• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

7.2. SARAN

Ada baiknya penelitian terhadap novel LM dilanjutkan dengan sudut pandang yang berbeda, baik teori maupun metode. Hal ni akan menunjukkan bahwa sebuah

karya sastra itu sangat kompleks, sehingga tidak tertutup kemungkinan penafsiran dan pemberian makna lain bagi penelitian selanjutnya.

Pengkajian tentang psikologi sastra hendaknya terus dikembangkan. Sebuah karya sastra tidak akan pernah terlepas dari unsur psikologi pengarangnya maupun unsut psikologi pembacanya. Dari kajian psikologi sastra ini, akan menambah wawasan peneliti maupun pembaca tentang ilmu psikologi.

Peneliti juga menyarankan agar pembaca membaca novel LM. Secara sepintas, peneliti menanyakan kepada khalayak bahwa tidak tahu tentang cerita LM yang sebenarnya. Mereka hanya tahu bahwa Majnun itu gila, selanjutnya mereka tidak tahu apa-apa. Padahal, novel LM ini sangat sarat dengan pesan moral, yaitu cinta sejati tidak memerlukan penyatuan fisik karena cinta sejati melebihi ikatan duniawi. Cinta sejati menyebabkan penderitaan sebanding dengan kebahagiaan. Oleh karena itu, penuhilah hidupmu dengan cinta sejati (cinta kepada Tuhan). Cinta yang dimurnikan dengan penderitaan duniawi, sebab kelak akan mendapat berkah cahaya abadi.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir. 2008. Kisah Sejuta Hikmah Kaum Sufi. Jakarta: Amzah.

Arifin, Syamsul. 1992. Metode Penulisan Karya Ilmiah. Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat FH USU.

Baker, Rachel. 2007. Sigmund Freud: di Seberang Masa Lalu. Penerjemah Jimmi Firdaus. Jakarta: Sketsa.

Bayat, Mojdeh dan Muhammad Ali Jamniah. 2007. Layla & Majnun, Cerita-cerita Menakjubkan dari Negeri Sufi. Penerjemah M.S. Nasrullah. Jakarta: Lentera. Boeree, C. George. 2008. General Psychologi: Psikologi Kepribadian, Persepsi,

Kognisi, Emosi, dan Perilaku. Penerjemah Helmi J. Fauzi. Yogyakarta: Prismasophie.

Berry, Ruth. 2008. Seri Siapa Dia? Freud. Alih Bahasa Frans Koa. Jakarta: Erlangga.

Bertens. K. 1983. Filsafat Barat Abad XX : Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia.

Dar al-Kutub al-Ilmiah. 2003. Laila Majnun. Penerjemah Ida Santana. Bandung: Pustaka Hidaya.

Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif. Bandung: Jalasutra.

Ech’s Blog. 2004. “Layla Majnun”. mhtml:file://E:\ech’s%20Blog%20>>%20Layla%20 majnun.mht. Diakses 18

Januari 2009.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

_________________. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: MedPress.

Faisal, Sanafiah dan Andi Mappiare. TT. Dimensi-dimensi Psikologi. Surabaya: Usaha Nasional.

Hammad, Azzam El. 2008. Kesehatan Mental Orang Dewasa. Jakarta: Restu Agung. Hardjana, Andre. 1991. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Hosen, Nadirsyah. 1997. “Cinta si Majnun”. mhtml:file://C:\Docoments%20and %20Setting\Administrator\My%20Documents\Putaka. Diakses 19 Januari 2009.

Hurlock, Elizabeth B. 1993. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.Penerjemah Istiwidayanti. Jakarta: Erlangga.

Iqbal, Muhammad Zafar. 2006. Kafilah Budaya: Pengaruh Persia terhadap Kebudayaan Indonesia. Penerjemah Yusuf Anas. Jakarta: Citra.

Lubis, Mochtar. 1981. Teknik Mengarang. Jakarta: Kurnia Esa.

Nizami. 2008. Laila Majnun. Penerjemah Dede Aditya Kaswar. Jakarta: Oase Mata Air Makna.

Nizami. 2009. Layla Majnun, Pengantin Abadi dari Surga. Penerjemah Ali Noer Zaman. Jakarta: Kayla Pustaka.

Poespoprodjo.W. 1987. Interpretasi: Beberapa Catatan Pendekatan Filsafatinya. Bandung: Remaja Karya.

