EFEKTIVITAS PELAYANAN
PANTI SOSIAL KARYA WANITA (PSKW)
PARAWASA BERASTAGI
SKRIPSI
Diajukan guna memenuhi salah satu syarat
Untuk memperoleh gelar sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
OLEH:
RANDI MARANATHA SEMBIRING 030902030
DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan oleh:
Nama : Randi Maranatha Sembiring
NIM : 030902030
Judul : Efektivitas Pelayanan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW)
Parawasa Berastagi
Pembimbing Skripsi,
Dra. Tuti Atika, M.SP
NIP. 131 762 436
Ketua Departemen
Ilmu Kesejahteraan Sosial
Drs. Matias Siagian, M.Si
NIP. 132 054 339
Dekan
FISIP USU
Prof.Dr. M. Arif Nasution, MA
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur, penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus,
yang atas berkat dan anugerah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan
skripsi ini.
Skripsi ini merupakan tugas akhir yang diajukan guna memenuhi salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat pengalaman
yang berguna, suka maupun duka serta kesulitan yang dialami. Namun, berkat
dukungan dan dorongan semangat akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis
banyak menerima bimbingan, arahan, nasehat dan juga bantuan dari berbagai
pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Teristimewa untuk Orang tua saya (Alm) R. Sembiring Meliala dan
Ibu S. Br Singarimbun, yang sudah membesarkan, mendidik, dan
memberikan dukungan dan doa yang begitu besar bagi penulis.
2. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik
3. Bapak Drs. Matias Siagian, M.Si., selaku Ketua Departemen Ilmu
Kesejahteraan Sosial
4. Ibu Dra. Tuti Atika, M.SP, selaku dosen pembimbing penulis yang
telah banyak memberikan bimbingan, nasehat, dan pengarahan kepada
5. Seluruh Staf Edukatif dan Administratif, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sumatera Utara, terutama kepada Dosen dan Staf
Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial
6. Kepala Seksi PSKW Parawasa Berastagi, Bapak Drs. Amir Sidabutar
yang sudah memberikan bantuan, masukan dan juga nasehat kepada
penulis selama penelitian. Dan kepada seluruh staf, para pembina panti
serta klien-klien PSKW Parawasa Berastagi
7. Keluarga saya, khususnya kakak saya Lea Devika dan Adik saya Rini
Ermila yang selama ini telah memberikan dukungan moral dan materi
serta doanya. Dan tak lupa juga buat kak Erlikasna dan Bibi Uda T Br
Singarimbun, serta kepada Bapak Tua Sukatno Sembiring Meliala,
terima kasih buat bantuan, dukungan semangat dan juga doa-doanya.
8. Teman-teman sepermainan, antara lain: Bang Ifransko, Fernanda,
Sudung, Ade, Jurani, Franklin, Johansen, dan Haga Gulidane.
9. Kepada seluruh teman-temanku di KESSOS ’03, semoga kelak sukses
semua dalam kehidupannya
10.Kepada sahabat terbaik saya: Andryuawan Pacoet/ Nur Qadri yang
selalu bersama-sama dan setia menemani dalam segala hal
11.Dan terakhir, kepada semua pihak yang belum penulis sebutkan yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan perkuliahan dan skripsi
ini.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa Skripsi ini masih banyak
oleh karena itu penulis juga mengharapkan saran dan kritik yang membangun,
karena hal tersebut juga merupakan masukan untuk yang lain nantinya.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dengan harapan semoga
Skripsi ini bermanfaat bagi semua yang membaca.
Medan,
Penulis
ABSTRAK
EFEKTIVITAS PELAYANAN PANTI SOSIAL KARYA WANITA (PSKW)
PARAWASA BERASTAGI Nama : RANDI MARANATHA SEMBIRING NIM : 030902030
Masalah Wanita Tuna Susila (WTS) merupakan masalah yang sangat kompleks. Oleh karena itu, harus ditanggulangi, dihentikan atau diminimalisasi penyebarannya karena dapat menimbulkan masalah sosial. Pelaksanaan penanganan masalah tuna susila khusunya melalui sistem perpantian adalah suatu proses pengentasan yang meliputi: tahapan rehabilitasi, resosialisasi, dan bimbingan lanjut. Proses ini merupakan suatu upaya untuk mewujudkan terbinanya kehidupan para penyandang tuna susila yang meliputi: pemulihan kembali harga diri, tanggung jawab sosial, dan melaksanakan fungsi sosial dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat.
Tipe Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yakni untuk menggambarkan bagaimana keefektifan Pelayanan yang diberikan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi. Sementara itu, sampel dalam penelitian ini merupakan total sampling N = n, yakni sebanyak 25 orang. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan data primer (kuesioner, wawancara, observasi) dan data sekunder (studi kepustakaan). Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa deskriptif dengan mentabulasikan data yang didapat dari responden melalui tabel kemudian menganalisanya.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... I
ABSTRAK ... IV
DAFTAR ISI ... V
DAFTAR BAGAN ... VIII
DAFTAR TABEL ... IX
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang ... 1
I.2. Perumusan Masalah ... 8
I.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
I.4. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Pengertian Efektivitas ... 10
II.2. Konsep Pelayanan Sosial ... 12
II.3. Prostitusi/ Pelacuran dan Penyebabnya ... 18
II.4. Sistem Pembinaan di Panti ... 24
II.5. Kerangka Pemikiran ... 25
BAB III METODE PENELITIAN
III.1. Tipe Penelitian ... 31
III.2. Lokasi Penelitian ... 31
III.3. Populasi dan Sampel ... 32
III.4. Teknik Pengumpulan Data ... 32
III.5. Teknik Analisa Data ... 33
BAB IV DESKRIPSI LOKASI IV.1. Sejarah Berdirinya PSKW Parawasa ... 34
IV.2. Status Formal Panti dan Landasan Hukum ... 35
IV.3. Visi dan Misi ... 35
IV.4. Program Rehabilitasi WTS di Parawasa Berastagi, Kegiatan Harian dan Lama Pembinaan ... 36
IV.5. Struktur Organisasi ... 40
IV.6. Sarana dan Prasarana Panti ... 41
IV.7. Tenaga Pelaksana dan Staf Panti ... 41
IV.8. Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab ... 43
BAB V ANALISIS DATA V.1. Identitas Responden ... 48
V.2. Efektivitas Program Pelayanan dan Pembinaan ... 56
V.3. Efektivitas Bidang Sarana dan Prasarana/ Fasilitas yang Tersedia ... 68
BAB VI KESIMPULAN dan SARAN
VI.1. Kesimpulan ... 76
VI.2. Saran ... 78
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 Kerangka Pemikiran ... 27
Bagan 2 Bagan Struktur Organisasi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Jadwal Kegiatan Harian Klien Panti Sosial Karya Wanita
(PSKW) Parawasa Berastagi ... 39
Tabel 2 Sarana dan Prasarana PSKW Parawasa ... 41
Tabel 3 Data Jumlah PNS PSKW Parawasa ... 42
Tabel 4 Distribusi Responden Berdasarkan Usia ... 48
Tabel 5 Distribusi Responden Berdasarkan Agama ... 50
Tabel 6 Distribusi Responden Berdasarkan Suku ... 51
Tabel 7 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 52
Tabel 8 Distribusi Responden Berdasarkan Status Perkawinan ... 53
Tabel 9 Distribusi Responden Berdasarkan Asal/ Tempat tinggal ... 54
Tabel 10 Distribusi Responden Berdasarkan Lamanya Menjadi WTS ... 54
Tabel 11 Distribusi Responden Berdasarkan Alasan Menjadi WTS ... 55
Tabel 12 Tahu Tidaknya Responden Mengenai Tujuan Dari Program Pelayanan Dan Pembinaan Di Dalam Panti ... 56
Tabel 13 Tanggapan Responden Mengenai Kebermanfaatan Program Pelayanan Dan Pembinaan Panti ... 57
Tabel 14 Tanggapan Responden Mengenai Fasilitas-Fasilitas Yang Mendukung Pelayanan Dan Pembinaan ... 58
Tabel 15 Tanggapan Responden Terhadap Proses Bimbingan Sosial ... 59
Tabel 16 Tanggapan Responden Terhadap Proses Bimbingan Mental ... 60
Tabel 18 Keterangan Responden Mengenai Penambahan Jadwal Materi
Dan Kegiatan Dari Program Pelayanan Dan Pembinaan Panti .... 62
Tabel 19 Tanggapan Responden Terhadap Materi-Materi Pelayanan
Dan Pembinaan Yang Diberikan Oleh Panti ... 63
Tabel 20 Perlu Tidaknya Penambahan Fasilitas Guna
Menunjang Program Pelayanan Dan Pembinaan ... 64
Tabel 21 Hubungan Atau Kerjasama Responden
Dengan Para Petugas Panti ... 65
Tabel 22 Tanggapan Responden Mengenai Kemampuan Pembina/
Petugas Panti Dalam Memberikan Materi dan Kegiatan ... 66
Tabel 23 Jenis Latihan Keterampilan Yang Diminati Oleh Responden ... 67
Tabel 24 Tanggapan Responden Mengenai Keadaan Sarana
dan Fasilitas Yang Tersedia di Panti ... 68
Tabel 25 Daya Tampung Tempat Ibadah ... 69
Tabel 26 Jenis Kegiatan Olah Raga
Yang Paling Diminati Responden ... 70
Tabel 27 Tanggapan Responden Terhadap
Fasilitas Kegiatan Olah Raga ... 71
Tabel 28 Ada Tidaknya Perubahan Yang Dialami Oleh Responden
Selama Berada Di Dalam Panti ... 72
Tabel 29 Jenis Bimbingan Paling Utama Yang Membuat Responden
Menjadi Sadar Untuk Meninggalkan Profesi WTS ... 73
Tabel 30 Sudah Belumnya Responden Mendapatkan Keterampilan
ABSTRAK
EFEKTIVITAS PELAYANAN PANTI SOSIAL KARYA WANITA (PSKW)
PARAWASA BERASTAGI Nama : RANDI MARANATHA SEMBIRING NIM : 030902030
Masalah Wanita Tuna Susila (WTS) merupakan masalah yang sangat kompleks. Oleh karena itu, harus ditanggulangi, dihentikan atau diminimalisasi penyebarannya karena dapat menimbulkan masalah sosial. Pelaksanaan penanganan masalah tuna susila khusunya melalui sistem perpantian adalah suatu proses pengentasan yang meliputi: tahapan rehabilitasi, resosialisasi, dan bimbingan lanjut. Proses ini merupakan suatu upaya untuk mewujudkan terbinanya kehidupan para penyandang tuna susila yang meliputi: pemulihan kembali harga diri, tanggung jawab sosial, dan melaksanakan fungsi sosial dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat.
