• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Ketentuan Hukum Laut Internasional tentang Pulau 1 Pengertian Pulau

B.2. Kategori Pulau

B.2.2. Pulau Buatan

Sebagai istilah yang paling menentukan apa yang membedakan "pulau buatan" dari "pulau alami" dalam ketentuan hukum laut, adalah satu-satunya hasil atau efek dari aktivitas manusia. Itu bisa menjadi bagian dari tanah, ditumpuk atau dikeraskan, atau bisa juga berupa konstruksi (terbuat dari beton, logam, plastik atau kaca). Tidak ada kasus yang berpengaruh pada situasi hukumnya.

Meskipun baik Konvensi 1982 tentang Hukum Laut maupun Konvensi Jenewa 1958 di Landas Kontinen mencakup definisi tentang pulau buatan, instalasi atau struktur, upaya definisi semacam itu bisa sama, mengingat komponen yang ada dari definisi pulau. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa "pulau buatan adalah konstruksi buatan manusia atau bagian dari tanah yang berada di laut dan dikelilingi oleh air, yang berada di atas air pada saat air pasang dan keduanya dipasang pada atau dipasang di dasar laut atau mengapung permukaan air ".

Mengingat kemajuan teknis dan persyaratan baru, definisi sebelumnya harus diperluas untuk mencakup, bersama dengan konstruksi stasioner yang dipasang secara permanen, atau dipasang di dasar laut, juga konstruksi yang mengambang atau tergantung pada permukaan air. Sebuah "pulau buatan" juga harus terletak di dan dikelilingi oleh laut, dan tetap berada di atas permukaan laut pada saat air pasang. Konstruksi yang tidak dikelilingi oleh

47

59

air merupakan bagian dari fasilitas pelabuhan atau pelabuhan dan, jika gagal tetap berada di atas permukaan laut, maka hal itu dianggap sebagai "konstruksi bawah laut atau instalasi" sehingga kehilangan status "pulau alami".48

Karena menyangkut klasifikasi pulau-pulau buatan dari sudut pandang konstruksi mereka, harus diterima bahwa yang penting di sini bukanlah ukuran pulau atau bahan yang digunakan untuk pembangunannya tapi pertanyaan apakah pulau itu adalah pulau yang permanen, atau unit mengambang. Di sini pulau buatan tampaknya terbagi dalam empat kategori:

a) pulau-pulau yang didirikan dan dipasang secara permanen ke dasar laut;

b) pulau-pulau tetap ke bawah saat beroperasi namun dapat bergerak; c) pulau mengapung atau agak berkelanjutan di permukaan laut

(berlabuh, diderek atau digerakkan oleh arus laut atau angin);

d) pulau yang membawa peralatan navigasi (self-propulsion atau peralatan lainnya).

Dari sudut pandang lokasi mereka, orang harus membedakan antara:

a) pulau-pulau di perairan dalam dan laut teritorial (dalam kedaulatan teritorial suatu Negara);

b) pulau-pulau di zona ekonomi dan landas kontinen; c) pulau-pulau di laut lepas.

48

Pasal 11 dari Konvensi Hukum Laut 1982 mengatakan bahwa pekerjaan pelabuhan permanen terluar yang merupakan bagian integral dari sistem pelabuhan dianggap sebagai bagian dari pantai, berisi sebuah kalimat tambahan yang mengatakan bahwa instalasi lepas pantai dan pulau buatan tidak boleh dipertimbangkan. sebagai pelabuhan permanen.

60

Klasifikasi ini sangat penting dalam menentukan siapa yang memiliki hak untuk mendirikan pulau-pulau buatan dan menjalankan yurisdiksi atas mereka. Dalam Hukum Laut, masalah pulau buatan menimbulkan beberapa masalah namun saya membahas hanya status hukum mereka.

Demikian juga dengan Konvensi di Landas Kontinen, UNCLOS III dalam Pasal 60 (8) mengatakan:

“Artificial islands, installations and structures do not possess the status of islands. They have no territorial sea of their own, and their presence does not affect the delimitation of the territorial sea, the exclusive economic zone or the continental

shelf.”

Istilah “pulau buatan” tidak hanya meliputi pulau-pulau buatan dalam arti sebenarnya, tetapi juga termasuk setiap instalasi lainnya untuk maksud eksplorasi dan eksploitasi zona ekonomi eksklusif serta setiap instalasi yang mempengaruhi pelaksanaan hak-hak negara pantai di ZEE-nya. Hal yang sama berlaku juga untuk pulau-pulau buatan di landas kontinen.49

Pulau-pulau buatan tunduk kepada yurisdiksi eksklusif negara pantai.50 Pendirian pulau-pulau buatan harus diumumkan dan keberadaan instalasi tersebut harus disertai dengan tanda peringatan, pulau-pulau buatan yang tidak digunakan lagi harus dibongkar, pulau-pulau buatan tidak boleh didirikan pada alur laut yang diakui dan sangat penting bagi pelayaran internasional.51 Negara pantai harus menetapkan zona keselamatan yang

49

Albert W. Koers, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut (Suatu Ringkasan), Konsorium Ilmu Hukum, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Nederlandse Raad voor Juridische Samenwerking met Indonesie, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1991, h. 41.

