• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Pelayanan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Efektivitas Pelayanan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi."

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS PELAYANAN

PANTI SOSIAL KARYA WANITA (PSKW)

PARAWASA BERASTAGI

SKRIPSI

Diajukan guna memenuhi salah satu syarat

Untuk memperoleh gelar sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

OLEH:

RANDI MARANATHA SEMBIRING 030902030

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Randi Maranatha Sembiring

NIM : 030902030

Judul : Efektivitas Pelayanan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW)

Parawasa Berastagi

Pembimbing Skripsi,

Dra. Tuti Atika, M.SP

NIP. 131 762 436

Ketua Departemen

Ilmu Kesejahteraan Sosial

Drs. Matias Siagian, M.Si

NIP. 132 054 339

Dekan

FISIP USU

Prof.Dr. M. Arif Nasution, MA

(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur, penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus,

yang atas berkat dan anugerah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan

skripsi ini.

Skripsi ini merupakan tugas akhir yang diajukan guna memenuhi salah

satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat pengalaman

yang berguna, suka maupun duka serta kesulitan yang dialami. Namun, berkat

dukungan dan dorongan semangat akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis

banyak menerima bimbingan, arahan, nasehat dan juga bantuan dari berbagai

pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Teristimewa untuk Orang tua saya (Alm) R. Sembiring Meliala dan

Ibu S. Br Singarimbun, yang sudah membesarkan, mendidik, dan

memberikan dukungan dan doa yang begitu besar bagi penulis.

2. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik

3. Bapak Drs. Matias Siagian, M.Si., selaku Ketua Departemen Ilmu

Kesejahteraan Sosial

4. Ibu Dra. Tuti Atika, M.SP, selaku dosen pembimbing penulis yang

telah banyak memberikan bimbingan, nasehat, dan pengarahan kepada

(4)

5. Seluruh Staf Edukatif dan Administratif, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Sumatera Utara, terutama kepada Dosen dan Staf

Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial

6. Kepala Seksi PSKW Parawasa Berastagi, Bapak Drs. Amir Sidabutar

yang sudah memberikan bantuan, masukan dan juga nasehat kepada

penulis selama penelitian. Dan kepada seluruh staf, para pembina panti

serta klien-klien PSKW Parawasa Berastagi

7. Keluarga saya, khususnya kakak saya Lea Devika dan Adik saya Rini

Ermila yang selama ini telah memberikan dukungan moral dan materi

serta doanya. Dan tak lupa juga buat kak Erlikasna dan Bibi Uda T Br

Singarimbun, serta kepada Bapak Tua Sukatno Sembiring Meliala,

terima kasih buat bantuan, dukungan semangat dan juga doa-doanya.

8. Teman-teman sepermainan, antara lain: Bang Ifransko, Fernanda,

Sudung, Ade, Jurani, Franklin, Johansen, dan Haga Gulidane.

9. Kepada seluruh teman-temanku di KESSOS ’03, semoga kelak sukses

semua dalam kehidupannya

10.Kepada sahabat terbaik saya: Andryuawan Pacoet/ Nur Qadri yang

selalu bersama-sama dan setia menemani dalam segala hal

11.Dan terakhir, kepada semua pihak yang belum penulis sebutkan yang

telah membantu penulis dalam menyelesaikan perkuliahan dan skripsi

ini.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa Skripsi ini masih banyak

(5)

oleh karena itu penulis juga mengharapkan saran dan kritik yang membangun,

karena hal tersebut juga merupakan masukan untuk yang lain nantinya.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dengan harapan semoga

Skripsi ini bermanfaat bagi semua yang membaca.

Medan,

Penulis

(6)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS PELAYANAN PANTI SOSIAL KARYA WANITA (PSKW)

PARAWASA BERASTAGI Nama : RANDI MARANATHA SEMBIRING NIM : 030902030

Masalah Wanita Tuna Susila (WTS) merupakan masalah yang sangat kompleks. Oleh karena itu, harus ditanggulangi, dihentikan atau diminimalisasi penyebarannya karena dapat menimbulkan masalah sosial. Pelaksanaan penanganan masalah tuna susila khusunya melalui sistem perpantian adalah suatu proses pengentasan yang meliputi: tahapan rehabilitasi, resosialisasi, dan bimbingan lanjut. Proses ini merupakan suatu upaya untuk mewujudkan terbinanya kehidupan para penyandang tuna susila yang meliputi: pemulihan kembali harga diri, tanggung jawab sosial, dan melaksanakan fungsi sosial dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat.

Tipe Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yakni untuk menggambarkan bagaimana keefektifan Pelayanan yang diberikan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi. Sementara itu, sampel dalam penelitian ini merupakan total sampling N = n, yakni sebanyak 25 orang. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan data primer (kuesioner, wawancara, observasi) dan data sekunder (studi kepustakaan). Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa deskriptif dengan mentabulasikan data yang didapat dari responden melalui tabel kemudian menganalisanya.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... I

ABSTRAK ... IV

DAFTAR ISI ... V

DAFTAR BAGAN ... VIII

DAFTAR TABEL ... IX

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang ... 1

I.2. Perumusan Masalah ... 8

I.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

I.4. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Pengertian Efektivitas ... 10

II.2. Konsep Pelayanan Sosial ... 12

II.3. Prostitusi/ Pelacuran dan Penyebabnya ... 18

II.4. Sistem Pembinaan di Panti ... 24

II.5. Kerangka Pemikiran ... 25

(8)

BAB III METODE PENELITIAN

III.1. Tipe Penelitian ... 31

III.2. Lokasi Penelitian ... 31

III.3. Populasi dan Sampel ... 32

III.4. Teknik Pengumpulan Data ... 32

III.5. Teknik Analisa Data ... 33

BAB IV DESKRIPSI LOKASI IV.1. Sejarah Berdirinya PSKW Parawasa ... 34

IV.2. Status Formal Panti dan Landasan Hukum ... 35

IV.3. Visi dan Misi ... 35

IV.4. Program Rehabilitasi WTS di Parawasa Berastagi, Kegiatan Harian dan Lama Pembinaan ... 36

IV.5. Struktur Organisasi ... 40

IV.6. Sarana dan Prasarana Panti ... 41

IV.7. Tenaga Pelaksana dan Staf Panti ... 41

IV.8. Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab ... 43

BAB V ANALISIS DATA V.1. Identitas Responden ... 48

V.2. Efektivitas Program Pelayanan dan Pembinaan ... 56

V.3. Efektivitas Bidang Sarana dan Prasarana/ Fasilitas yang Tersedia ... 68

(9)

BAB VI KESIMPULAN dan SARAN

VI.1. Kesimpulan ... 76

VI.2. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA

(10)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1 Kerangka Pemikiran ... 27

Bagan 2 Bagan Struktur Organisasi

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jadwal Kegiatan Harian Klien Panti Sosial Karya Wanita

(PSKW) Parawasa Berastagi ... 39

Tabel 2 Sarana dan Prasarana PSKW Parawasa ... 41

Tabel 3 Data Jumlah PNS PSKW Parawasa ... 42

Tabel 4 Distribusi Responden Berdasarkan Usia ... 48

Tabel 5 Distribusi Responden Berdasarkan Agama ... 50

Tabel 6 Distribusi Responden Berdasarkan Suku ... 51

Tabel 7 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 52

Tabel 8 Distribusi Responden Berdasarkan Status Perkawinan ... 53

Tabel 9 Distribusi Responden Berdasarkan Asal/ Tempat tinggal ... 54

Tabel 10 Distribusi Responden Berdasarkan Lamanya Menjadi WTS ... 54

Tabel 11 Distribusi Responden Berdasarkan Alasan Menjadi WTS ... 55

Tabel 12 Tahu Tidaknya Responden Mengenai Tujuan Dari Program Pelayanan Dan Pembinaan Di Dalam Panti ... 56

Tabel 13 Tanggapan Responden Mengenai Kebermanfaatan Program Pelayanan Dan Pembinaan Panti ... 57

Tabel 14 Tanggapan Responden Mengenai Fasilitas-Fasilitas Yang Mendukung Pelayanan Dan Pembinaan ... 58

Tabel 15 Tanggapan Responden Terhadap Proses Bimbingan Sosial ... 59

Tabel 16 Tanggapan Responden Terhadap Proses Bimbingan Mental ... 60

(12)

Tabel 18 Keterangan Responden Mengenai Penambahan Jadwal Materi

Dan Kegiatan Dari Program Pelayanan Dan Pembinaan Panti .... 62

Tabel 19 Tanggapan Responden Terhadap Materi-Materi Pelayanan

Dan Pembinaan Yang Diberikan Oleh Panti ... 63

Tabel 20 Perlu Tidaknya Penambahan Fasilitas Guna

Menunjang Program Pelayanan Dan Pembinaan ... 64

Tabel 21 Hubungan Atau Kerjasama Responden

Dengan Para Petugas Panti ... 65

Tabel 22 Tanggapan Responden Mengenai Kemampuan Pembina/

Petugas Panti Dalam Memberikan Materi dan Kegiatan ... 66

Tabel 23 Jenis Latihan Keterampilan Yang Diminati Oleh Responden ... 67

Tabel 24 Tanggapan Responden Mengenai Keadaan Sarana

dan Fasilitas Yang Tersedia di Panti ... 68

Tabel 25 Daya Tampung Tempat Ibadah ... 69

Tabel 26 Jenis Kegiatan Olah Raga

Yang Paling Diminati Responden ... 70

Tabel 27 Tanggapan Responden Terhadap

Fasilitas Kegiatan Olah Raga ... 71

Tabel 28 Ada Tidaknya Perubahan Yang Dialami Oleh Responden

Selama Berada Di Dalam Panti ... 72

Tabel 29 Jenis Bimbingan Paling Utama Yang Membuat Responden

Menjadi Sadar Untuk Meninggalkan Profesi WTS ... 73

Tabel 30 Sudah Belumnya Responden Mendapatkan Keterampilan

(13)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS PELAYANAN PANTI SOSIAL KARYA WANITA (PSKW)

