• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERILAKU TOKOH YANG ‘HASANAH’ DALAM NOVEL “AYAT-AYA T CINTA” KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY DAN IMPLIKASINYA DENGAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERILAKU TOKOH YANG ‘HASANAH’ DALAM NOVEL “AYAT-AYA T CINTA” KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY DAN IMPLIKASINYA DENGAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PERILAKU TOKOH YANG ‘HASANAH’ DALAM NOVEL “AYAT-AYAT CINTA” KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY DAN

IMPLIKASINYA DENGAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN SASTRA

DI SMA

Oleh PAINGAN

Permasalah dalam penelitian ini adalah bagaimana perilaku, struktur kepribadian, dinamika perkembangan kepribadian, dan perilaku tokoh yang ‘hasanah’ dalam novel ‘Ayat-Ayat Cinta’ karya Habiburrahman EL Shirazy dan implikasinya dengan pendidikan karakter dalam pembelajaran sastra di SMA. Penelitian ini ber- tujuan mendeskripsikan perilaku, struktur kepribadian, dinamika perkembangan kepribadian, dan perilaku tokoh yang hasanah (baik) dalam novel ‘Ayat-Ayat Cinta’ karya Habiburrahman EL Shirazy dan implikasinya dengan pendidikan karakter dalam pembelajaran sastra di SMA.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik studi teks, menafsirkan teks dan studi pustaka. Sumber data penelitian ini adalah Novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Hasil penelitian menunjukkan tokoh Fahri berperilaku jujur, istiqamah, amanah, iman dan taqwa, berhati lembut, setia kawan, tekun, dan ulet, sabar, tawakal, taat (rajin, disiplin, dan konsekuen), qanaah, dan tawadhu. Tokoh Aisha berperilaku jujur, iman dan takwa, rendah diri dalam berdoa, tawadhu, amanah, tahajud, serta syukur. Tokoh Maria berperilaku jujur, ikhlas (berhati malaikat), rela hati, rela berkorban, dan malu. Tokoh Nurul Azkiya berperilaku jujur, dan amanah (dapat dipercaya). Tokoh Noura berperilaku iman dan takwa, kejujuran, tanggung jawab atas kesalahannya. Berdasarkan hasil analisis perilaku tokoh utama dan tokoh pembantu dalam novel Ayat-Ayat Cinta, perilaku tokoh yang hasanah implikasinya dengan pendidikan karakter dalam pembelajaran sastra di SMA. Hal tersebut tercermin pada nilai jujur, religius, displin, toleransi, tanggung jawab, peduli sosial. Perilaku tersebut dapat dijadikan teladan untuk para siswa dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari karena berkaitan dengan permasalahan hidup yang dialami oleh setiap manusia.

(2)

ABSTRACT

BEHAVIOR CHARACTERS ‘HASANAH’ IN THE NOVEL "AYAT-AYAT CINTA" WRITTEN BY HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY AND ITS

IMPLICATION TO CHARACTER EDUCATION IN LEARNING LITERATURE IN A SENIOR HIGH SCHOOL

By: PAINGAN

The problem in this study was how the behavior, personality structure, dynamics of personality development, and behavior of the main character that hasanah (trustworthy) in the novel "Ayat-Ayat Cinta" written by Habiburrahman El Shirazy and its relevance to character education in learning literature in a high school. This study aimed to describe the behavior, personality structure, dynamics of personality development, and behavior of the main character that hasanah (kind) in the novel "Ayat-Ayat Cinta" written by Habiburrahman El Shirazy and its relevance to character education in learning literature in a high school.

This study used a qualitative descriptive method with study texts technique, interpreting texts and literature. The data source of this study was Ayat-Ayat Cinta Novel written by Habiburrahman El Shirazy. The results showed that Fahri figure behaves honestly, istiqomah, trust, faith and godly, soft-hearted, loyal, diligent, tenacious, patient, resignation, obedient (diligent, disciplined and consistent), qanaah, and tawadhu. Aisha character behaves honesty, faith and godly, low self-esteem in prayer, tawadhu, trustworthy, tahajud, and gratitude. Maria character behaves with honesty, sincerity (to be angels), a willing heart, willing to sacrifice, and timid. Nurul Azkiya figure behaves honest and trustworthy (reliable). Noura figure behaves faith and godly, honesty, responsibility for her mistakes. Based on the analysis results of the behavior of main character in the novel Ayat-Ayat Cinta, there was a relevance of behavior figures that hasanah to character education in learning literature in a high school. It was reflected in the value of honesty, religious, discipline, tolerance, responsibility, and social care. Such of behavior can be as exemplary for the students and be carried in daily life as it relates to the problems of life experienced by every human being.

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

(8)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan tesis ini kepada kakak, adik, istri, anak-anakku (Roro Ajeng Kurnia Dinanti, Muhammad Aqil Alwannul Hanif, dan Muhammad Nur

(9)

MOTO

(10)

SANWACANA

Puji syukur kepada Allah SWT. karena karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Perilaku Tokoh yang ‘Hasanah’ dalam Novel “Ayat-Ayat Cinta” Karya Habiburrahman El Shirazy dan Implikasinya

dengan Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Sastra Di SMA”

Tesis ini merupakan salah satu syarat menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Lampung. Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini, antara lain

1. Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku rektor Universitas Lampung; 2. Prof. Dr. Sudjarwo, M. S., selaku Direktur Pascasarjana Univeritas Lampung; 3. Dr. Bujang Rahman, M. Si., selaku Dekan FKIP Universitas Lampung;

4. Dr. Muhammad Fuad, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Lampung, dan sebagai pembimbing kedua;

5. Dr. Nurlaksana Eko Rusminto, M. Pd., selaku Ketua Program Pascasarjana Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Lampung; 6. Dr. Edi Suyanto, M. Pd., selaku Sekretaris Program Pascasarjana Magister

(11)

7. Dr. Karomani, M.Si. selaku penguji utama; 8. Dr. Munris, M. Pd. selaku penguji kedua;

9. Dr. Siti Samhati, M.Pd. selaku dosen pembimbing akademik;

10.Seluruh Bapak dan Ibu dosen pengajar Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Univeritas Lampung;

11.Istri dan anak-anakku tercinta;

12.Bapak Kepala SMP Negeri 2 Pagelaran, dan seluruh dewan guru yang selalu memberikan motivasi;

13.Bapak Kepala SMA/SMK PGRI Pringsewu dan seluruh dewan guru yang selalu memberikan motivasi;

14.Sahabatku Subagyo, Joko Santoso, Andika Patria, Rudi Isbowo, Juli Andreyanto, Ibnu Hajar, Rohmatussolehah, Wira Apri Pratiwi, Shely Nasya Putri, Atik Kartika, Ari Rohmawati, Maria, Zakiyah R., Ayu Setyo Rini, Dewi Puji Astuti dan teman-teman MPBSI angkatan 2012.

Semoga segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis akan mendapat balasan dari Allah Swt. Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bandarlampung, Agustus 2014 Penulis,

(12)

DAFTAR ISI

halaman

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

PENGESAHAN ... iii

SURAT PERNYATAAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

PERSEMBAHAN ... vi

MOTTO ... vii

SANWACANA ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

DAFTAR SINGKATAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1. 1 Latar Belakang Masalah ... 1

1. 2 Rumusan Masalah ... 7

1. 3 Tujuan Penelitian ... 8

1. 4 Manfaat Penelitian ... 8

1. 5 Definisi Operasional ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 11

2.1 Pengertian Tokoh Utama ... 11

2.1.1 Jenis Tokoh ... 12

2.1.2 Penokohan ... 13

2.2 Nilai Sastra Bagi Pembaca Anak-Anak ... 14

2.3 Kajian Psikologi Sastra ... 18

2.4 Pengertian Psikoanalisis ... 19

2. 4. 1 Teori S. Freud Mengenai Kepribadian ... 19

2. 4. 2 Perkembangan Kepribadian ... 26

2. 4. 3 Mekanisme Pertahanan dan Konflik ... 27

2. 4. 4 Klasifikasi Emosi ... 30

2. 4. 5 Teori Empati Titchener ... 33

2. 4. 6 Empati Perspektif Psikoanalisis ... 34

2. 4. 7 Empati Perspektif Behaviorisme ... 35

2. 4. 8 Remaja dan Perkembangannya ... 37

2. 4. 9 Perilaku dan Karakter Manusia di Masyarakat ... 38

2. 4. 10 Teori Seksualitas ... 42

2. 5 Pendidikan Karakter ... 44

(13)

2. 5. 2 Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter ... 46

2. 5. 3 Nilai-Nilai Pembentukan Karakter ... 47

2. 5. 4 Perlunya Pendidikan Karakter ... 48

2. 6 Kajian Sastra ... 48

2. 6. 1 Sastra dan Psikologi ... 49

2. 6. 2 Sastra sebagai Cerminan Kepribadian ... 51

2. 6. 3 Cermin Perilaku Baik atau Terpuji (Hasanah) ... 53

2. 6. 4 Hasrat dan Karya Sastra ... 55

2. 6. 5 Metode Telaah Perwatakan ... 55

2. 7 Pembelajaran Sastra di SMA ... 57

2. 7. 1 Apresiasi Sastra ... 58

2. 7. 2 Manfaat Membaca Novel ... 61

2. 7. 3 Tujuan Pembelajaran Sastra di SMA ... 62

2. 7. 4 Langkah-Langkah Pembelajaran Sastra di SMA ... 63

2. 8 Prosedur Pembelajaran Sastra di SMA ... 65

2. 9 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ... 66

BAB III METODE PENELITIAN ... 72

3. 1 Metode Kualitatif ... 72

3. 2 Sumber Data ... 73

3. 3 Teknik Pengumpulan Data ... 73

3. 4 Teknik Analisis Data ... 74

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 76

4. 1 Hasil Analisis Perilaku Tokoh yang ‘Hasanah’ dalam Novel Ayat-Ayat Cinta ... 76

