a. Kewilayahan
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (selanjutnya disebut otonomi khusus Papua) sarat dengan pengaturan mengenai hak-hak masyarakat hukum adat. Pada bagian Penjelasan Umum ditegaskan, bahwa : ”... pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat hukum adat dan hukum adat.”
b. Kebudayaan
Undang-Undang Otonomi Khusus Papua menegaskan keberadaan masyarakat hukum adat, dan hak-haknya atas sumber daya alam tidak terlepas dari dasar-dasar hukum yang mendasari. Undang-undang ini mengatur keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak atas sumber daya alam, sebagai berikut :
1). Pengakuan keterwakilan
masyarakat hukum adat dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Pengakuan ini dinyatakan dengan menjadikan wakil-wakil masyarakat hukum adat sebagai salah satu unsur dalam Majelis Rakyat Papua (MRP). Selain itu juga wakil dari kelompok agama dan perempuan. Jumlah wakil adat di MRP seluruhnya 1/3 dari jumlah MRP atau 14 orang. Urgensi keterwakilan masyarakat hukum adat di dalam MPR adalah :
a). Melalui MRP masyarakat
pelanggaran dan pengabaian oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
b). MRP dapat menyalurkan
aspirasi masyarakat hukum adat dan memfasilitasi penyelesaian masalah yang terjadi pada masyarakat hukum adat.
2). Perlindungan terhadap
hak-hak masyarakat hukum adat, yaitu hak atas tanah dan hak atas kekayaan intelektual, sebagaimana diatur pada pasal 43 dan pasal 44.
Hak atas tanah meliputi hak bersama atau hak ulayat dan hak perorangan (penjelasan pasal 43 ayat (2)). Namun pengakuan terhadap hak ulayat disertai dengan catatan-catatan, yaitu :
a). Subjek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat bukan penguasa adat
b). Penguasa adat hanya bertindak sebagai pelaksana dalam mengelola hak ulayat.
3). Pengakuan terhadap peradilan
adat (pasal 51) Undang-Undang Otonomi Khusus Papua meletakkan peradilan adat sebagai peradilan perdamaian yang tidak boleh menjatuhkan hukuman pidana, penjara atau kurungan. Pengakuan peradilan adat diharapkan dapat mengurangi korban peradilan negara dalam menyelesaikan sengketa perdata atau perkara pidana yang melibatkan warga masyarakat hukum adat
4). Dalam pasal 64 ayat (1)
menegaskan. bahwa Undang-Undang juga mewajibkan pemerintah Provinsi Papua untuk menghormati hak-hak masyarakat hukum adat dalam melakukan pengelolaan lingkungan hidup. Program inventarisasi, pengukuran dan pemetaan tanah-tanah ulayat di Provinsi Papua akan dilakukan oleh pemerintah Kabupaten/ Kota dengan menggunakan dana dari APBD Provinsi dan Kabupaten/ Kota.
Dalam pasal 6 Undang-Undang Otonomi Khusus, mengatur mengenai bidang sosial :
1). Pemerintah provinsi memberikan perhatian dan penanganan khusus bagi pengembangan suku-suku yang terisolasi, terpencil dan terabaikan di Provinsi Papua.
2). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perdasus.
Berkaitan dengan ekonomi, Pemerintah Kabupaten Jayapura mengeluarkan Peraturan daerah Kabupaten Jayapura Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pelestarian kawasan Hutan Sagu. Peraturan Daerah ini dikeluarkan sebagai upaya untuk melindungi kawasan hutan sagu sebagai cadangan bahanmakanan lokal, yang cendeung semakin berkurang dari tahun ke tahun. Bab IV tentang Pemanfaatan dan Pengelolaan pada pasal 8 (2) menegaskan bahwa ”kegiatan pengembangan kawasan hutan dilakukan bersama masyarakat setempat”. Kemudian pada bab VII tentang Larangan pada pasal 14 (2) menegaskan bahwa larangan penjualan dan atau pelepasan tanah pada kawasan hutan sagu, baik hak miliki perrorangan maupun milik bersama atau hak ulayat. Apabila Peraturandaerah (Perda) ini dapat berjalan efektif, maka Masyarakat hukum adat di Papua tidak akan pernah menghadapi kekurangan cadangan bahan makanan sepanjang tahun.
Selanjutnya berkaitan dengan pengaturan wilayah masyarakat hukum adat, saat ini dibuat Rancangan Perda Khusus Hak-hak Masyarakat hukum adat. Rancangan ini disiapkan sebagai respon terhadap peraturan yang telah ada karena dinilai :
1). Belum terdapat ketentuan-ketentuan yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan kongkrit untuk membedakan antara hak ulayat dengan hak perorangan, apakah hak ulayat meliputi tanah, hutan dan perairan
2). Rancangan Perdasus tanah layat dilihat masih harus mengacu pada peraturan-peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi namun wilayah pelestariannya dibayangkan tidak hanya di luar kawasan hutan, tetapi juga di dalam kawasan hutan.
