• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penilaian Risiko Kebakaran Lahan Gambut di Sumatera

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penilaian Risiko Kebakaran Lahan Gambut di Sumatera"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

RINI UTAMI MALLYNUR

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PENILAIAN RISIKO KEBAKARAN LAHAN GAMBUT

DI SUMATERA

RINI UTAMI MALLYNUR

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

RINGKASAN

RINI UTAMI MALLYNUR. Penilaian Risiko Kebakaran Lahan Gambut di

Sumatera. Dibimbing oleh DANIEL MURDIYARSO.

Sumatera adalah pulau yang hampir setiap tahun terganggu oleh kebakaran hutan dan

lahan. Gambut adalah ekosistem yang berisiko terhadap kebakaran ketika dikeringkan

dan dibuka karena penebangan hutan untuk mendukung kehidupan masyarakat sekitar

lahan gambut. Jumlah kebakaran lahan gambut di Sumatera sangat mengkhawatirkan.

Lahan gambut merupakan sumber daya alam yag memiliki ekosistem unik dan

memiliki peranan penting untuk menjaga lingkungan. Lahan gambut dapat menyerap

banjir karena kemampuannya untuk menyerap air selama musim hujan dan

melepaskannya ketika musim kemarau tiba. Pada 1997/1998 terjadi kebakaran besar

di lahan gambut karena adanya kejadia El Nino yang ditandai dengan kekeringan

ekstrem yang berkepanjangan di seluruh kepulauan Indonesia. Kebakaran lahan

gambut menimbulkan banyak masalah dalam kaitannya dengan bidang sosial ataupun

ekologi . Iklim merupakan salah satu faktor yang memicu penyebaran api, tetapi

praktis kebakaran yang terjadi pada lahan gambut disebabkan oleh kegiatan manusia.

Risiko yang ditimbulkan pada setiap kebakaran lahan gambut memiliki tingkat yang

berbeda-beda. Aktivitas manusia menyebabkan degradasi lahan gambut. Alasan

utama degradasi lahan gambut adalah substitusi fungsi lahan gambut sebagai lahan

pertanian, mengeringkan lapisan gambut dengan sistem drainase yang kemudian

menyebabkan lahan gambut terbakar. Tujuan utama dalam kajian ini adalah untuk

menilai risiko kebakaran lahan gambut di Sumatera yang dikaitkan dengan parameter

iklim maupun parameter sosial atau kegiatan yang dilakukan di lahan gambut

Sumatera. Penelitian ini juga membahas cara untuk mencegah kebakaran dengan

mengetahui risiko yang ditimbulkan. Hal ini menyatakan bahwa ketersediaan data

iklim sangat penting untuk memprediksi bahaya kebakaran di kawasan lahan gambut.

(4)

PENILAIAN RISIKO KEBAKARAN LAHAN GAMBUT

DI SUMATERA

RINI UTAMI MALLYNUR

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gear

Sarjana Sains

pada

Program Studi Agrometeorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul :

Penilaian risiko kebakaran lahan gambut di Sumatera

Nama :

Rini Utami Mallynur

NIM :

G24070006

Disetujui

Pembimbing

Prof. Dr. Daniel Murdiyarso, M. S.

NIP. 19550910 197903 1 003

Diketahui

Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi

Dr. Rini Hidayati, M. S.

NIP. 19960305 198703 2 002

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Medan, Propinsi Sumatera Utara, pada tanggal 2 Oktober 1989 sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara, merupakan anak dari pasangan Ir. Bustinursyah, MSc, IAI (Uca Sinulingga) dan Ellyta Nabilah Depari.

Tahun 1995 penulis memulai pendidikannya di taman kanak-kanak (TK) Harapan Medan dan melanjutkan pendidikan Sekolah Dasar di SD Harapan 2 Medan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2001 hingga 2004 penulis melanjutkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Sutomo I Medan. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah Medan dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis lulus seleki masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima pada jurusan Geofisika dan Meteorologi yang merupakan jurusan pilihan pertama penulis.

(7)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Penulis menyelesaikan tulisan ini dengan judul Penilaian Risiko Kebakaran Lahan Gambut di Sumatera.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Terutama penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Daniel Murdiyarso yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi, Dosen dan Staf Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB yang telah membantu dan bekerja sama dengan baik selama penulis menjalani studi di Departemen, kepada seluruh staf lembaga pemerintahan dan non-pemerintahan seperti CIFOR, LAPAN, WETLANDS INTERNATIONAL, ASEAN SECRETARIAT, Perpustakaan Daerah Bogor, Jawa Barat atas kerja samanya sehingga penulis memperoleh banyak informasi dan data-data sekunder yang dibutuhkan. Terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada partner saya dalam menyelesaikan skripsi Fitrie Atviana N atas kerjasama dan kontribusi selama penulis menyelesaikan skripsi. Tidak lupa saya sampaikan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan GFM 44, teman dari Omda Medan (IMMAM), teman UKM AGRIC, dan teman-teman kosan dwi regina B atas semangat yang telah diberikan kepada penulis untuk penyelesaian tulisan ini. Dan tulisan ini saya dedikasikan kepada Bapak Ir. Bustinursyah Uca Sinulingga, MSc, IAI dan Ibu Ellyta Nabilah Depari sebagai orang tua, kepada karo, dan adik-adik (Arum, Putra, Iti, Icha, Atha, Ici) beserta seluruh keluarga atas motivasi dan doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Tidak lupa penulis dedikasikan tulisan ini kepada Bapak Dr. H. MS. Kaban atas dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama penulis menjalani studi di perantauan.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi segala pihak .

Bogor, September 2011

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 1

1.3. Kerangka Pikir ... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 2

2.1. Pengetahuan Dasar Kebakaran ... 2

2.1.1. Lingkungan Kebakaran ... 3

2.1.2. Kondisi Atmosfer dan Kebakaran ... 4

2.2. Definisi Gambut ... 5

2.3. Pembentukan, Penyebaran, dan Hidrologi Lahan Gambut ... 6

2.4. . Lahan Gambut Sumatera ... 6

2.4.1. Gambut Riau ... 7

2.4.2. Gambut Sumatera Selatan ... 7

2.4.3. Gambut Jambi ... 7

2.5. Penyebab Kebakaran Lahan Gambut ... 7

2.6. Penyimpangan Iklim ... 8

2.7. Hubungan Unsur Cuaca dengan Kebakaran Lahan Gambut ... 9

2.8. Sifat Kebakaran pada Lahan Gambut ... 10

2.9. Kebakaran pada Lahan Gambut dan Dampak yang Ditimbulkan ... 10

2.9.1. Karakteristik Kebakaran pada Lahan Gambut ... 11

2.9.2. Penyebab Kebakaran di Lahan Gambut ... 11

2.9.3 Perilaku Kebakaran pada Lahan Gambut ... 13

2.10.Deteksi Titik-Titik Panas (Hotspot) dan Indeks Kekeringan ... 14

III. METODOLOGI ... 15

3.1. Waktu dan Tempat ... 15

3.2. Alat dan Bahan ... 15

3.3. Metode Penelitian ... 15

(9)

4.1 . Peran Anomali Iklim , Indeks Vegetasi, dan Curah Hujan dalam Kebakaran

Lahan Gambut ... 17

4.1.1. Peran Anomali Iklim (ENSO dan DME) dalam Kebakaran Lahan Gambut .... 17

4.1.2. Peran Indeks Vegetasi dalam Kebakaran Lahan Gambut ... 18

4.1.3. Keterkaitan Curah Hujan dengan Kebakaran Lahan Gambut di Sumatera ... 18

4.2. Peran Kondisi Vegetasi, Penutupan Lahan serta Jumlah Hotspot dalam

Kebakaran Gambut ... 18

4.2.1. Penutupan Lahan dan Laju Kerusakan Gambut di Propinsi Riau ... 19

4.2.2. Penutupan Lahan dan Laju Kerusakan Gambut Propinsi Riau dan Sumatera

Selatan ... 20

4.3. Pengaturan Hidrologi di Lahan Gambut ... 20

4.4. Penilaian Tingkat Risiko Kebakaran Lahan Gambut di Sumatera ... 22

4.4.1. Penilaian Risiko Kebakaran Lahan Gambut Propinsi Riau ... 23

4.4.2. Penilaian Risiko Kebakaran Lahan Gambut Propinsi Jambi ... 24

4.4.3. Penilaian Risiko Kebakaran Lahan Gambut Propinsi Sumatera Selatan ... 25

4.5. Dampak Kebakaran Gambut ... 26

V. KESIMPULAN ... 27

VI. SARAN ... 28

VII.DAFTAR PUSTAKA ... 28

(10)

DAFTAR TABEL

1 Penggolongan tingkat Risiko kebakaran lahan gambut di Sumatera ... 16

2 Luas areal kelapa sawit menurut Propinsi di Sumatera, tahun 1980-2010 ... 23

3 Keadaan penutupan lahan pada areal HPH dan eks HPH ... 24

4 Kondisi umum HPH Propinsi Jambi ... 25

5 Perkembangan pembangunan HTI ... 25

6 Daftar perusahaan HPH Sumatera Selatan ... 26

(11)

DAFTAR GAMBAR

1 Konsep

fire triangle

... 3

2 Luas dan sebaran gambut Sumatera tahun 1990 ... 7

3 Luas lahan gambut Riau ... 7

4 Kebakaran di Bawah Permukaan ... 11

5 Peta sebaran asap pada peristiwa kebakaran di Indonesia tahun 2006 ... 13

6 Hubungan unsur cuaca NDVI, dan aktivitas manusia terhadap Risiko kebakaran

pada lahan gambut ... 15

7 Perbandingan luas lahan yang terbakar ... 19

8 Perbandingan intensitas kebakaran lahan gambut dan non gambut periode

2001-Februari 2008 ... 20

9 Frekuensi hotspot berdasarkan penutupan lahan gambut Riau ... 20

10Frekuensi hotspot berdasarkan penutupan lahan gambut Sumatera Selatan ... 20

11Struktur kubah gambut ... 21

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta sebaran lahan gambut Sumatera ... 34

2 Pergerakan udara hangat pada bulan Juni-Agustus dan Desember-Februari ... 35

3 Curah hujan dan jumlah hotspot Riau selama 1996-2002 ... 36

4 Curah hujan dan jumlah hotspot Riau selama 1996-2002 ... 37

5 Peta luasan lahan gambut Sumatera dan Kalimantan dan distribusi

peta tutupan lahan Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat ... 38

6 Peta tutupan lahan dan laju kerusakan hutan rawa gambut Propinsi Riau tahun

2007 ... 39

7 Sebaran titik api propinsi Riau Januari-Februari 2000 ... 40

8 Tingkat Risiko kebakaran lahan gambut di Sumatera ... 41

9 Jumlah perusahaan hak pengusahaan hutan menurut Propinsi, tahun 2001-2009 ... 42

10Luas areal perusahaan hak pengusahaan hutan, tahun 2004-2009 ... 43

11Luas kebakaran hutan dan lahan berdasarkan fungsi selama 5 tahun ... 44

12Tingkat Risiko kebakaran lahan gambut di Propinsi Riau ... 45

13Tingkat Risiko kebakaran lahan gambut di Propinsi Jambi ... 46

(13)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Lahan gambut merupakan salah satu tipe lahan basah yang unik yang dimiliki oleh Indonesia. Lahan gambut memiliki potensi besar yang mendukung kehidupan manusia serta alam sekitarnya. Lahan gambut bermanfaat bagi pendukung segala aspek kehidupan/hayati, lahan gambut juga dapat bermanfaat bagi sistem hidrologi lingkungan dan dapat mempengaruhi iklim global apabila ditinjau dari kemampuan lahan gambut dalam menyerap dan menyimpan karbon.

