• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Penelitian Ter da hulu

1. Penelitian oleh Njo Anastasia Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra yang berjudul Penilaian Atas Agunan Kredit Berstatus Surat Hijau. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa properti yang berstatus surat hijau dijadikan jaminan hutang ditinjau dari sisi perbankan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang meneliti Penilaian Atas Agunan Kredit Berstatus Surat Hijau.

Fokus yang diteliti dalam penelitian ini adalah properti berstatus surat hijau dapat dijadikan jaminan hutang ditinjau dari sisi perbankan yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Perbankan.

Hasil penelitian dari properti berstatus surat hijau yang dijadikan jaminan hutang ditinjau dari sisi perbankan adalah Surat Hijau dapat dijadikan agunan kredit namun diperlukan analisa terlebih dahulu dari aspek kredit (5C) lainnya bukan hanya sisi sebagai jaminan saja dan Penilaian penting dilakukan pada agunan dengan status surat hijau, karena properti yang dijadikan agunan harus memiliki kualifikasi legalitas yang jelas, hak atas properti dapat dipindah tangankan atau dibebani hak tanggungan atau sejenisnya, status fisik atas properti teridentifikasi dengan jelas dan properti tersebut memiliki potensi pasar.

2. Penelitian oleh Arnityasari Ika Putri Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik – Universitas Airlangga yang berjudul Perselisihan Kepentingan

12

Antara Komunitas Ijin Pemakaian Tanah dengan Pemerintah Kota Surabaya. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan penelitian yaitu menggambarkan perselisihan kepentingan antara komunitas surat ijo dengan Pemerintah Kota Surabaya. Peneliti mengambil lokasi penelitian di Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah Kota Surabaya, Dinas Cipta Ruang dan Tata Karya serta di beberapa wilayah surat ijo di Kota Surabaya.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan tipe penelitiannya adalah deskriptif.

Fokus yang diteliti dalam penelitian ini adalah perselisihan kepentingan antara komunitas ijin pemakaian tanah yang menginginkan adanya hak atas tanah sesuai dengan pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Poko Agraia, dengan Pemerintah Kota Surabaya yang berpayung Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1997 tentang Ijin Pemakaian Tanah.

Hasil dari penelitian ini adalah menunjukkan bahwa perselisihan kepentingan antara komunitas surat ijo dengan Pemerintah Kota Surabaya terjadi karena bagi Pemerintah Kota Surabaya surat ijo merupakan sumber pendapatan asli daerah, namun bagi komunitas surat ijo, tanah surat ijo adalah tanah yang sudah mereka tempati selama puluhan tahun dan mereka merasa berhak untuk memiliki tanah surat ijo dengan menaikan status tanahnya menjadi hak milik.

3. Penelitian oleh Steven Santoso Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Surabaya yang berjudul Pengenaan Retribusi Oleh Pemerintah Kota Surabaya Kepada TVRI Ditinjau Dari Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1997 Tentang Ijin Pemakaian Tanah.

13

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan penelitian yaitu apakah pengenaan retribusi oleh Pemerintah Kota Surabaya kepada TVRI sejak 1979 dapat dibenarkan ditinjau dari Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1997 tentang Ijin Pemakaian Tanah. Peneliti mengambil lokasi penelitian di TVRI dan Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah Kota Surabaya.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini seperti Peraturan Daerah Kotamadya Surabaya Nomor 1 Tahun 1997 tentang Ijin Pemakaian Tanah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria, dan peraturan-peraturan yang lain terkait dengan permasalahan Hak Pengelolaan Tanah. Fokus yang diteliti dalam penelitian ini adalah tindakan Pemerintah Kota Surabaya yang mengenakan retribusi kepada TVRI sejak tahun 1979, yang dikuatkan dengan putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi dari pihak TVRI dan mengharuskan TVRI membayar retribusi tersebut.

Hasil dari penelitian ini adalah penarikan retribusi pemakaian tanah oleh Pemerintah Kota Surabaya kepada TVRI dapat dibenarkan, sebab sudah berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Daerah yang berlaku, sehingga perbuatan Pemerintah Kota Surabaya yang memungut retribusi berdasarkan ijin pemakaian tanah yang diberikan kepada TVRI tersebut bukan merupakan perbuatan melawan hukum selama Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Daerah tersebut masih berlaku.