PARAWASA BERASTAGI Nama : RANDI MARANATHA SEMBIRING NIM : 030902030

Masalah Wanita Tuna Susila (WTS) merupakan masalah yang sangat kompleks. Oleh karena itu, harus ditanggulangi, dihentikan atau diminimalisasi penyebarannya karena dapat menimbulkan masalah sosial. Pelaksanaan penanganan masalah tuna susila khusunya melalui sistem perpantian adalah suatu proses pengentasan yang meliputi: tahapan rehabilitasi, resosialisasi, dan bimbingan lanjut. Proses ini merupakan suatu upaya untuk mewujudkan terbinanya kehidupan para penyandang tuna susila yang meliputi: pemulihan kembali harga diri, tanggung jawab sosial, dan melaksanakan fungsi sosial dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat.

Tipe Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yakni untuk menggambarkan bagaimana keefektifan Pelayanan yang diberikan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi. Sementara itu, sampel dalam penelitian ini merupakan total sampling N = n, yakni sebanyak 25 orang. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan data primer (kuesioner, wawancara, observasi) dan data sekunder (studi kepustakaan). Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa deskriptif dengan mentabulasikan data yang didapat dari responden melalui tabel kemudian menganalisanya.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pada dasarnya semua manusia menginginkan kehidupan yang baik yaitu

terpenuhinya kebutuhan hidup baik kebutuhan jasmani, kebutuhan rohani maupun

kebutuhan sosial. Manusia terpacu untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan

hidupnya demi mempertahankan kehidupan diri sendiri maupun keluarganya.

Berbagai upaya untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidup dikerjakan

manusia agar dapat memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Kenyataannya dalam usaha pemenuhan kebutuhan hidup dijumpai adanya

kesulitan-kesulitan terutama yang dialami oleh kaum wanita di Indonesia. Sering

kebutuhan keluarganya menuntut wanita harus bekerja diluar rumah untuk

mencari kegiatan yang dapat menambah penghasilan keluarga. Namun harapan

untuk dapat menambah penghasilan keluarga tidaklah mudah, karena lapangan

kerja yang terbatas, disamping tingkat pendidikan mereka yang rendah. Dengan

pendidikan yang rendah dan tidak adanya keterampilan yang mereka miliki

menyebabkan mereka mencari jenis pekerjaan yang dengan cepat mendapatkan

uang. Akhirnya wanita-wanita banyak terjun kedalam bisnis pelacuran.

Berbicara soal prostitusi atau bahasa awamnya pelacuran merupakan

masalah lama tetapi tetap baru untuk dibahas. Tidak diketahui secara pasti kapan

munculnya profesi tersebut, dikatakan demikian karena sejak ada norma

perkawinan, bersamaan dengan itu pula lahirlah apa yang disebut dengan

(15)

perkawinan itu sendiri. Hubungan seksual antara dua jenis kelamin yang berbeda,

dilakukan diluar perkawinan dan berganti-ganti pasangan, baik dengan menerima

imbalan uang atau material lainnya maupun tidak, sudah disebut orang sebagai

pelacuran (Tjahyo Purnomo W. dan Ashadi Siregar, 1985:10).

Prostitusi atau pelacuran merupakan profesi yang sudah sangat tua

usianya, setua umur kehidupan manusia itu sendiri, dan selalu ada pada negara

berbudaya, sejak jaman purba sampai sekarang. Ini senantiasa menjadi masalah

sosial atau menjadi objek urusan hukum dan tradisi. Selanjutnya dengan

perkembangan teknologi, industri dan kebudayaan manusia turut berkembang pula

pelacuran dalam berbagai tingkatannya.

Pelacuran bukan merupakan istilah asing di kalangan masyarakat terutama

bagi masyarakat perkotaan. Misalnya di kota Medan sendiri masih banyak

dijumpai wanita tuna susila (WTS), Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara

mencatat bahwa pada tahun 2006 terdapat 3.387 orang WTS di Sumatera Utara

dan jumlah ini terus meningkat di tahun berikutnya, dimana pada tahun 2007

terdapat 3.678 orang WTS yang sebahagian besar berada di kota Medan (BPS,

Sumatera Utara Dalam Angka 2006; Sumatera Utara Dalam Angka 2007).

Pelacuran merupakan masalah patologis yang harus dihentikan atau

diminimalisasi penyebarannya, karena dapat menimbulkan masalah patologis

yang lain seperti kriminalitas, kecanduan bahan-bahan narkotika (ganja, morfin,

kokain, dan lain-lain). Pelacuran ini cenderung menimbulkan kejahatan dalam

berbagai variasinya seperti sarang pertemuan pencuri, pemabukan yang membawa

keributan, penculikan dan perdagangan wanita, alat untuk pemerasan dan

(16)

Pelacur atau wanita tuna susila (WTS) merupakan suatu masyarakat

tersendiri dengan sub kultur yang khas. Kehidupannya penuh gemerlapan, bau

parfum dan minuman keras yang menusuk hidung dan tawa cekikikan yang

mengundang nafsu. Disana mereka harus menyenandungkan birahi, membuat

laki-laki resah menunggu saat berkencan, hidup mereka penuh sandiwara dan

kepalsuan. Seorang WTS menjalani profesinya dengan latar belakang dan alasan

yang berbeda-beda. Secara umum alasannya antara lain: karena tidak ada uang,

tidak ada pekerjaan, perceraian keluarga, patah hati, diperkosa dan sebagainya.

Aktivitas penjajaan seks atau pelacuran ini dipandang masyarakat sebagai

sisi hitam dari kehidupan sosial yang megah. Adanya sikap ironis masyarakat dan

pemerintah terhadap pelacuran berada pada kondisi untuk dikutuk sekaligus

dilestarikan. Dikutuk karena memang bertentangan dengan nilai-nilai moral

kelompok dominan yang pada umumnya menggunakan standart ganda

(perempuan pelacur dikutuk, laki-laki yang melacur didiamkan). Dilestarikan

karena memang memiliki basis material yang terkait erat pada pengorganisasian

produksi. Warna pandangan ini menyebabkan kita melihat keremang-remangan

dalam kehidupan pelacuran, (Katjasungkana 1995:31).

Dimensi kehidupan para pelacur disini sangat kompleks, sejalan dengan

keberadaan manusia dalam mengarungi kehidupannya sehari-hari. Sebagai

seorang manusia, WTS juga membutuhkan adanya dinamisasi kehidupan dalam

dirinya, agar nantinya ia dapat memutuskan untuk tidak bekerja sebagai wanita

tuna susila dan kembali ke masyarakat. Tetapi pandangan negatif yang masih

berlaku di masyarakat tentang masa lalu para WTS, dengan sendirinya akan

(17)

Penerimaan masyarakat terhadap bekas pelacur, tidak pernah berubah,

sejalan dengan keberadaan pelacuran itu sendiri di masyarakat. Bekas WTS yang

telah memulai kehidupan baru, biasanya tetap akan menjadi objek bagi

sekelompok manusia ‘penggemar’ pelacuran. Dengan segala upaya biasanya

orang-orang tersebut mencoba menggoda para bekas WTS untuk kembali

melakukan praktek pelacuran sebagai usaha sampingannya. Dan tidak jarang pula

dengan berbagai cara dan janji yang muluk, terkadang ada juga bekas WTS yang

tergoda untuk kembali melakukan praktek prostitusi dengan cara yang lebih halus,

yaitu bertamengkan usahanya. Disini tampak dilematis pelacuran dalam

kehidupan masyarakat, baik keberadaan pelacuran itu sendiri maupun penerimaan

mereka terhadap dinamisasi kehidupan para WTS atau bekas WTS.

Masalah WTS ini merupakan masalah yang sangat kompleks. Pelacuran

disamping merupakan penyakit masyarakat juga menimbulkan penyakit yang

sangat berbahaya bagi kehidupan orang seorang, keluarga dan masyarakat,

misalnya penyakit kelamin.

Pelacuran atau tindakan tuna susila ini dapat menimbulkan

keresahan-keresahan serta kegoncangan-kegoncangan di dalam kehidupan dan penghidupan

masyarakat dan merupakan penghambat dalam proses pembangunan manusia

Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat pada umumnya.