Saat ini telah terjadi degradasi luasan lahan gambut di Indonesia. Penyebab dari pengurangan luasan ini dapat berupa kejadian alamiah dan aktivitas manusia. Penyebab utama yang paling nyata adalah kebakaran. Kebakaran lahan gambut di Indonesia telah menimbulkan kerugian dan kerusakan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kebakaran hutan dan lahan seakan sudah menjadi "tradisi" tahunan di Indonesia terutama setiap kali musim kemarau datang, seperti terbakarnya ranting dan daun kering secara spontan akibat panas yang ditimbulkan oleh batu dan benda lainnya yang dapat menyimpan dan menghantar panas, dan pelepasan gas metana (CH4) telah diketahui

dapat memicu terjadinya kebakaran.

Kebakaran lahan dapat melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 0,81-2,57 Gigaton karbon ke atmosfer (setara dengan 13-40% total emisi karbon dunia yang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahunnya) yang berarti menambah kontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global. Komposisi lahan gambut yang menyimpan karbon sebesar 20-35% dari total karbon yang tersimpan di bumi.

Gangguan terhadap ekosistem lahan gambut akan mempengaruhi cadangan dan siklus karbon di alam. Gangguan yang terjadi berupa konversi lahan setelah hutan gambut mengalami deforestasi, kebakaran, dan drainase. Akibat gangguan yang terjadi, lahan gambut berpotensi sebagai sumber emisi karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrous oksida (NO2)

yang cukup besar. Lahan gambut di Indonesia telah dimanfaatkan dalam berbagai sektor pembangunan meliputi pertanian, kehutanan, dan penambangan (Rieley et al., 1996). Degradasi ini terutama terkait dengan alih fungsi lahan gambut alamiah untuk pertanian,

seperti perkebunan kelapa sawit dan tanaman perkebunan lainnya, penipisan lapisan gambut (drainase), dan perusakan lapisan gambut oleh peristiwa kebakaran. Kebakaran hutan dan lahan gambut di wilayah tropika terutama di Asia Tenggara sudah terjadi selama 20 tahun terakhir ini. Kebakaran terjadi umumnya selama musim kering dalam periode iklim panas atau dikenal sebagai El Nino-Southern Oscilation (ENSO). Periode panas ini dapat terjadi setiap 3–7 tahun, dan lama kejadiannya dari 14 bulan hingga 22 bulan (Singaravelu 2002). Pemanasan ini biasanya bermula pada bulan Oktober, terus meningkat ke akhir tahun dan berpuncak pada pertengahan tahun berikutnya (Mei).

Sejarah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh adanya aktivitas manusia yang dipicu dengan kondisi iklim yang ekstra kering akibat adanya fenomena ENSO sehingga memungkinkan berlangsungnya kebakaran lahan yang besar dan menyebarnya asap secara horizontal. Sejarah panjang kebakaran lahan gambut dengan frekuensi semakin tinggi, memerlukan penanganan yang serius.

Pendugaan risiko kebakaran lahan gambut merupakan salah satu kegiatan yang penting dalam rangka pengendalian kebakaran lahan gambut. Kegiatan pendugaan Risiko itu menjadi penting karena menentukan langkah kegiatan selanjutnya dalam rangka pengendalian kebakaran lahan gambut. Apabila risiko kebakaran lahan gambut di suatu area diketahui, maka tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan baik dan efisien. Usaha-usaha penyelamatan lahan gambut di Indonesia sudah saatnya mendapat perhatian besar dari berbagai pihak khususnya oleh para pengambil kebijakan.

1.2 Tujuan

Studi ini bertujuan menilai risiko kebakaran lahan gambut di Sumatera khususnya pada wilayah pantai timur Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan berdasarkan unsur cuaca dan iklim, sistem hidrologi, dan aktivitas masyarakat yang menggantungkan hidup pada lahan gambut.

1.3 Kerangka Pikir

(14)

suatu wilayah. Sumatera merupakan wilayah yang memiliki sebaran lahan gambut terluas di Indonesia. Bahaya yang sangat mengancam kelestarian lahan gambut adalah bencana kebakaran. Kebakaran pada lahan gambut menimbulkan banyak ancaman. Kebakaran pada lahan gambut akan menimbulkan kerugian sosial maupun ekonomi.

Studi literatur ini akan menganalisa kebakaran di lahan gambut Sumatera sehingga dapat menghasilkan penilaian risiko pada kebakaran pada lahan gambut Sumatera. Risiko kebakaran lahan gambut di Sumatera dinilai dari berbagai aspek baik itu dari penelitian/observasi langsung di lapangan dan sistem penginderaan jauh, bahkan kombinasi dari keduanya.

Penelitian ini terdiri atas sintesa dari penelitian-penelitian yang telah ada pada penilaian risiko kebakaran lahan gambut di Sumatera. Ditinjau dari kondisi lingkungan pada lahan gambut Sumatera maupun kondisi sosial masyarakat pada wilayah gambut. Kondisi sosial pada lahan gambut adalah aktivitas manusia dalam pemanfaatan lahan gambut tersebut. Penilaian tingkat risiko kebakaran lahan gambut di Sumatera dimulai dari sintesa informasi iklim/cuaca berupa bentuk penyimpangan dengan pengaruh ENSO dan indeks vegetasi pada lahan gambut. Kondisi iklim dikaitkan dengan curah hujan dan kondisi hidrologi lahan gambut. Pada nilai indeks vegetasi, risiko kebakaran dapat dinilai dari penutupan lahan, perubahan kedalaman gambut, dan jumlah titik api pada hutan rawa gambut maupun kedekatan dengan pemukiman sekitar lahan gambut. Dari keseluruhan analisa didapatkan seberapa besar nilai risiko kebakaran lahan gambut yang terjadi di Sumatera.

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan Dasar Kebakaran

Tanaman ataupun bagian-bagiannya merupakan komponen dari biomassa hutan yang paling banyak terbakar. Komponen biomassa yang banyak terbakar pada umumnya berupa tumbuhan yang mampu melakukan fotosintesis. Pada proses fotosintesis terjadi reaksi kimia yang melibatkan karbondiksida, air dan energi dari matahari, sehingga menghasilkan selulosa, lignin, amilum dan berbagai komponen kimia lainnya. Selulosa, lignin, amilum merupakan hasil fotosintesis yang dapat dihasilkan dalam

proses fotosintesis yang dapat ditemukan pada setiap tanaman.

Proses fotosinteis dan peristiwa kebakaran memiliki hubungan unik. Kebakaran pada tanaman ataupun komponennya, akan melangsungkan perubahan energi. Energi kimia yang diwujudkan dari proses fotosintesis akan diubah menjadi energi termal, energi radiasi, dan energi kinetik, secara sepintas proses fotosintesis dan kebakaran memiliki dua proses yang saling berkebalikan. Pada proses fotosintesis terjadi proses pengikatan energi, dalam hal ini terjadi pemusatan energi kimia yang berlangsung secara perlahan-lahan sedangkan dalam proses kebakaran, energi dilepaskan secara spontan. Formulasi dari dua proses tersebut adalah :

Fotosintesis

CO2 + H2O + energi matahari Æ (C6H10O6)n + O

Kebakaran

(C6H10O6)n + O + suhu pemicu Æ CO2 + H2O +

bahang

Sormin dan Hartono (1986) menyatakan kebakaran terjadi terbagi atas fase pemanasan, fase penguraian, dan fase pembakaran. Proses kebakaran pada awalnya merupakan suatu reaksi yang bersifat endotermal karena proses tersebut membutuhkan energi. Dalam hal ini diperlukan pasokan bahang untuk meningkatkan suhu bahan bakar hingga suhu pemicu pengapian terjadi. Ketika pemanasan belum mencapai suhu pengapian, pada sebagian jenis bahan bakar, pemanasan akan terlebih dahulu mengakibatkan volatilisasi sejumlah resin yang bersifat atsiri. Selanjutnya peningkatan suhu yang terus terjadi seiring dengan berlangsungnya pemanasan bahan bakar akan mengakibatkan terjadinya pengeringan. Air yang terjerap pada bahan bakar secara bertahap akan terevaporasikan, dengan kata lain kelembaban bahan bakar akan terus berkurang.

(15)

sejumlah zat dari keluarga hidrokarbon yang mudah terbakar seperti methana, methanaol, propane. Ketika pemanasan bahan bakar telah mencapai suhu pengapian, zat-zat produk dari pirolisis akan beraksi dengan oksigen.

