13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Hukum Laut Internasional
A.1. Pengertian Hukum Laut Internasional
Hukum laut internasional adalah seperangkat norma hukum yang
mengatur hubungan hukum antara negara pantai atau yang berhubungan
dengan pantai, yang terkurung oleh daratan dan atau organisasi maupun
subyek hukum internasional lainnya, yang mengatur mengenai kedaulatan
negara atas laut, yuridiksi negara dan hak-hak negara atas perairan tersebut.
Hukum laut internasional mempelajari tentang aspek-aspek hukum dilaut dan
peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi di laut.
Akhir-akhir ini di kalangan para ahli hukum maupun di luar
lingkungan yang terbatas ini telah disadari pentingnya hukum laut bagi
kehidupan bangsa Indonesia. Kiranya tidak berlebihan apabila dikatakan
bahwa dibandingkan dengan bidang-bidang hukum lainnya, perkembangan
hukum laut (publik) Indonesia jauh lebih pesat. Bahkan dapat dikatakan
bahwa Indonesia memegang peranan yang cukup penting dalam
perkembangan hukum laut internasional publik masa kini.
Perjuangan Indonesia di bidang hukum laut tidak saja menghasilkan
pengakuan universal terhadap konsepsi negara kepulauan (archipelagic state
principle), tetapi telah membantu tercapainya kedudukan negara pantai yang
secara menyeluruh lebih kuat terhadap negara maritim daripada di masa-masa
14
Dalam beberapa puluh tahun belakangan ini sejak dicetuskannya
konsepsi “common heritage of mankind” dalam Sidang Majelis Umum PBB di tahun 1967,1 hukum laut internasional publik telah mengalami proses perubahan yang sangat mendasar dan menyeluruh. Perubahan-perubahan yang
telah terjadi berupa bertambahnya kekuasaan negara atas laut hingga 200 mil
dari pantai,2 bertambahnya wewenang negara tepi (riparian state) atas lalu lintas kapal di selat dan bertambahnya wewenang negara untuk mengambil
tindakan-tindakan perlindungan lingkungan laut.
Hukum laut internasional yang hingga kini belum selang beberapa
lama merupakan penjelmaan supremasi negara maritim besar di lautan
berdasarkan doktrin “mare liberum” (laut bebas) Hugo Grotius3 dengan demikian telah mengalami transformasi menjadi suatu perangkat ketentuan
hukum yang menggambarkan keseimbangan antara kepentingan negara
maritim dan negara non-maritim yang lebih baik.
Karena negara maritim pada umumya merupakan negara industri dan
maju, sedangkan negara non-maritim merupakan negara berkembang, maka
perjuangan-perjuangan negara berkembang untuk mencapai suatu tata hukum
laut internasional baru, sebagaimana juga perjuangan negara-negara
berkembang untuk mencapai tata ekonomi internasional baru, merupakan
suatu perjuangan negara-negara berkembang untuk suatu tata kehidupan
1
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi), PT Refika Aditama, Bandung, 2014, h. 192.
2
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Aspek Hukum Wilayah Negara Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012, h. 47.
3
15
internasional baru (new international order) yang lebih adil dan berimbang.
Itu sebabnya maka tata hukum laut internasional akan merupakan suatu
hukum laut internasional yang baru (new international of the Sea).
Walaupun demikian hukum laut internasional baru yang sedang dalam
proses pembentukannya, tidak dapat sama sekali dilepaskan daripada hukum
laut internasional dewasa ini yang dasar-dasarnya diletakkan dalam abad ke
XVI di Eropa Barat.4 Hal ini disebabkan karena bagaimanapun juga perkembangan-perkembangan yang kini sedang terjadi dalam bidang hukum
laut internasional publik tidak bisa sama sekali dipisahkan dari apa yang telah
ada dan terjadi sebelumnya. Perkembangan yang kini sedang terjadi di bidang
hukum laut internasional merupakan lanjutan daripada suatu proses perubahan
yang telah dimulai sejak akhir Perang Dunia ke-II.
Uraian mengenai hukum laut internasional perlu diawali dengan
pembahasan mengenai berbagai fungsi laut bagi umat manusia. Dalam
sejarah, laut terbukti telah mempunyai pelbagai fungsi, antara lain sebagai:
1. Sumber makanan bagi umat manusia;
2. Jalan raya perdagangan;
3. Sarana untuk penaklukan;
4. Tempat pertempuran-pertempuran;
5. Tempat bersenang-senang; dan
6. Alat pemisah atau pemersatu bangsa.
4
Chairul Anwar, Hukum Internasional “Horizon Baru Hukum Laut Internasional” (Konvensi
16
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), maka
fungsi laut telah bertambah lagi dengan ditemukannya bahan-bahan tambang
dan galian yang berharga di dasar laut dan usaha-usaha mengambil sumber
daya alam.5
Bertitik tolak dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa laut dapat
digunakan oleh umat manusia sebagai sumber daya alam bagi
penghidupannya, jalur pelayaran, kepentingan pertahanan dan keamanan dan
pelbagai kepentingan lainnya. Fungsi-fungsi laut yang disebutkan di atas telah
dirasakan oleh umat manusia, dan telah memberikan dorongan terhadap
penguasaan dan pemanfaatan laut oleh masing-masing negara atau kerajaan
yang didasarkan atas suatu konsepsi hukum.
A.2. Perkembangan Hukum Laut Internasional
Hukum dan ketertiban internasional laut di dunia telah diminta untuk
mengatur kepentingan beragam semua bangsa. Hukum laut di salah satu
cabang tertua hukum internasional, bagaimanapun, sumber kodifikasi dan
perkembangan progresif undang-undang ini adalah tiga Konferensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diselenggarakan pada tahun 1958, 1960 dan
1973-1982. Perkembangan hukum laut telah memiliki sejarah yang panjang
dan membingungkan, dipengaruhi oleh pendapat penulis, praktik Negara, dan
persidangan konferensi dan Konvensi konsekuen mereka.6
5
Hasyim Djalal, “Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut”, Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman Penerbit Binacipta, Bandung, 1979, h. 1.
6
Mazen Adi, The Application of the Law of the Sea and the Covention on the Mediterranean Sea,
17
Seiring waktu, telah diterima bahwa negara-negara pantai berhak
untuk mengklaim kedaulatan dan yurisdiksi atas laut yang berdekatan dan
dasar laut. Klaim ini telah dibuat untuk berbagai keperluan. Faktor keamanan
dan pertahanan adalah yang pertama yang membuat negara-negara memulai
proses ini. Hukum Laut Internasional mengalami perkembangan yang terus
menerus mengalami penyempurnaan dari waktu ke waktu untuk kepentingan
umat manusia melalui aturan-aturan yang berlaku untuk setiap negara.
Pemikiran-pemikiran para ahli dan konferensi-konferensi tentang hukum laut
internasional turut mewarnai proses perkembangan Hukum Laut Internasional
saat ini.
A.2.1. Zaman Romawi
Pada Zaman Romawi telah berkembang pemikiran dan aturan yang
berkaitan dengan laut. Lahirnya konsepsi hukum laut internasional tersebut
tidak dapat dilepaskan dari sejarah pertumbuhan hukum laut internasional
yang mengenal pertarungan antara 2 konsepsi, yaitu:
a. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik semua
orang, jadi laut adalah milik bersama masyarakat internasional, dan
karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara;
b. Res Nulius, yang menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang memiliki,
dan karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara.
Di laut berlaku “first come first serve” mereka yang datang lebih dahulu maka merekalah yang berhak menguasai wilayah tersebut.7
7
18
Pertumbuhan dan perkembangan kedua doktrin tersebut diawali
dengan sejarah panjang mengenai penguasaan laut oleh Imperium Roma.
Kenyataan bahwa Imperium Roma menguasai tepi Lautan Tengah dan
karenanya menguasai seluruh Lautan Tengah secara mutlak. Dengan
demikian menimbulkan suatu keadaan di mana Lautan Tengah menjadi lautan
yang bebas dari gangguan bajak-bajak laut, sehingga semua orang dapat
mempergunakan Lautan Tengah dengan aman dan sejahtera yang dijamin
oleh pihak Imperium Roma. Pemikiran hukum bangsa Romawi terhadap laut
didasarkan atas doktrin res communis omnium (hak bersama seluruh umat
manusia), yang memandang penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap
orang. Asas res communis omnium di samping untuk kepentingan pelayaran,
menjadi dasar pula untuk kebebasan menangkap ikan.8
Bertitik tolak dari perkembangan doktrin res communis omnium
tersebut di atas, tampak bahwa embrio kebebasan di laut lepas sebagai prinsip
kebebasan di laut lepas telah diletakkan jauh sejak lahirnya masyarakat
bangsa-bangsa. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa doktrin ini dalam sejarah
hukum laut internasional merupakan tonggak bagi perkembangan hukum laut
internasional pada masa-masa berikutnya.