Selain hal diatas wanita tuna susila atau pelacur itu merupakan perbuatan :

- yang bertentangan dengan moral Pancasila dan norma-norma yang berlaku

(18)

- yang dapat memerosotkan harkat dan martabat serta merendahkan diri

khususnya bagi kaum wanita serta merusak sendi-sendi kehidupan

keluarga dan kehidupan kebersamaan,

- yang dapat membahayakan kelangsungan keturunan serta merugikan masa

depan generasi muda, khususnya bagi kaum wanita dalam rangka

meneruskan perjuangan bangsa dimana terdapat WTS/ pelacur yang

berusia muda.

Mengingat bahwa masalah WTS itu merupakan masalah yang sangat

kompleks, maka pelacuran ini mutlak harus ditanggulangi dan bukan karena itu

saja tetapi juga agar gejala ini tidak diterima oleh masyarakat sebagai pola budaya

(sekalipun penerimaannya tidak secara sadar), dengan kata lain pelacuran yang

dibiarkan tanpa dicegah atau ditanggulangi, lambat laun dapat dipandang oleh

masyarakat sebagai hal yang normal dan wajar dan mungkin akan melembaga

sebagai hal-hal yang patut, sehingga harus diupayakan penyembuhannya dan

dicegah atau dihalang-halangi timbulnya dengan meniadakan faktor-faktor

penyebabnya. Oleh karena itu, Pemerintah telah berusaha mengadakan berbagai

kegiatan dengan tujuan mengurangi bertambahnya pelacuran. Bentuk konkrit dari

langkah-langkah dan usaha penanggulangan pelacuran telah diadakan usaha

rehabilitasi melalui pendidikan mental dan keterampilan di dalam panti.

Adapun fungsi dari panti tersebut adalah sebagai berikut :

1. membimbing dan mengembalikan WTS ke masyarakat untuk dapat hidup

secara wajar tanpa menggantungkan diri kepada orang lain serta berhenti

melacurkan diri.

(19)

3. sebagai tempat informasi kepada masyarakat tentang pelaksanaan

usaha-usaha penyantunan/ rehabilitasi WTS.

Dengan pengertian lain, usaha yang dilakukan pemerintah untuk

menanggulangi pelacuran adalah dengan rehabilitasi dan resosialisasi. Yang

dimaksud dengan rehabilitasi disini yaitu suatu tahap bimbingan dan pembinaan

yang diberikan oleh lembaga bagi para wanita tuna susila (WTS), Rehabilitasi

sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemauan dan

kemampuan klien atau penyandang masalah sosial agar dapat melaksanakan

fungsi sosial secara optimal dalam kehidupan masyarakat. Tujuan rehabilitasi

sosial sebagaimana dikemukakan Soenaryo (1995 : 118) adalah : pertama

memulihkan kembali rasa harga diri, percaya diri, kesadaran serta tanggung jawab

terhadap masa depan diri, keluarga maupun masyarakat atau lingkungan

sosialnya, kedua memulihkan kembali kemauan dan kemampuan untuk dapat

dilaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Terkait dengan keberfungsian sosial,

DuBois dan Miley (1992 ;223) menyatakan keberfungsian individu lebih

berkaitan dengan upaya mencapai gaya hidup yang mampu memenuhi kebutuhan

dasar, membangun relasi yang positif dan menekankan pada pertumbuhan dan

menyesuaikan personal yang baik dalam keluarga maupun masyarakat.

(http://www.damandiri.or.id/file/ettypapayunganunhasbab2b.pdf!)

Sedangkan resosialisasi merupakan tahapan persiapan penyaluran untuk

kembali ke tengah-tengah masyarakat yang wajar dengan cara memantapkan

bimbingan mental, sosial dan keterampilan. Resosialisasi ini bertujuan untuk

(20)

serta kemampuan agar dapat menyesuaikan diri secara normatif dalam

masyarakat.

Bentuk rehabilitasi tersebut adalah dengan mendirikan lembaga yang

diberi nama Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa di Berastagi. Yang

beralamat di Jalan Jamin Ginting No. – Kuta Gadung Berastagi Kabupaten Karo,

kira-kira 68 Km dari kotamadya Medan. Adapun Program pelayanan dan

pembinaan yang diberikan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa adalah

mencakup beberapa aspek pokok antara lain: bimbingan dan pembinaan di bidang

kerohanian, moral, mental dan bidang pendidikan keterampilan.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti dan mengetahui

bagaimana keefektifan pelayanan sosial yang diberikan, dengan melihat

kelengkapan fasilitas pendukung pelayanan, keahlian pekerja sosial, dan

dukungan dari masyarakat terutama keluarga klien (wanita binaan sosial). Untuk

lebih terarah, penulis membatasi penelitian ini hanya pada ruang lingkup

kefektifan pelayanan yang diberikan, sehingga penulis mengangkat permasalahan

ini dengan judul : “Efektivitas Pelayanan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW)

Parawasa Berastagi”.

Adapun alasan mengapa permasalahan ini perlu untuk diteliti adalah

karena dalam memberikan pelayanan sosial kepada si penderita atau klien agar

tercapai pelayanan secara optimal dituntut suatu keterampilan yang didukung oleh

fasilitas pendukung pelayanan yang memadai dan keahlian para pekerja sosial.

Masyarakat mengharapkan agar pelayanan sosial yang diberikan lebih berkualitas,

khususnya di lembaga-lembaga sosial seperti Panti Sosial Karya Wanita (PSKW)

(21)

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas, maka

permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah :

“Bagaimanakah efektivitas pelayanan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW)

Parawasa Berastagi”.

I.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian I.3.1. Tujuan

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana proses pembinaan yang dilaksanakan

PSKW Parawasa

2. Untuk mengetahui efektivitas pelayanan yang sudah dilaksanakan PSKW

Parawasa terhadap pembinaan wanita binaan

I.3.2. Manfaat

Adapun yang menjadi manfaat penelitian adalah sebagai berikut :

1. Secara Akademis, dapat memberikan sumbangan positif terhadap

khasanah keilmuan di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial mengenai

konsep pelayanan sosial

2. Secara Teoritis, melatih diri dan mengembangkan pemahaman dan

kemampuan berpikir penulis melalui penelitian dan penulisan karya ilmiah

tentang efektivitas pelayanan

3. Secara Praktis, sebagai bahan masukan, pertimbangan, dan evaluasi bagi

Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi secara khusus dan

bagi pemerintah, maupun pihak-pihak luar secara umum guna

(22)

D. Sitematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

BAB ini berisikan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan

dan Manfaat Penelitian serta Sistematika Penulisan

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

BAB ini menguraikan tentang teori-teori yang berkaitan dengan

masalah dan objek yang akan diteliti

BAB III : METODE PENELITIAN

BAB ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan

sampel, teknik pengumpulan data serta teknik analisa data

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

BAB ini berisikan gambaran umum mengenai lokasi dimana

peneliti melakukan penelitian

BAB V : ANALISA DATA

BAB ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dalam

penelitian beserta analisisnya

BAB VI : PENUTUP

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Pengertian Efektivitas

Dalam setiap organisasi, efektivitas merupakan unsur pokok untuk

mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan. Menurut Barnard, bahwa

efektivitas adalah tercapainya sasaran yang telah disepakati bersama (Barnard,

1992 ; 27).

Dalam Ensiklopedia Umum (1977: 129), disebutkan bahwa efektivitas

menunjukkan taraf tercapainya suatu tujuan. Usaha dikatakan efektif kalau usaha

itu mencapai tujuannya secara ideal, taraf intensitas dapat dinyatakan dengan

ukuran yang agak pasti.

Pengertian lain dikemukakan oleh Sarwoto, efektivitas atau berhasil guna

adalah pelayanan yang baik, corak maupun mutunya, kegunaan benar sesuai

dengan kebutuhan ini dalam mencapai tujuan organisasi (Sarwoto, 1991: 95).

Menurut Cambel J.P, pengukuran efektivitas secara umum dan yang

paling menonjol adalah :

1. Keberhasilan program

2. Keberhasilan sasaran

3. Kepuasan terhadap program

4. Tingkat input dan output

(24)

Sehingga efektivitas program dapat dijalankan dengan kemampuan

operasional dalam melaksanakan program-program kerja yang sesuai dengan

tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Secara komprehensif, efektivitas dapat diartikan sebagai tingkat

kemampuan suatu lembaga atau organisasi untuk dapat melaksanakan semua

tugas-tugas pokoknya atau untuk dapat mencapai sasaran yang telah ditentukan

sebelumnya (Cambel, 1989 : 47). Sementara menurut Richard M. Steers, bahwa

efektivitas merupakan suatu tingkat kemampuan organisasi untuk dapat

melaksanakan seluruh tugas-tugas pokoknya atau pencapaian sasarannya.

Dari pendapat beberapa ahli diatas dapat penulis simpulkan pengertian

efektivitas yaitu keberhasilan suatu aktivitas atau kegiatan dalam mencapai tujuan

(sasaran) yang telah ditentukan sebelumnya. Lebih jelasnya apabila tujuan atau

sasaran dapat dicapai sesuai dengan yang telah ditentukan sebelumnya dikatakan

efektif dan sebaliknya apabila tujuan atau sasaran tersebut tidak dapat dicapai

sesuai dengan waktu yang telah ditentukan maka aktivitas dikatakan tidak efektif.