4. 1. 1 Tokoh Utama (Fahri) ... 76

4. 1. 2 Tokoh Pembantu dalam Novel Ayat-Ayat Cinta ... 105

4. 1. 2. 1 TokohAisha ... 105

4. 1. 2. 2 Tokoh Maria ... 122

4. 1. 2. 3 Tokoh Nurul Azkiya ... 130

4. 1. 2. 4 Tokoh Noura ... 134

4. 2 Kepribadian Tokoh yang ‘Hasanah’ Berdasarkan Psikoanalisis 137

4. 2. 1 Struktur Kepribadian ... 137

4. 2. 2 Dinamika Perkembangan Kepribadian ... 139

4. 2. 3 Perkembangan Kepribadian ... 153

4. 3 Perilaku Tokoh yang ‘Hasanah’ dalam Novel Ayat-Ayat Cinta Implikasinya dengan Pendidikan Karakter pada Pembelajaran Sastra Di SMA ... ... 198

4. 3. 1 Perilaku Tokoh Utama yang “Hasanah” dalam Novel Ayat-Ayat Cinta ... 198 4. 3. 2 Perilaku Tokoh Pembantu yang “Hasanah” dalam Novel Ayat-Ayat Cinta ... 205

4. 3. 3 Implikasi Perilaku Tokoh yang ‘Hasanah’ dengan Pembelajaran Sastra di SMA... 212

4.4 Hasil Analisis Perilaku Tokoh Kaitannya dengan Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran sastra di SMA ... 214

(14)

4. 4. 2 Aspek Perasaan Moral ... 227

4. 4. 3 Aspek Tindakan Moral ... 230

4. 5 Pembahasan Hasil Penelitian ... 235

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 241

5. 1 Kesimpulan ... 241

5. 2 Saran ... 245

(15)

DAFTAR TABEL PADA LAMPIRAN

Tabel 3.1 Pedoman Analisis Penggambaran Perilaku Tokoh Utama dalam Novel AAC

Tabel 3.2 Pedoman Analisis Perilaku Tokoh Utama Dalam Novel AAC Relevansinya dengan Pendidikan Karakter

Tabel 3.3 Pemetaan KI dan KD

Tabel 1.1 Watak Tokoh dalam Novel AAC

Tabel 1.2 Perilaku Tokoh Utama dalam Novel AAC

Tabel 1.3 Data Kepribadian Tokoh Utama dalam Novel “AAC” Tabel 1.4 Psikoanalisis Perilaku Tokoh Utama dalam Novel “AAC” Tabel 1.5 Perilaku ‘Hasanah’ dalam Novel “AAC” Kaitannya dengan Pendidikan Karakter

(16)

DAFTAR SINGKATAN

1. Daftar Singkatan Nama Tokoh dalam Novel Ayat-Ayat Cinta

A : Aisha

AAC : Ayat-Ayat Cinta

Amr : Amru

Iq. H.E : Iqbal Hakan Erbakan (Paman Aisha)

F : Fahri

M : Maria

NA : Nurul Azkiya

Nr : Noura

2. Daftar Singkatan Watak Tokoh (Berkarakter)

F. Dspln. : Fahri berkarakter disiplin

M. Bht. : Maria berwatak Baik Hati

A. Bht. : Aisha berwatak Baik Hati

A . Bk S. : Aisha Berbakti pada Suami

A Ikls Pc. pd. S. : Aisha berwatak Ikhlas Percaya pada Suami A. Sbr.& Ikls. : Aisha wataknya Sabar dan Ikhlas

NA. P & Ikls. : Nurul Azkiya berwatak Penolong dan Ikhlas NA. Jjr. : Nurul Azkiya berwatak Jujur

NA. Pml. : Nurul Azkiya berwatak Pemalu

Nr. P & P. : Noura berwatak Pembohong dan Pemfitnah

(17)

3. Daftar Singkatan Perilaku Tokoh dalam Novel AAC

F.Pr. Jjr. : Fahri Perilaku Jujur F.Pr. Istqmh. : Fahri Perilaku Istiqamah F.Pr. Amnh. : Fahri Perilaku Amanah F.Prlk. Ht.Lmbt. : Fahri Perilaku Berhati Lembut F.Pr. S.Kwn. : Fahri Perilaku Setia Kawan F.Pr.Sbr. : Fahri Perilaku Sabar F.Pr.Rjn.Ibd. : Fahri Perilaku Rajin Ibadah F.Pr.Twkl. : Fahri Perilaku Tawakal

F.Pr. Rjn. Dspln. : Fahri Perilaku Rajin dan Disiplin F. Pr.Tt. Ibd. : Fahri Perilaku Taat Ibadah F. Pr. Ibd.Snnh Rsl. : Fahri Ibadah Sunnah Rasul/Nabi F. Pr.S. Stn. : Fahri Perilaku Sopan Santun

F. Pr. Hrmt. OL. : Fahri Perilaku Hormat pada Orang Lain F. Pr. Sykr. : Fahri Perilaku Syukur

F. Pr. Doa. : Fahri Perilaku selalu Berdoa A. Pr. Jjr. : Aisha Perilaku Jujur

(18)

M. Pr. Rl.H : Maria Perilaku Rela Hari M. Pr. Sk.Bnt. : Maria Perilaku Suka Membantu M. Pr. Ml. : Maria Perilaku Malu

NA. Pr. Jjr Nurul Azkiya Perilaku Jujur

NA.Pr. Jjr. & Amnh. : Nurul Azkiya Perilaku Jujur dan Amanah Nr. Pr. I & T. : Noura Perilaku Iman dan Takwa

Nr.Pr. Jjr. : Noura Perilaku Jujur

Nr. Pr.Ddm. : Noura Perilaku Pendendam Nr. Pr.Mnfk. : Noura Perilku Munafik

4. Daftar Singkatan Perilaku Berdasarkan Psikoanalisis

F. Cms. dan F. Pr. Ibd. : Fahri Perilaku cemas disarankan dan Perilaku Ibadah

F. Pr. Cms & Tkt. : Fahri Perilaku Cemas dan Takut F. Pr. T. Jnj. : Fahri Perilaku Taat dengan Janji M. Pr. Cms & Tkt. : Maria Perilaku Cemas dan Takut M. Pr. Penyel. : Maria Perilaku Penyesalan M.Pr. Pdl. Sos. : Maria Perilaku Peduli Sosial M.Pr. Hkm. dr. : Maria Perilaku Hukum Diri NA. Pr. Pnyl. : Nurul Azkiya Perilaku Penyesalan NA. Pr. Cms. : Nurul Prilaku Cemas

A. Pr. Kmn dg Jnj. : Aisha Perilaku Komitmen dengan Janji A. Pr. Cms. : Aisha Perilaku Cemas

Nr. Pr. Bhng. : Noura Perilaku Pembohong

(19)

5. Daftar Singkatan Perilaku Tokoh yang “Hasanah” dalam Novel AAC F. Pr. Dspln. : Fahri Berperilaku displin

F. Pr. S.K( Pdl.Sos) : Fahri Berperilaku Setia kawan ( Peduli Sosial) F. Pr. Jjr. : Fahri Berperilaku Jujur

F. Pr. Ped. Sos & Tlrns. : Fahri Berperilaku Peduli sosial dan Toleransi F. Pr. Tlrn. : Fahri berperilaku Toleransi

F. Pr. Rlg. : Fahri berperilaku sangat religius F. Pr.. Tnggjwb. : Fahri berperilaku Tanggung Jawab

6. Daftar Singkatan Nilai-Nilai Pendidikan Karakter 1. Nl. Kjjr. : Nilai Kejujuran 2. Nl. Tlrns. : Nilai Toleransi 3. Nl. Dspln. : Nilai Kedisplinan 4. Nl. Pdl. Sos. : Nilai Peduli Sosial 5. Nl. Tnggjwb. : Nilai Tanggung Jawab

(20)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan individu yang berbeda dengan individu lainnya. Manusia

mempunyai watak, temperamen, pengalaman, pandangan, perasaan yang berbeda

dengan makhluk lainnya. Manusia tidak terlepas dari manusia lain. Pertemuan

antara manusia yang satu dengan manusia yang lain dapat menimbulkan konflik,

baik konflik antara individu, kelompok maupun anggota kelompok serta antara

anggota kelompok yang satu dan anggota kelompok lain. Karena sangat

kompleksnya, manusia juga sering mengalami konflik dalam dirinya atau konflik

batin sebagai reaksi terhadap situasi sosial dilingkungannya. Manusia dalam

menghadapi persoalan hidupnya tidak terlepas dari jiwa manusia itu sendiri. Jiwa

manusia meliputi pemikiran, pengetahuan, tanggapan, khalayak dan jiwa itu

sendiri.

Pemuda sebagai generasi yang masih labil dan galau, mereka kadang kebingungan

untuk mengetahui siapa dirinya.. Mereka pun banyak yang bingung ketika

mencari dirinya sendiri. Jalan termudah menurut mereka adalah mencari jati diri

(21)

Perilaku para pemuda di sini yang salah dalam memilih kelompok akan muncul

konflik pribadi atau bisa juga konflik antarkelompok mereka. Misalnya, mereka

salah dalam memilih kelompok akan terjadi masuk kelompok yang suka merokok,

pecandu narkoba, kelompok geng motor, mula-mula hanya iseng, lama-kelamaan

akan menjadi ketagihan. Mereka bisa menjadi-jadi tingkah lakunya, sok jagoan,

sok percaya diri dan akhirnya dapat melakukan tindakan yang menjurus ke

kriminalitas.

