• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penilaian Kerugian Dan Efektivitas Pencegahan Kebakaran Ekosistem Hutan Gambut (Studi Kasus Di Taman Nasional Sebangau)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penilaian Kerugian Dan Efektivitas Pencegahan Kebakaran Ekosistem Hutan Gambut (Studi Kasus Di Taman Nasional Sebangau)"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

Studi Kasus di Taman Nasional Sebangau

KHULFI MUHAMMAD KHALWANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penilaian Kerugian dan Efektivitas Pencegahan Kebakaran Ekosistem Hutan Gambut (Studi Kasus di Taman Nasional Sebangau) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(3)

Pencegahan Kebakaran Ekosistem Hutan Gambut (Studi Kasus di Taman Nasional Sebangau). Dibimbing oleh BAHRUNI dan LAILAN SYAUFINA.

Salah satu lokasi ekosistem gambut di Indonesia yang memiliki resiko kebakaran hutan yang cukup tinggi adalah kawasan Taman Nasional Sebangau (TNS) yang terletak di antara sungai Katingan dan sungai Sebangau, Pulau Kalimantan. Kawasan ini ditunjuk melalui SK Menhut No. 423/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 dengan luas ± 568 700 ha dan secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Katingan, Kabupaten Pulang Pisau dan Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah.

Kegiatan pencegahan kebakaran hutan merupakan bagian dari kegiatan pengendalian hutan, yaitu semua usaha, tindakan atau kegiatan yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Kegiatan pencegahan kebakaran hutan gambut di TNS merupakan salah satu dari beberapa kegiatan yang direncanakan dan dianggarkan oleh Balai TNS selaku pengelola kawasan disetiap tahun melalui Rencana Kerja Tahunan. Meskipun demikian, kebakaran hutan ternyata masih terjadi di dalam kawasan TNS.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah penyebab kebakaran hutan gambut di kawasan TNS tahun 2014; mengidentifikasi dan menilai berbagai jenis kerugian yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan gambut di TNS pada tahun 2014; dan menganalisis efektivitas kegiatan pencegahan kebakaran hutan di TNS.

Kegiatan penelitian dilakukan selama 6 bulan yaitu pada bulan Oktober 2014 – Maret 2015 yang berlokasi di TNS. Metoda pengumpulan data pada penelitian ini dibagi menjadi tiga, yaitu: studi literatur (desk study) dan pencatatan, survey dampak biofisik, dan survey dampak sosial ekonomi.

Penilaian kerugian dari kerusakan sumberdaya hutan dapat diperoleh berdasarkan pendekatan nilai total ekonomi atau Total Economic Value (TEV) yang hilang akibat kerusakan yang terjadi dan timbulnya biaya akibat dampak. Nilai kerugian total merupakan penjumlahan nilai kerusakan kayu potensial; nilai kerugian hasil hutan non kayu; nilai kerugian sektor perikanan; nilai kerugian sektor transportasi; nilai kerugian kesehatan masyarakat; nilai kerusakan habitat tumbuhan dan satwa liar; nilai karbon yang hilang; nilai kegiatan pemadaman kebakaran.

Analisis dilakukan terhadap efektivitas dan kendala-kendala permasalahan kegiatan pencegahan kebakaran hutan di TNS. Tingkat efektifitas diukur dan dianalisis dengan cara membandingkan pencapaian sasaran atau tujuan kegiatan dengan apa yang direncanakan. Kemudian membandingkan realisasi anggaran belanja dengan target anggaran belanja.

(4)

tercapai, yaitu pengurangan jumlah hotspot dan penurunan luas kebakaran hutan di dalam kawasan TNS hingga tahun 2014 maka kegiatan pengendalian kebakaran hutan di TNS dikategorikan tidak efektif

Kata kunci: kebakaran gambut, efektivitas anggaran, pencegahan kebakaran, penyebab kebakaran, hutan Sebangau

(5)

Effectiveness of Fire Prevention in Peat Forest Ecosystem (Case Study in Sebangau National Park). Supervised by BAHRUNI and LAILAN SYAUFINA.

One location of peat ecosystem in Indonesia which has the high risk of forest fires is Sebangau National Park (TNS). This area is designated by the Minister of Forestry decree No. 423 / Menhut-II / 2004 dated October 19th, 2004

with an area of ± 568 700 ha and administratively included in the Katingan Regency, Pulang Pisau Regency and city of Palangkaraya, Central Kalimantan Province.

Peatland fire prevention activities in Sebangau National Park is one of the annual activities planned by Sebangau National Park manager. Nonetheless, forest fires still continue to occur in this area.

This study aimed to identify the cause of the problem of peat fires in the TNS 2014; identify and assess the various types of loss caused by peat fires in TNS in 2014; and analyze the effectiveness of forest fire prevention activities.

Research carried out for 6 months on October 2014 – March 2015 located at TNS. The method of data collection in this study were divided into three, among which: literature review (desk study) and recording, survey the impact of biophysical and socio-economic impact survey.

Assessment of losses from damage to forest resources can be obtained based on the Total Economic Value (TEV) approach that lost due to damage that occurred and the incurrence of costs due to the impact. Total loss value is the sum value of the damage potential of wood; loss value of non-timber forest products; loss value of the fisheries sector; loss value of the transport sector; loss value of public health; the value of damage to plants and wildlife habitat; carbon lost value; the value of fire fighting activities.

Analysis conducted on the effectiveness and constraints of the problem of forest fire prevention activities at TNS. The level of effectiveness is measured and analyzed by comparing the achievement of the goals or objectives of the activity with what is planned. Then compare actual expenditure with the budget targets.

The total estimated value of the economic losses caused by peat fires in 2014 in the area of TNS of ± 4364 ha was reached Rp134 405 786 127, - The biggest loss value caused by the loss and damage to the biophysical including the value of the carbon emissions, potential value of timber and potential value of non-timber forest products such as rattan, jelutung and gemor leather.

The level of cost-effectiveness of forest fire prevention by Sebangau National Park in 2014 seems to be effective from the point of view budget realization, that reached about 96.96%. However, by considering the realization of the targeted activity, namely a reduction in the number of hotspots and reduction of forest fires, the activities of fire control Sebangau National forests apparently ineffective. Forest fire prevention activities in thea area need to be improved and more focus on the root causes of the peat land fire problem.

(6)
(7)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan lPB

(8)

Studi Kasus di Taman Nasional Sebangau

KHULFI MUHAMMAD KHALWANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Nama : Khulfi Muhammad Khalwani NIM : E151124261

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Bahruni, MS Ketua

Dr. Ir. Lailan Syaufina, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

Dr. Tatang Tiryana, S.Hut. M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah kerugian kebakaran hutan dengan judul “Penilaian Kerugian dan Efektivitas Pencegahan Kebakaran Ekosistem Hutan Gambut (Studi Kasus di Taman Nasional Sebangau)”.

Proses penulisan tesis ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Bahruni, MS dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina, MSc selaku pembimbing, serta Bapak Prof Dr Ir Hardjanto, MS selaku dosen penguji dan juga khususnya untuk keluarga (Elintia, SE, Arkana AK dan Al-Khalifi AK). Penghargaan juga penulis sampaikan kepada teman-teman di Balai TNS yang telah membantu selama pengumpulan data..

Semoga penelitian ini bermanfaat dan terima kasih atas semua saran, dukungan serta nasehat-nasehatnya.

Bogor, Januari 2016

(12)

DAFTARTABEL ii

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR LAMPIRAN iv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 METODE 6

Waktu dan Tempat 6

Alat dan Bahan Penelitian 7

Jenis Data 7

Pengumpulan Data 8

Pengolahan dan Analisis Data 10

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 20

Penyebab Kebakaran di TNS 20

Nilai Kerugian Kebakaran Hutan Gambut 24

Efektivitas Kegiatan Pencegahan Kebakaran Hutan 42

4 SIMPULAN 49

Simpulan 49

Saran 49

DAFTAR PUSTAKA 50

LAMPIRAN 52

Riwayat hidup

DAFTAR TABEL

1 Lokasi dan luas kebakaran di TNS tahun 2014 6

2 Jenis data yang dikumpulkan 7

3 Lokasi petak penelitian nilai kerusakan hutan dan valuasi nilai dampak sosial

9

4 Objek xiiikerxii dampak sosial 10

5 Luas & penyebab kebakaran hutan gambut TNS tahun 2014 22 6 Kerugian total kebakaran ekosistem hutan gambut Sebangau tahun

2014

25 7 Pengelompokan jenis kayu ekonomis pada area bekas terbakar di

TNS berdasarkan kelompok perdagangan

26 8 Estimasi nilai kerugian kayu potensial akibat kebakaran hutan di

TNS tahun 2014

28 9 Estimasi nilai kerugian Hasil Hutan Non Kayu potensial akibat

kebakaran hutan di TNS tahun 2014

(13)

12 Estimasi dampak asap kebakaran tahun 2014 dari kawasan TNS 15 Biaya kegiatan pemadaman kebakaran hutan di kawasan TNS tahun

2014

39 16 Emisi CO2 dari kebakaran hutan gambut TNS tahun 2014 42

17 Nilai anggaran kegiatan Pengendalian Kebakaran Hutan (PKH) oleh Balai TNS

44 18 Evaluasi dan pengelompokan kegiatan pencegahan kebakaran hutan

di TNS tahun 2014

45

DAFTAR GAMBAR

1 Lokasi kawasan TNS (SK.423/Menhut-II/2004) 1

2 Perumusan masalah penelitian 4

3 Kerangka xiiiiker penelitian 5

4 Desain plot anveg dan pengukuran derajat kerusakan 8

5 Sebaran hotspot di TNS tahun 2014 17

6 Lokasi kebakaran hutan di TNS tahun 2014 18

7 Tutupan vegetasi di TNS tahun 2014 19

8 Lokasi bekas kebakaran yang terlihat dari peta citralandsat tahun 2006 di TNS Propinsi Kalimantan Tengah.

21 9 Kebun sawit rakyat dan sawah tadah hujan di sekitar kawasan TNS

(atas); Tumbuhan rasau dan perakaran rasau yang sangat mudah terbakar saat musim kering (bawah)