Di sisi lain, dalam melaksanakan kekuasaannya di laut, banyak
tanda-tanda yang menunjukkan bahwa dalam pandangan orang Romawi laut itu
dapat dimiliki, di mana dalam zaman itu hak penduduk pantai untuk
menangkap ikan di perairan dekat pantainya telah diakui.9 Pemilikan suatu
8
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 3.
9
19
kerajaan dan negara atas laut yang berdekatan dengan pantainya didasarkan
atas konsepsi res nulius.
Menurut konsepsi res nulius, laut bisa dimiliki apabila yang berhasrat
memilikinya bisa menguasai dengan mendudukinya. Pendudukan ini dalam
hukum perdata Romawi dikenal sebagai konsepsi “occupatio” (occupation).
Keadaan yang dilukiskan di atas berakhir dengan runtuhnya Imperium
Romawi dan munculnya pelbagai kerajaan dan negara di sekitar Lautan
Tengah yang masing-masing merdeka dan berdiri sendiri yang satu lepas dari
yang lain. Walaupun penguasaan mutlak Lautan Tengah oleh Imperium
Romawi sendiri telah berakhir, akan tetapi pemilikan lautan oleh
negara-negara dan kerajaan tetap menggunakan asas-asas hukum Romawi.10
A.2.2. Masa Abad Pertengahan
Negara-negara yang muncul setelah runtuhnya Imperium Roma
disekitar tepi Laut Tengah masing-masing menuntut sebagian dari laut yang
berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan yang bermacam-macam.11
1. Teori Bartolus dan Baldus
Kebutuhan untuk menyusun suatu teori hukum tentang status antar
negara atas laut menyebabkan ahli-ahli hukum Romawi yang lazimnya
disebut Post-Glossator atau Komentator mencari penyelesaian hukumnya
didasarkan atas asas-asas dan konsepsi-konsepsi hukum Romawi.
Kebutuhan untuk memberikan dasar teoritis bagi klaim kedaulatan atas laut
10
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op. Cit., h. 4.
11
20
oleh negara-negara ini antara lain menimbulkan beberapa teori yang
dikemukakan oleh Bartolus dan Baldus, dua ahli hukum terkemuka di abad
pertengahan.12
a. Bartolus
Bartolus meletakan dasar bagi pembagian dua atas laut yakni
bagian laut yang berada di bawah kekuasaan kedaulatan negara pantai
dan di luar itu berupa bagian laut yang bebas dari kekuasaan dan
kedaulatan siapapun. Teori ini kelak merupakan dasar pembagian dua
atas laut yang klasik dalam Laut Teritorial (Wilayah) dan Laut Lepas.
b. Baldus
Konsepsi Baldus agak berlainan dan sebenarnya lebih maju. Ia
membedakan 3 (tiga) konsepsi bertalian dengan penguasaan atas laut
yakni:
- Pemilikan atas laut;
- Pemakaian laut;
- Yurisdiksi atas laut dan wewenang untuk melakukan
perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan di laut.13
2. Pada tahun 1493
Suatu peristiwa penting di dalam sejarah hukum laut internasional
adalah pembagian seluruh laut dan samudera dunia ini di dalam dua bagian
dengan batasnya garis meridian 100 leagues (kira-kira 400 mil laut) sebelah
12
Ibid., h. 6.
13
21
barat Azores. Sebelah barat dari meridian tersebut (yang mencakup
Samudera Atlantik barat, Teluk Mexico, dan Samudera Pasifik) menjadi
milik Spanyol, sedangkan sebelah timurnya (yang mencakup Samudera
Atlantik sebelah selatan Marokko dan Samudera India) menjadi milik
Portugal,14 yang dilakukan oleh Paus Alexander VI ditahun 1493 dengan piagam yang dinamakan Inter Caetera.
Pembagian seluruh lautan dan samudera di dunia antara Portugal dan
Spanyol yang pada hakekatnya merupakan pembagian dunia ke dalam dua
lingkungan kekuasaan yang masing-masing dinyatakan berada di bawah
kedaulatan raja-raja Portugal dan Spanyol ini merupakan usaha untuk
menyelesaikan persaingan dan sengketa antara dua kerajaan Katholik ini
yang mulai timbul sejak jatuhnya Constantinopel (sekarang Istanbul) ke
tangan Turki di tahun 1453.15
3. Dalam perkembangannya terjadi “Battle of the Books” dimana para ahli hukum saling berargumen. Para ahli hukum berpendapat bahwa laut
bebas (mare liberum) lawan laut tertutup (mare calusum)
a. Mare Liberum
Azas kebebasan laut (Freedom of the Sea) pertama kali
dikemukakan oleh Hugo Grotius dalam bukunya Mare Liberum yang
terbit ditahun 1609. Buku ini yang beranak judul (subtitle) “on the right
of the Dutch to sail to the East Indies” (tentang hak orang Belanda untuk
14
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia(Edisi Revisi), Op.Cit., h. 4.
15
22
berlayar ke Hindia Timur) ditulis oleh Grotius sebagai pembelaan hak
orang Belanda atau orang lain selain orang Portugis dan Spanyol untuk
mengarungi lautan.
Dalam tahun yang sama (1609) raja James I dari Inggris telah
mengeluarkan larangan bagi nelayan Belanda untuk menangkap ikan di
dekat pantai Inggris.
Inilah sebabnya mengapa buku Grotius yang sebenarnya di
tujukan pada orang Portugis dan Spanyol yang telah menutup laut-laut
tertentu bagi pelayaran oleh orang lain dan tidak terhadap pembatasan
perikanan yang dilakukan oleh Inggris, telah menimbulkan reaksi yang
hebat dari penulis-penulis Inggris seperti Welwood dan kemudian Selden
sehingga menimbulkan apa yang dinamakan “pertempuran buku-buku”
(battle of the books).
Pikiran Grotius tentang kebebasan berlayar yang mula-mula
dibentangkan dalam buku “Mare Liberum” dikembangkannya kemudian dalam buku “De Iure Praedae” dan akhirnya dalam “De Iure Belli ac
Paccis” yang meliputi tiga jilid.
Alasan-alasan yang dikemukakan Grotius dalam bukunya “Mare
Liberum” untuk menyangkal kebenaran politik Portugal dan Spanyol
melarang pihak lain berlayar ke Timur Jauh didasarkan atas pendirian
bahwa laut terbuka untuk siapapun juga karena tidak ada yang
23
Sebagaimana diketahui sekarang buku “Mare Liberum” semula sebenarnya dimaksudkan sebagai bab ke-12 dari buku “De Jure
Praedae” yang ditulis untuk menyerang politik Portugal dan Spanyol
yang merampas kapal-kapal bangsa lain yang melayari laut dan samudera
yang mereka anggap hanya boleh dilayari kapal-kapal mereka.
Keputusan untuk menerbitkan bab ini sebagai suatu buku tersendiri
didorong oleh keinginan dan harapan untuk meyakinkan pihak Spanyol
dengan alasan-alasan yang termuat didalamnya.
Walaupun “Mare Liberum” ditulis untuk membela kebebasan berlayar (freedom of navigation) di laut terhadap klaim bangsa-bangsa
Portugis dan Spanyol namun buku ini menyinggung juga perihal
kebebasan untuk menangkap ikan. Pendirian Grotius tentang hak
menangkap ikan di laut yang menurut dia harus terbuka untuk siapapun
didasarkan alasan bahwa laut itu merupakan suatu sumber kekayaan laut
yang tak ada batasnya.16
b. Mare Clausum
Ajaran Grotius mengenai “Mare Liberum” sebagaimana disebutkan di atas mendapat tantangan dari berbagai penulis sejamannya.
Mereka antara lain Gentilis, William Welwood, John Borough, Paulo
Sarol, dan John Shelden. Tantangan atas ajaran Grotius mencegah
kemenangan teorinya atas kedaulatan pada bagian-bagian tertentu dari
laut bebas pada waktu itu. Kemajuan yang dibuat berdasarkan teori
16
24 “Mare Liberium” hanya dalam satu hal, yaitu kebebasan pelayaran
(freedom of navigation) di laut.