Zat-zat hidrokarbon akan memicu timbulnya nyala api, selanjutnya oksidasi dari produk pirolisis lainnya akan menimbulkan bara api. Kedua proses akan menyuplai bahang lebih banyak lagi. Pada tahap ini reaksi tidak lagi bersifat endotermal, akan tetapi telah bersifat eksotermal. Ketika api pada suatu bahan bakar telah terbentuk, peningkatan suhu tidak hanya berasal dari sumber pemanasan awal saja. Keberadaan api juga berperan dalam menghasilkan bahang sendiri. Bahang yang dihasilkan selanjutnya akan berperan sebagai sumber pemanasan bagi bahan bakar lainnya melalui mekanisme radiasi, konduksi, ataupun konveksi. Ketika bahan bakar mengalami kebakaran yang tidak sempurna, sebagian dari zat volatil yang dihasilkan akan menyisakan jelaga, selain itu juga dihasilkan partikel hasil pembakaran yang tidak sempurna yang melayang di udara yang dikenal sebagai asap. Api akan padam ketika bahan bakar tidak lagi tersedia tidak cukup lagi untuk mempertahankan kebakaran. Untuk menjelaskan faktor-faktor yang berperan dalam pembentukan kebakaran digunakan konsep segitiga api. Konsep segitiga api tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1 Konsep fire triangle. (Fire brief 2004)

Dalam konsep segitiga api tersebut suatu daerah tidak akan mengalami kebakaran, ketika semua hal tidak berkumpul secara bersamaan. Oleh karena itu konsep segitiga api juga dapat digunakan dalam tindak pencegahan kebakaran. Kebakaran akan dapat dihindarkan dengan mencegah berkumpulnya ketiga komponen dalam konsep segitiga api. Hal

tersebut diantaranya adalah dengan mengurangi bahan bakar yang potensial maupun sumber panas yang mungkin timbul baik karena faktor alam ataupun manusia (Sormin dan Hartono 1986).

2.1.1 Lingkungan Kebakaran

Kebakaran yang terbentuk akan sering berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya. Perilaku api didefinisikan oleh De Bano (1998) sebagai suatu respon atau kebiasaan api yang terbentuk sebagai hasil interaksi api dengan lingkungannya. De Bano (1998) menyatakan kondisi dan perubahan komponen-komponen lingkungan akan mempengaruhi kebakaran. Komponen-komponen utama dari lingkungan tersebut terdiri atas kondisi cuaca, topografi, dan bahan bakar. Interaksi ketiganya dengan kebakaran yang terjadi akan menentukan karakteristik dan perilaku dari kebakaran.

Bahan bakar, topografi, cuaca dan interaksi ketiganya merupakan tiga komponen lingkungan yang sangat mempengaruhi perilaku kebakaran. Bahan bakar menentukan potensi penyebaran api, potensi kerusakan yang dapat terjadi, serta potensi hambatan dalam pengendalian kebakaran. Topografi suatu wilayah pada umumnya memiliki kondisi yang relatif lebih konstan. Secara alamiah kondisi topografi akan berperan dalam penentuan kondisi iklim di suatu wilayah. Topografi merupakan salah satu faktor pengendali unsur-unsur iklim dan cuaca. Perbedaan ketinggian, aspek dan kelerengan suatu daerah akan menimbulkan keragaman nilai unsur-unsur cuaca, selain itu pada umumnya juga dijumpai kekhasan vegetasi di suatu daerah. Topografi juga berperan cukup penting dalam penyebaran

aerial fire kelerengan yang terjal akan mempercepat penyebaran aerial fire. Akan tetapi ketika terjadi anomali cuaca seperti angin yang bertiup kencang akan mampu membuat pengaruh topografi di suatu daerah tidak lagi mendominasi penyebaran aerial fire.

(16)

2.1.2 Kondisi Atmosfer dan Kebakaran Cuaca adalah keadaan fisis atmosfer dan perubahannya di suatu tempat tertentu dalam selang waktu yang relatif pendek. Atmosfer sendiri dapat didefinisikan sebagai lapisan gas atau lapisan gas yang menyelimuti dan terikat oleh bumi oleh gaya gravitasi bumi. Campuran tersebut dinamakan udara. Di dalam atmosfer terdapat udara kering, uap air, dan aerosol.

Gas-gas lain yang membentuk udara kering di atmosfer kadarnya sangat kecil, dalam hal ini campuran udara kering dan uap air tidak jenuh dikenal sebagai udara lembab. Meskipun kadar uap air di udara sangat kecil, uap air memainkan peranan yang penting dalam proses termodinamika. Dalam kisaran suhu atmosfer, uap air dapat berubah fasa menjadi cair, atau padat. Uap air masuk ke atmosfer dari permukaan bumi melalui permukaan air di permukaan bumi, ataupun melalui proses transpirasi yang ada pada tanaman. Jika mengalami pendinginan, uap air berubah fasa menjadi padat (es) dan membentuk awan atau kabut yang kemudian turun ke permukaan sebagai gerimis, hujan, hujan deras, salju, ataupun batu es. Tidak jarang perubahan fasa uap air terjadi di permukaan bumi dan membentuk embun ataupun embun beku.

Hampir semua pemanasan pada permukaan bumi dan atmosfer berasal dari radiasi matahari, meskipun hanya sebagian kecil dari radiasi yang dipancarkan oleh matahari diterima bumi. Geiger (1959) menyatakan bahwa radiasi matahari yang sampai di pemukaan bumi, nilainya hanyalah setengah dari radiasi matahari yang diterima di puncak atmosfer. Sebagian dari radiasi matahari tersebut akan diserap, dan dipantulkan lagi ke angkasa luar oleh atmosfer bumi.

Penerimaan radiasi di permukaan sangat bervariasi menurut ruang ataupun waktu. Keragaman radiasi menurut ruang disebabkan oleh perbedaan letak lintang dan kondisi atmosfer di suatu daerah. Keragaman penerimaan radiasi menurut waktu terjadi karena adanya perbedaan sudut datang dari radiasi matahari, dan jarak antara matahari dan bumi pada saat bumi berevolusi mengelilingi matahari pada orbitnya yang berbentuk elips. Perbedaan jarak tersebut membuat perbedaan kerapatan fluks radiasi matahari yang sampai di permukaan bumi yang besarnya sebanding dengan perbandingan kuadrat jarak antara bumi

dan matahari. Perbedaan sudut datang akan mengakibatkan perbedaan selang waktu penerimaan radiasi matahari. Selang waktu penerimaan radiasi matahari juga dipengaruhi oleh tingkat penutupan awan di atmosfer, serta perbedaan tempat menurut lintang. Dalam skala mikro jumlah radiasi matahari yang diterima dipengaruhi oleh faktor topografi lahan seperti faktor arah kelerengan/aspek dan ketinggian lahan (Handoko 1993).

Perbedaan penerimaan radiasi matahari mengakibatkan perbedaan pemanasan permukaan bumi. Fuller (1991) menyatakan perbedaan pemanasan oleh matahari pada permukaan bumi berperan dalam pembentukan keragaman iklim yang memberikan kontribusi pada bahaya kebakaran hutan dan lahan karena bersama dengan angin penyinaran matahari memegang peranan penting pada perubahan suhu dan pengeringan bahan bakar. Jumlah panas yang dapat dikandung oleh suatu benda tergantung dari kapasitas panas benda tersebut. Udara merupakan penyimpan panas yang paling buruk, udara lebih cepat menjadi panas ataupun menjadi dingin dibandingkan dengan daratan dan lautan.

Rendahnya kapasitas panas udara menjadikan udara cukup peka terhadap perubahan energi di permukaan bumi. Permukaan bumi merupakan bidang aktif dalam hal penerimaan radiasi matahari. Hal tersebut menjadikan permukaan bumi sebagai pemasok panas pada udara, sehingga semakin tinggi tempat semakin rendah suhunya. Karena sebab yang senada, maka suhu di permukaan bumi semakin rendah dengan bertambahnya letak lintang seperti halnya dengan penurunan suhu menurut ketinggian. Pada penyebaran suhu menurut lintang sumber pemasok bahang terasa berasal dari daerah tropika (Handoko 1993). Daerah dengan suhu yang tinggi akan mempercepat terjadinya pengeringan bahan bakar, ataupun mempermudah terjadinya kebakaran. Hal tersebut dikarenakan perubahan suhu bahan bakar dicapai melalui penyerapan radiasi matahari secara langsung ataupun melalui mekanisme konduksi, dan konveksi dari lingkungan termasuk dari udara di sekitar bahan bakar.

(17)

sebagai tekanan uap jenuh, sedangkan kandungan uap air aktual di udara dinyatakan dengan tekanan uap aktual. Perbandingan antara tekanan uap aktual dan tekanan uap jenuh pada suhu yang sama dinyatakan sebagai kelembaban relatif.

Kelembaban relatif menggambarkan kejenuhan udara, kelembaban relatif menentukan jauh dekatnya kondisi udara dari keadaan jenuhnya. Pada siang dan malam hari dengan tekanan uap aktual yang relatif tetap, nilai kelembaban relatif pada siang hari akan lebih kecil daripada kelembaban relatif pada malam hari. Hal ini disebabkan karena kapasitas udara dalam menampung uap air akan membesar seiring dengan naiknya suhu udara, sedangkan pada pola suhu diurnal kondisi suhu udara pada siang hari pada umumnya lebih panas daripada suhu udara pada malam hari.

Selain kelembaban udara, kondisi kelembaban bahan bakar secara langsung dipengaruhi oleh adanya hujan. Hujan akan seketika itu juga membasahi permukaan bahan bakar, sehingga tidak menimbulkan terjadinya kebakaran. Semakin besar intensitas hujan, maka semakin besar kelengasan bahan bakar mencapai nilai maksimumnya. Pola hujan disuatu daerah akan menentukan selang waktu terjadinya kebakaran. Selama periode atau musim penghujan, kebakaran akan sangat sulit terjadi. Selama musim hujan walaupun hujan turun dengan intensitas yang rendah, pada umumnya ia terjadi pada selang waktu yang relatif panjang.

Ketika pergantian musim, intensitas hujan berkurang menurut jumlah maupun periodenya. Pada masa ini, pengeringan bahan bakar dimulai kembali. Pengeringan tersebut diakibatkan oleh penerimaan radiasi surya yang memicu peningkatan defisit tekanan uap yang terjadi seiring dengan meningkatnya suhu udara dan dipercepat oleh angin sebagai pembawa air yang sudah diuapkan oleh bahan bakar. Angin turut memicu terjadinya kebakaran dan juga memasok oksigen yang merupakan salah satu komponen penyebab terjadinya kebakaran. Selain itu Affan (2002) menyatakan bahwa angin juga menentukan arah penjalaran api. Kondisi cuaca yang mempengaruhi timbulnya api, perilaku kebakaran dan pengendalian terhadapnya dikenal dengan cuaca kebakaran (fire weather), sedangkan periode ketika sering sekali dijumpai kebakaran dahsyat yang menyebar dengan cepat, serta mengakibatkan

kerusakan yang cukup parah disebut dengan musim kebakaran (fire season) (The Glossary Team 2002).