24

10 Jumlah pohon per hektar berdasarkan kelas diameter di Resort Sebangau Hulu, SPTN Wilayah I Palangka Raya

25 11 Trubusan atau tunas baru yang muncul di bawah pohon yang

terbakar dan merana di lokasi bekas kebakaran hutan bulan September 2014

27

12 Identifikasi lokasi bekas kebakaran hutan gambut di wilayah Resort Sebangau Hulu, SPTN I Palangka Raya

28 13 HHNK yang dimanfaatkan masyarakat desa penyangga kawasan

TNS berupa kulit Gemor dan Rotan

29 14 Rata-rata tangkapan ikan oleh nelayan di sungai dan rawa TNS 32 15 Pondok nelayan di sungai Sebangau dan sungai Katingan, Klotok

nelayan yang tidak beroperasi dan potensi ikan dari rawa TNS

32 16 Jarak pandang dari dan ke Bandara Tcilik Riwut Palangka Raya

pada dasarian I bulan Agustus s.d dasarian III bulan Oktober 2014

(14)

(bawah)

20 Kegiatan pemadaman kebakaran hutan gambut dilakukan melalui udara dan pemadaman langsung di lokasi api SPTN I Palangka Raya (Foto Lakip 2014)

40

21 Pengukuran lapisan gambut yang terbakar di area bekas terbakar 41 22 Trend jumlah hotspot dan luas kebakaran (ha) serta trend rencana

dan realisasi anggaran pencegahan kebakaran hutanTahun 2009-2014di TNS

(15)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada tahun 1997/98 telah dianggap sebagai salah satu bencana lingkungan terburuk sepanjang abad karena dampak kerusakan hutan dan jumlah emisi karbon yang dihasilkan sangatlah besar (Glover dan Jessup 2002). Walau demikian, hingga saat ini kebakaran masih menjadi ancaman khususnya pada musim kemarau.

Kebakaran bisa terjadi di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan, baik pada tanah mineral maupun gambut (Saharjo 1997; Page et al2002; Syaufina 2008). Kebakaran hutan pada tipe tanah gambut jauh lebih sulit dipadamkan karena api bisa menyebar pada vegetasi dan bahan bakar lainnya di atas permukaan serta di dalam lapisan tanah gambut melalui proses pembaraan (Sumantri 2007). Proses pembaraan ini sulit diketahui penyebarannya secara visual namun besar dampaknya untuk kerusakan selanjutnya (Rein et al2008).

Salah satu lokasi ekosistem gambut di Indonesia yang masih memiliki resiko kebakaran hutan yang cukup tinggi adalah kawasan Taman Nasional Sebangau (TNS) yang terletak di antara sungai Katingan dan sungai Sebangau, Pulau Kalimantan. Kawasan ini ditunjuk melalui SK Menhut No.423/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 dengan luas ± 568 700 ha dan secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Katingan, Kabupaten Pulang Pisau dan Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah (Gambar 1). Sebelumnya kawasan TNS merupakan kawasan hutan produksi dimana terdapat 13 konsesi HPH yang beroperasi dari 1970–1995 dan setelah itu menjadi open acces (WWF 2012). Pembuatan kanal/parit untuk jalur transportasi dan ekstraksi kayu dari hutan menuju sungai menjadikan kandungan air gambut berfluktuasi sangat nyata dan mengakibatkan keringnya gambut pada musim kemarau sehingga menjadi mudah terbakar (Jaenicke et al2010).

(16)

Secara umum kawasan TNS masih memiliki kondisi yang relatif lebih baik sebagai habitat flora dan fauna yang unik dan endemik, jika dibandingkan dengan wilayah disekitarnya yang telah banyak dikonversi seperti pada Proyek ex–PLG (BTNS 2008). Luas lahan gambut di Pulau Kalimantan adalah 5 769 246 ha dan lebih dari 50% berada di Provinsi Kalimantan Tengah (Wahyunto et al2005). Jika dilihat dari segi luas kawasan, upaya konservasi gambut di TNS seluas ± 568 700 ha tentunya memiliki proporsi yang cukup penting bagi pelestarian hutan gambut yang masih tersisa di Indonesia.

Kawasan Sebangau memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Pada kawasan ini terdapat sekitar 792 jenis flora tumbuh yang termasuk ke dalam 128 suku (Wardani et al 2006). Suku yang terbanyak adalah Rubiaceae, Myrtaceae dan Euphorbiaceae. Suku lainnya yang masih cukup banyak adalah Moraceae, Fabaceae, Clusiaceae, Cyperaceae, Annonaceae dan Lauraceae. Tiga suku diantaranya merupakan pakan utama orangutan di TNS. Kawasan ini merupakan habitat terbesar populasi satwa langka Orangutan borneo (Pongo pygmaeus) yaitu sekitar 6200–6900 individu (Husson et al 2003) dan juga habitat terbesar pupulasi owa (Hylobates agilis albibarbis), yaitu ±19 000 individu. Dari hasil observasi mamalia diketahui bahwa di dalam kawasan ini dapat dijumpai 35 jenis mamalia dan 13 diantaranya merupakan jenis yang terancam punah. Selain jenis mamalia juga terdapat 106 jenis burung dan 36 jenis ikan yang telah teridentifikasi serta berbagai jenis reptilia (BTNS 2008).

Selain sebagai habitat flora fauna, ekosistem gambut Sebangau juga berperan sebagai gudang penyimpanan karbon yaitu sekitar 2500 ton/ha (Page et al 2002). Kawasan ini juga berfungsi sebagai pengatur tata air di Kabupaten Katingan Kabupaten Pulang Pisau dan Kota Palangka Raya. Antara 80–90% volume gambut akan menjadi penampung air pada musim hujan dan melepaskannya secara bertahap pada musim kemarau (BTNS 2008). Dari aspek sosial ekonomi, hingga saat ini kawasan Sebangau masih menjadi tumpuan masyarakat karena dapat memberikan nilai ekonomi–ekologi yang sangat penting bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat. Oleh karena itu kestabilan ekosistem ini merupakan salah satu faktor penentu kualitas hidup manusia, baik di tingkat lokal, regional, nasional maupun global.

Menurut Suhud et al (2007) dalam kurun waktu 1997–2006, Provinsi Kalimantan Tengah menempati urutan pertama dalam jumlah titik panas (hotspot), yang berarti sebagai daerah dengan potensi intensitas kebakaran hutan dan lahan terbesar di Indonesia. Kawasan konservasi TNS termasuk salah satu kawasan yang berpotensi turut terbakar dalam kurun waktu tersebut. Hingga saat ini, terutama saat musim kemarau, kebakaran terkadang masih terjadi di dalam dan sekitar kawasan konservasi TNS (BTNS 2013).

(17)

ekonomi. Selain itu kerusakan hutan ini akan menimbulkan risiko dan ketidakpastian pulihnya kondisi ekosistem hutan tersebut. Hal ini berimplikasi pada dua hal, yaitu kehilangan nilai guna hasil hutan kayu dan non kayu dimasa akan datang akibat pemanfaatan yang tidak lestari saat kini user cost dan kehilangan nilai guna harapan dimasa akan datang dari keanekaragaman hayati yang saat kini belum dimanfaatkan option values(Bahruni et al2007).

Valuasi terhadap nilai kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan di TNS dapat menjadi bahan masukan kepada pihak pengelola dan stakeholders. Dengan mengetahui nilai kerugian ini dapat ditentukan strategi untuk tindakan preventifnya dalam kaitannya dengan rencana alokasi anggaran pencegahan kebakaran hutan. Selanjutnya akan diketahui apakah anggaran bidang pencegahan kebakaran hutan yang telah direncanakan dan direalisasikan selama kurun waktu tersebut sudah cukup sesuai dan efektif apabila dibandingkan dengan nilai kerugian yang bisa dihindari jika tidak terjadi kebakaran hutan.

Perumusan Masalah

Penilaian ekonomi terhadap dampak kebakaran hutan di kawasan TNS belum pernah dilakukan. Kaitannya dengan manajemen pengelolaan kawasan hutan konservasi TNS, penilaian terhadap dampak kebakaran hutan dapat memberikan bahan masukan dan pertimbangan bagi para stakeholders yang berkepentingan dengan kawasan ini khususnya bagi pengelola kawasan yaitu Balai TNS.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 03/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional, Balai TNS mempunyai tugas pokok dan fungsi melaksanakan pengelolaan ekosistem kawasan taman nasional dalam rangka konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi tersebut, salah satu kegiatan pentingnya adalah penyusunan rencana, program dan evaluasi di bidang perlindungan hutan, termasuk didalamnya kegiatan pengendalian kebakaran hutan.

Pengendalian kebakaran hutan adalah semua usaha yang meliputi pencegahan, pemadaman, penanganan pasca kebakaran hutan dan penyelamatan (Permenhut P.12/Menhut-II/2009). Kegiatan pencegahan kebakaran hutan merupakan bagian dari kegiatan pengendalian hutan, yaitu semua usaha, tindakan atau kegiatan yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Kegiatan pencegahan kebakaran hutan gambut di TNS merupakan salah satu dari beberapa kegiatan yang direncanakan dan dianggarkan oleh Balai TNS disetiap tahun melalui Rencana Kinerja Tahunan. Meskipun demikian kebakaran hutan ternyata masih terjadi di dalam kawasan TNS.

