PERILAKU MANUSIA DAN PROSES MENTAL
DALAM NOVEL LAILA MAJNUN
TESIS
Oleh
LELA ERWANY
077009013/LNG
S
E K O L AH
P A
S C
A S A R JA NA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERILAKU MANUSIA DAN PROSES MENTAL
DALAM NOVEL LAILA MAJNUN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
LELA ERWANY
077009013/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PERILAKU MANUSIA DAN PROSES MENTAL DALAM NOVEL LAILA MAJNUN
Nama Mahasiswa : Lela Erwany
Nomor Induk : 077009013
Program Studi : Linguistik
Konsentrasi : Analisis Wacana Kesusastraan
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Prof. T. Silvana Sinar, M.A, Ph.D) (Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Direktur,
(Prof. T. Silvana Sinar, M.A, Ph.D) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)
Telah diuji pada
Tanggal 10 September 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. T. Silvana Sinar, M.A, Ph.D
Anggota : 1. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si
2. Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D
ABSTRAK
Novel sebagai bagian bentuk sastra merupakan jagad realita yang di dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan dibuat manusia melalui tokoh-tokoh ceritanya. Dalam novel Layla Majnun dapat dilihat kehadiran fenomena kejiwaan yang dialami oleh tokoh utama cerita. Fenomena kejiwaan yang hadir di dalam novel inilah yang dimunculkan kepermukaan dengan menggunakan teori psikologi sastra dan Linguistik Fungsional Sistemik (LFS).
Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pendekatan ini dipandang mampu mempertahankan keaslian teks dengan menempatkan objek ke dalam bingkai psikologis dan proses mental.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa representasi perilaku manusia yang dilihat melalui tokoh Majnun, Layla, dan Syed Omri mengalami frustrasi dan penyesuaian diri. Majnun dan Layla frustrasi karena cinta mereka tidak dapat terwujud di dunia, cinta mereka terhalang karena kesombongan orang tua Layla dan adat yang mengikat. Sedangkan Syed Omri mengalami frustrasi karena gagal membahagiakan Majnun. Untuk mengatasi rasa frustrasi, mereka mengadakan penyesuaian diri atau mekanisme pertahanan.
Analisis proses mental pada novel Layla Majnun terdapat 359 klausa dengan rincian: proses mental persepsi 144 klausa atau 40,11%, proses mental afeksi 137 klausa atau 38,16%, dan proses mental kognisi 78 klausa atau 21,73%. Hasil persentase di atas menunjukkan bahwa novel Layla Majnun ini banyak menggunakan klausa aktivitas indra mata dan telinga dan klausa aktivitas hati. Ini sesuai dengan tema novel Layla Majnun yang bercerita tentang cinta. Perasaan cinta yang ada di hati diawali oleh pandangan mata dan mendengar hal-hal yang baik dari orang yang dicintai. Aktivitas otak digunakan untuk membayangkan dan mengenang sang kekasih yang akhirnya akan menambah rasa cinta yang mendalam terhadap orang yang dicintai.
ABSTRACT
Novel as a form of literary work is like the world describing the events and behavior created and experienced by human beings through the characters in it. In the novel by Layla Majnun, the existence of psychological phenomena experienced by the main character of the study can be seen. This psychological phenomena is then highlighted through he theory of literary psychology and Systemic Functional Linguistic Theory.
This study employs the qualitative method with phenomenological approach because this method is regarded being able to maintain the originality of the text by including the objects to the psychological framework and mental process.
The result of this study shows that the representation of human behavior seen through he characters of Majnun, Layla, and Syed Omri who are frustrated, and self-adjustment. Majnun and Layla are frustrated because they can not materialize their love in this world because of the arrogancy of Layla’s parents and strictly binding culture and tradition. Syed Omri becomes frustrated because he fails to make Majnun happy. To overcome this frustration, Layla and Majnun do some self-adjusment or mechanism of defence.
The result of mental process analysis done to the novel of Layla Majnun reveals that there are 359 clauses related to mental process perception (40,11 %), 137 clauses related to mental process affection (38,16 %), and 78 clauses related to mental process cognition (21,73 %). The percentage above shows that this novel of Layla Majnun uses more clauses related to the activities of eyes, ears, and heart. This matches the theme of the novel of Layla Majnun which tells about love. The feeling of love grows in the heart is initiated through the sight and listening to the good things said by the person who we love. Brain activity is used to imajine and remember the one we love and eventually it will develop a deeper love for the one we love.
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT,
karena atas rahmad dan hidayah-Nya, tesis ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari
bahwa dalam menempuh perkuliahan dan penyelesaian tesis ini banyak mendapat
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sudah selayaknyalah penulis
mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada
pihak-pihak berikut ini.
1. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H., Sp.A(K) selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara, Medan.
2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
USU beserta Staf Akademik dan Administrasinya, yang telah memberi peluang
dan kemudahan kepada penulis sejak perkuliahan hingga penyelesaian tesis ini.
3. Instansi yang telah memberikan bantuan beasiswa BPPs. Selama menempuh
perkuliahan, penulis mendapat bantuan beasiswa dari BPPs Universitas
Sumatera Utara. Berkat beasiswa tersebut, penulis dapat menyelesaikan masa
studi sesuai jangka waktu yang telah ditentukan.
4. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister
Linguistik, sekaligus sebagai Pembimbing Utama. Di tengah-tengah kesibukan
beliau, bersedia memberikan bimbingan dan saran yang sangat bermanfaat demi
kesempurnaan tesis ini. Dengan sikap keibuan dan pengayomannya beliau
memberikan arahan dan motivasi sehingga mendorong penulis menyelesaikan
tesis ini. Beliau juga adalah mantan Koordinator Kopertis Wilayah I yang telah
memberi izin tugas belajar kepada penulis. Untuk itu, jasa beliau tidak mungkin
penulis lupakan. Tidak lupa juga kepada Drs. Umar Mono, M.Hum selaku
Sekretaris Program Studi Linguistik yang telah memberikan kemudahan urusan
5. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si selaku Komisi Pembimbing sekaligus
Pembimbing Akademik yang telah banyak meluangkan waktu dan kesabaran
kepada penulis. Beliau mengajarkan banyak hal yang berharga bagi penulis.
Dengan pengalaman dan pengetahuan beliau menambah wawasan keilmuan
penulis. Beliau juga sangat banyak memberikan bimbingan dan saran yang
bermanfaat untuk kebaikan tesis ini. Perhatian, motivasi, kesabaran, dan
ketelitian beliau dalam membimbing, memberikan semangat kepada penulis
untuk menyelesaikan tesis ini.
6. Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D selaku Penguji yang menjabat Dekan Fakultas
Sastra USU. Beliau sangat memotivasi penulis dari awal perkuliahan hingga
pembuatan tesis ini. Dukungan beliau terhadap tesis ini sangat besar dari
seminar hasil hingga ujian sidang tertutup.
7. Prof. Ahmad Samin Siregar, S.S selaku Penguji, sehingga tesis ini menjadi
sempurna karena ketelitian beliau.
8. Prof. Dr. Zainuddin, M.Pd selaku Koordinator Kopertis Wilayah I beserta Staf
Akademik dan Staf Administrasinya yang telah memberikan izin belajar dan
kemudahan urusan kepada penulis.
9. Tarmizi, S.H. M.Hum. selaku Rektor Universitas Amir Hamzah, rekan sejawat,
dan seluruh sivitas akademika, serta pihak Yayasan Universitas Tengku Amir
Hamzah yang telah memberikan kesempatan sekaligus dorongan dan motivasi
dalam menyelesaikan perkuliahan dan tesis ini.
10.Secara khusus, penulis sampaikan rasa terima kasih yang tiada terhingga kepada
Ayahanda H. Lobai (Alm), Ibunda Hj. Dewi, Ayahanda Abdul Tambunan
(Alm), dan Ibunda Soun Munthe, yang selalu memberikan spirit dan doa yang
tulus buat kelangsungan hidup dan studi penulis. Dari mereka penulis dapat
lebih mengerti akan makna kehidupan dan dapat melihat sisi kehidupan dalam
berbagai atmosfir baik konsep maupun kenyataan. Semoga Allah senantiasa
11.Kakanda OK Saidin, S.H. M.Hum yang selama ini berperan sebagai pengganti
ayah bagi penulis dan Kakanda OK Muchtar, Dahliah, Syahril (Alm), Nurhayati
dan Nuraini yang selalu mengayomi penulis. Juga kepada Bang Asli, Bang
Bonar, Kak Awan, Mara Muda, Spd., Siti, Bina, Briptu Ruslan, Sahrudin, S.T.,
M.T., dan Khairuddin, M.Si., serta pihak ipar yang tidak dapat disebutkan satu
persatu. Mereka semua adalah orang yang dengan tulus dan ikhlas telah
memberikan bantuan baik berupa materi maupun moral sehingga penulis
mengerti akan hidup dan kehidupan. Juga kepada semua ponakan yang telah
memberikan sumbangsih.