Fenomena nyata yang terjadi beberapa tindakan kriminal yang dapat penulis

sajikan bersumber dari media cetak Lampung Post, antara lain.

1.Tindakan kriminalitas yang dilakukan para pemuda yaitu tindakan penjambretan

oleh 2 pemuda yang terjadi di jalan Pulau Sebesi. Peristiwa ini dilakukan pada

pukul 20 WIB. Korban bernama Intan Andriani (25) warga jalan Pulau Sebesi,

Sukarame Bandar Lampung (Senin, 6 Mei 2013).

2. Tindakan asusila kasus pemerkosaan dan perdagangan manusia (human

trafficking) yang menimpa 2 siswa SMP di Lampung Utara (Sabtu, 4 Mei 2013).

3. Tindakan pada kasus pencurian kendaraan bermotor terhadap 4 tersangka

berhasil ditangkap. Wakapolres Tanggamus Kompol Syaiful Wahyudi

menjelaskan, “Tempat Kejadian Perkara (TKP) kasus tersebut hampir merata di

seluruh wilayah Kabupaten Tanggamus dan Kabupaten Pringsewu.” Tersangka

yang buron yaitu bernama Medi (20), Suhemi (18), Ediyansyah (17) dan Wan

(17). Semua pemuda pelaku kejahatan tersebut adalah warga pekon Sanggi

(22)

4. Polresta Bandar Lampung membekuk 42 tersangka dari 32 kasus narkotika

selama operasi antinarkotika (Antik) Krakatau. Mereka yang ditangkap ada yang

menjadi pengedar, kurir, dan pengguna. Para tersangka ada yang masih duduk di

bangku sekolah, mahasiswa, karyawan dan buruh (Jumat, 3 Mei 2013).

Fenomena lain yang lebih ironis adalah perilaku-perilaku yang semestinya dialami

oleh para pelajar yang baru saja merayakan hari raya Idul Fitri. Peristiwa tawuran

antarpelajar SMK yang terjadi di Jakarta juga mendapat perhatian berbagai

kalangan. Oleh karena itu, fenomena-fenomena tersebut di atas, perlu mendapat

perhatian yang serius. Derasnya pengaruh budaya asing yang terus-menerus tanpa

ada hentinya hingga saat ini, kita harus tetap menancapkan fondasi yang kuat pada

para remaja agar tidak terseret arus kuat budaya asing. Kita masih punya budaya

yaitu budaya ketimuran (Indonesia) yang sampai saat ini pun masih ada. Banyak

orang bilang budaya kita telah luntur, berubah dan lebih ekstrim lagi telah

berganti budayanya.

Perilaku-perilaku yang selama ini disinyalir telah melampaui batas-batas nilai

luhur budaya bangsa Indonesia, maka perlu dan sangat penting untuk dicari

alternatif solusi yang dapat mengembalikan lunturnya nilai-nilai luhur tersebut.

Kita semua merasa prihatin melihat, mendengar menyaksikan tayangan di media

massa yang setiap hari disuguhi penyimpangan perilaku yang tidak bermoral dan

berperikemanusiaan. Berbagai pengkajian, penelitian dan penyadaran mengenai

hal tersebut semakin menjadi fokus perhatian oleh banyak pihak. Penelitian di

bidang sastra telah dilakukan seperti “Karya Sastra dan Pembaca” oleh Dr.

(23)

pada sisi pembaca terhadap novel “Ayat-Ayat Cinta” mengenai ketertarikannya.

Namun, dalam penelitian ini penulis mengambil sudut pandang yang berbeda

yaitu meneliti perilaku tokoh utama yang terdapat dalan novel ‘Ayat-ayat Cinta’.

Penulis memandang bahwa novel “Ayat-Ayat Cinta” karya Habiburrahman El

Shirazy sangat menarik dan cocok untuk dijadikan alternatif mengatasi persoalan

krisis multidemensi di negara kita ini. Paling tidak kita membantu para generasi

penerus bangsa ini agar tidak terjerumus ke dalam dunia gelap yang akan

merugikan masa depan siswa kita.

Novel dihasilkan oleh pengarang dari perenungan, penghayatan, dari kenyataan

yang diamati, didengar, bahkan dialami oleh pengarangnya sendiri. Hasil karya

pengarang tak terlepas dari tujuan pengarang dalam bentuk mengkritisi persoalan

yang muncul saat itu dan terjadi dalam kehidupan pribadi, maupun dalam

masyarakat yang berada di sekeliling pengarang.

Dalam karya sastra juga bisa mengangkat persoalan berupa peristiwa sosial, yakni

perilaku manusia yang dibidik oleh pengarang yang dapat disuguhkan pada

pembaca. Dengan kata lain, bahwa karya sastra tidak bisa dilepaskan dari potret

perilaku manusia tersebut. Gambaran perilaku manusia baik yang keras maupun

yang lembut atau sikap, sifat manusia yang berperilaku jelek dan berperilaku baik.

Penampakkan gambaran perilaku kurang terpuji (jelek) dan perilaku baik

(hasanah/terpuji/teladan) dapat nampak dalam isi karya sastra.

Penulis sangat tertarik pada novel “Ayat-Ayat Cinta” karya Habiburrahman El

(24)

karena itu, penulis mencoba akan mengadakan penelitian tentang persoalan

perilaku tokoh yang “Hasanah” (yang baik), yang dapat diteladani pada novel

“Ayat-Ayat Cinta” karya Habiburrahman El Shirazy dengan pendekatan psikologi

(tentang perilaku tokoh), sebagai landasan keyakinan berbuat kebaikan yang telah

dianjurkan dalam syari’at agama. Pengkajian psikologi terhadap perilaku manusia

melalui psikoanalisis oleh Sigmund Freud. Kemudian persoalan yang terdapat

dalam karya sastra dapat dikaji secara psikologis. Penelitian ini mengkaji perilaku

yang terpuji pada tokoh utama dan tokoh pembantu dalam novel “Ayat-Ayat

Cinta” karya Habiburrahman El Shirazy, dengan pendekatan psikologi.

Penelitian ini berupaya menghidupkan kembali pembangunan karakter dan jati

diri bangsa untuk mengatasi masalah di atas. Pemerintah dalam hal ini sangat

berperan dalam hal menyoroti perkembangan fenomena para remaja Indonesia

khusunya para siswa. Perhatian pemerintah melalui bidang pendidikan telah

menetapakan Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3.

Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi

mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang

bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung

jawab.”

Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA merupakan sarana untuk

(25)

materi yang telah ditetapkan kurikulum 2013 pembelajaran apresiasi membaca

novel populer atau terjemahan yang optimal, maka siswa secara langsung akan

mendapatkan inspirasi yang mampu memberikan nilai positif terhadap

perkembangan kepribadian dan karakter mereka.

Dengan demikian, hati dan perasaan siswa akan terlibat secara intensif dan

emosional ke dalam teks cerita yang mereka pelajari sehingga kepekaan nurani

siswa menjadi lebih tersentuh dan terarah. Dengan cara demikian, siswa secara

langsung atau tidak langsung akan belajar mengenal, memahami, dan menghayati

berbagai macam nilai kehidupan untuk selanjutnya mereka aplikasikan dalam

ranah kehidupan nyata sehari-hari melalui pembelajaran sastra tentang novel

“Ayat-Ayat Cinta” karya Habiburrahman El Shirazy guna membangun jiwa pada

kalangan siswa SMA.

Ada beberapa alasan penulis meneliti novel ini.

1. Novel “Ayat-Ayat Cinta” karya Habiburrahman El Shirazy merupakan novel

‘best seller” yang fenomenal dan mendapat perhatian banyak kalangan.

2. Berbagai persoalan tentang perilaku-perilaku pelecehan seksual, amoral,

kriminalitas, dan tindakan-tindakan yang tidak mencerminkan karakter budaya

bangsa, perlu kita perhatikan, karena hal ini sangat penting untuk menyiapkan

generasi mendatang memiliki karakter yang kuat.

3. Sigmund Freud mengemukakan dalam teori kepribadian, bahwa kepribadian

manusia tidak hanya terdiri atas alam sadar, tetapi juga alam bawah sadar.

Selanjutnya, Sigmund Freud menjelaskan bahwa pikiran manusia lebih

dipengaruhi oleh alam bawah sadar daripada alam sadar. Oleh sebab itu, alam

(26)

sastra merupakan pengejawantahan dari hasil kerja alam bawah sadar yang

perlu mendapat perhatian dan diresapi (Suyanto, 2012 : 5). Bertolak dari hal

tersebut maka melalui penelitian perilaku tokoh yang penulis sajikan dapat

mengetahui dan memahami perilaku manusia yang baik yang dapat dijadikan

teladan.

4. Kajian tentang kepribadian dan perilaku manusia yang baik maupun yang

kurang baik digambarkan dalam karya sastra, salah satunya adalah perilaku

tokoh dalam cerpen Indonesia ( Kajian sosio-psikosastra terhadap cerpen Agus

Noor & Ariadinata oleh Edi Suyanto, 2012 : 6). Dalam kajian tersebut

ditekankan pada perilaku destruktif dan agresif. Namun, untuk penelitian

perilaku tokoh dalam novel "Ayat-Ayat Cinta” belum pernah. Oleh karena

itu, penelitian ini sangat penting untuk dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah dalam penenlitian ini adalah

“Bagaimanakah perilaku tokoh yang ‘hasanah’ dalam novel “Ayat-Ayat Cinta”

karya Habiburrahman El Shirazy implikasinya dengan pendidikan karakter dalam

pembelajaran sastra di SMA?”