Yang terpenting dari para penentang Grotius adalah John
Sheldon. Penentangnya ini mengemukakan dalam bukunya “Mare Clausum: the Right and Dominion In the Sea (1636). Menurut Sheldon,
okupasi memang penting bagi kepemilikan. Namun, sejarah telah
membuktikan bahwa negara-negara telah menjalankan kekuasaan mereka
atas lautan, dan karena itu melalui prescription itu dapat dimiliki.
Karenanya laut itu bukan “Mare Liberium” tetapi “Mare Clausum”. Sifatnya yang cair tak menyebabkan laut tidak dapat dimiliki, karena
sungai dan perairan di sepanjang pantai yang cair diakui dapat dimiliki.17
Selden kembali mengemukakan bahwa selama laut dikuasai oleh
suatu negara tertentu, maka negara tersebut mempunyai kekuasaan atas
laut tersebut. Teori ini dikembangkan oleh Pontanus yang
mengemukakan bahwa: Kedaulatan suatu Negara (souvereignty) atas laut
mencakup didalamnya wewenang untuk melarang pihak ketiga, sehingga
wewenang untuk melarang melakukan perikanan dan pelayaran tidak lagi
dikaitkan dengan pemilikan (dominium) atas laut. Dengan demikian
dihindarkannya persoalan dapat atau tidaknya laut itu dimiliki, suatu segi
yang merupakan salah satu titik kelemahan dalam argumentasi Grotius.18
17
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia(Edisi Revisi), Op.Cit., h. 6.
18
25
Kurang lebih seratus tahun setelah terbitnya “Mare Liberum” seorang ahli hukum terkemuka bangsa Belanda lainnya Cornelis van
Bynkershoek menulis sebuah buku berjudul “De Dominio Maris Dissertatio”. Dalam tulisan ini ia menolak dalil John Selden, yang mengklaim bagian-bagian laut yang luas bagi negara pantai, dengan
menyarankan suatu jalur yang berbeda di bawah kedaulatan negara pantai
dengan suatu ukuran lebar yang tidak terlalu besar. Untuk ini ia
mengemukakan suatu rumusan dalil, sebagai penjelmaan dari asas
penguasaan laut dari darat, berupa suatu kaidah tembakan meriam yang
berbunyi : “Terrae protestas finitur ubi finitur armorum vis” (kedaulatan territorial berakhir dimana kekuatan senjata berakhir). Menurut dalil ini
jalur laut territorial menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah
(territori) daratan dan perbedaan antara pemilikan dan kedaulatan dengan
demikian lenyap sama sekali. Dengan demikian sempurnalah pembagian
dua laut yang dipelopori oleh Pontanus dan selesailah “perang buku”
antara doktrin “Mare Liberum” dan “Mare Clausum”.19
4. Jarak tembakan meriam dan asal-usul kaidah lebar laut territorial 3 (tiga)
mil
Sudah menjadi anggapan umum bahwa kaidah lebar laut tiga mil
yang pernah dianggap sebagai suatu ukuran lebar laut territorial yang
berlaku umum berasal dari kaidah tembakan meriam. Akan tetapi penelitian
19
26
yang diadakan beberapa waktu yang lalu telah mengemukakan beberapa
fakta yang membantah anggapan tadi. 20
Untuk lebih jelasnya baik apabila kita teliti sejarah penetapan lebar
laut teritorial ini setelah konsepsi laut wilayah ini lahir dengan membagi dua
laut dalam dua bagian yakni laut wilayah (territorial) yang berada di bawah
kedaulatan negara pantai dan laut lepas yang berstatus bebas.
Dalam awal masa sejarah hukum laut ada beberapa ukuran yang
dipergunakan orang untuk menetapkan lebar laut teritorial sebagai jalur
yang berada di bawah kedaulatan negara pantai. Diantaranya yang
terpenting adalah (1) ukuran tembakan meriam, (2) ukuran pandangan mata,
dan (3) ukuran "marine league". Baru jauh kemudian muncul ukuran 3 mil
laut yang untuk waktu yang cukup lama dianggap ukuran lebar laut teritorial
yang berlaku umum.
Diantara tiga ukuran tersebut di atas yang paling banyak
diperbincangkan adalah ukuran tembakan meriam dan lama sekali orang
mengira bahwa ukuran tembakan meriam inilah yang merupakan asal mula
dari kaidah laut territorial tiga mil, yakni suatu jalur laut yang terbentang
sepanjang pantai dan lebarnya tiga mil terhitung dari garis pasang surut.
Karenanya menarik kiranya kita ikuti sejarah perkembangan ukuran
tembakan meriam ini dan hubungannya dengan kaidah lebar laut tiga mil.
Dalam praktek antara negara ukuran tembakan meriam ini untuk
pertama kalinya disebut dalam sengketa antara Negeri Belanda dan Inggris
dalam nota wakil inggris, Gerbier di Brussel kepada Rajanya yang menulis
20
27
antara bahwa "... orang Belanda tidak dapat mengakui Paduka Yang
Mulia memiliki kekuasaan di laut yang melampaui jarak tembakan
meriam".21
Dalil Bynkershoek yang dikemukakan seratus tahun setelah kejadian
di atas lekas sekali menjadi suatu teori yang diterima secara umum oleh
ahli-ahli hukum internasional antara lain Surland, Moser dan Vattel. Lebih
menarik lagi adalah usaha-usaha yang mencoba untuk menggambarkan dalil
tembakan meriam dalam ukuran jarak yang konkrit, yang pertama kali
dilakukan oleh Galiani, seorang penulis Italia yang dalam bukunya "Dei
doveri dei principii neutrali verso i principii guerregianti, e diquesto verso i
netrali” (Naples, 1782), menghubungkannya secara khusus dengan suatu
jalur netralitas yang lebarnya tiga mil.
Lebih terkenal lagi sebagai orang yang menyamakan dalil tembakan
meriam dengan kaidah 3 mil adalah penulis Italia Domenico Anzuni yang
mengemukakan pendapatnya itu dalam buku berjudul “Sistema universale
dei principii del dirrito marittimo dell’ Europa”, yang diterjemahkan dalam
bahasa Perancis dan kemudian bahasa Inggris.22
Disamakannya dalil tembakan meriam Bynkershoek dengan ukuran
3 mil laut yang dipelopori oleh Galiani dan Anzuni dalam abad ke-18, ini
ternyata mempunyai pengaruh yang cukup besar atas pemikiran dan
penulisan selanjutnya di bidang ini. Walaupun pada mulanya dalil tembakan
meriam dan kaidah tiga mil lebar laut teritorial disebut sebagai dua alternatif
yang identik (sama benar) dan dapat dipertukarkan satu sama lainnya,
21
Ibid., h. 21.
22
28
diantara penulis-penulis hukum internasional kemudian timbul
kecenderungan untuk menyebutnya secara terpisah.
Menurut penelitian yang diadakan oleh Riesenfeld mengenai
pendapat dan tulisan-tulisan sarjana hukum internasional tentang batas lebar
laut teritorial dalam abad ke-19 dan ke-20, sebagian besar menganut
pendirian bahwa ukuran tembakan meriam atau 3 mil merupakan ukuran
lebar laut teritorial yang berlaku umum. Tetapi, ditambahkannya bahwa
sebagian besar daripada penulis ini hanya mengutip dan mengulang
penulis-penulis lain sebelumnya tanpa penelitian sendiri sehingga arti daripada
pendapat yang menyamakan dalil tembakan meriam dengan kaidah tiga mil
karenanya sangat berkurang.
A.2.3. Zaman Modern
Pada zaman modern, hukum laut internasional mengalami
perkembangan yang sangat luar biasa. Perkembangan hukum laut
internasional pada masa ini lebih banyak melibatkan negara-negara di dunia
melalui konferensi sebagai pemikir dan pembuat aturan-aturan dalam
perumusan hukum laut.
1. Den Haag Convention 1930
Di dalam tahun 1930 Liga Bangsa-Bangsa mengadakan Konferensi
kodifikasi Hukum Internasional yang meliputi 3 masalah yakni:
1. Kewarganegaraan (Nationality);
29
3. Tanggungjawab negara untuk kerugian yang ditimbulkan dalam
wilayahnya terhadap pribadi atau kekayaan orang asing
(Responsibility of State).
Patut disimak bahwa persoalan laut territorial ini dibicarakan dan
dibahas di dalam Konferensi Den Haag tahun 1930 tentang Laut Teritorial.
