• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROVINSI BAL

Dalam dokumen HUKUM ADAT LENGKAP (Halaman 55-68)

1. Hukum Tertulis

1. Kewilayahan

Masyarakat hukum adat di Bali tinggal dalam suatu desa adat yang dikenal dengan Desa Pakraman. Eksistensi desa adat ini telah memperoleh pengakuan dari pemerintah Provinsi Bali melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 yang kemudian dirubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman.

Kehidupan beragama/kepercayaan diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman.di dalam Bab V Pasal 1. Pemerintah Daerah menjamin setiap orang bebas menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran Hindu, dan menghormati masyarakat untuk melakukan ritual pada hari-hari tertentu sesuai dengan aturan yang berlaku di dalam ajaran Hindu.

Semua aspek aktivitas perilaku berpola yang telah membudaya dalam interaksi manusia dalam suatu masyarakat yang diperankan melalui nilai, norma, serta wadah struktur keorganisasian yang dibentuk, merupakan sistem organisasi sosial. Berkenaan dengan sistem organisasi sosial diatur di dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman Bab VII Pasal 1.

Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur menggunaan/pengembangan teknologi belum ada. Meskipun demikian pemerintah daerah terus mendorong seluruh masyarakat untuk mengembangkan teknologi tepat guna yang akan memberikan manfaat bagi kehidupan yang lebih baik.

Peraturan Daerah (Perda) tentang Desa Pakraman yang mengatur pengetahuan/pendidikan terdapat pada Bab IV Pasal 4. Selain itu melalui kebijakan dan program dinas pendidikan, pemerintah daerah memberikan kesempatan kepada putra-putra daerah termasuk dari masyarakat hukum adat untuk berpartisipasi dalam pendidikan. Program-program bantuan pendidikan pun, diluncurkan oleh Pemerintah Daerah, yang menjangkau seluruh anak-anak yang sedang menempuh pendidikan.

Berkenaan dengan aspek ekonomi, Peraturan Daerah (Perda) tentang Desa Pakraman di dalamnya antara lain mengatur fungsi desa adat untuk membantu pemerintah dalam menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat. Selain itu di dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang Desa Pakraman mengatur bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan.

Selanjutnya, Peraturan Daerah (Perda) tentang Desa Pakraman di dalamnya mengatur dengan jelas, bahwa salah satu fungsi desa adat adalah membina dan mengembangkan nilai-nilai adat Bali dalam rangka

memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Bali pada khususnya, berdasarkan paras paros salungkung sabayantaka/ musyawrah untuk mufakat.

2. Hukum Tidak Tertulis a. Kewilayahan

Desa adat dibatasi oleh wilayah tertentu, dimana menurut hukum adat disebut ”Prabumian Desa” atau Wewengkon Bale Agung” . Wilayah desa adat ini sepenuhnya dapat diatur dan diurus oleh perangkat pimpinan desa adat berdasarkan hak pengurusan wilayah yang lebih dikenal dengan sebutan hak ulayat desa adat.

b. Kebudayaan

Agama Hindu menempati posisi ”superstruktur” bersama dengan nilai- nilai, cita-cita dan simbol ekspresif lainnya. Kemudian desa adat (Pakraman) sebagai lembaga berkedudukan sebagai ”dasar” bersama norma dan organisasi lainnya. Agama Hindu merupakan payung bagi norma hukum adat (awig-awig) dan organisasi sosial desa adat. Dengan demikian ajaran Hindu akan terwujud dalam norma-norma adat kehidupan Krama Desa Adat.

Desa Adat (Pakraman) sebagai lembaga sosial keagamaan yang bertindak sebagai wadah dan sekaligus pengawas pelaksanaan kegiatan agama di tingkat desa. Desa Pakraman sejak awal telah ditata untuk menjadi desa religius, dibentuk berdasarkan konsep-konsep dan nilai-nilai filosofis Agama Hindu. Oleh karena itu, pengurus Desa Pakraman bukan Kepala Desa, melainkan Ketua (Kubayan, Bayan, Kelihan, Kiha, Kumpi, Sanat, Tuha-tuha), yang bermakna guru spiritual lokal di desa.