Purwantari. 2004. “Legenda Cinta Laila Majnun” dalam harian Kompas tanggal 23 Oktober 2004, Jakarta.

Purwanto, Yadi. 2007. Psikologi Kepribadian. Bandung: Refika Aditama.

Ratna, Nyoman Khuta. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Roekhan. 1990. “Penelitian Tekstual dalam Psikologi Sastra; Persoalan Teori dan Terapan” dalam Sekitar Masalah Sastra, Aminuddin (Ed.). Malang: YA3. Sanapiah, Faisal dan Andi Mappiare. TT. Dimensi-dimensi Psikologi. Surabaya:

Usaha Nasional.

Saragih, Amrin. 2006. Bahasa dalam Konteks Sosial. Medan: Program Pascasarjana Unimed.

Sarwono, Sarlito Wirawan. 2000. Pengantar Umum Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang.

_________________. 2003. Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo. Semi, M.Atar. 1988. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.

Sikana, Mana. 2007. Teras Sastera Melayu Tradisional. Singapore: Pustaka Karya. ____________. 2009. Teori Sastera Kontemporari. Singapore: Pustaka Karya. Sinar, Tengku Silvana. 2008. Teori dan Analisis Wacana, Pendekatan Sistemik-

Fungsional. Medan: Pustaka Bangsa Press.

Siswantoro. 2005. Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis. Surakarta: Muhammadiah University Press.

Sukapiring, Peraturen. 1989. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Medan: USU Press. Sumarjo, Jakob dan Saini K.M. 1991. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Bandung: Angkasa.

Sundari, Siti. 2005. Kesehatan Mental dalam Kehidupan. Jakarta: Reneka Cipta. Tarigan, Henry Guntur. 1991. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Teeuw, A. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Tim Redaksi Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Walgito, Bimo. 2003. Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Andi.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Penerjemah Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

Yuwono, Untung. 2007. Gerbang Sastra Indonesia Klasik. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Lampiran 1:

Sinopsis

Kabilah bani Amir hidup di lembah Hijaz, Arabia yang terletak di antara Mekah dan Madinah. Pemimpin kabilah itu bernama Syed Omri yang sudah tua dan sangat termasyhur. Tidak ada seorang pun yang dapat menandingi kejayaannya. Harta kekayaannya melimpah. Ia seorang yang gagah berani, penegak keadilan, dan dermawan. Segala karunia Allah yang pernah diberikan pada makhluk hidup, dimiliki seluruhnya oleh Syed Omri.

Namun, semua kejayaan dan amal baiknya tidak mampu mengusir rasa gunda- gulana yang bersemayam di hatinya. Ia tidak merasa bahagia karena dia tidak mempunyai anak. Sebuah kesedihan yang sangat mendalam menggerogoti hatinya dan menggelapkan hari-harinya. Namun, Syed Omri terus berdoa kepada Allah siang dan malam, memohon agar dikaruniai seorang putra.

Syed Omri tak jemu untuk berikhtiar, segala cara ia lakukan. Nasehat dan petunjuk orang pandai ia jalani, doa dan nazar ia panjatkan. Ia berdoa dan bermunajat kepada Allah dengan linangan air mata.

Karena keseriusan dan ketulusan Syed Omri dalam memuja dan berdoa, akhirnya ia dikaruniai Allah seorang anak lelaki yang tampan dan rupawan. Aqiqah, sebagai ungkapan rasa syukur dilakukan setelah si bayi berumur tujuh hari. Bayi itu diberi nama Qays. Kelahiran Qays membuat semangat hidup Syed Omri kembali bergairah, dapat dilihat dalam kutipan berikut:

Bayi laki-laki itu bagai anggur menghangatkan bibir yang gemetar karena kehausan, dan memadamkan kesedihan yang bergejolak di hati. Bayi yang didamba siang malam itu telah menghadirkan senyum kebahagiaan, menanggalkan kerudung kesengsaraan dan kesedihan yang selalu membayang, menjadi cahaya kehidupan serta pelipur lara di usia tua. Bayi itu benar-benar membawa berkah bagi orang tuanya, karena sekarang kehidupan Syed Omri dipenuhi oleh kesenangan dan kebahagiaan, namanya semakin harum di mata bani Amir. Kekuasaannya semakin bersinar, bagai kekuasaan Jamshid (hlm. 5).