Untuk memfokuskan dalam penelitian ini, maka penulis dapat membagi dalam

identifikasi permasalahan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah perilaku tokoh utama dan tokoh pembantu yang ‘hasanah’

dalam novel “Ayat-Ayat Cinta” karya Habiburrahman El Shirazy?

(27)

tokoh utama dan tokoh pembantu dalam novel “Ayat-Ayat Cinta” karya

Habiburrahman El Shirazy?

3. Bagaimanakah perilaku tokoh utama dan pembantu yang ‘hasanah’ dalam

novel “Ayat-Ayat Cinta” karya Habiburrahman El Shirazy implikasinya

dengan pendidikan karakter dalam pembelajaran sastra di SMA?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini antara lain.

1. Mendeskripsikan perilaku tokoh utama dan tokoh pembantu yang ‘Hasanah’ dalam

novel “Ayat-Ayat Cinta” karya Habiburrahman El Shirazy.

2. Mendeskripsikan struktur kepribadian, dinamika perkembangan kepribadian

tokoh utama dan pembantu tokoh dalam novel “Ayat-Ayat Cinta” karya

Habiburrahman El Shirazy.

3. Mendeskripsikan perilaku tokoh utama dan tokoh pembantu yang ‘Hasanah’

dalam novel “Ayat-Ayat Cinta” karya Habiburrahman El Shirazy implikasi-

nya dengan pendidikan karakter dalam pembelajaran sastra di SMA.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis dan praktis.

1.4.1 Manfaat Teoretis

a. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan tentang apresiasi sastra

khususnya pada kajian perilaku tokoh.

b. Untuk memberikan informasi sekaligus menjadi acuan bagi penelitian-

penelitian sejenis yang lebih mendalam.

(28)

1.4.2 Manfaat Praktis

a. Bagi guru, dapat membantu dalam proses belajar mengajar dengan

materi pembelajaran sastra dengan menerapkan nilai-nilai pendidikan

karakter yang dapat diteladani. b. Bagi siswa, dapat meneladani

perilaku-perilaku tokoh utama dan tokoh pembantu yang baik dalam novel

“Ayat-Ayat Cinta “ yang dipelajari.

1.5 Definisi Operasional

Agar tidak menimbulkan tafsiran yang bermacam-macam, konsep-konsep yang

terdapat dalam judul penelitian ini akan penulis jelaskan definisinya sebagai

berikut.

1.5.1 Tokoh Utama dan Tokoh Pembantu

Tokoh utama yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah tokoh utama yang

terdapat dalam novel “Ayat-Ayat Cinta” karya Habiburrahman El Shirazy adalah

Fahri (Aku). Tokoh pembantu yang keterkaitannya dekat adalah Aisha, Maria,

Nurul Azkiya, dan Noura.

1.5.2 Perilaku Tokoh yang Hasanah

Perilaku tokoh yang ‘hasanah’ dimaksudkan dalam penelitian ini adalah segala

tingkah laku (perkataan, perasaan, perbuatan) yang ‘baik/terpuji/teladan’ yang

tergambar dalam novel “Ayat-Ayat Cinta” karya Habiburrahman El Shirazy.

1.5.3 Novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari buku novel Ayat-Ayat Cinta karya

(29)

perilaku tokoh utama yaitu Fahri dan tokoh pembantu yang lain yaitu Aisha,

Maria, Nurul Azkiya, dan Noura.

1.5.4 Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Sastra di SMA

Pendidikan karakter yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai-nilai

pendidikan karakter yang dapat diajarkan kepada peserta didik/siswa, yang

terdapat dalam perilaku tokoh yang dapat dijadikan teladan dalam novel

(30)

II. KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Tokoh Utama

Berbicara tentang tokoh dalam sebuah fiksi, kita harus memahami sampai pada

hubungan antara tokoh fiksi itu dengan elemen-elemen cerita lainnya sebagai sebuah

keseluruhan yang utuh. Kemudian apa yang disebut tokoh? Para ahli memberikan

batasan-batasan pengertian sebagai berikut. Tokoh adalah individu yang berperan

dalam cerita. Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau

berkelakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman, dalam Siswasih,

dkk, 2007: 20). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dituliskan bahwa tokoh

adalah pemegang peran atau tokoh utama (roman atau drama). Tokoh dalam karya

sastra yang diberikan dari segi-segi wataknya sehingga dapat dibedakan dari tokoh

yang lain. Seorang pengarang dalam menciptakan tokoh-tokoh dengan berbagai

watak penciptaan yang disebut dengan penokohan.

Dari beberapa pengertian tokoh di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa tokoh

adalah peran individu dalam sebuah cerita yang selalu dipandang pokok atau utama

dalam membangun cerita secara utuh.

Hal itu menyebabkkan para pembaca merasakan/menghayati para tokoh, aneka

(31)

manusia; juga dapat membantu pembaca mengalami kesenangan, keindahan,

keajaiban, kelucuan, kesediahn, keharuan, ketidakadilan, dan kekurangajaran.

Sastra lahir disebabkan dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan dirinya,

menaruh minat terhadap masalah manusia dan kemanusiaan, dan menaruh minat

terhadap dunia realitas yang berlangsung sepanjang hari dan sepanjang masa (Semi,

2012 : 1). Sastra yang telah lahir atau dimunculkan oleh para sastrawan diharapkan

dapat memberi kepuasan estetik dan kepuasan intelek bagi khalayak pembaca.

Namun, seringkali karya sastra hanya mampu dinikmati dan dipahami sepenuhnya

oleh sebagian masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian dan penelaahan

karya sastra.

2.1.1 Jenis Tokoh

Tokoh merupakan elemen struktur fiksi yang melahirkan peristiwa. Ditinjau dari segi

keterlibatan dalam keseluruhan cerita, tokoh dalam fiksi dibedakan menjadi dua.

Pertama, tokoh sentral atau tokoh utama. Tokoh sentral merupakan tokoh yang

mengambil bagian terbesar dalam cerita, yang keberadaannya dapat ditentukan

melalui tiga cara, yaitu, (1) tokoh itu yang paling banyak terlibat dengan makna atau

tema cerita; (2) tokoh itu yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, dan

(3) tokoh itu yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan.

Siswasih (2007) menyatakan bahwa tokoh dapat dibedakan menjadi empat, yaitu (1)

tokoh utama (protagonis), (2) tokoh yang berlawanan dengan pemeran utama

(antagonis); (3) tokoh pelerai (tritagonis); dan tokoh bawahan.

Tokoh utama (protagonis) adalah tokoh yang memegang peran utama dalam cerita.

(32)

karakteristiknya berbeda atau berlawanan dengan tokoh utama disebut tokoh

antagonis. Tokoh ini berperan untuk mempertajam masalah dan membuat cerita

menjadi hidup dan menarik. Tokoh tritagonis adalah tokoh yang tidak memegang

peran utama dalam cerita. Tokoh tritagonis biasanya tidak terlibat dalam semua

bagian cerita. Keberadaannya berperan sebagai penghubung antara tokoh protagonis

dan antagonis.

Kedua, tokoh bawahan disebut juga tokoh figuran yang tidak sentral kedudukannya

dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk mendukung tokoh utama.

2.1.2 Penokohan (Character)

Tokoh dalam fiksi dapat dibedakan berdasarkan watak atau karakternya. Perwatakan

merupakan penggambaran atau pelukisan tokoh-tokoh cerita, baik keadaan lahir

maupun batinnya, termasuk keyakinannya, pandangan hidupnya, adat-istiadatnya dan

sebagainya. Pengarang dalam mennciptakan hasil karyanya adalah manusia dan

kehidupan disekelilingnya. Oleh karena itu, penokohan merupakan unsur cerita yang

sangat penting. Melalui penokohan cerita menjadi lebih nyata dalam angan-angan

pembaca.

Ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk melukiskan watak tokoh cerita, yaitu

dengan cara langsung, tidak langsung, dan kontekstual. Pelukisan langsung,

pengarang langsung melukiskan keadaan dan sifat tokoh, misalnya berwajah

ganteng, cantik, berkulit hitam, dan sebagainya. Sebaliknya, pada pelukisan watak

tidak langsung pengarang secara tersamar memberitahukan keadaan tokoh cerita.

Watak tokoh dapat disimpulkan dari pikiran, cakapan, dan tingkah laku tokoh,

(33)

yang menceritakan secara tidak langsung. Sedangkan pada pelukisan kontekstual,

watak tokoh dapat disimpulkan dari bahasa yang digunakan pengarang untuk

mengacu pada tokoh.

Ada tiga macam cara untuk melukiskan atau menggambarkan watak para tokoh dalam cerita.

a. Cara Analitik

Pengarang menceritakan atau menjelaskan watak tokoh secara langsung.

b. Cara Dramatik

Pengarang tidak secara langsung menceritakan watak tokoh seperti pada cara analitik, melainkan menggambarkan watak tokoh dengan cara;

1) Melukiskan tempat atau lingkungan sang tokoh.

2) Menampilkan dialog antartokoh dan dari dialog-dialog itu akan tampak

watak para tokoh cerita.

