan antara laki-laki dan
perempuan, hubungan ini sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan
anak-anak. Didalam keluarga memiliki sifat-sifat tertentu yang sama, dimana saja dalam satuan
masyarakat.
2.1.8.1. Peran Keluarga
Peranan Keluarga
Struktur dalam keluarga dimulai dari ayah dan ibu, kemudian bertambah dengan adanya
anggota lain yaitu anak. Dengan demikian, terjadi hubungan segitiga antara orangtua-anak, yang
kemudian membentuk suatu hubungan yang berkesinambungan. Peranan keluarga mengasuh
membimbing, melindungi, merawat, mendidik anak, menggambarkan seperangkat perilaku
interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi
tertentu. Orangtua didalam keluarga memiliki peran yang besar dalam menanamkan dasar
kepribadian yang ikut menentukan corak dan gambaran kepribadian seseorang setelah dewasa
kelak. Peran orangtua merupakan gambaran tentang sikap dan perilaku orangtua dan anak dalam
berinteraksi, berkomunikasi selama mengadakan kegiatan pengasuhan (Khairuddin.1997:34)
2.1.8.2. Fungsi- fungsi
UU No. 10 tahun 1992 PP No. 21 tahun 1994
Secara umum fungsi keluarga adalah sebagai berikut:
a. Fungsi keagamaan
• Menerjemahkan agama kedalam tingkah laku hidup sehari-hari kepada seluruh anggota
keluarga
• Memberikan contoh konkrit dalam hidup sehari-hari dalam pengalaman dari ajaran
agama
• Melengkapi dan menambah proses kegiatan belajar anak tentang keagamaan yang
kurang diperolehnya disekolah atau masyarakat
• Membina rasa, sikap dan praktek kehidupan keluarga beragama sebagai fondasi menuju
keluarga kecil bahagia sejahtera
b. Fungsi budaya
• Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk meneruskan norma-norma dan
budaya masyarakat dan bangsa yang ingin dipertahankan
• Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk menyaring norma dan budaya
asing yang tidak sesuai
• Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga yang anggotanya mencari pemecahan
masalah dari berbagai pengaruh negatif gobalisasi dunia
• Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga yang anggotanya dapat berperilaku
yang baik sesuai dengan norma bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan
globalisasi
• Membina budaya keluarga yang sesuai, selaras, dan seimbang dengan budaya
masyarakat atau bangsa untuk menjunjung terwujudnya norma keluarga kecil bahagia
sejahtera
• Menumbuhkan kembangkan potensi kasih sayang yang telah ada antara anggota
keluarga kedalam simbol-simbol nyata secara optimal dan terus menerus
• Membina tingkah laku saling menyayangi baik antar anggota keluarga secara kuantitatif
dan kualitatif
• Membina praktik kecintaan terhadap kehidupan duniawi dan ukhrowi dalam keluarga
secara serasi, selaras dan seimbang
• Membina rasa, sikap, dan praktik hidup keluarga yang mampu memberikan dan
menerima kasih sayang sebagai pola hidup ideal menuju keluarga kecil bahagia sejahtera.
d. Fungsi perlindungan
• Memenuhi kebutuhan rasa aman anggota keluarga baik dari rasa tidak aman yang
timbul dari dalam maupun dari luar keluarga
• Membina keamanan keluarga baik fisik maupun psikis dari berbagai bentuk ancaman
dan tantangan yang datang dari luar
• Membina dan menjadikan stabilitas dan keamanan keluarga sebagai modal menuju
keluarga kecil bahagia sejahtera
e. Fungsi reproduksi
• Membina kehidupan keluarga sebagai wahana pendidikan reproduksi sehat baik bagi
anggota keluarga maupun bagi keluarga sekitarnya
• Memberikan contoh pengamalan kaidah-kaidah pembentukan keluarga dalam usia,
pendewasaan keluarga dalam hal usia, pendewasaan fisik maupun mental
• Mengamalkan kaidah-kaidah reproduksi sehat, baik yang berkaitan dengan waktu
• Mengembangkan kehidupan reproduksi sehat sebagai modal yang kondusif menuju
keluarga kecil sejahtera
f. Fungsi sosialisasi
• Menyadari, merencanakan dan menciptakan lingkungan keluarga sebagai wahana
pendidikan dan sosialisasi anak pertama dan utama
• Membina proses pendidikan dan sosialisasi yang terjadi dalam keluarga sehingga tidak
saja dapat bermanfaat positif bagi anak, tetapi juga bagi orangtua dalam rangka
perkembangan dan kematangan hidup bersama menuju keluarga kecil bahagia sejahtera
g. Fungsi ekonomi
• Membina kegiatan dan hasil ekonomi keluarga sebagai modal untuk mewujudkan
keluarga kecil bahagia dan sejahtera
• Mengatur waktu sehingga kegiatan orang tua diluar rumah dan perhatiannya terhadap
anggota keluarga berjalan secara serasi, selaras dan seimbang
h. Fungsi pelestarian lingkungan
• Membina kesadaran, sikap, dan praktik pelestarian lingkungan intern keluarga
• Membina kesadaran, sikap, dan praktik pelestarian lingkungan ekstern keluarga
• Membina kesadaran, sikap, dan praktik pelestarian lingkungan yang serasi, selaras dan
seimbang antara lingkungan keluarga dengan lingkungan hidup masyarakat sekitarnya.
http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=print&sid=704 (diakses tanggal
Dari berbagai fungsi di atas ada 3 fungsi pokok keluarga, yaitu :
1. Asih adalah memberikan kasih sayang, perhatian, rasa aman, kehangatan,pada anggota
keluarga sehingga memungkinkan mereka tumbuh dan berkembang sesuai usia dan
kebutuhannya.
