• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prostitusi/ Pelacuran dan Penyebabnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.3. Prostitusi/ Pelacuran dan Penyebabnya

Prostitusi berasal dari kata “prostituere” (bahasa latin) yang berarti menonjolkan diri dalam hal-hal yang buruk atau tercela atau menyerahkan diri secara terang-terangan kepada umum.

Di Indonesia istilah ini dikenal dengan “pelacuran” yang pada umumnya

dirumuskan demikian: “Pelacuran” dapat diartikan sebagai penyerahan badan

wanita dengan pembayaran, kepada orang laki-laki guna pemuasan nafsu sexuil orang-orang itu”.

Adapun bentuk dan polanya bermacam-macam, ada yang langsung tersedia di tempat-tempat (di rumah-rumah), yang dinamakan bordil dan lokalisasi. Biasanya pelacur-pelacur yang berada di tempat tersebut dipelihara oleh seseorang yang dinamakan Germo, dan oleh si germo dia diatur dan harus menurut kehendak si germo, bahkan menurut penelitian-penelitian sebagian besar hasil WTS yang bersangkutan diambil oleh sang germo.

Ada pula pelacur-pelacur yang hanya melayani panggilan-panggilan untuk diajak ke suatu tempat tertentu seperti di hotel-hotel, pesanggrahan atau rumah-rumah tertentu, pelacur ini dinamakan “call girl” (wanita panggilan). Call girl ini jaring-jaringnya juga cukup rapi hingga agak sulit diketahui, biasanya ada perantara-perantaranya yang umumnya dari kalangan tukang becak, supir taxi dan lain-lain.

Yang paling menyolok adalah apa yang dinamakan pelacuran jalanan dimana para WTS berkeliaran di pojok-pojok jalan secara menyolok sekali, seolah-olah menjajakan diri secara terang-terangan. Biasanya mereka dibawa-bawa oleh yang menghendakinya.

Ada juga yang mengkategorikan pelacuran dengan kelas-kelas seperti : a. pelacuran kelas rendahan (jalanan, bordil-bordil murahan)

b. pelacuran menengah yang berada di bordil-bordil tertentu yang cukup

bersihan dan pelayanannya baik

c. pelacuran kelas tinggi biasanya para pelacur tinggal di rumah sendiri

(terselubung–tersembunyi) dan hanya menerima panggilan dengan perantara yang cukup rapi sehingga sulit diketahui dan bayarannya cukup mahal.

Pada saat ini bentuk-bentuk pelacuran di Indonesia dapat dikatakan bertambah lagi dengan apa yang dinamakan pelacuran tersembunyi (terselubung) dalam bentuk-bentuk kerja jasa lainnya yang sulit dibuktikan, misalnya terselubung dalam pekerjaan tukang-tukang pijat di hotel dan bersembunyi di tempat-tempat mandi uap dan pijat tertentu yang terdapat di kota-kota besar. Semakin unik bentuk-bentuk pelacuran semakin sulit pula pelacuran ditanggulangi apalagi dilenyapkan.

II.3.1 Pengertian

1. Tuna susila adalah seorang wanita, pria dan waria (wanita pria) yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan dengan tujuan untuk mendapatkan imbalan uang, materi dan/ atau jasa.

2. Wanita tuna susila (WTS) adalah wanita yang melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya secara berulang-ulang dan bergantian di luar perkawinan yang sah dengan mendapat imbalan uang, materi, dan/atau jasa.

II.3.2 Faktor Penyebab Prostitusi/Pelacuran

Masalah WTS atau pelacuran sudah terjadi sejak dulu seiring dengan perjalanan perilaku manusia, (dalam simandjuntak,1981) dikemukakan beberapa teori kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan, Taft mengatakan

crime is a product of culture yaitu benturan budaya atau norma dimana individu mengalami kegoncangan jiwa akan melahirkan kejahatan. Kemudian Sutherland dengan teori learning mengidentifikasikan bahwa seseorang menjadi jahat karena pergaulan yang kurang baik pada masa lalu. Dari teori ini lahir pemikiran bahwa

WTS sebagian besar berasal dari pergaulan kurang baik, keluarga yang tidak mampu mendidik, kekurangan atau kehilangan cinta kasih.