Efektivitas dalam dunia riset ilmu-ilmu sosial dijabarkan dengan jumlah

penemuan atau produktivitas, dimana bagi sejumlah sarjana sosial efektivitas

sering kali ditinjau dari sudut kualitas pekerjaan atau program kerja. Singkatnya

efektivitas memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang, tergantung pada

kerangka acuan yang dipakai.

Mengingat keanekaragaman pendapat mengenai sifat dan komposisi dari

efektivitas, maka tidaklah mengherankan jika terdapat sekian banyak pertentangan

(25)

cara menentukan indikator dari efektivitas. Sehingga dengan demikian tentu akan

lebih sulit lagi bagaimana cara mengevaluasi tentang konsep efektivitas.

Pengertian yang memadai mengenai tujuan ataupun sasaran organisasi

merupakan langkah pertama dalam pembahasan efektivitas, dimana seringkali

berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai. Dalam awal usaha mengukur

efektivitas yang pertama sekali adalah memberikan konsep tentang efektivitas itu

sendiri.

Dari beberapa uraian diatas, dapat dijelaskan bahwa efektivitas merupakan

kemampuan untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas suatu lembaga secara fisik

dan rohani untuk mencapai tujuan serta meraih keberhasilan maksimal.

II.2 Konsep Pelayanan sosial II.2.1 Pelayanan sosial

Pelayanan sosial adalah aktivitas yang terorganisasi yang bertujuan untuk

membantu para anggota masyarakat untuk saling menyesuaikan diri dengan

sesamanya dan dengan lingkungan sosialnya.

Dalam batasan yang sempit, pelayanan sosial berarti bantuan pada orang

miskin, pada anak-anak terlantar, yang terkena bencana alam, serta

bantuan-bantuan lainnya yang ditujukan untuk membantu orang-orang kurang mampu

secara ekonomi.

Seperti halnya dengan batasan-batasan ilmu sosial lainnya, maka batasan

baru tentang pelayanan sosial juga sulit ditemukan. Para ahli memberikan defenisi

tentang pelayanan sosial yang saling berbeda-beda, tergantung dari sudut mana

(26)

pelayanan dan sosial. Pelayanan berarti usaha pemberian bantuan atau

pertolongan kepada orang lain, baik materi dan non materi, agar orang itu dapat

mengatasi masalahnya sendiri. Dapat disimpulkan dari batasan tersebut bahwa

pelayanan bukan hanya pemberian bantuan berupa uang, makanan, sandang,

perumahan dan lain-lain yang bersifat materi melainkan juga bersifat non materi

seperti bimbingan. Sedangkan sosial berarti kawan, yaitu : 1) suatu badan umum

kearah kehidupan bersama manusia dan masyarakat, 2) suatu petunjuk kearah

usaha-usaha menolong orang miskin dan sengsara. (Soetarso, 1977: 78)

Lebih lanjut Suparlan dan kawan-kawan mengatakan bahwa pelayanan

sosial adalah aktivitas yang terorganisasi bertujuan membantu para anggota

masyarakat saling menyesuaikan diri dengan sesamanya dan lingkungan

sosialnya. (Suparlan, 1983: 93)

Selanjutnya Syarif Muhidin (1981: 68) memberikan defenisi pelayanan

sosial dalam arti luas dan sempit, yaitu:

1. Pelayanan dalam arti luas adalah pelayanan yang mencakup fungsi

pengembangan termasuk pelayanan sosial dalam bidang pendidikan,

kesehatan, tenaga kerja, dan sebagainya.

2. Pelayanan dalam arti sempit adalah pelayanan sosial yang mencakup

pertolongan dan perlindungan kepada golongan yang tidak beruntung,

seperti pelayanan sosial bagi anak-anak terlantar, keluarga miskin,

cacat, tuna susila, dan sebagainya.

Alfred J. Khan dalam Sumarno Nugroho (1987: 72), mengemukakan

pendapatnya tentang pelayanan sosial sebagai berikut: pelayanan sosial terdiri dari

(27)

menjamin suatu tingkatan dasar dalam penyediaan fasilitas pemenuhan kebutuhan

dan kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan untuk meningkatkan kehidupan

bermasyarakat, serta kemampuan perorangan untuk melaksanakan

fungsi-fungsinya. Untuk memperlancar kemampuan menjangkau dan menggunakan

pelayanan-pelayanan serta lembaga-lembaga yang telah ada, dan membantu warga

masyarakat yang mengalami kesulitan dan keterlantaran.

II.2.2 Klasifikasi Pelayanan Sosial

Pelayanan sosial sebagai suatu kegiatan yang terorganisasi bertujuan untuk

membantu tercapainya penyesuaian timbal balik antara seseorang atau kelompok

dengan lingkungannya.

Klasifikasi pelayanan sosial dikemukakan oleh Alfred J. Khan dengan

berdasarkan pada fungsinya sebagai berikut, yaitu :

1. Pelayanan sosial untuk tujuan sosialisasi dan pengembangan

Tujuan kegiatan ini adalah sosialisasi, menanamkan pemahaman akan

tujuan dan motivasi, serta meningkatkan mutu perkembangan

kepribadian.

2. Pelayanan sosial untuk tujuan penyembuhan, pemberian bantuan,

rehabilitasi dan perlindungan sosial

Pelayanan ini dapat berupa bantuan singkat, intensif dan pribadi

sifatnya dengan program-program perbaikan situasi lingkungan sosial,

antar orang atau unsur-unsur kepribadiannya juga termasuk pemulihan

(28)

3. Pelayanan sosial untuk membantu orang menjangkau dan

menggunakan pelayanan sosial yang sudah ada dan pemberian

informasi dan nasihat.

Pelayanan sosial yang disusun dengan baik dan disampaikan dengan

efektif akan dapat memenuhi kebutuhan dan bahkan menciptakan

kepuasan.

Pelayanan sosial yang dilaksanakan secara luas dan mempunyai karakter

fundamental akan dapat memperluas perubahan sosial dan meningkatkan kondisi

kehidupan masyarakat.

II.2.3 Program-program pelayanan sosial

Program-program pelayanan sosial merupakan bagian dari intervensi

kesejahteraan sosial. Pelayanan-pelayanan sosial meliputi kegiatan-kegiatan atau

intervensi kasus yang dilaksanakan secara diindividualisasikan, langsung dan

terorganisasi, yang bertujuan membantu individu, kelompok dan lingkungan

sosial dalam upaya mencapai saling penyesuaian.

Bentuk-bentuk pelayanan sosial sesuai dengan fungsi-fungsinya adalah

sebagai berikut :

1. Pelayanan akses : mencakup pelayanan informasi, rujukan pemerintah,

nasehat dan partisipasi. Tujuannya membantu orang agar dapat mencapai

atau menggunakan pelayanan yang tersedia.

2. Pelayanan terapi : mencakup pertolongan dan terapi atau rehabilitasi,

termasuk didalamnya perlindungan dan perawatan. Misalnya pelayanan

(29)

kesejahteraan anak, pelayanan kesejahteraan sosial mendidik dan sekolah,

perawatan bagi orang-orang jompo dan lanjut usia.

3. Pelayanan sosialisasi dan pengembangan, misalnya taman penitipan bayi

dan anak, keluarga berencana, pendidikan keluarga, pelayanan rekreasi

bagi pemuda dan masyarakat yang dipusatkan atau community centre

(Nurdin, 1989: 50).

II.2.4 Standard Pelayanan Sosial

Kata “standard” yang digunakan disini dapat berarti :

a. suatu norma bagi pelayanan sosial

b. suatu bentuk norma atau peraturan tertentu yang sengaja disusun untuk

digunakan sebagai pedoman.

Adapun jenis standard pelayanan sosial itu adalah:

1. Standard Minimum

Standard ini digunakan kalau pemerintah menginginkan penentuan

persyaratan wajib untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan

sosial. Badan-badan sosial didorong untuk melampaui standard minimum ini.

2. Standard Maksimum

Standard ini merupakan sasaran pencapaian mutu pelayanan tertinggi yang

ditentukan oleh pemerintah selama jangka waktu tertentu. Standard maksimum ini

dapat digunakan dalam perencanaan kesejahteraan sosial jangka panjang.

3. Standard Realistis

Standard ini lebih banyak berfungsi sebagai pedoman dan oleh karenanya

tidak mempunyai kekuatan memaksa. Tujuan utama standard ini adalah

(30)

Pelayanan sosial secara umum dapat dibagi dalam dua kategori yang

saling menunjang dan saling melengkapi yaitu pelayanan yang melalui panti dan

pelayanan diluar panti. Keduanya harus tercakup dalam standard yang berisikan :

1. Bangunan dan fasilitas lingkungannya

Bangunan dan fasilitas lingkungan merupakan objek yang secara langsung

digunakan untuk menampung atau menyembuhkan penerima pelayanan. Biasanya

luas panti untuk satu orang kelayan digunakan sebagai standard luas bangunan.

Verifikasi, tata lampu, peralatan kesehatan, dan keselamatan merupakan hal-hal

yang dimaksudkan dalam jenis-jenis bangunan yang akan dibangun.

2. Peralatan

Peralatan ini mencakup tempat tidur, meja, kursi dan lain-lain yang

digunakan baik secara perorangan maupun secara bersama-sama.