2. Asuh adalah menuju kebutuhan pemeliharaan dan perawatan anak agar kesehatannya
selalu terpelihara sehingga memungkinkan menjadi anak-anak sehat baik fisik, mental,
sosial, dan spiritual.
3. Asah adalah memenuhi kebutuhan pendidikan anak, sehingga siap menjadi manusia
dewasa yang mandiri dalam mempersiapkan masa depannya.
Peranan dan fungsi keluarga sangat luas, dan uraian mengenai ini sangat bergantung dari
sudut orientasi mana dilakukan. Peranan dan fungsi keluarga diantaranya yaitu:
1. Dari sudut biologi, keluarga berfungsi untuk melanjutkan garis keturunan.
2. Dari sudut psikologi perkembangan, keluarga berfungsi untuk mengembangkan seluruh
aspek kepribadian sehingga bayi yang kecil menjadi anak yang besar dan berkembang
dan dikembangkan seluruh kepribadiannya, sehingga tercapai gambaran kepribadian
yang matang, dewasa, dan harmonis.
3. Dari sudut pendidikan, keluarga berfungsi sebagai tempat pendidikan informal, yaitu
tempat dimana anak mengembangkan dan dikembangkan kemampuan-kemampuan dasar
yang dimiliki, sehingga dapat mencapai dan memaksimalkan potensi dan prestasi yang
sesuai dengan kemampuan dasarnya. Dan memperlihatkan perubahan perilaku dalam
4. Dari sudut sosiologi, keluarga berfungsi sebagai tempat untuk menanamkan aspek social
agar dapat menjadi anggota masyarakat yang mampu berinteraksi, bergaul, dan
menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Pada dasarnya tugas pokok dari keluarga adalah:
a. Pemeliharaan fisik setiap anggota keluarganya
b. Pemeliharan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga
c. Pembagian tugas masing-masing anggota keluarga sesuai kedudukan masing-masing.
d. Sosialisasi antar anggota keluarga
e. Pengaturan jumlah anggota keluarga
f. Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga
g. Penempatan anggota keluarga dalam lingkungan masyarakat
h. Membangkitkan semangat dan dorongan para anggotanya
Ciri-ciri Struktur Keluarga Menurut Anderson Carter ciri-ciri struktur keluarga :
1. Terorganisasi : saling berhubungan, saling ketergantungan, antara anggota keluarga.
2. Ada keterbatasan : setiap anggota memiliki kebebasan tetapi mereka juga mempunyai
keterbatasan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya masing-masing.
3. Ada perbedaan dan kekhususan : setiap anggota keluarga mempunyai peranan dan fungsinya
masing-masing (Goodej,1991:20).
2.1.9. Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh adalah perlakuan orang tua dalam rangka berinteraksi dengan anak untuk
dalam kehidupan sehari-hari. Kohn (dalam Taty Krisnawaty 1986:46) menyatakan bahwa pola
asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orangtua
meliputi cara orangtua memberikan peraturan-peraturan, hadiah, maupun hukuman, cara
orangtua menunjukkan otoritasnya, dan cara orangtua memberikan perhatian serta tanggapan
terhadap anaknya.
Tipologi gaya pola asuh Baumrind (1971) mengidentifikasi pola asuh yang diterapkan
orang tua kepada anak-anaknya dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: authoritarian parenting,
authoritative parenting, permissive parenting (William.1991:70)
1. Authoritative Parenting (Pola asuh authoritatif/demokrasi)
Kebanyakan orang tua yang menerapkan pola asuh jenis autoritarian ini lebih memilih
untuk bertindak rasional dan demokrasi terhadap anak-anaknya. Dalam penerapan pola asuh
autoritatif (demokrasi) orang tua lebih banyak memberikan kebebasan kepada anak-anaknya
untuk melakukan apa pun, seperti belajar, beraktivitas, bermain, dan berkreasi mengikuti
keinginan dan kemampuan dari anak-anaknya. Anak-anak bebas bersosialisasi dengan siapa saja
yang ada di sekelilingnya, namun masih berada dibawah pengawasan kedua orangtuanya.
Disisi yang lain orang tua menunjukan sikap tegas dan konsisten dengan membuat
peraturan dirumah, dan menerapkan disiplin, nilai-nilai dan aturan-aturan yang jelas serta tidak
bisa dilanggar. Namun orang tua tetap mau mendengarkan keinginan dan pandangan dan
pendapat dari anak-anaknya. Didalam pola pengasuhan demokrasi ini orang tua juga mendidik
anak-anaknya untuk tidak meminta secara sesuatu berlebihan, dan tetap memikirkan kondisi dan
kesanggupan kedua orangtunya untuk memenuhi permintaan derta keinginannya. Orang tua
teman yang lebih erat dan akrab. Secara keseluruhan, pendekatan orang tua terhadap anaknya
tercipta kehangatan dan mesra.
