• Tidak ada hasil yang ditemukan

PUTUSAN PENGADILAN DALAM PERKARA PERDATA

Dalam dokumen Hukum Acara Perdata (Halaman 37-44)

SURAT KUASA

H. PUTUSAN PENGADILAN DALAM PERKARA PERDATA

Setelah pemeriksaan perkara selesai dan oleh pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin dikemukakan maka hakim akan menjatuhkan putusan terhadap perkara itu. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata.65 Perlu diketahui, bahwa putusan disini adalah putusan peradilan tingkat pertama.66

1. Asas Putusan

Pembahasan mengenai asas yang mesti ditegakkan, agar putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacat. Asas tersebut dijelaskan dalam Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG, dan Pasal 19 64 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia... hlm. 143

65 Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata...hlm 126 66 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata... hlm. 797

UU No. 4 Tahun 2004 (dulu dalam Pasal 18 UU No. 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan Kehakiman).

 Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci

Menurut asas ini putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup. Putusan yang tidak memenuhi ketentuan itu dikatagorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd (insufficient judgement. Alasan-alasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan bertitik tolak dari ketentuan: Pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan, Hukum kebiasaan, Yurisprudensil, atau Doktrin hukum.

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 23 UU No. 14 Tahun 1970, sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 sekarang dalam Pasal 25 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, yang menegaskan bahwa segala putusan Pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan dan mencantumkan pasal-pasal peraturan perundang-undangan tertentu yang disangkutan dengan perkara yang diputus atau berdasarkan hukum tertulis maupun yurisprudensil atau doktrin hukum. Bahkan menurut Pasal 178 ayat (1) HIR, hakim karena jabatannya, wajib mencukupkan segala cara alasan hukum yang tidak dikemukakan para pihak yang berperkara.67

 Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan

Asas kedua, digariskan dalam Pasal 178 ayat (2) HIR, Pasal 189 ayat (2) RBG, dan Pasal 50 Rv. Putusan harus total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan. Tidak boleh hanya memeriksa dan memutus sebagian saja, dan mengabaikan gugatan selebihnya. Cara mengadili yang demikian bertentangan dengan asas yang digariskan undang-undang.

 Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan

Asas lain, digariskan pada Pasal 178 ayat (3) HIR, Pasal 189 ayat (3) RBG dan Pasal 50 Rv. Putusan tidak boleh mengabulakn melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan. Larangan ini disebut ultra petitum partium. Hakim yang mengabulkan melebihi posita maupu petitum gugat, dianggap telah melampaui batas wewenang atau ultra vires yakni bertindak melampaui wewenangnya (beyond the powers of his authority). Apabila putusan mengandung 67 Ibid,. hlm.789

ultra petitum, harus dinyatakan cacat (invalid) meskipun hal itu dilakukan hakim dengan iktikad baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public interest). Mengadili dengan cara mengabulkan melebihi dari apa yang digugat, dapat dipersamakan dengan tindakan yang tidak sah (ilegal) meskipun dilakukan dengan iktikad baik.

 Diucapkan di Muka Umum

Persidangan dan putusan diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum atau di muka umum, merupakan salah satu bagian yang tidak terpsahkan dari asas fair trial. Menurut asas fair trial, pemeriksaan persidangan harus berdasarkan proses yang jujur sejak awal sampai akhir. Dengan demikian, prinsip peradilan terbuka untuk umum mulai dari awal pemeriksaan sampai putusan dijatuhkan, merupakan bagian asas fair trial. Dalam literatur disebut the open justice principle. Tujuan utamanya, untuk menjamin proses peradilan terhindar dari perbuatan tercela dari pejabat peradilan.68

2. Susunan dan Isi Putusan Pengadilan 1) Kepala putusan

Berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004).

Kepala putusan memberikan kekuatan eksekutorial kepada putusan pengadilan. Apabila kepala putusan pengadilan tidak mencantumkan bunyi tersebut, maka putusan pengadilan tidk dapat dilaksanakan.

2) Identitas pihak-pihak yang berperkara

3) Pertimbangan (alasan-alasan). Terdiri atas 2 bagian, yaitu: pertimbangan tentang duduk perkaranya, dan pertimbangan tentang hukumnya.

4) Amar putusan. Amar (dictum) merupakan jawaban terhadap petitum dalam gugatan penggugat.

3. Macam-macam Putusan Pengadilan69

Pasal 185 ayat (1) HIR/Pasal 1996 ayat (1) RBg membedakan putusan pengadilan menjadi 2, yaitu:

68 13 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, hlm. 803 69 Opcit,. hlm. 131

 Putusan sela (tussenvonnis), adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau memudahkan kelanjutan pemeriksaan perkara.