12.Lebih dari itu, penulis juga secara khusus berterima kasih kepada suami tercinta
Mara Laut Tambunan, S.H., Ananda terkasih Syafriani Tio Sari, Oesman Bahari
Abdullah Tambunan, Fadlan Syarifuddin Tambunan, Fatimah Raudatul
Fadhilah, Zainab Alia Aqila, dan Maryam Syarbanu Azzakia yang telah
memberikan motivasi yang besar dan kekuatan mental sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi ini. Bersama mereka penulis merasakan hidup ini lebih
berarti. Mereka tiada hentinya berdoa. Untuk merekalah penulis melanjutkan
studi dan kepada mereka pulalah tesis ini penulis persembahkan.
13.Junaidi, S.Pd selaku Kepala Sekolah SMA Swasta Al-Hilal, rekan sejawat, dan
Pihak Yayasan Perguruan Al-Hilal yang telah memberi dorongan dan motivasi
untuk melanjutkan studi.
14.Teman-teman mahasiswa Program Studi Magister Linguistik, sekolah
Pascasarjana USU Angkatan 2007/2008. Khusus buat komunitas
Larukinagusroma yang terdiri dari personil Ruli, Kiki, Rina, Pak Gustaf, Kak
Rosita, dan Kak Ema yang telah banyak berpartisipasi dan ikut memberi warna
dalam kehidupan penulis.
15.Staf Administrasi Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana USU dan
semua pihak yang telah membantu dan berpartisipasi kepada penulis selama
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang mengatur dunia seorang
diri. Dia yang dalam kegelapan hatiku, menyinarkan cahaya yang tiada terlihat. Dia
yang menganugrahi manusia keteguhan hati untuk berdoa dan beribadah kepada-Nya.
Dia juga yang menganugrahi kepada diriku ilmu, kemudahan dan kemurahan,
sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.
Shalawat beriring salam, penulis sampaikan keharibaan nabi Muhammad
SAW beserta keluarganya yang syafaatnya kelak sangat diharapkan. Kepada Imam
Pemilik Zaman, penulis bertawassul agar senantiasa dalam penjagaannya.
Tesis ini berjudul “Perilaku Manusia dan Proses Mental dalam novel Layla
Manun” yang merupakan serangkaian kajian tentang psikologi sastra dan kajian
bahasa. Tesis ini membicarakan perilaku manusia yang frustrasi dan penyesuaian diri
yang dalam hal ini diwakili oleh manusia yang ada di dalam novel Layla Majnun
yaitu: Majnun, Layla, dan Syed Omri. Di dalam tesis ini juga dibahas mengenai
kajian bahasa, khususnya proses mental dengan menggunakan teori Linguistik
Fungsional Sistemik (LFS). Tesis ini juga membicarakan kaitan antara proses mental
dengan perilaku frustrasi dan penyesuaian diri.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini berlangsung bukan tanpa
hambatan. Akan tetapi, berkat bantuan dari berbagai pihak, akhirnya penulisan tesis
ini dapat terselesaikan. Oleh sebab itu, sudah selayaknya penulis mengucapkan terima
Tulisan ini diharapkan dapat memberi informasi yang berguna bagi pembaca,
khususnya tentang frustrasi tesis ini sudah penulis usahakan keilmiahannya, namun
penulis mengharapkan kritik dan saran demi untuk penyempurnaan lebih lanjut.
Semoga tulisan ini ada manfaatnya. Wassalam.
Medan, 21 Juli 2009 Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : Lela Erwany
Tempat, Tanggal Lahir : Empat Negeri, 8 Juni 1971
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jln. Utomo, Desa Bakaran Batu, Kec. Batang Kuis
Kabupaten Deli Serdang
Pendidikan:
1. SD Inpres No. 014721 Empat Negeri, Kecamatan Lima Puluh Kabupaten
Batu Bara (Tamat Tahun 1984).
2. SMP Negeri Simpang Dolok, Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batu Bara
(Tamat Tahun 1987).
3. SMA Negeri Indra Pura, Kecamatan Air Putih Kabupaten Batu Bara (Tamat
Tahun 1990).
4. Universitas Sumatera Utara, Fakultas Sastra Program Studi Bahasa dan Sastra
Melayu (Tahun Masuk 1991, Tamat Tahun 1995).
5. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (Tahun Masuk 2007, Tamat
Tahun 2009).
Pekerjaan:
1. Dosen Luar Biasa di Universitas Amir Hamzah, Medan (1997 – 2004).
2. Guru Bantu Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Swasta Al-Hilal, Medan
(2002-2005) dan menjadi Guru Tetap Yayasan Perguruan Al-Hilal (Sejak
Tahun 2005).
DAFTAR ISI
2.3.2. Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) ……… 33
3.5.3. Tahap Penyelesaian ………. 45
BAB IV GAMBARAN UMUM NOVEL LAILA MAJNUN………. 46
4.1. Struktur Novel Laila Majnun……….……….. 46
4.2. Hakikat Cinta Novel Laila Majnun…….……… 62
4.3. Nizami Ganjavi sebagai Penyusun Layla Majnun dan Penulis Kisah-kisah Cinta... 66
BAB V REPRESENTASI PERILAKU MANUSIA DALAM NOVEL LAILA MAJNUN………... 72
5.1. Frustrasi……….. 72
5.1.1. Reaksi Agresif………. 73
5.1.2. Reaksi Menghindar……….. 80
5.1.3. Reaksi Kompromi……… 84
5.2. Penyesuaian Diri………. 95
5.2.1. Regresi………. 96
5.2.2. Berkhayal………. 99
5.2.3. Pengalihan……… 102
5.2.4. Menutup Kelemahan……… 104
5.2.5. Peningkatan Diri……….. 108
BAB VI ANALISIS PROSES MENTAL DALAM NOVEL LAILA MAJNUN…... 112
6.1. Analisis Proses Mental……… 112
6.1.1. Mental Persepsi………... 114
6.1.2. Mental Afeksi ………. 116
6.1.3. Mental Kognisi……… 119
6.2. Persentase Analisis Proses Mental ……… 121
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN………. 126
7.1. SIMPULAN ………. 126
7.2. SARAN ……… 128
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. Refresentasi Perilaku Manusia dalam Novel LM ……….. 111
DAFTAR DIAGRAM
Nomor Judul Halaman
1. Formulasi Bandura tentang Perilaku ……….. 20
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Sinopsis...………….. 133
DAFTAR ISTILAH
Agresif : Reaksi menyerang atau menyakiti. Perilaku ini terjadi
karena usaha untuk mencapai tujuan telah buntu.
Ahlulbait : Garis keturunan Nabi Muhammad SAW yang sampai
kepada duabelas Imam suci dalam kepercayaan mazhab Syi’ah
Ahlul-Kisa : Keturunan nabi yang terdapat dalam hadist Kisa yang
mengacu kepada lima orang manusia suci yaitu, Nabi Muhammad SAW, Imam Ali as, Syaidah Fathimah as, Imam Hasan as, dan Imam Husain as.
Asy : Sup yang terbuat dari campuran tepung dan daging yang
dibuat pada hari ke-9 dan 10 Muharram dan diberikan kepada peserta aza. Makanan ini adalah makanan khas masyarakat Iran.
Asyuro : Tanggal 10 Muharram.
Aza Muharram : Acara duka yang digelar untuk memperingati syahidnya
Imam Husain as di Karbala pada tanggal 10 Muharram.
Baligh : Cukup umur atau dewasa.
Berkhayal : Melamun, reaksi ini terjadi ketika seseorang melakukan
kompensasi atas keinginan yang tidak tercapai.
Climax : Bagian alur cerita yang menunjukkan peristiwa mencapai
puncaknya.
Denoument : Bagian alur cerita yang menunjukkan pemecahan soal dari
semua peristiwa atau penyelesaian.
Ego : Bagian dari jiwa yang bereaksi terhadap kenyataan eksternal
yang dianggap seseorang sebagai ‘diri’.
Eros : Nafsu untuk hidup dan mempertahankan kehidupan.
Fenomena : Hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah.
Fenomenologi : Aliran pemikiran kesusastraan yang muncul di Jerman pada
awal abad ke-20. Pada mulanya aliran ini adalah hasil dari pemikiran falsafah yang dikemukakan oleh Edmund Husserl.
Free-floating anger
: Reaksi orang frustrasi kronis yang kemarahan atau rasa permusuhan yang diungkapkan tidak pandang bulu.
Frustrasi : Rintangan terhadap dorongan atau kebutuhan. Frustrasi juga
diartikan sebagai proses tingkah laku yang terhalang.
Generating circumtanses
: Bagian alur yang menunjukkan peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak.
Id : Bagian dari jiwa yang tak disadari yang menyangkut
impuls-impuls yang naluriah, keturunan.
Kompromi : Menyerah pada suasana yang tidak mengenakkan agar
tujuan yang diimpikan tetap bisa terlaksana.
Libido : Keinginan atau hasrat yang harus dipuaskan.
Linguistik Fungsional Sistemik (LFS)
: Teori linguistik yang dipelopori oleh M.K.A. Halliday yang berkebangsaan Australia yang memfokuskan perhatian terhadap hubungan bahasa dan konteks.
Macan Ali : Gelar yang diberikan kepada Imam Ali as karena kekuatan,
keberanian dan kesederhanaannya.
Mazhab Syafi’i : Mazhab Islam terbesar yang berpedoman kepada fikih Imam
Syafi’i.