2. Authoritarian Parenting (Pola asuh otoriter)
Orang tua atau keluarga yang menggunakan metode pengasuhan otoriter ini menganggap
bahwa anak adalah hak mutlak yang dimiliki oleh karena itu orang tua cenderung menerapkan
standart mutlak pada anaknya. Orang tua menganggap mereka dapat memperlakukan
anak-anak dengan sesuka hati. Orang tua selalu dianggap paling benar dan anak-anak-anak-anak salah. Orang tua
suka memperlakukan anak secara kasar seperti dengan membentak, berlaku kasar, bahkan tega
untuk memukul anak yang dianggap melenceng dari peraturan yang ada dirumah. Meskipun
awalnya mungkin hanya untuk menakut-nakuti anak-anak, agar anak-anak tidak berani melawan
kedua orangtuanya. Padahal tanpa disadari orang tua yang menerapkan pola asuh ini, anaknya
tersebut sebenarnya membantah segala aturan dan perintah yang ditetapkan oleh kedua
orangtunya dirumahhnya. Sehingga di masa yang akan datang anak ini akan menentang aturan
dan perintah dengan cara kekerasan juga.
Anak-anak yang dididik dengan pola asuh ini kebanyakan menuruti orangtuanya bukan
karena rasa hormat, tetapi karena rasa takut akan hukuman yang akan diberikan kepadanya
seandainya tidak menuruti, maka biasanya anak akan berdiam diri dan tidak berani untuk
berinisiatif dalam melakukan sesuatu. Komunikasi yang tecipta diantara orang tua dan anak lebih
bersifat satu arah dimana segalanya ditentukan oleh orang tua tanpa mendengarkan dan
mempertimbangkan pendapat, pikiran dan perasaan anak. Orang tua dengan pola pengasuhan
seperti ini cenderung menjaga jarak dengan anaknya, dan jarang untuk mengajak anak berdiskusi
bantuan dari anaknya. Tidak ada keramahan dan kelembutan dalam berkomunikasi diantara
anggota keluarga. Anak akan menghindar dan menjauh dari orang tuanya ketika harus bertemu
didalam suatu kondisi atau suatu ruang, karena anak merasa kaku dan takut bertemu
orangtuanya.
Kebanyakan anak yang diasuh dengan pola pengasuuhan otoriter ini cenderung menarik
diri secara social, kurang percaya diri, dan berkata dan bertingkah laku kasar. Pola pengasuhan
ini sering kali menjadi pola pengasuhan warisanyang secara berulang-ulang diberikan kepada
generasi keluarga berikutnya. Karena seseorang cenderung akan menerapkan pola asuh yang
sama dirasakannya sebelumnya kepada keturunan berikutnya.
3. Permisive Parenting Style (Pola asuh permisif)
Pola asuh permisif menekankan ekspresi diri dan self regulation anak. Orangtua yang
permisif membuat beberapa peraturan dan mengijinkan anak-anaknya untuk memonitor kegiatan
mereka sebanyak mungkin. Ketika mereka membuat peraturan biasanya mereka menjelaskan
terlebih dahulu, orangtua berdiskusi dahulu dengan anak dan orang tua tidak mau menghukum
anak jika melakukan pelanggaran. Maccoby dan Martin (1983) menambahkan tipologi ini karena
adanya tingkat tuntutan orangtua dan tanggapan yang ada. Dengan demikian pola asuh permisif
terbagi dua jenis yaitu:
a. Pola asuh penyabar
a. Pola asuh penyabar
Pola asuh jenis ini bertolak belakang atau kebalikan dari pola pengasuhan otoriter. Orang
tua yang mendidik anak dengan cara ini justru memprioritaskan kebutuhan dan kepentingan
anak-anak di posisi yang paling utama. Semua haapan dan keinginan anak dipenuhi tanpa
bertanya apa alasan, dan tujuan anak menginginkan kemauannya dipenuhi. Selain itu orang tua
juga tidak memikirkan apakah dengan memenuhi dan menuruti segala keinginan si anak tersebut
akann member manfaat yang baik untuk si anak. Orang tua lebih suka anaknya memperoleh
sesuatu dngan cara yang mudah tanpa perlu mempersulit diri si anak.
Didalam pola asuh ini, kasih sayang yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya
terlalu berlebihan sehingga akan mencapai suatu tahap dimana orang tua tidak akan tega untuk
menegur, atau mengajar anak dengan keras ketika si anak melakukan kesalahan. Karena takut
anaknya menjadi sakit hati, sedih, kecewa, nakal, dan memberontak. Didalam pola pengasuhan
ini orang tua cenderung bersikap sangat melindungi anak dalam kondisi apa pun, meskipun si
anak sebenarnya didalam kondisi yang salah. Bagi orang tua, anak mereka selalu berada pada
kondisi yang benar walaupunsebenarnya si anak melakukan kesalahan, sehingga mengakibatkan
anak tidak disiplin dan melakukan segala sesuatu dengan sesuka hati.