14

Dari penelitian terdahulu di atas maka penulis dapat menarik kesimpulan tentang persamaan antara penilitian terdahulu tersebut dengan penelitian yang akan diteliti saat ini. Persamaannya adalah peneliti sama – sama meneliti tentang Surat Ijin Pemakaian Tanah (Surat Ijo), dan pada peneliti 2 menggunakan metode dan tipe penelitian yang sama, yaitu metode kualitatif dengan tipe penelitiannya adalah deskriptif.

2.2 Landasan Teor i 2.2.1. Kebijakan Publik

Pembahasan tentang kebijakan pemerintah akan melibatkan tidak saja pemerintah tetapi juga masyarakat dalam arti luas, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Masalah kebijakan publik merupakan masalah yang cukup menarik untuk dikaji baik oleh para teoritis maupun praktisi. Disamping itu kebijakan pemerintah akan menentukan nasib banyak orang, terutama yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kebijakan tersebut.

Banyak definisi dan pengertian mengenai kebijakan publik, diantaranya dikemukakan oleh Dye (1972) dengan mendefinisikan kebijakan sebagai ”serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau Pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu”.

Sedangkan menurut Anderson (1998), kebijakan adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. Suatu kebijakan memuat 3 (tiga) elemen, yaitu :

15 a) Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai.

b)Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan. c) Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan implementasi secara nyata

dari taktik atau strategi.

Kebijakan publik melibatkan kepentingan banyak orang (public interest), maka hendaknya setiap kebijakan yang dibuat harus dapat membawa manfaat dan keuntungan bagi banyak orang, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Agar kebijakan publik dapat memenuhi apa yang menjadi tuntutan kepentingan umum dan mendapatkan dukungan umum, serta sumber-sumber untuk menunjang tuntutan tersebut, maka kebijakan publik harus dibuat sebaik mungkin dan perlu mendapatkan kajian yang cermat dan seksama pada setiap tahapan dalam proses kebijakan publik.

Menurut Ripley (1985), langkah atau tahapan dalam proses pembuatan kebijakan publik terdiri dari:

a) Agenda setting (penyusunan agenda kebijakan)

b)Formulation and legitimation of goal and programs (perumusan dan legitimasi tujuan kebijakan dan program)

c) Program implementation performance and impact (pelaksanaan kinerja dan dampak program)

d)Decision about the future of the policy and program (keputusan tentang masa depan kebijakan dan program)

Sedangkan menurut Islamy (1994), langkah atau tahapan dalam proses pembuatan kebijakan publik adalah sebagai berikut :

16 b)penyusunan agenda pemerintah,

c) perumusan usulan kebijakan publik, d)pelaksanaan kebijakan publik, e) penilaian kebijakan publik.

Dari batasan-batasan tersebut di atas, terlihat bahwa kebijakan publik melibatkan serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau orientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. Pengertian kebijakan publik tersebut diatas mempunyai implikasi sebagai berikut:

a) Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan.

b)Kebijakan publik dalam bentuk perdananya berupa penetapan tindakan-tindakan pemerintah.

c) Kebijakan publik tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam bentuk yang nyata.

d)Kebijakan publik baik untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu itu mempunyai dan dilandasi oleh maksud dan tujuan tertentu.

e) Kebijakan publik harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan seluruh anggota masyarakat.

2.2.2. Implementasi Kebijakan Publik

Dalam perkembangan selanjutnya, kajian-kajian tentang kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah mencakup perencanaan, perumusan dan peleksanaan.

17

Pemerintah dapat mengeluarkan suatu kebijakan terhadap keseluruhan atau sebagian sektor kehidupan. Kebijakan pemerintah ini tidak hanya dirumuskan, diformulasikan ke dalam bentuk keputusan melainkan perlu diwujudkan dan diimplementasikan ke dalam aktvitas, proses yang nyata untuk mencapai hasil atau tujuan yang diinginkan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Kebijakan yang demikian ini bersifat non-self excuting

artinya kebijakan publik ini perlu diwujudkan dan dilaksanakan oleh berbagai pihak. Pihak-pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan publik ini banyak ragamnya, terutama peran ekskutif, birokrat dan badan-badan pemerintah juga kelompok sasaran dalam mayarakat.

Menurut Edward III (1980) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai tahapan dalam proses kebijakan yang berada diantara tahapan penyusunan kebijaan dan hasil atau konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan itu (output, outcome). Termasuk dalam aktifitas implementasi menurutnya adalah perencanaan, pendanaan, pengorganisasian, pengangkatan dan pemecatan karyawan dan sebagainya. Dengan melihat fenomena empirik maupun teoritik, implementasi kebijakan dapat dirumuskan sebagai tindakan yang dilakukan individu/pejabat atau kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan tercapainya tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan.

