• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

4.1. Radikal Bebas

4.1. Radikal Bebas

2.2.1. Kimia radikal bebas

Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya dan dapat berdiri sendiri (Clarkson and

Thompson, 2000, Slater, 1984). Kebanyakan radikal bebas bereaksi secara cepat dengan atom lain untuk mengisi orbital yang tidak berpasangan, sehingga radikal bebas normalnya berdiri sendiri hanya dalam periode waktu yang singkat sebelum menyatu dengan atom lain. Simbol untuk radikal bebas adalah sebuah titik (R·), yang berada di dekat simbol atom. Radikal bebas mempunyai peran dalam fungsi normal dan abnormal tubuh. Radikal bebas yang penting secara biologis antara lain anion superoksida (O2·-), radikal hidroksil (OH·), dan nitric oxide (NO·) (Vander et al., 2001). Bentuk radikal bebas yang lain adalah hydroperoxyl (HO2·), peroxyl (RO2·), alkoxyl (RO·), carbonate (CO3·-), carbon dioxide (CO2·-), atomic chlorine (Cl·), nitrogen dioxide (NO2·) (Halliwell and Whiteman, 2004). Radikal bebas bisa bermuatan negatif, bermuatan positif, dan juga bermuatan netral (Slater, 1984, Vander et al., 2001).

2.2.2. Kerusakan sel akibat reaksi radikal bebas

Penelitian yang ekstensif dengan menggunakan sitem model dan dengan material biologis in vitro, secara jelas menunjukkan bahwa radikal bebas dapat menimbulkan perubahan kimia dan kerusakan terhadap protein, lemak, karbohidrat, dan nukleotida. Bila radikal bebas diproduksi in vivo, atau in vitro di dalam sel melebihi mekanisme pertahanan normal, maka akan terjadi berbagai gangguan metabolik dan seluler. Jika posisi radikal bebas yang terbentuk dekat dengan DNA, maka bisa menyebabkan perubahan struktur DNA sehingga bisa terjadi mutasi atau sitotoksisitas. Radikal bebas juga bisa bereaksi dengan nukleotida sehingga menyebabkan perubahan yang signifikan pada komponen

biologi sel. Bila radikal bebas merusak grup thiol maka akan terjadi perubahan aktivitas enzim. Radikal bebas dapat merusak sel dengan cara merusak membran sel tersebut. Kerusakan pada membran sel ini dapat terjadi dengan cara: (a) radikal bebas berikatan secara kovalen dengan enzim dan/atau reseptor yang berada di membran sel, sehingga merubah aktivitas komponen-komponen yang terdapat pada membran sel tersebut; (b) radikal bebas berikatan secara kovalen dengan komponen membran sel, sehingga merubah struktur membran dan mengakibatkan perubahan fungsi membran dan/atau mengubah karakter membran menjadi seperti antigen; (c) radikal bebas mengganggu sistem transport membran sel melalui ikatan kovalen, mengoksidasi kelompok thiol, atau dengan merubah asam lemak polyaunsaturated; (d) radikal bebas menginisiasi peroksidasi lipid secara langsung terhadap asam lemak polyaunsaturated dinding sel. Peroksidasi ini akan mempengaruhi fluiditas membran, cross-linking membran, serta struktur dan fungsi membran (Slater, 1984).

Tubuh mempunyai sistem pertahanan terhadap radikal bebas agar radikal bebas tidak menyebabkan efek yang merusak. Sistem pertahan ini antara lain enzim superoxide dismutase yang terdapat di mitokondria dan sitosol, enzim

catalase, dan enzim glutahtion peroxidase (Jackson, 2005, Singh, 1992). Sebagai tambahan bagi sistem pertahanan yang berbentuk enzim, sel juga dapat meningkatkan produksi stress proteins atau disebut juga heat shock proteins

(HSPs) untuk melindungi sel dari stres oksidatif dan bentuk stres yang lain (Khassaf et al., 2003). Selain itu terdapat juga sistem pertahanan yang secara

langsung dapat merubah radikal bebas menjadi senyawa yang kurang reaktif seperti vitamin C (Jackson, 2005, Singh, 1992).

2.3. Vitamin E

2.3.1. Kimiawi dan metabolisme vitamin E

Vitamin ini diisolasi oleh Evans dan kawan-kawan (1936) dari wheat-germ oil. Delapan senyawa tokoferol yang terbentuk di alam yang memiliki aktivitas vitamin E kini telah diketahui. Bentuk yang paling aktif secara biologi adalah RRR-α-tokoferol (Gambar 2), yang merupakan kira-kira 90% tokoferol dalam jaringan hewan dan menunjukkan aktivitas biologis tertinggi dalam sebagian besar sistem bioasai.

Salah satu sifat kimia tokoferol yang penting adalah bahwa senyawa-senyawa ini merupakan senyawa redoks yang bekerja sebagai antioksidan dalam beberapa kondisi tertentu, dalam hal ini tampaknya merupakan dasar untuk sebagian besar, tetapi mungkin tidak semua, efek vitamin E. Senyawa tokoferol rusak secara perlahan jika terpajan udara atau sinar ultraviolet (Marcus, R., and Coulston, A.M., 2007).