Qays tumbuh menjadi seorang anak yang ceria dan periang. Tubuhnya kuat, wajahnya tampan, dan suaranya merdu bagai buluh perindu. Syed Omri ingin anaknya cerdas dan pandai, oleh karena itu ia memberikan pendidikan yang terbaik untuk Qays. Ia menitipkan Qays kepada seorang guru yang bijaksana dan penyabar di daerah Badui. Di sekolah itu, Qays termasuk anak yang cerdas dan tekun.

Di antara anak-anak yang bersekolah itu, terlihat seorang gadis cantik yang berusia belasan tahun. Wajahnya anggun mempesona, sikapnya lembut, dan penampilannya bersahaja. Rambutnya hitam, tebal bergelombang. Nama gadis itu adalah Layla, berasal dari bani Qhatibiah. Semua lelaki yang memandangnya pasti terpikat oleh pesona dan kecantikan gadis yang sedang tumbuh mekar itu. Layla seorang gadis yang cerdas dan memiliki kemampuan yang mengagumkan dalam merangkai madah.

Pertama kali Qays melihat Layla, jiwanya langsung bergetar. Ini dapat kita lihat pada kutipan berikut:

Ia seperti merasakan bumi berguncang dengan hebat, hingga merobohkan sendi-sendi keinginannya untuk menuntut ilmu. Qays belum pernah melihat keindahan yang menakjubkan di bumi seperti keindahan paras Layla. Dan Qays benar-benar telah jatuh hati pada Layla, sang mawar jelita. Keharuman cinta telah menghancurkan ketenangan pikirannya. Gejolak gairah cinta dalam

jiwa membuatnya kehilangan akal sehat, hingga lupa belajar dan lupa makan. Setiap detik, tiada yang melintas diangannya, kecuali mata indah Layla. Tiada suara yang lebih merdu daripada suara Layla (hlm. 9).

Qays tidaklah bertepuk sebelah tangan. Layla juga tertarik padanya. Baginya Qays seperti gelas minuman, semakin dipandang semakin haus. Sama seperti Qays, kekaguman Layla pada pemuda itu hanya mampu diungkapkan melalui syair. Dari waktu ke waktu cinta tumbuh subur dan berbunga di dalam taman hati Qays dan Layla. Keduanya tidak menyadari jika kisah asmara mereka mulai menjadi bahan gunjingan. Ada yang ikut merasa bahagia dan ada yang merasa cemas kalau hubungan cinta Qays dan Layla di ketahui oleh keluarga gadis itu. Karena dalam tradisi Arab, keluarga akan menjadi tercemar jika anak gadisnya menjadi bahan pembicaraan orang lain.

Akhirnya, kisah cinta mereka terdengar juga oleh ayah Layla. Kabar ini bagai arang hitam yang membuat bani Qhatibiah tersinggung, harga diri mereka ternoda. Hanya ada satu cara untuk menghilangkan malu, yaitu mengurung Layla di dalam rumah, tidak boleh pergi ke sekolah atau pun berjumpa dengan kawan-kawannya.

Setelah Layla dipingit, muncul penyesalan dalam hati Qays karena tidak mampuh menyimpan rapat rahasia mereka. Begitu juga Layla, di rumah pikirannya selalu membayangkan Qais. Mereka sama-sama mengalami kesengsaraan karena berpisah, mereka menangisi nasib yang menimpa dan menyesakkan dada. Qays laksana bunga kembang tak jadi. Jiwanya menjerit dan terguncang. Akal sehatnya terbang melayang ke udara, mengembara mencari Layla.

Qays menjadi gelisah, tak sekejap pun ia sanggup memejamkan mata. Jika hari sudah malam, Qays pergi meninggalkan rumah dan berjalan tak tentu arah menerobos semak belukar menuju padang belantara. Dia berkelana mencari pengobat hati, sembari bibirnya melantunkan syair. Ketika pagi menjelang, Qays berlari menuju padang sahara, tanpa beralas kaki, ia mengabarkan pada angin dan pasir tentang derita jiwa yang dialaminya.

Semakin hari jiwa Qays semakin menderita. Dia terus menyebut nama Layla yang telah memenjarakan hatinya. Ulah Qays ini, dianggap telah mencemarkan nama Layla dan keluarganya. Hati orang tua Layla hancur karena anak gadis yang menjadi permata seluruh kabilah, disebut-sebut oleh orang gila dan menjadi tertawaan masyarakat. Akhirnya mereka pindah ke lembah Nejd karena tidak tahan dipermalukan.