Konferensi ini didahului dengan pembentukan Panitia Persiapan pada tahun
1929 yang menyusun dasar perbincangan (bases of discussion) dari
konferensi. Sebelum Konferensi Den Haag diadakan, Panitia Persiapan ini
menyusun rancangan pasal-pasal perihal laut teritorial dan jalur tambahan.
Dasar perbincangan konferensi itu antara lain menyebutkan bahwa suatu
negara memiliki kedaulatan atas suatu jalur laut yang dinamakan laut
teritorial.23
Konferensi kodifikasi yang diadakan oleh Liga Bangsa-Bangsa ini di
dalam sejarah hukum internasional dapat dianggap sebagai usaha lanjutan
atas usaha kodifikasi hukum internasional dari masyarakat bangsa-bangsa
yang untuk pertama kalinya diadakan tahun 1899 pada waktu diadakannya
konferensi perdamaian di kota yang sama.
Dalam tahun 1899 hingga 1901 diselenggarakan
Konferensi-Konferensi Perdamaian di Den Haag yang merupakan usaha pertama dari
masyarakat bangsa-bangsa untuk melakukan perumusan kaidah-kaidah
hukum yang mengatur hubungan antara negara dalam bentuk tertulis.
Konferensi-Konferensi Perdamaian Den Haag ini kemudian disusun dengan
23
30
Konferensi Kodifikasi tahun 1907 menghasilkan Konvensi-Konvensi
tentang Perang dan Netralitas.24
Liga Bangsa-Bangsa setelah berakhirnya Perang Dunia I dengan
melanjutkan usaha ini menunjukkan optimisme dan kepercayaan
anggota-anggota akan kemampuan badan ini untuk paling tidak mengusahakan
terpeliharanya perdamaian melalui kodifikasi atas ketentuan-ketentuan
hukum internasional yang berlaku dipilihnya hukum mengenai Laut
Teritorial sebagai salah satu masalah hukum yang perlu dikodifikasikan
menggambarkan keinginan masyarakat bangsa-bangsa waktu itu untuk
memperoleh ketegasan dalam suatu bidang hukum yang telah berkembang
sejak beberapa abad.
2. Truman Proclamation 28 September 1945
Pada tanggal 28 September 1945 Presiden Amerika Serikat Harry S.
Truman telah mengeluarkan suatu proklamasi yang di dalam
paragrap-paragrap pokoknya menyatakan sebagai berikut:25
Now, therefore, I, Harry S. Truman President of the United States of America, do hereby proclaim the following policy of United States of America with respect to the natural resources of the subsoil and seabed of the continental shelf. Having concern for the urgency of conserving and prudently utilizing its natural resources, the Government of the United States regards the natural resources of the subsoil and seabed of the continental shelf beneath the high seas but contiguous to the coasts of the United States are appertaining to the United States, subject to its jurisdiction and control. In cases where the continental shelf extends to the shores of another State, or is shared with an adjacent State, the boundary shall be determined
24
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 54.
25
31
by the United States and the State concerned in accordance with equitable principles. The character as high seas of the waters above the continental shelf and the right to their free and unimpeded navigation are in no way thus affected.
Dengan proklamasi Presiden Truman tahun 1945 di atas dimulailah
suatu perkembangan dalam hukum laut masa kini yang didasarkan atas
pengertian yang baru dalam hukum laut yakni pengertian geologi
“continental shelf” atau dataran kontinen. Tindakan Presiden Amerika
Serikat ini bertujuan mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut dan
tanah dibawahnya yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat untuk
kepentingan rakyat dan bangsa Amerika Serikat, terutama kekayaan mineral
khususnya minyak dan gas bumi.
Di dalam pertimbangannya proklamasi Truman tersebut di atas
antara lain menyatakan perlunya dirangsang pencarian sumber-sumber baru
atas minyak bumi dan barang tambang lain mengingat kebutuhan dunia
jangka panjang akan sumber minyak bumi dan barang tambang lainnya.
Tindakan ini perlu diadakan demi eksplorasi dan eksploitasi sumber
kekayaan alam yang terdapat dalam dasar laut (seabed) dan tanah bawah
(subsoil) dataran kontinen yang teratur, yang dengan kemajuan teknik yang
telah tercapai sudah dapat di eksploitasikan. Sebagai alasan atas tindakan
Pemerintah Amerika Serikat untuk mengamankan cadangan kekayaan alam
yang terdapat pada dasar dataran kontinen dan tanah dibawahnya
dikemukakan bahwa sudah selayaknya tindakan demikian diambil oleh
negara pantai karena “continental shelf” dapat dianggap sebagai kelanjutan alamiah atas wilayah daratan dan bagaimana pun juga usaha-usaha untuk
32
sama dan perlindungan dari pantai. Dengan demikian maka demi keamanan
pengusahaan sumber alam yang terdapat dari dalam continental shelf,
seyogyanya kekuasaan untuk mengaturnya ada pada negara pantai yang
berbatasan dengan dataran kontinen yang bersangkutan.26
Tindakan Pemerintah Amerika Serikat ini didasarkan atas pendapat
ahli-ahli geologi minyak bumi bahwa bagian-bagian tertentu dari dataran
kontinen di luar batas 3 mil mengandung endapan-endapan minyak bumi
yang sangat berharga. Tindakan ini memungkinkan untuk
mengeksploitasikan secara teratur suatu daerah di bawah permukaan laut
(sub marine area) yang luasnya 750.000 mil persegi yang di tutup oleh air
yang dalamnya tidak lebih dari 100 fathom.
Kesimpulan ini didasarkan atas pengamatan dan penelitian atas
struktur-struktur geologi yang terdapat dalam teluk Texas. Juga indikasi
yang sama terdapat di dalam struktur-struktur yang terdapat dalam teluk
Mexico. Pemerintah sekali lagi menekankan bahwa diumumkannya
penguasaan Amerika Serikat atas kekayaan mineral yang terdapat di dalam
dataran kontinen tidak sekali-kali bermaksud untuk mengurangi hak
kebebasan berlayar atas, atau melalui perairan yang terdapat di atas
"continental shelf” (dataran kontinen) yang tetap meliputi statusnya sebagai
laut lepas. Proklamasi ini juga tidak bermaksud untuk memperluas
batas-batas laut teritorial Amerika Serikat.
26
33
Dari bunyi teks proklamasi Truman yang dikutip di atas dan
penjelasan-penjelasan yang menyertainya kiranya jelas bahwa tindakan
Pemerintah Amerika Serikat ini bertujuan mengamankan atau
mencadangkan kekayaan mineral yang terdapat dalam dasar laut dan tanah
di bawahnya yang berbatasan dengan pantai tidak bermaksud mengganggu
pelayaran bebas yang terdapat dalam laut lepas. Dengan demikian
proklamasi Truman secara sekaligus memperluas wewenang Amerika
Serikat untuk mengambil kekayaan alam dari dasar laut yang berbatasan
dengan pantainya termasuk tanah yang ada di bawahnya sambil tetap
mempertahankan kebebasan berlayar yang juga menjadi kepentingan
Amerika Serikat dalam perairan di atasnya dengan menegaskan bahwa
kedaulatan atau yurisdiksi penuh tetap terbatas pada laut teritorial 3 mil.
3. Konferensi Hukum Laut Jenewa Tahun 1958 (UNCLOS I)
Dari tanggal 24 Februari hingga 27 April 1958 di kota Jenewa,
Switzerland telah diselenggarakan suatu konferensi internasional tentang
hukum laut yang dihadiri oleh wakil-wakil dari 86 negara. Daftar negara
peserta memperlihatkan perubahan yang telah terjadi dalam keanggotaan
masyarakat bangsa dengan telah masuknya negara-negara yang memperoleh
kemerdekaannya setelah akhir Perang Dunia ke-II.27
Kenyataan dan faktor bertambah pentingnya laut sebagai sumber
kekayaan alam dan kemajuan teknologi memungkinkan penggaliannya yang
telah dijelaskan dalam tulisan diatas, menjadikan Konferensi Hukum Laut
27
34
yang diadakan di Jenewa pada tahun 1958 ini suatu kejadian yang penting
dalam perkembangan hukum laut masa kini.
Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 diadakan berdasarkan
resolusi Majelis Umum PBB No. 1105 (XI) tanggal 21 Februari 1957.