Orang tua ttidak pernah berfikir bahwa anak yang diperlakukan seperti itu suatu saat
nanti akan cenderung menjadi implusive (memerlukan dorongan dari orang lain), akan bersifat
manja, kurang mandiri, egois dan mau menang sendiri, tidak percaya diri, sombong, dan
lain-lain. Dari segi hubungan dengan dunia luar selain lingkungan keluarga, kebanyakan anak yang
datang dari latar belakang dengan pola pengasuhan penyabar menjadi anak yang kurang matang
secara sosial. Mereka tidak mau memikirkan perasaan dan hati orang lain karena hanya menuntut
harus menjadi yang pertama dalam segala-segalanya dengan kata lain selalu tidak
memperdulikan orang lain.
Walaupun anak yang dididik dengan pola asuh ini kebanyakan akan cenderung menjadi
implusive (memerlukan dorongan dari orang lain), manja, kurang mandiri, egois, mau menang
sendiri, kurang percaya diri, sombong, dan masih banyak sisi negative yang timbul akibat pola
asuh ini, namun pada kenyataannya banyak juga anak yang menjadi agresif, tidak patuh, dan
menentang kedua orang tuanya. Hal ini dikarenakan orang tua tidak mau menegur, memarahi,
ketika anak melakukan kesalahan atau tidak disiplin. Biasanya hal sperti mulai kelihatan apabila
orang tua sudah mulai bertindak tegas, dan membatasi anak.
b. Pola asuh penelantar
Anak yang diasuh dengan pola ini adalah anak yang kurang mendapatkan kasih sayang
dan perhatian dari oaring tuanya. Orang ttua selalu sibuk bekerja, sehingga lupa atas tanggung
jawabnya sebagai ayah atau ibu yang merupakan sosok yang paling penting dalam
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan mental, fisik, dan psikologis anak. Orang tua
banyak menghabiskan waktu hanya untuk kepentingan pribadinya, seperti bekerja,
berbincang-bincang dengan teman, arisan, belanja, dan lain-lain. Terkdang orang tua yang menganut pola
asuh ini akan memberikan uang yang bayak kepada anak agar anak tidak merasa kesepian. Anak
dibiarkan tumbuh dan berkembang dengan cara dan kemampuannya sendiri. Dan terkadang di
tambah dengan pengalaman-pengalaman yang dilihat dan dirasakan anak dilingkungan
sekitarnya tanpa mendapat tuntunan dari kedua orang tuanya. Selain itu tidak jarang juga
ditemukan anak yang diterlantarkan oleh orang tuanya ini mendapatkan pendidikan akademik
Terdapat berbagai macam alasan yang menyebabkan orang tua tega menerapkan pola
asuh penelantar ini. Dan salah satu alasannya adalah anak yang ditolak kehadirannya didalam
keluarga. Banyak kasus yang terjadi di dalam kehidupan nyata diaman orang tua yang menolak
kehadiran anaknya tersebut karena anak adopsi, anak tiri, akan dari hasil perselingkuhan, dan
anak yang kurang sempurna, seperti anak cacat fisik, cacat mental, dan cacat psikis. Anak yang
tidak mampu uuntuk hidup sendiri dibiarkan terlantar tanpa diperhatikan. Orang tua menganggap
bahwa memiliki anak dalam kondisi seperti itu malah memberikan kesusahan dan hanya akan
menambah beban dalam hidup mereka.
Selain itu, yang menjadi factor pendukung seseorang menjadi orang tua mengasuh
dengan pola ini yaitu factor kemiskinan. Mereka masih belum mampu untuk melakukan
pekerjaan lain atau tidak bisa mendapsatkan pekerjaan yang lebih baik karena tidak memiliki
pendidikan. Pola asuh penelantar merupakan pola asuh yang beresiko paling tinggi menyebabkan
penyimpakan kepribadian dan perilaku anti social.
2.2. Difabel dan Tunanetra
Istilah difabel merupakan pengindonesiaan dari kependekan istilah different abilities
people (orang dengan kemampuan yang berbeda). Dengan istilah difabel, masyarakat diajak
untuk merekonstruksi nilai-nilai sebelumnya, yang semula memandang kondisi cacat atau tidak
normal sebagai kekurangan atau ketidakmampuan menjadi pemahaman terhadap difabel sebagai
manusia dengan kondisi fisik berbeda yang mampu melakukan aktivitas dengan cara dan
pencapaian yang berbeda pula.
Istilah difabel pertama kali dicetuskan oleh beberapa aktivis di Yogyakarta yang salah
satunya adalah almarhum Dr. Mansour Fakih pada awal tahun 1997 (Ambulangsih, 2007; 45) .
persepsi masyarakat umum pada nilai-nilai sebelumnya yang memandang seorang difabel adalah
seseorang yang tidak normal, memiliki kecacatan sebagai sebuah kekurangan dan
ketidakmampuan. Pemakaian kata difabel dapat dimaksudkan sebagai kata eufemisme, yaitu
penggunaan kata yang memperhalus kata atau istilah yang digunakan sebelumnya. Tetapi secara
luas Istilah difabel digunakan sebagai salah satu usaha untuk merubah persepsi dan pemahaman
masyarakat bahwa setiap manusia diciptakan berbeda dan seorang difabel hanyalah sebagai
seseorang yang memiliki perbedaan kondisi fisik dan dia mampu melakukan segala aktivitas
dengan cara dan pencapaian yang berbeda. Pemakaian istilah difabel memiliki nilai lebih
humanis dan sebagai suatu usaha untuk menghilangkan kekuatan ruang yang memiliki hubungan
tidak adil/diskriminasi serta mendorong eksistensi dan peran difabel dalam lingkungan mereka
(Priyadi 2006; 23).