(18)

banjir, keanekaragaman hayati; dan 3) Kerugian di sektor pedesaan akibat kebakaran hutan dan anomali cuaca. Walau demikian, analisis kebijakan terkait anggaran bidang kebakaran hutan belum banyak dikaji lebih lanjut.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka secara ringkas perumusan masalah dari penelitian ini dapat dijelaskan seperti pada Gambar 2.

Gambar 2 Perumusan masalah penelitian

Daftar pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini diuraikan sebagai berikut :

1. Apa masalah penyebab kebakaran hutan gambut di TNS ?

2. Berapa nilai kerugian ekonomi akibat kejadian kebakaran ekosistem hutan gambut di TNS ?

3. Bagaimana efektivitas kegiatan pencegahan kebakaran hutan di TNS jika dilihat dari a) jenis kegiatan yang direncanakan; b) rencana dan realisasi anggaran c) tata waktu dan lokasi kegiatan.

4. Apa kendala-kendala dalam pengendalian kebakaran hutan di kawasan TNS ?

Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi masalah penyebab kebakaran hutan gambut di kawasan TNS. 2. Mengidentifikasi dan menilai berbagai jenis kerugian yang ditimbulkan akibat

kebakaran hutan gambut di TNS pada tahun 2014

3. Menganalisis efektivitas kegiatan pencegahan kebakaran hutan di TNS.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi para stakeholdersyang berkepentingan dengan kawasan ekosistem gambut TNS, khususnya bagi kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan konservasi oleh Balai TNS. Glover dan Jessup (2002) menyatakan penilaian terhadap kerusakan lingkungan dapat memberikan beberapa manfaat, yaitu: 1) penilaian memungkinkan dilakukannya analisis biaya manfaat (cost benefit analysis) yang

Berapa ? (Belum ada yang mengukur)

Berapa ? (Apakah cukup efektif) Nilai Ekonomi Kerugian

Kebakaran Hutan Gambut di TNS

Anggaran Bidang Pencegahan Kebakaran

(19)

lebih lengkap dan akurat dari suatu upaya kebijakan atau proyek, 2) penilaian dapat menjelaskan kepada kita tingkat kepentingan relatif dari perbaikan atau perusakan lingkungan, dan bagaimana dampaknya terhadap penduduk, dan 3) penilaian dapat menarik perhatian berbagai pihak pada permasalahan lingkungan dan membuat arti pentingnya menjadi jelas.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini difokuskan untuk melakukan penilaian kerugian kebakaran hutan di dalam kawasan TNS pada tahun 2014 dan menilai efektivitas kegiatan pencegahan kebakaran hutan selama periode lima tahun terakhir, dengan melakukan analisis kualitatif terhadap kesesuaian 1) jenis kegiatan yang direncanakan, 2) rencana dan realisasi anggaran; 3) tata waktu dan lokasi kegiatan; dengan masalah penyebab kebakaran hutan di TNS. Tahapan penelitian terdiri dari identifikasi jenis dampak; identifikasi wilayah dampak; kuantifikasi dampak dan kemudian diperoleh nilai kerugian. Dalam praktek valuasi ekonomi, tidak begitu mudah memisahkan antara berbagai komponen nilai yang berbeda-beda, namun karena berbagai keterbatasan cukup menghitung nilai dari beberapa komponen penggunaan sumber daya hutan yang dominan.

Adapun kerangka pikir penelitian ini dijelaskan seperti pada Gambar 3.

Gambar 3 Kerangka pikir penelitian

Kebakaran Hutan Gambut

Perubahan kualitas lingkungan Biaya Pemadaman

Habitat Konservasi Gambut di Indonesia

(20)

2 METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Kegiatan penelitian dilakukan selama 6 bulan yaitu pada bulan Oktober 2014 – Maret 2015 yang berlokasi di TNS (113o18’ – 114o03’ BT dan 010 55’ – 03o07’ LS). Valuasi kerugian terhadap kerusakan biofisik dilakukan pada lokasi bekas kebakaran hutan tahun 2014 dan sedangkan valuasi kerugian dampak sosial dilakukan terhadap masyarakat desa sekitar lokasi kebakaran yang termasuk wilayah dampak.

Berdasarkan hasil kegiatan pengukuran langsung dan digitasi luas kebakaran hutan oleh Balai TNS diketahui bahwa luas kebakaran di dalam kawasan TNS pada tahun 2014 mencapai ± 4364 ha sebagaimana dijelaskan pada Tabel 1.

Tabel 1 Lokasi dan luas kebakaran di TNS tahun 2014

No Lokasi kebakaran (koordinat) Luas

(ha)

Tutupan vegetasi

A SPTN Wilayah I Palangka Raya

1 Tangkiling, Resort Habaring Hurung (X:113.640 Y:-1.963; X:113.640 Y:-1.958)

44.58 Hutan rawa sekunder 2 Banturung, Resort Habaring Hurung

(X:113.706 Y:-2.012; X:113.707 Y:-2.006; X:113.706 Y:-2.006; X:113.704 Y:-2.001; X:113.716 Y:-2.012)

23.04 Hutan rawa sekunder

3 Marang Jl. Cilik Riwut KM. 17, Resort Habaring Hurung (X : 113.767; Y : -2.142)

75.53 Hutan rawa sekunder 4 Marang Jl. Cilik Riwut KM. 21, Resort Habaring Hurung

(X:113.716 Y:-2.097)

13.62 Hutan rawa sekunder 5 Kereng Bengkirai, Resort Sebangau Hulu

(X:113.838 Y:-2.299; X:113.840 Y : -2.302)

23.55 Hutan rawa sekunder

Sub total 180.32

B SPTN Wilayah II Pulang Pisau

1 S. Bangah (kiri) Resort Bangah (X:114.004 Y: -2.706) 124.00 Belukar rawa 2 S.Sebangau, Resort Bangah (X:114.048 Y:-2.685) 509.00 Belukar rawa 3 S. Bangah (kanan) Resort Bangah (X:114.015 Y:-2.693) 112.00 Belukar rawa 4 S. Sebangau, Resort Mangkok (X:114.042 Y:-2.643) 150.00 Belukar rawa 5 S. Sampang, Resort Paduran (X:113.636 Y:-2.778) 1253.18 Belukar rawa

Sub total 2148.18

C SPTN Wilayah III Katingan

1 S.Bulan (Sept), Resort Muara Bulan (X: 113.501 Y:-2.528) 88.97 Belukar rawa 2 S. Bulan (Sept), Resort Muara Bulan (X:113.467 Y:-2.544) 55.62 Belukar rawa 3 S. Musang, Resort Muara Bulan, (X:113.244 Y:-2.384) 1291.00 Belukar rawa 4 S. Landabung, Resort Muara Bulan

(X:113.211 Y:-2.462; X:113.213 Y:-2.455; X:113.213 Y:-2.455; X:113.214 Y: -2.464)

116.38 Belukar rawa

5 Kanal Bukit Kaki, Resort Mendawai

(X:113.184 Y:-2.590; X:113.185 Y:-2.575; X:113.192 Y:-2.574; X:113.193 Y:-2.585; X:113.193 Y : -2.585)

449.12 Belukar rawa

6 Sungai Lewang, Resort Muara Bulan (X:113.254 Y:-2.346) 34.65 Belukar rawa

Sub total 2035.74

Total luas kebakaran 4364.24

(21)

Alat dan Bahan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari kamera, GPS, komputer (program GIS dan microsoft exel), pita meteran, penggaris, kantong plastik, kertas label, alat tulis, perekam suara dan daftar pertanyaan.

Jenis Data

Secara garis besar data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data sekunder dan data primer yang diuraikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Jenis data yang dikumpulkan

No Jenis data Variabel Pengumpulan data

A Data sekunder

1. Kejadian kebakaran hutan

Luas dan lokasi kebakaran hutan

Laporan tahunan, Lakip, Statistik BTNS

2. Kinerja Anggaran BTNS

Rencana dan realisasi anggaran Lakip BTNS

3. Kegiatan pencegahan karhut

Jenis, lokasi dan waktu pelaksanaan

Laporan kegiatan BTNS

4. Kerawanan kebakaran hutan

Lokasi dan kelas kerawanan Bagian GIS BTNS

5. Potensi flora fauna dan hasil hutan non kayu

Potensi Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL); Strutur&komposisi vegetasi; jenis HHNK.

literatur dan laporan kegiatan BTNS, WWF dll

6. Potensi karbon stok karbon, faktor emisi, tebal gambut

literatur dan laporan BTNS, WWF dll

7. Kegiatan rehabilitasi ekosistem

Jenis kegiatan; nilai kegiatan literatur dan laporan BTNS, WWF dll

8. Sosial ekonomi masyarakat

Jumlah penduduk, pekerjaan, dll.