2.2 Definisi Gambut

Tanah gambut didefinisikan sebagai tanah dimana terdapat lapisan bahan organik setebal lebih dari 0.5 meter, meliputi wilayah seluas lebih dari satu hektar dan kandungan bahan organik lebih dai 65 % (Nicolas dan Bowen 1999). Lahan gambut Indonesia berada pada daerah-daerah beriklim tipe A atau B menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson (1951). Pada umumnya terletak diantara hutan rawa dengan hutan hujan. Hutan gambut banyak terdapat di Sumatera dekat pantai timur dan merupakan jalur panjang dari utara ke selatan sejajar dengan pantai timur di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan sebagian kecil di Provinsi Lampung. Sebaran lahan gambut di Sumatera digambarkan pada lampiran 1

Tegakan pada hutan gambut selalu hijau dan mempunyai banyak lapisan tajuk. Jenis-jenis pohon yang terdapat pada hutan ini adalah Alstonia sp., Dyera sp., Durio carinatus,

Palaquium spp., dan sebagian lagi merupakan jenis ramin, sejenis kayu yang mewah dan sangat baik digunakan untuk furniture, oleh sebab itu tipe hutan gambut sering disebut juga dengan hutan ramin.

Didalam klasifikasi tanah, tanah gambut disebut juga sebagai tanah organosol karena tanah gambut mengandung banyak bahan organik. Berdasarkan bahan yang menyusunnya serta kematangan gambut yang dipengaruhi oleh proses penghancuran bahan organiknya (dekomposisi), maka jenis tanah ini digolongkan menjadi tiga jenis (Arsyad 1997), yaitu :

1. Tropofibrists, atau lebih dikenal dengan sebutan gambut mentah yaitu tanah organosol yang belum atau sedikit mengalami penghancuran, sebagian besar terdiri dari serat-serat yang mudah dikenal asal botanisnya. 2. Tropohemists, merupakan tanah

organosol dengan bahan organik peralihan dan tingkat I penghancuran lebih tinggi dari gambut mentah

3. Troposaprists, atau gambut matang adalah tanah organosol yang telah mengalami penghancuran lebih sempurna.

(18)

disebut juga dengan hutan rawa gambut. Di Sumatera, sebagian besar tanah gambut berasal dari pohon hutan yang membusuk, terdiri dari batang, akar, dan cabang dalam formasi hampir tanpa bentuk dan struktur berwarna coklat kehitaman. Bahan organiknya sebagian besar berbentuk gambut tropofibrists yang agak matang (Nicholas dan Bowen 1999). Lahan gambut di Sumatera merupakan lahan gambut terluas di Indonesia, yang mempunyai peranan dalam berbagai aspek. Dalam pemanfaatannya lahan gambut menjadi rentan untuk terjadi kebakaran.

2.3 Pembentukan, Penyebaran, dan Hidrologi Lahan Gambut

Tanah gambut adalah tanah yang terbentuk dari akumulasi bahan organik pada kondisi anaerob. Gambut terbentuk dari timbunan bahan organik yang berasal dari tumbuhan purba yang berlapis-lapis hingga mencapai ketebalan >30 cm. Proses penimbunan bahan sisa tumbuhan ini merupakan proses geogenik yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Kondisi anaerob yang tercipta karena penggenangan dataran pantai yang merupakan kondisi penting dalam pembentukan gambut pantai. Gambut pantai mulai terbentuk dari akumulasi bahan organik didaerah belakang tanggul sungai (leeve) yaitu daerah back swamp. Pada saat gambut masih tipis akar tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di gambut dapat mengambil unsur hara dari tanah mineral dibawah gambut selanjutnya gambut terbentuk diperkaya dengan unsur hara dari luapan air sungai (Sumawinata 1998).

Dalam perkembangan selanjutnya gambut semakin tebal dan akar tumbuhan yang hidup di gambut tidak mampu mencapai tanah mineral di bawahnya, air sungai tidak mampu lagi menggenangi permukaan gambut. Sumber utama dari gambut hanyalah air hujan sehingga vegetasi yang tumbuh menjadi kurang subur dan menyebabkan gambut yang tumbuh menjadi gambut yang miskin akan hara. Gambut ini disebut sebagai gambut ombrogen (Soil Survey Staff 1998).

Lahan gambut memegang peranan penting dalam sistem hidrologi suatu lahan rawa, yaitu sifat lahan gambut yang mempunyai daya menahan air yang dimilikinya. Sifat gambut yang mampu menyerap air ini membuatnya mendapat julukan “spons”. Tanah gambut yang memiliki daya tahan air yang besar

sehingga air hujan yang jatuh dapat diserap dan dapat mengurangi bahaya banjir.

Tanah gambut telah banyak mengalami perubahan dengan cara direklamasi untuk dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar gambut. Permasalahan lain yang dihadapi oleh lahan gambut saat ini adalah pemborosan sumberdaya alam gambut akibat drainase, dalam hal ini termasuk subsiden selama penyusutan, pemadatan, dekomposisi, pengeringan yang tidak dapat balik/irreversible drying serta kehilangan materi gambut selama proses reklamasi. Banjir dan bahaya air permukaan yang dangkal karena elevasi yang rendah, situasi topografi dan hujan yang lebat (Jamaludin 2002). Gambut pada umumnya diklasifikasikan sebagai gambut ombrogen atau penerima hujan dimana gambut tipe ini akan memiliki kandungan nutrisi yang rendah. Dikarenakan oleh geomorfologi pesisir atau endapan alluvial, pada umumnya gambut ini memiliki bentuk memanjang dan tidak teratur daripada yang berbentuk membulat. Kedalaman gambut akan lebih rendah pada daerah yang dekat pantai/pesisir dan akan semakin meningkat kearah dalam, dan pada lokasi-lokasi tertentu dapat mencapai 20 meter. Air akan memegang peranan penting yang sangat penting dalam pengembangan dan pemeliharaan gambut tropis (Huat 2003).

Huat (2003) mengemukakan bahwa keseimbangan antara hujan dan evapotranspirasi adalah hal yang krisis bagi kelestarian gambut. Hujan dan topografi permukaan akan mengatur karakteristik dari keseluruhan hidrologi dari lahan gambut. Lahan gambut juga dikenal sebagai istilah lahan basah dikarenakan kondisi air tanahnya yang mendekati atau berada di atas permukaan gambut sepanjang tahun dan berfluktuasi seiring dengan intensitas dan frekuensi curah hujan. Gambut di wilayah tropis pada umumnya adalah non homogen (ditinjau dari sifat fisik). Sifat-sifat fisik ini tergantung dari banyak faktor seperti kandungan kayu, derajat pembusukan/humification, bulk density, porositas, sifat menahan air, dan hidrologinya.

2. 4 Lahan Gambut Sumatera

(19)

terdapat di dataran rendah sampai datarn tinggi. Di Sumatera, penyebaran lahan gambut secara dominan terdapat di dataran rendah sepanjang pantai timur, dari Lampung sampai Sumatera Utara tetapi yang dominan terdapat di wilayah Propinsi Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi.

Lahan rawa gambut di Pulau Sumatera mempunyai tingkat kematangan Fibrists (belum melapuk/ masih mentah), Hemists (setengah melapuk) dan Saprists (sudah melapuk/ hancur) dengan ketebalan bervariasi mulai dari < 50 cm sampai lebih dari 8 meter. Luas total lahan gambut pada kondisi tahun 1990 sekitar 7,20 juta ha, termasuk Tanah mineral bergambut yang berasosiasi dengan tanah gambut (ketebalan gambut < 50 cm). Pada kondisi tahun 2002, oleh berbagai pengaruh dari penggunaan lahan selama sekitar 12 tahun terakhir, luas lahan gambut telah menyusut sekitar 9,5 % atau sekitar 683 ribu ha. Penyusutan ketebalan gambut ini diduga sebagai akibat adanya perubahan penggunaan lahan/vegetasi penutup yang umumnya digunakan untuk pengembangan pertanian/ perkebunn maupun oleh akibat adanya kebakaran.

Gambar 2 Luas dan Sebaran Gambut Sumatera Tahun 1990

(Wahyunto 2005)

2.4.1 Gambut Riau

Luas seluruh lahan gambut di propinsi Riau adalah seluas 4.043.602 hektar. Penggunaan lahan pada tahun 1990 merupakan konversi lahan gambut ke lahan pertanian maupun perkebunan oleh penduduk setempat. Sebagian besar gambut pada propinsi ini merupakan gambut sangat dalam dan gambut dalam (ketebalan gambut 2 sampai 4 meter).

Gambar 3 Diagram Luas Lahan Gambut Riau (Wahyunto 2005)

2.4.2 Gambut Sumatera Selatan

Penyebaran lahan gambut di Sumatera Selatan , merupakan wilayah terluas kedua di Sumatera yakni 1.483.662 hektar. Lahan gambut di Sumatera Selatan pada awalnya merupakan gambut yang terdapat pada landform kubah gambut yang masih dipengaruhi air pasang surut. Sebagian besar lahan gambut telah dibuka sebagai lahan pertanian , sehingga kedalaman gambut di daerah ini tergolong gambut dengan kedalaman sedang yaitu 1-2 meter.

2.4.3 Gambut Jambi

Propinsi Jambi merupakan propinsi ketiga yang memiliki penyebaran gambut terluas di Sumatera. Luasny amencakup areal 716.838 hektar. Lahan gambut menempati landform kubah gambut dan sebagian daerah pasang surut.

2.5 Penyebab Kebakaran Lahan Gambut

(20)

api dalam pengelolaan lahan oleh masyarakat, pembakaran untuk pembersihan lahan oleh perusahaan hutan dan perkebunan, pembukaan daerah transmigrasi, pembangunan berskala besar yang mengubah penggunaan dan penutupan lahan serta konflik antara perusahaan dengan masyarakat.

2.6 Penyimpangan Iklim

Secara umum diketahui bahwa kebakaran hutan dan lahan sebagian besar disebabkan oleh kegiatan-kegiatan penyiapan lahan untuk berbagai macam bentuk usaha pertanian dan kehutanan (mulai dari skala kecil hingga skala besar seperti ladang berpindah dan pengembangan hutan tanaman industri/HTI serta perkebunan kelapa sawit, dan sebagainya). Akibatnya sering sekali diperbesar oleh kondisi cuaca yang ekstrim seperti musim kemarau yang panjang.