Mazhab Syi’ah : Mazhab mayoritas masyarakat Iran yang percaya kepada
kepemimpinan duabelas imam.
Menutup Kelemahan
: Mengganti kelemahan dengan menunjukkan kelebihan.
Pengalihan : Perwujudan serangan yang ditujukan kepada objek sasaran
Peningkatan Diri : Tumbuhnya kesadaran akan hasrat pemenuhan dalam usaha mencapai tujuan dan cita-cita yang dikehendaki.
Perilaku : Tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau
lingkungan.
Proses Mental : Kegiatan atau aktivitas yang menyangkut indra, kognisi,
emosi, dan persepsi yang terjadi di dalam diri manusia.
Proyeksi : Penggantian kearah luar yang merupakan kebalikan dari
melawan diri sendiri.
Psikoanalisis : Sistem psikologi dan metode dalam perawatan
penyimpangan mental.
Psikologi : Studi ilmiah mengenai pikiran dan perilaku.
Psikologi Sastra : Kajian sastra yang dikaitkan dengan aktivitas kejiwaan.
Rasionalisasi : Proses merekayasa alasan agar terkesan logis untuk
mempertahankan harga diri.
Regrasi : Kembali ke perilaku atau ke tahap perkembangan yang
sebelumnya.
Ricing Action : Bagian alur yang menunjukkan keadaan mulai memuncak.
Scapegoating : Mencari kambing hitam atau mengalihan penyerangan ke
objek penyebab frustrasi karena ada rasa tidak berani mengungkapkan rasa marah secara langsung.
Situation : Bagian alur yang menunjukkan pengarang mulai melukiskan
keadaan.
Sublimasi : Penggantian kepuasan karena kepuasan langsung dari
keinginan tidak mungkin terlaksana.
Suicide : Reaksi orang frustrasi dengan cara menyerang diri sendiri
sebagai objek pengganti kemarahan atau bunuh diri.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengaruh Iran yang dulu terkenal dengan nama Persia, terhadap Indonesia
kebanyakan dalam bidang kebudayaan, kesusastraan, pemikiran, dan tasawuf. Pada
kenyataannya, kebudayaan bangsa Iran cukup berpengaruh terhadap seluruh dunia.
Masyarakat Iran, setelah menerima agama Islam, banyak menemukan keahlian dalam
semua cabang ilmu keislaman, yang tidak satu pun dari bangsa lainnya yang sampai
pada derajat tersebut.
Sejak berabad-abad lampau hingga kini, Iran memiliki peranan penting dalam
percaturan dunia internasional. Kawasan ini tidak hanya menjadi tempat kelahiran
bapak revolusi Islam, yaitu Imam Khomeni, tetapi sejak dahulu telah menjadi tanah
kelahiran filsuf dunia seperti Razi, Kharazmi, Khoja Nashiruddin Thusi, Firdausi,
Rumi, Hafiz, Athar, Sa’di, Umar Khayam, Nizhami, dan Sanai (Iqbal, 2006: vii).
Dalam wacana kesusastraan, Iran telah mengukir sederet prestasi yang
prestisius. Salah satu tema sentral literatur sastra mereka adalah keadilan. Oleh karena
itu, wajar apabila banyak orang selalu jatuh hati kepada karya-karya sastra Iran. Sa’di
penyair besar Iran pernah mengatakan bahwa janganlah sekali-kali menyakiti semut
karena binatang itu memiliki nyawa sedangkan nyawa adalah sesuatu yang sangat
dalam bidang moral, ilmu-ilmu dunia dan akhirat, seni dan budaya, serta spiritualitas.
Sastra Persia sudah menjadi sastra dunia internasional (Iqbal, 2006: ix).
Hamzah Fanshuri adalah nama yang tidak bisa dilupakan dalam hal ini. Ia
adalah seorang sufi dan penyair Indonesia yang turut berjasa dalam menyebarluaskan
konsep-konsep Wahdat al-Wujud di Aceh dan tanah Melayu. Hamzah Fanshuri
sangat menguasai bahasa Persia dan Arab. Dalam karya-karya prosanya, seperti Asrar
al-Arifin, Syarab al-‘Asyikiqin, al-Muntaha, dan Ruba’iyat Hamzah, bertebaran kosa
kata Persia. Demikian pula, dalam karya karya itu, seringkali dikutip dialog
burung-burung dari kitab Mantiq ath-Thayr karya Athar.
Dengan demikian bisa menyimpulkan bahwa pengaruh budaya Iran sangat
kental dalam kebudayaan Indonesia. Setiap tahun, sebagian masyarakat Indonesia
kerap mengenal ritual ‘Aza Muharam dengan memasak sajian khusus dan
membagi-bagikannya kepada masyarakat. Makanan ini mirip dengan makanan asy yang ada
di Iran. Di Jawa, makanan ini dikenal dengan nama “bubur suro” sedangkan di Aceh
dengan nama “kanji asyura”. Masyarakat Minang, memiliki tradisi sendiri untuk
menghormati Asyura (10 Muharram), yakni perayaan tabuik atau tabut. Tabut adalah
upacara ritual keagamaan yang diadakan untuk memperingati syahidnya Imam
Husain cucu Rasulullah SAW di Karbala.
Sejarah mencatat bahwa, di samping orang-orang Arab dan orang-orang Islam
dari India, orang-orang Iran memiliki peranan yang penting dalam perkembangan
Islam di Indonesia dan negeri-negeri Timur Jauh lainnya. Ada dugaan bahwa
perkembangan Islam di sini, fikih Syi’ahlah yang berlaku. Namun, dengan
berkembangnya mazhab Syafi’i, mazhab Syi’ah mulai terkikis dan sekarang pengaruh
fikih Syi’ah di Indonesia tidak terlihat lagi (Iqbal, 2006: 27).
Pengaruh bahasa Iran juga terekam dalam karya-karya sastra Melayu.
Sebagian besar karya sastra klasik Iran diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu.
Dalam kitab Sejarah Melayu dan buku-buku lainnya, ucapan dan perumpamaan
raja-raja Persia sering kali dikutip. Hal in juga membuktikan bahwa raja-raja-raja-raja Persia itu
sangat dikagumi masyarakat Melayu. Kosa kata seperti bandar dan nakhoda, sejak
berabad-abad lampau sudah menjadi bahasa Melayu (Indonesia).
Sebagian besar raja Melayu menggunakan gelar-gelar Persia seperti Malik,
Syah, dan Sultan. Gelar ini juga disandang oleh raja-raja di Malaysia dan Indonesia.
Misalnya saja, di Malaka Sultan Muzhafar Syah, Sultan Manshur Syah, dan
di Pahang Sultan Muhammad Syah.
Pengaruh Iran juga terlihat pada singgasana para sultan di kesultanan Islam
Malaka. Masyarakat Malaka suka memakai topi yang bernama “dastar”, persis topi
yang sering digunakan masyarakat Iran di zaman dahulu. Gedung resmi kesultanan
Melayu disebut dengan “istana” yang diambil dari bahasa Persia dan stempel
kesultanan disebut dengan “Cap Muhur”.
Kisah-kisah tentang keberanian, keadilan, dan kesederhanaan Imam Ali as
sangat berpengaruh terhadap kesusastraan dunia Islam. Demikian pula adanya
kisah-kisah keberanian Imam Ali as dalam literatur Indonesia menunjukkan pengaruh kuat
Kitab Sejarah Melayu mencatat bahwa pada tahun 1511 M, beredar sebuah hikayat
tentang Muhammad Hanafiah (Hikayat Muhammad Hanafiah), putra Imam Ali bin
Abi Thalib as, yang dibacakan di hadapan Kesultanan Islam Malaka, agar keberanian
mereka bertambah, sehingga para tentara Malaka itu terdorong untuk melawan tentara
Portugis dengan penuh keberanian.
Masyarakat Malaysia sangat menghormati Ahlulbait Rasulullah SAW.
Mereka menganggap Imam Ali as sebagai sumber keberanian. Dengan perantaraan
Imam Ali as, yang bergelar Asadullah (Singa Allah), mereka memohon pertolongan
kepada Allah SWT. Pada sejumlah bendera milik beberapa kesultanan lokal
di Malaysia, gambar “Singa Ali” melambangkan kebesaran dan keberanian. Ini dapat
dilihat pada bendera milik Kesultanan Islam Kelantan, Malaysia. Dalam literatur
Melayu, Buraq disebut sebagai kuda Rasulullah SAW. Di samping itu, mereka juga
meyakininya sebagai kuda Imam Husain as. Hal ini karena Buraqlah yang membawa
ruh suci Imam Husain as ke sisi Allah SWT setelah syahid di padang Karbala (Iqbal,
2006: 126).
Pada bendera Kesultanan Islam Cirebon dan dinding-dinding istana
kesultanan, yang di Jawa Barat di kenal dengan nama Kasepuhan, terpampang
gambar “Macan Ali”. Pada pendapa istana ini, di pasang dua gambar “Macan Ali”,
untuk keselamatan Kesultanan itu dari segala musibah dan ekspansi para penjajah.
Gambar ini masih terpampang hingga sekarang.