Dokumen desa, BPS dan BTNS

9. Pemadaman kebakaran hutan

Standar biaya; SDM;Waktu BTNS, BKSDA, WWF

B Data primer

1. Fire severitydan

burning efficiency

Derajat kerusakan pohon, Rata-rata ketebalan lapisan gambut terbakar

Pengukuran di lapangan

2. Potensi kayu Jenis pohon, diameter, tinggi bebas cabang, potensi volume kayu, harga

Pengukuran di lapangan

3. Potensi HHNK Jenis, produktivitas, harga Wawancara pengumpul HHNK

4. Perikanan

sungai&rawa gambut

Jenis ikan, harga ikan, hasil tangkapan

Wawancara nelayan

5. Dampak asap bagi sector transportasi

Jumlah angkutan sungai dan udara tidak beroperasi, karakteristik dan lama dampak

Wawancara pengusaha transportasi pada wilayah dampak

6. Dampak asap bagi kesehatan masyarakat

(22)

Pengumpulan Data

Metoda pengumpulan data pada penelitian ini dibagi menjadi tiga, yaitu: 1) Studi literatur (desk study) dan pencatatan

2) Survey dampak biofisik, dan 3) Survey dampak sosial ekonomi

Studi literatur (desk study) dan pencatatan dilakukan terhadap semua dokumen laporan terkait potensi kawasan konservasi, habitat flora fauna dan prilaku satwa liar di kawasan TNS, laporan tahunan dan laporan kinerja terkait rencana dan realisasi anggaran pencegahan kebakaran hutan, laporan penanggulangan kebakaran hutan, laporan/ data kesehatan di Puskesmas wilayah dampak kebakaran hutan dan laporan atau hasil penelitian terkait lainnya.

Survey biofisik meliputi 3 (tiga) kegiatan yaitu pengukuran fire severity (tingkat keparahan) berdasarkan derajat kerusakan pohon pada area bekas terbakar dan efisiensi kebakaran berdasarkan persentase rata-rata ketebalan gambut yang terbakar; kemudian dilakukan analisis vegetasi pada lokasi yang tidak terbakar pada satu hamparan yang sama atau memiliki strata (sub tipe ekosistem) yang sama dengan area kebakaran.

Pengukuran derajat kerusakan tegakan pohon dilakukan pada area bekas kebakaran dengan cara menghitung semua jumlah pohon yang dijumpai dalam satu jalur pengamatan dan melakukan skoring terhadap tingkat kerusakan masing-masing pohon dengan skor sebagai berikut : pohon tidak terbakar = 0; terbakar basah (masih bertunas) = 1; terbakar kering (merana) = 2; dan terbakar hangus = 3 (Pawirosoemardjo 1979 dalam Yunus 2005).

Metode yang digunakan dalam analisis vegetasi pada setiap petak contoh terpilih (stratified random sampling), dengan kombinasi antara metode jalur dan metode garis berpetak (Gambar 4). Risalah pohon dilakukan dengan metode jalur dan permudaan dengan metode garis berpetak ukuran lebar 20 m panjang 100 m (petak ukur pohon 20x20 m2, tiang 10x10 m2, pancang 5x5 m2, semai 2x2 m2dan serasah 1x1 m2).

Gambar 4 Desain plot analisis vegetasi dan pengukuran derajat kerusakan pohon

(23)

kecil pada hutan rawa sekunder; 3) Pengukuran kerusakan pada lokasi bekas terbakar idealnya dilakukan saat masih musim kemarau (setelah kebakaran padam) sehingga kondisi tapak tidak tergenang; 4) Aksesibilitas menuju beberapa lokasi kebakaran hutan cukup sulit dan jauh.

Survey dampak sosial ekonomi dilakukan dengan metode wawancara terhadap responden terpilih pada wilayah cakupan dampak kebakaran hutan. Pemilihan lokasi (desa) untuk valuasi dampak sosial dilakukan dengan metode purposive sampling. Untuk penentuan lokasi penelitian dampak asap (off site) hanya dibatasi pada desa-desa penyangga kawasan TNS mengingat karena pada tahun 2014 lokasi kebakaran hutan di TNS sebagian besar jauh dari pemukiman masyarakat dan kejadian kebakaran hutan tidak hanya terjadi di dalam kawasan TNS. Dari desa-desa penyangga tersebut dipilih sebanyak 15 kelurahan/desa berdasarkan survey pendahuluan dan pertimbangan jarak terdekat dari lokasi kebakaran hutan di kawasan TNS. Khusus untuk responden nelayan dibatasi pada desa-desa yang nelayannya secara rutin mengakses ikan di sekitar lokasi kebakaran hutan.

Adapun lokasi petak penelitian untuk kerusakan biofisik (on site) dan lokasi penilaian dampak sosial (off site) akibat kebakaran hutan di TNS tahun 2014 diuraikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Lokasi petak penelitian nilai kerusakan hutan dan valuasi nilai dampak sosial

Lokasi penelitian on site

Lokasi kebakaran Luas kebakaran Tipe hutan Wilayah administrasi 1. Resort Sebangau Hulu,

Palangka Raya

23,55 ha Hutan rawa sekunder

Palangka Raya

2. S. Musang, Resort Muara Bulan, Katingan

1.291 ha Belukar rawa Katingan

Lokasi penelitian off site

Lokasi kebakaran Desa terpapar Jumlah penduduk*) Wilayah Resort

1. SPTN I Palangka Raya - Kereng Bengkirai - Habaring Hurung

2. SPTN II Pulang Pisau - Sebangau Permai - Mekar Jaya

3. SPTN III Katingan - Baun Bango - Keruing

*)Sumber : Statistik BTNS 2014, Kecamatan Sebangau Kuala 2014, Kecamatan Mendawai dalam

angka 2014

(24)

Tabel 4 Objek survei dampak sosial

No Objek Wawancara Sampling Tujuan

A. Responden

1 Masyarakat pencari ikan/ nelayan

Random Memperoleh informasi terkait nilai kerugian perikanan

2 Pengumpul HHNK (jelutung, gemor, rotan)

Random Memperoleh informasi terkait nilai kerugian HHNK

3 Ibu Rumah Tangga Random Memperoleh informasi biaya pengobatan sendiri akibat asap 4 Dokter/ Mantri/ Bidan desa Purposive Memperoleh informasi kerugian

kesehatan masyarakat 5 Pengusaha transportasi darat/

air/udara

Purposive Memperoleh informasi kerugian transportasi

B Key Informan

1 Balai TN Sebangau (Polhut, Seksi perencanaan dan evaluasi, KSBTU, Kepala Balai)

Purposive Memperoleh informasi rencana, realisasi dan kendala pengendalian serta penyebab kebakaran hutan di TN Sebangau

2 Mitra kerja (WWF Kalteng dan Intansi pemerintah lainnya

Purposive Memperoleh informasi jenis program kerjasama dan nilainya

3 Masyarakat Peduli Api Purposive Informasi penyebab kebakaran dan kendala-kendala permasalahan. 4 Aparat Desa Purposive Informasi penyebab kebakaran dan

Jenis bantuan sosial yang diberikan

Pengolahan dan Analisis Data

Kebakaran hutan akan menimbulkan kerugian ekonomi dalam bentuk hilangnya sumber daya hutan pada lokasi kejadian (on site effect) dan kerugian akibat asap bagi manusia atau aktifitas ekonomi lainnya (off site effect). Asap dari kebakaran hutan akan mengurangi jarak pandang dan mengganggu sektor transportasi (darat, air dan udara), menurunnya produktivitas, kerugian sektor pariwisata dan tentunya mengganggu kesehatan manusia (Yunus 2005).

Penilaian kerugian dari kerusakan sumberdaya hutan dapat diperoleh berdasarkan pendekatan nilai total ekonomi atau Total Economic Value (TEV) yang hilang akibat kerusakan yang terjadi (Pearce dan Turner 1992). Beberapa peneliti juga menggunakan pendekatan Total Economic Value (TEV) untuk menilai perubahan ketersediaan jasa lingkungan atau ekologi, dengan cara mengukur surplus total perunit area. Menurut Pearce dan Moran (1994) pendekatan penilaian sumberdaya alam dan lingkungan dapat dibagi dua, yaitu pendekatan langsung dan pendekatan tidak langsung. Pendekatan langsung dengan cara eksperimen, kuisioner, survey, dan contingent valuation method. Sedangkan pendekatan tidak langsung yaitu pendekatan pasar pengganti (surrogate market) dan pendekatan pasar konvensional.

Berdasarkan dampak kebakaran hutan TNS yang telah diidentifikasi, kemudian dilakukan penilaian dengan pendekatan langsung maupun tidak langsung. Adapun formulasinya ditetapkan sebagai berikut :

(25)

Keterangan :

NEK = Nilai Ekonomi Kerugian kebakaran hutan TN Sebangau NKP = Nilai Kerusakan Kayu Potensial

NHHNK = Nilai Kerugian Hasil Hutan Non Kayu NI = Nilai Kerugian Sektor Perikanan NT = Nilai Kerugian Sektor Transportasi NKM = Nilai Kerugian Kesehatan Masyarakat

NHTSL = Nilai Kerusakan Habitat Tumbuhan dan Satwa Liar NKH = Nilai Karbon yang Hilang

NPK = Nilai Kegiatan Pemadaman Kebakaran

a. Nilai Kerugian Kayu Potensial (NKP)

Pengukuran potensi kayu pada masing-masing areal terbakar didekati dengan potensi kayu pada areal hutan yang terbakar dan tidak terbakar. Perhitungan potensi volume kayu dibatasi terhadap pohon dengan diameter di atas 10 cm dan kemudian dikelompokkan berdasarkan kelas diameter.

Penghitungan volume pohon dilakukan dengan formula sebagai berikut :

=1 4 Keterangan :

V = Volume kayu (m3) t = tinggi pohon bebas cabang (m) d = Diameter pohon (m) f = angka bentuk (0,7)

Pengukuran derajat kerusakan tegakan pohon dapat diformulasikan dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh (Pawirosoemardjo 1979 dalam Yunus 2005).

=

3 100 %

Keterangan :

I = derajat kerusakan hutan akibat kebakaran Jsp = Jumlah nilai dari n pohon yang ada dalam plot.

3 = Nilai tertinggi dari kempat klasifikasi akibat kebakaran, n = Jumlah pohon dalam tiap plot.