Tipe Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yakni untuk menggambarkan bagaimana keefektifan Pelayanan yang diberikan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi. Sementara itu, sampel dalam penelitian ini merupakan total sampling N = n, yakni sebanyak 25 orang. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan data primer (kuesioner, wawancara, observasi) dan data sekunder (studi kepustakaan). Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa deskriptif dengan mentabulasikan data yang didapat dari responden melalui tabel kemudian menganalisanya.
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Pada dasarnya semua manusia menginginkan kehidupan yang baik yaitu
terpenuhinya kebutuhan hidup baik kebutuhan jasmani, kebutuhan rohani maupun
kebutuhan sosial. Manusia terpacu untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan
hidupnya demi mempertahankan kehidupan diri sendiri maupun keluarganya.
Berbagai upaya untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidup dikerjakan
manusia agar dapat memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Kenyataannya dalam usaha pemenuhan kebutuhan hidup dijumpai adanya
kesulitan-kesulitan terutama yang dialami oleh kaum wanita di Indonesia. Sering
kebutuhan keluarganya menuntut wanita harus bekerja diluar rumah untuk
mencari kegiatan yang dapat menambah penghasilan keluarga. Namun harapan
untuk dapat menambah penghasilan keluarga tidaklah mudah, karena lapangan
kerja yang terbatas, disamping tingkat pendidikan mereka yang rendah. Dengan
pendidikan yang rendah dan tidak adanya keterampilan yang mereka miliki
menyebabkan mereka mencari jenis pekerjaan yang dengan cepat mendapatkan
uang. Akhirnya wanita-wanita banyak terjun kedalam bisnis pelacuran.
Berbicara soal prostitusi atau bahasa awamnya pelacuran merupakan
masalah lama tetapi tetap baru untuk dibahas. Tidak diketahui secara pasti kapan
munculnya profesi tersebut, dikatakan demikian karena sejak ada norma
perkawinan, bersamaan dengan itu pula lahirlah apa yang disebut dengan
perkawinan itu sendiri. Hubungan seksual antara dua jenis kelamin yang berbeda,
dilakukan diluar perkawinan dan berganti-ganti pasangan, baik dengan menerima
imbalan uang atau material lainnya maupun tidak, sudah disebut orang sebagai
pelacuran (Tjahyo Purnomo W. dan Ashadi Siregar, 1985:10).
Prostitusi atau pelacuran merupakan profesi yang sudah sangat tua
usianya, setua umur kehidupan manusia itu sendiri, dan selalu ada pada negara
berbudaya, sejak jaman purba sampai sekarang. Ini senantiasa menjadi masalah
sosial atau menjadi objek urusan hukum dan tradisi. Selanjutnya dengan
perkembangan teknologi, industri dan kebudayaan manusia turut berkembang pula
pelacuran dalam berbagai tingkatannya.
Pelacuran bukan merupakan istilah asing di kalangan masyarakat terutama
bagi masyarakat perkotaan. Misalnya di kota Medan sendiri masih banyak
dijumpai wanita tuna susila (WTS), Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara
mencatat bahwa pada tahun 2006 terdapat 3.387 orang WTS di Sumatera Utara
dan jumlah ini terus meningkat di tahun berikutnya, dimana pada tahun 2007
terdapat 3.678 orang WTS yang sebahagian besar berada di kota Medan (BPS,
Sumatera Utara Dalam Angka 2006; Sumatera Utara Dalam Angka 2007).
Pelacuran merupakan masalah patologis yang harus dihentikan atau
diminimalisasi penyebarannya, karena dapat menimbulkan masalah patologis
yang lain seperti kriminalitas, kecanduan bahan-bahan narkotika (ganja, morfin,
kokain, dan lain-lain). Pelacuran ini cenderung menimbulkan kejahatan dalam
berbagai variasinya seperti sarang pertemuan pencuri, pemabukan yang membawa
keributan, penculikan dan perdagangan wanita, alat untuk pemerasan dan
Pelacur atau wanita tuna susila (WTS) merupakan suatu masyarakat
tersendiri dengan sub kultur yang khas. Kehidupannya penuh gemerlapan, bau
parfum dan minuman keras yang menusuk hidung dan tawa cekikikan yang
mengundang nafsu. Disana mereka harus menyenandungkan birahi, membuat
laki-laki resah menunggu saat berkencan, hidup mereka penuh sandiwara dan
kepalsuan. Seorang WTS menjalani profesinya dengan latar belakang dan alasan
yang berbeda-beda. Secara umum alasannya antara lain: karena tidak ada uang,
tidak ada pekerjaan, perceraian keluarga, patah hati, diperkosa dan sebagainya.
Aktivitas penjajaan seks atau pelacuran ini dipandang masyarakat sebagai
sisi hitam dari kehidupan sosial yang megah. Adanya sikap ironis masyarakat dan
pemerintah terhadap pelacuran berada pada kondisi untuk dikutuk sekaligus
dilestarikan. Dikutuk karena memang bertentangan dengan nilai-nilai moral
kelompok dominan yang pada umumnya menggunakan standart ganda
(perempuan pelacur dikutuk, laki-laki yang melacur didiamkan). Dilestarikan
karena memang memiliki basis material yang terkait erat pada pengorganisasian
produksi. Warna pandangan ini menyebabkan kita melihat keremang-remangan
dalam kehidupan pelacuran, (Katjasungkana 1995:31).
Dimensi kehidupan para pelacur disini sangat kompleks, sejalan dengan
keberadaan manusia dalam mengarungi kehidupannya sehari-hari. Sebagai
seorang manusia, WTS juga membutuhkan adanya dinamisasi kehidupan dalam
dirinya, agar nantinya ia dapat memutuskan untuk tidak bekerja sebagai wanita
tuna susila dan kembali ke masyarakat. Tetapi pandangan negatif yang masih
berlaku di masyarakat tentang masa lalu para WTS, dengan sendirinya akan
Penerimaan masyarakat terhadap bekas pelacur, tidak pernah berubah,
sejalan dengan keberadaan pelacuran itu sendiri di masyarakat. Bekas WTS yang
telah memulai kehidupan baru, biasanya tetap akan menjadi objek bagi
sekelompok manusia ‘penggemar’ pelacuran. Dengan segala upaya biasanya
orang-orang tersebut mencoba menggoda para bekas WTS untuk kembali
melakukan praktek pelacuran sebagai usaha sampingannya. Dan tidak jarang pula
dengan berbagai cara dan janji yang muluk, terkadang ada juga bekas WTS yang
tergoda untuk kembali melakukan praktek prostitusi dengan cara yang lebih halus,
yaitu bertamengkan usahanya. Disini tampak dilematis pelacuran dalam
kehidupan masyarakat, baik keberadaan pelacuran itu sendiri maupun penerimaan
mereka terhadap dinamisasi kehidupan para WTS atau bekas WTS.
Masalah WTS ini merupakan masalah yang sangat kompleks. Pelacuran
disamping merupakan penyakit masyarakat juga menimbulkan penyakit yang
sangat berbahaya bagi kehidupan orang seorang, keluarga dan masyarakat,
misalnya penyakit kelamin.