Dengan pemahaman baru itu masyarakat diharapkan tidak lagi memandang para difabel
sebagai manusia yang hanya memiliki kekurangan dan ketidakmampuan. Sebaliknya, para
difabel, sebagaimana layaknya manusia umumnya, juga memiliki potensi dan sikap positif
terhadap lingkungannya. Difabel terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu tunanetra, tunarungu,
tunagrahita, tunadaksa, dan lain-lain.
Tunanetra dari segi etimologi bahasa. “tuna” artinya “rusak” “netra” artinya “mata” atau
dapat disimpulkan mata yang rusak. Sehingga tunanetra dapat disimpulkan yakni tidak
berfungsinya indera penglihatan secara normal. Tunanetra termasuk kedalam bagian dari difabel.
Karena tunanetra adalah suatu keadaan cacat fisik yang dapat digantikan dengan indera lain,
seperti indera peraba, dan indera perasa. Berdasarkan Organisasi Badan Kesehatan Dunia WHO
terdapat satu pentuduk bumi menjadi buta dan perorang mengalami kebutaan perduabelas menit
dan ironisnya, lagi-lagi wilayah dan negara miskinlah yang kebanyakan penduduknya
mengalami kebutaan dan gangguan penglihatan, yaitu sekitar 90%.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Sosial, jumlah penyandang cacat tuna netra
tahun 2009 adalah sebanyak 3.474.035 orang, Sedangkan dari data Kemenakertrans tahun 2009,
jumlah tenaga kerja penyandang cacat tunanetra yang bekerja sebanyak 2.137.923 orang.
(http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=print&sid=704 (diakses tanggal 6
April 2011).
2.2.1. Klasifikasi Tunanetra
Menurut Depdiknas kelasifikasi tunanetra secara garis besar dibagi lima yaitu:
A. Berdasarkan tingkat kebutaannya yaitu:
1. Dikatakan buta total jika sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar.
Kebutaan total memiliki keterbatasan dalam penglihatan antara lain:
- Tidak dapat melihat gerakan tangan pada jarak kurang dari 1 meter.
- Ketajaman penglihatan 20/200 kali yaitu ketajaman yang mampu melihat suatu benda
pada jarak 20 kaki.
- Bidang penglihatnya tidak lebih luas dari 20 meter.
2. Dikatakan Low Vision bila masih mampu menerima rangsa cahaya dari luar. Berdasarkan
definisi World Health Organization (WHO),seseorang dikatakan low vision apabila:
- Memiliki kelainan fungsi penglihatan meskipun telah dilakukan pengobatan,
http://bamperxii.com/2008/11/penegertian-tuna-netra.html (diakses tanggal 7 April
2011 pada pukul 12.10 WIB)
B. Berdasarkan waktu terjadinya kebutaan:
1. Tunanetra sebelum dan sejak lahir yakni yang mereka asma sekali tidak memiliki
pengalaman penglihatan.
2. Tunanetra setelah lahir atau pas usia kecil yakni mereka telah memiliki kesan-kesan serta
pengalaman visual tetapi belum kuat da mudah terlupakan.
3. Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja mereka telah memiliki kesan-kesan
visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap peroses perkembangan
pribadi.
4. Tunanetra pada usia dewasa pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran
mampu melakukan latihan-latiha penyesuaian diri.
5. Tunanera dalam usia lanjut, sebagian besar sudah sulit untuk mengikuti latihan-latihan
kecerdasan kinestetik yang berpengaruh terhadap gerak motorik seseorang penyandang
(http://id.wikipedia.org/wiki/Anaka_berkebutuhan_khusus diakses tanggal 1 April 2011
pada pukul 11.12 WIB)
C. Berdasarkan kemampuan daya penglihatan
1. Tunanetra ringan (defective vision/low vision);yakni mereka yang memiliki hambatan
dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti perogram-program
pendidikan dan pampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang mengunakan fungsi
2. Tunanetra setengah berat (partially sighted);yakni mereka yang kehilagan sebagian daya
penglihat,hanya menggunakan kaca pembesar.mereka mampu mengikuti pendidikan
biasa atau mampu membaca tulisan yang ercatak tebal.
3. Tunanetra berat (totally blind);yakni mereka yang sama ssekali tidak dapat melihat.
D. Berdasarkan pemeriksaan klinis
1. Tunanera yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau memiliki
bidang penglihatan kurang dari 20 derajat.
2. Tunanera yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau memiliki
bidang penglihatan kurang dari 20 derajat.
E. Berdasarkan kelainan-kelainan pada mata:
1. Mayopia : adalah penglihatan jarak dekat, bayak yang tidak tetfokuds dan jatuh di
belakang retina.penglihata akan terlihat jelas kalau objek didekatka. Untuk membantu
peroses penglihatan pada penderita mayopi digunakan kacamata koreksi dengan lensa
negatif.
2. Hyperopia : adalah penglihatan jarak jauh,banyak yang tidak terfokus da jatuh didepa
retina. Penglihatan akan terlihat jelas jika objek dijauhkan. Untuk menbantu peroses
pemulihan pada penderita heyperopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa posotif.