Paragraf operatif (operative paragraph) yang mengandung pokok isi
resolusi berbunyi sebagai berikut:28
"The General Assembly,
(2) Decides ... that an international conference of plenipotentiaries should be convoked to examine the law of the sea, taking account not only of the legal but also of the technical, biological, economic and political aspects of the problem, and to embody the results of its work in one or more international conventions or such other instrument as it may deem appropriate."
Resolusi di atas yang merupakan dasar bekerja bagi konferensi dan
menetapkan batas-batas tugas konferensi dengan tegas menetapkan bahwa
konferensi harus membahas hukum laut tidak hanya dari sudut hukum,
melainkan harus pula mempertimbangkan aspek-aspek teknis, biologis,
ekonomis, dan politik atas masalah ini.
Untuk memahami persoalan sedalam-dalamnya perlu dijelaskan arti
dari aspek-aspek non-yuridis yang telah ditegaskan dalam resolusi di atas
dan pengaruhnya atas pertumbuhan hukum laut. Selanjutnya akan ditinjau
dengan cara bagaimana aspek-aspek non-yuridis ini dapat turut
dipertimbangkan di dalam membahas masalah hukum laut.
28
35
Pembahasan atas persoalan-persoalan atau pertanyaan pre-liminer ini
perlu, karena akhirnya penilaian tentang berhasil atau tidaknya Konferensi
Hukum Laut Jenewa tahun 1958 dalam menunaikan tugasnya harus kita
lakukan menurut batas-batas tugas (terms of reference) yang telah diberikan.
Hasil Konferensi Hukum Laut Jenewa Tahun 1958 menghasilkan 4
(empat) Konvensi antara lain:29
a. Convention on the Territorial Sea and Contigous Zone (Konvensi
mengenai Laut Teritorial dan Zona Tambahan);
b. Convention on the High Seas (Konvensi mengenai Laut Lepas);
c. Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources
of the High Seas (Konvensi mengenai Perikanan dan Perlindungan
Kekayaan Hayati Laut Lepas);
d. Convention on the Continental Shelf (Konvensi mengenai Landas
Kontinen).
4. Konferensi Hukum Laut Jenewa Tahun 1960 (UNCLOS II)
Antara tahun 1958 dan 1960, terdapat berbagai perbedaan dalam
klaim terhadap laut teritorial. Islandia menetapkan jalur tambahan perikanan
selebar 12 mil. Pembicaraan yang diadakan pada Committee of The Wole
berlangsung dari tanggal 17 Maret 1960 sampai dengan 26 April 1960.
Agendanya ialah tentang masalah lebar laut teritorial dan zona tambahan
perikanan. Berbagai usul dikemukakan seperti enam mil plus enam mil
(Kanada), enam mil laut teritorial dikombinasikan dengan dua belas mil
29
36
zona perikanan (Amerika Serikat), namun kesemuanya mengalami
kegagalan untuk menentukan lebar laut teritorial. Kelemahan lainnya ialah
pengaturan yang terlalu kompleks dari Konvensi tentang Perikanan dan
Konservasi Sumber-Sumber Hayati Laut Lepas.30 Dengan demikian jelas, diperlukan adanya suatu konferensi hukum laut berikutnya untuk membahas
masalah laut teritorial dan masalah perikanan.
5. United Nations Seabed Committe 18 Desember 1967 (Komisi PBB
mengenai Seabed)
Konferensi Hukum Laut III ini diadakan berdasarkan Resolusi
Majelis Umum PBB No. 2750 (XXV) tertanggal 17 Desember 1970.
Resolusi tersebut mengukuhkan mandat yang telah diberikan kepada The
Committe of the Peaceful Uses of the Seabed and Ocean Floor beyond the
Limits of national jurisdiction yang lebih dikenal dengan nama aslinya UN
Seabed Committe yang lahir sebagai hasil atas inisiatif Malta pada tahun
1967. UN Seabed Committe ditetapkan menjadi Panitia Persiapan bagi suatu
Konferensi Hukum Laut yang diadakan pada tahun 1973. Konferensi ini
ditugaskan untuk membahas:
a. Pengaturan hukum (regime) yang mengatur: “the area and the resources of the seabed and ocean floor and the subsoil beyond
the limits of national jurisdiction, ...”;
b. Ketentuan-ketentuan mengenai pengaturan laut lepas (high seas);
c. Landas Kontinen (continental shelf);
30
Chairul Anwar, Hukum Internasional “Horizon Baru Hukum Laut Internasional” (Konvensi
37
d. Territorial Sea, termasuk masalah lebar laut teritorial dan masalah
selat internasional;
e. Perikanan dan perlindungan sumber daya hayati di laut lepas;
f. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (termasuk
pencegahan pencemaran); dan
g. Penelitian ilmiah kelautan.31
6. United Nations Convention on the Law of the Sea III (UNCLOS III) 10
Desember 1982, Montego Bay, Jamaica.
Konvensi Hukum laut 1982 merupakan puncak karya dari PBB
tentang hukum laut, yang disetujui di Montego Bay, Jamaica tanggal 10
Desember 1982. Konvensi hukum laut dengan hasil gemilang ini yang
ditandatangani oleh 119 negara pada hari pertama konvensi ini terbuka
untuk penandatanganan, diberi nama julukan sebagai Konstitusi Lautan
(Constitution for the Ocean) oleh Presiden dari Konferensi Hukum Laut
PBB III. Terdiri dari 17 Bagian (Parts) dan 9 Annex, konvensi ini antara
lain terdiri dari ketentuan-ketentuan tentang batas-batas dari yurisdiksi
nasional di ruang udara di atas laut, navigasi, perlindungan dan
pemeliharaan lingkungan laut, riset ilmiah, pertambangan dasar laut dan
eksploitasi lainnya dari sumber-sumber non hayati dan ketentuan-ketentuan
tentang penyelesaian perselisihan. Di samping itu konvensi ini juga
mengatur tentang pendirian dari badan-badan internasional untuk
31
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi), Op.Cit.,
38
menyelenggarakan fungsi-fungsi untuk realisasi tujuan-tujuan tertentu dari
konvensi ini.
Pada tahun 1967 Majelis Umum membicarakan konsep Common
Heritage of Mankind (warisan umum kemanusiaan) dalam kaitan dengan
pemeliharaan dasar laut secara eksklusif untuk perdamaian, di mana
sebelumnya konsep warisan umum kemanusiaan ini belum pernah
dibicarakan dalam forum internasional. Pekerjaan dari Konferensi Ketiga
PBB tidaklah didasarkan kepada rancangan pasal-pasal yang dipersiapkan
oleh International Law Commission seperti halnya dalam Konferensi
Geneva tahun 1958, tetapi kesimpulan-kesimpulan didasarkan atas dasar
rasional yang merupakan paket dari konsep tersebut.
Majelis Umum kemudian membentuk Komite Ad Hoc untuk
mempelajari Peaceful Uses of the Sea-bed and Ocean Floor di luar
batas-batas yurisdiksi nasional, yang diberi nama Sea-Bed Committee untuk
menentukan ide dan konsep baru mengenai hal tersebut.32 Sebagai kelanjutan dari pelaksanaan Konvensi telah dibentuk antara lain,
Commission on the Limits of the Continental Shelf (CLC), dan International
Sea-bed Authority (ISBA). Di samping itu, juga telah dicapai beberapa
perjanjian tambahan yang merupakan aturan pelaksanaan dari konvensi,
yaitu Agreement relating to the Implementation of Part XI of the Convention
tahun 1994.
32
Chairul Anwar, Hukum Internasional “Horizon Baru Hukum Laut Internasional” (Konvensi
39
Ada pun ketentuan-ketentuan yang merupakan perkembangan
progresif dalam Konvensi Hukum Laut 1982 adalah selat yang digunakan
untuk pelayaran internasional, negara kepulauan, zona ekonomi eksklusif,
pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati di laut lepas, pulau, laut
tertutup atau separuh tertutup, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut
(termasuk pencegahan pencemaran), penelitian ilmiah dan alih teknologi
kelautan dan penyelesaian sengketa kelautan.33
Kemudian ternyata bahwa Konvensi Hukum Laut 1982 yang
berhasil mengkodifikasikan perkembangan di atas tidak dapat
menyelesaikan masalah perikanan tangkap. Ketentuan Pasal 63 ayat 2 dan
Pasal 64 ayat 1 Konvensi ini sudah tidak efektif dalam mengatur masalah
konservasi dan pengelolan jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan
yang beruaya jauh.
Demikian pula, ketentuan-ketentuan dalam Bab VII Konvensi tidak
efektif dalam mengatur konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan di
laut lepas dan ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 yang terkait
dengan pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati di laut lepas.