Pelacuran atau tindakan tuna susila ini dapat menimbulkan
keresahan-keresahan serta kegoncangan-kegoncangan di dalam kehidupan dan penghidupan
masyarakat dan merupakan penghambat dalam proses pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat pada umumnya.
Selain hal diatas wanita tuna susila atau pelacur itu merupakan perbuatan :
- yang bertentangan dengan moral Pancasila dan norma-norma yang berlaku
- yang dapat memerosotkan harkat dan martabat serta merendahkan diri
khususnya bagi kaum wanita serta merusak sendi-sendi kehidupan
keluarga dan kehidupan kebersamaan,
- yang dapat membahayakan kelangsungan keturunan serta merugikan masa
depan generasi muda, khususnya bagi kaum wanita dalam rangka
meneruskan perjuangan bangsa dimana terdapat WTS/ pelacur yang
berusia muda.
Mengingat bahwa masalah WTS itu merupakan masalah yang sangat
kompleks, maka pelacuran ini mutlak harus ditanggulangi dan bukan karena itu
saja tetapi juga agar gejala ini tidak diterima oleh masyarakat sebagai pola budaya
(sekalipun penerimaannya tidak secara sadar), dengan kata lain pelacuran yang
dibiarkan tanpa dicegah atau ditanggulangi, lambat laun dapat dipandang oleh
masyarakat sebagai hal yang normal dan wajar dan mungkin akan melembaga
sebagai hal-hal yang patut, sehingga harus diupayakan penyembuhannya dan
dicegah atau dihalang-halangi timbulnya dengan meniadakan faktor-faktor
penyebabnya. Oleh karena itu, Pemerintah telah berusaha mengadakan berbagai
kegiatan dengan tujuan mengurangi bertambahnya pelacuran. Bentuk konkrit dari
langkah-langkah dan usaha penanggulangan pelacuran telah diadakan usaha
rehabilitasi melalui pendidikan mental dan keterampilan di dalam panti.
Adapun fungsi dari panti tersebut adalah sebagai berikut :
1. membimbing dan mengembalikan WTS ke masyarakat untuk dapat hidup
secara wajar tanpa menggantungkan diri kepada orang lain serta berhenti
melacurkan diri.
3. sebagai tempat informasi kepada masyarakat tentang pelaksanaan
usaha-usaha penyantunan/ rehabilitasi WTS.
Dengan pengertian lain, usaha yang dilakukan pemerintah untuk
menanggulangi pelacuran adalah dengan rehabilitasi dan resosialisasi. Yang
dimaksud dengan rehabilitasi disini yaitu suatu tahap bimbingan dan pembinaan
yang diberikan oleh lembaga bagi para wanita tuna susila (WTS), Rehabilitasi
sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemauan dan
kemampuan klien atau penyandang masalah sosial agar dapat melaksanakan
fungsi sosial secara optimal dalam kehidupan masyarakat. Tujuan rehabilitasi
sosial sebagaimana dikemukakan Soenaryo (1995 : 118) adalah : pertama
memulihkan kembali rasa harga diri, percaya diri, kesadaran serta tanggung jawab
terhadap masa depan diri, keluarga maupun masyarakat atau lingkungan
sosialnya, kedua memulihkan kembali kemauan dan kemampuan untuk dapat
dilaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Terkait dengan keberfungsian sosial,
DuBois dan Miley (1992 ;223) menyatakan keberfungsian individu lebih
berkaitan dengan upaya mencapai gaya hidup yang mampu memenuhi kebutuhan
dasar, membangun relasi yang positif dan menekankan pada pertumbuhan dan
menyesuaikan personal yang baik dalam keluarga maupun masyarakat.
(http://www.damandiri.or.id/file/ettypapayunganunhasbab2b.pdf!)
Sedangkan resosialisasi merupakan tahapan persiapan penyaluran untuk
kembali ke tengah-tengah masyarakat yang wajar dengan cara memantapkan
bimbingan mental, sosial dan keterampilan. Resosialisasi ini bertujuan untuk
serta kemampuan agar dapat menyesuaikan diri secara normatif dalam
masyarakat.
Bentuk rehabilitasi tersebut adalah dengan mendirikan lembaga yang
diberi nama Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa di Berastagi. Yang
beralamat di Jalan Jamin Ginting No. – Kuta Gadung Berastagi Kabupaten Karo,
kira-kira 68 Km dari kotamadya Medan. Adapun Program pelayanan dan
pembinaan yang diberikan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa adalah
mencakup beberapa aspek pokok antara lain: bimbingan dan pembinaan di bidang
kerohanian, moral, mental dan bidang pendidikan keterampilan.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti dan mengetahui
bagaimana keefektifan pelayanan sosial yang diberikan, dengan melihat
kelengkapan fasilitas pendukung pelayanan, keahlian pekerja sosial, dan
dukungan dari masyarakat terutama keluarga klien (wanita binaan sosial). Untuk
lebih terarah, penulis membatasi penelitian ini hanya pada ruang lingkup
kefektifan pelayanan yang diberikan, sehingga penulis mengangkat permasalahan
ini dengan judul : “Efektivitas Pelayanan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW)
Parawasa Berastagi”.
Adapun alasan mengapa permasalahan ini perlu untuk diteliti adalah
karena dalam memberikan pelayanan sosial kepada si penderita atau klien agar
tercapai pelayanan secara optimal dituntut suatu keterampilan yang didukung oleh
fasilitas pendukung pelayanan yang memadai dan keahlian para pekerja sosial.
Masyarakat mengharapkan agar pelayanan sosial yang diberikan lebih berkualitas,
khususnya di lembaga-lembaga sosial seperti Panti Sosial Karya Wanita (PSKW)
I.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas, maka
permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah :
“Bagaimanakah efektivitas pelayanan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW)
Parawasa Berastagi”.
I.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian I.3.1. Tujuan
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana proses pembinaan yang dilaksanakan
PSKW Parawasa
2. Untuk mengetahui efektivitas pelayanan yang sudah dilaksanakan PSKW
Parawasa terhadap pembinaan wanita binaan
I.3.2. Manfaat
Adapun yang menjadi manfaat penelitian adalah sebagai berikut :
1. Secara Akademis, dapat memberikan sumbangan positif terhadap
khasanah keilmuan di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial mengenai
konsep pelayanan sosial
2. Secara Teoritis, melatih diri dan mengembangkan pemahaman dan
kemampuan berpikir penulis melalui penelitian dan penulisan karya ilmiah
tentang efektivitas pelayanan
3. Secara Praktis, sebagai bahan masukan, pertimbangan, dan evaluasi bagi
Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi secara khusus dan
bagi pemerintah, maupun pihak-pihak luar secara umum guna
D. Sitematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
BAB ini berisikan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan
dan Manfaat Penelitian serta Sistematika Penulisan
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
BAB ini menguraikan tentang teori-teori yang berkaitan dengan
masalah dan objek yang akan diteliti
BAB III : METODE PENELITIAN
BAB ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan
sampel, teknik pengumpulan data serta teknik analisa data
BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
BAB ini berisikan gambaran umum mengenai lokasi dimana
peneliti melakukan penelitian
BAB V : ANALISA DATA
BAB ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dalam
penelitian beserta analisisnya
BAB VI : PENUTUP
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pengertian Efektivitas
Dalam setiap organisasi, efektivitas merupakan unsur pokok untuk
mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan. Menurut Barnard, bahwa
efektivitas adalah tercapainya sasaran yang telah disepakati bersama (Barnard,
1992 ; 27).
Dalam Ensiklopedia Umum (1977: 129), disebutkan bahwa efektivitas
menunjukkan taraf tercapainya suatu tujuan. Usaha dikatakan efektif kalau usaha
itu mencapai tujuannya secara ideal, taraf intensitas dapat dinyatakan dengan
ukuran yang agak pasti.
Pengertian lain dikemukakan oleh Sarwoto, efektivitas atau berhasil guna
adalah pelayanan yang baik, corak maupun mutunya, kegunaan benar sesuai
dengan kebutuhan ini dalam mencapai tujuan organisasi (Sarwoto, 1991: 95).
Menurut Cambel J.P, pengukuran efektivitas secara umum dan yang
paling menonjol adalah :
1. Keberhasilan program
2. Keberhasilan sasaran
3. Kepuasan terhadap program
4. Tingkat input dan output
Sehingga efektivitas program dapat dijalankan dengan kemampuan
operasional dalam melaksanakan program-program kerja yang sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Secara komprehensif, efektivitas dapat diartikan sebagai tingkat
kemampuan suatu lembaga atau organisasi untuk dapat melaksanakan semua
tugas-tugas pokoknya atau untuk dapat mencapai sasaran yang telah ditentukan
sebelumnya (Cambel, 1989 : 47). Sementara menurut Richard M. Steers, bahwa
efektivitas merupakan suatu tingkat kemampuan organisasi untuk dapat
melaksanakan seluruh tugas-tugas pokoknya atau pencapaian sasarannya.