(Skoring : pohon tidak terbakar = 0; terbakar basah/masih bertunas = 1; terbakar kering/merana = 2; dan terbakar hangus = 3)

Penilaian kerugian akibat kayu potensial yang hilang dilakukan dengan cara pendekatan nilai pasar kayu yang potensial atau harga patokan untuk hasil hutan kayu yang ditetapkan Menteri Perdagangan. Dengan formula penghitungan sebagai berikut :

=

Keterangan :

NKP = Nilai Kayu Potensial (m3)

VKP ij = Volume Kayu Potensial jenis ke – i di lokasi – j (m3/ha) LA j = Luas areal kebakaran lokasi ke – j (ha)

(26)

b. Nilai Kerugian Hasil Hutan Non Kayu (NHHNK)

Hasil hutan non kayu yang mempunyai nilai pasar (market value) dihitung berdasarkan pendekatan nilai pasar setempat dengan formula sebagai berikut :

= × ×

Keterangan :

NHHNK = Nilai Hasil Hutan Non Kayu

PHHNK ij = Potensi HHNK jenis ke – i di lokasi – j (unit/ha) LA j = Luas areal kebakaran lokasi ke – j (ha)

HHHNK i = Harga HHNK jenis ke – i (Rp/unit)

c. Nilai Kerugian Perikanan (NI)

Kerugian terhadap sektor perikanan dihitung dengan pendekatan produktivitas masyarakat pengumpul ikan di wilayah dampak.

= ( 1 − 2 )

Keterangan :

KPI 1ij= Kemampuan responden pengumpul ikan jenis i di wilayah dampak –j pada saat tidak terjadi kebakaran (unit/orang/bulan)

KPI 2ij= Kemampuan responden pengumpul ikan jenis i di wilayah dampak –j pada saat periode kebakaran (unit/orang/bulan)

HIi = Harga ikan jenis i (Rp/unit)

JPIj = Jumlah masyarakat pengumpul ikan di wilayah dampak ke-j (orang) Tij = waktu periode/ lama dampak di wilayah ke-j (bulan)

d. Nilai Kerugian Sektor Transportasi (NT)

Kerugian terhadap sektor transportasi diprediksi dialami oleh pengusaha transportasi sungai dan udara sehingga kerugian total merupakan penjumlahan dari masing-masing kerugian tidak beroperasinya moda transportasi tersebut dan penurunan jumlah penumpang. Nilai kerugian tersebut dihitung dengan pendekatan produktivitas pengusaha transportasi pada wilayah terkena dampak selama periode dampak dengan formula sebagai berikut :

NT = NTair+ NTudara

= ( x ) + ( )

= ( x )

Keterangan :

= Jumlah Angkutan tidak Operasi dari perusahaan i di sungai j (unit) selama periode dampak asap (unit)

= Jumlah penumpang per angkutan dari perusahaan i di sungai j (orang/unit)

(27)

JAOij = Jumlah Angkutan Operasi dari perusahaan i di sungai j selama periode dampak asap (unit)

JPKij = Rata-rata Jumlah Penumpang Berkurang usaha angkutan i di sungai j (unit) selama periode dampak asap (orang)

JPBi = Jumlah Penerbangan Batal/ dialihkan dari dan ke Palangka Raya pada maskapai i selama periode dampak

JPPi = Jumlah Penumpang per sekali penerbangan pada maskapai i HTi = Rata-rata harga tiket pada maskai i

e. Nilai Kesehatan Masyarakat (NKM)

Asap biomassa yang keluar pada kebakaran hutan mengandung beberapa komponen yang dapat merugikan kesehatan baik dalam bentuk gas maupun partikel (Brauer 2007). Penurunan kualitas udara sampai taraf membahayakan kesehatan dapat menimbulkan dan meningkatkan penyakit saluran napas seperti infeksi saluran napas (ISPA). Komponen gas dalam biomassa besar yang mengganggu kesehatan adalah karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), aldehid, ozon (O3), karbon dioksida (CO2) dan hidrokarbon.

Untuk menghitung kerugian pada aspek kesehatan masyarakat terlebih dahulu harus ditetapkan batasan wilayah dampak dan diketahui lama periode terpapar dampak. Kemudian dilakukan penghitungan terhadap peningkatan jumlah penderita terkait dampak asap selama periode dampak. Nilai kerugian dihitung dengan pendekatan pengeluaran biaya pengobatan yang terjadi selama periode terpapar dampak dengan menggunakan formula sebagai berikut :

= ( − ) + ( − ) +

= ; =

= ; =

= Keterangan :

NKM = Nilai Kerugian Kesehatan Masyarakat

BPI1j = Biaya pengobatan rawat inap di wilayah –j selama waktu dampak (Rp) BPI2j = Rata-rata biaya pengobatan rawat inap diluar waktu dampak (Rp) BPTI1j = Biaya pengobatan tanpa inap di wilayah dampak –j (Rp)

BPTI1j = Rata-rata biaya pengobatan rawat tanpa inap di wilayah –j diluar waktu dampak (Rp)

= Biaya pengobatan sendiri oleh masyarakat di lokasi –j (Rp)

JPI1j = Jumlah pasien inap/rujuk di wilayah dampak –j selama waktu dampak JPI2j = Rata-rata jumlah pasien inap/rujuk di wilayah dampak –j di luar waktu

dampak

JPTI1j = Jumlah pasien inap/rujuk di wilayah dampak –j selama waktu dampak JPI2j = Rata-rata Jumlah pasien inap/rujuk di wilayah dampak –j di luar waktu

dampak

HPI = Rata-rata biaya pengobatan dengan rawat inap/dirujuk

(28)

HO = Rata-rata harga / biaya pembelian obat sendiri (Rp) f. Nilai Kerusakan Habitat Tumbuhan dan Satwa Liar (NHTSL)

Dampak kebakaran hutan terhadap satwaliar diperkirakan dari mulai sangat dramatis sampai berpengaruh positif. Misalnya dampak kebakaran terhadap banyak herbivora dikatakan justru akan memberikan jumlah makanan yang lebih banyak bagi kelompok ini, sehingga populasinya di hutan bekas kebakaran meningkat. Bagi satwaliar dengan daerah jelajah kecil dan kemampuan mobilitas yang rendah, kebakaran akan memberikan dampak negatif.

Dampak terhadap satwa liar dapat berupa: 1) Perubahan komposisi jenis 2) Perubahan struktur populasi (kematian tingkat bayi, remaja dan sebagainya), 3) Perubahan kerapatan, 4) Pengecilan ruang gerak atau homerange, 5) Perubahan biomassa (penurunan berat badan satwa liar). Selain itu kebakaran hutan menjadikan perubahan yang begitu nyata terhadap iklim mikro, sehingga menjadikannya tempat yang tidak lagi cocok untuk banyak jenis binatang. Kehilangan vegetasi setelah kebakaran menjadikan hutan terbuka, sehingga memudahkan predator mendapatkan mangsanya. Kehilangan vegetasi penutup (escape cover) sejalan juga dengan kehilangan makanan satwa.

Untuk menghitung kerugian terhadap satwa liar yang mati di lokasi kebakaran hutan sangat sulit dilakukan karena saat terjadi kebakaran hutan diprediksi satwa liar yang ada akan migrasi ke lokasi lainnya. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa dampak kebakaran terhadap satwaliar adalah secara tidak langsung, yaitu terhadap habitatnya. Penghitungan kerugian terhadap kerusakan habitat yaitu dengan pendekatan biaya yang diperlukan untuk membangun habitat TSL tersebut melalui kegiatan restorasi habitat atau kegiatan rehabilitasi.

= ∑( )

(1 + ) × Keterangan :

NHTSL = Nilai Kerusakan Habitat Satwa Liar

NTR = Nilai total kegiatan restorasi dan rehabilitasi (Rp/ha) i = tingkat inflasi; t = tahun kegiatan

LA = Luas areal terbakar (ha)

g. Nilai Kegiatan Pemadaman Kebakaran (NPK)

Kegiatan pemadaman kebakaran hutan dianggap sebagai nilai kerugian yang muncul akibat adanya kebakaran hutan. Pemadaman dimaksudkan agar api tidak menjalar secara liar sehingga dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Nilai biaya pemadaman dilakukan dengan mendata seluruh nilai anggaran pemadaman dari Balai TN Sebangau maupun anggaran bantuan dari Direktorat PHKA, BKSDA, Pemda ataupun mitra kerja.

= ( + )

Keterangan :

NPK = Nilai Kegiatan Pemadaman Kebakaran tahun 2014 BPKHj = Biaya kegiatan pemadaman oleh Balai TNS

(29)

h. Nilai Karbon yang Hilang (NKH)

Penghitungan nilai karbon yang hilang digunakan pendekatan nilai emisi gas CO2 akibat kebakaran biomassa di atas tanah dan kebakaran pada lapisan tanah gambut. Untuk penghitungan emisi akibat kebakaran biomassa diatas tanah mengacu pada IPCC (2006) dan difokuskan hanya untuk biomassa pohon.

EBiomass Burn= Aburn. B. COMF . G . 10-3 Keterangan :

EBiomass burn = Emisi CO2 kebakaran biomassa (ton) Aburn, = Luas area terbakar (ha)

B = Kandungan biomassa di atas permukaan sebelum terbakar (ton/ ha) COMF = Faktor pembakaran/ kehilangan dimensi (melihat dari Tabel 2.6

panduan IPCC)

Gef = Faktor emisi kg/ton bahan bakar kering (melihat dari Tabel 2.5 panduan IPCC)

Selanjutnya untuk penghitungan emisi akibat kebakaran lapisan gambut mengacu pada IPCC 2006.

L fire= Aburn. MB. Cf. Gef. 10-3 Keterangan :

L fire = jumlah emisi CO2akibat kebakaran gambut (ton) Aburn = total luas area terbakar (ha)

MB = ketersediaan bahan bakar gambut kering, mengacu dari Tabel 2.6 panduan IPCC (ton/ha).