Dalam upaya untuk menjaga implementasi kebijakan itu dapat sesuai dengan yang diharapkan, menurut Ripley (1985) ada tiga unsur untuk mengukur suatu program implementasi yaitu :

a) Tingkat kepatuhan pada bagian birokrasi terhadap birokrasi diatasnya atau tingkat birokrasi sebagaimana diatur dalam undang-undang ;

18

b)Keberhasilan implementasi ditandai dengan lancarnya rutinitas dan tidak adanya masalah-masalah yang dihadapi ;

c) Keberhasilan implementasi mengacu dan mengarah pada pelaksanaan dan dampak yang dihendaki dari semua program-program yang ada.

Sementara menurut Van Metter dan Van Horn (dalam Samodra Wibawa, 1994), mendefinisikan implementasi kebijaksanaan sebagai suatu rangkaian kegiatan yang sengaja dilakukan untuk meraih kinerja. Mereka merumuskan sebuah abstraksi yang memperlihatkan hubungan antara berbagai faktor yang mempengaruhi hasil atau kinerja kebijakan. Kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat standar dan sasaran. Menurutnya, sebagai suatu kebijakan tentulah mempunyai standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan. Faktor-faktor atau variabel-variabel yang mempengaruhi kinerja tersebut adalah :

a) standar dan sasaran kebijakan, b) sumber daya,

c) komunikasi antar organisasi dan pengukuhan aktifitas, d) karakteristik organisasi dan komunikasi antar organisasi, e) kondisi sosial, ekonomi dan politik,

f) sikap pelaksana

Implementasi kebijakan bisa juga berarti berusaha untuk memahami apa yang senyatanya ada dan terjadi, sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan yaitu terjadi setelah proses pengesahan kebijakan negara, baik itu menyangkut usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat. Sejalan dengan itu kerangka pemikiran Edward III (1980), bahwa suatu kebijakan itu dalam pelaksanaanya menuntut adanya

19

kepatuhan (Compliance) dari para pelaksana terhadap ketentuan yang telah dibuat oleh pemerintah (pembuat kebijakan).

Dalam rangka implementasi, pelaksana (implementor) harus tunduk pada instruksi legal dan petunjuk tertentu yang dibuat oleh pembuat kebijakan. Maka sebelum melaksanakan proses implementasi, pelaksana harus mengetahui atau memahami apa yang harus mereka lakukan (Jones,1980 ) menganggap bahwa interpretasi atau pemahaman terhadap program adalah hal penting dalam rangka proses implementasi disamping pengorganisasian dan pengaplikasian program.

Ada tiga langkah utama yang penting dalam pelaksanaan kebijakan yaitu :

1. Interpretation 2. Organization

3. Application (Soenarko, 1999)

Secara rinci ke tiga langkah tersebut diuraikan oleh Soenarko sebagai berikut :

Interpretation adalah berusaha untuk mengerti apa yang dimaksud oleh pembentuk kebijakan dan mengetahui betul apa dan bagaimana tujuan akhir (Goal) itu harus diwujudkan, harus direalisir. Program pelaksanaan yaitu rencana yang didukung dengan pendanaan yang siap diterapkan, harus sesuai dengan ide, keinginan dan motivasi dari pembentuk kebijakan. Bahwa lingkungan pembentuk kebijakan berbeda dengan lingkungan pelaksanaan kebijakan. Oleh karena itu, perlu sekali dalam kegiatan

interpretation ini, pelaksana kebijakan dapat menempatkan diri pula sebagai pembuat kebijakan tersebut. Dengan demikian pelaksana kebijakan akan memahami apakah dan bagaimanakah yang sesungguhnya dikehendaki oleh pembentuk kebijakan itu.

