• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.7. Psikoedukasi

Psikoeduksi dikembangkan oleh Mottaghipour dan Bickerton pada tahun 2005 ahli kesehatan mental orang dewasa bekerjasama dengan Australia National Standards for Mental Health Services, berupa kerangka kebutuhan pelayanan keluarga yang mengalami gangguan kesehatan mental yang disebut ”Pyramid of Family Care”. Piramid ini dikembangkan berdasarkan hirarki kebutuhan menurut Maslow, di mana tingkat dasar adalah connection and assesment, tingkat kedua:

general education, tingkat ketiga: psychoeducation, tingkat keempat: consultation

dan tingkat kelima (tertinggi): Family therapy. Tingkatan kerangka kebutuhan pelayanan keluarga yang mengalami gangguan kesehatan mental dapat dilihat seperti gambar ini:

V. Family Therapy IV. Consultation III. Psychoeducation II. General Education I. Connection and Assesment

Sumber: Mottaghipour dan Bickerton (2005)

Gambar 2.1. Pyramid of Family Care

Menurut Mottaghipour dan Bickerton (2005), psikoedukasi adalah merupakan suatu tindakan yang diberikan kepada individu dan keluarga untuk memperkuat strategi koping atau suatu cara khusus dalam menangani kesulitan perubahan mental. Psikoedukasi dapat dilaksanakan diberbagai tempat pada berbagai kelompok atau rumah tangga. Tindakan psikoedukasi memiliki media berupa catatan seperti poster,

booklet, leaflet, vidio, dan beberapa eksplorasi yang diperlukan. Proses pemberian psikoedukasi sangat diperlukan kehadiran keluarga sebagai kunci keberhasilan intervensi. Perawat dapat membangun hubungan saling percaya agar dapat melakukan pengkajian yang tepat dan memberikan pengertian terhadap keluarga bagaimana psikoedukasi memberikan keuntungan pada mereka, dapat mengatasi dan mencegah terjadinya gangguan emosional dengan strategi koping yang efektif.

Menurut Roy (1999), psikoedukasi adalah suatu tindakan yang diberikan untuk memperbaiki atau meningkatkan respons positif dari ibu dan suaminya sesuai

yang diharapkan yang difokuskan pada mempertahankan keutuhan psikososial (self concept needs), perubahan fungsi atau peran dan ketergantungan atau kebutuhan interaksi. Psikoedukasi dapat diberikan melalui pendidikan kesehatan dengan metode atau cara eksplorasi, asesmen, diskusi, bermain peran dan demonstrasi.

Menurut Albin (2001), pemberian psikoedukasi mengenai perubahan- perubahan yang dialami selama hidup dan bersikap terbuka dengan orang lain, serta penggunaan koping yang efektif dapat membantu untuk mengurangi kecemasan, membuat perasaan menjadi lebih baik dan dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi, mengurangi depresi dan menumbuhkan rasa percaya diri.

Menurut Billing dan Moons (1984), yang mengutip pendapat Keliat menjelaskan bahwa kecenderungan penggunaan koping seseorang dipengaruhi oleh karakteristik dari orang tersebut antara lain: 1) usia, orang yang lebih tua usianya berusaha menjadi model bagi orang yang lebih muda, semakin tinggi usia seseorang maka diharapkan akan lebih mampu menyesuaikan diri terhadap suatu masalah; 2) pengalaman, pada wanita multipara, memiliki pengalaman dalam persalinan, kelahiran merawat diri dan merawat bayi dan menjadi ibu, sehingga ibu lebih sering menggunakan koping dalam menghadapi masalah yang mungkin timbul. Pengalaman menggunakan koping ini, individu memungkinkan untuk melakukan evaluasi terhadap koping yang digunakan sebagai bahan dalam memilih koping yang akan dikembangkan bila menghadapi stres berikutnya. Sedangkan bagi wanita primipara membutuhkan waktu untuk beradaptasi terhadap perubahan menjadi ibu; 3) paritas, riwayat kehamilan sampai bersalin serta komplikasi dari kehamilan dan persalinan

sebelumnya. Serta jumlah anak yang dilahirkan akan mempengaruhi koping seseorang dalam menghadapi stres; 4) tingkat pendidikan, dalam hal ini tingkat pendidikan berpengaruh terhadap efektif tidaknya strategi koping yang digunakan. Orang yang berpendidikan tinggi akan lebih realistis dan lebih aktif dalam memecahkan masalah dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah. Semakin tinggi tingkat pendidikan diharapkan akan lebih mampu menyesuaikan diri; 5) pekerjaan, dalam hal ini pekerjaan dalam kaitannya dengan koping, hasil penelitian membuktikan bahwa mereka yang memiliki status pekerjaan mampu melakukan analisis logis dalam mengatasi masalah, sedangkan mereka yang tidak memiliki status pekerjaan cenderung menggunakan strategi yang berbentuk pelepasan emosi dan menghindari masalah; 6) dukungan suami, dalam hal ini ibu bersalin yang didampingi suaminya saat melahirkan akan merasa mendapatkan support yang lebih dan dapat menurunkan tingkat stres dalam melalui proses persalinan.