Layla yang sudah jauh dari Qays semakin tersiksa. Layla selalu mengenang Qays. Hasrat hatinya ingin bertemu dengan Qays. Rasa cinta di hati gadis itu semakin mendalam. Meskipun mereka berdua berjauhan, getar perasaan Layla terhubung juga pada Qays. Jika Layla semakin menderita, maka Qays lebih sengsara. Qays semakin menjadi-jadi. Ia semakin sering meninggalkan rumah dan hidup sendirian di padang pasir yang gersang atau hutan belantara yang berbahaya. Dia tidak lagi merawat tubuhnya, rambutnya dibiarkan panjang dan berjalan tanpa pakaian.

Bila kerinduannya pada Layla tidak tertahankan, maka dadanya menjadi sesak dan pikirannya menjadi kalut, seperti pada kutipan berikut:

“Layla! Layla!” suara itu terus bergema, diucapkan berulang kali bagai mantra-mantra. Air mata kesedihan dan keputusasaan mengalir deras di pipinya yang pucat, laksana tetesan embun jatuh ke bumi. Qays telah kehilangan semangat dan putus asa. Akal sehatnya sudah hilang, sirna pula kesadaran dirinya. Jika sudah demikian syair-syair yang indah keluar dari bibirnya yang kering (hlm. 21).

Qays bertekad untuk mengunjungi kekasihnya. Untuk itu, ia rela menyamar menjadi pengemis asalkan dapat mendekati rumah Layla. Ketika bertemu, Layla ingin menjerit karena terkejut dan bahagia, namun gejolak itu ditahannya karena takut ketahuan ayahnya. Ia sangat kasihan melihat Qays yang telah menelantarkan diri. Mereka hanya bisa saling menatap.

Sejak pertemuan itu, bayangan Layla tidak pernah lepas dari ingatannya. Ia menggubah sejumlah syair buat Layla. Melalui syair itu bayangan Layla hadir, seolah sedang berhadapan dan tanpa sadar Qays sering berbicara seorang diri. Qays tidak menghiraukan penilaian orang terhadap dirinya. Lama-kelamaan mereka lupa akan nama Qays, mereka hanya mengenal lelaki itu bernama Majnun, si gila.

Kelakuan Qays membuat Syed Omri bersedih. Ia berusaha mengobati kesedihan putranya dengan memberi nasehat dan menghiburnya. Ia berjanji akan meminangkan Layla untuknya. Namun, karena kekerasan hati ayah Layla, ia tidak mau menikahkan anaknya dengan Qays yang sudah dianggapnya gila dan telah mempermalukan keluarganya. Ini dapat kita lihat pada petikan berikut:

“Memang secara lahir anak tuan gagah dan tampan bagai rembulan, namun penyakit yang ia derita tidak mungkin dapat disembunyikan….wahai tuan, kami memahami bahwa kegilaan bukanlah dosa ataupun kejahatan, namun siapakah orang mau berkumpul bersama orang gila? Orang tua manakah yang merelakan anak gadisnya bersanding dengan pemuda gila? Sungguh menyerah pada musuh yang bengis lebih baik bagi kami daripada

bergabung dengan orang gila. Demi Allah saya tidak menginginkan orang- orang Arab berbicara, saya mengawinkan putriku dengan pemuda gila. Tuan pasti tahu bagaimana tajam dan berbisanya lidah orang Arab itu”.

Mendengar kata-kata ayah Layla, Syed Omri merasa ditampar dan dilempar kotoran ke wajahnya. Ia menjadi malu dan sakit hati (hlm. 34-35). Upaya untuk meminang Layla hanya membuahkan hasil yang menyakitkan hati. Syed Omri berusaha menghibur Majnun dengan meminangkan gadis-gadis sekabilahnya dan menasehati agar melupakan Layla. Namun, semua itu semakin menambah cinta Majnun kepada Layla. Cinta Layla tidak dapat digantikan oleh siapa pun.

Majnun merasa rumah itu sekarang bukan lagi tempat tinggalnya, orang-orang yang mengelilinginya bukanlah saudaranya lagi. Ia tidak betah tinggal di rumah itu. Majnun pergi ke padang belantara, tempat hidup segala binatang liar dan berbisa. Di sana ia menangis dan menumpahkan segala deritanya yang terbakar api cinta Layla. Mulutnya tak henti menyebut nama sang kekasih, seperti mantra yang dapat mengurangi rasa sakit.