Dari pendapat beberapa ahli diatas dapat penulis simpulkan pengertian
efektivitas yaitu keberhasilan suatu aktivitas atau kegiatan dalam mencapai tujuan
(sasaran) yang telah ditentukan sebelumnya. Lebih jelasnya apabila tujuan atau
sasaran dapat dicapai sesuai dengan yang telah ditentukan sebelumnya dikatakan
efektif dan sebaliknya apabila tujuan atau sasaran tersebut tidak dapat dicapai
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan maka aktivitas dikatakan tidak efektif.
Efektivitas dalam dunia riset ilmu-ilmu sosial dijabarkan dengan jumlah
penemuan atau produktivitas, dimana bagi sejumlah sarjana sosial efektivitas
sering kali ditinjau dari sudut kualitas pekerjaan atau program kerja. Singkatnya
efektivitas memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang, tergantung pada
kerangka acuan yang dipakai.
Mengingat keanekaragaman pendapat mengenai sifat dan komposisi dari
efektivitas, maka tidaklah mengherankan jika terdapat sekian banyak pertentangan
cara menentukan indikator dari efektivitas. Sehingga dengan demikian tentu akan
lebih sulit lagi bagaimana cara mengevaluasi tentang konsep efektivitas.
Pengertian yang memadai mengenai tujuan ataupun sasaran organisasi
merupakan langkah pertama dalam pembahasan efektivitas, dimana seringkali
berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai. Dalam awal usaha mengukur
efektivitas yang pertama sekali adalah memberikan konsep tentang efektivitas itu
sendiri.
Dari beberapa uraian diatas, dapat dijelaskan bahwa efektivitas merupakan
kemampuan untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas suatu lembaga secara fisik
dan rohani untuk mencapai tujuan serta meraih keberhasilan maksimal.
II.2 Konsep Pelayanan sosial II.2.1 Pelayanan sosial
Pelayanan sosial adalah aktivitas yang terorganisasi yang bertujuan untuk
membantu para anggota masyarakat untuk saling menyesuaikan diri dengan
sesamanya dan dengan lingkungan sosialnya.
Dalam batasan yang sempit, pelayanan sosial berarti bantuan pada orang
miskin, pada anak-anak terlantar, yang terkena bencana alam, serta
bantuan-bantuan lainnya yang ditujukan untuk membantu orang-orang kurang mampu
secara ekonomi.
Seperti halnya dengan batasan-batasan ilmu sosial lainnya, maka batasan
baru tentang pelayanan sosial juga sulit ditemukan. Para ahli memberikan defenisi
tentang pelayanan sosial yang saling berbeda-beda, tergantung dari sudut mana
pelayanan dan sosial. Pelayanan berarti usaha pemberian bantuan atau
pertolongan kepada orang lain, baik materi dan non materi, agar orang itu dapat
mengatasi masalahnya sendiri. Dapat disimpulkan dari batasan tersebut bahwa
pelayanan bukan hanya pemberian bantuan berupa uang, makanan, sandang,
perumahan dan lain-lain yang bersifat materi melainkan juga bersifat non materi
seperti bimbingan. Sedangkan sosial berarti kawan, yaitu : 1) suatu badan umum
kearah kehidupan bersama manusia dan masyarakat, 2) suatu petunjuk kearah
usaha-usaha menolong orang miskin dan sengsara. (Soetarso, 1977: 78)
Lebih lanjut Suparlan dan kawan-kawan mengatakan bahwa pelayanan
sosial adalah aktivitas yang terorganisasi bertujuan membantu para anggota
masyarakat saling menyesuaikan diri dengan sesamanya dan lingkungan
sosialnya. (Suparlan, 1983: 93)
Selanjutnya Syarif Muhidin (1981: 68) memberikan defenisi pelayanan
sosial dalam arti luas dan sempit, yaitu:
1. Pelayanan dalam arti luas adalah pelayanan yang mencakup fungsi
pengembangan termasuk pelayanan sosial dalam bidang pendidikan,
kesehatan, tenaga kerja, dan sebagainya.
2. Pelayanan dalam arti sempit adalah pelayanan sosial yang mencakup
pertolongan dan perlindungan kepada golongan yang tidak beruntung,
seperti pelayanan sosial bagi anak-anak terlantar, keluarga miskin,
cacat, tuna susila, dan sebagainya.
Alfred J. Khan dalam Sumarno Nugroho (1987: 72), mengemukakan
pendapatnya tentang pelayanan sosial sebagai berikut: pelayanan sosial terdiri dari
menjamin suatu tingkatan dasar dalam penyediaan fasilitas pemenuhan kebutuhan
dan kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan untuk meningkatkan kehidupan
bermasyarakat, serta kemampuan perorangan untuk melaksanakan
fungsi-fungsinya. Untuk memperlancar kemampuan menjangkau dan menggunakan
pelayanan-pelayanan serta lembaga-lembaga yang telah ada, dan membantu warga
masyarakat yang mengalami kesulitan dan keterlantaran.
II.2.2 Klasifikasi Pelayanan Sosial
Pelayanan sosial sebagai suatu kegiatan yang terorganisasi bertujuan untuk
membantu tercapainya penyesuaian timbal balik antara seseorang atau kelompok
dengan lingkungannya.
Klasifikasi pelayanan sosial dikemukakan oleh Alfred J. Khan dengan
berdasarkan pada fungsinya sebagai berikut, yaitu :
1. Pelayanan sosial untuk tujuan sosialisasi dan pengembangan
Tujuan kegiatan ini adalah sosialisasi, menanamkan pemahaman akan
tujuan dan motivasi, serta meningkatkan mutu perkembangan
kepribadian.
2. Pelayanan sosial untuk tujuan penyembuhan, pemberian bantuan,
rehabilitasi dan perlindungan sosial
Pelayanan ini dapat berupa bantuan singkat, intensif dan pribadi
sifatnya dengan program-program perbaikan situasi lingkungan sosial,
antar orang atau unsur-unsur kepribadiannya juga termasuk pemulihan
3. Pelayanan sosial untuk membantu orang menjangkau dan
menggunakan pelayanan sosial yang sudah ada dan pemberian
informasi dan nasihat.
Pelayanan sosial yang disusun dengan baik dan disampaikan dengan
efektif akan dapat memenuhi kebutuhan dan bahkan menciptakan
kepuasan.
Pelayanan sosial yang dilaksanakan secara luas dan mempunyai karakter
fundamental akan dapat memperluas perubahan sosial dan meningkatkan kondisi
kehidupan masyarakat.
II.2.3 Program-program pelayanan sosial
Program-program pelayanan sosial merupakan bagian dari intervensi
kesejahteraan sosial. Pelayanan-pelayanan sosial meliputi kegiatan-kegiatan atau
intervensi kasus yang dilaksanakan secara diindividualisasikan, langsung dan
terorganisasi, yang bertujuan membantu individu, kelompok dan lingkungan
sosial dalam upaya mencapai saling penyesuaian.
Bentuk-bentuk pelayanan sosial sesuai dengan fungsi-fungsinya adalah
sebagai berikut :
1. Pelayanan akses : mencakup pelayanan informasi, rujukan pemerintah,
nasehat dan partisipasi. Tujuannya membantu orang agar dapat mencapai
atau menggunakan pelayanan yang tersedia.
2. Pelayanan terapi : mencakup pertolongan dan terapi atau rehabilitasi,
termasuk didalamnya perlindungan dan perawatan. Misalnya pelayanan
kesejahteraan anak, pelayanan kesejahteraan sosial mendidik dan sekolah,
perawatan bagi orang-orang jompo dan lanjut usia.
3. Pelayanan sosialisasi dan pengembangan, misalnya taman penitipan bayi
dan anak, keluarga berencana, pendidikan keluarga, pelayanan rekreasi
bagi pemuda dan masyarakat yang dipusatkan atau community centre
(Nurdin, 1989: 50).
II.2.4 Standard Pelayanan Sosial
Kata “standard” yang digunakan disini dapat berarti :
a. suatu norma bagi pelayanan sosial
b. suatu bentuk norma atau peraturan tertentu yang sengaja disusun untuk
digunakan sebagai pedoman.
Adapun jenis standard pelayanan sosial itu adalah:
1. Standard Minimum
Standard ini digunakan kalau pemerintah menginginkan penentuan
persyaratan wajib untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan
sosial. Badan-badan sosial didorong untuk melampaui standard minimum ini.
2. Standard Maksimum
Standard ini merupakan sasaran pencapaian mutu pelayanan tertinggi yang
ditentukan oleh pemerintah selama jangka waktu tertentu. Standard maksimum ini
dapat digunakan dalam perencanaan kesejahteraan sosial jangka panjang.