3) Menceritakan tingkah laku, perbuatan, atau reaksi tokoh terhadap

suatu peristiwa.

c. Cara Gabungan analitik dan dramatik

Pengarang menggunakan kedua cara tersebut di atas secara bersamaan dengan anggapan bahwa keduanya bersifat saling melengkapi (Siswasih, dkk, 2007: 20).

2.2 Nilai Sastra Bagi Pembaca (Anak-Anak)

Bergaul dengan sastra, pembaca akan memperoleh berbagai manfaat. Dengan kata

lain, sastra dapat memberi nilai intrinsik atau (intrinsic values) bagi pembaca.

(34)

1. Sastra memberi kesenangan, kegembiraan, kenikmatan kepada pembaca

(anak-anak). Nilai seperti ini akan tercapai apabila sastra dapat memperluas cakrawala

anak-anak dan pembaca dengan cara menyajikan pengalaman dan wawasan baru.

Khusus kepada para guru disarankan agar a) para siswa diberi kesempatan

membaca buku setiap hari; b) mengetahui serta memahami minat anak didk

mereka dan membantu mereka untuk menemukan buku-buku sastra yang sesuai

dengan minatnya; c) memberi informasi kepada anak didik mengenai buku-buku

yang perlu dibaca serta memberi kesempatan untuk membicarakannya dengan

sesama teman atau guru (Roettger, 1978; dalam, Tarigan, 2011 6).

2. Sastra dapat mengembangkan imajinasi pembaca dan membantu

mempertimbangkan dan memikirkan alam, insan, pengalaman atau gagasan

dengan berbagai cara. Karya sastra yang baik dapat mengungkapkan serta

membangkitkan keanehan dan keingintahuan para pembaca.

3. Sastra dapat memberikan pengalaman-pengalaman aneh yang seolah-olah

dialami sendiri.

4. Sastra dapat mengembangkan wawasan para pembaca menjadi perilaku insani.

Kita mengetahui bahwa sastra merefleksi kehidupan. Sastra dapat memperlihatkan

kepada anak-anak betapa insan lainnya hidup dan “terjadi” kapan saja dan di

mana saja, sebaiknya pembaca khususnya anak-anak akan memperoleh

kesadaaran yang luas mengenai kehidupan orang/bangsa lain, sebagaimana

mereka secara pribadi mengujicobakan kaidah-kaidah lain, maka mereka telah

mengembangkan suatu pemahaman yang lebih baik mengenai dirinya sendiri dan

juga orang-orang di sekitar mereka.

(35)

pembaca. Sastra membantu pembaca ke arah pemahaman yang lebih luas

mengenai ikatan-ikatan, hubungan umat manusia, atau humanitas yang umum dan

wajar. Sastra memungkinkan kita untuk menghadapi berbagi kehidupan dan mulai

melihat kesemestaan pengalaman insani. Sastra menyediakan rekaman mengenai

segala sesuatu yang tidak pernah terbayangkan dan terpikirkan oleh manusia

sebelumnya. Sastra mengilusinasikan segala kehidupan; sastra memancarkan

cahayanya mengenai segala yang baik dan bermakna dalam kehidupan umat

manusia dan juga menyoroti hal-hal yang hitam serta kemerosotan nilai dalam

pengalaman insani (Huck, Hipler & Hickman, 1987: 6-10; dalam Tarigan, 2011:

7-8).

6. Sastra merupakan sumber utama bagi penerusan warisan dari satu generasi ke generasi

berikutnya. Sastra memainkan peranan penting dalam pemahaman dan penilaian warisan

budaya manusia. Pengembngan sikap positif anak didik kita ke arah budaya kita sendiri

dan budaya bangsa lain dipilih secara cermat. Suatu konsep diri yang positif tidak akan

mungkin terbentuk jika kita tidak menghargai milik orang lain seperti kkita menghargai

milik kita sendiri. Sastra dapat memberikan sumbangan berharga terhadap pemahaman ini

pada pembaca baik anak-anak atau orang dewasa (Norton, 1988: 5; dalam Tarigan, 2011:

8).

Adapun nilai ekstrinsik sastra dapat kita ketahui bahwa anak-anak hidup dalam masa

perkembangan yang pesat, terutama perkembangan fisik maupun mentalnya. Sastra

dapat memberikan nilai-nilai yang tinggi bagi proses perkembangan pendidikan

anak-anak. Tarigan menjelaskan ada empat perkembangan, yaitu

1. Perkembangan Bahasa. Dengan sastra baik lisan maupun tulisan, jelas akan

(36)

menyimak atau membaca karya sastra, maka secara sadar atau tidak

pemerolehan bahasa mereka semakin meningkat.

2. Perkembangan Kognitif. Pengalaman-pengalaman sastra merupakan salah satu

sarana untuk menunjang perkembangan kognitif atau penalaran pembaca.

Bahasa berhubungan erat dengan penalaran dan pikiran, semakin terampil

berbahasa, maka semakin sistematis pula dalam berpikir. Kognitif atau penalaran

mengacu pada berbagi proses, antara lain (1) persepsi, (2) ingatan, (3) refleksi,

(4) pertimbangan, dan (5) wawasan (mussen,Conger & Kagan, 1979: 234; dalam

Tarigan, 2011: 10).

3. Perkembangan Kepribadin. Kepribadian seseorang akan jelas terlihat saat dia

mencoba memperoleh kemampuan untuk mengekspresikan emosinya,

mengekspresikan empatinya terhadap orang lain. Sastra memmunyai peranan

penting bagi perkembangan kepribadian khusunya bagi anak didik kita.

Tokoh-tokoh dalam karya sastra, secara tidak sadar telah mempengaruhi emosi, seperti

benci, cinta, cemas, khawatir, takut, bangga, dan sebagainya.

4. Perkembangan Sosial. Manusia adalah makhluk sosial, hidup bermasyarakat.

untuk menjadi anggota masyarakat, maka kita pun mengalami proses sosialisasi.

Istilah sosialisasi mengacu pada suatu proses yang digunakan oleh anak utnuk

memperoleh perilaku, norma-norma, motivasi-motivasi yang selalu dipantau dan

dinilai oleh keluarga khususnya dan kelompok masyarakat pada umunya.

Dengan demikian, sosialisasi merupakan bagian penting dari perkembangan

(37)

2.3 Kajian Psikologi Sastra

Karya sastra merupakan hasil karya tidak hanya estetika saja. Karya sastra

merupakan representasi dari segala yang ada dalam kehidupan manusia termasuk di

dalamnya tentang seluk-beluk perilakunya. Dengan demikian, dalam memahami

karya sastra ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan salah satunya adalah

pendekatan struktual, yang memandang teks sastra sebagai suatu yang otonom lepas

dari latar belakang sejarah, sosial, budaya dan sebagainya. Keterbatasan pendekatan

struktur akan memunculkan berbagai kritik, salah satu diantaranya adalah analisis

yang menekankan otonomi karya sastra menghilangkan konteks dan fungsinya,

sehinggga karya sastra dihilangkan relevansi sosialnya (Teeuw, 1984: 140).

Pendekatan lain yang muncul dengan adanya perkembangan kajian tentang sastra adalah

sosiologi sastra dan psikologi sastra. Sosiologi sastra adalah pendekatan yang

mempertimbagkan aspek-aspek kemasyarakatan dalam menelaah sastra (Damono, 1987: 2;

dalam Edi Suyanto, 2012 : 12). Adapun pendekatan psikologi sastra merupakan penelaahan

sastra yang menerapkan hukum-hukum psikologi dalam kajian sastra (Wellek dan Werren,

1995: 90; dalam Edi Suyanto, 2012: 12). Ternyata dalam kajian karya sastra tidak bisa

terlepas dari displin ilmu yang lain.

Kajian sosio-psikologi adalah kajian yang digunakan seorang ahli psikoanalisis dan filsuf

sosial, Erich Fromm, dalam menelaah perilaku manusia berkaitan dengan perilaku agresif

dan destruktif, sedangkan Sigmund Freud, psikologi benatang, neorofisiologi, paleontologi

dan antropologi (Fromm, 2000: IV; dalam Edi Suyanto, 2012 : 12). Oleh karena itu, peneliti

mencoba akan menggunakan pendekatan psikologi dalam penelitian ini terhadap perilaku

(38)

2.4 Pengertian Psikoanalisis

Psikoanalisis dapat didefinisikan dalam dua pengertian, yaitu sebagai teori

kepribadian dan sebagai suatu cara terapi. Sebagai teori kepribadian, psikoanalisis

seperti dikemukan Brunner (1969: 11) diartikan sebagai disiplin ilmu yang di mulai

tahun 1900-an oleh Sigmund Freud. Teori ini berhubungan dengan fungsi dan

perkembangan mental manusia. Sigmund Freud menjelaskan bahwa perkembangan

mental manusia berdasarkan psikoanalisis terdiri atas struktur pikiran yang terdiri

atas alam kesadaran dan alam ketidaksadaran.

Sigmund Freud menyatakan bahwa pikiran manusia lebih dipengaruhi oleh alam

bawah sadar ketimbang alam sadar. Ia melukiskan bahwa pikiran manusia seperti

gunung es yang sebagian besar berada di dalam, maksudnya di alam bawah sadar. Ia

mengatakan kehidupan seseorang dipenuhi oleh berbagai tekanan dan konflik; untuk

meredakan tekanan dan konflik tersebut manusia dengan rapat menyimpannya di

alam bawah sadar. Oleh karena itu, menurut S. Freud alam bawah sadar merupakan

kunci memahami perilaku seseorang (Engleton dalam Minderop, 2013: 13).

