• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.1. Kajian Pustaka

2.3.1. Teori Psikologi Sastra

Psikosastra atau psikologi sastra adalah kajian sastra yang dikaitkan dengan aktivitas kejiwaan. Secara kategori, sastra berbeda dengan psikologi. Sastra berhubungan dengan dunia fiksi, drama, puisi, dan esai yang dapat diklasifikasikan ke dalam seni. Sedangkan psikologi merujuk kepada studi ilmiah tentang ilmu jiwa yang menekankan perhatian pada manusia, terutama pada perilaku manusia dan proses mental (Siswantoro, 2005: 29). Hal ini dapat dipahami karena perilaku merupakan fenomena yang dapat diamati dan tidak abstrak. Sedangkan jiwa merupakan sisi dalam manusia yang tidak teramati tetapi bisa dicermati melalui pancaindra.

Meski berbeda, sastra dan psikologi, keduanya memiliki titik temu atau kesamaan. Keduanya berangkat dari manusia dan kehidupan sebagai sumber kajian. Dalam karya sastra dapat dilihat rekaman kejiwaan yang terungkap lewat perilaku tokoh. Perilaku ini menjadi data atau fakta empiris yang harus dimunculkan oleh pembaca atau peneliti sastra. Perilaku manusia sangat beragam, tetapi memiliki pola atau keterulangan jika diamati secara cermat. Pola atau keterulangan inilah yang ditangkap sebagai fenomena dan seterusnya diklasifikasikan ke dalam kategori

tertentu. Misalnya perilaku yang berhubungan dengan fenomena frustrasi atau kecemasan. Pemahaman fenomena kejiwaan ini dapat dilakukan lewat perilaku seperti apa yang diucapkan dan diperbuat penanggung frustrasi. Ucapan dan perbuatan tadi menjadi bahan observasi dan seterusnya diidentifikasi sebagai kategori represi, agresi, proyeksi, atau kategori lain. Demikian pula perilaku seseorang yang menanggung gejala jiwa tak normal dapat dipilah-pilah ke dalam kategori histeria, fobia, depresi, dan lain-lain (Siswantoro, 2005: 26).

Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sabagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karsa dalam berkarya. Begitu pula pembaca, dalam menanggapi karya tak akan lepas dari kejiwaan masing- masing. Pengarang akan menangkap gejala jiwa kemudian diolah ke dalam teks dan dilengkapi dengan kejiwaannya. Pengalaman sendiri dan pengalaman hidup di sekitar pengarang, akan terproyeksi secara imajiner ke dalam teks sastra (Endraswara, 2003: 96).

Pada dasarnya, psikologi sastra akan ditopang oleh tiga pendekatan sekaligus, yaitu:

1. Pendekatan tekstual, yang mengkaji aspek psikologi tokoh dalam karya sastra, 2. Pendekatan reseptif-pragmatik, yang mengkaji aspek psikologis pembaca

sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh karya yang dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra.

3. Pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis sang penulis ketika melakukan proses kreatif yang terproyeksi lewat baik penulis sebagai pribadi maupun wakil masyarakatnya (Roekhan, 1990: 88).

Dari pendapat Roekhan di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan psikologi sastra adalah pendekatan yang menumpukan analisis pada aspek kejiwaan, yaitu aspek kejiwaan tokoh yang terdapat dalam karya sastra, aspek kejiwaan pengarang, dan aspek kejiwaan pembaca.

Hal ini sejalan juga dengan pendapat Wellek dan Austin (1989: 90) ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu: a) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, b) memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh fiksional dalam karya sastra, c) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca.

Kajian terhadap psikologi sastra memang agak tertinggal dibandingkan dengan kajian sastra lainnya. kajian ini baru diminati banyak orang sekitar tahun 1980-an. Harus diakui, khususya di Indonesia, analisis psikologi sastra lebih lambat perkembangannya dibandingkan dengan sosiologi sastra. Ada beberapa indikator yang juga merupakan penyebabnya, di antaranya: a) psikologi sastra seolah-olah hanya berkaitan dengan manusia sebagai individu, kurang memberikan peranan terhadap subjek transindividual, sehingga analisis dianggap sempit, b) dikaitkan dengan tradisi intelektual, teori-teori psikologi sangat terbatas, sehingga para sarjana kurang memiliki pemahaman terhadap bidang psikologi sastra, c) berkaitan dengan masalah pertama dan kedua, relevansi analisis psikologis pada gilirannya kurang

menarik minat, khususnya di kalangan mahasiswa, yang dapat dibuktikan dengan sedikitnya skripsi dan karya tulis yang lain yang memanfaatkan pendekatan psikologi sastra (Ratna, 2004: 341).

Psikosastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah psikologis praktis. Secara definitif, tujuan psikosastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa analisis psikosastra sama sekali terlepas dengan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan hakikatnya, karya sastra memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung. Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya, masyarakat dapat mengalami perubahan, kontradiksi dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi dalam masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan psike (Ratna, 2004: 342-343).

Kehadiran manusia dalam sastra sulit dibantah. Manusia secara psikologis adalah mini dunia. Oleh sebab itu, mempelajari manusia dalam sastra sama halnya mengitari dunia. Wajah dunia baik mikrokosmos maupun makrokosmos, selalu ada dalam sastra. Maka, para peneliti psikologis akan tertarik pada wajah dunia ini. Wajah dunia ini memang bisa dilihat dengan berbagai kacamata keilmuan sastra, namun secara psikologis dipandang lebih menukik pada esensi manusia itu sendiri (Endraswara, 2008: 10).