Cf = faktor pembakaran / kehilangan dimensi

Gef = faktor emisi kg/ton bahan bakar kering (mengacu dari Tabel 2.7 panduan IPCC)

Nilai kerugian akibat cadangan karbon yang hilang atau emisi dari kebakaran hutan didekati dengan harga pasar karbon yang dikalikan dengan dengan estimasi emisi karbon dari kebakaran hutan yang terjadi tahun 2014 dengan menggunakan formula sebagai berikut :

NKH = HK . (E biomass burn + L fire) Keterangan :

NKH = Nilai Karbon Hilang (Rp)

HK = Harga pajak karbon equivalen emisi CO2(Rp) EBiomass burn = Emisi CO2 kebakaran biomassa (ton)

L fire = Jumlah emisi CO2akibat kebakaran gambut (ton)

i. Analisis efektivitas pencegahan kebakaran hutan

Analisis dilakukan terhadap efektivitas dan kendala-kendala permasalahan kegiatan pencegahan kebakaran hutan di TNS. Tingkat efektifitas diukur dan dianalisis dengan cara membandingkan pencapaian sasaran/tujuan kegiatan dengan apa yang direncanakan. Kemudian membandingkan realisasi anggaran belanja dengan target anggaran belanja.

(30)

apabila proses kegiatan dapat mencapai tujuan dan sasaran akhir kebijakan/spending wisely (Mardiasmo 2009; Sumenge 2013). Kriteria efektivitas kegiatan pencegahan kebakaran hutan oleh BTNS diukur dari perbandingan realisasi faktor input berupa anggaran dan realisasi faktor output berupa capaian sasaran kinerja yang direncanakan. Selanjutnya analisis kualitatif deskriptif dilakukan terhadap gap antara input dan output; jenis dan proporsi kegiatan; waktu dan lokasi kegiatan; dan permasalahan yang dijumpai.

Efektivitas input =Realisasi anggaran PKH

Rencana anggaran PKH x 100%;

Efektivitas output = Capaian sasaran

Rencana target sasaran x 100% Keterangan :

1. Pencapaian > 100% = sangat efektif 2. Pencapaian 90% - 100% = efektif

3. Pencapaian 80% - 90% = cukup efektif 4. Pencapaian 60% - 80% = kurang efektif 5. Pencapaian < 60% = tidak efektif

(31)
(32)
(33)
(34)

Gambar 7 Tutupan vegetasi di TNS tahun 2014

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyebab Kebakaran Ekosistem Gambut di TNS a. Historikal kebakaran hutan gambut di TNS

Kawasan TNS sebelumnya merupakan kelompok hutan yang terdiri dari hutan produksi dan hutan produksi yang dapat dikonversi sehingga sebagai kawasan bekas HPH dan berbagai pemanfaatan oleh masyarakat, ekosistem di dalam kawasan ini telah mengalami perubahan. Dibangunnya kanal dan parit di dalam kawasan hutan untuk berbagai kegiatan tersebut menjadikan kandungan air gambut berfluktuasi sangat nyata dan mengakibatkan keringnya gambut pada musim kemarau.

Menurut data SPTN Wilayah III Katingan kejadian kebakaran di wilayahnya sudah dimulai dari puluhan tahun yang lalu. Tercatat dari data yang diperoleh bahwa kebakaran sudah terjadi sekitar tahun 1965 tepatnya di daerah Sungai Luwangan dan Sungai Ruak Raen, Desa Baun Bango. Pada tahun tersebut terjadi kebakaran hebat yang mengakibatkan ratusan hektar kebun warga habis dilalap api. Hal ini berlangsung setiap tahun pada musim kemarau. Kemudian di pertengahan tahun 2006 juga kembali terjadi kebakaran dalam kawasan TNS kurang lebih 300 Ha terletak di Danau Jalanpangen Desa Baun Bango, dan ratusan hektar lainnya di sekitar Bukit Kaki Desa Mendawai.

Kebakaran hutan di dalam kawasan Sebangau menurut WWF Kalteng telah terjadi sebelum tahun 1987, dimana lokasi kebakaran berada di Wilayah Mangkok sekitar Sungai Sebangau. Kemudian pada tahun 1996 terjadi juga kebakaran di daerah Sungai Sarangan Antang. Lebih lanjut pada tahun 1997 dan 2002 terjadi kebakaran yang cukup besar di sekitar wilayah Mangkok, bahkan kebakaran tersebut masuk ke dalam hutan dengan jarak sekitar 300 m sampai 1,5 km dari bantaran Sungai Sebangau. Kemudian areal hutan yang terbakar terjadi juga di Danau Jelutung sekitar Sungai Bangah sepanjang 2 km pada tahun 1997. Kemudian untuk wilayah sungai Rasau tahun 1997 dan 2002 terjadi kebakaran yang besar di ujung parit sekitar 11 km dari sungai Rasau dan diperkirakan api berasal dari arah Sungai Koran dan wilayah hulu Sungai Bangah.

(35)

kelanjutannya menunggu hasil paduserasi RTRWP Kalimantan Tengah. Meskipun demikian telah terbukanya akses di kawasan ini telah terbukti meningkatkan kerawanan kejadian kebakaran.

Gambar 8 Lokasi kebakaran yang terlihat dari peta citralandsat tahun 2006 di TNS Propinsi Kalimantan Tengah.

b. Penyebab Kebakaran di TNS tahun 2014

(36)

observasi area bekas kebakaran, serta wawancara investigasi terhadap masyarakat sekitar lokasi kebakaran, BTNS dan mitra NGO (WWF) diketahui penyebab kebakaran hutan gambut di TNS tahun 2014 seperti pada Tabel 5.

Tabel 5 Luas dan penyebab kebakaran hutan gambut TNS tahun 2014

No Lokasi kebakaran (koordinat) Luas (ha) Jumlah

Hotspot

Penyebab kebakaran

A SPTN Wilayah I Palangka Raya

1 Tangkiling, Resort Habaring Hurung (X:113.640 1.963; X:113.640 Y:-1.958)

44.58 2 Penjalaran api dari aktifitas pembukaan kebun sawit & ladang 2 Banturung, Resort Habaring Hurung

(X:113.706 2.012; X:113.707

Y:-5 Kereng Bengkirai, Resort Sebangau Hulu (X:113.838 Y:-2.299; X:113.840 Y:-2.302)

23.55 3 Penjalaran api dari aktifitas nelayan

Sub total 180.32

B SPTN Wilayah II Pulang Pisau

1 Sungai Bangah (kiri) Resort Bangah (X:114.004 Y:-2.706)

124.00 2 Penjalaran api dari aktifitas nelayan 2 Sungai Sebangau, Resort Bangah

(X:114.048 Y:-2.685)

509.00 1

3 Sungai Bangah (kanan), Resort Bangah (X:114.015 Y:-2.693)

112.00 1

4 Sungai Sebangau, Resort Mangkok (X:114.042 Y:-2.643)

150.00 2

5 Sungai Sampang, Resort Paduran (X:113.636 Y:-2.778)

1253.18 7 Penjalaran api dari aktifitas penyiapan sawah & ladang

Sub total 2148.18

C SPTN Wilayah III Katingan

1 Sungai Bulan (Sept), Resort Muara Bulan (X:113.501 Y :-2.528)

88.97 1 Penjalaran api dari aktifitas nelayan 2 Sungai Bulan (Sept), Resort Muara

Bulan (X:113.467 Y:-2.544)

55.62 1

3 Sungai Musang, Resort Muara Bulan 1291.00 4 Sungai Landabung, Resort Muara

Bulan (X:113.211 Y:-2.462; X:113.213 Y:-2.455; X:113.213 Y:-2.455; X:113.214 Y:-2.464)

116.38 3

5 Sungai Lewang, Resort Muara Bulan (X : 113.254 Y : -2.346)

449.12 1 Penjalaran api dari aktifitas nelayan, pembukaan ladang dan pencari HHNK

Sub total 2 035.74

Total luas kebakaran 4 364.24

(37)

Aktifitas pencarian ikan (melauk) di dalam dan sekitar kawasan TNS atau di bagian DAS Sebangau dan DAS Katingan yang meliputi belasan anak sungai dan ratusan kanal ex-HPH, sudah dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat nelayan di sekitar kawasan. Alat tangkap yang digunakan umumnya bersifat tradisional seperti pancing/banjur, tampirai, rengge, rawai, pangilar, kabam, haup dan bubu (kawat dan bambu). Namun pernah juga ditemukan nelayan yang secara illegal menggunakan strum listrik.

Fakta yang ditemukan ialah masih ada nelayan yang sengaja membakar vegetasi di tepi sungai dan kanal yang didominasi oleh tumbuhan semak seperti Rasau (Pandanus atrocarpus) dan kelakai (Stenochlaena palustris). Tumbuhan rasau memiliki tipe akar serabut. Saat musim kemarau atau saat sungai dan rawa Sebangau surut, akar tumbuhan ini akan banyak menyebar di atas permukaan tanah dan sangat mudah sekali terbakar.

Tujuan pembakaran adalah pertama untuk membersihkan akses bagi jalur klotok/perahu kecil saat mencari ikan di awal musim kemarau, dan kedua untuk menciptakan ruang terbuka baru sebagai tempat ikan bermain dan berkumpul saat awal musim hujan. Bekas kebakaran hutan akan meninggalkan lebak-lebak/ cerukan yang ditumbuhi rumput-rumput yang baru. Cerukan ini merupakan tempat ideal untuk memasang alat tangkap berupa tempirai, rawai dan sebagainya pada awal musim hujan. Ikan tertentu seperti patung dan biawan menyukai tempat yang agak terbuka dan mengundang ikan-ikan predator lainnya ke tempat ini, sehingga saat awal musim hujan nelayan bisa mendapatkan tangkapan yang lebih banyak. Menurut nelayan hasil tangkapan ikan terbanyak didapat saat musim ikan yaitu awal musim kemarau (saat air mulai menyurut) dan awal musim hujan (saat air mulai naik).