Selanjutnya S. Freud menghubungkan karya sastra dengan teori mimpi. Sastra dan

mimpi dianggap memberikan keuasan secara tak langsung. Mimpi dalam sastra

adalah angan-angan halus. Intinya bahwa sastra lahir dari mimpi dan fantasi.

2.4.1 Teori Sigmund Freund Mengenai Kepribadian

Sigmund Freud menjelaskan teori kepribadian dalam konsep psikoanalisis

mengambarkan kepribadian manusia melalui tiga hal, yaitu struktur kepribadian,

dinamika kepribadian, dan perkembangan kepribadian. Adapun tiga hal tersebut

(39)

1. Struktur Kepribadian

Kepribadian terdiri dari tiga aspek, yakni Das Es (the id), yaitu aspek biologis, Das

Ich (the ego), yaitu aspek psikologis, dan Das Ueber Ich (the super ego), yaitu aspek

sosiologis.

a. Das Es (The Id)

Das Es adalah aspek biologis, berisi hal-hal yang dibawa sejak lahir atau bawaan

sejak lahir, termasuk di dalamnya adalah instink-instink. Das Es merupakan

“reservior” energi psikis yang menggerakkan Das Ich dan Das Ueber Ich. Energi

psikis di dalam das Es dapat meningkat karena ada rangsangan dari luar maupun dari

dalam. Bila energi ini meningkat, maka akan menimbulkan tegangan dan

menimbulkan pengalaman tidak enak atau tidak menyenangkan. Hal ini tidak bisa

dibiarkan, maka das Es mereduksi energi ini untuk menghilangkan rasa tidak enak.

Jadi, yang menjadi pedoman dalam berfungsinya das Es ialah menghindarkan diri

dari ketidakenakan menjadi keenakan. Untuk menghilangkan ketidakenakan menjadi

keenakan itu das Es melalui dua proses, yaitu: (1) refleks dan reaksi-reaksi otomatis,

seperti bersin, kedip mata, dan sebagainya. (2) proses primer. seperti orang lapar

yang membayangkan makanan enak-enak, dan sebagainya (Suryabrata, 2012: 126).

b. Das Ich (The Ego)

Das Ich adalah aspek psikologis kepribadian dan timbul karena kebutuhan organisme

untuk berhubungan secara baik dengan dunia kenyataan atau realita. Orang yang

lapar mesti perlu makan untuk menghilangkan tegangan yang tidak ada di dalam

dirinya. Hal ini berarti bahwa organisme harus dapat membedakan antar khayalan tentang

(40)

Es dengan das Ich, kalau das Es hanya mengenal dalam dunia batin( dunia subyektif)

sedangkan das Ich berpegang pada prinsip realitas yang behubungan dengan dunia luar

(Suryabrata, 2012: 126). Ego adalah perasaan tentang “aku” atau “identias diri” yang

merupakan pusat dari kepribadian. Erikson mendefinisikan ego adalah suatu kekuatan

positif, yaitu kekuatan yang membentuk identitas diri dan juga beradaptasi dengan berbagai

konflik dan krisis kehidupan. Ego juga sebagai kapasitas seseorang untuk mempersatukan

pengalaman-pengalamannya dan tindakan-tindakan dalam cara yang adaptif. Selanjutnya ego

sebagai agen pengatur yang sebagiannya tak sadar yang meyatukan pengalaman-pengalaman

sekarang dengan diri-diri masa lampau dan juga dengan diri-diri yang diharapkan (Semiun,

2012: 39).

Das Ich ( the ego) bagian jiwa yang berhubungan dengan dunia luar, dan menjadi bagian dari

kepribadian yang mengambil keputusan (eksekutif kepribadian). Jadi, ego akan menjadi

pengontrol pintu ke arah tindakan, memilih lingkungan mana yang akan direspons dan

mengambil keputusan dari insting-insting mereka. Ego menjalankan prinsip realitas dengan

cara proses sekunder. Tujuan ‘realitatsprinzip’ adalah mencari obyek yang tepat untuk

mereduksi tegangan yang timbul dalam organisme. Dengan menggunakan proses sekunder

ini ego dapat merencanakan untuk pemuasan kebutuhan dengan diujikan melalui tindakan,

agar mengetahui apakah rencana tersebut berhasil atau tidak (Suryabrata, 2012: 126).

c. Das Ueber Ich (The Super Ego)

Das Ueber Ich adalah aspek sosiologi kepribadian, merupakan wakil dari nilai-nilai

tradisional serta cita-cita masyarakat sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada

anak-anaknya, yang diajarkan atau dimasukkan dengan berbagai perintah dan larangan.

Super ego merupakan kesempurnaan dari kesenangan, karena dapat dianggap sebagai

(41)

salah, pantas atau tidak, susila atau tidak, dan dengan demikian pribadi dapat

bertindak sesuai dengan moral masyarakat ( Suryabrata, 2012: 127).

Adapun fungsi pokok das Ueber Ich dapat dilihat dalam hubungan dengan ketiga

aspek kepribadian, yaitu: (1) merintangi impuls-impuls das Es, terutama

impuls-impuls seksual dan agresif yang pernyataanya sangat ditentang oleh masyarakat; (2)

mendorong das Ich untuk lebih mengejar hal-hal yang moralistis daripada yang

realistis; (3) mengejar kesempurnaan.

2. Dinamika Kepribadian

Freud sangat terpengaruh oleh filsafat determinisme dan positifisme abad XIX dan

menganggap organisme manusia sebagai suatu kompleks sistem energi yang

memperoleh energinya dari makanan serta menggunakannya untuk

bermacam-macam hal seperti, sirkulasi pernafasan, gerakan otot-otot, mengamati, mengingat,

berpikir, dan sebagainya.

Berdasarkan pemikiran itu, maka S. Freud berpendapat bahwa energi psikis dapat

dipindahkan ke energi fisiologis dan sebaliknya. Jembatan antara energi tubuh

dengan kepribadian ialah das Es dengan instink-instinknya.

a. Instink

Berbicara mengenai instik ada tiga istilah yang banyak persamaan, yaitu instink,

keinginan (wish) dan kebutuhan (need). Instink adalah sumber perangsang somatis

dalam yang dibawa sejak lahir; keinginan adalah perangsang psikologis; sedangkan

(42)

kumpulan dari semua instink-instink merupakan keseluruhan dari energi psikis yang

digunakan oleh kepribadian. Instink mempunyai empat macam sifat, yaitu

1) sumber instink, yang menjadi sumber instink ialah kondisi jasmaniah sehingga

menjadi kebutuhan;

2) tujuan instink, tujuan instink ialah menghilangkan rangsangan kejasmanian

sehingga ketidakenakan yang timbul karena adanya ketegangan yang disebabkan

oleh meningkatnya energi dapat ditiadakan, misalnya tujuan instink lapar

(makan) ialah menghilangkan keadaan kekurangan makanan, dengan cara makan;

3) objek instink, objek instink ialah segala aktivitas yang mengantarkan keinginan 4) untuk terpenuhinya keinginan itu. Jadi tidak hanya terpenuhi bendanya, tetapi

termasuk cara-cara memenuhi kebutuhan yang timbul karena instink itu;pendorong atau penggerak instink, pendorong instink ialah kekuatan instink

itu yang tergantung pada intensitas (besar kecilnya ) kebutuhan (Suryabrata, 2012: 130).

Selanjutnya S. Freud mengklasifikasi instink-instink tersebut menjadi dua kelompok, yaitu

1) instink-instink hidup, fungsi instink hidup ialah melayani maksud individu untuk

tetap hidup dan memperpanjang ras. Bentuk dari instink ini ialah makan, minum

dan seksual. Bentuk energi yang dipakai adalah libido.

2) instink-instink mati, instink mati disebut juga instink merusak. Instink ini

berfungsinya kurang jelas jika dibandingkan dengan instink hidup, akan tetapi

adalah suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa tiap orang yang hidup

ini akhirnya akan mati juga. Freud berpendapat bahwa “tujuan semua hidup

(43)

b. Distribusi dan Penggunaan Energi Psikis

Dinamika kepribadian terdiri dari cara bagaimana energi psikis itu di distribusikan

serta digunakan oleh das Es, das Ich, dan das Ueber Ich. Oleh karena jumlah atau

banyaknya energi itu terbatas, maka akan terjadi semacam persaingan di antara

ketiga aspek itu dalam mempergunakan energi tersebut. Jika salah satu dari aspek

tersebut menggunakan energi yang banyak, maka aspek yang lain akan menjadi

lemah.

Pada awalnya yang memiliki energi psikis adalah id. Namun energi tersedia sangat

mudah bergerak dan berpindah dari satu gerakan ke gerakan yang lain. Hal ini terjadi

karena id tidak dapat membedakan objek-objek sehingga yang berlainan

diperlakukan sama. Contoh, bayi yang merasa lapar akan mengambil apa saja

dimasukkan ke dalam mulutnya.