Ketidakefektifan kedua ketentuan tersebut menimbulkan kegiatan illegal,
unreported and unregulated (IUU) fishing yang memerlukan perhatian, baik
dari masyarakat nasional maupun masyarakat internasional. Kegiatan IUU
fishing ini merupakan kegiatan penangkapan ikan tidak bertanggung jawab
33
40
yang mengakibatkan persediaan sumber-sumber daya ikan yang terus
mengalami penurunan drastis.
Konvensi Hukum Laut 1982 juga tidak memberikan pengertian
genuine link secara jelas yang menimbulkan banyak interpretasi dan
mendorong maraknya praktik bisnis penggunaan flags of convenience
(bendera pura-pura). Keadaan-keadaan yang disebutkan di atas mendorong
disusunnya the Agreement to Promote with International Conservation and
Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas (the 1993 FAO
Compliance Agreement) dan Persetujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember yang berkaitan dengan
Konservasi dan Pengelolaan Persediaan Ikan yang Beruaya Terbatas dan
Persediaan Ikan yang Beruaya Jauh (Persetujuan PBB tentang Persediaan
Ikan 1995).
Instrumen-instrumen hukum perikanan internasional penting lainnya
yang telah berhasil disusun adalah the 1995 FAO Code of Conduct for
Responsible Fisheries (untuk selanjutnya akan disebut sebagai CCRF)
(aturan perilaku tentang pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab)
dan the 2001 FAO International Plan of Action to Deter, Prevent and
Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (untuk selanjutnya
akan disebut sebagai IPOA-IUU) (rencana aksi global untuk memberantas
41
dilaporkan).34 Suatu uraian tentang perkembangan hukum laut internasional sesudah berlakunya Konvensi Hukum Laut 1982 dan instrumen-instrumen
internasional lainnya tidak akan lengkap tanpa menguraikan usaha dan
tindakan Indonesia di bidang ini. Langkah-langkah yang telah diambil oleh
Indonesia di bidang ini merupakan implementasi dari ratifikasi Indonesia
terhadap Konvensi ini melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 1985.
A.3. Sumber-Sumber Hukum Laut Internasional
Semenjak laut dimanfaatkan untuk kepentingan pelayaran,
perdagangan, dan sebagai sumber kehidupan seperti penangkapan ikan,
semenjak itu pulalah para ahli hukum mulai mencurahkan perhatiannya
pada hukum laut. Sebagai suatu bentuk dari hukum laut yang paling dini
pada abad ke-12 telah dikenal beberapa kompilasi dari peraturan-peraturan
yang dipakai di laut di Eropa. Di Laut Tengah “Lex Rhodia” atau Hukum Laut Rhodia mulai dikenal sejak abad ketujuh.
Kemudian suatu koleksi hukum maritim, yang mungkin merupakan
koleksi yang paling dini, sebagai kompilasi dari hakim-hakim,
kapten-kapten kapal dan pedagang-pedagang ternama, diterbitkan pada tahun 1494,
yang dinamakan Consolato del Mare (Konsulat dari Lautan).
Himpunan Rolles d'Oleron di dalam bahasa Perancis kuno,
merupakan aturan pokok lautan untuk daerah Atlantik. Sea Code of Wisby
merupakan himpunan hukum laut penting yang diterapkan di Eropa Utara.
Bagian pertamanya merupakan terjemahan ke dalam bahasa Flam dari 24
34
42
Bab (Rolles d'Oleron), sedangkan bagian keduanya “Ordonancie” kelihatannya disusun di Amsterdam tahun 1407.35
Kemudian pada abad ke-16 dan abad ke-17 keinginan untuk
menguasai lautan merupakan hal yang diperebutkan oleh negara-negara
maritim di Eropa. Spanyol dan Portugis yang menguasai lautan berdasarkan
Perjanjian Tordesillas tahun 1494, memperoleh tantangan baik dari Inggris
yang di bawah Elizabeth I menghendaki kebebasan di laut dan tantangan
dari Belanda, yang tercermin dalam karangan Grotius tahun 1609 yang
berjudul “mare liberum”. Pada abad ke-17 Raja James I dari Inggris memproklamirkan bahwa penangkapan ikan dipantai negara-negara di
bawah kekuasaannya hanya diperkenankan dengan memakai izin. Hal ini
berarti bahwa nelayan-nelayan Belanda harus membayar semacam royalty
di perairan Inggris. Beberapa waktu kemudian hal ini membawa kepada
perdebatan yuridis yang sengit antara yurist Belanda Grotius yang
mempertahankan mare liberum dengan pembelaan Selden dari Inggris yang
bergejolak dalam bukunya mare clausum. Masing-masing antara Belanda
dan Inggris sama-sama tidak menghendaki monopoli Spanyol dan Portugis
atas lautan.
Ahli-ahli hukum yang berusaha meletakkan konsep-konsep dasar
tentang hukum laut, biasanya membagi teori-teori tentang lautan secara
legalistik dalam empat bagian, yaitu (1) perairan pedalaman, (2) laut
teritorial, (3) zona tambahan, (4) laut lepas. Terlihat dalam perkembangan
yang cepat dari hukum laut internasional dengan diperkenalkannya
35
43 pengaturan tentang “landas kontinen” dalam UNCLOS I dan regim baru
“Zona Ekonomi Eksklusif”, “Negara Kepulauan”, “Kawasan Dasar Laut
Internasional” dan lain-lain. Adapun konferensi internasional utama yang
membahas masalah laut teritorial ialah Codification Conference pada tahun
1930 di Den Haag, yang dilangsungkan di bawah naungan Liga
Bangsa-Bangsa.
Konferensi Kodifikasi ini berlangsung dari tanggal 13 Maret sampai
tanggal 12 April 1930, yang dihadiri oleh delegasi dari 47 negara.
Konferensi tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar dari laut teritorial
dan hak menangkap ikan dari negara-negara pantai pada zona tambahan.
Peserta konferensi pendapatnya terbagi di dalam beberapa versi, di
antaranya ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), ada
pula yang menghendaki 6 mil laut teritorial (12 negara), serta negara-negara
Nordic menghendaki laut teritorial selebar 4 mil. Konferensi Kodifikasi Den
Haag tidak menghasilkan suatu konvensi, kecuali beberapa rancangan
pasal-pasal yang disetujui sementara. Konferensi Kodifikasi Den Haag merupakan
satu-satunya konferensi hukum laut yang dilangsungkan di bawah naungan
Liga Bangsa-Bangsa.
Berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 21 Februari 1957,
disepakatilah untuk mengadakan konferensi hukum laut di dalam bulan
Maret 1958. Resolusi Majelis Umum tersebut diambil berdasarkan
rekomendasi dari International Law Commission yang menyarankan untuk
diadakannya suatu konferensi internasional tentang hukum laut, yang
44
1976. Demikianlah Konferensi PBB II tentang hukum laut berlangsung di
Geneva dari tanggal 24 Februari 1958 sampai dengan tanggal 27 April
1958, yang dihadiri oleh 700 delegasi dari 86 negara. (UNCLOS I) Sebagai
basis dokumen dari konferensi ialah rancangan dari berbagai pengaturan
hukum laut yang telah disiapkan oleh International Law Commission, dan
diharapkan akan dapat disetujui konferensi sebagai konvensi-konvensi
tentang hukum laut. Konferensi terbagi atas empat Komite serta untuk
keputusan tentang hal-hal mendasar diperlukan suara dua pertiga dari yang
hadir dan memberikan suaranya.36 Komite Satu
Komite Satu bertugas menangani soal-soal yang bertalian dengan
laut teritorial dan jalur tambahan (teritorial sea and contiguous zone).
Bermacam-macam usul tentang laut teritorial dan jalur tambahan diajukan
di dalam Komite Satu ini, antara lain Kanada mengusulkan 6 mil laut
teritorial dan tambahan 6 mil zona perikanan dan Amerika Serikat
mengajukan 6 mil laut teritorial dan 6 mil zona perikanan. Usul lainnya
ialah yang mengusulkan 12 mil lebar laut teritorial oleh negara Mexico,
India, Indonesia, Maroko, Saudi Arabia, Republik Persatuan Arab dan
Venezuela. Untuk negara-negara yang mengajukan claim kurang dari 12
mil, mereka dapat melakukan claim atas zona perikanan ekslusif sampai 12
mil.