Desa Pakraman terus mengadakan penyesuaian sesuai dengan asas Desa Mawa Cara. Desa adat mempunyai hak untuk mengurus rumah tangganya sendiri atau mempunyai otonomi. Hak dari desa adat mengurus rumah tangganya bersumber dari hukum adat, tidak berasal dari kekuasaan pemerintahan.

Desa Pakraman memiliki banjar sebagai pembagian wilayah kerja yang sudah sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Bali. Desa ini punya tugas dan kewajiban mengurus pura (kahyangan) desa. Berbeda dengan desa-desa pada umumnya, sesungguhnya Desa Pakraman ini ”pasraman” tempat melakukan penempaan diri di bidang pengamalan dharma, untuk mendapatkan Catur Purusa Artha.

Kemudian konsep dan nilai dasar dalam hubungan sosial dan kekerabatan adalah ’tat twam asli’ dimana konsep ini melahirkan nilai- nilai ; kerukunan (saling asah, saling asih, saling asuh, salunglung sabayantaka), keselaran (sagilik saguluk, briuk sapanggul), dan kepatutan (paras-paros, ngawe sukaning wong len).

Awig-awig adalah aturan hukum yang mengatur hubungan sosial antar warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Apabila ada warga masyarakat yang dinilai melanggara awig-awig tersebut, maka akan diberikan sanksi sesuai dengan aturan adat yang berlaku.

Sebagai masyarakat terbuka, masyarakat hukum adat di Bali leluasa untuk mengakses dan memanfaatkan teknologi dalam berbagai bidang kehidupan. Meskipun demikian, pemanfaatan dan pengembangan teknologi tersebut tetap harus memperhatikan aturan adat dan ajaran Hindu.

Masyarakat hukum adat leluasa dalam berpartisipasi dalam pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Sebagai daerah tujuan wisata internasional, setiap warga diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mempelajari berbagai hal, terutama yang berkaitan dengan bahasa asing, pemandu wisata, souvenir dan seluk beluk kepariwisataan.

Fungsi desa adat untuk membantu pemerintah menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat. Tentu saja pemanfaatan kekayaan desa adat tidak keluar dari rambu-rambu yang telah diatur di dalam aturan adat, dan dimanfaatkan untuk mewujudkan kesejahtyeraan bersama.

Ciri Bali yang istimewa adalah agama, adat dan budaya yang menyatu dan ini telah menjadi jati diri masyarakat Bali. Oleh karena itu,

kesenian sebagai salah satu bentuk kongkrit dari kebudayaan sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat Bali. Berbagai bentuk kesenian tradisional, baik tari, musik (tabuh), pahat, anyaman dan nyanyian tradisional (kidung) dikembangkan oleh masyarakat melalui padepokan (sanggar seni) secara turun temurun.

3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum

a. Impleme

ntasi

Masyarakat hukum adat yang tinggal di Desa Pakraman sangat diakui oleh pemerintah daerah dan masyarakat. Secara yuridis sudah ada pengakuan Pemerintah Daerah terhadap lembaga adat (Kedamanangan), tanah adat, hak adat, hukum adat, adat istiadat dan Kepala Desa Adat. b. Kendala

Sejauh ini tidak ada kendala yang dirasakan dalam implementasi hukum adat, karena agama, adat dan budaya telah menyatu dalam kehidupan masyarakat secara turun temurun, dan terus dilembagakan dengan baik oleh pemerintah maupun lembaga adat.

4. Harapan

a. Pembinaan desa adat dan adat istiadat Bali ke arah keberdayaan, kelestarian dan perkembangan dalam upaya meningkatkan peranan dan fungsi desa adat dan adat istiadatnya. Melalui pembinaan ini bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang Trepti (tertib, tertata/teratur, sesuai tatanan masyarakat), Kerta (damai, tenteram, aman, harmonis), dan Jagadhita (sejahteralahir batin, adil, dan makmur).

b. Pembinaan dan mengefektifkan berfungsinya lembaga peradilan desa yang kongkrit de facto dilaksanakan oleh Prajuru Desa Adat. Masalah yang berhubungan dengan adat dan agama akan efektif apabila ditangani oleh Prajuru sebagai hakim desa.