Ego tidak mempunyai energi sendiri, maka ego akan meminjam dari id. Dengan

demikian, harus ada perpindahan energi dari id ke ego. Perpindahan seperti ini

disebut identifikasi, yakni perbandingan individu dalam membedakan mana yang

hanya ada dalam dunia batin dengan dunia yang benar-benar ada dalam kenyataan

untuk memenuhi kebutuhan id-nya secara nyata.

c. Kecemasan atau Ketakutan

Dinamika kepribadian untuk sebagian besar dikuasai oleh keharusan adalah untuk

memenuhi kepuasan kebutuhan dengan cara berhubungan dengan objek-objek di

dunia luar. Lingkungan menyediakan makanan hanya untuk orang yang lapar dan

minum bagi orang yang haus. Di samping itu, lingkungan juga berisikan

(44)

atau rasa tidak aman akan menjadi cemas atau takut. Orang yang merasa terancam

umumnya adalah orang yang penakut. Kalau das Ich mengontrol soal ini, maka

orang lalu menjadi dikejar oleh kecemasan atau ketakutan. Freud (Suryabrata, 2012 :

139) mengemukana ada tiga macam kecemasan, yaitu

1) kecemasan realistis, kecemasan yang pokok adalah kecemasan atau ketakutan

realistis akan bahaya-bahaya di luar;

2) kecemasan neurotis, kecemasan neurotis adalah kecemasan kalau-kalau instink-

instink tidak dapat dikendalikan dan menyebabkan orang berbuat sesuatu yang

dapat dihukum. Kecemasan ini sebenarnya mempunyai dasar di dalam realitas,

karena dunia sebagimana diwakili oleh orang tua dan lain-lain orang yang

memegang kekuasaan itu menghukum anak yang melakukan tindakan impulsif;

3) kecemasan moral adalah kecemasan kata hati.

Orang yang Das Ueber Ichnya berkembang baik untuk merasa dosa apabila dia

melakukan atau bahkan berpikir untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan

norma-norma moral. Kecemasan moral ini juga mempunyai dasar dalam realitas,

karena di masa lampau orang telah mendapatkan hukuman sebagai akibat dari

perbuatan yang melanggar kode moral, dan mungkin akan mendapat hukuman lagi.

Adapun fungsi kecemasan atau ketakutan ialah untuk memperingatkan orang akan

datangnya bahaya. Hal ini sebagai isyarat bagi das Ich, apabila tidak dilakukan

tindakan-tindakan yang tepat bahaya itu akan meningkat sampai das Ich dikalahkan

(Jawa : kuwalahan).

Kecemasan adalah juga pendorong seperti halnya lapar dan seks; bedanya kalau lapar

(45)

2.4.2 Perkembangan Kepribadian

Kepribadian itu berkembang hubungan dengan empat macam sumber tegangan

pokok, yaitu: (1) proses pertumbuhan fisologis, (2) frustasi, (3) konflik, dan (4)

ancaman. Sebagai akibat dari meningkatnya tegangan keempat sumber itu, maka

orang harus belajar cara-cara yang baru untuk mereduksi tegangan. Belajar

mempergunakan cara-cara baru dalam mereduksi tegangan inilah yang disebut

dengan perkembangan kepribadian. Identifikasi dan pemindahan objek adalah

cara-cara atau metode-metode yang dipergunakan oleh individu untuk mengatasi frustasi,

konflik, dan kecemasan-kecemasannya.

a. Fase-Fase Perkembangan Teori Freud

Freud (Suryabrata, 2012: 148-149) mengemukan bahwa anak sampai kira-kira umur

lima tahun melewati fase-fase yang terdiferensiasikan secara dinamis.

Kemudian sampai umur dua belas tahun atau tiga belas tahun mengalami fase latent.

Adapun fase-fase perkembangan menurut Freud sabagai berikut

1) fase oral 0; (0- sampai kira-kira umur 1tahun)

2) fase anal 1,0 (1- sampai kira-kira umur 3 tahun)

3) fase falis; kira-kira 3,0 sampai 5 tahun

4) fase latent; 5,0 sampai kira-kira 12 atau 13 tahun

5) fase pubertas; 12 sampai kira-kira 20 tahun

6) fase genital (fase kematangan)

b. Fase-Fase Perkembangan Teori Sullivan

Sullivan mengembangkan teori komprehensif tentang kepribadian, yang dinamakan

(46)

merupakan refleksi megenai pengalaman-pengalaman hidupnya sendiri, dan kesepian

serta isolasi yang dialami sejak awal hidupnya yang akhirnya menghasilkan suatu

teori yang menekankan pentingnya hubungan pribadi (Semiun, 2012: 13).

Sullivan memusatkan perhatian pada masalah-masalah psikologis yang ditempatkan

pada konteks sosial dan menekankan pentingnya hubungan anak dengan orang tua

dalam menentukan sifat hubungan-hubngan antarpribadi kemudian. Ciri-ciri

kepribadian ini tetap bertahan dan menghalangi atau menggangu hubungan-hubungan

yang akrab dalam kehidupan dewasa.

Kecemasan merupakan kekuatan utama dalam hubungan-hubungan antarpribadi dan

menjadi penyebab dari banyak rasa sakit dan penderitaan. Hubungan-hubungan

antarpribadi dapat menyebabkan kecemasan atau juga pertumbuhan dan

perkembangan psikologis yang sehat yang mereduksikan kecemasan.

2.4.3 Mekanisme Pertahanan dan Konflik

Freud menggunakan istilah mekanisme pertahanan mengacu pada proses alam bawah

sadar seseorang yang mempertahankannya terhadap anxitas, mekanisme ini

melindungi dari ancaman eksternal atau adanya impuls yang timbul dari anxitas

internal dengan mendistori realitas dengan berbagai cara. Pertahan yang paling

primitif dari ancaman adalahn penolakan realitas, ketika individu mencoba menolak

realitas yang mengganggu dengan penolakan mengakuinya. Bagaimana cara ego

mengatasi konflik antara tuntutannya dengan realitas, keinginan-keinginan dari id

yang ditahan oleh super ego? Adapun cara yang dilakukan menurut Freud adalah

(47)

1) Represi (Repression)

Represi bertugas mendorong keluar impuls-impuls id yang tak diterima, dari alam

sadar dan kembali ke alam bawah sadar. Represi merupakan fondasi cara kerja

semua mekanisme pertahanan ego. Tujuannyan adalah untuk menekan impuls yang

mengancam agar keluar dari alam sadar.

2) Sublimasi

Sublimasi terjadi bila tindakan-tindakan yang bermanfaat secara sosial menggantikan

perasaan tidak nyaman. Sublimasi sesungguhnya suatu bentuk pengalihan. Misalnya,

seorang individu memiliki dorongan seksual yang tinggi, lalu ia mengalihkan

perasaan tidak nyaman ini ke tindakan-tindakan yang dapat diterima secara sosial

dengan menjadi seorang artis pelukis tubuh model tanpa busana.

3) Proyeksi

Kita semua kerap menghadapi situasi atau hal-hal yang tidak diinginkan dan tidak

dapat kita terima dengan melimpahkannya dengan alasan lain, misalnya, kita harus

bersikap kritis atau bersikap kasar terhadap orang lain, kita menyadari bahwa sikap

ini tidak pantas kita lakukan, namun, sikap yang dilakukan tersebut diberi alasan

bahwa orang tersebut memang layak menerimanya. Sikap ini kita lakukan agar orang

lain tampak lebih baik. Mekanisme yang tidak disadari yang melindungi kita dari

pengakuan terhadap kondisi tersebut dinamakan proyeksi (Hilgard dalam Minderop,

2013: 34). Proyeksi terjadi bila individu menutupi kekurangannya dan masalah yang

(48)

4) Pengalihan (Displacement)

Pengalihan adalah pengalihan perasaan tidak senang terhadap suatu objek ke objek

lainnya yang lebih memungkinkan. Misalnya, adanya impuls-impuls agresif yang

dapat digantikan, sebagai kambing hitam, terhadap orang atau objek lainnya padahal

objek tersebut bukan sebagai sumber frustasi namun lebih aman dijadikan sebagai

sasaran.

5) Rasionalisasi (Rationalization)

Rasionalisasi memiliki dua tujuan. Pertama untuk mengurangi rasa kekecewaan

ketika kita gagal mencapai tujuan. Kedua, memberikan kita motif yang dapat

diterima atas perilaku. Rasionalisasi terjadi bila motif nyata dari perilaku individu

tidak dapat diterima oleh ego. Motif nyata tersebut digantikan oleh semacam motif

pengganti dengan tujuan pembenaran.

6) Reaksi Formasi (Reaction Formation)

Represi akibat impuls anxitas kerap kali diikuti oleh kecenderungan yang berlawanan

yang bertolak belakang dengan tendensi yang tertekan, reaksi formasi. Misalnya,

seseorang bisa menjadi suhada yang fanatik melawan kejahatan karena adanya

perasaan di bawah alam sadar yang berhubungan dengan dosa. Ia boleh jadi

merepresikan impulsnya yang berakhir pada perlawanan kepada kejahatan yang ia

sendiri tidak memahaminya. Reaksi formasi mampu mencegah seorang individu

berperilaku yang menghasilkan anxitas dan kerap kali dapat mencegahnya bersikap

(49)

7) Agresi dan Apatis

Perasaan marah terkait erat dengan ketegangan dan kegelisahan yang dapat menjurus

pada pengrusakan dan penyerangan. Agresi dapat berbentuk langsung dan

pengalihan (direct aggression dan displaced aggression). Agresi langsung adalah

agresi yang diungkapkan secara langsung kepada seseorang atau objek yang

merupakan sumber frustasi. Bagi orang dewasa, agresi semacam ini biasanya dalam

bentuk verbal ketimbang fisik si korban yang tersinggung biasanya akan merespon.

Agresi yang dialihkan adalah bila seseorang mengalami frustasi namun tidak dapat

mengungkapkan secara puas kepada sumber frustasi tersebut karena tidak jelas dan

tak tersentuh. Apatis adalah bentuk lain dari reaksi terhadap frustasi, yaitu sikap

apatis (apathy) dengan cara menarik diri dan bersikap seakan-akan pasrah.