Menurut Aldwin dan Reverson (1987), yang mengutip pendapat Keliat membagi bentuk strategi koping menurut fungsinya menjadi dua, yaitu:

1. Problem Focused Coping (PFD), merupakan suatu usaha untuk mengurangi atau menghilangkan stres dengan cara menghadapi stres secara langsung, atau individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres. Ada tiga strategi koping untuk Problem Focused Coping, yaitu: a) kehati-hatian (cautioness), yaitu individu memikirkan dan mempertimbangkan secara matang beberapa alternatif pemecahan masalah yang mungkin dilakukan, meminta pendapat orang lain tentang masalah yang dihadapi,

bersikap hati-hati sebelum memutuskan sesuatu dan mencoba mengevaluasi strategi yang pernah dilakukan; b) tindakan instrumental (instrumental action), meliputi tindakan individu yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah secara langsung serta menyusun langkah-langkah yang diperlukan; c) negosiasi (negotiation), meliputi usaha individu yang ditujukan kepada orang lain yang terlibat atau menjadi penyebab masalah yang sedang dihadapinya untuk ikut memikirkannya atau menyelesaikan masalah tersebut.

2. Emotional Focused Coping (EFC), merupakan usaha yang dilakukan individu untuk mengurangi atau menghilangkan stres dengan cara tidak menghadapi secara langsung, tetapi lebih diarahkan untuk menghadapi tekanan-tekanan emosi, mengekspresikan perasaan misalnya berteriak saat marah, menangis atau dengan menggunakan situasi sebagai bahan lelucon. Emotional Focused Coping (EFC) mempunyai 4 strategi koping, yaitu: a) lari dari masalah (escapism) di mana individu menghindari masalah yang ada dengan cara mengalihkan pemikiran atau situasi misalnya berkhayal sedang berada pada situasi tempat yang menyenangkan, bernyanyi-nyanyi, banyak makan, tidur, merokok atau menghindari bertemu orang lain; b) pengurangan beban masalah (minimization), yaitu usaha untuk menolak masalah yang ada dengan cara menganggap seolah-olah masalah tidak ada, atau masalah besar dianggap sebagai sesuatu yang ringan dan mudah penyelesaiannya; c) menyalahkan diri sendiri (self blame), yaitu individu cenderung menyalahkan dan menghukum diri sendiri serta menyesali apa yang sudah terjadi; d) pencarian arti (seeking meaning), yaitu individu berusaha mencari arti kegagalan yang dialaminya.

Metode psikoedukasi dapat dilakukan pada ibu yang mengalami depresi

postpartum dengan mengemas materi edukasi dalam bentuk poster, leaflet dan

booklet yang berisi tentang pengertian depresi postpartum, perubahan-perubahan baik fisik maupun mental, faktor-faktor yang dapat menyebabkan depresi postpartum, akibat depresi postpartum pada bayi yang dilahirkan maupun keluarga, cara mencegah depresi postpartum, dan cara-cara untuk mengatasi bila terjadi depresi

postpartum dengan pendekatan pada penguatan koping individu dalam mengatasi depresi. Hasil yang diterapkan membuktikan bahwa terjadi penurunan angka depresi

postpartum setelah dilakukan program psikoedukasi dalam bentuk materi tersebut. Psikoedukasi dapat diberikan oleh penyedia pelayanan kesehatan seperti dokter, psikolog, perawat dan bidan (Knowes, 1985).

Berdasarkan pendapat para ahli (Tong dan Chamberlain, 2000; Rivard, 2004; Moses dan Roth, 2005; dan Mottaghipour, 2005), dapat disimpulkan di luar negeri baik pelayanan rumah sakit maupun pelayanan di komunitas sudah ada program psikoedukasi dan sudah dilaksanakan pemberian psikoedukasi bagi klien postpartum

dengan mengemas materi edukasi tentang cara pencegahan depresi dalam bentuk poster, leaflet, flipchart, booklet dan video berisi hal-hal yang menyebabkan setelah melahirkan rentan terhadap depresi dan dukungan yang dapat diberikan dalam mengatasi depresi. Hasil yang diterapkan membuktikan bahwa terjadi penurunan angka depresi postpartum setelah dilakukan program psikoedukasi dalam bentuk materi tersebut. Menurut Klein (1990), yang mengutip pendapat Kendall mengajarkan teori coping skill. Teori ini menekankan pada tingkat kritis dan kesulitan yang

diperlukan untuk menemukan pengaruh dari pengalaman traumatik. Ada empat tingkatan yaitu: 1) keamanan (safety); 2) pengaruh aturan (affect regulation); 3) berduka (grieving); 4) pemberdayaan (empowerment). Istilah yang digunakan dalam mengembangkan konsep ini adalah adaptasi terhadap kelalaian memfasilitasi pemahaman dan pengertian dari setiap tingkatan. Wanita postpartum perlu difasilitasi dengan psikoedukasi agar mampu menghadapi situasi krisis yang meliputi keamanan (misalnya takut jatuh jika menggendong bayinya), pengaruh aturan (misalnya bangun malam hari menyusui bayi setiap 2-3 jam), berduka (misalnya perubahan bentuk tubuh seperti pembesaran payudara) dan pemberdayaan (misalnya bertambahnya tugas-tugas baru setelah punya anak atau suami yang tidak dapat berpartisipasi membantu ibu merawat bayi).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa intervensi psikoedukasi dapat berpengaruh terhadap pencegahan depresi postpartum dengan melakukan pendidikan kesehatan dalam mengatasi masalah yang dihadapi setelah melahirkan.

Dokumen terkait