K. NUSA TENGGARA BARAT

a. Kewilayahan

Hukum tertulis yang berupa Peraturan Daerah Provinsi maupun Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang secara khusus mengatur kewilayahan Masyarakat hukum adat hingga saat ini belum ada. Meskipun demikian Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten memberikan pengakuan terhadap lembaga adat pada Suku Sasak dengan penguasaan wilayah yang berupa tanah ulayat. Tanah ulayat tersebut kepemilikannya secara kolektif berdasarkan hukum adat, dan dalam penggunaannya sesuai hukum adat dan persetujuan dari kepala suku.

b. Kebudayaan

Pemerintah daerah tetap mempertahankan kondisi hukum adat yang selama ini ada. Salah satu bentuk perhatian Pemerintah Daerah terhadap eksistensi lembaga dan hukum adat tersebut adalah diresmikannya lembaga adat di Desa Sukrarane di Kecamatan Sikra Barat Kabupaten Lombok Timur, meskipun belum dikukuhkan secara yuridis. Lembaga adat di desa Sukrarane ini diharapkan sebagai contoh penerapan hukum adat yang dikembangkan menjadi lembaga pendidikan adat lebih mengedepankan penanaman nilai moral berbasis kelembagaan adat.

Khusus pada Suku Sasak, kelembagaan adat dilandaskan pada agama Islam, sedangkan pengembangan budaya berkembang melalui budaya susunjaga sebagai warisan dari Sunan Giri dan Sunan Kalijaga.

Musyawarah dan mufakat selalu ditekankan dalam Suku Sasak. Ada tiga tokoh masyarakat/adat yang berperanan dalam pembangunan masyarakat, yaitu ;

a). Pengusung, adalah kepala desa selaku kepala pemerintahan yang mengelola administrasi pemerintahan.

b). Penghulu, adalah tokoh agama atau tuan guru yang senantiasa berperanan memberikan nasehat kepada seluruh masyarakat dengan merujuk pada Al-Quran dan Hadist.

c). Pemangku adalah ketua adat tempat masyarakat meminta nasehat dan petunjuk dalam melakukan kegiatan sehari-hari.

Berbagai artefak kebudayaan masyarakat memperoleh perhatian dari Pemerintah Daerah NTB dengan dibangunnya Taman Budaya NTB. Di dalam taman budaya tersebut, hasil karya yang bernilai seni budaya dari berbagai suku di NTB. Namun demikian dokumen tertulis yang menjelaskan kebudayaan masyarakat tersebut banyak yang sudah aidak terdokumentasikan.

2. Hukum Tidak Tertulis

a. Kewilayahan

Masyarakat hukum adat Suku Sasak di Kabupaten Lombok, dan Suku Mbojo di Kabupaten Bima mendiami suatu wilayah secara berkelompok. Mereka telah mendiami wilayah tersebut secara turun temurun, sehingga terbentuk sistem kekerabatan yang kuat. Penguasaan wilayah tersebut secara kolektif, dan karenanya tidak dapat dimiliki secara pribadi. Hal-hal yang berkenaan dengan pemanfaatan wilayah ulayat tersebut diatur secara adat dan dikendalikan oleh Kepala Suku. Sedangkan Suku Samawa di Kabupaten Sumbawa hidup berkelompok dan berpindah- pindah dari satu daerah ke daerah lain.

b. Kebudayaan

Di Provinsi Nusa Tenggara Barat terdapat tiga suku besar, yaitu Suku Sasak, suku Mbojo dan Suku Samawa. Suku Sasak mendiami Pulau Lombok, dan mereka masih mempertahankan eksistensi kelembagaan adat melalui Balai Adat. Kemudian Suku Mbojo atau kenal pula dengan dana Mbojo (Tanah Bima) mendiami Kabupaten Bima, Dompu dan sekitarnya. Selanjutnya Suku Samawa mendiami Sumbawa dan sekitarnya. Suku ini hidupnya berpindah-pindah dari satu wilayah ke wialayah lain.