Di samping itu, sewaktu Kesultanan Demak, Jawa Tengah, bersama pasukan
di bawah komando Fatahillah, membebaskan Sunda Kelapa pada 22 Juni 1527 M,
yang kemudian kota itu diberi nama Jayakarta (artinya kemenangan yang besar).
Mereka membawa bendera yang terdapat simbol “Kekuatan Allah SWT dan lima
orang dari Ahlul-Kisa”. Simbol ini berupa nama Allah SWT dan kekuatan-Nya
dengan simbol Bismillah, surah al-Ikhlas, dan surah al-Fath. Juga terdapat inisial dari
nama Muhammad SAW dan Fatimah as, simbol kekuatan dan keberanian Amirul
Mukminin Ali as dengar gambar seekor singa, pedang Imam Ali as yang terkenal
dengan julukan Zulfikar (pedang yang bermata dua), dan dua ekor singa lainnya
sebagai simbol Imam Hasan as dan Imam Husain as ( Iqbal, 2006: 126-127).
Kedatangan Islam ke tanah Melayu telah membawa perkembangan baru
kepada wilayah ini. Masyarakat Melayu hidup di Indonesia, Malaysia, Brunai
Darussalam, di wilayah Patani (Thailand), Filipina, dan Srilanka. Pengaruh
kebudayaan Iran terhadap kebudayaan Melayu, pada hakikatnya adalah berada
di bawah pengaruh tradisi Islam yang datang dari negeri Arab dan Iran, yang warna
tradisi Irannya tampak lebih kuat. Pengaruh Syi’ah juga terlihat pada ritual
pembacaan doa untuk menghindar dari musibah (tolak bala), yang disebut dengan
“Jampi Mantra”, dan tradisi pembacaan doa ratib.
Sastra Islam datang bersamaan dengan kedatangan Islam ke alam Melayu.
Sastra Islam ini bertugas untuk menyokong pendakwaan dalam agama Islam. Sastra
Islam yang pertama berkembang di alam Melayu adalah sastra kitab. Kemudian
Di awal sudah dijelaskan bahwa agama Islam yang berkembang di alam
Melayu pada mulanya berasal dari ulama India dan Persia. Oleh karena itu, karya
sastra yang bercorak Islam banyak yang berasal dari Persia. Jika dalam puisi dikenal,
gazhal, nazam, bayt, qit’ah, dan lain-lain. Sedangkan dalam bentuk prosa dijumpai
dalam sastra berbingkai. Salah satu jenis sastra berbingkai adalah Hikayat Seribu Satu
Malam.
Hikayat Seribu Satu Malam merupakan sastra berbingkai karena di dalam
cerita itu terdapat cerita lain. Di dalam Hikayat Seribu Satu Malam terdapat kisah
utama tentang bagaimana Ratu Syahrazad menceritakan satu kisah setiap malam
selama seribu satu malam kepada Raja Syahriar, suaminya, untuk menunda hukuman
mati dari suaminya itu (Yuwono, 2007: 89).
Cerita-cerita yang terdapat di dalam Hikayat Seribu Satu Malam yang sangat
popular dan diingat oleh masyarakat di seluruh dunia, termasuk di Melayu, adalah
Aladin, Ali Baba, Abu Nawas, Laila Majnun, dan lain-lain. Dalam kreativitas
penulisan cerita-cerita tersebut disajikan dalam berbagai bentuk, seperti cerita anak,
komik, dan humor. Akhirnya timbullah cerita dalam beberapa versi yang disesuaikan
dengan kultur budaya cerita itu tercipta. Cerita itupun sering didramakan dan
difilmkan. Dalam kesusastraan Melayu klasik, cerita Abu Nawas ini berubah versinya
menjadi cerita Pak Belalang.
Laila Majnun masuk ke alam Melayu melalui sastra berbingkai. Sikana (2007:
“Salah satu genre sastra bawaan daripada Arab Parsi yang dikaitkan dengan hikayat ialah sejenis penceritaan yang sambung bersambung dan berantai. Genre ini terkenal dengan nama Hikayat Berbingkai, karena strukturnya berbeza dari hikayat umum. Dapat juga dinyatakan ia bersifat sebagai cerita dalam cerita yaitu ceritanya terjadi daripada satu cerita pokok dan di dalamnya terdapat berbagai-bagai cerita yang lain, dikenali sebagai cerita sisipan, cerita berakhir dengan kembali kepada cerita pokok.…cerita yang sedia dikenal oleh masyarakat ialah Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Kalilah dan Dimnah, dan Hikayat Seribu Satu Malam”.
Di Indonesia, Laila Majnun pernah ditulis oleh Hamka dan diterbitkan oleh
Balai Pustaka tahun 1932, tebalnya 74 halaman. Kemasyhuran kisah Laila Majnun ini
juga telah memberi inspirasi kepada sutradara kondang Indonesia, alm. Sjumandjaja,
untuk membuat cerita layar lebar. Tahun 1975, dibuatlah film dengan judul Laila
Majnun dengan bintang utama Rini S Bono sebagai Laila dan Ahmad Albar sebagai
Majnun. Film ini mengantongi penghargaan untuk kategori Aktor Pembantu bagi
Farouk Afero pada Festival Film Indonesia 1976 (Purwantari, 2004).
Laila Majnun (selanjutnya disebut LM) adalah salah satu kisah yang populer
dalam dunia Islam. Selama lebih dari seribu tahun beragam versi dari kisah tragis ini
telah muncul dalam bentuk prosa, puisi, dan lagu dalam hampir semua bahasa
di negara-negara Islam Timur Dekat. Meski demikian, sajak epik Nizami-lah yang
masih menjadi dasarnya.
Nizami, seorang penyair Persia, ditugaskan untuk menulis LM oleh penguasa
Kaukasia, Shirvanshah, pada tahun 1188 Masehi. Dalam pengantar aslinya pada puisi
tersebut, Nizami menjelaskan bahwa seorang utusan dari Syirvanshah menemuinya
memuji Nizami sebagai “penyair dengan keelokan kata-kata terhebat di dunia”, lalu
meminta Nizami untuk menulis sebuah epik romantis yang diambil dari cerita rakyat
Arab; kisah mengenai Majnun yang telah melegenda, sang penyair yang “gila cinta”,
dan Laila gadis padang pasir yang kecantikannya sangat terkenal (Nizami, 2008: 8).
Sedangkan Dar (2003: 9) penerbit dari Bairut berkomentar, LM menempati
posisi penting dalam deretan kisah cinta abadi mayarakat Arab. Kisah ini dituturkan
secara turun-temurun dari generasi ke generasi, sehingga menjadi semacam legenda
yang menjadi buah bibir para juru kisah di setiap penjuru negeri Arab, kisah Qays dan
Layla bukan sekedar cerita fiksi. Ia memiliki batas-batas faktual yang biasanya
mempermainkan imajinasi untuk kemudian diubah menjadi sekadar cerita atau mitos.
Banyak pengarang yang menyandarkan setiap kisah cinta pada kisah ini. Mereka lalu
menisbatkan banyak syair-syair cintanya kepada Qays, syair-syair yang diucapkannya
untuk Layla.
Kepopuleran kisah Layla dan Majnun ini dirasakan juga di Indonesia. Dua
penerbit di Indonesia menerbitkan cerita tersebut, yaitu Ilman Books dan Navila pada
tahun 2002. Bahkan, buku terbitan Navila menjadi buku paling laris dengan mencetak
rekor memasuki cetakan ke-18 pada bulan Mei 2004. Sementara buku terbitan Ilman
Books telah memasuki periode cetakan ke-6 pada tahun 2004 (Purwantari, 2004).
Kisah Layla dan Majnun terus diterbitkan di Indonesia. Pada tahun 2002,
penerbit Oase menerbitkan Laila Majnun dan sampai Maret 2008 sudah memasuki
cetakan ke-10. Buku terbitannya terjual lebih dari 10.000 eksemplar dan mendapat
menerbitkan Laila Majnun tahun 2007 dan pada bulan Juli 2008 sudah memasuki
cetakan ke-3. Buku terbitannya mendapat julukan International Best Seller.
Amin (2008: 109) menyatakan:
“Nizhami adalah sufi penyusun kisah-kisah cinta yang sangat monumental. Karyanya yang sangat terkenal adalah Laila dan Majnun yang telah diterjemahkan ke dalam hampir semua bahasa-bahasa dunia. Kisah Laila dan Majnun ini mengisahkan kisah cinta anak manusia yang tak sampai yang akhirnya sang laki-laki, yaitu Qais menjadi gila dikarenakan cintanya yang amat besar dan tergila-gila kepada Laila. Kendatipun berbentuk cerita tak urung karya-karya itu mengandung banyak pelajaran tersembunyi bagi para penempuh jalan spiritual. Tingkatan pengajarannya berkisar pada pelajaran yang diperuntukkan bagi orang-orang awam hingga yang dikhususkan bagi para pengenal sebuah tarekat sufi”.