3. Standard Realistis
Standard ini lebih banyak berfungsi sebagai pedoman dan oleh karenanya
tidak mempunyai kekuatan memaksa. Tujuan utama standard ini adalah
Pelayanan sosial secara umum dapat dibagi dalam dua kategori yang
saling menunjang dan saling melengkapi yaitu pelayanan yang melalui panti dan
pelayanan diluar panti. Keduanya harus tercakup dalam standard yang berisikan :
1. Bangunan dan fasilitas lingkungannya
Bangunan dan fasilitas lingkungan merupakan objek yang secara langsung
digunakan untuk menampung atau menyembuhkan penerima pelayanan. Biasanya
luas panti untuk satu orang kelayan digunakan sebagai standard luas bangunan.
Verifikasi, tata lampu, peralatan kesehatan, dan keselamatan merupakan hal-hal
yang dimaksudkan dalam jenis-jenis bangunan yang akan dibangun.
2. Peralatan
Peralatan ini mencakup tempat tidur, meja, kursi dan lain-lain yang
digunakan baik secara perorangan maupun secara bersama-sama.
3. Pelayanan Operasional
Mencakup hal-hal sebagai berikut :
- Makanan (kalori, mutu, jenis menu, fasilitas dapur, perabotan pecah belah
dan lain-lain)
- Pakaian (jumlah fasilitas cucian, frekuensi pergantian)
- Kesehatan dan kebersihan
- Rekreasi dan kegiatan-kegiatan pengisian waktu luang
4. Pelayanan Profesional
- Asuhan (jumlah dan tugas-tugas pengasuh)
- Pekerja sosial dan pelayanan profesional lain yang terkait (jumlah dan
tugas-tugas pekerja sosial, psikolog, psikiater, perawat, penyuluh dan
sebagainya).
- Pelayanan pendidikan
- Latihan kerja
- Pelayanan bimbingan lanjut
5. Tenaga
Standard ini mencakup kualifikasi petugas, seleksi dan peremajaan,
kondisi kerja, perawatan kesehatan, dan jaminan-jaminan lainnya.
6. Administrasi
Mencakup supervise, latihan dan pengembangan petugas, pencatatan
tugas-tugas profesional maupun pelayanan rutin, ketatausahaan keuangan,
peraturan-peraturan intern, hubungan dengan masyarakat dan sebagainya.
II.3 Prostitusi/ Pelacuran dan Penyebabnya
Prostitusi berasal dari kata “prostituere” (bahasa latin) yang berarti
menonjolkan diri dalam hal-hal yang buruk atau tercela atau menyerahkan diri
secara terang-terangan kepada umum.
Di Indonesia istilah ini dikenal dengan “pelacuran” yang pada umumnya
dirumuskan demikian: “Pelacuran” dapat diartikan sebagai penyerahan badan
wanita dengan pembayaran, kepada orang laki-laki guna pemuasan nafsu sexuil
Adapun bentuk dan polanya bermacam-macam, ada yang langsung
tersedia di tempat-tempat (di rumah-rumah), yang dinamakan bordil dan
lokalisasi. Biasanya pelacur-pelacur yang berada di tempat tersebut dipelihara
oleh seseorang yang dinamakan Germo, dan oleh si germo dia diatur dan harus
menurut kehendak si germo, bahkan menurut penelitian-penelitian sebagian besar
hasil WTS yang bersangkutan diambil oleh sang germo.
Ada pula pelacur-pelacur yang hanya melayani panggilan-panggilan untuk
diajak ke suatu tempat tertentu seperti di hotel-hotel, pesanggrahan atau
rumah-rumah tertentu, pelacur ini dinamakan “call girl” (wanita panggilan). Call girl ini
jaring-jaringnya juga cukup rapi hingga agak sulit diketahui, biasanya ada
perantara-perantaranya yang umumnya dari kalangan tukang becak, supir taxi dan
lain-lain.
Yang paling menyolok adalah apa yang dinamakan pelacuran jalanan
dimana para WTS berkeliaran di pojok-pojok jalan secara menyolok sekali,
seolah-olah menjajakan diri secara terang-terangan. Biasanya mereka
dibawa-bawa oleh yang menghendakinya.
Ada juga yang mengkategorikan pelacuran dengan kelas-kelas seperti :
a. pelacuran kelas rendahan (jalanan, bordil-bordil murahan)
b. pelacuran menengah yang berada di bordil-bordil tertentu yang cukup
bersihan dan pelayanannya baik
c. pelacuran kelas tinggi biasanya para pelacur tinggal di rumah sendiri
(terselubung–tersembunyi) dan hanya menerima panggilan dengan
perantara yang cukup rapi sehingga sulit diketahui dan bayarannya cukup
Pada saat ini bentuk-bentuk pelacuran di Indonesia dapat dikatakan
bertambah lagi dengan apa yang dinamakan pelacuran tersembunyi (terselubung)
dalam bentuk-bentuk kerja jasa lainnya yang sulit dibuktikan, misalnya
terselubung dalam pekerjaan tukang-tukang pijat di hotel dan bersembunyi di
tempat-tempat mandi uap dan pijat tertentu yang terdapat di kota-kota besar.
Semakin unik bentuk-bentuk pelacuran semakin sulit pula pelacuran
ditanggulangi apalagi dilenyapkan.
II.3.1 Pengertian
1. Tuna susila adalah seorang wanita, pria dan waria (wanita pria) yang
melakukan hubungan seksual di luar pernikahan dengan tujuan untuk
mendapatkan imbalan uang, materi dan/ atau jasa.
2. Wanita tuna susila (WTS) adalah wanita yang melakukan hubungan
seks dengan lawan jenisnya secara berulang-ulang dan bergantian di
luar perkawinan yang sah dengan mendapat imbalan uang, materi,
dan/atau jasa.
II.3.2 Faktor Penyebab Prostitusi/Pelacuran
Masalah WTS atau pelacuran sudah terjadi sejak dulu seiring dengan
perjalanan perilaku manusia, (dalam simandjuntak,1981) dikemukakan beberapa
teori kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan, Taft mengatakan
crime is a product of culture yaitu benturan budaya atau norma dimana individu
mengalami kegoncangan jiwa akan melahirkan kejahatan. Kemudian Sutherland
dengan teori learning mengidentifikasikan bahwa seseorang menjadi jahat karena
WTS sebagian besar berasal dari pergaulan kurang baik, keluarga yang tidak
mampu mendidik, kekurangan atau kehilangan cinta kasih.
Pelacuran timbul dikarenakan berbagai hal yang komplek, menurut hasil
penelitian (dalam Suyanto,2001: 111) Rowbothon (1973) menyebutkan bahwa
unsur utama pelacuran adalah faktor ekonomi, masalah WTS tidak lepas dari
pengertian pelacuran sebagai gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri
dengan melakukan perbuatan seksual sebagai mata pencaharian, jadi unsur
essensial dalam pelacuran adalah motif ekonomi. Kemudian Saptari (1997) secara
garis besar menyebutkan paling tidak ada tiga faktor yang mendorong seseorang
menjadi pelacur. Pertama, karena keadaan ekonomi dan kondisi kemiskinan
rumah tangga perempuan pelacur atau WTS. Kedua, karena pandangan tentang
seksualitas yang cenderung menekankan arti pentingnya keperawanan, sehingga
tidak memberi kesempatan bagi perempuan yang sudah tidak perawan kecuali
masuk ke dalam peran yang diciptakan oleh nilai yaitu sebagai pelacur. Ketiga,
karena sistem paksaan dan kekerasan seperti yang sering terjadi di lokasi, WTS
sengaja dijerat utang oleh germo sebagai pengikat dan terpaksa melacurkan diri.
Namun demikian, banyak ditemui kasus wanita melacurkan diri tidak
semata-mata motif ekonomi. Di luar muatan ekonomi tersebut, pelacuran
sesungguhnya adalah ekspresi dari hegomoni kultural pria atas kaum perempuan
dan terpaksa atau dipaksa masuk kedalam pelacuran oleh laki-laki yang
II.3.3 Prostitusi/Pelacuran sebagai masalah sosial
Prostitusi atau pelacuran merupakan masalah sosial yang besar
pengaruhnya bagi perkembangan moral. Pelacuran merupakan profesi yang sangat
tua usianya, setua umur kehidupan manusia. Pelacuran sebagai masalah sosial
atau menjadi objek urusan hukum dan tradisi dari sejarah kehidupan manusia
sampai sekarang, dan selalu ada sampai setiap tingkatan peradaban, perlu di
tanggulangi dengan kesungguhan.
Di banyak negara pelacuran dilarang bahkan dikenakan hukuman, juga
dianggap sebagai perbuatan hina oleh setiap anggota masyarakat. Akan tetapi,
sejak adanya masyarakat manusia pertama hingga dunia akan kiamat nanti mata
pencaharian pelacuran akan tetap ada, sukar bahkan hampir tidak mungkin
diberantas dari muka bumi ini selama masih ada nafsu-nafsu seks, nafsu yang
lepas kendali.
II.3.4 Akibat-akibat Pelacuran
Pelacuran menimbulkan berbagai masalah, yaitu menyangkut aspek medis,
sosial ekonomi, dan moril.