 Putusan akhir (eindvonnis), adalah putusan yang mengakhiri perkara perdata pada tingkat pemeriksaan tertentu. Perkara perdata dapat diperiksa di tiga tingkat pemeriksaan, yaitu di Pengadilan Negeri, tingkat banding di Pengadilan Tinggi, dan pemeriksaan tingkat kasasi di Mahkamah Agung.

4. Kekuatan Putusan Pengadilan

 Kekuatan mengikat bagi pihak yang berperkara

 Kekuatan pembuktian, karena menggunakan akta otentik yang dapat digunakan sebagai alat bukti oleh pihak yang berperkara.

 Kekuatan eksekutorial (kekuatan memaksa). 5. Upaya Hukum Melawan Putusan

Yang dimaksud dengan upaya hukum ialah suatu usaha setiap pribadi atau badan hukum yang merasa dirugikan haknya atau atas kepentingannya untuk memperoleh keadilan dan perlindungan atau kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditetapkan dalam undang-undang.

Dalam Hukum Acara Perdata diatur dua macam upaya hukum, yaitu upaya hukum biasa, yang terdiri dari perlawanan (verzet), banding dan kasasi, serta upaya hukum luar biasa yang terdiri dari peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan derden vervet.70

1) Perlawanan (Verzet)

Pasal 129 ayat (1) HIR/Pasal 83 Rv menegaskan:

tergugat yang dihukum sedang ia tidak hadir (verstek) dan tidak menerima keputusan itu, dapat mengajukkan perlawanan atas putusan itu

Perlawanan terhadap putusan verstek dapat diajukan dalam tenggang 14 hari sejak pemberitahuan diterima tergugat pribadi. Namun apabila tidak diberitahukan maka masih dapat diajukan sampai hari ke-8 setelah teguran untuk melaksanakan putusan verstek itu. Perlawanan terhadap putusan verstek diajukan seperti mengajukan gugatan biasa.

Jika dalam acara perlawanan Penggugat tidak datang pada sidang yang ditentukan, hakim dapat memerintahkan kepada juri sita untuk memanggil Penggugat seperti dalam perkara yang telah diputus verstek, dan dapat mengajukan banding. Berbeda dengan Tergugat, apabila ia tak dapat menghadiri persidangan pertamanya, maka berlaku verstek, dan hanya boleh mengajukan verzek, bukan banding.

2) Banding71

Apabila pihak-pihak yang berperkara perdata merasa tidak puas terhadap putusan Pengadilan Negeri, ia dapat mengajukan permohonan banding pada tingkat kedua yaitu di Pengadilan Tinggi.

Permohonan banding harus diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan dijatuhkan. Permohonan banding dapat diajukan secara tertulis maupun lisan, baik oleh orang yang berkepentingan sendiri maupun orang yang telah mendapat kuasa khusus untuk itu.

Permohonan banding dari salah satu pihak yang berperkara diberitahukan oleh panitera kepada pihak lawan selambat-lambatnya 14 hari setelah permohonan banding diterima dan kedua belah pihak (pembanding dan terbanding) diberi kesempatan untuk melihat surat-surat serta berkas perkaranya di kantor Pengadilan Negeri selama 14 hari.

Putusan Pengadilan Tinggi yang memeriksa perkara perdata pada tingkat banding dapat berupa menguatkan putusan PN, atau membatalnya atau memperbaiki putusan PN. Dan setiap putusan tersebut akan diberitahukan kepada para pihak melalui Pengadilan Negeri yang memnutuskan perkara pada tingkat pertama.72

3) Kasasi

Apabila pihak-pihak yang berperkara perdata merasa tidak puas terhadap putusan Pengadilan Tinggi tempat ia mengajukan banding, ia dapat mengajukan permohonan kasasi pada tingkat ketiga yaitu kepada Mahkamah Agung.

71 Ibid,. hlm. 142 72Ibid,. hlm. 149

Putusan MA dalam pemeriksaan kasasi dapat berupa permohonan kasasi tidak dapat diterima (karena diajukan setelah lewat waktu yang ditentukan), atau permohonan kasasi ditolak (jika alasan-alasan atau keberatan-keberatan yang dikemukakan dalam memori kasasi tidak ada sangkut pautnya dengan pokok perkara), atau permohonan kasasi dikabulkan (jika alsan-alasan yang dikemukakan oleh pemohon dalam memori kasasi dibenarkan oleh MA dan MA membatalkan putusan yang dimohonkan kasasi.

4) Peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:

 Apabila keputusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.

 Apabila setelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.

 Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.  Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbbangkan

sebab-sebabnya. 5) Derdenverzet

Adalah perlawanan melawan pihak ketiga yang bukan pihak dalam perkara yang bersangkutan oleh karena ia merasa dirugikan oleh suatu putusan pengadilan. Perlawanan ini tidak dapat mencegah atau menanggguhkan pelaksanaan putusan (eksekusi), kecuali Ketua Pengadila Negeri memerintahkan supaya pelaksanaan putusan ditunda dengan menantikan putusan Pengadilan Negeri dalam perkara derdenverzet.

I. PELAKSANAAN PUTUSAN HAKIM

Pelaksanaan putusan /eksekusi adalah putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan. Dan putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Putusan yang sudah berkekuatan tetap adalah putusan yang sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan upaya hukum verzet, banding, dan kasasi.

Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dapat melaksanakan segala putusan yang dijatuhkannya secara mandiri tanpa harus melalui bantuan Pengadilan Negeri. Hal ini berlaku setelah ditetapkannya UU No. 7/1989. Dan sebagai akibat dari ketentuan UU Peradilan Agama diatas adalah:

a. Ketentuan tentang eksekutoir verklaring dan pengukuhan oleh Pengadilan Negeri dihapuskan

b. Pada setiap Pengadilan Agama diadakan Juru Sita untuk dapat melaksanakan putusan-putusannya

Pelaksanaan putusan hakim dapat secara sukarela, atau secara paksa dengan menggunakan alat negara, apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan secara sukarela. Semua keputusan pengadilan mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa oleh alat-alat negara. Keputusan pengadilan bersifat eksekutorial adalah karena pada bagian kepala keputusannya berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ”.73

Akan tetapi, tidak semua putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tettap memerlukan pelaksanaan secara paksa oleh alat-alat negara, tetapi hanyalah putusan pengadiilan yang diktumnya bersifat condemnatoir. Sedangkan putusan yang bersifat declaratoir

dan constitutief tidak diperlukan eksekusi. Karena kedua putusan tersebut tidak memuat adanya hak atas suatu prestasi dan akibat hukumnya adalah berupa keadaan yang sah menurut hukum. Terdapat beberapa macam pelaksanaan putusan,yaitu:

1. Putusan yang menghukum salah satu untuk membayar sejumlah uang. Hal ini diatur dalam pasal 197 HIR, pasal 208 R.Bg

2. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan. Hal ini diatur dalam pasal 225 HIR, pasal 259 R.Bg

3. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap. Putusan ini disebut juga Eksekusi Riil. Hal ini diatur dalam pasal 1033 Rv.

Pasal 197 HIR/208 R.Bg mengatur tentang pelaksanaan putusan yang diakibatkan dari tindakan tergugat/enggan untuk secara suka rela melaksanakan isi putusan untuk membayar sejumlah uang, sehingga pihak penggugat sebagai pihak yang dimenangkan mengajukan

permohonan secara lisan atau tertulis kepada Ketua Pengadilan Agama agar putusan dapat dijalankan.

Pasal 225 HIR/259 R.Bg berkaitan dengan pelaksanaan putusan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu yang tidak ditaati, sehingga dapat dimintakan pemenuhan tersebut dinilai dalam bentuk uang. Maksud pelaksanaan putusan yang diatur dalam ketentuan ini adalah untuk menguangkan bagian tertentu dari harta kekayaan pihak tergugat sebagai pihak yang dikalahkan dengan tujuan guna memenuhi isi putusan sebagai termuat dalam amarnya, yang telah memenangkan pihak penggugat sebagai pemohon eksekusi.

Yang dimaksudkan eksekusi riil dalam ketentuan pasal 1033 Rv. adalah dilaksanakan putusan yang memerintahkan pengosongan atas benda tidak bergerak. Dalam praktek di pengadilan, tergugat yang dihukum untuk mengosongkan benda tidak bergerak tersebut setelah terlebih dahulu ditegur, untuk mengosongkan dan menyerahkan benda tidak bergerak tersebut kepada penggugat selaku pihak yang dimenangkan.Apabila tidak bersedia melaksanakan perintah tersebut secara sukarela, maka Ketua Pengadilan dengan penetapan akan memerintahkan Panitera atau juru sita, kalau perlu dengan bantuan alat negara (Polisi/ABRI) dengan paksa melakukan pengosongan terhadap tergugat dan keluarga serta segenap penghuni yang ada, ataupun yang mendapat hak dari padanya, dengan menyerahkannya kepada Penggugat selaku pemohon eksekusi.

Dalam dokumen Hukum Acara Perdata (Halaman 37-44)

Dokumen terkait