Pada dasarnya, sejarah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, dan dampak-dampak yang ditimbulkannya terdokumentasi dengan baik. Dalam dua dekade terakhir, Indonesia khususnya Sumatera telah mengalami lima periode kebakaran yang sangat intensif, yaitu 1982/1983, Agustus 1990, Juni-Oktober 1991, Agustus-Oktober 1994, September-November 1997, dan Februari-Maret 1998. Kebakaran hutan dan lahan tahun 1997 adalah kebakaran terbesar yang pernah terjadi di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara umumnya dalam kurun 15 tahun terakhir dengan dampak yang sangat buruk sehingga mendapatkan perhatian serius dari dunia internasional serta menimbulkan kecaman dan tuntutan yang sangat besar dari berbagai pihak kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan aksi yang nyata.

Menurut Fuller (1991), unsur-unsur iklim besar pengaruhnya terhadap kebakaran hutan dan lahan. Hal ini dikarenakan iklim dapat mempengaruhi kondisi bahan bakaran dan kemudahannya untuk terbakar. Oleh karena itu unsur-unsur iklim, khususnya curah hujan, maupun penyimpangannya menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan tingkat Risiko kebakaran hutan dan lahan di daerah –daerah yang sering mengalami kebakaran hutan dan lahan. Pengalaman membuktikan bahwa kebakaran meningkat saat El-Nino terjadi. Pada peristiwa El-Nino 1997/1998, hampir sebagian besar wilayah Indonesia mengalami kekeringan hebat akibat musim kemarau yang panjang,

sehingga di beberapa daerah seperti Pulau Kalimantan dan Sumatera telah terjadi kebakaran hutan dan lahan yang sangat luas.

Hingga peristiwa kebakaran tahun 1997/1998, kekeringan banyak dihubungkan dengan peristiwa penyimpangan iklim antar tahunan pada skala global yang dikenal dengan El-Nino atau El-Nino and the Southern Oscillation (ENSO). Penyimpangan iklim tersebut ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut Pasifik tropik bagian timur dan tengah sehingga mencapai 0.50 C di atas rata-rata selama beberapa bulan berturut-turut. ENSO yang merupakan fenomena interaksi laut-atmosfer sepanjang tropik yang terjadi pada sirkulasi Walker yaitu sirkulasi udara antar wilayayah Samudera Pasifik dan wilayah Samudera Hindia (Winarso dan Mcbride 2002).

Sejak tahun 1999 telah ditemukan penyimpangan iklim antar tahunan yang terjadi di sekitar Samudera Hindia yang dikenal dengan

Indian Ocean Dipole (IOD). Fenomena ini terjadi karena adanya interaksi laut atmosfer di atas Samudera Hindia yang ditandai dengan anomali suhu permukaan laut di Samudera Hindia sebelah barat yang lebih tinggi dibandingkan dengan Samudera Hindia sebelah timur atau disebut Dipole Mode positif dan sebaliknya disebut Dipole Mode negatif (Vinayachandran 2001). Dengan demikian yang dimaksud dengan penyimpangan iklim adalah penyimpangan iklim antar tahunan dari kondisi rata-rata jangka panjangnya yang disebabkan oleh anomali suhu permukaan laut di Samudera Hindia dan anomali suhu permukaan laut pada Samudera Pasifik yang berinteraksi dengan anomali atmosfer di kedua wilayah tersebut dan kemungkinan berdampak terhadap anomali atmosfer di wilayah Indonesia, khususnya di Sumatera.

(21)

2.7 Hubungan Unsur Cuaca dengan Kebakaran Lahan Gambut

1. Suhu udara, suhu udara bergantung pada intensitas panas atau penyinaran matahari. Daerah-daerah dengan suhu tinggi akan menyebabkan cepat mengeringnya bahan bakar dan memudahkan terjadinya kebakaran. 2. Kelembaban udara, kelembaban udara disekeliling bahan bakar sangat menentukan potensi kebakaran, makin sedikit kadar air udara (kelembaban nisbi kecil), semakin mudah bahan bakar mengering maka semakin besar potensi lahan yang terbakar.

3. Curah hujan, daerah dengan curah hujan tinggi berpengaruh terhadap kelembaban dan kadar air bahan bakar. Bila kadar air bahan bakar tinggi, akan sulit terjadi kebakaran. Pengaruh curah hujan akan jelas terlihat pada penetapan indeks kekeringan. Bila curah hujan tinggi indeks kekeringannya rendah dan akan terjadi sebaliknya bila curah hujan rendah maka indeks kekeringannya tinggi.

4. Angin, angin mempengaruhi kecepatan pengeringan bahan bakar, memperbesar jumlah oksigen yang tersedia, sebagai agen dalam proses pemanasan dan dapat menentukan arah meluasnya kobaran api yang searah dengan tiupan angin. Lereng yang terbakar akan menambah kecepatan tiupan angin. Namun pada malam hari terutama dini hari cuaca dingin, kelembaban udara tinggi serta tiupan angin lemah, menyebabkan meluasnya kobaran api lambat (JICA, 2000).

Daerah dengan curah hujan tinggi berpengaruh terhadap kelembaban dan kadar air bakar. Bila kelembaban dan kadar air bahan bakar tinggi akan sulit tejadi kebakaran. Temperatur udara tergantung terhadap intensitas panas atau penyinaran matahari. Daerah-daerah dengan temperatur tinggi akan menyebabkan bahan bakar cepat mongering dan mudah terbakar (Dirjen PHPA 1994). Suhu bahan bakar merupakan salah satu faktor yang mengontrol kemudahan bahan bakar terbakar dan menentukan tingkat kebakarannya. Suhu dicapai melalui penyerapan radiasi matahari secara langsung dan konduksi dari lingkungan termasuk pada udara yang menyelimutinya. Suhu udara merupakan faktor yang selalu berubah dan mempengaruhi suhu bahan bakar serta kemudahannya terbakar, dan sekaligus sebagai faktor cuaca yang penting (Chandler et al. 1983). Kelembaban relatif didefinisikan sebagai rasio antara kandungan air dalam udara

pada suhu tertentu dengan kandungan air maksimum yang dapat dikandung udara pada suhu dan tekanan yang sama.

Cuaca api didefinisikan sebagai kondisi cuaca yang mempengaruhi awal terjadinya kebekaran dan sifat-sifat kebakaran atau pengendalian kebakaran. Musim kebakaran adalah jangka waktu tertentu dimana kebakaran terjadi, menyebar dan menybabkan kerusakan yang cukup parah. Sehingga memerlukan organisasi pengendali kebakaran (Davis 1973). Daerah yang hanya memiliki dua musim yang jelas, yaitu musim hujan dan musim kemarau seperti di Indonesia, musim kebakaran akan terjadi pada musim kemarau (Suratmo 1985).

Cuaca dan iklim merupakan faktor yang menentukan kadar air dan bahan bakar hutan, terutama peranan hujan. Pada musim kemarau, kelembaban udara menentukan kadar air bahan bakar. Berdasarkan periode musim kemarau, Indonesia yang beriklim tropis musim kemarau jatuh pada bulan Juni sampai September, sedangkan musim penghujan jatuh pada bulan Desember sampai dengan Maret dengan musim transisi diantaranya. Kebakaran lahan pada umumnya jatuh pada musim kemarau. Berikut ini adalah sejarah kebakaran lahan terkait dengan kondisi cuaca pada musim kemarau yang berkepanjangan. Kebakaran hutan dan lahan gambut di wilayah tropika terutama di Asia Tenggara sudah terjadi selama 20 tahun terakhir ini. Kebakaran tersebut terjadi umumnya selama musim kering yang terimbas oleh periode iklim panas atau dikenal sebagai ENSO. Periode panas ini dapat terjadi setiap 3– 7 tahun, dan lama kejadiannya dari 14 bulan hingga 22 bulan (Singaravelu 2002). Pemanasan ini biasanya bermula pada bulan Oktober, terus meningkat ke akhir tahun dan berpuncak pada pertengahan tahun berikutnya.

(22)

500.000 ha lahan gambut di Kalimantan Timur (Page et al. 2000; Parish 2002). Selanjutnya pada tahun 1987 kebakaran hutan dalam skala besar terjadi lagi di 21 propinsi terutama di Kalimantan Timur, yang terjadi bersamaan dengan munculnya periode iklim panas ENSO, sehingga sejak saat itu timbul anggapan bahwa kebakaran hutan adalah bencana alam akibat kemarau panjang dan kering karena ENSO. Kemudian kebakaran besar terjadi lagi pada tahun 1991, 1994 dan 1997 di 24 propinsi di Indonesia. Kebakaran selama musim kering pada tahun 1997, telah membakar sekitar 1,5 juta ha lahan gambut di Indonesia (BAPPENAS 1999), termasuk 750.000 ha di Kalimantan. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997 dinyatakan sebagai yang terburuk dalam 20 tahun terakhir. Atas dasar rekaman sejarah tersebut di atas, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia berulang setiap lima tahun, yang sangat berkaitan dengan periode iklim panas ENSO rata-rata 5 tahun.

2.8 Sifat Kebakaran pada Lahan Gambut

Kebakaran hutan dan lahan gambut selama musim kering dapat disebabkan atau dipicu oleh kejadian alamiah dan kegiatan atau kecerobohan manusia. Kejadian alamiah seperti terbakarnya ranting dan daun kering secara spontan akibat panas yang ditimbulkan oleh batu dan benda lainnya yang dapat menyimpan dan menghantar panas, dan pelepasan gas metana (CH4) telah diketahui dapat memicu

terjadinya kebakaran (Abdullah et al. 2002). Meskipun demikian, pemicu utama terjadinya kebakaran adalah adanya kegiatan dan atau kecerobohan manusia, yang 90–95% kejadian kebakaran dipicu oleh faktor ini. Faktor manusia yang dapat memicu terjadinya kebakaran meliputi pembukaan lahan dalam rangka pengembangan pertanian berskala besar, persiapan lahan oleh petani, dan kegiatan-kegiatan rekreasi seperti perkemahan, piknik dan perburuan. Di Sumatra (Sanders 2005), kegiatan pembukaan dan persiapan lahan baik oleh perusahaan maupun masyarakat merupakan penyebab utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut. Pembukaan dan persiapan lahan oleh petani dengan cara membakar merupakan cara yang murah dan cepat terutama bagi tanah yang berkesuburan rendah. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa cara ini cukup membantu memperbaiki kesuburan tanah

dengan meningkatkan kandungan unsur hara dan mengurangi kemasaman (Diemont et al. 2002). Hanya saja jika tidak terkendali, kegiatan ini dapat memicu terjadinya kebakaran. Dalam skala besar, ancaman kebakaran terutama terjadi dalam kawasan hutan dan lahan gambut yang telah direklamasi.