Selanjutnya Colin (Nizami, 2008: 9) mengatakan, Nizami sungguh telah
menciptakan sesuatu yang “khusus”untuk rajanya, Shirvanshah. Keasliannya yang
menolok terletak pada caranya yang bagus sekali dalam melukiskan area kejiwaan
yang berhubungan dengan kompleksitas emosi manusia ketika dihadapkan kepada
“cinta yang tidak mengenal hukum”. Cahaya yang dibawa hati ketika sedang jatuh
cinta; gairah dari rasa kasih sayang; duka akibat perpisahan; kepedihan akibat
kesangsian dan kecemburuan; pahitnya cinta yang dikhianati; kesedihan yang
ditimbulkan oleh kehilangan. Bahasanya mungkin adalah bahasa Persia abad ke-12,
namun temanya adalah sesuatu yang menembus semua batasan ruang dan waktu.
Sehubungan dengan komentar Colin di atas mengenai area kejiwaan, karya
sastra memang erat hubungannya dengan psikologi. Sastra pada dasarnya
mengungkapkan kejadian. Namun kejadian tersebut bukanlah “fakta sesungguhnya”,
dengan menggunakan fakta imajinasi, sehingga tercipta mental imajinatif. Di dalam
karya sastra akan tercermin berbagai fakta imajinatif yang membutuhkan kecermatan
dalam penelitiannya.
Atar Semi (Endraswara, 2008: 7) menyatakan:
“…karya sastra merupakan produk dari suatu keadaan kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada dalam situasi setengah sadar (subconcius) setelah mendapat bentuk yang jelas dituangkan dalam bentuk tertentu secara sadar (concious) dalam bentuk ciptaan karya sastra”.
Pendapat Atar Semi di atas, mengingatkan kepada kita bahwa karya sastra itu tidak bisa terlepas dari pengarangnya. Dalam menciptakan karyanya pengarang menuangkan idenya melalui fakta imajinasi dan merealisasikannya dalam bentuk tulisan. Setelah karya sastra tercipta, maka dalam memahami karya tersebut pembaca juga mengalami proses kejiwaan.
Untuk merekam gejala psikologi tersebut diperlukan seperangkat teori ilmu
jiwa. Tidaklah mengherankan jika terlahir beraneka psikologi yang menyoroti
kepribadian. Sebagai contoh lahir Psikoanalisis yang dikembangkan oleh S. Freud
dan lahir pula pemikiran yang serupa dari Alfred Adler yang mengemukakan teori
Psikologi Individual. Teori kepribadian lain yang dikenal dengan nama Social
Learning Theory hasil pengamatan dan studi dari seorang pakar yang bernama Albert
Bandura tidak ketinggalan pula seorang psikolog kondang dari Amerika, yaitu
Abraham Maslaw yang merumuskan teorinya dengan sebutan Humanistic Theory of
Personalitiy. Kita mengenal pula tokoh besar lain dari negeri yang sama, yaitu
George Kelly, dengan rumusan teori Cognitive Theory of Personality.
Sastra dan psikologi memiliki esensi penelitian yang sama yaitu manusia, baik
masalah manusia yang berbeda. Psikologi terfokus pada manusia dalam dunia nyata,
sedangkan sastra terfokus pada manusia dalam dunia khayal.
Pemahaman manusia dalam sastra akan lengkap apabila ditunjang oleh
psikologi, begitu juga sebaliknya. Hal ini berarti bahwa teori penelitian psikologi
sastra jelas merupakan gabungan dari teori sastra dan teori psikologi. Hukum-hukum
psikologi dicocokkan dengan dalil sastra sehingga membentuk kerangka analisis.
Namun yang perlu dicermati oleh peneliti sastra adalah yang paling dominan harus
teori sastra agar penelitian tetap berada dalam koridor sastra. Psikologi hanya sebagai
alat bantu saja untuk mengungkapkan perilaku manusia dalam karya sastra.
Novel LM dipilih dalam penelitian ini karena sangat menarik untuk dikaji.
Selain karena novel ini termasuk novel terlaris nasional dan internasional,
kelebihannya juga terletak pada ceritanya yakni penderitaan batin yang dialami oleh
Majnun sebagai tokoh utama. Penderitaan batin tersebut menimbulkan perilaku yang
menyimpang dari manusia normal. Hal ini disebabkan karena frustrasi yang
berkepanjangan yang dialami oleh Majnun. Majnun sangat mencintai Layla. Cintanya
kepada Layla tidak bisa disamakan dengan cinta siapa pun di dunia ini. Ia rela hidup
menderita demi mempertahankan cinta tersebut. Begitu juga dengan Layla. Cinta
mereka tidak bertepuk sebelah tangan, namun karena kesombongan orang tua Layla,
membuat cinta mereka terhalang. Majnun tetap setia pada cintanya, begitu juga
Layla. Namun karena Layla perempuan, dia tidak bisa berbuat seperti Majnun dalam
melampiaskan rasa cintanya. Adat dalam masyarakat Arab melarang perempuan yang
Layla lebih menderita dari Majnun. Akhirnya rasa cinta itu harus dibawa sampai
mati.
Penderitaan yang dialami oleh kedua tokoh utama ini akan sangat menarik
bila dikaji secara psikologi. Psikologi memberikan gambaran tentang
aktivitas-aktivitas individu, baik aktivitas-aktivitas secara motorik, kognitif, maupun secara emosional.
Aktivitas-aktivitas itu merupakan perilaku sebagai manifestasi hidup kejiwaan. Jika
dikaitkan dengan kejadian yang dialami oleh Layla dan Majnun, maka novel LM ini
sangatlah tepat apabila dikaji melalui pendekatan psikologi sastra, tepatnya analisis
frustrasi.
Dalam penelitian ini penulis hanya membahas tentang perilaku Layla dan
Majnun, dan Syed Omi sebagai tokoh yang mengalami frustrasi dalam cerita LM.
Perilaku tersebut juga hanya dibatasi pada perilaku frustrasi dan penyesuaian diri
mereka.
Di samping itu, penelitian ini juga membahas tentang proses mental dalam
novel LM. Proses mental dapat memperlihatkan kepada pembaca tentang keadaan
jiwa orang yang sedang jatuh cinta dan perilaku orang yang cintanya terhalang yang
1.2. Rumusan Masalah
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang terarah, maka diperlukan suatu
rumusan masalah. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah representasi dari perilaku manusia dalam novel LM?
2. Bagaimanakah perolehan proses mental dalam novel LM?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini dapat dibagi menjadi dua tujuan yakin tujuan
umum dan tujuan khusus.
1.3.1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan mengkaji fenomena kejiwaan tokoh
utama melalui novel LM. Pengkajian salah satu aspek dari karya sastra (novel) belum
memadai untuk memahami novel tersebut. Oleh karena itu, pengkajian terhadap
novel LM dari perspektif kejiwaan akan menambah pemahaman yang lebih luas lagi
tentang novel tersebut. Pengkajian semacam ini dilakukan untuk lebih memperkokoh
kritik sastra dan menambah wawasan dalam kajian sastra itu sendiri.
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini diuraikan sebagai berikut:
1. Mendeskripsi dan menganalisis perilaku manusia dalam Novel LM.
2. Mendeskripsi dan menganalisis proses dalam novel LM.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
1. Hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah penerapan teori psikologi
dalam kajian sastra.
2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan model penelitian psikologi sastra terhadap
kajian karya sastra yang lain.
3. Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber acuan bagi penelitian-penelitian
linguistik tentang fungsi eksperensial yang direalisasikan melalui analisis
proses mental.
1.4.2. Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian ini dapat memberi informasi kepada penikmat dan pembaca
tentang fenomena kejiwaan tokoh utama dalam novel LM.
2. Hasil penelitian ini dapat memberi informasi tentang penyakit jiwa yang
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI
2.1. Kajian Pustaka
Pengkajian terhadap novel LM sebenarnya sudah banyak dilakukan terutama
yang berbentuk artikel. Melalui internet, penulis temukan lebih dari duapuluh kajian
yang membahas tentang kekuatan cinta Majnun. Melalui Pustaka Online Media
ISNET - Hosen (1997), memperlihatkan energi cinta Majnun terhadap Laila
diibaratkan seperti cinta Majnun terhadap Allah. Dalam ech’s Blog (2004) dibahas
mengenai cinta Majnun terhadap Laila hampir sama kisahnya denga kehidupan yang
dialaminya. Harian Kompas tanggal 23 Oktober 2004, membahas tentang
perbandingan naskah LM yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, Ilman Books, dan
Navila.
Dari pengamatan penulis, terdapat beberapa penelitian yang mirip dengan
penelitian ini. Margaretha Evi Yuliana (UNS, 2004) meneliti untuk skipsinya yang
berjudul “Konflik Tokoh-Tokoh Utama Novel Ca-Bau-Kan karya Remi Sylado:
Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
konflik yang dialami tokoh utama dalam novel ini memengaruhi sikap dan tingkah
laku masyarakat dalam bentuk tindakan menyimpang dari norma-norma dalam
masyarakat.
Penelitian lain dilakukan oleh Astin Nugraheni (UMS, 2006) dengan judul
Pranoto: Tinjauan Psikologi Sastra”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konflik
yang dialami tokoh utama harus dihadapkan pada dua pilihan yang berat antara
kesetian terhadap suami dan kenyataan pahit yang harus dihadapi karena suaminya
selingkuh.