3. Pelayanan Operasional

Mencakup hal-hal sebagai berikut :

- Makanan (kalori, mutu, jenis menu, fasilitas dapur, perabotan pecah belah

dan lain-lain)

- Pakaian (jumlah fasilitas cucian, frekuensi pergantian)

- Kesehatan dan kebersihan

- Rekreasi dan kegiatan-kegiatan pengisian waktu luang

4. Pelayanan Profesional

(31)

- Asuhan (jumlah dan tugas-tugas pengasuh)

- Pekerja sosial dan pelayanan profesional lain yang terkait (jumlah dan

tugas-tugas pekerja sosial, psikolog, psikiater, perawat, penyuluh dan

sebagainya).

- Pelayanan pendidikan

- Latihan kerja

- Pelayanan bimbingan lanjut

5. Tenaga

Standard ini mencakup kualifikasi petugas, seleksi dan peremajaan,

kondisi kerja, perawatan kesehatan, dan jaminan-jaminan lainnya.

6. Administrasi

Mencakup supervise, latihan dan pengembangan petugas, pencatatan

tugas-tugas profesional maupun pelayanan rutin, ketatausahaan keuangan,

peraturan-peraturan intern, hubungan dengan masyarakat dan sebagainya.

II.3 Prostitusi/ Pelacuran dan Penyebabnya

Prostitusi berasal dari kata “prostituere” (bahasa latin) yang berarti

menonjolkan diri dalam hal-hal yang buruk atau tercela atau menyerahkan diri

secara terang-terangan kepada umum.

Di Indonesia istilah ini dikenal dengan “pelacuran” yang pada umumnya

dirumuskan demikian: “Pelacuran” dapat diartikan sebagai penyerahan badan

wanita dengan pembayaran, kepada orang laki-laki guna pemuasan nafsu sexuil

(32)

Adapun bentuk dan polanya bermacam-macam, ada yang langsung

tersedia di tempat-tempat (di rumah-rumah), yang dinamakan bordil dan

lokalisasi. Biasanya pelacur-pelacur yang berada di tempat tersebut dipelihara

oleh seseorang yang dinamakan Germo, dan oleh si germo dia diatur dan harus

menurut kehendak si germo, bahkan menurut penelitian-penelitian sebagian besar

hasil WTS yang bersangkutan diambil oleh sang germo.

Ada pula pelacur-pelacur yang hanya melayani panggilan-panggilan untuk

diajak ke suatu tempat tertentu seperti di hotel-hotel, pesanggrahan atau

rumah-rumah tertentu, pelacur ini dinamakan “call girl” (wanita panggilan). Call girl ini

jaring-jaringnya juga cukup rapi hingga agak sulit diketahui, biasanya ada

perantara-perantaranya yang umumnya dari kalangan tukang becak, supir taxi dan

lain-lain.

Yang paling menyolok adalah apa yang dinamakan pelacuran jalanan

dimana para WTS berkeliaran di pojok-pojok jalan secara menyolok sekali,

seolah-olah menjajakan diri secara terang-terangan. Biasanya mereka

dibawa-bawa oleh yang menghendakinya.

Ada juga yang mengkategorikan pelacuran dengan kelas-kelas seperti :

a. pelacuran kelas rendahan (jalanan, bordil-bordil murahan)

b. pelacuran menengah yang berada di bordil-bordil tertentu yang cukup

bersihan dan pelayanannya baik

c. pelacuran kelas tinggi biasanya para pelacur tinggal di rumah sendiri

(terselubung–tersembunyi) dan hanya menerima panggilan dengan

perantara yang cukup rapi sehingga sulit diketahui dan bayarannya cukup

(33)

Pada saat ini bentuk-bentuk pelacuran di Indonesia dapat dikatakan

bertambah lagi dengan apa yang dinamakan pelacuran tersembunyi (terselubung)

dalam bentuk-bentuk kerja jasa lainnya yang sulit dibuktikan, misalnya

terselubung dalam pekerjaan tukang-tukang pijat di hotel dan bersembunyi di

tempat-tempat mandi uap dan pijat tertentu yang terdapat di kota-kota besar.

Semakin unik bentuk-bentuk pelacuran semakin sulit pula pelacuran

ditanggulangi apalagi dilenyapkan.

II.3.1 Pengertian

1. Tuna susila adalah seorang wanita, pria dan waria (wanita pria) yang

melakukan hubungan seksual di luar pernikahan dengan tujuan untuk

mendapatkan imbalan uang, materi dan/ atau jasa.

2. Wanita tuna susila (WTS) adalah wanita yang melakukan hubungan

seks dengan lawan jenisnya secara berulang-ulang dan bergantian di

luar perkawinan yang sah dengan mendapat imbalan uang, materi,

dan/atau jasa.

II.3.2 Faktor Penyebab Prostitusi/Pelacuran

Masalah WTS atau pelacuran sudah terjadi sejak dulu seiring dengan

perjalanan perilaku manusia, (dalam simandjuntak,1981) dikemukakan beberapa

teori kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan, Taft mengatakan

crime is a product of culture yaitu benturan budaya atau norma dimana individu

mengalami kegoncangan jiwa akan melahirkan kejahatan. Kemudian Sutherland

dengan teori learning mengidentifikasikan bahwa seseorang menjadi jahat karena

(34)

WTS sebagian besar berasal dari pergaulan kurang baik, keluarga yang tidak

mampu mendidik, kekurangan atau kehilangan cinta kasih.

Pelacuran timbul dikarenakan berbagai hal yang komplek, menurut hasil

penelitian (dalam Suyanto,2001: 111) Rowbothon (1973) menyebutkan bahwa

unsur utama pelacuran adalah faktor ekonomi, masalah WTS tidak lepas dari

pengertian pelacuran sebagai gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri

dengan melakukan perbuatan seksual sebagai mata pencaharian, jadi unsur

essensial dalam pelacuran adalah motif ekonomi. Kemudian Saptari (1997) secara

garis besar menyebutkan paling tidak ada tiga faktor yang mendorong seseorang

menjadi pelacur. Pertama, karena keadaan ekonomi dan kondisi kemiskinan

rumah tangga perempuan pelacur atau WTS. Kedua, karena pandangan tentang

seksualitas yang cenderung menekankan arti pentingnya keperawanan, sehingga

tidak memberi kesempatan bagi perempuan yang sudah tidak perawan kecuali

masuk ke dalam peran yang diciptakan oleh nilai yaitu sebagai pelacur. Ketiga,

karena sistem paksaan dan kekerasan seperti yang sering terjadi di lokasi, WTS

sengaja dijerat utang oleh germo sebagai pengikat dan terpaksa melacurkan diri.

Namun demikian, banyak ditemui kasus wanita melacurkan diri tidak

semata-mata motif ekonomi. Di luar muatan ekonomi tersebut, pelacuran

sesungguhnya adalah ekspresi dari hegomoni kultural pria atas kaum perempuan

dan terpaksa atau dipaksa masuk kedalam pelacuran oleh laki-laki yang

(35)

II.3.3 Prostitusi/Pelacuran sebagai masalah sosial

Prostitusi atau pelacuran merupakan masalah sosial yang besar

pengaruhnya bagi perkembangan moral. Pelacuran merupakan profesi yang sangat

tua usianya, setua umur kehidupan manusia. Pelacuran sebagai masalah sosial

atau menjadi objek urusan hukum dan tradisi dari sejarah kehidupan manusia

sampai sekarang, dan selalu ada sampai setiap tingkatan peradaban, perlu di

tanggulangi dengan kesungguhan.

Di banyak negara pelacuran dilarang bahkan dikenakan hukuman, juga

dianggap sebagai perbuatan hina oleh setiap anggota masyarakat. Akan tetapi,

sejak adanya masyarakat manusia pertama hingga dunia akan kiamat nanti mata

pencaharian pelacuran akan tetap ada, sukar bahkan hampir tidak mungkin

diberantas dari muka bumi ini selama masih ada nafsu-nafsu seks, nafsu yang

lepas kendali.

II.3.4 Akibat-akibat Pelacuran

Pelacuran menimbulkan berbagai masalah, yaitu menyangkut aspek medis,

sosial ekonomi, dan moril.

1. Aspek medis

Sudah menjadi kenyataan umum bahwa pelacuran dapat

mengakibatkan timbulnya penyakit kelamin seperti syphilis, gonorchea

bahkan HIV/AIDS. Penularan penyakit kelamin akibat adanya WTS

tersebut pengaruhnya sangat luas, yaitu tidak hanya menyerang laki-laki

dewasa tetapi bisa pada istri dan anak-anak bahkan menimbulkan abortus

(36)

2. Aspek sosial ekonomi

Pengaruh adanya WTS pada aspek sosial ekonomi sangat besar, karena

bisa melumpuhkan, menghancurkan atau merusak potensi bangsa, bahkan

menurut Loothorp dalam buku The rising tide of colour mensinyalir bahwa

dengan adanya WTS timbul gejala-gejala lapisan terbawah di masyarakat

tidak dapat ikut serta dalam kemajuan, mereka dengan sendirinya akan

mempunyai nasib yang sangat jelek sehingga mempengaruhi tujuan

masyarakat dalam mempertahankan nilai sosial seperti kerja sama atau

kekompakan dan partisipasi pembangunan menjadi rusak

(Simandjuntak.B, 1981). Selain pada aspek sosial, dampak adanya WTS

menjadi beban ekonomi finansial, hal ini karena banyaknya penyakit

akibat pelacuran seperti tersebut diatas membebani keuangan negara,

dimana dengan adanya berbagai penyakit tersebut pemerintah terpaksa

harus mengeluarkan uang atau penyediaan obat untuk mengatasi penyakit

maupun kegiatan atau upaya-upaya seperti membangun sebuah panti untuk

rehabilitasi dan mencegah meluasnya permasalahan dan gejala-gejala lain

yang berkaitan dengan dampak pelacuran.