Sifat kebakaran yang terjadi di kawasan hutan dan lahan gambut berbeda dengan yang terjadi di kawasan hutan dan lahan tanah mineral (bukan gambut). Di kawasan bergambut, kebakaran tidak hanya menghanguskan tanaman dan vegetasi hutan serta lantai hutan (forest floor) termasuk lapisan serasah, dedaunan dan bekas kayu yang gugur, tetapi juga membakar lapisan gambut baik di permukaan maupun di bawah permukaan.

Berdasarkan pengamatan lapangan (Usup et al. 2003) ada dua tipe kebakaran lapisan gambut, yaitu tipe lapisan permukaan dan tipe bawah permukaan. Tipe yang pertama dapat menghanguskan lapisan gambut hingga 10–15 cm, yang biasanya terjadi pada gambut dangkal atau pada hutan dan lahan berketinggian muka air tanah tidak lebih dari 30 cm dari permukaan. Pada tipe yang pertama ini, ujung api bergerak secara zigzag dan cepat, dengan panjang proyeksi sekitar 10–50 cm dan kecepatan menyebar rata-rata 3,83 cm jam-1 (atau 92 cm hari-1). Tipe yang kedua adalah terbakarnya gambut di kedalaman 30–50 cm di bawah permukaan. Ujung api bergerak dan menyebar ke arah kubah gambut (peat dome) dan perakaran pohon dengan kecepatan rata-rata 1,29 cm jam-1 (atau 29 cm hari-1). Kebakaran tipe kedua ini paling berbahaya karena menimbulkan kabut asap gelap dan pekat, dan melepaskan gas pencemar lainnya ke atmosfer. Di samping itu, kebakaran tipe ke-2 ini sangat sulit untuk dipadamkan, bahkan oleh hujan lebat sekalipun. Dari uraian tersebut jelas bahwa kebakaran hutan dan lahan gambut dapat meninmbulkan dampak/akibat buruk yang lebih besar dibandingkan dengan kebakaran yang terjadi di kawasan tidak bergambut (tanah mineral). Selain itu, cara penanganannya pun berbeda, karena karakteristik kebakaran di kawasan bergambut yang khas daripada di kawasan tidak bergambut.

2.9 Kebakaran pada Lahan Gambut dan Dampak yang Ditimbulkan

(23)

kaitannya dengan masalah asap dan emisi CO2.

Areal gambut sangat peka terhadap kejadian kebakaran, dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat lokal yang disertai dengan pembangunan dalam skala besar. Api merupakan bahan yang penting dalam pengelolaan gambut oleh mayarakat. Sumatera khususnya, penggunaan api semakin meningkat dalam kaitannya dengan sonor, pembalakan, perikanan, dan dengan lahan yang terdegradasi.

Masalah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia semakin meningkat dalam dasawarsa terakhir ini dan menimbulkan masalah lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi baik di Indonesia maupun di Negara tetangga (Hoffman

et al. 1999). Tahun 1997/1998 sekitar 9.7 juta hektar lahan dan hutan musnah terbakar dan dan dampak dari asap dan kebakaran itu sendiri telah mempengaruhi kehidupan 75 juta orang. Kerugian ekonomi diduga mencapai USD 3 milyar (Tacconi 2002). Karbon emisi mencapai 13-40 % dari total produksi karbon emisi dunia, sehingga menyebabkan Indonesia menjadi penghasil polusi terbesar dunia (Page et al.

2002).

Di beberapa lokasi aktivitas pembangunan dalam skala besar seperti pembangunan kanal, pembangunan pemukiman transmigrasi, pembangunan perkebunan kelapa sawit, dan HTI bertanggung jawab terhadap terjadinya kebakaran yang luas dan perubahan lansekap. Selain itu, pengelolaan sumberdaya dan api oleh masyarakat juga merupakan penyebab terjadinya kebakaran dan perubahan lansekap.

2.9.1 Karakteristik Kebakaran pada Lahan Gambut

Gambut yang padat tidak mudah terbakar. Meskipun demikian, permukaan air tanah turun pada saat musim kemarau, lapisan-lapisan organik menjadi kering dan mudah terbakar. Hal ini umum bagi jenis gambut yang kasar dimana terdapat banyak rongga udara diantara serat-seratnya. Gambut yang setengah terurai masih mempunyai rongga-rongga udara namun masih mengandung kelembaban-kelembaban, api cenderung untuk membakar lebih ke arah dalam daripada menyebar luas. Sedangkan gambut yang benar-benar padat mempunyai komposisi yang relatif padat dengan sedikit rongga udara dan dapat dianggap lebih basah. Karenanya api membakar lebih lambat dan sering membentuk lubang kawah api.

Penyebaran api pada kebakaran permukaan biasanya tidak cepat. Tetapi, akibat angin materi yang terbakar dapat melayang jauh, menyebabkan banyak titik api sehingga menyebarkan api dengan cepat sekali. Gambut yang terbakar di bagian dalam, menyebar secara perlahan tetapi menghabiskan bermeter-meter kubik materi organik. Rumput dan semak belukar terbakar diatas permukaan tanah, dan dibawahnya akar-akaran yang terbakar melemah dan menyebabkan lubang-lubang sejalan dengan menyebarnya api.

Semua kebakaran gambut, dibawah permukaan tanah menghasilkan asap yang tebal karena gambut masih memiliki sisa-sisa kelembaban dan api masih membara selama berminggu-minggu.

Gambar 4 Kebakaran pada Bawah Permukaan. (ASEAN 2005)

Pembakaran sekecil apapun dari sampah-sampah vegetasi yang dibakar ketika membersihkan kebun-kebun yang dekat dengan daerah pemukiman yang padat, penuh dengan asap meskipun dalam skala kecil. Asap dari bara api kebakaran gambut mengandung banyak partikel yang halus dan pecah-pecahan bahan organik, dimana keduanya berbahaya terutama bagi kesehatan.

2.9.2 Penyebab Kebakaran di Lahan Gambut

(24)

kebakaran hutan diantaranya adalah sifat

Irreversible drying atau sifat tanah gambut yang tidak dapat kembali setelah terbakar. Sifat ini menyebabkan gambut yang dalam keadaan kering pada waktu musim kering/kemarau panjang bercerai berai dan tidak dapat kembali pada kondisi semula (kompak) walau gambut tersebut dibasahi. Sifat lain-lain dari tanah gambut adalah kerapatan lindaknya (bulk density) yang rendah, sehingga kekuatan menahan beban fisiknya rendah.

Seluruh kebakaran hutan gambut di Sumatera, umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia yang membawa bahan pemicu timbulnya api. Kejadian kebakaran tersebut didukung oleh kondisi iklim berupa kemarau panjang yang menyebabkan keringnya tanah gambut, karena pada kondisi normal tanah gambut selalu basah dan tergenang. Banyak kegiatan yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia yang mengakibatkan terjadinya kebakaran pada lahan gambut. Beberapa kegiatan/aktivitas manusia akan diuraikan secara jelas sebagai berikut :

Kegiatan konversi hutan gambut menjadi hutan tanaman industri (HTI) dengan cara pembakaran untuk ditanam dengan jenis yang mengahasilkan kayu untuk industri pulp

dan kertas. Pembakaran semak belukar pada areal gambut guna membuat jalan sarad dengan sistem rel pada lahan gambut, pembakaran dengan sengaja vegetasi yang telah ditebang dan kering oleh petani dalam sistem perladangan (shifting cultivation) untuk membersihkan lahan agar dapat dilakukan penanaman. Cara ini ditempuh, karena menurut petani daerah gambut cara ini mudah dan cepat disamping itu cara pembakaran dinilai murah.

Praktek pemanfaatan areal rawa gambut secara tradisional untuk memproduksi padi lokal di Sumatera yang dikenal dengan nama Sonor. Cara ini dilakukan pada musim kemarau dengan membakar untuk persiapan lahannya. Pada tahun 1997/1998 ribuan ha lahan gambut dibakar untuk praktek sonor dengan luas rata-rata per keluarga 5 ha (Ruchyat dan Suyanto 2001). Di sisi lain kebakaran lahan gambut terjadi karena adanya konflik antara kepentingan lahan masyarakat dan perusahaan. Selain sistem sonor, kebakaran pada areal gambut juga disebabkan oleh pembalakan kayu. Masyarakatlokal terlibat dalam pembalakan kayu komersial secara formal maupun non formal. Masyarakat memanfaatkan jalan-jalan

kanal dan logging. Pembalakan pada satu jenis kayu yang memiliki manfaat besar secara komersil, yaitu pemanfaatan gelam (Melaleuca cajuputi). Kayu ini dapat digunakan sebagai kayu konstruksi, kayu bakar, kayu untuk pulp, dan kayu gergajian.

Produksi arang oleh masyarakat lokal juga menjadi penyebab dari kebakaran lahan gambut. Pembuatan arang ini menjadi sumber alternatif penghasilan masyarakat sekitar lahan gambut. Arang dibuat dari residu kayu gelam atau kayu batangan gelam. Arang dibuat dengan cara menggali petak di areal gambut dengan ukuran 2 m x 2 m x 0.5 m yang digunakan untuk pembakaran kayu.

Lahan gambut yang memiliki banyak manfaat dan kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat lokal dan berdampak negatif yaitu kebakaran pada lahan gambut. Selain unuk bidang pertanian, ternyata lahan gambut bermanfaat pada segi perikanan. Perikanan mempunyai peran penting dalam kehidupan masyarakat Sumatera. Perikanan di areal gambut Sumatera dilakukan dengan sistem lebak lebung yang dikelola oleh Dinas Perikanan dan Pemda setempat. Panen ikan mengikuti pola sebagai berikut. Pada musim kemarau petani dapat menangkap ikan sampai 20 kg per hari, sementara pada musim hujan hanya mencapai 5 kg. Panen ikan mencapai puncaknya pada bulan Juni-September dan pendapatan dari perikanan mencapai Rp. 300.000, 00 per bulan pada musim hujan, dan meningkat 2 hingga 3 kali lipat pada musim kemarau (Susanto 1999). Produksi ikan yang tinggi pada musim kemarau merupakan hasil dari spawning dan breeding yang terjadi pada musim hujan.