1. Aspek medis
Sudah menjadi kenyataan umum bahwa pelacuran dapat
mengakibatkan timbulnya penyakit kelamin seperti syphilis, gonorchea
bahkan HIV/AIDS. Penularan penyakit kelamin akibat adanya WTS
tersebut pengaruhnya sangat luas, yaitu tidak hanya menyerang laki-laki
dewasa tetapi bisa pada istri dan anak-anak bahkan menimbulkan abortus
2. Aspek sosial ekonomi
Pengaruh adanya WTS pada aspek sosial ekonomi sangat besar, karena
bisa melumpuhkan, menghancurkan atau merusak potensi bangsa, bahkan
menurut Loothorp dalam buku The rising tide of colour mensinyalir bahwa
dengan adanya WTS timbul gejala-gejala lapisan terbawah di masyarakat
tidak dapat ikut serta dalam kemajuan, mereka dengan sendirinya akan
mempunyai nasib yang sangat jelek sehingga mempengaruhi tujuan
masyarakat dalam mempertahankan nilai sosial seperti kerja sama atau
kekompakan dan partisipasi pembangunan menjadi rusak
(Simandjuntak.B, 1981). Selain pada aspek sosial, dampak adanya WTS
menjadi beban ekonomi finansial, hal ini karena banyaknya penyakit
akibat pelacuran seperti tersebut diatas membebani keuangan negara,
dimana dengan adanya berbagai penyakit tersebut pemerintah terpaksa
harus mengeluarkan uang atau penyediaan obat untuk mengatasi penyakit
maupun kegiatan atau upaya-upaya seperti membangun sebuah panti untuk
rehabilitasi dan mencegah meluasnya permasalahan dan gejala-gejala lain
yang berkaitan dengan dampak pelacuran.
3. Aspek Moril
Wanita tuna susila ataupun siapa saja yang melacurkan diri telah dicap
(mendapat sterotipe) sebagai sosok yang tidak memiliki susila dan
tanggung jawab. Oleh karena itu, WTS sudah dikategorikan tidak
mempunyai moril, salah satu contoh yaitu dari sikap persetubuhan dalam
pelacuran itu sendiri sangat didominasi dorongan seksual dan
merupakan objek pemuas seks laki-laki. Hal ini merupakan awal lahirnya
demoralisasi atau mengesampingkan norma (mengabaikan value system)
masyarakat.
II.4 Sistem Pembinaan di Panti sebagai Pelayanan Sosial
Panti sebagai lembaga sosial merupakan tempat dimana terdapat
kebutuhan yang beraneka ragam dari para penghuninya. Kebutuhan ini
mempunyai konsekuensi adanya tanggung jawab panti untuk memenuhi
kebutuhan itu. Salah satu sistem pelayanan sosial adalah melalui panti. Panti
artinya tempat, sarana atau rumah, sedangkan pelayanan adalah usaha pemberian
bantuan atau pertolongan kepada orang lain baik materi maupun non materi.
Penyantunan WTS dalam sistem perpantian berlangsung selama setengah
tahun dengan penjadwalan kegiatan sebagai berikut :
- tahap awal klien sudah diterima di panti
- tahap rehabilitasi sosial berupa kegiatan pengajaran pendidikan,
bimbingan sosial dan mental, latihan keterampilan. Tahap ini dilaksanakan
selama 2 bulan lamanya
- tahap resosialisasi/persiapan penyaluran yaitu pemantapan bimbingan
sosial dan mental serta latihan keterampilan
- tahap bimbingan lanjut.
Jadi pelayanan panti bentuk pelayanan dengan mempergunakan panti
sebagai sarana dalam usaha memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada
kliennya sehingga mereka dapat mengatasi masalahnya. Dengan demikian mereka
berfungsi untuk pemulihan fungsi sosial yang terganggu, pengadaan
sumber-sumber dan pencegahan terhadap disfungsi sosial sesuai dengan hakekat
pembangunan sosial yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan seluruh masyarakat Indonesia maka hakekat pelayanan panti
menyangkut aspek kehidupan dan penghidupan penghuninya serta pada
hakekatnya pelayanan itu bersifat kuratif, rehabitatif, dan developmental.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa panti merupakan suatu tempat
yang berfungsi untuk memberikan santunan/ rehabilitasi kepada penyandang
masalah kesejahteraan sosial agar dapat memerankan fungsi sosial mereka secara
wajar dan memadai sesuai dengan harkat dan martabat manusia didalam tata
kehidupan normal.
II.5 Kerangka Pemikiran
Prostitusi atau Pelacuran merupakan salah satu masalah sosial yang
kompleks, mengingat prostitusi merupakan peradaban yang termasuk tertua di
dunia dan hingga saat ini masih terus ada pada masyarakat kita. Banyak hal yang
melatarbelakangi wanita menjadi pelacur/ WTS antara lain karena faktor
ekonomi, psikologis, kelonggaran kultur masyarakat di sekitar dan faktor lainnya.
Pelacuran atau tindak susila ini jelas menimbulkan keresahan serta
kegoncangan di dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat. Pelacuran
merupakan penghambat dalam proses pembangunan manusia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia pada umumnya. Untuk itu diperlukan
fungsi yang dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan usaha rehabilitasi,
untuk mempersiapkan mereka agar dapat secara utuh kembali ke masyarakat.
Di Sumatera Utara satu-satunya lembaga sosial yang secara khusus
menangani pembinaan terhadap klien/ wanita tuna susila adalah Panti Sosial
Karya Wanita (PSKW) Parawasa di Berastagi. PSKW Parawasa adalah Unit
Pelaksana Teknis dari Dinas Sosial Provinsi yang memberikan rehabilitasi
terhadap WTS dan menerapkan sistem perpantian yaitu pelayanan dalam suatu
proses penyantunan dan pengentasan yang meliputi : tahapan rehabilitasi,
resosialisasi dan bimbingan lanjut. Proses ini merupakan suatu upaya untuk
mewujudkan terbina dan berkembangnya tata kehidupan dan penghidupan para
penyandang tuna susila yang diliputi oleh pemulihan kembali rasa harga diri,
tanggung jawab sosial, serta kemauan dan berkemampuan melaksanakan fungsi
Bagan 1
Kerangka Pemikiran Secara Sistematis
Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa
Pelayanan :
a. Program Pendidikan
b. Bimbingan sosial
c. Bimbingan mental
d. Bimbingan keterampilan
Wanita Binaan Sosial
Perkembangan yang dihasilkan : - memiliki keterampilan
- dapat berfungsi sosial dengan baik
II.6 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional II.6.1 Defenisi Konsep
Konsep adalah istilah atau defenisi yang digunakan untuk menggambarkan
secara abstrak kejadian, keadaan kelompok atau individu yang menjadi pusat
perhatian ilmu sosial. (Singarimbun, 1989: 33)
Untuk memfokuskan penelitian ini peneliti memberikan batasan konsep
yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu :
1. Efektivitas adalah Suatu pencapaian tujuan secara maksimal dengan sarana
yang dimiliki melalui program-program tertentu.
2. Pelayanan sosial adalah aktivitas yang terorganisasi yang bertujuan untuk
membantu masyarakat untuk saling menyesuaikan diri dengan sesamanya
dan dengan lingkungan sosialnya.
3. Wanita Tuna Susila adalah seorang wanita yang mengadakan hubungan
seksual dengan seorang pria atau lebih diluar pernikahan dengan sengaja
atau berpengharapan mendapat upah sebagai balas jasa, sehingga menjadi
kebiasaan. Dalam hal ini sama dengan istilah pelacur, penjaja seks,
kupu-kupu malam, balon, lonte, cabo, sundal, pecun.
4. Panti Sosial Karya Wanita Parawasa adalah unit pelaksana teknis dari
kantor wilayah Dinas Sosial di Sumatera Utara yang bertanggung jawab
langsung dibawah Departemen Sosial, yang memberikan rehabilitasi dan
II.6.2 Defenisi Operasional
Defenisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan
bagaimana cara mengukur suatu variabel. (Singarimbun, 1989: 63)
Untuk melihat variabel-variabel dan indikator-indikator dalam penelitian
ini dapat dilihat dari jenis pelayanan yang diberikan, yaitu sebagai berikut :
1. Program pelayanan PSKW Parawasa yang diukur meliputi :
a. Bimbingan sosial adalah bimbingan yang diberikan dengan tujuan
untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab sosial serta
memulihkan kemauan dan kemampuan untuk penyesuaian dirinya
secara normatif. Antara lain: berupa kegiatan ceramah hukum dan
moral, simulasi dan ceramah P4, kadarkum (kelompok sadar hukum).
b. Bimbingan mental adalah bimbingan yang diberikan dengan tujuan
untuk memberikan kemampuan pemeliharaan kondisi sehat fisik,
integrasi diri, rasa percaya diri dan disiplin diri. Bimbingan ini berupa
snam kesegaran jasmani, kegiatan ceramah keagamaan, diskusi, sholat
dan kegiatan lainnya. Bimbingan ini diberikan oleh petugas dari
Departemen Agama bekerjasama dengan petugas panti yang diberikan
satu kali dalam sehari.
c. Bimbingan Keterampilan adalah bimbingan yang diberikan dengan
tujuan untuk memberi kemampuan kepada penerima pelayanan agar
dapat menguasai salah satu atau lebih jenis keterampilan usaha sebagai
bekal setelah keluar dari panti. Bimbingan ini berupa latihan
dan tata rias yang diberikan oleh petugas dari Departemen
Perindustrian bekerjasama dengan petugas panti.