Fakta lain yang ditemukan di lapangan ialah adanya aktifitas pembukaan lahan untuk kebun sawit oleh masyarakat dengan cara pembakaran lahan yang lokasinya berbatasan langsung dengan kawasan TNS, tepatnya di wilayah Palangkaraya. Menurut masyarakat, pengurus desa dan petugas resort, pembakaran ini memang sengaja dilakukan. Api yang tidak bisa dikendalikan menjalar ke dalam kawasan TNS, bahkan ke ladang/kebun milik orang lain yang sudah ditanami.

Pada desa-desa transmigrasi yang masyarakatnya mayoritas bertani, seperti di Kecamatan Sebangau Kuala, Pulang Pisau dan Kecamatan Mendawai, Katingan, diketahui bahwa pembakaran juga dilakukan sebagai teknik untuk membersihkan alang-alang, perdu, rumput dan tumbuhan liar/semak belukar dalam tahap penyiapan ladang untuk selanjutnya ditugal guna ditaburi benih padi. Aktifitas ini dilakukan saat bulan Juli s.d September dengan cara melakukan pembakaran secara gotong royong. Lokasi ladang biasanya jauh dari pusat pemukiman namun dekat dengan kawasan TNS. Kondisi hutan rawa sekunder dan semak belukar yang kering akan mudah terbakar jika ada lompatan api yang tidak disadari oleh pelaku pembakaran.

(38)

terjadinya kebakaran hutan gambut. Kebakaran hutan selain dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas bahan bakar, juga sangat ditentukan oleh keadaan iklim hutan setempat (iklim mikro). Iklim mikro dalam hutan dipengaruhi oleh kerapatan, kerapatan jenis dan tinggi pohon. Iklim mikro akan berpengaruh terhadap kerawanan kebakaran si sutau daerah, sebab iklim mikro juga mempengaruhi kecepatan angin, suhu udara, kelembabab udara serta kadar air bahan bakar. Kondisi hutan rawa sekunder dan semak belukar yang kering akan mudah terbakar jika ada lompatin api yang tidak disadari oleh pelaku pembakaran.

Gambar 9 Kebun sawit rakyat dan sawah tadah hujan di sekitar kawasan TNS (atas); Tumbuhan rasau dan perakaran rasau yang sangat mudah terbakar saat musim kering (bawah)

Nilai kerugian kebakaran hutan gambut

(39)

0

10-20 20-29 30-39 40-49 50 up 100 103 ekosistem gambut di TNS.

Dari hasil valuasi yang dilakukan diperoleh total nilai estimasi kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan gambut pada tahun 2014 di dalam kawasan TNS seluas ± 4364 ha adalah mencapai Rp134 405 786 127,-(Seratus Tiga Puluh Empat Milyar Empat Ratus Lima Juta Tujuh Ratus Delapan Puluh Enam Ribu Seratus Dua Puluh Tujuh Rupiah). Adapun uraian dan pembahasannnya dijelaskan sebagai berikut.

Tabel 6 Kerugian total kebakaran ekosistem hutan gambut Sebangau tahun 2014

No. Jenis kerugian Nilai total (Rp) %

1 Nilai kerugian kayu potensial (NKP) 74 563 218 579 55.58 2 Nilai kerugian hasil hutan non kayu (NHHNK) 22 328 979 324 16.64 3 Nilai kerusakan Habitat TSL (NHTSL) 16 137 129 418 12.02 4 Nilai kerugian sektor Transportasi (NT) 1 302 292 887 0.97 5 Nilai kerugian Kesehatan masyarakat (NKM) 115 325 000 0.08

6 Nilai kerugian perikanan (NI) 1 258 454 000 0.93

7 Nilai karbon hilang akibat kebakaran (NKH) 17 380 131 919 12.95 8 Nilai kegiatan pemadaman Kebakaran (NPK) 1 320 255 000 0.78

Total 134 405 786 127

1. Kerugian Kayu Potensial (NKP)

Pada dasarnya pemanfaatan sumber daya hutan berupa kayu tidak diperkenankan di dalam kawasan konservasi TNS, namun demikian perlu kiranya untuk diketahui berapa besar potensi kerusakan terhadap tegakan pohon yang ada dan nilai ekonomi kayu potensial yang hilang akibat kejadian kebakaran hutan gambut agar bisa dijadikan tolok ukur bahwa kawasan tersebut memiliki stok potensi kayu yang juga bisa dinilai secara ekonomi.

Hasil pengukuran pada areal bekas terbakar menunjukkan rata-rata diameter pohon yang mati dan rusak akibat kebakaran hutan di TNS tahun 2014 adalah lebih kecil dari 30 cm. Adapun jumlah pohon per hektar berdasarkan kelas diameter pada lokasi terdekat dalam satu hamparan dengan areal kebakaran di SPTN Wilayah I Palangka Raya dijelaskan pada Gambar 10.

(40)

Berdasarkan peta tutupan vegetasi TNS, lokasi kebakaran di SPTN I Palangka Raya termasuk dalam hutan sekunder sehingga potensi kayunya cukup tinggi. Lokasi kebakaran di SPTN II Wilayah Pulang Pisau dan SPTN III Wilayah Katingan merupakan lokasi yang pernah mengalami kebakaran pada tahun-tahun sebelumnya dan termasuk dalam tipe tutupan vegetasi belukar rawa dan tidak ada pohon yang berdiameter diatas 30 cm pada lokasi kebakaran, sehingga seluruh jenis kayu yang ada dimasukkan kedalam kelompok Kayu Bulat Kecil (KBK) guna menghitung harga pasarnya.

Berdasarkan identifikasi yang dilakukan di area bekas terbakar dapat diketahui jenis-jenis pohon yang terbakar (Tabel 7) dan tingkat kerusakan yang dialaminya. Untuk memudahkan penghitungan harga maka jenis-jenis pohon pada lokasi bekas kebakaran dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 163/KPTS-II/2003 dan harga patokan hasil hutan kayu berdasarkan Surat Edaran Nomor : SE.3/Menhut-VI/BIKPHH/2014.

Nilai kerugian ekonomi kayu potensial diukur berdasarkan volume pohon yang rusak dan mati. Pohon bernilai ekonomis dibatasi untuk diamater > 20 cm. Kemudian sebagai dasar harga digunakan harga patokan hasil hutan kayu yang berlaku di Kalimantan Tengah sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 163/KPTS-II/2003 dan harga patokan hasil hutan kayu berdasarkan Surat Edaran Nomor : SE.3/Menhut-VI/BIKPHH/2014. yaitu : Rp1 270 000/m3 untuk kelompok meranti/ komersial 1; Rp953 000 /m3untuk kelompok rimba campuran atau komersial 2; Rp550 000/m3untuk kelompok Kayu Bulat Kecil atau diameter <30 cm dan Rp2 363 000 /m3untuk kelompok kayu indah/ ramin.

Tabel 7 Pengelompokan jenis kayu ekonomis pada area bekas terbakar di TNS berdasarkan kelompok perdagangan

No Kelompok kayu Jenis

1 Kelompok meranti/ komersial 1 1. Belangiran Shorea belangeran

2. Meranti lanan Shorea leprosula

3. Keruing Dipterocarpus grandiflorus

4. Meranti merahShorea parvifolia

5. Meranti batu Shorea teysmanniana

6. NyatohPalaquium sp

7. JelutungDyera lowii

2 Kelompok jenis rimba campuran/ komersial 2

1. Asam asamDicryoneura acumonata

2. Banitan/ terepis Polyalthia glauca

3. BintangurPalaquium rostratum

4. Pasir pasir Stemonurus scorpioides

5. Galam tikus Eugenia spicata

6. GerunggangCratoxylum glaucum

7. Jambu jambuEugenia sp.

8. Malam malam Diospyros bantamense

9. KempasKoompassia malaccensis

10. KetiauMadhuca mottleyana

11. MendarahanMyristica sp

12. Pisang pisangMazzetia sp

13. SimpurDillenie excelsa

14. TerentangCampnospermum macrophyllum

15. TumihCombretocarpus rotundus

3 Kelompok Kayu Bulat Kecil (KBK) Semua jenis pohon dengan diameter < 30 cm kecuali Ramin

(41)

Berdasarkan kondisi vegetasi, fire severity dikelompokkan oleh De Bano (1998) sebagai berikut :

a. Low fire severity; Sekurang-kurangnya 50% pohon tidak menunjukkan kerusakan, dengan sisa pohon lainnya menunjukkan tajuk yang terbakar, kematian pucuk tetapi bertunas, atau mati akar (tidak bertunas). Lebih dari 80% pohon yang rusak dapat bertahan hidup.

b. Moderate fire severity; Antara 20–50% pohon tidak menunjukkan kerusakan, dengan sisa pohon lainnya rusak, 40–80% pohon yang terbakar dapat bertahan hidup.

C. High fire severity; Kurang dari 20% pohon tidak menunjukkan kerusakan, sisa pohon lainnya rusak terutama akibat mati akar. Kurang dari 40% pohon yang rusak dapat bertahan hidup.