3). Pengakuan hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan SDA setiap sektor sebaiknya dilandasi oleh Perdasus yang mengakui hak-hak masyarakat hukum adat
4). Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) sudah membuat pokok-pokok pikiran sebagai bahan untuk menyusun Perdasus mengenai suku-suku terasing, Perdasus ini akan menjadi Peraturan Pelaksanaan dari pasal 66 Undang-undang Otonomi Khusus.
Kemudian Pemerintah Daerah Provinsi juga telah menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua tentang Penanganan Khusus terhadap Suku-Suku Terasing, Terpencil dan Terabaikan di Provinsi Papua. Rancangan yang telah disiapkan sejak tahun 2002 ini sebagai bentuk komitmen pemerintah daerah betapa pentingnya pembangunan sosial yang khas di Provinsi Papau. Terutamam bagi suku-suku terisolir, terpencil dan terabaikan.
Pada Bab II diatur hak-hak masyarakat suku terabaikan, yaitu hak menikmati semua bentuk pelayanan pembangunan yang meliputi pendidikan, kesehatan, perbaikan gizi, sanitasi, perbaikan perkampungan, sandang, pangan dan informasi pembangunan; dan hak atas pembinaan secara berkesinambungan dalam segala aspek kehidupan.
Kemudian pada bab III diatur penanganan dan pembinaan suku terbaikan, dimana pasal 3 dan psal 4 mengatur kewajiban Pemerintah Daerah untuk melakukan studi sosial guna memperoleh data populasi dan pesebaran suku-suku terabaikan, menyusun prorgam dan model penanganan, pemberian bantuan, tidak memberikan tekanan yang memaksa yang menyebabkan suku-suku terabaikan kehilangan harga diri, dan pelibatan kelompok masyarakat dalam pembangunan.
Selanjutnya pada bab IV diatur pemberdayaan kelompok suku terabaikan, dimana pada pasal 5 dan pasal 6 mengatur tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam penyiapan program pemberdayaan, kebijakan khusus, menyediakan forum peran serta masyarakat, pola pendampingan, dan kemitraan dalam pemberdayaan.
Selanjutnya sebagai bentuk komitmen Pemerintah Provinsi Papua terhadap Komunitas Adat Terpencil, sebagai bagian dari suku-suku terisolir, terpencil dan terabaikan sebagaimana diatur di dalam Rancangan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua tentang Penanganan Khusus terhadap Suku-Suku Terasing, Terpencil dan Terabaikan di Provinsi Papua tahun 2002, telah sejak tahun 2003 telah disiapkan rancangan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua tentang Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil.
Pada bab III pasal 5 pada rancangan peraturan tersebut mengatur peranan pemerintah, dalam hal kebijakan teknis, pemberian kewenangan kepada Dinas Kesejahteraan Sosial sebagai unit teknis yang melakukan kegiatan pemberdayaan, koordinasi fungsional antara pemerintah provinsi dan kabupaten, studi sosial bersama perguruan tinggi dan standar pelayanan sesuai dengan kebijakan Menteri Sosial.
Khusus berkaitan dengan pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT), Badan Perncana dan Pengendali Pembangunan Daerah (BP3D) memfasilitasi pertemuan 4 instansi yang menangani pemukiman KAT, yaitu :
1). Dinas Kesejahteraan Sosial, Badan Pembangunan Masyarakat Desa (BPMD), Dinas Kependudukan dan Transmigrasi, serta Dinas Pekerjaan Umum. Kesepakatan itu adalah pembagian kerja antara Dinas Kesejahteraan Sosial dengan BPMD dalam hal penanganan masyarakat terisolir atau KAT.
2). Pembagian kerja :
a). Dinas Kesejahteraan
Sosial bertugas mengumpulkan masyarakat menjadi komunitas yang relatif menetap termasuk di dalamnya menyediakan perumahan
b). Setelah itu, BPMD
tersebut masuk untuk memfasilitasi pembentukkan pemerintah kampung
c). Pemerintah Provinsi
Papua sudah mulai menganggarkan dana untuk masyarakat terasing yang dikelola oleh BPMD.