2. Sarana dan Prasarana atau fasilitas yang tersedia :
a. Gedung dan bangunan-bangunan
b. Tempat ibadah
c. Kegiatan olah raga
3. Kesejahteraan dan kemandirian klien/ wanita binaan, meliputi :
a. Dapat Berfungsi Sosial
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif yaitu suatu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan keadaan subjek atau objek penelitian (seseorang, lembaga,
masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak
atau sebagaimana adanya (Nawawi, 1998: 63).
Dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif peneliti ingin membuat
gambaran sejauh mana keefektifan pelayanan yang diberikan Panti Sosial Karya
Wanita (PSKW) Parawasa dengan melakukan pengamatan terhadap gejala,
peristiwa, kondisi dan fasilitas yang tersedia.
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Panti Sosial Karya Wanita Parawasa
Berastagi. Alasan peneliti memilih lokasi ini adalah karena Panti Sosial Karya
Wanita (PSKW) Parawasa merupakan satu-satunya Panti Binaan terhadap wanita
3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek yang terdiri dari manusia, benda,
hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala, nilai-nilai atau peristiwa sebagai sumber data
yang memiliki karakter tertentu dalam suatu penelitian (Nawawi, 1991 : 141).
Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan dari klien (wanita binaan
sosial) di dalam Panti yang sudah menjalani bimbingan dan pembinaan selama 5 -
6 bulan,dimana mereka telah mengikuti bimbingan sampai pada tahap
keterampilan, yakni sejumlah 25 orang.
3.3.2 Sampel
Menurut DR. Irawan Soehartono, sampel adalah suatu bagian dari
populasi yang akan diteliti dan yang dianggap dapat menggambarkan populasinya
(Soehartono, 2004 : 57).
Apabila jumlah populasi kurang dari 100, maka sebaiknya sampel diambil
semuanya (Sukarsini Arikunto : 1991). Berarti sampel dalam penelitian ini
merupakan total sampling N = n (25 orang).
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka dalam penelitian ini
menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh melalui pengamatan langsung
terhadap gejala-gejala yang dapat diamati dari objek penelitian. Cara-cara
a. Wawancara yaitu mengumpulkan data dengan mengadakan dialog secara
langsung dan mengajukan pertanyaan mengenai permasalahan yang
dibahas dalam penelitian ini kepada responden yang telah ditetapkan .
b. Angket (Questioner), yaitu menyusun daftar pertanyaan kemudian
mengajukan pertanyaan secara tertutup yang disebarkan kepada wanita
binaan.
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dengan library research (studi kepustakaan), yaitu
dengan membuka, mencatat dan mengutip data yang berkaitan dengan
masalah penelitian dan dapat mendukung terlaksananya penelitian ini.
3.5 Teknik Analisa Data
Dalam penelitian ini teknik analisa data yang digunakan adalah teknik
analisa deskriptif, yaitu dengan mengumpulkan, mengelola, menyajikan dan
menjabarkan hasil penelitian sebagaimana adanya. Data yang didapat akan
dipaparkan dan dianalisa dengan menggunakan Tabel Tunggal, sehingga data
BAB IV
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
IV.1 Sejarah berdirinya Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Melihat kenyataan pertumbuhan kepadatan penduduk di provinsi Sumatera
Utara dari tahun ke tahun sangat pesat yang menimbulkan berbagai permasalahan
sosial. Salah satu permasalahan sosial tersebut adalah masalah tuna susila yang
terus tumbuh dan berkembang di masyarakat dan merupakan suatu masalah yang
menghambat pembangunan. Maka melalui Departemen Sosial didirikanlah panti
ini pada tahun 1977 yang beralamat di Jalan Jamin Ginting Kecamatan Berastagi
Kabupaten Karo, yang diberi nama Panti Sasana Rehabilitasi Wanita Parawasa
Berastagi. Nama Parawasa dibuat oleh Bupati Karo yang pada waktu itu dijabat
oleh Bapak Kolonel TNI Tampak Sebayang.
Beliau memberi nama “PARAWASA” yang artinya:
Para : Sekelompok wanita
Wa : Wanita
Sa : Dewasa
Yang berarti tempat mendewasakan para penyandang masalah tuna susila melalui
proses rehabilitasi. Namun pada tahun 1993 nama Sasana Rehabilitasi Wanita
IV.2 Status Formal Panti dan Landasan Hukum IV.2.1 Status formal
Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa adalah unit pelaksana teknis
(U.P.T) Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara yang bertugas menangani masalah
sosial tuna susila. Berdasarkan Keputusan Menteri Sosial RI No.
41/HUK/KEP/XI/1979 tentang kedudukan dan tata kerja panti di lingkungan
Dinas Sosial.
IV.2.2 Landasan Hukum
Adapun yang menjadi landasan hukum pelaksanaan program rehabilitasi
wanita di Panti Sosial Karya Wanita Parawasa adalah:
a. Undang-undang No. 6/74, tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan
Sosial
b. Undang-undang No. 22/99, tentang Pemerintah Daerah
c. Undang-undang No. 25/99, tentang Pertimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
d. Kepmensos No. 20/ HUK/ 99, tentang Rehabilitasi Sosial Penyandang Masalah
Tuna Susila.
IV.3 Visi dan Misi serta Motto IV.3.1 Visi
Adapun visi dari PSKW Parawasa adalah Kesejahteraan Sosial oleh dan
untuk semua.
IV.3.2 Misi
Adapun misi dari PSKW Parawasa adalah:
b.Mengembangkan prakarsa dan peran aktif masyarakat dalam
penanggulangan masalah tuna susila
c.Mencegah dan mengendalikan serta mengatasi permasalahan Tuna
Susila
d. Meningkatkan jaringan kerja lintas sektoral dan dunia usaha
IV.3.3 Motto
Motto dari PSKW Parawasa adalah Wanita Mulia, Negara Jaya.
Panti Sosial Karya Wanita adalah Panti Rehabilitasi Wanita Tuna Susila
yang mempunyai tugas memberikan Pelayanan Rehabilitasi Sosial yang meliputi
Pembinaan Mental, fisik, sosial serta Latihan keterampilan, resosialisasi,
penyaluran, pembinaan lanjut bagi para Wanita Tuna Susila agar mampu untuk
berperan aktif dalam kehidupan masyarakat secara normative. Dan tujuan dari
Panti Sosial Karya Wanita adalah untuk memulihkan kembali harga diri, percaya
diri, kesadaran dan tanggung jawab sosial, berkemampuan menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosialnya sehingga diharapkan mereka akan mampu hidup
mandiri, berkemampuan melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam
tatanan hidup bermasyarakat.
IV.4 Program Rehabilitasi WTS di Parawasa Berastagi, Kegiatan Harian Warga Binaan, dan Lama Pembinaan
IV.4.1 Program Rehabilitasi
Adapun program-program Pelayanannya adalah:
a. Pendekatan Awal
- Identifikasi
- Motivasi
- Seleksi
b. Penerimaan
- Registrasi Penyandang Masalah (dari hasil razia ataupun yang diantar
oleh keluarga)
- Penelahaan dan pengungkapan masalah (Assisment)
- Penempatan klien pada program (bakat dan minat)
c. Bimbingan Sosial
- Bimbingan fisik (senam aerobik dan baris berbaris), agama dan mental
- Bimbingan sosial
d. Bimbingan Keterampilan
- Salon, menjahit, bordir, kerajinan tangan, pertanian dan pengembangan
bunga
- Olahan pangan
e. Resosialisasi
- Bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat
- Bimbingan sosial hidup bermasyarakat dan Bimbingan usaha
- Penetapan dan penyaluran / pengembalian
f. Bimbingan Lanjut
- Bimbingan peningkatan hidup bermasyarakat dan peran serta dalam
pembangunan
- Bantuan pengembangan kerja
IV.4.2 Kegiatan Harian PSKW Parawasa Berastagi
Adapun jadwal kegiatan harian yang dilakukan oleh Klien di Panti Sosial
Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi dapat dilihat pada Tabel berikut ini
Tabel 1
Jadwal Kegiatan Harian Warga Binaan (klien) Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi
No Waktu/jam Kegiatan Penanggung jawab
1. 05.30 – 06.00 - bangun pagi
- rapikan tempat tidur
- sholat
- bimbingan hidup dalam
8. 14.00 – 16.00 - Kegiatan individu Piket
Sumber: Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi, 2007.