Tubuh dan wajah Majnun yang dulu bak bulan purnama, kini terbalut debu. Semakin lama tubuhnya semakin kurus bagai ranting pohon. Binatang-binatang liar, bahkan semut pun enggan mendekat. Mungkin binatang itu melihat cahaya cinta dari jiwa Majnun, hingga mereka tak sampai hati menyakiti.

Kepergian Majnun membuat Syed Omri gelisah. Ia mengutus beberapa pemuda untuk mencari Majnun dan membawanya pulang. Siang malam mereka mencari hingga menemukan sosok tubuh yang kurus kering, dan wajah pucat

tergeletak di tanah. Hampir saja mereka tak lagi mengenali bahwa lelaki itu adalah Qays, sahabat mereka.

Syed Omri tidak tega melihat anaknya menderita. Ia berikhtiar dengan mengundang para tabib dengan berbagai cara dan bentuk pengobatan. Ia juga bersedekah kepada fakir miskin. Namun, semua usahanya sia-sia. Usaha yang terakhir yang dilakukan oleh Syed Omri adalah berdoa di Ka’bah. Syed Omri segera menunaikan ibadah haji dan berdoa kepada Allah untuk kesembuhan anaknya. Kemudian Syed Omri menyuruh Qays berdoa kepada Allah agar dia terlepas dari Layla dan cintanya.

Namun, Qays berdoa kepada Allah agar Layla dianugrahi untuknya dan dia berdoa agar hatinya jangan berpaling dari Layla. Ini dapat kita lihat pada kutipan berikut:

“Ya Allah anugrahkanlah Layla padaku, dekatkanlah ia padaku. Ya Tuhan sesungguhnya Engkau empunya anugrah dan ampunan”.

“…Ya Allah, jika Engkau anugrahkan Layla untukku, maka Engkau akan melihat seorang hamba bertaubat, yang tidak akan mampu dilakukan oleh hamba-Mu yang lain…Satu-satunya hajat hidup yang aku miliki adalah bertemu dengan Layla, tidak ada kebahagiaan selain itu” (hlm. 45).

Demi mendengar doa Majnun, putuslah harapan ayahnya. Tidak ada lagi upaya yang dapat dilakukannya untuk menyembuhkan Majnun. Hatinya semakin sedih, hidupnya terasa hampa, tiada lagi harapan yang tersisa. Cahaya yang dibayangkan kini berubah menjadi kegelapan.

Setelah pulang menunaikan haji, Majnun tidak betah lagi tinggal di rumahnya yang mewah. Hidupnya tidak tenang jika tidak berjumpa dengan Layla. Bagi Majnun

tidak ada suatu kebahagiaan, selain dapat berjumpa dengan Laila. Namun, untuk berjumpa dengan Layla tidaklah mudah. Gadis itu semakin dijauhkan dari kemungkinan bertemu dengannya. Keadaan itu membuat jiwa pecinta yang mabuk asmara itu semakin hancur binasa.

Majnun hidup sendiri di gurun sahara, berkawan dengan binatang buas dan selalu menyebut nama Layla. Tubuh Majnun semakin hari semakin lemah. Salah satu yang membuatnya bersemangat hanyalah jika ada orang yang membawa kabar tentang Layla.

Naufal, salah seorang bangsawan Arab dan kepala kabilah Arab sangat prihatin malihat keadaan Majnun. Ia berjanji akan membantu Majnun untuk mendapatkan Layla. Ia mengerahkan pasukannya untuk melawan pasukan ayah Layla. Ketika kemenangan sudah berada di pihaknya, tiba-tiba ayah Layla mengatakan bahwa ia tidak akan menyerahkan anaknya kepada orang gila. Dia tidak mau menikahkan dengan kehinaan dan aib. Mendengar pengakuan orang tua malang itu Naufal menjadi terharu. Ia tidak sanggup membunuh musuh yang tidak berdaya. Naufal melihat cinta dalam bentuk lain yaitu cinta seorang ayah kepada anaknya.

Saat Majnun mendengar keputusan Naufal, ia sangat kecewa. Ia kembali masuk ke dalam hutan berteman dengan binatang-binatang buas. Lebih baik berteman dengan binatang yang tidak pernah menyakitinya daripada berteman dengan manusia yang hanya menambah kesediahan dan keputusasaan. Sejak berperang dengan kabilah Naufal, kabilah Qhatibiah selalu memandang Layla dengan marah, ia

dianggap sebagai penyebab peperangan. Layla semakin terkucil dan putus asa. Harapan untuk bahagia putus sudah, hatinya hancur binasa.