Dari usul-usul di atas tidak ada yang memperoleh suara terbanyak
sewaktu diadakan pemungutan suara, sehingga UNCLOS I ini telah gagal
36
45
untuk menetapkan lebar laut teritorial dan jalur tambahan. Majelis Umum
PBB tahun 1958 menentukan untuk mengadakan konferensi kedua untuk
menetapkan masalah lebar laut teritorial dan jalur tambahan.
Komite Dua
Komite Dua yang bertugas membicarakan laut lepas (the high seas),
masalah yang banyak berkaitan dengan kebebasan di laut lepas yang oleh
International Law Commission telah dipersiapkan sebagai berikut:
1. Kebebasan pelayaran;
2. Kebebasan menangkap ikan;
3. Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa;
4. Kebebasan terbang di atas laut lepas.
Rancangan International Law Commission tersebut seluruhnya
diterima dan dimasukkan ke dalam pasal 2 dari Konvensi tentang Laut
Lepas 1958.
Komite Tiga
Komite Tiga membahas rancangan-rancangan International Law
Commission tentang penangkapan ikan yang didasarkan atas prinsip-prinsip
yang disetujui pada United Nations Technical Conference on Living
Resources of the Sea di Roma, tahun 1955.
Pasal-pasal dari International Law Commission meliputi:
1. Definisi;
2. wilayah penangkapan ikan oleh satu negara;
3. wilayah penangkapan ikan oleh dua atau lebih negara;
46
5. kepentingan khusus dari negara pantai pada perairan lepas pantai;
6. hak-hak negara pantai untuk mengadakan tindakan-tindakan secara
unilateral tetapi tidak memihak;
7. kepentingan khusus dari pihak ketiga tentang upaya-upaya
konservasi;
8. pendirian dari Komisi Arbitrase.
Komite Empat
Komite Empat membahas pengaturan perihal landas kontinen.
Dengan demikian Konferensi Hukum Laut PBB I (UNCLOS I) telah
berhasil menyetujui empat buah konvensi, yaitu:
1. Convention on The Territorial Sea and Contiguous Zone;
2. Convention on The High Seas;
3. Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of
the High Seas;
4. Convention on Continental Shelf.
Di samping itu konferensi juga menyetujui sembilan resolusi
meliputi test nuklir di laut lepas, polusi laut lepas oleh bahan-bahan radio
aktif, konservasi perikanan internasional, kerjasama di dalam upaya-upaya
konservasi, pembunuhan oleh manusia terhadap makhluk hidup kelautan,
situasi khusus tentang penangkapan ikan pantai, ketentuan-ketentuan
tentang perairan sejarah, dan penyelenggaraan konferensi hukum laut kedua.
Antara tahun 1958 dan 1960, terdapat berbagai perbedaan dalam
claim terhadap laut teritorial. Islandia menetapkan jalur tambahan perikanan
47
berlangsung dari tanggal 17 Maret 1960 sampai dengan 26 April 1960.
Agendanya ialah tentang masalah lebar laut teritorial dan zona tambahan
perikanan. Berbagai usul dikemukakan seperti enam mil plus enam mil
(Kanada), enam mil laut territorial dikombinasikan dengan dua belas mil
zona perikanan (Amerika Serikat), namun kesemuanya mengalami
kegagalan untuk menentukan lebar laut teritorial. Kelemahan lainnya ialah
pengaturan yang terlalu kompleks dari Konvensi tentang Perikanan dan
Konservasi Sumber-Sumber Hayati Laut Lepas. Dengan demikian jelas,
diperlukan adanya suatu konferensi hukum laut berikutnya untuk membahas
masalah laut teritorial dan masalah perikanan.
Kepentingan-kepentingan dunia atas hukum laut yang telah terlihat
dalam perjalanan sejarah dunia mencapai puncaknya pada abad ke-20 ini.
Modernisasi dalam segala bidang kehidupan, tersedianya kapal-kapal yang
lebih cepat, bertambah pesatnya perdagangan dunia, tambah canggihnya
komunikasi internasional, pertambahan penduduk dunia yang membawa
konsekuensi bertambahnya perhatian yang diarahkan kepada usaha
penangkapan ikan serta kekayaan dari lautan, kesemuanya telah membuat
dunia membutuhkan suatu pengaturan dan tatanan hukum laut yang lebih
sempurna.
Di dalam dekade-dekade dari abad ke-20 ini telah empat kali
diadakan usaha-usaha untuk memperoleh suatu himpunan hukum laut yang
menyeluruh, yaitu:
(1) Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 (The Hague Codification
48
(2) Konferensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1958 (The U.N.
Conference on the law of The Sea in 1958).
(3) Konferensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1960 (The U.N.
Conference on the Law of The Sea in 1960).
(4) Konvensi Hukum Laut 1982, yang dihasilkan oleh Konferensi
Hukum Laut PBB III.
Konferensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1958 telah
menghasilkan empat konvensi penting, yaitu:
(1) Konvensi tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan (The
Convention on Territorial Sea and Contiguous zone);
(2) Konvensi tentang Laut Lepas (The Convention on The High Seas);
(3) Konvensi tentang Landas Kontinen (The Convention on Continental
Shelf);
(4) Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber-sumber
Hayati di Laut Lepas (The Convention on Fishing and Conservation
of Living Resources of The High Seas).
Konvensi Hukum Laut 1982 adalah merupakan puncak karya dari
PBB tentang hukum laut, yang disetujui di Montego Bay, Jamaica tanggal
10 Desember 1982. Konvensi hukum laut dengan hasil gemilang ini yang
ditandatangani oleh 119 negara pada hari pertama konvensi ini terbuka
untuk penandatangan, diberi nama julukan sebagai Konstitusi lautan
(Constitution for the Ocean) oleh Presiden dari Konferensi Hukum Laut
PBB III. Terdiri dari 17 Bagian (Parts) dan 9 Annex, konvensi antara lain
49
di ruang udara di atas laut, navigasi, perlindungan dan pemeliharaan
lingkungan laut, riset ilmiah, pertambangan dasar laut dan eksploitasi
lainnya dari sumber-sumber non hayati dan ketentuan-ketentuan tentang
penyelesaian perselisihan. Di samping itu konvensi ini juga mengatur
tentang pendirian dari badan-badan internasional untuk menyelenggarakan
fungsi-fungsi untuk realisasi tujuan-tujuan tertentu dari konvensi.37
B.
Ketentuan Hukum Laut Internasional tentang Pulau
B.1. Pengertian PulauDalam upaya memberikan pengertian pulau sebelum Konvensi Hukum
Laut 1982, pertama-tama kita perlu merujuk pada Konferensi Liga
Bangsa-Bangsa mengenai Kodifikasi Hukum Internasional (Konferensi Kodifikasi
Den Haaq) Tahun 1930, yang meliputi 3 masalah yakni :
1. Kewarganegaraan (nationality);
2. Perairan teritorial (territorial waters); dan
3. Tanggungjawab negara untuk kerugian yang ditimbulkan dalam
wilayahnya terhadap pribadi atau kekayaan orang asing
(responsibility of states).38
Bertalian dengan perairan teritorial, Sub Komite II memperbincangkan
delapan persoalaan yang bertalian erat dengan laut teritorial, yaitu: (1) garis
pangkal laut teritorial; (2) teluk; (3) pelabuhan; (4) dermaga; (5) pulau; (6)
selat; (7) lintas kapal perang melalui selat; dan (8) penutupan laut teritorial
37
Ibid., h. 7.
38
50
pada muara sungai.39 Dalam hubungannya dengan persoalan pulau tersebut, Sub Komite II Konferensi Kodifikasi Den Haaq Tahun 1930 memberikan
definisi pulau sebagai berikut:
“An island is an area of land, surrounded by water, which is permanently above highwater mark.40 (pulau merupakan suatu daratan yang dikelilingi oleh air dan yang ada di atas permukaan air pada waktu air pasang).
Dalam rangka mempersiapkan rancangan pasal mengenai pulau untuk
penyelenggaraan Konferensi Hukum Laut I Tahun 1958, Komisi Hukum
Internasioal menggunakan karya Konferensi Kodifikasi Den Haaq 1930,
dengan memasukan rancangan pasal mengenai pulau. Menurut Rancangan
Pasal 10 Laporan Akhir Komisi Hukum Internasional bahwa setiap pulau
mempunyai laut teritorialnya. Dalam pada itu, definisi pulau yang dimuat
dalam Pasal 10 ayat 1 Konvensi Hukum Laut Jenewa I 1958 mengenai Laut
Teritorial dan Jalur Tambahan,41 berbunyi sebagai berikut:
“An island is a naturally-formed area of land, surrounded by water, which is above water at high-tide”. (sebuah pulau adalah suatu kawasan tanah atau daratan yang dikelilingi oleh perairan, yang tampak di atas permukaan pada waktu perairan tersebut pasang).