Keberadaan lembaga adat di Provinsi Nusa Tenggara Barat, khususnya kasus Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Timur telah banyak membantu pemerintah dalam menyelesaikan persoalan hukum yang terjadi pada masyarakat. Ketika hukum formal tidak mampu menyelesaikan persoalan masyarakat, maka hukum adatlah yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut selama tidak bertentangan dengan hukum pemerintah. Prinsip hukum adat yang

dikembangkan bersifat universal, sehingga sampai saat ini Pemerintah Provinsi NTB tetap menerapkan hukum adat dalam membangun nilai-nilai kesetikawanan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Sebagai contoh penyelesaian masalah hukum melalui hukum adat, yaitu pada kasus Desa Sukrarare. Di desa ini, administrasi pemerintah desa dilaksankaan oleh pemeritnah desa, akan tetapi penyelesaian masalah hukum diselesaikan melalui hukum adat oleh kelembagaan adat. Penyelesaian permasalahan melalui hukum adat tersebut dilakukan di Balai Adat. Semua keputusan hukum dilahirkan melalui Balai Adat, sehingga seluruh masyarakat dapat hadir untuk melihat dan memberikan saran yang pada akhirnya pengusung, penghulu dan pemangku memutuskan melalui upacara adat apabila aspek hukum dipandang benar dan perlu mendapat perhatian secara seksama. Hukum adat di NTB tidak menghendaki keputusan salah atau benar. Akan tetapi harus mengarah pada perdamaian yang diselesaikan dengan musyawarah mufakat. Dalam penyelesaian permasalahan itu terjaga perasaan masing-masing pihak yang bermasalah.

Balai Adat dibangun atas swadaya masyakaat, dan dapat digunakan untuk kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Selain sebagai tempat untuk menyelesaikan permasalahan warga, Balai Adat juga digunakan untuk pelestarian dan penanam nilai budaya. Melalui Balai Adat ini diharapkan adat istiadat Suku Sasak mampu mengikuti perkembangan jaman tanpa harus mengalami pelunturan nilai budaya. Melalui Balai Adat ini terbangun komitmen, bahwa budaya bukan sesuatu yang tertutup, akan tetapi diharapkan mampu diterapkan sebagai bagian dari kehidupan.

3. Implementasi dan

Kendala Pengakuan Hukum a. Implementasi

Pemerintah Daaerah Provinsi maupun Kabupaten mengakui eksistensi Masyarakat hukum adat, kelembagaan adat, adat istiadat dan struktur yang mengendalikan aktivitas pada kelembagaan adat. Namun demikian pengakuan tersebut belum didukung dengan perangkat

perundang-undangan (misal dalam bentuk Perda), sehingga belum memiliki kekuatan secara yuridis.

b. Kendala

Kendala yang masih dirasakan implementasi pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat adalah masih rendahnya komitmen Pemerintah Daerah untuk memberikan perlindungan terhadap dokumen yang bersifat tradisional, sehingga dokumen yang sangat berharga tersebut mudah ke tangan orang asing.

4. Harapan

a. Pemerintah Daerah wajib untuk melindungi seluruh dokumen hukum adat yang tertulis diberbagi buku perundang-undangan yang bersifat tradisional, sehingga membatasi keluarnya dokumen tersebut pada kolektor.

b. Pemerintah Daerah mengupayakan pengembalian seluruh benda bersejarah yang dimiliki kolektor di luar negara Indonesia.

L. PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

1. Hukum Tertulis a. Kewilayahan

Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 1974 menerbitkan Peraturan Daeah Provinsi Nusa Tenggara Timur No. 8 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Penegasan Hak Atas Tanah. Bab I pasal 1 (3) menegaskan bahwa yang dimaksud dengan ”tanah” ialah tanah bekas pengusaan masyarakat hukum adat/tanah suku. Kemudian pada pasal 2 (1) dinyatakan ”tanah bekas penguasaan masyarakat hukum adat, dinyatakan sebagai tanah-tanah di bawah penguasaan Pemerintah Daerah cq Gubernur Kepala Daerah. Secara tersirat, terbitnya peraturan tersebut sebagai gambaran semakin berkurangnya hak atas tanah ulayat di bawah penguasan masyarakat hukum adat dengan alasan tertentu, dan berpindah menjadi di bawah penguasan Pemerintah Daerah.