3. Astigmatisme : adalah penyimpanan atau peglihatan kabur yang disebabkan karna
kerusakan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola mata sehingga banyak
2.2.2 Faktor Penyebab Tunanetra
Ada dua faktor penyebab seseorang menderita tunanetra yaitu:
1. Faktor endogen, ialah faktor dari dalam kandungan atau dapat dikatakan faktor genetic.
Misalnya perkawinan antar sesama tunanetra, atau memiliki nenek moyang yang
penyandang tunanetra.
2. Faktor eksogen atau faktor luar seperti:
a. Penyakit atau virus rubella yang menjadikan seseorang menjadi sakit campak, yang
lama kelamaan akan mengganggu saraf penglihatan dan bias menghilangkan fungsi
penglihatan secara permanen. Ada juga dikarrenakan oleh kuman syphilis, yang
mengakibatkan kerapuhan pada lensa mata yang mengakibatkan pandangan mata keruh.
c. Kecelakaan yaitu kecelakaan fisik akibat tabrakan yang berakibatkan langsung
merusak saraf mata. Ada juga yang diakibatkan oleh radiasi ultra violet atau gas
beracun yang dapat menybabkan seseorang kehilangan fungsi mata untuk melihat
2.3. Defenis Konsep
Penelitian ini mengenai interaksi sosial pada keluarga pasangan tuna netra ditujukan
untuk mengetahui bagaimana cara interaksi yang dilakukan keluarga yang kedua orangtuanya
adalah penyandang cacat tunanetra. Maka agar penelitian ini tetap terfokus dan tidak
menimbulkan penafsiran ganda, maka digunakan beberapa defenisi konsep sebagai berikut:
1. Keluarga : Keluarga adalah sekelompok orang yang kedua orangtuanya adalah
penyandang cacat tunanetra dan memiliki anak yang normal yang terikat oleh tali
perkawinan.
2. Anak : Keturunan yang normal dari orang tua yang difabel yang bekerja sebagai
tukang pijat. Yang berusia 0-30 tahun.
3. Pola asuh : kegiatan orangtua mengasuh, mendidik, membimbing, mendisiplinkan dan
melindungi anak sampai pada masa kedewasaan sesuai dengan norma yang ada didalam
masyarakat.
4. Orangtua Difabel : Orangtua adalah penyandang cacat tunanetra yang memiliki
kerusakan pada indera penglihatan (mata) yang mengakibatkan tidak berfungsi secara
baik indera penglihatan atau buta.
5. Panti pijat : Panti pijat adalah tempat yang digunakan oleh penyandang cacat tunanetra
dalam memberikan pelayanan pijat.
6. Lingkungan kelurahan Sei sikambing D Medan : adalah lingkungan tempat tinggal
sekaligus tempat praktek pijat keluarga yang kedua orangtuanya difabel atau penyandang
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan
pendekatan study deskriptif. Sebagaimana dikemukakan oleh Bagong Suyanto dan Sutinah
bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
tulisan, dan penggambaran perilaku yang dapat diamati oleh peneliti dari orang-orang subjek itu
sendiri. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan
menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi yang ada, pendapat yang berkembang, proses
yang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi.
Sedangkan penelitian kualitatif menurut Sugiyono adalah metode penelitian yang
digunakann untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah. Dimana peneliti adalah instrumen
kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan, analisis data bersifat induktif, da
hasil penelitian bersifat generalisasi. Alasan penelitian dilakukan penelitian kualitatif adalah
karena penelitian kualitatif dapat memberikan keleluasan dan kesempatan peneliti untuk bisa
menggali informasi secara lebih mendalam terutama permasalahan yang akan diangkat tergolong
hal yang sensitive ( Bagong,2005; 166).
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dibeberapa panti pijat tunanetra yang berijazah khususnya yang
dapat menemukan banyak keluarga penyandang cacat tuna netra yang bekerja sebagai tukang
pijat.
3.3 Unit Analisis dan Informan
3.3.1. Unit Analisis
Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian
(Arikunto, 2002 : 121). Salah satu ciri atau karakteristik dari penelitian sosial (social scientific
research) adalah menggunakan apa yang disebut dengan “unit of analysis”. Ada sejumlah unit
analisis yang lazim digunakan pada kebanyakan penelitian sosial, yaitu individu, kelompok dan
sosial (Danandjaja, 2005 : 31).
3.3.2. informan
Informan dalam penelitian ini adalah beberapa keluarga penyandang cacat tuna netra.
Keluarga tersebut terdiri dari ayah dan ibu yang penyandang cacat tuna netra. Dan anak-anak
dari keluarga tersebut yang akan ditemui peneliti.
Yang menjadi informan utama adalah penyandang cacat tuna netra dan seluruh anggota
keluarga. Sedangkan yang menjadi informan biasa adalah anggota masyarakat dan para anggota
dinas social yang mengetahui banyak mengenai tuna netra
Adapun informan utama adalah penyandang cacat tuna netra yang berprofesi sebagai
tukang pijat. Agar sesuai dengan tujuan penelitian maka perlu ditetapkan kriteria-kriterianya
sebagai berikut:
1. Keluarga pasangan tunanetra yaitu ayah dan ibu
3. Pekerjaan sebagai tukang pijat
4. Memiliki tempat praktek panti pijat
5. Lamanya menjadi tukang pijat kurang lebih 2 tahun
Untuk memperkuat data yang diperoleh maka peneliti yang menentukan batasan bagi
informan pelengkap yaitu anggota masyarakat dan Dinas Sosial dengan kriteria sebagai berikut:
1. Sudah mengetahui banyak mengenai tunanetra
2. Pernah memberikan keterampilan kepada penyandang cacat tuunanetra.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengumpulan data
primer dan sekunder.