50

Article 60 para. (2) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.

51

61

ditetapkan berdasarkan standar internasional, dan kecuali untuk situasi tertentu yang diatur dalam standar internasional atau yang direkomendasikan oleh organisasi, zona tersebut seharusnya tidak melebihi 500 meter di sekeliling pulau buatan, dan zona tersebut harus dilakukan tindakan-tindakan untuk menjamin keselamatan pulau tersebut maupun pelayaran.52 Semua kapal harus menghormati zona keselamatan dan standar internasional yang berlaku mengenai navigasi di sekitar pulau buatan.53 Pulau-pulau buatan tidak memiliki laut teritorial dan keberadaannya tidak mempengaruhi penetapan batas laut teritorial, ZEE maupun landas kontinen.54 Dalam kasus pelanggaran zona keamanan di dalam zona ekonomi atau landas kontinen, Negara pantai memiliki hak untuk melakukan pengejaran seketika.55

Di UNCLOS III, zona aman dan hak pengejaran yang seketika adalah subyek diskusi yang kuat karena dua pendekatan menemukan diri mereka berselisih: yang pertama berusaha memperluas zona keselamatan, sementara yang lain berpendapat bahwa, dengan ribuan instalasi sekarang Di laut, perluasan zona keamanan bisa sangat menghambat navigasi internasional. Karena menyangkut hak pengejaran yang dilakukan, hal itu seharusnya dilakukan jika pelanggaran zona keamanan menyebabkan kerusakan yang terjadi di pulau atau instalasi. Usulan ini dibuang, fakta bahwa pulau-pulau buatan dan instalasi bukanlah wilayah tercermin dalam bagian yang mengatakan bahwa semua instalasi dan struktur yang telah banyak atau habis harus dihapus untuk memastikan keamanan navigasi.

52

Article 60 para. (4) and (5) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.

53

Article 60 para. (6) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.

54

Article 60 para. (8) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.

55

62 B.3. Fungsi Pulau dalam Penentuan Wilayah Laut

Pertanyaan yang terkait dengan hak pulau untuk memiliki ruang laut khususnya landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif menjadi subyek perundingan negosiasi. Selama Konferensi Hukum Laut III, isu-isu ini dibahas di tiga bidang:

a) bersamaan dengan definisi pulau;

b) bersamaan dengan lokasi pulau tersebut sehubungan dengan pantai negara lain; dan

c) dalam hubungannya dengan status politik pulau, apakah pulau itu berada di bawah kekuasaan asing atau kolonial.

Wilayah perairan atau disebut juga perairan teritorial adalah bagian perairan yang merupakan wilayah suatu negara. Ini berarti bahwa, di samping perairan yang tunduk pada kedaulatan negara karena merupakan bagian wilayahnya ada pula bagian perairan yang berada di luar wilayahnya atau tidak tunduk pada kedaulatan negara. Perairan seperti ini contohnya adalah laut lepas (high sea). Tidak semua negara di dunia ini memiliki wilayah perairan. Misalnya negara-negara yang seluruh wilayah daratannya dikelilingi oleh wilayah daratan negara lain. Negara-negara seperti ini dikenal dengan sebutan negara tak berpantai atau negara buntu (land lock states). Seperti misalnya negara Afganistan, Laos, Nepal, dan Bhutan di Asia, negara Afrika Tengah, Uganda, Niger, dan Chad di Afrika, negara Swiss, Austria, Hungaria dan Luxemburg di Eropa, negara Paraguay di Amerika Latin.

Dalam konteks hukum nasional Indonesia, Wilayah Perairan diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

63

Wilayah Perairan atau Perairan Teritorial (Territorial Waters) Indonesia meliputi Laut Teritorial (Territorial Sea), Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters), dan Perairan Pedalaman (Inlands waters).56 Sedangkan Perairan Pedalaman (Inland Waters) terdiri atas Laut Pedalaman (Internal Sea) dan Perairan Darat (lnlands Waters).57

Wilayah Perairan Indonesia adalah segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian-bagian pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia.58 Lebih lanjut, berkaitan dengan kedaulatan negara, melalui Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 dikatakan bahwa kedaulatan Negara Republik Indonesia di Perairan Indonesia meliputi Laut Teritorial, Perairan Kepulauan, dan Perairan Pedalaman, serta dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.59

Dokumen terkait