b. Kebudayaan

Pemerintah Daerah Kabupaten Rote Ndao menerbitkan Peraturan Daerah No. 21 tahun 2006 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Usaha Tenun Ikat. Di dalam Bab II pasal 2 (1) dinyatakan, bahwa maksud dari pemberdayaan dan perlindungan usaha tenun ikat adalah (a) mendorong masyarakat agar secara serius menekuni usaha tenun ikat. Kemudian pada pasal 2 (2) dinyatakan, bahwa pemberdayaan dan perlindungan usaha tenun ikat adalah (a) melestariakn karya seni yang terkandung di dalam hasil karya tenun ikat, (b) meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat dan (c) mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.

Sebagaimana diketahui, bahwa masyarakat hukum adat banyak yang menekuni usaha tenun ikat. Oleh karena itu, keluarnya Perda ini akan memberikan pemberdayaan dan perlindungan pula terhadap masyarakat hukum adat, khususnya di bidang ekonomi. Melalui Perda ini diharapkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat hukum adat akan semakin lebih baik, dan seni budaya mereka (dalam bentuk tenun ikat dengan corak yang khas) dapat dilestarikan.

2. Hukum Tidak Tertulis

a. Kewilayahan

Hak atau kliam atas suatu wilayah sudah diatur secara ulayat (tanah suku, hutan suku) yang batas-batasnya diakui oleh komunitas lain di desa. Wilayah dikuasai oleh suku dan pemanfaatannya diatur oleh kepala suku (raja) untuk seluruh warga secara turun temurun. Penentuan batas-batas wilayah menggunakan simbol/tanda seperti pohon, menyusun batu karang menyerupai tugu, dan mengunakan batas sungai. Berkenaan dengan kewilayahan ini, masyaralat hukum adat mengenal tempat-tempat keramat seperti hutan keramat, hutan larangan, kawasan perburuan binatang dan kawasan bercocok tanam.

b. Kebudayaan

Agama sudah dianut oleh sebagai besar masyarakat, namun kepercayaan kepada leluhur masih sangat kuat. Misalnya, di Sumba masih ada masyarakat yang belum memeluk agama samawi. Mereka masih menganut agama nenek moyang mereka yang disebut ”merapu”. Kemudian di Kepulauan Raijua, masyarakat menganut kepercayaan ”jinitui”. Masyarakat masih melakukan upacara tradisional seperti upacara di kebun, sawah, upacara bangun rumah adat, memohon turunnya hujan, upacara perkawinan adat, kematian dan lain-lain yang dilaksnakan secara turun temurun yang sangat boros.

2). Sistem organisasi sosial

Terdapat pranata sosial (lembaga adat) yang mengatur urusan adat istiadat perkawinan, kematian dan lain-lain. Tiap-tiap suku di dalam suatu kelompok dibebani biaya sesuai kebutuhan yang harus dipenuhi walaupun dengan cara berhutang. Masyarakat hukum adat sudah mengenal pimpinan formal, namun pengaruh pimpinan informal (kepala suku dan tetua-tetua adat) masih sangat kuat.

3). Teknologi

Teknologi yang dimiliki merupakan warisan leluhur, seperti dalam bercocok tanam, mengolah makanan dan beternak. Mereka sudah mengenal peralatan dari besi (parang, linggis dll) yang dibuat oleh pandai besi warga desa. Peralatan rumah tangga memanfaatkan bahan-bahan lokal, seperti piring makan dan sendok nasi terbuat dari tempurung kelapa. Pengaruh teknologi sudah mulai memasuki desa dan sebagian masyarakat sudah mulai mengikuti perkembangan teknologi informasi (TV, HP dsb).

4). Pengetahuan/pendidikan

Sistem pengetahuan diperoleh secara turun termurun dari leluhur mereka. Pengetahuan tentang kebiasaan baik dan buruk sudah tertanam/diajarkan sejak kecil (bertutur kata, hormat kepada orang tua, berdoa, dan tidak melawan orang tua dll). Dalam sistem pengobatan, masyarakat hukum adat menggunakan ramuan tradisional, dimana pengetahuan pengobatan ini diperoleh secara turun temurun. Misalnya,

memakan daging tokek untuk penyembuhan sakit asma, dan memakan daun pucuk jambu batu untuk pengobatan sakit diare.