Psikologi sastra sebagai grand theory, bernaung di bawahnya beberapa teori seperti teori psikoanalisis, teori kognitif, teori psikologi behaviouristik, teori psikologi humanistik, teori psikologi eksistensial, dan lain-lain.

Psikologi behaviouristik adalah psikologi yang menitikberatkan pandangan pada perilaku manusia. Gagasan tokoh psikolog Skinner sampai saat ini masih cemerlang. Gagasan dia berfokus pada kondisional manusia. Kejiwaan manusia amat terbuka sehingga bisa terpengaruh yang lain. Itulah sebabnya tindakan (behaviour) seorang bisa tergantung rangsang psikologisnya (Endraswara, 2008: 56).

Psikologi behavioristik berpijak pada anggapan bahwa kepribadian manusia adalah hasil bentukan dari lingkungan tempat ia berada. Perilaku manusia disikapi sebagai respon yang akan muncul jika ada stimulus tertentu yang berupa lingkungan. Akibatnya, perilaku manusia dipandang selalu dalam bentuk hubungan karena stimulus tertentu akan memunculkan perilaku yang tertentu pula pada manusia.

Disadari atau tidak, dunia penelitian psikologi sastra awal adalah teori Freud. Meskipun tidak harus dinyatakan dia sebagai pencetus teori, namun perkembangan berikutnya memang agak tersendat. Teori analisis psikologi Freud banyak mengilhami para pemerhati psikologi sastra. Dia membedakan kepribadian menjadi tiga, yaitu id, ego, dan super ego. Isi id adalah dorongan-dorongan primitif yang harus dipuaskan, salah satunya adalah libido.

Freud adalah seorang ahli penyakit jiwa, karena itu pandangannya tentang tingkah laku manusia condong pada masalah atau penyakit yang dihadapi individu. Faktor-faktor yang menentukan tingkah laku individu bersumber dari id yang dikuasai oleh nafsu atau libido. Id berisi insting-insting dasar alami yang dibawa oleh individu sejak lahir. Adapun ego berfungsi menghubungkan keinginan atau dorongan-dorongan id untuk berhubungan dengan sekitarnya. Baik atau buruk

tingkah laku yang dinampakkan untuk memenuhi dorongan id, dikontrol oleh super ego (hati nurani). Super ego itu berisi norma-norma, etika yang diperoleh individu dari masyarakat sekitar terutama orang tuanya.

Menurut Freud, perilaku individu merupakan dorongan dari energi psikis yang disebut eros (nafsu untuk hidup dan mempertahankan kehidupan) yang bersumber dari libido-seksual. Energi psikis lain adalah thanotos (nafsu untuk mati). Dorongan terakhir ini banyak ditunjukkan oleh individu-individu yang frustrasi, yaitu pernyataan hasrat-hasrat yang sangat meluap akibat rintangan dari sekitarnya (Faisal dan Andi, TT: 206).

Selanjutnya, Freud (Faisal dan Andi, TT: 206) merumuskan perilaku sebagai respon atau jawaban terhadap suatu stimuls atau rangsangan. Respon tersebut sifatnya sangat subjektif bergantung pada pemenuhan dorongan-dorongan eros dan thonatos, yang keduanya berasal dari dorongan libido.

Psikologi eksistensialisme menggunakan sebuah metode filosofis yang disebut fenomenologi. Fenomenologi adalah kajian yang teliti dan lengkap terhadap fenomena, dan pada dasarnya merupakan temuan filosof Edmund Husserl. Fenomena adalah semua muatan kesadaran, hal, kualitas, hubungan, kejadian, pikiran, citra, memori, fantasi, perasaan, tindakan, dan seterusnya yang semuanya dialami. Fenomenologi adalah sebuah upaya yang memungkinkan pengalaman-pengalaman itu bisa berbicara, sehingga mampu menampakkan diri dan menggambarkan gaya yang sebisa mungkin tidak bias (Boeree, 2008: 441).

Kaum eksistensialis kadang juga dipenuhi dengan kematian. Saat menghadapi kematianlah kehidupan ini baru bisa dipahami. Sepertinya, manusia adalah makhluk yang sadar akan kematiannya sendiri. Menolak kematian berarti menolak kehidupan. Sebagian besar manusia, menjalani hidup ini dengan melibatkan sebuah penolakan atas kemanusiaan, dasein, dengan kecemasan, rasa bersalah, dan kematian. Jika orang sudah tidak lagi hidup secara autentik berarti dia tidak lagi “menjadi” tetapi hanya “mengada”. Karena itulah bila hidup adalah sebuah gerakan, maka hidup telah berhenti (Boeree, 2008: 443).

Ada banyak cara untuk menjadi hidup ini tidak autentik. Ini bisa dilihat dari sikap orang yang mengabaikan kebebasannya sendiri dan menjalani hidup berdasarkan kompromi-kompromi dan bertuan pada harta. Orang sibuk mengurusi putusan moral yang akan dibuat. Hidup secara autentik berarti sadar akan kebebasan dan tugas dalam menciptakan diri sendiri, juga sadar akan adanya kecemasan, rasa bersalah, dan kematian. Jadi dituntut untuk bisa menerima segalanya dalam sebuah perilaku penegasan diri. Teori ini dipergunakan untuk memecahkan masalah pertama.

Dokumen terkait