Tingkat keparahan (fire severity) kebakaran pada tahun 2014 ini termasuk dalam kelas moderate fire severity karena tingkat kerusakan pohon pada area kebakaran hutan mencapai 46%, selebihnya masih dijumpai pohon hidup dan bahkan tumbuh trubusan baru seperti pada jenis Shorea belangeran, Eugenia sp dan Malaleuca sp. Jenis-jenis pohon yang mati disebabkan oleh 1) terbakar hangus, 2) roboh seluruhnya dan 3) sengaja ditebang saat kegiatan pemadaman untuk menghindari penjalaran api.

DeBano et al. (1998) menyatakan bahwa kebakaran hutan dapat mengubah komposisi dan kondisi vegetasi hutan. Kerusakan ini dapat menyebabkan kematian vegetasi hutan. Khususnya pada tegakan pohon dapat menimbulkan cacat permanen, merangsang hama penyakit hutan pada bagian tegakan pohon yang mengalami perlukaan, menurunkan riap produksi kayu, merusak anakan dan tanaman muda, merusak tata air serta melumpuhkan fungsi lindung hutan.

Gambar 11 Trubusan atau tunas baru yang muncul di bawah pohon yang terbakar dan merana di lokasi bekas kebakaran hutan

Secara ekonomi, tegakan pohon di alam yang sudah rusak atau cacat akibat terbakar tidak memiliki nilai kayu lagi karena tidak memiliki nilai pasar. Sehingga kerugian yang timbul akibat kebakaran hutan yang terjadi sudah cukup besar jika dilihat dari nilai kayu saja. Meskipun demikian tidak berarti pohon-pohon yang rusak tersebut sudah tidak bernilai lagi karena masih ada nilai lain yang tersimpan seperti stok karbon yang tersisa, habitat satwa liar dan lain sebagainya.

(42)

ekonomis saat ini, mencapai Rp ± 74.5 Milyar (Tabel 9). Potensi tegakan pohon yang terparah terjadi pada lokasi kebakaran di SPTN I wilayah Palangka Raya sedangkan pada wilayah SPTN II Pulang Pisau dan SPTN III Katingan merupakan areal yang pernah terbakar namun masih memiliki potensi kayu dengan diameter rata-rata dibawah 30 cm.

Tabel 8 Estimasi nilai kerugian kayu potensial akibat kebakaran hutan di TNS tahun 2014

No Lokasi kebakaran

Luas kebakaran

(Ha)

Derajat kerusakan

Harga (Rp) dan potensi volume kayu komersil (m3/ha)

Estimasi kerugian (Rp) Komersial 1 Komersial 2 KBK Ramin

1 270 000/m3 953 000/m3 550 000/m3 2 363 000/m3

1 SPTN Wil I Palangkaraya 180.32 0.46 65.62 71.07 50.51 1.32 15 093 634 065 2 SPTN Wil II Pulang Pisau 2148.18 0.46 - - 50.51 1.32 30 533 894 545 3 SPTN Wil III Katingan 2035.74 0.46 - - 50.51 1.32 28 935 689 970

Total 74 563 218 579

Gambar 12 Identifikasi lokasi bekas kebakaran hutan gambut di wilayah Resort Sebangau Hulu, SPTN I Palangka Raya

2. Kerugian hasil hutan non kayu (HHNK) potensial

(43)

menghasilkan diversitas perekonomian suatu wilayah termasuk di desa-desa penyangga kawasan konservasi TNS.

Sebenarnya banyak sekali jenis hasil hutan non kayu yang diakses oleh masyarakat dari dalam kawasan TNS. Namun pada penelitian ini hanya dibatasi untuk jenis 1) getah pohon pantung/ jelutung Dyera lowii, 2) kulit pohon gemor Nothaphoebe coriaceadan 3) batang rotan Calamus sp(Gambar 13).

Secara alami jelutung rawa dapat tumbuh baik di rawa-rawa dengan regenerasi yang juga cukup baik. Jenis pohon jelutung rawa Dyera lowii juga merupakan salah satu spesies untuk kegiatan rehabilitasi atau pengkayaan jenis di kawasan TNS. Data populasi pohon jelutung di TNS di dekati dari jumlah pohon jelutung yang disadap oleh masyarakat di Resort Sebangau Hulu Palangka Raya. Dalam setiap jalur sadap sepanjang ± 2 km, setiap regu penyadap bisa menyadap ± 30 pohon per hektar dengan hasil sadapan sebanyak ¾ kwintal dan disadap sebanyak 2 kali dalam setahun.

Getah pantung (jelutung) merupakan salah satu sumber pendapatan penting bagi masyarakat di sekitar TNS. Getah pantung biasanya dijual kepada pengumpul di desa, yang kemudian dijual lagi ke perusahaan pengolah dan eksportir di kota Palangka Raya. Harga getah jelutung di tingkat penyadap ialah ± Rp415 000/kwintal.

Gambar 13 HHNK yang dimanfaatkan masyarakat desa penyangga kawasan TNS berupa kulit Gemor dan Rotan

(44)

terhadap pengumpul kulit gemor di desa Baun Bango, Katingan dan desa Sebangau Permai, Pulang Pisau pada tahun 2014 harga gemor mencapai Rp12000/kg.

Dari hasil wawancara terhadap pengumpul kulit gemor diketahui untuk luas lahan 1 hektar bisa diperoleh kulit gemor sebanyak ½ ton apabila pengambilan dilakukan dengan cara menguliti sebagian batang pohon gemor. Namun terkadang para pengumpul kulit gemor melakukan pemanenan dengan cara menebang batang pohon gemor tersebut sehingga hal ini harus menjadi perhatian bagi pengelola kawasan.

Jenis Rotan yang banyak dimanfaatkan masyarakat sekitar kawasan TNS diantaranya adalah rotan taman/sega Calamus caesius, rotan irit Calamus trachycoleus, rotan semambu Calamus scipionum, rotan buyung, rotan bulu, dan rotan marau/manau dengan harga rata-rata Rp4 500 /kg. Dari hasil wawancara dengan pengumpul rotan di Desa Mendawai, Kabupaten Katingan diketahui bahwa potensi rotan yang bisa dipanen dari kawasan hutan oleh mereka kurang lebih sebesar 1 ton per hektar setiap tahunnya.

Adapun nilai yang diperoleh dari kerugian akibat kebakaran hutan terhadap 3 jenis hasil hutan non kayu setelah memperhitungkan tingkat keparahan kerusakan kebakaran tahun 2014 di TNS adalah sebesar Rp22 328 979 324/tahun.

Tabel 9 Estimasi nilai kerugian Hasil Hutan Non Kayu potensial akibat kebakaran hutan di TNS tahun 2014

No Lokasi

Potensi nilai di alam (Rp/tahun) Estimasi kerugian

Palangkaraya 180.32 0.46 112 249 200 1 081 920 000 811 440 000 922 580 232 2 SPTN Wil II Pulang Pisau 2148.18 0.46 1 337 242 050 12 889 080 000 9 666 810 000 10 990 840 743 3 SPTN Wil III

Katingan 2035.74 0.46 1 267 248 150 12 214 440 000 9 160 830 000 10 415 558 349

Total 22 328 979 324

3. Kerugian sektor perikanan

Kawasan TNS terletak diantara sungai Katingan dan sungai Sebangau. Sungai Katingan merupakan sungai terbesar kedua di Kalimantan Tengah yang memanjang ke laut jawa. Bagian tengah DAS Katingan mendapat tambahan air dari sungai-sungai kecil yang berhulu di dalam kawasan Sebangau seperti sungai Bulan, sungai Musang, sungai Landabung dan kanal Bukit Kaki.

Hulu DAS Sebangau merupakan hutan rawa gambut di SPTN Wilayah I Palangka Raya. Bagian dari DAS Sebangau yang termasuk dalam kawasan TNS diantaranya sub DAS Rasau, sub DAS Bangah, sub DAS Bakung dan sub DAS Sampang, desa-desa yang mengakses ikan tangkap di DAS ini ialah Desa Kereng Bengkirai Kota Palangkaraya dan Desa-desa di kecamatan Sebangau Kuala diantaranya Paduran Sebangau, Paduran Mulya, Sebangau Permai, Mekar Jaya, Sebangau Jaya, Sei Hambawang dan Sei Bakau, Kabupaten Pulang Pisau.

Gambar

Gambar 5  Sebaran hotspot di TNS tahun 2014
Gambar 6 Lokasi kebakaran hutan di TNS tahun 2014
Gambar 8  Lokasi kebakaran yang terlihat dari peta citralandsat tahun 2006 di TNS Propinsi Kalimantan Tengah.
Tabel 5 Luas dan penyebab kebakaran hutan gambut TNS tahun 2014
+7

Referensi

Dokumen terkait

Noseck (2005:23) mengemukakan bahwa, &#34;Proses latihan yang menyangkut baik untuk pengembangan potensi energi maupun penampilan dari keterampilan&#34;. Proses latihan yang

Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian risiko menunjukkan,

Dari analisis ragam pada Tabel 1 menunjukan kombinasi perlakuan tata letak penanaman bujur sangkar dengan benih, umur bibit 6 dan 9 hari setelah semai serta

Bunga mawar potong kiss yang tangkainya direndam dalam larutan pulsing yang dilanjutkan dengan perendaman dalam vial isi akuades yang dikemas dalam kotak karton berukuran

perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan proaktif dan menunjukan sikap sebagai bagian dari

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana formulasi resep dalam pembuatan cheese cake berbahan dasar tepung sukun sebagai bahan pangan lokal dan mengetahui

Agar bisa mendapatkan informasi yang lebih otentik dan spesifik dari sumber data (informan) yang sudah lama serta terpercaya dalam masalah yang akan di teliti dan pemaknaan

Menurut Solomon dan Rothblum (1984), beberapa kerugian akibat kemunculan prokrastinasi akademik adalah tugas tidak terselesaikan, akan terselesaikan tetapi hasilnya