2.4.4 Klasifikasi Emosi

Kegembiraan, kemarahan, ketakutan, dan kesedihan kerap kali dianggap sebagai

emosi yang paling mendasar (primary emotions). Situasi yang membangkitkan

perasaan-perasaan tersebut sangat terkait dengan tindakan yang ditimbulkannya dan

mengakibatkan meningkat ketegangan (Krech dalam Minderop, 2013: 40). Perasaan

benci bukan sekedar timbulnya perasaan tidak suka atau enggan yang dampaknya

ingin menghindar dan tidak bermaksud menghancurkan. Sebaliknya, perasaan benci

selalu melekat di dalam diri seseorang, dan ia tidak akan pernah merasa puas

sebelum menghancurkannya. Bila objek tersebut hancur ia akan merasa puas ( Krech,

1974: 479; dalam Minderop, 2013: 40).

(50)

1) Rasa Bersalah

Rasa bersalah bisa disebabkan oleh adanya konflik antara ekspresi impuls dan

standar moral (impuls expresion versus moral standards). Semua kelompok

masyarakat secara kultural memiliki peraturan untuk mengendalikan impuls yang

diawali dengan pendidikan semenjak kanak-kanak hingga dewasa, termasuk

pengendalian nafsu seks. Seks dan agresi merupakan dua wilayah yang selalu

menimbulkan konflik yang dihadapkan pada standar moral.

Pelanggaran terhadap standar moral inilah yang menimbulkan rasa bersalah (Hilgard

et, al., 1975: 434; dalam Minderop, 2013: 40). Rasa bersalah dapat pula disebabkan

oleh perilaku neurotik, yakni ketika individu merasa tidak mengatasi problem hidup

seraya menghindarinya melalui manuver defensif yang mengakibatkan rasa bersalah

dan tidak bahagia. Ada orang yang merasa bersalah, tetapi ia tidak tahu penyebabnya

serta tidak tahu bagaimana menghilangkannya.

2) Rasa Bersalah yang Dipendam

Dalam kasus rasa bersalah, seseorang cenderung merasa bersalah dengan cara

memendam dalam dirinya sendiri, memang ia biasanya bersikap baik, namun ia

seorang yang buruk.

3) Menghukum Diri Sendiri

Perasaan berslah yang paling mengganggu adalah sebagaimana terdapat dalam sikap

menghukum diri sendiri. Rasa bersalah tipe ini memiliki implikasi terhadap

berkembangnya gangguan-gangguan kepribadian, yakni penyakit mental dan

(51)

4) Rasa Malu

Rasa malu berbeda dengan rasa bersalah. Timbulnya rasa malu tanpa terkait dengan

rasa bersalah. Seseorang mungkin merasa malu ketika salah menggunakan garpu

ketika hadir dalam pesta makan malam yang terhormat, tapi ia tidak merasa beralah.

Ia merasa malu karena merasa bodoh dan kurang bergengsi di hadapan orang lain.

Orang itu tidak merasa bersalah karena ia tidak melanggar nilai-nilai moralitas.

5) Kesedihan

Kesedihan atau dukacita (grief) berhubungan dengan kehilangan sesuatu yang

penting atau berharga/bernilai. Intensitas kesedihan tergantung pada nilai, biasanya

kesedihan yang teramat sangat bila kehilangan orang yang dicintai. Kesedihan yang

mendalam bisa juga karena kehilangan milik yang sangat berharga yang

mengakibatkan kekecewaan dan penyesalan. Parkes (1965) menemukan bukti bahwa

kesedihan yang berlarut-larut dapat mengakibatkan depresi dan putus asa yang

menjurus pada kecemasan; akibatnya bisa menimbulkan perasaan jengkel dan

menjadi pemarah, tidak memiliki nafsu makan dan menarik diri dari pergaulan.

Parkes juga menemukan kesedihan berkepanjang yang diikuti menyalahkan diri

sendiri, kesedihan yang disembunyikan, secara sadar menyangkal sesuatu yang

hilang kemudian menggantikannya dengan reaaksi emosional dan timbulnya

perasaan jengkel.

6) Kebencian

Kebencian atau perasaan benci (hate) berhubungan erat dengan perasaan marah,

cemburu dan iri hati. Ciri khas yang menandai perasaan benci adalah timbulnya

(52)

Perasaan benci selalu melekat dalam diri seseorang dan ia tidak akan merasa puas

sebelum menghancurkannya, bila objek tersebut hancur ia akan merasa puas (Krech

dalam Minderop, 2013: 44).

7) Cinta

Gairah cinta dari cinta romantis tergantung pada si individu dan objek cinta. Adanya

nafsu dan keinginan untuk bersama-sama. Gairah seksual yang kuat kerap timbul

dari perasaan cinta. Menurut kajian cinta romantis, cinta dan suka pada dasarnya

sama. Mengenai cinta seorang anak dengan ibunya didasarkan pada kebutuhan

perlindungan, demikian juga cinta ibu kepada anaknya karena adanya keinginan

melindungi. Dengan demikian, esensi cinta adalah perasaan tertarik kepada pihak

lain dengan harapan sebaliknya. Cinta diikuti oleh

perasaan setia dan sayang. Ada yang berpendapat bahwa cinta tidak mementingkan

diri sendiri, bila tidak demikian berarti bukan cinta sejati.( Minderop, 2013:45).

2.4.5 Teori Empati Titchener

Titchener mengubah istilah ‘einfuhlung’ menjadi empati. Empati adalah sesuatu

yang penting dalam imajinasi. Empati membantu kita memahami

fenomena-fenomena yang membingungkan seperti fenomena-fenomena ilusi visual. Karena ketika

seseorang berempati dia sedang melakukan diskusi dengan dirinya sendiri, antara diri

dengan orang lain, dan antara dirinya dengan lingkungannya. Proses diskusi ini

menempatkan kita dalam alam kesadaran, yaitu kesadaran atas kondisi kita, kondisi

orang lain, dan situasi di sekitar kita. Oleh karena itu, seseorang yang berempati akan

(53)

Titchener adalah orang pertama kali menggunkan istilah empati sebagai istilah

psikologi. Titchener berpendapat bahwa seseorang tidak dapat memahami orang lain

selama dia tidak menyadari adanya proses mental dalam dirinya yang ditujukan

kepada orang lain. Seseorang benar-benar bisa melakukan hal ini bilamana dia

melakukannya dengan pemahaman yang mendalam, yang dalam istilah Titchener

pemahaman itu hingga berada “di dalam otot pikiran” ( in the mind’s muscle). Istilah

tersebut digunakan untuk menjelaskan efek-efek psikologis pada perceiver. Karena

istilah empati merujuk pada bentuk respons wajah yang menunjukkan perhatian

terhadap objek lain. Titchener meyakini bahwa pemahaman terhadap kondisi orang

lain tidak akan tercapai bila hal itu hanya dilakukan oleh pikiran saja, melainkan juga

harus membayangkannya apabila itu terjadi di dalam dirinya. Selanjutnya Titchener

menyatkan bahwa seseorang dapat meniru kondisi orang lain atau membayangkan

kondisi orang lain sebagaimana yang sesungguhnya terjadi. Misalnya Titchener

percaya bahwa gambaran mental bertugas untuk mengolah tanggapan di dalam otak

seolah-olah yang bersangkutan mengalaminya (Allport dalam Taufik, 2012: 10-11).

2.4.6 Empati Perspektif Psikoanalisis

Bidang psikologi, pemahaman tentang empati memiliki keragaman, tergantung pada

kegunaan dan sudut pandang mana teori itu diambil. Teori-teori psikoanalisis

menggambarkan kemunculan konsep empati lebih pada konteks interaksi emosional

antara ibu dan anak yaitu bagaimana seorang ibu mampu meredakan kemarahan

anak, memberikan pelukan kehangatan yang menyenangkan, memberi jalan keluar

atas masalah yang dihadapi, dan sebagainya. Di sinilah peran penting empati dalam

(54)

orangtua dan anak khususnya ibu sangat dekat. Berbeda dengan kultur orang Barat.

Di mat

Referensi

Dokumen terkait

- Respirometer adalah alat yang digunakan untuk mengetahui laju konsumsi oksigen dan. DO kritis

KONSEP GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PT ASURANSI JASA INDONESIA dalam rangka memenuhi syarat untuk menyelesaikan program sarjana (S1) dan memerlukan

Sejarah masa lalu menunjukkan hubungan yang baik antara umat Islam dan Kristen di Aceh Singkil, karena masyarakat Aceh yang mayoritas dari etnis batak memiliki kearifan

Dengan kemudahan dalam mengukur IC pada model Pulic maka penelitian ini bertujuan untuk mengukur IC perusahaan sektor pertambangan yang terdaftar di Indeks LQ45

Berdasarkan hasil perhitungan diatas didapatkan nilai Thitung < Ttabel atau sebesar ,990 < 1,683 dan nilai signifikan sebesar ,329 > 0,05 maka dapat

Berdasarkan latar belakang diasumsikan terdapat hubungan yang bermakna antara kadar CA 15-3 serum dengan derajat histopatologi kanker payudara, bahwa peningkatan

Setelah berdiskusi melalui Zoom Meeting/ Google Meet, siswa dapat menyusun pendapat pribadi tentang tokoh cerpen “ Semut dan Belalang“ dengan benarF. Setelah berdiskusi melalui

Wanita yang dapat menggunakan kontrasepsi suntikan progestin DMPA adalah perempuan usia reproduksi, perempuan nulipra dan perempuan yang telah memiliki anak, perempuan