20

Organization adalah pembentukan badan-badan atau unit-unit beserta metode-metode yang diperlukan untuk menyelenggarakan rangkaian kegiatan guna mencapai tujuan yang terkandung dalam kebijakan itu. Hal itu berarti bahwa pelaksanaan kebijakan pemerintah adalah merupakan proses yang merupakan rangkaian kegiatan dalam suatu sistem yang direncanakan dengan pembagian tugas dan kewajiban secara efisien. Dengan sistem itulah maka efisiensi pelaksanaan kebijakan diharapkan dapat dicapai, mengingat bahwa sistem yang baik itu selalu mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a. Simplicity, yaitu kewajaran dengan sifat yang sederhana dan mudah untuk diamati dan diikuti.

b. Accuracy, yaitu sifat yang urut dan teratur dari rangkaian kegiatan-kegiatan pelaksanaan kebijakan itu.

c. Economy, ialah adanya eifisiensi dalam setiap cara dan langkah, serta biaya yang harus dikeluarkan untuk program pelaksanaan.

d. Usefulness, adanya usaha untuk menghindarkan pelaksanaan kebijakan dari kegiatan-kegiatan yang tidak perlu atau tiada berguna.

Dalam Organization inilah sistem koordinasi dan pengendalian (Control) disusun untuk menjaga dan memelihara arah menuju tercapainya tujuan kebijakan tersebut.

Application, adalah menerapkan segala keputusan dan peraturan-peraturan dengan melakukan kegiatan-kegiatan untuk terealisasinya tujuan kebijakan itu. Tidak lepas dari ‘Organization’ di atas, maka ‘Application’ ini mengikuti bentuk atau gaya yang telah ditetapkan semula, yaitu mengikuti bentuk : programmed implementation atau adapted implementation. Dengan programmed implementation dimaksudkan pelaksanaan kegiatan dalam ‘Application’ haruslah mengikuti segala ketentuan dan prosedur yang telah

21

ditetapkan dalam program. Kebalikan dari programmed implementation adalah adapted implementation. Apabila programmed implementation lebih ditekankan pada pelaksanaan kebijakan dengan mengikuti kegiatan-kegiatan dan prosedur yang telah ditetapkan, maka

adapted implementation lebih banyak memperhatikan pada keberhasilan tiap-tiap tahap kegiatan dalam rentetannya.

Menurut Grindle (1980 ) bahwa proses implementasi kebijakan publik hanya dapat dimulai apabila tujuan dan sasaran-sasaran yang semula bersifat umum telah dirinci, program-program aksi telah dirancang dan sejumlah dana atau biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dari sasaran tersebut. Inilah syarat-syarat pokok bagi implementasi kebijakan publik apapun.

Aktivitas penerapan implementasi kebijakan menurut Grindle terdiri dari : pelaksanaan kebijakan Content yang didalamnya ada enam variabel yaitu :

a) pihak yang kepentingannya dipengaruhi, b)manfaat yang akan dihasilkan,

c) derajat perubahan yang diinginkan, d)kedudukan pembuat kebijaksanaan, e) pelaksana kebijaksanaan

f) dan sumber daya yang dikerahkan.

Sedangkan Content pelaksanaan kebijakan yang dimaksud oleh Grindle (dalam Abdulah, 1998) adalah:

a) kekuasaaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, b)karakteristik lembaga atau penguasa dan

22

Intensitas keterlibatan para perencana, politisi, kelompok sasaran dan pelaksana kebijakan akan mempengaruhi efektivitas implementasi.

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian dan unsur-unsur pokok proses implementasi kebijakan adalah sebagai berikut :

a) Proses implementasi program kebijakan ialah rangkaian kegiatan tindak lanjut, setelah suatu program atau kebijakan ditetapkan, yang terdiri atas pengambilan keputusan, langkah-langkah yang strategis maupun operasional yang ditempuh untuk mewujudkan suatu program guna mencapai sasaran yang telah ditetapkan.

b)Proses implementasi dapat berhasil, kurang berhasil atau gagal sama sekali ditinjau dari wujud hasil yang dicapai atau out comes, karena dalam proses tersebut, turut bermain dan terlibat berbagai unsur yang pengaruhnya dapat bersifat yang mendukung maupun yang menghambat pencapaian sasaran program.

c) Dalam proses implementasi sekurang-kurangnya terdapat tiga unsur yang penting dan mutlak, yaitu adanya program atau kebijakan yang dilaksanakan, adanya target groups yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan diharapkan akan menerima manfaat dari program tersebut serta adanya unsur pelaksana, baik organisasi atau perorangan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan, pelaksanaan dan pengawasan dari proses implementasi tersebut.

d)Implementasi program atau kebijakan tidak mungkin dilaksanakan dalam ruang hampa dalam arti faktor fisik, sosial, budaya dan politik akan turut mempengaruhi implementasi program ( Abdullah,1988)

Lebih lanjut Mazmanian & Sabatier (dalam Wahab, 1990) menjelaskan lebih rinci proses implementasi kebijakan dengan mengemukakan bahwa implementasi adalah

23

pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan/sasaran yang ingin dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan/mengatur proses implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi) pelaksanaan, kesediaan dilaksanakannya keputusan-keputusan tersebut oleh kelompok-kelompok sasaran, dampak nyata baik yang dikehendaki atau yang tidak dikehendaki dari output tersebut, dampak keputusan sebagai dipersepsikan oleh badan-badan yang mengambil keputusan, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting (atau upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan-perbaikan-perbaikan) terhadap undang-undang / peraturan-peraturan yang bersangkutan.