Ayah Layla tidak ingin membiarkan keluarganya selalu dihina dan Layla diterpa kesedihan tiada henti. Dia dikawinkan ayahnya dengan Ibnu Salam. Layla tidak bisa menolak perkawinan itu. Namun, dalam hatinya ia berjanji hanya Majnun yang dapat memiliki hati dan cintanya. Ini dapat kita lihat pada kutipan berikut,

Layla seperti pohon dengan daun-daunnya yang layu, jatuh dalam pelukan debu. Ia tidak bisa merasakan kegembiraan yang ada di depannya, bahkan untuk berpura-pura pun tiada lagi kesanggupan. Layla teringat nasib kekasihnya, Majnun. Ya, hanya Majnun seorang yang ada dalam hatinya. Tak ada lagi setitik ruang tersisa untuk orang lain. Hatinya telah terkunci rapat, dan Majnunlah yang memegang anak kuncinya.

Gadis itupun berjanji, hanya Majnun yang dapat memiliki hati dan cintanya. Sekuat tenaga akan ia jaga tubuh dan hatinya. Ia tidak ingin dunia menuduhnya sebagai pengkhianat. Tidak, ia tidak akan mengkhianati cinta, tidak ingin mengabaikan pengorbanan Qays (hlm. 109).

Ketika Majnun mendengar kabar pernikahan Layla, jiwanya seperti kapas tertiup angin. Majnun menjadi semakin liar. Majnun terus berteriak memanggil Layla, meratapi takdir yang telah memisahkan mereka.

Syed Omri larut dalam duka sejak anaknya pergi. Setiap hari ia meratapi nasib Majnun yang malang. Ia merasa ajalnya sudah dekat dan ingin melihat Majnun untuk yang terakhir kali. Akhirnya, ia mendengar kabar dari seorang pengelana tentang keberadaan Majnun. Ia berusaha menemukan Majnun, walaupun tempat itu sangat terjal dan berbahaya. Setelah memberi restu dan berkah di kepala putranya, sambil merintih Syed Omri meninggalkan gua seram itu. Tidak berapa lama setelah pertemuan itu, Majnun pun mendapat kabar bahwa ayahnya sudah meninggal.

Mendengar kabar itu, Majnun berteriak sembari memukuli wajah dan mencabuti rambutnya.

Majnun mendengar kabar dari Ishaq, seorang pengelana tua yang merasa simpati terhadap kisah cinta Layla dan Majnun. Lelaki itu mengatakan bahwa Layla tetap akan mencintai Majnun, walaupun ia telah menikah. Layla tidak akan mengkhianati cinta kasih Majnun. Ia tetap menjaga tubuh dan hatinya. Hati dan cintanya hanya untuk Majnun. Mendengar hal itu Majnun menjadi bersemangat kembali.

Setelah membaca surat Majnun, Layla diliputi kegelisahan. Lalu dia pergi menemui pertapa dan meminta bantuan untuk mempertemukan dirinya dengan Majnun. Layla memberikan anting-antingnya kepada pertapa itu untuk diberikan kepada Majnun. Demi melihat anting-anting itu, yakinlah Majnun bahwa Layla ingin bertemu dengan dirinya. Pada waktu yang telah ditentukan maka Majnun pun bisa bertemu dengan Layla.

Majnun tidak sanggup bertemu dengan Layla. Berkali-kali ia pingsan, seakan ia tidak percaya bahwa ia bertemu dengan Layla. Majnun segera mengungkapkan isi hatinya dengan bersyair. Ini dapat kita lihat pada kutipan berikut:

Apakah yang sedang mengalir dalam jiwaku ini? Siapakah yang sedang memandangku?

Apakah ia kecantikan bunga mawar?

Walau bunga mawar itu telah dicabut dari taman hatiku Untuk menjadi penghias taman yang lain

Namun tidak mungkin menjadi layu

Setelah pertemuan itu, Layla semakin menanggung kesengsaraan. Ia melewati hari-harinya dengan air mata penderitaan karena rindu. Sebenarnya Ibnu Salam, suami Layla juga menderita. Lelaki yang baik hati itu pun telah salah memetik bunga. Ibnu Salam bangga bisa menyunting Layla, tetapi pernikahannya adalah jalan menuju kematian. Hatinya sakit sejak malam pertama. Tetapi Layla tidak bisa disalahkan,

Dokumen terkait