2. Hukum Tidak Tertulis a. Kewilayahan
Wilayah kekuasaan adat untuk masyarakat Biak berjejeran dari petak laut atau dalam bahasa setempat ”swan fior” sampai ke hutan belantara atau ”kannggu”. Dalam suatu wilayah (bar) terdapat sejumlah kampung.
b. Kebudayaan
Dalam mengatur tatanan kehidupan, masyarakat hukum adat di Kabupaten Biak mempunyai pranata-pranata adat yang berfungsi mengendalikan pola relasi adat di antara masyarakat dan dengan alam. Masyarakat hukum adat mempunyai institusi adat yang merupakan institusi tertinggi, dengan kekuasaan dan pengaruh yang sangat besar. Ia mengatur aktifitas dan pergaulan hidup antar warga Masyarakat hukum adat, maupun antara warga masyarakat hukum adat dengan pihak luar. Masyarakat hukum adat ini memiliki kepala institusi adat (kepala suku) dengan struktur yang sudah jelas.
Sistem kepemimpinan adat Biak diperoleh karena diwariskan dan juga pengakuan terhadap jasa dan keberanian seseorang atau menurut Mansoban (kepemimpinan campuran). Seorang ayah memiliki gelar korano dapat mewariskan gelar itu kepada anak yang ditakini bisa meneruskan kepemimpinannya. Warga Masyarakat hukum adat yang mengabdi dengan sungguh-sungguh dan berjasa bagi ksejahteraan masyarakat hukum adat, dipilih secara demokratis menjadi pimpinan dalam wilayah adatnya. Kekuasaan dalam adat Biak bisa dijalankan oleh Mambri, Mananwir, Manpakpok, Benana, Manswabye dan Mansasonanem.
Mambri, adalah pengakuan atas kepahlawanan seorang tokoh karena keberanian, kejujuran, kemampuannya dalam melakukan perkara- perkara berr. Misal, menjelajah daerah yang paling jauh, atau kehebatannya dalam perang. Mananwir, adalah pemimpin marga atau keret yang diwariskan atau bergantian kepada keluarga yang lebih dahulu menempati atau memiliki wilayah adat tertentu. Manpakpok, adalah seseorang yang jago berkelahi, tukang pukul. Benana, adalah orang yang
memiliki banyak harta benda (kaya). Manswabye, adalah seseorang yang pandapi berbicara atau berdiplomasi. Mansasonanem, adalah seorang pemanah yang handal. Dari sistem kepemimpinan tersebut, saat ini yang menonjol adalah sistem kepemimpinan Mananwir sebagai pemerintahan adat.
Institusi adat di Kabupaten Biak saat ini dikenal dengan nama ”Dewan Adat Byak (DAB)”, yang lahir atas aspirasi dan dorongan masyarakat hukum adat Byak. Proses lahirnya DAB dimuali dari kesadaran beberapa tokoh adat (mananwir) bahwa Masyarakat hukum adat Biak pada kondisi terpuruk dalam berbagai aspek kehidupan, yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial budaya dan politik. Dengan demikian lahirnya DAB sebagai media untuk memperjuangkan atau mengkonsultasikan Masyarakat hukum adat untuk bangkit dari keterpurukan.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan
b. Impleme
ntasi
Meskipun telah ada perundang-undangan yang melindungi eksistensi masyarakat hukum adat, lembaga adat dan adat istiadat di Biak (Papua), pada implementasi belum optimal. Hal ini yang mendorong, salah satunya kelahiran Dewan Adat Byak (DAB) untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan bangkit dari keterpurukan dalam semua apsek kehidupan.
c. Kendala
Implementasi pengakuan hukum terhadap Masyarakat hukum adat belum efektif. Masih ada kendala yang berasal dari masyarakat sendiri, masyarakat luar maupun pemritnah, yaitu :
1). Peran dan eksistensi lembaga belum banyak dipahami oleh orang luar dan bahkan bagi masyarakat hukum adat.
2). Domain kebijakan sampai saat ini masih dikendalikan oleh pemerintah daerah, termasuk dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
5. Harapan
Dalam kerangka penguatan dan pemberdayaan Masyarakat hukum adat, maka peranan dan aktivitas Lembaga Adat perlu ditingkatkan, yaitu :
a. Lembaga Adat tidak hanya mengatur masalah adat – budaya saja, tetapi juga mengatur masalah sosial, ekonomi dan hak-hak dasar masyarakat hukum adat dalam pembangunan.
b. Lembaga Adat memiliki peranan untuk mengontrol lebijakan pemerintah daerah, terutama berkenaan dengan pengelolalan sumber daya alam, lam diperkuat, diberdayakan dan difasilitasi untuk meningkatkan apresiasi bersama terhadap nilai-nilai adat, komitmen dan berpihak kepada masyarakat secara profesional dalam menjalankan tugas-tugasnya.
BAB IV