Penelitan lain dilakukan oleh Tarmizi Ramadhan (Tarmizi Ramadhan’s Blog,
21 Nopember 2008) dengan judul “Analisis Frustrasi Tokoh Utama Novel Nayla
Karya Djenar Maesa Ayu (Sebuah Kajian Psikologis)”. Kajian ini didasarkan pada
hasil kajian Siswantoro (2005: 62) dengan judul: A study on Frustrasion on Relfelcted
in Harry, the Major Character of “The Snows of Kilimanjaro”, a Fiction by Ernest
Hemingway: Psychological Approach. Dalam analisisnya peneliti mengungkapkan
penyebab frustrasi Nayla, wujud frustasi Nayla, dan self adjasment (penyesuaian diri)
Nayla.
Dari kajian di atas, penulis mencoba melakukan hal yang sama tentang
perilaku Laila dan Majnun dalam LM. Penulis juga akan menganalisis sebab-sebab
dan wujud frustrasi serta penyesuaian diri mereka.
Kajian tentang Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) dalam karya sastra
sudah banyak dilakukan. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Rohani Ganie
(USU, 2008) dengan judul tesisnya “Analisis Genre Narasi Hikayat Perang Sabil:
Pendekatan Linguistik Sistemik”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa proses
yang mendominasi dalam hikayat itu adalah proses material. Hal ini disebabkan
Penelitian lain dilakukan oleh Hesti Fibriasari (USU, 2008) dengan judul tesis
“Representasi Makna Eksperensial dan Antarpersona dalam Pengantar Majalah
Femina dan Kartini”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada empat makna
eksperensial yang digunakan pada pengantar majalah tersebut, yaitu: proses material,
proses mental, proses relasional, dan proses verbal. Namun, kajian fungsi pengalaman
atau eksperensial terrhadap novel LM ini, belum pernah dilakukan.
Dari uraian tentang hasil penelitian terdahulu, maka dapat dilihat bahwa
orisinilitas penelitian dengan judul “Perilaku Manusia dan Proses Mental dalam novel
Laila Majnun” dapat dipertanggungjawabkan.
2.2. Konsep
2.2.1. Perilaku
Psikologi merupakan ilmu tentang perilaku atau aktivitas-aktivitas individu.
Karya sastra masih ada hubungannya dengan psikologi. Woodwortth dan Marquis
(Walgito, 2003: 15) memberikan gambaran bahwa psikologi itu mempelajari
aktivitas-aktivitas individu atau perilaku individu. Perilaku atau aktivitas-aktivitas
tersebut dalam pengertian yang luas, yaitu perilaku yang menampak (overt
behaviour) dan atau perilaku yang tidak menampak (inert behaviour), demikian pula
aktivitas-aktivitas tersebut di samping aktivitas motorik juga termasuk aktivitas
emosional dan kognitif.
Menurut Tim (2005: 858) di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
lingkungan’. Ini menunjukkan bahwa perilaku yang ada pada individu tidak timbul
dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh individu
yang bersangkutan baik stimulus eksternal maupun stimulus internal. Namun
demikian, sebagian terbesar dari perilaku individu itu sebagai respon terhadap
stimulus eksternal.
Kaum behaviouris memandang bahwa perilaku sebagai respon terhadap
stimulus, akan sangat ditentukan oleh keadaan stimulusnya dan individu atau
organisme seakan-akan tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan
perilakunya. Hubungan stimulus dan respon seakan-akan bersifat mekanistis.
Aliran kognitif memandang perilaku individu merupakan respon dari
stimulus, namun dalam diri individu ada kemampuan untuk menentukan perilaku
yang diambilnya. Ini berarti individu dalam keadaan aktif. Hubungan stimulus dan
respon tidak secara otomatis, tetapi individu mengambil peranan dalam menentukan
perilakunya. Woodworth dan Schlosberg membuat kaitan antara stimulus, organisme,
dan perilaku sebagai respon diformulasikan dengan formulasi: S-R-O. Ini berarti
dalam memberikan respon organisme itu ikut aktif ambil bagian. Formulasi tersebut
dapat disajikan dalam bentuk lain yaitu dengan formulasi: R = f(S,O), dengan
pengertian R = respon, f = fungsi, S = stimulus, dan O = organisme. Ini berarti bahwa
respons itu bergantung atau merupakan fungsi dari stimulus dan organisme yang
bersangkutan. Selanjutnya, apa yang ada dalam diri individu itu berperan
memberikan respons adalah apa yang telah dipelajari oleh organisme yang
disempurnakan atau diubah menjadi R = f(S,A), dengan catatan A = anteseden
(Walgito, 2003: 15-16).
Di samping formulasi tersebut, masih terdapat formulasi-formulasi lain yang
semuanya itu memberikan gambaran tentang perilaku organisme. Lewin (Walgito,
2003: 16) memberikan formulasi mengenai perilaku itu dengan bentuk B = f(E,O),
dengan keterangan B = behaviour, f = fungsi, E = environment, dan O = organisme.
Formula tersebut memberikan pengertian bahwa perilaku (behaviour) itu merupakan
fungsi atau bergantung pada lingkungan (stimulus) dan organisme yang
bersangkutan.
Pada dasarnya formulasi yang dibuat oleh Lewin, tidak berbeda dengan
formulasi Woordworth dan Schlosberg, yaitu bahwa perilaku itu bergantung pada
lingkungan (stimulus) dan organisme yang bersangkutan. Dengan formulasi di atas
hubungan antara E dan O tidak tampak dengan jelas, yaitu bagaimana bentuk
hubungannya.
Paparan di depan menunjukkan perilaku itu muncul sebagai akibat adanya
interaksi antara stimulus dan organisme. Pengaruh perilaku belum nampak dalam
formulasi di atas. Bandura (Walgito, 2003: 17) mengemukakan suatu formulasi
mengenai perilaku, dan sekaligus dapat memberikan informasi tentang peran perilaku
itu terhadap lingkungan dan terhadap individu atau organisme yang bersangkutan.
Formulasi itu dapat digambarkan dengan diagram berikut:
B
E P
Diagram 1. Formulasi Bandura tentang Perilaku
Dengan pengertian B = behaviour, E = environment, P = person. Dalam hal ini
Bandura sendiri menggunakan pengertian person, bukan organisme.
Perilaku, lingkungan, dan individu, itu sendiri saling berinteraksi satu dengan
yang lain. Ini berarti bahwa perilaku individu dapat mempengaruhi individu itu
sendiri. Di samping itu perilaku juga berpengaruh pada lingkungan, demikian pula,
lingkungan dapat mempengaruhi individu, demikian sebaliknya.
Uraian di atas menunjukkan bahwa perilaku manusia bisa dipengaruhi oleh
lingkungan dan faktor dari diri individu itu sendiri. Melalui novel LM, penulis akan
melihat perilaku Majnun yang gila disebabkan oleh faktor lingkungan, yaitu orang tua
Laila yang menolak menyatukan mereka dalam ikatan perkawinan, dan faktor internal
yang datangnya dari diri Majnun sendiri yang tidak mau berhenti mencintai Laila.
Penolakan dari orang tua Laila membuat Majnun frustrasi. Ia meninggalkan
kehidupan dunia dengan menyendiri di hutan. Dalam menjalani kehidupan, Majnun
menghadapi berbagai konflik atau pertentangan batin, baik pertentangan terhadap
dirinya sendiri maupun reaksi terhadap lingkungan sekitarnya. Dari berbagai
fenomena yang dialami Majnun, muncul kekuatan mental dan pemahaman baru
diri Majnun karena terus dirundung berbagai konflik. Ia akhirnya menyendiri di hutan
sebagai reaksi menghindar dari situasi yang menyebabkan frustrasi. Jadi, novel LM
ini sangat menarik bila dikaji dengan pendekatan psikologis, khususnya dalam
analisis perilaku dan frustrasi.
2.2.1.1. Frustrasi
Katz B. dan Lehner G.F.J. (Sundari, 2005: 46) mengatakan bahwa frustasi
merupakan rintangan terhadap dorongan atau kebutuhan. Kebutuhan dan dorongan
manusia banyak sekali jumlahnya. Wajarlah semua itu tidak dapat dipenuhi secara
bersama-sama, bahkan ada pula kebutuhan itu tidak dapat dipenuhi secara wajar.
Frustrasi bisa juga diartikan sebagai suatu proses di mana tingkah laku
terhalang. Oleh karena kebutuhan, manusia bertindak atau berbuat atau bertingkah
laku untuk mencapai tujuan yakni melayani kebutuhan yang sesuai dengan dorongan.
Frustrasi juga merupakan suatu keadaan perasaan disertai proses rintangan (Sundari,
2005: 46).
Kebutuhan atau dorongan manusia yang sangat mendasar itu menimbulkan
seseorang bertingkah laku atau berbuat dalam bentuk apa pun untuk mencapai tujuan
sering mendapat halangan atau kekecewaan. Maka dapat dikatakan bahwa dalam
mengalami frustrasi sangat tergantung pada tanggapan masing-masing terhadap
situasi atau keadaan dan cara-cara mengekspresikan frustrasi tersebut. Misalnya
sesuatu keadaan atau situasi membuat dua orang sama-sama frustrasi, sebenarnya
mereka mempunyai dasar pengalaman yang berbeda sehingga tingkah laku mereka
Juliet. Tokoh utama dalam kedua novel tersebut sama-sama mengalami frustrasi
akibat cinta yang terlarang, namun mereka mengalami latar budaya yang berbeda,
sehingga tingkah laku mereka dalam menghadapi frustrasi itu juga berbeda.