Api digunakan pada musim kemarau dalam membakar vegetasi yang memudahkan akses ke lebak-lebak ikan untuk dipanen dan untuk memudahkan ekstrasi kayu gelam. Api juga digunakan secara teratur dalam membersihkan tepian sungai serta meregenerasi tumbuhnya rumput untuk pakan ternak. Tidak ada usaha untuk mengawasi penggunaan api, sehingga pada musim kemarau sangat mudah api menyebar dan menjadi tidak terkendali.

(25)

kerawanan dan kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Sumatera Selatan cukup tinggi terbukti dari kebakaran yang terjadi pada tahun-tahun krisis kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Propinsi Sumatera Selatan memiliki areal lahan basah gambut yang tinggi yaitu sekitar 30 persen, sehingga memberikan sumbangan yang nyata terhadap masalah asap. Penyebab dari kebakaran adalah interaksi dari tiga komponen yaitu manusia, iklim, dan kondisi lahan. Kebakaran yang terjadi di Propinsi Sumatera Selatan memiliki dampak yang sangat besar. Krisis kebakaran lahan dan hutan yang terjadi pada 10 tahun terakhir yang sangat menonjol adalah kebakaran pada tahun 1994, 1997 dan pada tahun 2002.

Kebakaran lahan dan hutan yang terjadi menyebabkan kerusakan sumberdaya alam yang sangat hebat yang sangat sulit untuk menghitung kerugian yang ditimbulkannya, baik kerugian secara ekonomis maupun nilai lingkungan. Dampak kebakaran lahan dan hutan selain menyebabkan laju degradasi hutan yang sangat cepat, juga membawa dampak negatif pada dimensi sosial budaya masyarakat. Selain itu, juga dapat mengganggu hubungan baik dengan Negara-negara lain terutama yang terkena dampak langsung kebakaran yang ditimbulkan dari akumulasi asap yang mengalir yang memenuhi ruang udara Negara lain.

Gambar 5 Asap yang ditimbulkan oleh kebakaran lahan gambut.

(ASEAN 2005)

Berdasarkan literatur-literatur yang ada yang berhubungan dengan kebakaran hutan dan lahan, dampak kebakaran pada lahan basah gambut lebih besar yaitu menimbulkan penyebaran asap dalam skala yang sangat luas. Selain itu, area lahan basah gambut yang begitu luas juga dapat berpengaruh nyata terhadap tingkat Risiko kebakaran lahan dan hutan dalam skala nasional.

Faktor berikutnya dari interaksi-interaksi penyebab kebakaran adalah kondisi lahan. Sumatera Selatan memiliki lahan basah yang mengandung gambut sangat luas, lahan basah bergambut yang sebagian besar terhampar di sepanjang pantai timur pada musim kemarau panjang akan mengering dan lapisan gambut yang kering menjadi bahan bakar yng potensial menyebabkan asap selama berbulan-bulan dan dapat menyebar secara global.

Propinsi kedua yang memiliki dominansi rawa gambut adalah Propinsi Riau. Kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Riau pada umumnya terjadi di lahan gambut karena

land clearing untuk perkebunan maupun HTI. Propinsi Riau adalah salah satu dari delapan Propinsi di Sumatera yang terletak di bagian timur yang sebagian besar merupakan dataran rendah yang dipengaruhi oleh pasang surut. Eksploitasi sumberdaya rawa gambut secara besar-besaran pada dua dekade terakhir di Propinsi Riau telah mengubah tata guna lahan dari kawasan hutan yang utuh menjadi kawasan perkebunan dan transmigrasi. Salah satu metode yang murah dan efektif dalam membangun perkebunan maupun HTI adalah dengan cara membakar. Dalam tahun 1997/1998 kebakaran hutan dan lahan dari kegiatan land clearing

sangat luas dan mencapai 26.000 ha. Dengan perubahan iklim global El-Nino, kebakaran lahan gambut telah menimbulkan dampak terhadap pencamaran udara yang mengganggu berbagai sendi kehidupan masyarakat termasuk kesehatan di Propinsi Riau.

2.9.3 Perilaku Kebakaran pada Lahan Gambut

Pada kondisi normal, gambut yang. jenuh air sulit untuk terbakar. Pada musim kemarau, permukaan air tanah (water table) menurun dan bahan organik gambut mengering sehingga mudah terbakar.

Kebakaran yang terjadi pada daerah bergambut umumnya dimulai dari kebakaran permukaan yang selanjutnya merambat kebawah permukaan atau dibawah tanah membakar bahan organik atau sisa-sisa tumbuhan, daun-daunan, ranting, maupun akar. Sehingga bentuk kebakaran pada daerah bergambut dapat berupa kebakaran permukaan maupun kebakaran bawah, juga kebakaran tajuk yang terjadi secara bersamaan dengan lebih dari satu titik.

(26)

karena api yang membakar bahan organik merambat dibawah permukaan tanah. Seringkali lokasi kebakaran hanya dipenuhi oleh asap yang selain menghalangi pandangan juga memberikan kesulitan bernafas bagi petugas dalam upaya penanggulangannya. Di samping itu kegiatan ini memiliki Risiko yang tinggi karena tertimpa pohon yang tumbang. Api yang membakar bahan organik (gambut) akan membentuk lorong-lorong atau kawah-kawah api didalam tanah. Pergerakan api relatif lambat dan pada saat tertentu terutama periode siang hari api dapat muncul di beberapa tempat yang menyebabkan terjadinya kebakaran permukaan dengan pergerakan api yang lebih cepat.

Secara umum perilaku kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi oleh faktor-faktor bahan bakar (jumlah, jenis, susunan, dan kadar air), cuaca (angin, suhu, kelembaban udara), dan topografi. Disamping faktor umum tersebut, kebakaran lahan gambut terjadi karena adanya faktor-faktor khusus. Faktor khusus yang ada dapat berupa jenis gambut, bentuk dan ukuran gambut ditentukan oleh tingkat kematangannya akan mempengaruhi perilaku api pada kebakaran bawah. Gambut matang (troposabrists) mempunyai bentuk yang lebih padat dengan tekstur yang lebih halus sehingga pergerakan api relatif lambat dan umumnya api akan membantuk lingkaran atau kawah api. Gambut mentah (fibrists) atau gambut setengah matang (hemists) dengan bahan pembentuknya yang masih tampak, yaitu daun-daunan ataupun akar memiliki bentuk serta ukuran yang lebih kasar dan renggang, sehingga lebih banyak menyimpan oksigen (O2), akibatnya api

akan membentuk jalur atau lorong-lorong api. Faktor khusus lainnya adalah jumlah,

jenis, dan kerapatan tumbuhan bawah pada areal gambut. Pada areal gambut yang memiliki tumbuhan bawah rapat, kebakaran permukaan akan lebih mudah terjadi. Kebakaran ini akan memicu terjadinya kebakaran bawah serta kebakaran tajuk pohon. Air tanah juga mempengaruhi kebakaran lahan gambut. Keadaan air tanah selain mepengaruhi kelembaban dan kandungan air pada tanah bergambut, serta serasah serta pohon-pohon yang ada di atasnya, maka kedalaman air tanah (water table) menentukan kedalamanan api pada kebakaran bawah.

2.10 Deteksi Titik-Titik Panas (Hotspot) dan Indeks Kekeringan

Hotspot merupakan titik-titik panas di permukaan bumi, yang secara umum merupakan indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan baik yang lokasinya dekat maupun jauh di dalam hutan (Dephutbun 1998). Deteksi titik panas dapat dilakukan dengan pemanfaatan kanal termal (kanal 3) dengan panjang gelombang 3.8 µm dan kanal 4 dengan panjang gelombang 10.5 µm pada sensor AVHRR yang dibawa oleh satelit NOAA.

Pemanfaatan data satelit ini merupakan sarana potensial untuk mendeteksi dan memantau terjadinya kebakaran hutan karena disamping memiliki sensor yang peka terhadap wilayah dengan temperatur tinggi, juga dapat meliputi daerah yang sangat luas (2,600x1,500) km2 serta dapat mengirimkan data minimal satu kali dalam satu hari.

Deteksi lainnya untuk menyusun suatu sistem penilaian bahaya kebakaran adalah dengan menunjukkan kemungkinan terbakarnya bahan bakar untuk kondisi iklim yang beragam (Deeming 1995 dalam Hoffman et.al. 1999). Indeks kekeringan didefinisikan sebagai bilangan yang menunjukkan pengaruh bersih (net effect) dari evapotranspirasi dan presipitasi yang menghasilkan kekurangan (defisiensi) kelengasan secara kumulatif pada lapisan organik tanah yang dalam maupun pada lapisan tanah yang lebih dangkal. Karena itu, indeks kekeringan merupakan suatu jumlah atau besaran yang berhubungan dengan kemudahan terbakar (flammability) bahan organik. Contoh pada kasus ini adalah indeks kekeringan Keetch-Byram, yang dikembangkan tahun 1968 di Negara bagian Florida, Amerika Serikat. Di Indonesia sistem ini diperkenalkan oleh Deeming pada tahun 1995 di propinsi Kalimantan Timur, untuk mengukur tingkat kebakaran pada daerah-daerah di sepanjang daerah tepi pantai utara Samarinda dan Balikpapan. Sistem ini berdasarkan indeks musim kemarau Keetch-Byram dan telah terbukti sebagai alat yang baik untuk memprediksi kebakaran (Hoffman et.al. 1998).

Asumsi dari penilaian ini bahaya ini adalah :

(27)

2. Kecepatan hilangnya kelembaban tanah ditentukan oleh evapotranspirasi dan kandungan kelembaban tanah

3. Kedalaman lapisan tanah yang dipengaruhi oleh kekeringan yang serius, mempengaruhi hutan dan daya hangus tanah organik yang memiliki kapasitas lapang 8 inci (203 mm).

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari - Juli 2011 di Laboratorium Hidrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, IPB.

3.2 Alat dan Bahan

1. Jurnal-jurnal yang berkaitan dengan lahan gambut.

2. Jurnal-jurnal yang berkaitan dengan kebakaran dan kekeringan.

3. Buku-buku yang berkaitan dengan kebakaran lahan gambut dan perspektif masyrakat.

4. Seperangkat komputer dengan program

Microsoft Office.

5. Informasi-informasi maupun bahan sekunder dari lembaga pemerintahan maupun non pemerintahan yang berkaitan dengan gambut dan kebakaran.

3.3 Metode Penelitian

Studi literatur mengenai kerawanan kebakaran lahan gambut di Sumatera akan menggunakan metode dengan mensintesis informasi-informasi dari beberapa jurnal dan buku yang berkaitan dengan kajian literatur. Metode yang digunakan dimulai dengan menentukan tema dari setiap bagian-bagian yang berhubungan dengan kerawanan kebakaran lahan gambut di Sumatera. Membuat garis besar untuk menentukan subtema dari tema utama merupakan fokus dalam kajian ini.