Pelacuran timbul dikarenakan berbagai hal yang komplek, menurut hasil penelitian (dalam Suyanto,2001: 111) Rowbothon (1973) menyebutkan bahwa unsur utama pelacuran adalah faktor ekonomi, masalah WTS tidak lepas dari pengertian pelacuran sebagai gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri dengan melakukan perbuatan seksual sebagai mata pencaharian, jadi unsur essensial dalam pelacuran adalah motif ekonomi. Kemudian Saptari (1997) secara garis besar menyebutkan paling tidak ada tiga faktor yang mendorong seseorang

menjadi pelacur. Pertama, karena keadaan ekonomi dan kondisi kemiskinan

rumah tangga perempuan pelacur atau WTS. Kedua, karena pandangan tentang

seksualitas yang cenderung menekankan arti pentingnya keperawanan, sehingga tidak memberi kesempatan bagi perempuan yang sudah tidak perawan kecuali masuk ke dalam peran yang diciptakan oleh nilai yaitu sebagai pelacur. Ketiga, karena sistem paksaan dan kekerasan seperti yang sering terjadi di lokasi, WTS sengaja dijerat utang oleh germo sebagai pengikat dan terpaksa melacurkan diri. Namun demikian, banyak ditemui kasus wanita melacurkan diri tidak semata-mata motif ekonomi. Di luar muatan ekonomi tersebut, pelacuran sesungguhnya adalah ekspresi dari hegomoni kultural pria atas kaum perempuan dan terpaksa atau dipaksa masuk kedalam pelacuran oleh laki-laki yang menggunakan beragam sarana atau sekedar janji janji berselubung cinta.

II.3.3 Prostitusi/Pelacuran sebagai masalah sosial

Prostitusi atau pelacuran merupakan masalah sosial yang besar pengaruhnya bagi perkembangan moral. Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia. Pelacuran sebagai masalah sosial atau menjadi objek urusan hukum dan tradisi dari sejarah kehidupan manusia sampai sekarang, dan selalu ada sampai setiap tingkatan peradaban, perlu di tanggulangi dengan kesungguhan.

Di banyak negara pelacuran dilarang bahkan dikenakan hukuman, juga dianggap sebagai perbuatan hina oleh setiap anggota masyarakat. Akan tetapi, sejak adanya masyarakat manusia pertama hingga dunia akan kiamat nanti mata pencaharian pelacuran akan tetap ada, sukar bahkan hampir tidak mungkin diberantas dari muka bumi ini selama masih ada nafsu-nafsu seks, nafsu yang lepas kendali.

II.3.4 Akibat-akibat Pelacuran

Pelacuran menimbulkan berbagai masalah, yaitu menyangkut aspek medis, sosial ekonomi, dan moril.

1. Aspek medis

Sudah menjadi kenyataan umum bahwa pelacuran dapat mengakibatkan timbulnya penyakit kelamin seperti syphilis, gonorchea bahkan HIV/AIDS. Penularan penyakit kelamin akibat adanya WTS tersebut pengaruhnya sangat luas, yaitu tidak hanya menyerang laki-laki dewasa tetapi bisa pada istri dan anak-anak bahkan menimbulkan abortus ataupun cacat jasmani dan rohani.

2. Aspek sosial ekonomi

Pengaruh adanya WTS pada aspek sosial ekonomi sangat besar, karena bisa melumpuhkan, menghancurkan atau merusak potensi bangsa, bahkan menurut Loothorp dalam buku The rising tide of colour mensinyalir bahwa dengan adanya WTS timbul gejala-gejala lapisan terbawah di masyarakat tidak dapat ikut serta dalam kemajuan, mereka dengan sendirinya akan mempunyai nasib yang sangat jelek sehingga mempengaruhi tujuan masyarakat dalam mempertahankan nilai sosial seperti kerja sama atau kekompakan dan partisipasi pembangunan menjadi rusak (Simandjuntak.B, 1981). Selain pada aspek sosial, dampak adanya WTS menjadi beban ekonomi finansial, hal ini karena banyaknya penyakit akibat pelacuran seperti tersebut diatas membebani keuangan negara, dimana dengan adanya berbagai penyakit tersebut pemerintah terpaksa harus mengeluarkan uang atau penyediaan obat untuk mengatasi penyakit maupun kegiatan atau upaya-upaya seperti membangun sebuah panti untuk rehabilitasi dan mencegah meluasnya permasalahan dan gejala-gejala lain yang berkaitan dengan dampak pelacuran.

3. Aspek Moril

Wanita tuna susila ataupun siapa saja yang melacurkan diri telah dicap (mendapat sterotipe) sebagai sosok yang tidak memiliki susila dan tanggung jawab. Oleh karena itu, WTS sudah dikategorikan tidak mempunyai moril, salah satu contoh yaitu dari sikap persetubuhan dalam pelacuran itu sendiri sangat didominasi dorongan seksual dan mengabaikan perpaduan jiwa yang didasari kasih sayang, dimana WTS

merupakan objek pemuas seks laki-laki. Hal ini merupakan awal lahirnya demoralisasi atau mengesampingkan norma (mengabaikan value system) masyarakat.

Dokumen terkait