3.4.1. Data primer
Data primer adalah data yang diambil dari sumber data sumber pertama dilapangan.
Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan studi
lapangan yaitu:
3.4.1.1 Metode Wawancara
Teknik wawancara merupakan salah satu elemen penting dalam proses penelitian.
Wawancara (interview) dapat diartikan sebagai cara yang dipergunakan untuk mendapatkan
informasi atau data dari responden dengan cara bertanya langsung secara bertatap muka atau face
to face. Namun, teknik wawancara dapt juga dilakukan dengan memanfaatkan sarana
Wawancara merupakan sebuah percakapan antara 2 (dua) orang atau lebih, yang pertanyaannya
diajukan oleh peneliti kepada subjek atau sekelompok subjek penelitian untuk dijawab
(Sudarwan Danim, 2002 :130). Salah satu bentuk wawancara yang dipakai dalam penelitian ini
adalah wawancara mendalam (depth interview). Wawancara mendalam merupakan proses tanya
jawab secara langsung yang ditujukan terhadap informan di lokasi penelitian dengan
menggunakan panduan wawancara adalah berupa informasi mengenai pola pengasuhan orangtua
difabel terhadap anak yang normal, di Kelurahan Sei Sikambing D Medan.
3.4.1.2. Metode Observasi
Observasi adalah Pengamatan atau observasi dalam kamus, berarti melihat dengan penuh
perhatian. Dalam hal pengamatan, apa yang diamati, siapa yang mengamati, kesalahan-kesalahan
apa saja yang sering terjadi pada waktu pengamatan perlu diketahui oleh peneliti sebelum
melakukan tahap-tahap penelitian (Bagong Suyanto dan Sutinah, 2005 : 81-82). Fokus perhatian
paling esensial dari penelitian kualitatif adalah pemahaman dan kemampuannya dalam membuat
makna atas suatu kejadian atau fenomena pada situasi yang tamapak bahkan harus melakukan
perenungan dan refleksi atas kemungkinan-kemungkinan yang ada dibalik penampakan itu.
Observasi merupakan pengamatan langsung terhadap berbagai gejala yang tampak pada
penelitian seperti orang tua dan pola pengasuhannya kepada anak yang normal. Disini peneliti
akan melakukan observasi ke daerah penelitian, yang melakukan pola pengasuhan di rumah
sekalian menjadi tempat praktek pijat tunanetra.
3.4.2. Data Sekunder
Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari sumber kedua yaitu dengan menggunakan
dokumen majalah, jurnal, maupun data yang diperoleh dari internet yang dianggap relevan serta
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Oleh karena itu, sumber data sekunder diharapkan
dapat berperan membantu mengungkapakan data yang diharapkan, membantu member
keterangan sebagai pelengkap dan bahan pembanding (Bungin,2001:129)
3.5. Interpretasi Data
Interpretasi data merupakan tahap penyederhanaan setelah data dan informasi yang dibutuhkan atau diharapkan sudah terkumpul. Data-data atau informasi yang diperoleh dalam
penelitian ini akan dinterpretasikan berdasarkan dukungan teori dalam kajian pustaka.
Interpretasi mempunyai dua aspek, yaitu sebagai berikut:
1. Untuk menegakkan keseimbangan suatu penelitian, dalam pengertian menghubungkan hasil
suatu penelitian dengan penemuan-penemuan lainnya.
2. Untuk membuat atau menghasilkan suatu konsep yang bersifat menerangkan atau
menjelaskan.
Sesuai dengan metode penelitian, teknik analisa data yang dipergunakan penulis adalah
teknik analisa kualitatif. Analisa data kualitatif adalah analisa terhadap data yang diperoleh
berdasarkan kemampuan nalar peneliti dalam mengumpulkan fakta, data, dan informasi sehingga
3.6.Jadwal Kegiatan
No Jenis Kegiatan Bulan Ke
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Pra Observasi √
2 ACC Judul √
3 Penyusunan Proposal Penelitian √ √
4 Seminar Penelitian √
5 Revisi Proposal Penelitian √
6 Penyerahan Hasill Seminar
Proposal
√
7 Operasional Penelitian √
8 Bimbingan √ √ √
9 Penulisan Laporan Akhir √ √
BAB IV
DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
4.1.1. Lokasi dan Keadaan Penduduk
Kelurahan Sei Sikambing D adalah salah satu dari tujuh kelurahan yang ada di
Kecamatan Medan Petisah. Luas dari kelurahan Sei Sikambing D adalah sekitar 91 Ha. Sebagian
besar daerah ini terdapat pemukiman penduduk. Jumlah penduduk keseluruhan adalah 13.405
jiwa, dengan jumlah 1.773 Kepala keluarga. Kelurahan Sei Sikambing D berbatasan antara lain
dengan:
1. Sebelah utara berbatasan dengan jalan Jendral Gatot Subroto, Kelurahan Sei Putih
Barat, dan Sei Putih Tengah Kecamatan Medan Petisah.