2.2.3. Pelayanan Publik

Pelayanan umum oleh Lembaga Administrasi Negara (1998) yaitu segala bentuk kegitan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah dan di lingkungan badan usaha milik negara/ daerah dalam bentuk barang dan jasa, baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pengertian umum pelayanan publik (Ratminto dan Atik Septi Winarsih, 2005:18) adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik

24

sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang–undangan.

Beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menilai menilai suatu pelayanan yang diberikan oleh institusi atau badan usaha baik milik pemerintah maupun daerah telah dikembangkan oleh LAN (1998) yang antara lain meliputi

a) Kesederhanaan, kriteria ini mengandung arti prosedur/ tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan.

b)Kejelasan dan kepastian, yakni mengenai prosedur/ tata cara pelayanan, persyaratan pelayanan (baik teknis maupun administratip), unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan, rincian beaya/ tarip pelayanan dan tata pembayarannya, jadwal waktu penyelesaian pelayanan.

c) Keamanan, kenyamanan dan dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. d)Keterbukaan, yakni proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah

diketahui dan dipahami oleh masyarakat baik diminta maupun tidak diminta.

e) Efisiensi, harus dibatasi oleh hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran dan dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan.

f) Ekonomis, mengandung pengertian bahwa beaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan kemampuan masyarakat untuk membayar dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

g)Keadilan yang merata, jangkauan pelayanan harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diberlakukan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat.

25

h)Ketapatan waktu, pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

Untuk dapat memberikan pelayanan yang memuaskan bagi pengguna jasa, penyelenggara pelayanan harus memenuhi azas – azas pelayanan sebagai berikut (Ratminto dan Atik Septi Winarsih, 2005:19) :

a. Transparansi

Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.

b. Akuntabilitas

Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.

c. Kondisional

Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efaktivitas.

d. Partisipatif

Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.

e. Kesamaan hak

Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakansuku, ras, agama, golongan, gender dan status ekonomi.

f. Keseimbangan hak dan kewajiban

Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing – masing pihak.

26

Menurut Munir (1992) menyatakan bahwa sarana pelayanan adalah segala jenis peralatan, perlengkapan kerja, fasilitas lain yang berfungsi sebagai alat utama atau membantu dalam pelaksanaan kerja.

Fungsi sarana pelayanan ini antara lain :

a. Mempercepat proses pelaksanaan pekerjaan sehingga dapat menghemat waktu. b. Meningkatkan produktivitas baik barang atau jasa

c. Kualitas produk yang lebih baik/ terjamin

d. Lebih mudah/ lebih sederhana dalam gerak para pelakunya e. Menimbulkan rasa kenyamanan bagi orang yang berkepentingan

f. Menimbulkan perasaan puas pada orang yang berkepentingan sehingga dapat mengurangi sifat emosional mereka (1992).

2.2.4. Pr insip Pelayanan Publik

Dalam kondisi masyarakat yang telah mengalami proses pemberdayaan, birokrasi publik harus dapat memberikan pelayanan yang lebih profesional, efektif, efisien, sederhana, transparan, terbuka tepat waktu, responsif dan adaptif yang sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri (Effendi, 1991:213). Penyelenggaraan pelayanan publik harus memenuhi beberapa prinsip sebagai berikut (Ratminto dan Atik Septi Winarsih, 2005:21) :

a. Kesederhanaan

Prosdur pelayanan publik tidak berbelit – belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.

27 b. Kejelasan

Persyarata teknis dan administratif pelayanan publik, unit kerja / pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan / persoalan / sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik, rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.

c. Kepastian waktu

Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

d. Akurasi

Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah. e. Keamanan

Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum. f. Tanggung jawab

Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan / persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.

g. Kelengkapan sarana dan prasarana

Tersedianya sarana dan prasarana kerja, perlatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika).

h. Kemudahan akses

Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh

Dokumen terkait