5). Ekonomi

Sebagian masyarakat dalam perdagangan masih menggunakan sistem barter. Misal, jagung ditukar dengan ikan dll. Selain berladang dengan sistem tebas bakar secara berpindah-pindah, masyarakat mengembangkan kerajinan rakyat seperti tenun dan anyaman. Sebagian masyarkat posisinya dalam berdagang sebagai penerima harga, bukan sebagai penentu harga. Informasi tentang harga hasil pertanian, tenun, anyaman atau nelayan tidak diketahui oleh warga masyarakat. Harga barang dalam transaksi jual beli sepenuhnya diatur oleh pembeli.

6). Bahasa /Komunikasi

Bahasa daerah digunakan sejak lahir sampai usia sekolah. Bahasa daerah menjadi alat komunikasi utama dalam berinteraksi antar mereka. Saat sekolah anak-anak diajarkan bahasa Indonesia. Dan sebagian dari masyarakat hukum adat sudah bisa berbahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan orang luar. Kemudian dalam menyampaikan berita duka, masyarakat hukum adat menggunakan giring-giring yang diikatkan pada leher kuda; dan memukul kentongan sebagai isyarat panggilan guna mengikuti pertemuan.

7). Kesenian

Banyak kesenian tradisional yang diatur oleh masyarakat desa secara turun temurun. Jenis-jenis seni budaya tradisional seperti gong, ikusai, tebe, seruling bambu, tarian dan lagu tradisonal, permaian rakyat seperti gasing dan lain-lain. Seni budaya tradisioonal tersebut dipentaskan pada hari besar menurut hitungan adat atau kepercayaan yang mereka anut. Namun demikian, generasi muda sudah banyak yang tidak menguasai seni budaya tradisonal tersebut, sehingga merupakan ancaman serius dalam pelestariannya.

a. Implementasi

Meskipun secara yuridis belum ada pengakuan terhadap masyarakat hukum adat, tetapi secara informal Pemerintah Daerah masih mengakui eksistensi masyarakat hukum adat. Pengakuan ini antara lain dengan dilakukannya pengukuan kepala suku oleh pemerintah dengan menggunakan istilah ”mane leo”. Namun demikian hak mereka atas tanah ulayat semakin berkurang karena beralih menjadi dibawah penguasan pemerintah.

b. Kendala

Untuk memperoleh pengakuan hukum dalam rangka peningkatan keberdayan, masyarakat hukum adat masih dihadapkan oleh berbagai kendala, yaitu :

1). Belum ada aturan yang jelas yang mengatur secara yuridis tentang masyarakat hukum adat.

2). Masih adanya sikap dari masyarakat hukum adat yang tidak mau menerima perubahan yang berasal dari luar.

3). Perbedaan status sosial, kedudukan di dalam masyarakat hukum adat itu sendiri, dimana masih adanya kelas-kelas sosial dalam masyarakat atau kasta.

4). Terbatasnya sarana informasi yang dapat diakses oleh masyarakat hukum adat.

5). Ada pihak-pihak luar yang dengan sengaja memprovokasi msyarakat hukum adat untuk menentang kebijakan pemerintah, demi kepentingan pihak luar tersebut.

6). Pada umumnya masyarakat hukum adat tinggal di kawasan yang secara geografis sulit dijangkau.

7). Pemerintah Daerah masih melihat masyarakat hukum adat sebagai obyek.

4. Harapan

Untuk memperoleh pengakuan hukum dan peningkatan keberdayaan masyarakat hukum adat, maka diharapkan :

a. Adanya aturan hukum yang jelas, yang mengatur eksistensi masyarakat hukum adat dengan segala hak-haknya, seperti hak ekonomi, sosial, politik, hukum dan sipil serta kelestarian sumber daya alam.

b. Adanya pola pembinaan/pemberdayaan masyarakat hukum adat yang sistematis dan terukur.

M. PROVINSI PAPUA

Dalam dokumen HUKUM ADAT LENGKAP (Halaman 55-68)

Dokumen terkait