IV.4.3 Lama Pembinaan
Dalam Pelayanan Rehabilitasi di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW)
Parawasa Berastagi selama 6 (enam) bulan, dengan perincian:
- 2 bulan : Pembinaan dalam bidang Bimbingan mental, bimbingan
fisik, bimbingan sosial, dan bimbingan agama
- 4 bulan : Pembinaan dalam bidang keterampilan yang meliputi: salon,
menjahit, bordir, kerajinan tangan, pertanian dan pengembangan
bunga, dan olahan pangan.
Maka dalam 1 (satu) tahun anggaran 2 (dua) angkatan dengan jumlah
perangkatan 60 orang, sesuai dengan anggaran yang tersedia.
Berdasarkan pengamatan dan melihat kebutuhan di tengah-tengah
masyarakat program inilah yang sangat dibutuhkan apabila klien dibina selama 6
IV.6 Sarana dan Prasarana Panti
Sarana dan Prasarana yang dimiliki oleh Panti Sosial Karya Wanita
(PSKW) Parawasa, dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 2
Sarana dan Prasarana PSKW Parawasa
No. Sarana/Prasarana Jumlah Kondisi
1. Ruang Kantor 1 unit Baik
Sumber: Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi Tahun 2007
IV.7 Tenaga Pelaksana dan Pegawai (staff) Panti
Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa mempunyai 14 orang
dengan klasifikasi pendidikan yang berbeda-beda, dimana salah seorang sebagai
kepala panti. Mereka terdiri dari:
a. tenaga inti (organik) = 12 orang
b. tenaga honor = 1 orang
c. tukang masak = 1 orang
Adapun Daftar nama Pegawai Negeri Sipil (tenaga inti) Panti Sosial Karya
Tabel 3
Data Jumlah PNS PSKW Parawasa Berastagi Daftar Pegawai Negeri Sipil PSKW Parawasa Berastagi
No Nama Tgl lahir NIP Jabatan Pendidikan
1. Drs. Amir
Sidabutar
19-02-1962 170019988 Ka. Seksi PLS
2. Syahdan 17-09-1954 170009313 Staf STM
3. Warni Ginting 20-11-1954 170008813 Staf SPSA
4. Rasmy Surbakti 10-06-1954 170013141 Staf SPSA
5. Irianna Sembiring 07-02-1960 170014239 Staf SMPS
6. Rumah Tengah
Sembiring
26-11-1954 170016246 Staf SPSA
7. Ganefo Ginting 02-12-1963 170016247 Staf SMA
8. Respan Ginting
Sm.Hk
02-08-1962 170020679 Staf Hukum
9. Antoni Sembiring 28-06-1960 170016117 Staf SMA
10. Rasita Purba 17-08-1971 170024753 Staf SMPS
11. Irwan Surbakti 09-09-1959 170011814 Staf SMA
12. Djonata Sembiring 18-11-1955 170011994 Staf SD
Sumber: PSKW Parawasa Berastagi
Selain itu, dalam rangka meningkatkan kemampuan dan keberfungsian
sosial para klien, PSKW Parawasa Berastagi melaksanakan kerjasama dengan
Departemen Agama dan organisasi masyarakat yang bergerak dalam bidang sosial
seperti:
1. Dinas Departemen Agama Kabupaten Karo
2. Beberapa Gereja GBKP yang ada di Medan maupun di Kabupaten Karo
4. LSM Pesada “Sada Ahmo” yang bergerak dalam penanganan dan pencegahan
penyakit menular HIV/AIDS.
5. KKR Kristiani Kabanjahe
6. Pengarah TKI Melidah Medan
7. IKIP Negeri Medan
Dan pada saat ini PSKW Parawasa Berastagi menjalin hubungan
kerjasama dengan Pekerja Sosial Masyarakat dari Negara Kanada dan mereka
memberikan pelatihan belajar bahasa inggris.
IV.8 Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab IV.8.1 Kepala Panti
Kepala Seksi PSKW Parawasa Berastagi (Drs. Amir Sidabutar),
mengeluarkan tugas-tugas managerial dan teknis operasional seperti yang telah
dituangkan dalam penjabaran tugas dan fungsi sesuai dengan keputusan gubernur
sumatera utara nomor: 061.297.K/ Tahun 2002 yang meliputi pembinaan fisik,
mental, sosial, mengubah sikap dan tingkah laku, pelatihan keterampilan dan
resosialisasi serta pembinaan lanjut bagi mantan wanita tuna susila agar menjadi
berkemampuan aktif dalam melaksanakan norma susila dan agama di
tengah-tengah masyarakat.
Tugas :
1. Melaksanakan observasi dan orientasi ke kantong-kantong lokalisasi Wanita
Tuna Susila di wilayah Sumatera Utara
2. Melaksanakan identifikasi calon klien
4. Melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait dalam pembinaan mental,
sosial dan keterampilan
5. Melaksanakan konsultasi, pengungkapan dan pemahaman masalah klien
6. Menyusun program-program kegiatan rehabilitasi klien
7. Melaksanakan penampungan dan pengasramaan klien
8. Mempersiapkan segala kebutuhan/keperluan para klien dengan standard yang
telah ditetapkan
9. Melaksanakan pembinaan fisik, mental dan sosial secara individu maupun
kelompok
10.Melaporkan pelaksanaan kegiatan/program kepada kepala balai secara
berjenjang
11.Melaksanakan pembinaan dan pembagian tugas semua staf
12.Melaksanakan bimbingan lanjut terhadap eks klien
13.Melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Kepala Balai
14.Mengkoordinir tugas-tugas staf.
Fungsi :
1. Mengawasi semua pelaksanaan program-program kegiatan sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan
2. Mempertanggung-jawabkan semua pelaksanaan kegiatan program yang telah
ditetapkan kepada Kepala Balai
3. Mengevaluasi kegiatan/program yang telah dilaksanakan untuk bahan laporan
kepada Kepala Balai
5. Mengawasi/merawat/memelihara semua sarana dan prasarana yang ada di
PSKW Parawasa
6. Memberikan penilaian staf setiap akhir tahun anggaran.
IV.8.2 Tugas dan Tanggung Jawab Para Staf
1. Warni Ginting dan Antoni
- Menangani administrasi dan dokumentasi klien
- Menerima dan melayani klien
- Memberikan bimbingan kepada klien
- Mengawasi surat masuk dan surat keluar
- Menyusun roster piket setiap bulan
- Membuat daftar hadir pegawai
- Menyusun materi latihan
- Menghubungi Instruktur/Pelatih
- Mengikuti dan melaksanakan petunjuk-petunjuk atasan
- Interview klien
2. Iriana Sembiring dan Rasita Purba
- Membuat laporan bulanan
- Membuat daftar klien per asrama
- Membuat catatan perkembangan klien
- Memberikan kebutuhan klien dalam asrama
- Membuat tugas klien di asrama
- Bertanggung jawab atas kebersihan asrama, tempat tidur dan
peralatannya
- Mencatat keperluan asrama
- Interview klien
- Mengikuti dan mematuhi petunjuk-petunjuk atasan dan melaporkan
hasil pelaksanaan kepada Kepala Seksi
3. Rasmy Surbakti
- Membuat daftar nomor Registrasi klien
- Mengatasi permasalahan klien
- Mencatat dan menyimpan alat-alat keterampilan
- Mengisi buku induk
- Menyusun kelompok klien sesuai dengan keterampilan
- Interview klien
- Mengikuti dan melaksanakan petunjuk-petunjuk atasan
4. Supiah Suriaty Sembiring
- Mengkoordinir pelaksanaan bimbingan
- Melaksanakan pengungkapan latar belakang
- Mencatat perkembangan klien
- Melaporkan hasil pekerjaan kepada atasan secara berjenjang
- Interview klien
5. Rumah Tengah Sembiring
- Mengawasi keamanan dalam asrama dan Panti
- Mengkoordinir kebersihan kantor, asrama, dapur, ruang data, ruang
sholat dan halaman
- Interview klien
6. Ganepo Ginting
- Mengamprah Gaji Pegawai sesuai dengan petunjuk Kepala Balai
- Melaksanakan wawancara dengan klien
- Membuat laporan hasil wawancara
- Memberikan bimbingan kelompok kepada klien
- Mengikuti dan melaksanakan tugas-tugas yang diberikan atasan
7. Irwan Surbakti
- Koordinasi dengan aparat keamanan
- Melaksanakan identifikasi klien
- Pengisian file, interview dan wawancara kepada klien
- Menginventarisasi kelompok umur, pendidikan agama dan suku/ras
8. Djonata Sembiring dan Delma Ginting
- Melaksanakan koordinasi dengan masyarakat setempat
- Melayani wartawan sebelum dihadapkan ke atasan
- Interview klien
- Mengawasi klien didalam dan diluar asrama
- Membantu melaksanakan kebersihan dalam panti
9. Situmorang
- Jaga malam