Tema kerawanan kebakaran lahan gambut di Sumatera dibagi menjadi beberapa subtema yaitu :

i. Pemahaman mengenai gambut dan lahan gambut

ii. Hal-hal yang berkaitan dengan lahan gambut dan kebakaran lahan gambut seperti hidrologi gambut, unsur-unsur cuaca yang mempengaruhi kebakaran pada

lahan gambut, seperti anomali iklim El Nino (kemarau panjang) maupun kekeringan.

iii. Penyebab kebakaran lahan gambut, analisa penyebab utama aktivitas manusia atau faktor iklim yang lebih mendominasi kejadian kebakaran pada lahan gambut. Di tiga wilayah utama Pulau Sumatera, yaitu : Propinsi Riau, Sumatera Selatan, dan Propinsi Jambi.

 

Aktivitas Manusia Hidrologi NDVI Lahan Gambut Sumatera Cuaca -SOI -DMI Terbakarnya Bahan Bakar Vegetasi -Penutupan lahan -Kedalaman Gambut Resiko Kebakaran

Gambar 6 Hubungan unsur cuaca, NDVI dan aktivitas manusia terhadap Risiko kebakaran

pada lahan gambut

(28)

Tabel 1 Penggolongan tingkat Risiko kebakaran lahan gambut di Sumatera

Para ahli yang terlebih dahulu menelusuri dan mengintegrasikan permasalahan lahan gambut memiliki beberapa metode khususnya untuk kerentanan kebakaran lahan gambut. Ruchiyat (2008) dalam tulisannya berjudul The Underlying Causes and Impact of Fire

mengelompokkan dua metode untuk membahas kebakaran lahan gambut yaitu :

1. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG), melalui analisa data hotspot (Citra Satelit NOAA) dan identifikasi, analisa dan rektifikasi penutupan lahan sekaligus perubahan lahan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu dengan menggunakan Citra Landsat

2. Studi Sosial-ekonomi, dimana dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu, metode yang membutuhkan partisipasi mayarakat lokal dalam menjawab sejarah perubahan lahan dan melakukan pemetaan sederhana mengenai kekuatan sumberdaya yang ada, khususnya yang mempunyai implikasi langsung terhadap terjadinya kebakaran. Metode kedua dalam pendekatan sosio-ekonomi adalah dengan cara pendekatan institusional terhadap lembaga, pemerintah daerah maupun pusat, dan perusahaan-perusahaan yang bersangkutan.

Adiningsih (2005) dalam tulisannya mengintegrasi beberapa faktor iklim yang berkaitan dengan kerawanan kebakaran lahan gambut. Unsur-unsur iklim tersebut adalah curah hujan bulanan Sumatera, nilai NDVI, Anomali Suhu Permukaan Laut (ASPL). Dari ketiga aspek tersebut dapat diperoleh hubungan penyimpangan iklim dengan curah hujan dan kondisi vegetasi. Dengan menggunakan data

Citra Landsat penutupan lahan dan mengetahui data titik-titik api (hotspot) diperoleh juga hubungan curah hujan, kondisi vegetasi dan penutupan lahan dengan kebakaran hutan dan lahan.

Risiko kebakaran hutan dan lahan adalah proses penilaian dari bahaya pembakaran pada hamparan hutan dan lahan berdasarkan pengukuran integral dari unsur biofisik dalam bentuk indeks. Metode analisis risiko kebakaran hutan dan lahan pada umumnya masih dilakukan untuk tujuan penanggulangannya dan pemadaman kebakaran dalam jangka pendek dalam skala lokal yang mencakup periode harian. Pada sisi peringatan dini dan upaya antisipasi diperlukan informasi dalam jangka panjang, misalnya untuk beberapa bulan kedepan.

Ada beberapa parameter biofisik yang berpengaruh terhadap kerawanan kebakaran lahan gambut. Parameter biofisik yang sangat penting dan berpengaruh terhadap kerawanan kebakaran lahan gambut yaitu cuaca/iklim, bahan bakaran, vegetasi, dan keadaan lahan (Murdiyarso et al. 2002; Tacconi 2003; Chokkalingam dan Suyanto 2004).

Dalam Adiningsih (2005)

menggunakan empat parameter biofisik dalam pengembangan model risiko kebakaran hutan dan lahan yaitu curah hujan, indeks vegetasi yang mewakili gambaran keadaan bahan bakaran dari vegetasi, penutup lahan dan jenis lahan yang mewakili keadaan lahan. Dalam memprediksi kerawanan kebakaran digunakan curah hujan dan indeks vegetasi hasil keluaran model prediksi karena kedua parameter tersebut relatif lebih dinamis. Sementara itu penutup lahan dan jenis lahan digunakan adalah kondisi berdasarkan data tahun 2002 karena perubahan yang terjadi relatif lambat.

Tingkat Risiko kebakaran lahan gambut di Sumatera (Kuantitatif)

Tingkat Risiko kebakaran lahan gambut

di Sumatera (Kualitatif)

Kedalaman Gambut Aktivitas Manusia

I Sangat tinggi Dangkal/Tipis Sangat

sering

II Tinggi Sedang Sering

III Sedang Dalam/Tebal Sedang

(29)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Peran Anomali Iklim, Indeks Vegetasi, dan Curah Hujan dalam Kebakaran Lahan Gambut Parameter penyimpangan iklim seperti SOI dan DMI berpengaruh terhadap indeks vegetasi (NDVI) di Sumatera. ENSO dan DME sangat mempengaruhi kehijauan vegetasi di Sumatera. Penyimpangan iklim ENSO dan DME memilik pengaruh secara tidak langsung bagi indeks vegetasi Sumatera. Peristiwa ENSO dan DME memiliki serangkaian proses untuk dapat menaikkan atau menurunkan nilai indeks vegetasi. Pengaruh ENSO dan DME untuk indeks vegetasi adalah pengaruh curah hujan terlebih dahulu. Fluktuasi curah hujan dan bergesernya waktu terjadinya hujan akan berpengaruh terhadap perkembangan vegetasi. Faktor SOI dan DMI tidak begitu saja menjadi parameter penyimpangan iklim karena indeks vegetasi di Sumatera dapat juga dipengaruhi oleh penutupan lahan, perubahan biomassa, dan sebagainya.

Curah hujan di Sumatera dipengaruhi oleh ENSO dan DME. Interaksi laut atmosfer berpengaruh lebih kuat terhadap daerah-daerah yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Curah hujan merupakan unsur iklim yang paling dinamis dan prosesnya dipengaruhi oleh kondisi atmosfer global maupun lokal.

4.1.1 Peran Anomali Iklim (ENSO dan DME) dalam Kebakaran

Lahan Gambut

Faktor yang dominan mempengaruhi kebakaran lahan gambut adalah aktivitas manusia, namun kejadian ini semakin diperparah dengan adanya peristiwa penyimpangan iklim, seperti musim kemarau yang panjang yang menyebabkan bahan bakar kering tersedia. Iklim adalah sintesis atau rata-rata dari keadaan fisik atmosfer dalam jangka panjang di suatu wilayah. Sementara itu anomali iklim antar tahunan adalah keadaan fisik atmosfer yang melebihi atau kurang sebesar 25 % atau lebih dari normal atau rata-rata jangka panjangnya yang disebabkan oleh El Nino/ La Nina yang ditandai oleh suhu permukaan laut di Pasifik tropik (120- 170o BB dan 5o LU- 5oLS) sebesar minimum ± 0.5o C selama 6 bulan atau lebih dan atau disebabkan oleh Indian Ocean Dipole Mode Event yang ditandai dengan gradien anomali suhu

permukaan laut antara bagian barat Ekuatorial Samudera Hindia (50o – 70o BT dan 10o LS – 10o LU) dan bagian utara ekuatorial Samudera Hindia (90o – 110o BT dan 10o LS– 0o) (Rao et al. 2001).

Penyimpangan iklim yang sering dianggap sebagai penyebab kekeringan adalah El Nino atau El Nino and the Southern Oscillation (ENSO). ENSO adalah fenomena interaksi antara lautan-atmosfer di Pasifik tropik bagian timur dan tengah, yang ditandai dengan anomali suhu permukaan laut dan anomali suhu di wilayah tersebut. Pada saat terjadi peristiwa El Nino 1997/1998, hampir semua sebagian besar wilayah Indonesia mengalami kekeringan akibat musim k

Gambar

Gambar 3 Diagram Luas Lahan Gambut Riau (Wahyunto 2005)
Gambar 4   Kebakaran pada Bawah Permukaan.  (ASEAN 2005)
Gambar 6 Hubungan unsur cuaca, NDVI dan aktivitas manusia terhadap Risiko kebakaran pada lahan gambut
Tabel 1
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis data tingkat keterlibatan masyarakat dalam kegiatan fisik untuk pencegahan dan pengendalian kebakaran lahan gambut di Hutan Lindung Gambut (HLG)

Kebakaran hutan dan lahan akan terjadi jika 3 kondisi sebagai syarat terjadinya kebakaran tersedia yaitu bahan bakar (biomass), dryness (kekeringan) dan faktor pemicunya.

Tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan merupakan suatu terminologi yang berhubungan dengan adanya peluang terjadinya kebakaran dan kondisi bahan bakar.. Dalam kaitannya

Meskipun berfokus pada dampak kebakaran hutan dan lahan di tingkat rumah tangga atau desa, studi ini juga mengumpulkan informasi dan data sekunder dari kabupaten dan propinsi

Penelitian selanjutnya adalah membangun model hutan tanaman berisiko kecil kebakaran, pencegahan kebakaran hutan rawa gambut berbasis masyarakat, dan menentukan indikator

Kegiatan Patroli Terpadu Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan dengan target sasaran 731 desa di Indonesia di enam provinsi rawan kebakaran hutan dan lahan yaitu di provinsi

Faktor Pendorong Kebakaran dari Kegiatan Antropogenik yang Dianggap Penting Mempengaruhi Karakteristik Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Indonesia dalam Persen yang Banyak Dibahas

Estimasi Kehilangan Karbon Akibat Kebakaran Tahun 2018 Tutupan lahan Karbon ton/ha Semak Belukar 259,51 Perkebunan Dan Hutan Sekunder Muda 65,93 Hutan Sekenduer Sedang 7,70 Hutan