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan jalan Gajah Mada, Kelurahan Babura,
Kecamatan Medan Baru
3. Sebelah Barat berbatasan dengan jalan Sei Sikambing, Kelurahan Simpang
Tanjung Kecamatan Medan Sunggal
4. Sebelah Timur berbatasan dengan jalan Iskandar Muda, Kelurahan Petisah
Tengah, Kecamatan Medan Petisah
Lokasi Kelurahan Sei Sikambing D terletak cukup strategis, karena kelurahan ini
berbatasan dengan jalan-jalan protokol yang dapat dengan mudah dijangkau oleh masyarkat.
Masyarakat di Kelurahan Sei Sikambing D memiliki latar belakang suku, agama dan jenis
Hindu, dan Budha. Begitu juga dari segi latar belakang budaya atau etnis, masyarakat yang
bermukim di Kelurahan Sei Sikambing D memiliki etnis antara lain seperti etnis Jawa, etnis
Batak, etnis Minang, etnis Gayo, etnis Thionghoa, dan lain lain. Sehingga kelurahan ini dapat
dikategorikan sebagai kelurahan yang multibudaya.
4.1.1.1.Kepadatan Penduduk
Table 4.1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
No Keterangan Jumlah
1 Laki-laki 6.482 Jiwa
2 Perempuan 6.923 Jiwa
3 Jumlah Penduduk 13.405 Jiwa
4 Kepadatan Penduduk 147 Jiwa per km
Sumber: Data Kelurahan Sei Sikambing D Medan Tahun 2009
Masyarakat di Kelurahan Sei Sikambing D didominasi oleh perempuan, namun
jumlahnya tidak jauh berbeda dengan penduduk yang berjenis kelamin laki-laki. Kelurahan Sei
Sikambing D ini tidak termasuk kedalam kategori lingkungan padat penduduk. Karena kepadata
penduduk hanya 147 jiwa per Km. Masyarakat di kelurahan ini adalah masyarakat yang dinamis,
dan tidak bias gender. Karena baik laki-laki maupun perempuan didaerah ini dapat melakukan
Table 4.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan
No Status/ Jenis Jasa/ Perdagangan Jumlah (orang)
1 2 3
Sumber: Data Kelurahan Sei Sikambing D Medan Tahun 2009
Masyarakat di Kelurahan Sei Sikambing D memiliki berbagai jenis profesi. Profesi yang
mendominasi masyarakat di kelurahan ini adalah profesi di bidang wiraswasta. Profesi
wiraswasta banyak ditekuni oleh masyarakat di kelurahan tersebut, salah satu diantaranya adalah
profesi dibidang jasa panti pijat tunanetra. Namun karena data dari kelurahan tidak
mencantumkan jenis-jenis pekerjaan dibidang swasta, maka peneliti mencari data yang lebih
akurat mengenai panti pijat tunanetra yang berada di Kelurahan Sei Sikambing D melalui Pertuni
(Persatuan Tunanetra Indonesia) yang berada di Medan. Panti pijat tunanetra di Kelurahan Sei
1.Panti Pijat Tunanetra Cemerlang Abadi
2. Panti Pijat Tunanetra West
3. Panti Pijat Tunanetra Yakestra
4. Panti Pijat Tunanetra Sumatera Jaya
Sumber: Data Pertuni 2008 Medan
4.1.1.2.Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasarkan Jenis Kelamin
Table 4.2. Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasakan Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)
1 Laki-laki 12 60%
2 Perempuan 8 40%
3 Jumlah 20 100% Sumber: Data Kelurahan Sei Sikambing D Medan Tahun 2009
Dari table diatas dapat kita lihat bahwa jumlah tukang pijat di Kelurahan Sei sikambing D
Medan didominasi oleh laki. Yang ditunjukkan dengan jumlah pemijat jenis kelamin
laki-laki sebanyak 12 orang dengan jumlah persentase sebesar 60%, dan selebihnya adalah tukang
pijat dengan jenis kelamin perempuan sebayak 8 orang dengan persentase sebesar 40%.
4.1.1.3.Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasarkan Agama
Table 4.3. Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasarkan Agama
No Agama Jumlah Persentase (%)
1 Islam 10 50%
2 Kristen Katolik 5 25%
3 Kristen Protestan 5 25%
4 Hindu - -%
5 Budha - -%
6 Kong hu chu - -%
Jumlah 20 100%
Sumber: Data Kelurahan Sei Sikambing D Medan Tahun 2009
Dari table diatas dapat dilihat bahwa agama mayoritas tukang pijat adalah agama Islam, hal
ini dibuktikan dengan besarnya persentase tukang pijat yang beragama Islam yaitu 50%. Agama
yang dianut oleh tukang pijat lain adalah Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Meskipun
memiliki agama yang berbeda-beda namun para pemijat ini saling menghormati satu sama lain.
4.1.1.4.Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasarkan Etnis
Table 4.4. Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasarkan Etnis
No Etnis Jumlah Persentase (%)
1 Batak 10 50%
2 Jawa 4 20%
3 Minang 2 10%
4 Melayu 4 20%
Jumlah 20 100%
Sumber: Data Kelurahan Sei Sikambing D Medan Tahun 2009
Dari table diatas terlihat bahwa tukang pijat difabel mayoritas berlatar belakang etnis atau