3. Aspek Moril

Wanita tuna susila ataupun siapa saja yang melacurkan diri telah dicap

(mendapat sterotipe) sebagai sosok yang tidak memiliki susila dan

tanggung jawab. Oleh karena itu, WTS sudah dikategorikan tidak

mempunyai moril, salah satu contoh yaitu dari sikap persetubuhan dalam

pelacuran itu sendiri sangat didominasi dorongan seksual dan

(37)

merupakan objek pemuas seks laki-laki. Hal ini merupakan awal lahirnya

demoralisasi atau mengesampingkan norma (mengabaikan value system)

masyarakat.

II.4 Sistem Pembinaan di Panti sebagai Pelayanan Sosial

Panti sebagai lembaga sosial merupakan tempat dimana terdapat

kebutuhan yang beraneka ragam dari para penghuninya. Kebutuhan ini

mempunyai konsekuensi adanya tanggung jawab panti untuk memenuhi

kebutuhan itu. Salah satu sistem pelayanan sosial adalah melalui panti. Panti

artinya tempat, sarana atau rumah, sedangkan pelayanan adalah usaha pemberian

bantuan atau pertolongan kepada orang lain baik materi maupun non materi.

Penyantunan WTS dalam sistem perpantian berlangsung selama setengah

tahun dengan penjadwalan kegiatan sebagai berikut :

- tahap awal klien sudah diterima di panti

- tahap rehabilitasi sosial berupa kegiatan pengajaran pendidikan,

bimbingan sosial dan mental, latihan keterampilan. Tahap ini dilaksanakan

selama 2 bulan lamanya

- tahap resosialisasi/persiapan penyaluran yaitu pemantapan bimbingan

sosial dan mental serta latihan keterampilan

- tahap bimbingan lanjut.

Jadi pelayanan panti bentuk pelayanan dengan mempergunakan panti

sebagai sarana dalam usaha memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada

kliennya sehingga mereka dapat mengatasi masalahnya. Dengan demikian mereka

(38)

berfungsi untuk pemulihan fungsi sosial yang terganggu, pengadaan

sumber-sumber dan pencegahan terhadap disfungsi sosial sesuai dengan hakekat

pembangunan sosial yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan

pembangunan seluruh masyarakat Indonesia maka hakekat pelayanan panti

menyangkut aspek kehidupan dan penghidupan penghuninya serta pada

hakekatnya pelayanan itu bersifat kuratif, rehabitatif, dan developmental.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa panti merupakan suatu tempat

yang berfungsi untuk memberikan santunan/ rehabilitasi kepada penyandang

masalah kesejahteraan sosial agar dapat memerankan fungsi sosial mereka secara

wajar dan memadai sesuai dengan harkat dan martabat manusia didalam tata

kehidupan normal.

II.5 Kerangka Pemikiran

Prostitusi atau Pelacuran merupakan salah satu masalah sosial yang

kompleks, mengingat prostitusi merupakan peradaban yang termasuk tertua di

dunia dan hingga saat ini masih terus ada pada masyarakat kita. Banyak hal yang

melatarbelakangi wanita menjadi pelacur/ WTS antara lain karena faktor

ekonomi, psikologis, kelonggaran kultur masyarakat di sekitar dan faktor lainnya.

Pelacuran atau tindak susila ini jelas menimbulkan keresahan serta

kegoncangan di dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat. Pelacuran

merupakan penghambat dalam proses pembangunan manusia seutuhnya dan

pembangunan masyarakat Indonesia pada umumnya. Untuk itu diperlukan

(39)

fungsi yang dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan usaha rehabilitasi,

untuk mempersiapkan mereka agar dapat secara utuh kembali ke masyarakat.

Di Sumatera Utara satu-satunya lembaga sosial yang secara khusus

menangani pembinaan terhadap klien/ wanita tuna susila adalah Panti Sosial

Karya Wanita (PSKW) Parawasa di Berastagi. PSKW Parawasa adalah Unit

Pelaksana Teknis dari Dinas Sosial Provinsi yang memberikan rehabilitasi

terhadap WTS dan menerapkan sistem perpantian yaitu pelayanan dalam suatu

proses penyantunan dan pengentasan yang meliputi : tahapan rehabilitasi,

resosialisasi dan bimbingan lanjut. Proses ini merupakan suatu upaya untuk

mewujudkan terbina dan berkembangnya tata kehidupan dan penghidupan para

penyandang tuna susila yang diliputi oleh pemulihan kembali rasa harga diri,

tanggung jawab sosial, serta kemauan dan berkemampuan melaksanakan fungsi

(40)

Bagan 1

Kerangka Pemikiran Secara Sistematis

Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa

Pelayanan :

a. Program Pendidikan

b. Bimbingan sosial

c. Bimbingan mental

d. Bimbingan keterampilan

Wanita Binaan Sosial

Perkembangan yang dihasilkan : - memiliki keterampilan

- dapat berfungsi sosial dengan baik

(41)

II.6 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional II.6.1 Defenisi Konsep

Konsep adalah istilah atau defenisi yang digunakan untuk menggambarkan

secara abstrak kejadian, keadaan kelompok atau individu yang menjadi pusat

perhatian ilmu sosial. (Singarimbun, 1989: 33)

Untuk memfokuskan penelitian ini peneliti memberikan batasan konsep

yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu :

1. Efektivitas adalah Suatu pencapaian tujuan secara maksimal dengan sarana

yang dimiliki melalui program-program tertentu.

2. Pelayanan sosial adalah aktivitas yang terorganisasi yang bertujuan untuk

membantu masyarakat untuk saling menyesuaikan diri dengan sesamanya

dan dengan lingkungan sosialnya.

3. Wanita Tuna Susila adalah seorang wanita yang mengadakan hubungan

seksual dengan seorang pria atau lebih diluar pernikahan dengan sengaja

atau berpengharapan mendapat upah sebagai balas jasa, sehingga menjadi

kebiasaan. Dalam hal ini sama dengan istilah pelacur, penjaja seks,

kupu-kupu malam, balon, lonte, cabo, sundal, pecun.

4. Panti Sosial Karya Wanita Parawasa adalah unit pelaksana teknis dari

kantor wilayah Dinas Sosial di Sumatera Utara yang bertanggung jawab

langsung dibawah Departemen Sosial, yang memberikan rehabilitasi dan

(42)

II.6.2 Defenisi Operasional

Defenisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan

bagaimana cara mengukur suatu variabel. (Singarimbun, 1989: 63)

Untuk melihat variabel-variabel dan indikator-indikator dalam penelitian

ini dapat dilihat dari jenis pelayanan yang diberikan, yaitu sebagai berikut :

1. Program pelayanan PSKW Parawasa yang diukur meliputi :

a. Bimbingan sosial adalah bimbingan yang diberikan dengan tujuan

untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab sosial serta

memulihkan kemauan dan kemampuan untuk penyesuaian dirinya

secara normatif. Antara lain: berupa kegiatan ceramah hukum dan

moral, simulasi dan ceramah P4, kadarkum (kelompok sadar hukum).

b. Bimbingan mental adalah bimbingan yang diberikan dengan tujuan

untuk memberikan kemampuan pemeliharaan kondisi sehat fisik,

integrasi diri, rasa percaya diri dan disiplin diri. Bimbingan ini berupa

snam kesegaran jasmani, kegiatan ceramah keagamaan, diskusi, sholat

dan kegiatan lainnya. Bimbingan ini diberikan oleh petugas dari

Departemen Agama bekerjasama dengan petugas panti yang diberikan

satu kali dalam sehari.

c. Bimbingan Keterampilan adalah bimbingan yang diberikan dengan

tujuan untuk memberi kemampuan kepada penerima pelayanan agar

dapat menguasai salah satu atau lebih jenis keterampilan usaha sebagai

bekal setelah keluar dari panti. Bimbingan ini berupa latihan

(43)

dan tata rias yang diberikan oleh petugas dari Departemen

Perindustrian bekerjasama dengan petugas panti.

2. Sarana dan Prasarana atau fasilitas yang tersedia :

a. Gedung dan bangunan-bangunan

b. Tempat ibadah

c. Kegiatan olah raga

3. Kesejahteraan dan kemandirian klien/ wanita binaan, meliputi :

a. Dapat Berfungsi Sosial

(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

deskriptif yaitu suatu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan

menggambarkan keadaan subjek atau objek penelitian (seseorang, lembaga,

masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak

atau sebagaimana adanya (Nawawi, 1998: 63).

Dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif peneliti ingin membuat

gambaran sejauh mana keefektifan pelayanan yang diberikan Panti Sosial Karya

Wanita (PSKW) Parawasa dengan melakukan pengamatan terhadap gejala,

peristiwa, kondisi dan fasilitas yang tersedia.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Panti Sosial Karya Wanita Parawasa

Berastagi. Alasan peneliti memilih lokasi ini adalah karena Panti Sosial Karya

Wanita (PSKW) Parawasa merupakan satu-satunya Panti Binaan terhadap wanita

(45)

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek yang terdiri dari manusia, benda,

hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala, nilai-nilai atau peristiwa sebagai sumber data

yang memiliki karakter tertentu dalam suatu penelitian (Nawawi, 1991 : 141).

Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan dari klien (wanita binaan

sosial) di dalam Panti yang sudah menjalani bimbingan dan pembinaan selama 5 -

6 bulan,dimana mereka telah mengikuti bimbingan sampai pada tahap

keterampilan, yakni sejumlah 25 orang.

3.3.2 Sampel

Menurut DR. Irawan Soehartono, sampel adalah suatu bagian dari

populasi yang akan diteliti dan yang dianggap dapat menggambarkan populasinya

(Soehartono, 2004 : 57).

Apabila jumlah populasi kurang dari 100, maka sebaiknya sampel diambil

semuanya (Sukarsini Arikunto : 1991). Berarti sampel dalam penelitian ini

merupakan total sampling N = n (25 orang).

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka dalam penelitian ini

menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh melalui pengamatan langsung

terhadap gejala-gejala yang dapat diamati dari objek penelitian. Cara-cara

(46)

a. Wawancara yaitu mengumpulkan data dengan mengadakan dialog secara

langsung dan mengajukan pertanyaan mengenai permasalahan yang

dibahas dalam penelitian ini kepada responden yang telah ditetapkan .

b. Angket (Questioner), yaitu menyusun daftar pertanyaan kemudian

mengajukan pertanyaan secara tertutup yang disebarkan kepada wanita

binaan.

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dengan library research (studi kepustakaan), yaitu

dengan membuka, mencatat dan mengutip data yang berkaitan dengan

masalah penelitian dan dapat mendukung terlaksananya penelitian ini.

3.5 Teknik Analisa Data

Dalam penelitian ini teknik analisa data yang digunakan adalah teknik

analisa deskriptif, yaitu dengan mengumpulkan, mengelola, menyajikan dan

menjabarkan hasil penelitian sebagaimana adanya. Data yang didapat akan

dipaparkan dan dianalisa dengan menggunakan Tabel Tunggal, sehingga data

(47)

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

IV.1 Sejarah berdirinya Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Melihat kenyataan pertumbuhan kepadatan penduduk di provinsi Sumatera

Utara dari tahun ke tahun sangat pesat yang menimbulkan berbagai permasalahan

sosial. Salah satu permasalahan sosial tersebut adalah masalah tuna susila yang

terus tumbuh dan berkembang di masyarakat dan merupakan suatu masalah yang

menghambat pembangunan. Maka melalui Departemen Sosial didirikanlah panti

ini pada tahun 1977 yang beralamat di Jalan Jamin Ginting Kecamatan Berastagi

Kabupaten Karo, yang diberi nama Panti Sasana Rehabilitasi Wanita Parawasa

Berastagi. Nama Parawasa dibuat oleh Bupati Karo yang pada waktu itu dijabat

oleh Bapak Kolonel TNI Tampak Sebayang.

Beliau memberi nama “PARAWASA” yang artinya:

Para : Sekelompok wanita

Wa : Wanita

Sa : Dewasa

Yang berarti tempat mendewasakan para penyandang masalah tuna susila melalui

proses rehabilitasi. Namun pada tahun 1993 nama Sasana Rehabilitasi Wanita

(48)

IV.2 Status Formal Panti dan Landasan Hukum IV.2.1 Status formal

Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa adalah unit pelaksana teknis

(U.P.T) Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara yang bertugas menangani masalah

sosial tuna susila. Berdasarkan Keputusan Menteri Sosial RI No.

41/HUK/KEP/XI/1979 tentang kedudukan dan tata kerja panti di lingkungan

Dinas Sosial.

IV.2.2 Landasan Hukum

Adapun yang menjadi landasan hukum pelaksanaan program rehabilitasi

wanita di Panti Sosial Karya Wanita Parawasa adalah:

a. Undang-undang No. 6/74, tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan

Sosial

b. Undang-undang No. 22/99, tentang Pemerintah Daerah

c. Undang-undang No. 25/99, tentang Pertimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

d. Kepmensos No. 20/ HUK/ 99, tentang Rehabilitasi Sosial Penyandang Masalah

Tuna Susila.

IV.3 Visi dan Misi serta Motto IV.3.1 Visi

Adapun visi dari PSKW Parawasa adalah Kesejahteraan Sosial oleh dan

untuk semua.

IV.3.2 Misi

Adapun misi dari PSKW Parawasa adalah:

(49)

b.Mengembangkan prakarsa dan peran aktif masyarakat dalam

penanggulangan masalah tuna susila

c.Mencegah dan mengendalikan serta mengatasi permasalahan Tuna

Susila

d. Meningkatkan jaringan kerja lintas sektoral dan dunia usaha

IV.3.3 Motto

Motto dari PSKW Parawasa adalah Wanita Mulia, Negara Jaya.

Panti Sosial Karya Wanita adalah Panti Rehabilitasi Wanita Tuna Susila

yang mempunyai tugas memberikan Pelayanan Rehabilitasi Sosial yang meliputi

Pembinaan Mental, fisik, sosial serta Latihan keterampilan, resosialisasi,

penyaluran, pembinaan lanjut bagi para Wanita Tuna Susila agar mampu untuk

berperan aktif dalam kehidupan masyarakat secara normative. Dan tujuan dari

Panti Sosial Karya Wanita adalah untuk memulihkan kembali harga diri, percaya

diri, kesadaran dan tanggung jawab sosial, berkemampuan menyesuaikan diri

dengan lingkungan sosialnya sehingga diharapkan mereka akan mampu hidup

mandiri, berkemampuan melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam

tatanan hidup bermasyarakat.

IV.4 Program Rehabilitasi WTS di Parawasa Berastagi, Kegiatan Harian Warga Binaan, dan Lama Pembinaan

IV.4.1 Program Rehabilitasi

Adapun program-program Pelayanannya adalah:

a. Pendekatan Awal

(50)

- Identifikasi

- Motivasi

- Seleksi

b. Penerimaan

- Registrasi Penyandang Masalah (dari hasil razia ataupun yang diantar

oleh keluarga)

- Penelahaan dan pengungkapan masalah (Assisment)

- Penempatan klien pada program (bakat dan minat)

c. Bimbingan Sosial

- Bimbingan fisik (senam aerobik dan baris berbaris), agama dan mental

- Bimbingan sosial

d. Bimbingan Keterampilan

- Salon, menjahit, bordir, kerajinan tangan, pertanian dan pengembangan

bunga

- Olahan pangan

e. Resosialisasi

- Bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat

- Bimbingan sosial hidup bermasyarakat dan Bimbingan usaha

- Penetapan dan penyaluran / pengembalian

f. Bimbingan Lanjut

- Bimbingan peningkatan hidup bermasyarakat dan peran serta dalam

pembangunan

- Bantuan pengembangan kerja

(51)

IV.4.2 Kegiatan Harian PSKW Parawasa Berastagi

Adapun jadwal kegiatan harian yang dilakukan oleh Klien di Panti Sosial

Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi dapat dilihat pada Tabel berikut ini

Tabel 1

Jadwal Kegiatan Harian Warga Binaan (klien) Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi

No Waktu/jam Kegiatan Penanggung jawab

1. 05.30 – 06.00 - bangun pagi

- rapikan tempat tidur

- sholat

- bimbingan hidup dalam

(52)

8. 14.00 – 16.00 - Kegiatan individu Piket

Sumber: Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi, 2007.

IV.4.3 Lama Pembinaan

Dalam Pelayanan Rehabilitasi di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW)

Parawasa Berastagi selama 6 (enam) bulan, dengan perincian:

- 2 bulan : Pembinaan dalam bidang Bimbingan mental, bimbingan

fisik, bimbingan sosial, dan bimbingan agama

- 4 bulan : Pembinaan dalam bidang keterampilan yang meliputi: salon,

menjahit, bordir, kerajinan tangan, pertanian dan pengembangan

bunga, dan olahan pangan.

Maka dalam 1 (satu) tahun anggaran 2 (dua) angkatan dengan jumlah

perangkatan 60 orang, sesuai dengan anggaran yang tersedia.