Perasaan-perasaan frustrasi itu bermacam-macam kualitas dan kuantitasnya.
Jarak dan dalamnya suatu keputusasaan, kemarahan ataupun kasih sayang
kadang-kadang merupakan peristiwa yang menyenangkan serta membantu memberikan
kekuatan dan memberikan rangsang.
Menurut Sarwono (2000: 59), frustrasi adalah suatu keadaan dalam diri
individu yang disebabkan oleh tidak tercapainya kepuasan atau suatu tujuan akibat
adanya halangan atau rintangan dalam usaha mencapai kepuasan atau tujuan tersebut.
Floyd L. Ruch (Siswantoro, 2005: 101) mengelompokkan frustrasi ke dalam tiga
katagori, yaitu reaksi agresi/menyerang (aggressive reactions), reaksi menghindar
(withdrawal reactions), dan reaksi kompromi (compromise reactions).
2.2.1.2. Penyesuaian Diri
Takdir setiap diri manusia adalah bahwa dia harus menyesuaikan diri dengan
harapan orang lain. Sudah menjadi nasib manusia, bahwa dirinya harus selalu
menyesuaikan diri dengan keinginan orang lain. Penyesuaian diri itu dimulai sejak
seseorang dilahirkan, ketika pertama sekali berinteraksi dengan anggota keluarga.
Wujud penyesuaian diri itu adalah dengan cara ia menerima perlakuan anggota
keluarganya terhadap dirinya.
Di sisi lain, manusia juga dilengkapi oleh usaha peningkatan diri, karena tidak
statis. Di dalam masyarakat modern seseorang harus berjuang untuk sukses. Oleh
karena itu, seseorang yang telah mampu menyesuaikan diri adalah orang yang tidak
hanya mampu memenuhi aturan standar kelompok masyarakat tertentu, tetapi juga
berupaya secara kompetitif dengan yang lain untuk sebuah tempat terhormat
(Siswantoro, 2005: 115).
Selanjutnya Bonner (Siswantoro, 2005: 116-121) menjelaskan bahwa
penyesuaian diri dapat dilakukan dengan cara lain yakni reaksi diri (self defence)
yang dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu penekanan (repression),
berkhayal (fantasy), menutup kelemahan (compensation), dan peningkatan diri (self
enhancement).
2.2.2. Proses Mental
Halliday (Saragih, 2006: 28) menjelaskan, Satu unit pengalaman yang
sempurna direalisasikan dalam klausa yang terdiri atas tiga unsur, yaitu proses
(process), partisipan (participant) dan sirkumstan (circumtance). Proses menunjuk
kepada kegiatan atau aktivitas yang terjadi dalam klausa yang menurut tata bahasa
tradisional dan formal disebut kata kerja atau verba. Partisipan dibatasi sebagai orang
atau benda yang terlibat dalam proses tersebut. Sirkumstan adalah lingkungan tempat
proses yang melibatkan partisipan terjadi. Inti dari satu pengalaman adalah proses.
Dikatakan demikian, karena proses menentukan jumlah dan kategori partisipan.
Proses juga menentukan sirkumstan secara tidak langsung.
Dalam perspektif LSF (Linguistik Sistemik Fungsional), proses mental
persepsi yang terjadi di dalam diri manusia, seperti melihat, mengetahui, menyenangi,
membenci, menyadari, mendengar, dan lainnya. Proses mental terjadi di dalam diri
(inside) manusia dan mengenai mental (psychological aspects) kehidupan (Saragih,
2006: 31). Secara semantik, proses mental menyangkut pelaku manusia saja atau
maujud lain yang berperilaku manusia, seperti tingkah laku hewan dalam cerita fabel.
Proses mental adalah proses mengindra, dengan kehadiran partisipan seorang
manusia atau mirip manusia yang terlibat dalam proses melihat, merasa, atau berfikir,
dan juga dapat melibatkan lebih dari satu partisipan. Dalam hal ini, proses mental
mempunyai dua partisipan, yang pertama manusia atau seperti manusia, yang
dinamakan sebagai “pengindra”. Partisipan kedua dapat berupa benda ataupun fakta
adalah partisipan yang diindra dinamakan “fenomena”.
Proses-proses mental dikategorikan ke dalam tiga jenis pengelompokan:
(1) persepsi, (2) afeksi, dan (3) kognisi (Sinar, 2008: 33). Proses mental persepsi
ditandai dengan aktivitas mata, seperti melihat, Proses mental afeksi ditandai dengan
aktivitas hati, seperti mencintai, sedangkan proses mental kognisi ditandai dengan
aktivitas otak, seperti ingat.
2.2.3. Novel
Di Indonesia, istilah novel dikenal sejak kemerdekaan, karena para sastrawan
dan intelektual berorientasi ke Inggris dan Amerika. Inggris dan Amerika mengenal
istilah novel sebagai salah satu karya fiksi. Sebelum jaman kemerdekaan bangsa
Indonesia memakai istilah roman. Sedangkan dalam kesusastraan Melayu klasik lebih
Istilah roman digunakan pada waktu itu karena sastrawan Indonesia pada
umumnya berorientasi ke negeri Belanda, yang lazim menamakan bentuk novel
dengan sebutan roman. Istilah ini juga dipakai di Perancis dan Rusia, serta sebagian
negara Eropa (Semi, 1988: 32).
Sumardjo dan Saini (1991: 29) menegaskan bahwa istilah novel sama dengan
istilah roman. Kata novel berasal dari Italia yang kemudian berkembang di Inggris
dan Amerika Serikat. Sedangkan istilah roman berasal dari genre romance dari abad
pertengahan yang merupakan cerita panjang tentang kepahlawanan dan percintaan.
Berdasarkan asal usul istilah di atas memang ada sedikit perbedaan antara
roman dan novel yakni bahwa novel lebih pendek ceritanya dibandingkan dengan
roman. Novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat dan
pemusatan kehidupan yang tegas, sedangkan roman dikatakan sebagai
menggambarkan kronik kehidupan yang lebih luas yang biasanya melukiskan
peristiwa dari masa kanak-kanak sampai dewasa dan meninggal dunia. Namun,
tidaklah perlu dibedakan antara novel dan roman. Saat sekarang ini, dalam pengertian
novel sudah tercakup pengertian roman.
Sebuah karya sastra seperti novel tidak akan sama betul dan mungkin tidak
akan pernah sama dengan kehidupan. Jika sebuah novel sama dengan kehidupan
tanpa olahan pengarangnya mungkin karya tersebut tidak akan dibaca orang, karena
kering tanpa bumbu. Sama halnya dengan membaca buku ilmiah. Jadi, sebuah karya
memuat tentang kehidupan manusia yang diolah dengan fakta imajinasi
pengarangnya.
Novel sebagai bagian bentuk sastra, merupakan jagad realita yang
di dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat manusia
(tokoh). Secara spesifik realita psikologis misalnya kehadiran fenomena kejiwaan
tertentu yang dialami oleh tokoh utama ketika merespon atau bereaksi terhadap diri
dan lingkungan. Fenomena yang hadir di dalam novel baru memiliki arti, kalau
pembaca mampu memberikan interpretasi dan ini berarti ia memiliki bekal teori
tentang psikologi yang memadai (Siswantoro, 2005: 29).
Dengan demikian, novel sebagai sebuah karya sastra dapat merekam gejala
kejiwaan yang terungkap lewat perilaku tokoh. Perilaku ini menjadi data atau fakta
empiris yang harus dimunculkan oleh peneliti atau pembaca. Peneliti harus memiliki
teori-teori psikologi yang memadai di dalam usaha memaknai perilaku tokoh. Tanpa
pengetahuan psikologi yang memadai, kegiatan analisis hanya akan berhenti sebatas
kerangka atau bingkai general semata, yakni analisis psikologi tanpa mampu
menjelaskan secara tajam gejala psikologi seperti apa yang diidap tokoh.
Orang dapat mengamati tingkah laku tokoh-tokoh dalam sebuah roman atau
drama dengan memanfaatkan pertolongan pengetahuan psikologi. Andai kata ternyata
tingkah laku tokoh-tokoh tersebut sesuai dengan apa yang diketahuinya tentang jiwa
manusia, maka dia telah berhasil menggunakan teori-teori psikologi modern untuk
menjelaskan dan menafsirkan karya sastra. Bila tokoh Hamlet menunjukkan tingkah
yang bertingkah laku tertentu di dalam lingkungan tertentu, tidaklah berarti bahwa
pujangga Shakespeare mengenal teori-teori Freud, melainkan memang berarti
Shakespeare mempunyai pengamatan yang tajam dan mendalam tentang hakikat atau
kodrat manusia (Hardjana, 1991: 6).