Rumusan yang sama mengenai definisi pulau ini diberikan oleh Pasal
121 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu:42
39
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi), Op.Cit.,
h. 218.
40Candidate Number: 8031, “Islands and Their Capacity to Generate Maritime Zones Case law Romania v. Ukraine”, Thesis, Faculty of Law, University of Oslo, 2008, h. 7.
41
I Wayan Parthiana, Landas Kontinen dalam Hukum Laut Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2005, h. 38.
42
51 “An island is a naturally-formed area of land, surrounded by water, which is above water at high-tide”.
Dari bunyi ketentuan di atas nampak bahwa pulau merupakan suatu
daratan yang dibentuk secara alamiah yang dikelilingi oleh air dan yang ada
di atas permukaan air pada waktu air pasang.
Dari uraian di atas, nampak bahwa definisi pulau yang dirumuskan
dalam Konferensi Kodifikasi Den Haaq Tahun 1930 merupakan definisi
pertama mengenai pulau, yang kemudian dikuatkan oleh Konvensi Hukum
Laut Jenewa I 1958 dan Konvensi Hukum Laut 1982.
Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan
2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi )beserta kesatuan ekosistemnya. Pulau-Pulau Kecil Terluar (disingkat = PPKT) adalah pulau-pulau kecil yang
memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis
pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional.43
Berdasarkan penjelasan diatas kategori Pulau-Pulau Kecil Terluar
ialah tidak memiliki luas area yang besar (kecil), sehingga daripada itu untuk
melindungi kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI di atas laut, Pemerintah
Indonesia mengeluarkan peraturan dalam bentuk Peraturan Presiden.
Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau
Kecil Terluar dan Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2010 tentang
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar.
43
52
Pulau Kecil Terluar adalah pulau dengan luas areal kurang atau sama
dengan 2000 km2 (dua ribu kilomenter persegi) yang memiliki titik-titik dasar
koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai
dengan hukum internasional dan nasional.44
B.2. Kategori Pulau
Bertitik tolak dari uraian di atas, maka untuk mendalami kategori
pulau, baiknya kita lebih mengenal apa yg dimaksud dengan “pulau alami”
dan “pulau buatan”. Dalam uraian berikut akan dijelaskan kategori dalam
“pulau” yang dimaksud tersebut.
B.2.1. Pulau Alami
Sehubungan dengan karakteristik pulau, menurut hukum internasional
paling tidak ada 7 karakteristik tradisional yang harus dipenuhi oleh suatu
pulau, yaitu:
1. Suatu wilayah daratan;
2. Dibentuk secara alamiah;
3. Ukurannya cukup luas;
4. Dikelilingi oleh air;
5. Ada di atas permukaan air pada waktu air pasang;
6. Untuk dapat didiami oleh manusia; dan
7. Mempunyai kelangsungan hidup di bidang ekonomi.
Pasal 10 ayat 1 Konvensi Hukum Laut Jenewa I 1958 mengenai Laut
Teritorial dan Jalur Tambahan hanya memuat kriteria nomor 1, 2, 4 dan 5,
44
53
sedangkan Pasal 121 Konvensi Hukum Laut 1982 memuat kriteria nomor 1,
2, 4, 5, 6 dan 7. Kriteria nomor 3 tentang "ukurannya cukup luas" tidak
dikenal dalam ketentuan Konvensi Hukum Laut Jenewa I 1958 dan Konvensi
Hukum Laut 1982.
Hal ini berarti bahwa keenam kriteria yang ditetapkan dalam Konvensi
Hukum Laut 1982 merupakan kriteria yang mengikat masyarakat
internasional untuk menentukan suatu pulau. Dalam uraian berikut ini akan
dijelaskan secara singkat mengenai karakteristik-karakteristik yang
disebutkan di atas.45
1. Suatu Wilayah Daratan
Agar suatu pulau dapat menjadi pengertian yuridis, maka
syaratnya harus memenuhi dua unsur. Pertama, daratan yang terbentuk
harus tersambung dengan dasar laut agar mempunyai karakteristik
sebagai pulau. Kedua, daratan tersebut harus merupakan terra firma
(wilayah daratan luas) yang stabil.
Berdasarkan uraian di atas, maka dasar laut itu merupakan
kelanjutan alamiah dari wilayah daratan. Harus diakui bahwa wilayah
daratan yang terbentuk secara alamiah itu merupakan pondasi untuk
mendirikan bangunan-bangunan di atasnya untuk berbagai aktivitas
manusia.
2. Dibentuk Secara Alamiah
Pencantuman kalimat "dibentuk secara alamiah" dalam definisi
pulau menurut Pasal 121 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982 (kursip
45
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi), Op.Cit.,
54
peneliti) berarti bahwa kriteria pulau ini tidak mencakup pulau buatan
dengan kapasitasnya untuk membentuk zona-zona maritim. Menurut
doktrin yang dianut bahwa laut teritorial tidak dapat dibentuk oleh
instalasi-instalasi buatan, seperti mercusuar, menara, dan lain-lain.
Dalam sejumlah tulisan pakar hukum laut internasional acapkali
dicantumkan istilah “insular formations” yang tidak ditemukan dalam Pasal 121 Konvensi Hukum Laut 1982. Menurut pakar hukum laut
internasional "insular formations" diartikan sebagai “those formations which are included by treaty law as legal terms, namely islands and
low-tide elevations" (elevasi surut). Istilah ini mencakup pulau-pulau, batu
karang, karang dan segala bentuk elevasi surut, sehingga penerjemahan
format pulau-pulau dari "insular formations" dianggap kurang tepat.
Karena istilah "pulau" itu sendiri merupakan terjemahan dari island
menurut Pasal 121 Konvensi Hukum Laut 1982. Hanya saja ketentuan
Pasal 121 tidak menjelaskan mengenai elevasi surut dan kedudukan
hukumnya dalam konteks delimitasi maritim.
3. Ukuran Wilayahnya Cukup Luas
Kriteria ukuran luasnya pulau ini tidak ditetapkan dalam definisi
pulau yang dikemukakan di atas. Oleh karena itu, baik Konferensi
Kodifikasi Den Haag Tahun 1930 maupun Pasal 10 (1) Konvensi Hukum
Laut Jenewa I 1958 mengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan tidak
menetapkan kriteria ukuran besar atau kecilnya suatu pulau. Namun
demikian, sejumlah pakar hukum laut internasional menggunakan kriteria
55
penuh. Dalam kaitan ini menarik pendapat McDougal dan Burke yang
menyatakan bahwa apabila ada wilayah daratan yang cukup luas, maka
tidak perlu dipersoalkan jenis-jenis daratannya selama wilayah tersebut
mampu membentuk laut teritorial.
Dikaitkan dengan wilayah sebagai salah satu unsur negara
menurut Konvensi Mentevideo 1933, memang tidak penting apakah
daerah yang didiami secara tetap oleh rakyat itu besar atau kecil. Dapat
saja wilayah yang berupa pulau (kursip peneliti) tersebut hanya terdiri
dari satu kota saja, sebagaimana halnya dengan suatu negara kota. Tidak
dipersoalkan pula apakah seluruh wilayah tersebut dihuni atau tidak.
Unsur wilayah dan unsur rakyat tidak ada batas tertentu, baik
jumlah penduduk maupun luas daerahnya. Sebagai contoh, Tuvalu hanya
mempunyai penduduk 10.000 orang (tahun 2002), dan luas negerinya
hanya 26 Km2. Negeri kecil ini disebut dengan negara „mini‟, „mikro‟, atau sarjana lain menyebut juga sebagai very small state.46
Pengaturan penting dalam hukum internasional dewasa ini
mengenai kriteria ukuran pulau adalah ketentuan Pasal 121 Konvensi
Hukum Laut 1982 yang tidak menetapkan syarat mengenai ukuran besar
atau kecilnya suatu pulau. Ketentuan pasal inilah yang mengikat
negara-negara dalam menentukan kriteria ukuran luasnya pulau.
4. Dikelilingi oleh Air
Definisi pulau ini sesungguhnya dianggap lebih penting daripada
persyaratan suatu pulau harus dikelilingi oleh air. Apabila sebuah pulau
46