Berdasarkan pengamatan dan melihat kebutuhan di tengah-tengah

masyarakat program inilah yang sangat dibutuhkan apabila klien dibina selama 6

(53)
(54)

IV.6 Sarana dan Prasarana Panti

Sarana dan Prasarana yang dimiliki oleh Panti Sosial Karya Wanita

(PSKW) Parawasa, dapat dilihat pada tabel dibawah ini

Tabel 2

Sarana dan Prasarana PSKW Parawasa

No. Sarana/Prasarana Jumlah Kondisi

1. Ruang Kantor 1 unit Baik

Sumber: Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi Tahun 2007

IV.7 Tenaga Pelaksana dan Pegawai (staff) Panti

Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa mempunyai 14 orang

dengan klasifikasi pendidikan yang berbeda-beda, dimana salah seorang sebagai

kepala panti. Mereka terdiri dari:

a. tenaga inti (organik) = 12 orang

b. tenaga honor = 1 orang

c. tukang masak = 1 orang

Adapun Daftar nama Pegawai Negeri Sipil (tenaga inti) Panti Sosial Karya

(55)

Tabel 3

Data Jumlah PNS PSKW Parawasa Berastagi Daftar Pegawai Negeri Sipil PSKW Parawasa Berastagi

No Nama Tgl lahir NIP Jabatan Pendidikan

1. Drs. Amir

Sidabutar

19-02-1962 170019988 Ka. Seksi PLS

2. Syahdan 17-09-1954 170009313 Staf STM

3. Warni Ginting 20-11-1954 170008813 Staf SPSA

4. Rasmy Surbakti 10-06-1954 170013141 Staf SPSA

5. Irianna Sembiring 07-02-1960 170014239 Staf SMPS

6. Rumah Tengah

Sembiring

26-11-1954 170016246 Staf SPSA

7. Ganefo Ginting 02-12-1963 170016247 Staf SMA

8. Respan Ginting

Sm.Hk

02-08-1962 170020679 Staf Hukum

9. Antoni Sembiring 28-06-1960 170016117 Staf SMA

10. Rasita Purba 17-08-1971 170024753 Staf SMPS

11. Irwan Surbakti 09-09-1959 170011814 Staf SMA

12. Djonata Sembiring 18-11-1955 170011994 Staf SD

Sumber: PSKW Parawasa Berastagi

Selain itu, dalam rangka meningkatkan kemampuan dan keberfungsian

sosial para klien, PSKW Parawasa Berastagi melaksanakan kerjasama dengan

Departemen Agama dan organisasi masyarakat yang bergerak dalam bidang sosial

seperti:

1. Dinas Departemen Agama Kabupaten Karo

2. Beberapa Gereja GBKP yang ada di Medan maupun di Kabupaten Karo

(56)

4. LSM Pesada “Sada Ahmo” yang bergerak dalam penanganan dan pencegahan

penyakit menular HIV/AIDS.

5. KKR Kristiani Kabanjahe

6. Pengarah TKI Melidah Medan

7. IKIP Negeri Medan

Dan pada saat ini PSKW Parawasa Berastagi menjalin hubungan

kerjasama dengan Pekerja Sosial Masyarakat dari Negara Kanada dan mereka

memberikan pelatihan belajar bahasa inggris.

IV.8 Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab IV.8.1 Kepala Panti

Kepala Seksi PSKW Parawasa Berastagi (Drs. Amir Sidabutar),

mengeluarkan tugas-tugas managerial dan teknis operasional seperti yang telah

dituangkan dalam penjabaran tugas dan fungsi sesuai dengan keputusan gubernur

sumatera utara nomor: 061.297.K/ Tahun 2002 yang meliputi pembinaan fisik,

mental, sosial, mengubah sikap dan tingkah laku, pelatihan keterampilan dan

resosialisasi serta pembinaan lanjut bagi mantan wanita tuna susila agar menjadi

berkemampuan aktif dalam melaksanakan norma susila dan agama di

tengah-tengah masyarakat.

Tugas :

1. Melaksanakan observasi dan orientasi ke kantong-kantong lokalisasi Wanita

Tuna Susila di wilayah Sumatera Utara

2. Melaksanakan identifikasi calon klien

(57)

4. Melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait dalam pembinaan mental,

sosial dan keterampilan

5. Melaksanakan konsultasi, pengungkapan dan pemahaman masalah klien

6. Menyusun program-program kegiatan rehabilitasi klien

7. Melaksanakan penampungan dan pengasramaan klien

8. Mempersiapkan segala kebutuhan/keperluan para klien dengan standard yang

telah ditetapkan

9. Melaksanakan pembinaan fisik, mental dan sosial secara individu maupun

kelompok

10.Melaporkan pelaksanaan kegiatan/program kepada kepala balai secara

berjenjang

11.Melaksanakan pembinaan dan pembagian tugas semua staf

12.Melaksanakan bimbingan lanjut terhadap eks klien

13.Melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Kepala Balai

14.Mengkoordinir tugas-tugas staf.

Fungsi :

1. Mengawasi semua pelaksanaan program-program kegiatan sesuai dengan

ketentuan yang telah ditetapkan

2. Mempertanggung-jawabkan semua pelaksanaan kegiatan program yang telah

ditetapkan kepada Kepala Balai

3. Mengevaluasi kegiatan/program yang telah dilaksanakan untuk bahan laporan

kepada Kepala Balai

(58)

5. Mengawasi/merawat/memelihara semua sarana dan prasarana yang ada di

PSKW Parawasa

6. Memberikan penilaian staf setiap akhir tahun anggaran.

IV.8.2 Tugas dan Tanggung Jawab Para Staf

1. Warni Ginting dan Antoni

- Menangani administrasi dan dokumentasi klien

- Menerima dan melayani klien

- Memberikan bimbingan kepada klien

- Mengawasi surat masuk dan surat keluar

- Menyusun roster piket setiap bulan

- Membuat daftar hadir pegawai

- Menyusun materi latihan

- Menghubungi Instruktur/Pelatih

- Mengikuti dan melaksanakan petunjuk-petunjuk atasan

- Interview klien

2. Iriana Sembiring dan Rasita Purba

- Membuat laporan bulanan

- Membuat daftar klien per asrama

- Membuat catatan perkembangan klien

- Memberikan kebutuhan klien dalam asrama

- Membuat tugas klien di asrama

- Bertanggung jawab atas kebersihan asrama, tempat tidur dan

peralatannya

(59)

- Mencatat keperluan asrama

- Interview klien

- Mengikuti dan mematuhi petunjuk-petunjuk atasan dan melaporkan

hasil pelaksanaan kepada Kepala Seksi

3. Rasmy Surbakti

- Membuat daftar nomor Registrasi klien

- Mengatasi permasalahan klien

- Mencatat dan menyimpan alat-alat keterampilan

- Mengisi buku induk

- Menyusun kelompok klien sesuai dengan keterampilan

- Interview klien

- Mengikuti dan melaksanakan petunjuk-petunjuk atasan

4. Supiah Suriaty Sembiring

- Mengkoordinir pelaksanaan bimbingan

- Melaksanakan pengungkapan latar belakang

- Mencatat perkembangan klien

- Melaporkan hasil pekerjaan kepada atasan secara berjenjang

- Interview klien

5. Rumah Tengah Sembiring

- Mengawasi keamanan dalam asrama dan Panti

- Mengkoordinir kebersihan kantor, asrama, dapur, ruang data, ruang

sholat dan halaman

- Interview klien

(60)

6. Ganepo Ginting

- Mengamprah Gaji Pegawai sesuai dengan petunjuk Kepala Balai

- Melaksanakan wawancara dengan klien

- Membuat laporan hasil wawancara

- Memberikan bimbingan kelompok kepada klien

- Mengikuti dan melaksanakan tugas-tugas yang diberikan atasan

7. Irwan Surbakti

- Koordinasi dengan aparat keamanan

- Melaksanakan identifikasi klien

- Pengisian file, interview dan wawancara kepada klien

- Menginventarisasi kelompok umur, pendidikan agama dan suku/ras

8. Djonata Sembiring dan Delma Ginting

- Melaksanakan koordinasi dengan masyarakat setempat

- Melayani wartawan sebelum dihadapkan ke atasan

- Interview klien

- Mengawasi klien didalam dan diluar asrama

- Membantu melaksanakan kebersihan dalam panti

9. Situmorang

- Jaga malam

Gambar

Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis terhadap hasil penelitian ini, maka penulis berkesimpulan bahwa Progran Bimbingan Keterampilan di Panti Sosial Karya Wanita Kota Palangka Raya Provinsi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penyesuaian diri pada wanita rehabilitasi sosial di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Yogyakarta dilihat dari

Skripsi yang berjudul METODE BIMBINGAN MENTAL SPIRITUAL TERHADAP PENYANDANG MASALAH TUNA SUSILA DI PANTI SOSIAL KARYA WANITA PSKW MULYA JAYA JAKARTA.. Telah

Pelayanan sosial adalah aktivitas yang terorganisasi yang bertujuan untuk membantu para anggota masyarakat untuk saling menyesuaikan diri dengan sesamanya dan dengan

Yang dimaksud dengan rehabilitasi disini yaitu suatu tahap bimbingan dan pembinaan yang diberikan oleh lembaga bagi para wanita tuna susila (WTS), Rehabilitasi sosial dimaksudkan

Panti Rehabilitasi Tuna Susila Karya Wanita merupakan sarana pelayanan rehabilitasi sosial yang memberikan pembinaan fisik, mental, sosial dan keterampilan bagi para

Berdasarkan analisis terhadap hasil penelitian ini, maka penulis berkesimpulan bahwa Progran Bimbingan Keterampilan di Panti Sosial Karya Wanita Kota Palangka Raya Provinsi

Dalam pembuatan program dokumenter televisi PSKW (Panti sosial karya wanita) penulis menggunakan metode narasi dan wawancara untuk lebih menjelaskan sejarah yang ada di Panti