2.3. Landasan Teori
2.3.1. Teori Psikologi Sastra
Psikosastra atau psikologi sastra adalah kajian sastra yang dikaitkan dengan
aktivitas kejiwaan. Secara kategori, sastra berbeda dengan psikologi. Sastra
berhubungan dengan dunia fiksi, drama, puisi, dan esai yang dapat diklasifikasikan ke
dalam seni. Sedangkan psikologi merujuk kepada studi ilmiah tentang ilmu jiwa yang
menekankan perhatian pada manusia, terutama pada perilaku manusia dan proses
mental (Siswantoro, 2005: 29). Hal ini dapat dipahami karena perilaku merupakan
fenomena yang dapat diamati dan tidak abstrak. Sedangkan jiwa merupakan sisi
dalam manusia yang tidak teramati tetapi bisa dicermati melalui pancaindra.
Meski berbeda, sastra dan psikologi, keduanya memiliki titik temu atau
kesamaan. Keduanya berangkat dari manusia dan kehidupan sebagai sumber kajian.
Dalam karya sastra dapat dilihat rekaman kejiwaan yang terungkap lewat perilaku
tokoh. Perilaku ini menjadi data atau fakta empiris yang harus dimunculkan oleh
pembaca atau peneliti sastra. Perilaku manusia sangat beragam, tetapi memiliki pola
atau keterulangan jika diamati secara cermat. Pola atau keterulangan inilah yang
tertentu. Misalnya perilaku yang berhubungan dengan fenomena frustrasi atau
kecemasan. Pemahaman fenomena kejiwaan ini dapat dilakukan lewat perilaku
seperti apa yang diucapkan dan diperbuat penanggung frustrasi. Ucapan dan
perbuatan tadi menjadi bahan observasi dan seterusnya diidentifikasi sebagai kategori
represi, agresi, proyeksi, atau kategori lain. Demikian pula perilaku seseorang yang
menanggung gejala jiwa tak normal dapat dipilah-pilah ke dalam kategori histeria,
fobia, depresi, dan lain-lain (Siswantoro, 2005: 26).
Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sabagai aktivitas
kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karsa dalam berkarya.
Begitu pula pembaca, dalam menanggapi karya tak akan lepas dari kejiwaan
masing-masing. Pengarang akan menangkap gejala jiwa kemudian diolah ke dalam teks dan
dilengkapi dengan kejiwaannya. Pengalaman sendiri dan pengalaman hidup di sekitar
pengarang, akan terproyeksi secara imajiner ke dalam teks sastra (Endraswara, 2003:
96).
Pada dasarnya, psikologi sastra akan ditopang oleh tiga pendekatan sekaligus,
yaitu:
1. Pendekatan tekstual, yang mengkaji aspek psikologi tokoh dalam karya sastra,
2. Pendekatan reseptif-pragmatik, yang mengkaji aspek psikologis pembaca
sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh karya yang
3. Pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis sang penulis ketika
melakukan proses kreatif yang terproyeksi lewat baik penulis sebagai pribadi
maupun wakil masyarakatnya (Roekhan, 1990: 88).
Dari pendapat Roekhan di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan psikologi
sastra adalah pendekatan yang menumpukan analisis pada aspek kejiwaan, yaitu
aspek kejiwaan tokoh yang terdapat dalam karya sastra, aspek kejiwaan pengarang,
dan aspek kejiwaan pembaca.
Hal ini sejalan juga dengan pendapat Wellek dan Austin (1989: 90) ada tiga
cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra,
yaitu: a) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, b) memahami
unsur-unsur kejiwaan tokoh fiksional dalam karya sastra, c) memahami unsur-unsur
kejiwaan pembaca.
Kajian terhadap psikologi sastra memang agak tertinggal dibandingkan
dengan kajian sastra lainnya. kajian ini baru diminati banyak orang sekitar tahun
1980-an. Harus diakui, khususya di Indonesia, analisis psikologi sastra lebih lambat
perkembangannya dibandingkan dengan sosiologi sastra. Ada beberapa indikator
yang juga merupakan penyebabnya, di antaranya: a) psikologi sastra seolah-olah
hanya berkaitan dengan manusia sebagai individu, kurang memberikan peranan
terhadap subjek transindividual, sehingga analisis dianggap sempit, b) dikaitkan
dengan tradisi intelektual, teori-teori psikologi sangat terbatas, sehingga para sarjana
kurang memiliki pemahaman terhadap bidang psikologi sastra, c) berkaitan dengan
menarik minat, khususnya di kalangan mahasiswa, yang dapat dibuktikan dengan
sedikitnya skripsi dan karya tulis yang lain yang memanfaatkan pendekatan psikologi
sastra (Ratna, 2004: 341).
Psikosastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah psikologis praktis.
Secara definitif, tujuan psikosastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang
terkandung dalam suatu karya. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa analisis
psikosastra sama sekali terlepas dengan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan
hakikatnya, karya sastra memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak
langsung. Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya, masyarakat dapat
mengalami perubahan, kontradiksi dan penyimpangan-penyimpangan lain yang
terjadi dalam masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan psike (Ratna, 2004:
342-343).
Kehadiran manusia dalam sastra sulit dibantah. Manusia secara psikologis
adalah mini dunia. Oleh sebab itu, mempelajari manusia dalam sastra sama halnya
mengitari dunia. Wajah dunia baik mikrokosmos maupun makrokosmos, selalu ada
dalam sastra. Maka, para peneliti psikologis akan tertarik pada wajah dunia ini.
Wajah dunia ini memang bisa dilihat dengan berbagai kacamata keilmuan sastra,
namun secara psikologis dipandang lebih menukik pada esensi manusia itu sendiri
(Endraswara, 2008: 10).
Psikologi sastra sebagai grand theory, bernaung di bawahnya beberapa teori
seperti teori psikoanalisis, teori kognitif, teori psikologi behaviouristik, teori
Psikologi behaviouristik adalah psikologi yang menitikberatkan pandangan
pada perilaku manusia. Gagasan tokoh psikolog Skinner sampai saat ini masih
cemerlang. Gagasan dia berfokus pada kondisional manusia. Kejiwaan manusia amat
terbuka sehingga bisa terpengaruh yang lain. Itulah sebabnya tindakan (behaviour)
seorang bisa tergantung rangsang psikologisnya (Endraswara, 2008: 56).
Psikologi behavioristik berpijak pada anggapan bahwa kepribadian manusia
adalah hasil bentukan dari lingkungan tempat ia berada. Perilaku manusia disikapi
sebagai respon yang akan muncul jika ada stimulus tertentu yang berupa lingkungan.
Akibatnya, perilaku manusia dipandang selalu dalam bentuk hubungan karena
stimulus tertentu akan memunculkan perilaku yang tertentu pula pada manusia.
Disadari atau tidak, dunia penelitian psikologi sastra awal adalah teori Freud.
Meskipun tidak harus dinyatakan dia sebagai pencetus teori, namun perkembangan
berikutnya memang agak tersendat. Teori analisis psikologi Freud banyak
mengilhami para pemerhati psikologi sastra. Dia membedakan kepribadian menjadi
tiga, yaitu id, ego, dan super ego. Isi id adalah dorongan-dorongan primitif yang
harus dipuaskan, salah satunya adalah libido.
Freud adalah seorang ahli penyakit jiwa, karena itu pandangannya tentang
tingkah laku manusia condong pada masalah atau penyakit yang dihadapi individu.
Faktor-faktor yang menentukan tingkah laku individu bersumber dari id yang
dikuasai oleh nafsu atau libido. Id berisi insting-insting dasar alami yang dibawa oleh
individu sejak lahir. Adapun ego berfungsi menghubungkan keinginan atau
tingkah laku yang dinampakkan untuk memenuhi dorongan id, dikontrol oleh super
ego (hati nurani). Super ego itu berisi norma-norma, etika yang diperoleh individu
dari masyarakat sekitar terutama orang tuanya.
Menurut Freud, perilaku individu merupakan dorongan dari energi psikis yang
disebut eros (nafsu untuk hidup dan mempertahankan kehidupan) yang bersumber
dari libido-seksual. Energi psikis lain adalah thanotos (nafsu untuk mati). Dorongan
terakhir ini banyak ditunjukkan oleh individu-individu yang frustrasi, yaitu
pernyataan hasrat-hasrat yang sangat meluap akibat rintangan dari sekitarnya (Faisal
dan Andi, TT: 206).
Selanjutnya, Freud (Faisal dan Andi, TT: 206) merumuskan perilaku sebagai
respon atau jawaban terhadap suatu stimuls atau rangsangan. Respon tersebut sifatnya
sangat subjektif bergantung pada pemenuhan dorongan-dorongan eros dan thonatos,
yang keduanya berasal dari dorongan libido.
Psikologi eksistensialisme menggunakan sebuah metode filosofis yang
disebut fenomenologi. Fenomenologi adalah kajian yang teliti dan lengkap terhadap
fenomena, dan pada dasarnya merupakan temuan filosof Edmund Husserl. Fenomena
adalah semua muatan kesadaran, hal, kualitas, hubungan, kejadian, pikiran, citra,
memori, fantasi, perasaan, tindakan, dan seterusnya yang semuanya dialami.
Fenomenologi adalah sebuah upaya yang memungkinkan pengalaman-pengalaman
itu bisa berbicara, sehingga mampu menampakkan diri dan menggambarkan gaya