Gambar 2. RRR-α-Tokoferol (dari Goodman & Gilman : Dasar Farmakologi Terapi, edisi 10, Jakarta: EGC, 2007)

2.3.2.Fungsi vitamin E

Sifat-sifat antioksidan vitamin E memperbaiki kerusakan membran biologis akibat radikal bebas. Vitamin E melindungi asam-asam lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated fatty acid, PUFA) dalam membran fosfolipid dan dalam lipoprotein bersikulasi (Burton et al., 1983). Radikal-radikal peroksil (ROO •) bereaksi 1000 kali lebih cepat dengan vitamin E dibandingkan dengan PUFA, membentuk hydrogen peroksida organik yang sesuai dan radikal tokoferoksil (vitamin E-O •). Selanjutnya radikal tokoferoksil berinteraksi dengan antioksidan lain seperti vitamin C, yang akan membentuk kembali tokoferol (Marcus, R., and Coulston, A.M., 2007).

Vitamin E penting untuk melindungi membran sel darah merah yang kaya akan asam lemak tidak jenuh ganda dari kerusakan akibat oksidasi. Selain itu vitamin E melindungi lipoprotein dalam sirkulasi LDL teroksidasi yang ternyata memegang peranan penting dalam menyebabkan aterosklerosis. Vitamin E dosis besar (1600 mg/hari) melindungi LDL dari oksidasi. Meskipun masih kontradiktif, beberapa hasil penelitian epidemiologik mengatakan bahwa vitamin E dapat memproteksi penyakit kardiovaskuler, namun mekanisme kerjanya tidak jelas. Vitamin E mengatur proliferasi sel otot polos pembuluh darah, menyebabkan vasodilatasi dan menghambat baik aktivasi trombosit maupun adhesi lekosit. Vitamin E juga melindungi β-karoten dari oksidasi (Dewoto, H.R., 2007).

Semakin tinggi asupan vitamin E, semakin tinggi kadar tokoferol dalam tubuh seseorang. Namun demikian, kadar tokoferol dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh

aktivitas tubuh. Selama aktivitas olah raga, vitamin E menunjukkan respon yang bervariasi (Winarsi,H., 2007).

Pada penelitian Rokitzki, et al (1994) memberikan 300 mg α-tokoferol/hari selama 5 bulan pada subjek yang melakukan olah raga berat. Dari penelitian ini ternyata kadar MDA dan keratin kinase meningkat, meski hanya sedikit. Diduga integritas membran kompromi dengan stress oksidatif, yang menunjukkan melalui pengukuran keratin kinase dalam serum. Kreatin kinase merupakan protein intramuskuler yang bocor setelahkerusakan membran, kemudian memasuki serum (Clarkson, et al., 1988). Temuan ini juga membuktikan bahwa vitamin E memberikan efek proteksi terhadap stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan otot karena olah raga.

Pada penelitian Cohen, M.C dan Meyer, D.M (1993) efek dari suplementasi terhadap kerusakan tulang (jarak dari cementum enamel junction ke alveolar crest

diukur pada garis tengah di bagian lingual dari masing-masing akar molar mandibula) yang diteliti pada tikus yang tidak distreskan atau distreskan pada perangkat rotasi selama 90 hari. Pada penelitian pertama, baik kondisi yang diberi vitamin E maupun stres secara statistik memberi efek yang signifikan tapi ada substansial dan variabilitas kerusakan tulang pada semua kelompok. Sebelum dimulainya penelitian kedua, untuk mengurangi perbedaan kerusakan tulang yang dinyatakan mungkin ada, sebelum pengenalan perlakuan, tikus menerima antibiotik dalam air minum mereka. Selain itu diperkenalkan stress rotasi lebih tiba-tiba dari penelitian pertama untuk mengurangi kemungkinan adaptasi. Kerusakan tulang dan variabilitasnya secara substansial berkurang pada penelitian

kedua. Analisis data menunjukkan bahwa suplemen vitamin E memiliki efek protektif yang signifikan secara statistik, yang paling menonjol di lokasi yang paling rentan terhadap kerusakan. Pada subjek yang stress cenderung terjadi kerusakan tulang alveolar lebih banyak, tetapi efek ini tidak signifikan. Penemuaan ini menunjukkan peran vitamin E dalam menjaga kesehatan periodontal, tetapi juga kepekaan terhadap efek terhadap status periodontal awal.

2.4.Estrogen

2.4.1.Kimiawi Estrogen

Aktivitas estrogenik dimiliki oleh banyak senyawa steroid dan nonsteroid. Estrogen alami dalam tubuh manusia yang paling kuat adalah 17β-estradiol, diikuti dengan estron dan estriol (Gambar 3). Tiap molekul ini merupakan suatu steroid dengan 18 atom karbon yang mengandung satu cincin A fenolik (cincin aromatik dengan gugus hidroksil pada karbon 3) dan gugus β-hidroksil atau keton di posisi 17 cincin D. Cincin A merupakan struktur dasar yang bertanggung jawab terhadap ikatannya yang selektif dan berafinitas tinggi dengan reseptor estrogen. Sebagian besar substitusi alkil pada cincin A fenolik merusak ikatan tersebut, tetapi substitusi pada cincin C atau D masih dapat ditoleransi (Loose, D.S.,Mitchell and Stancel,G.M, 2007)

Gambar 3.Alur biosintetis estrogen (dari Goodman & Gilman: Dasar Farmakologi Terapi, edisi 10, Jakarta: EGC, 2007)

2.4.2.Peranan estrogen dalam pertumbuhan tulang

Estrogen menghambat aktivitas osteoklas dan dengan sendirinya mengambat resorpsi tulang dan secara bersamaan estrogen mengaktifkan osteoblas, sehingga laju pergantian tulang menjadi normal. Estrogen bekerja baik secara langsung melalui reseptor yang berada di tulang maupun secara tidak langsung dengan bantuan sitokin dan faktor pertumbuhan. Pada proses pemugaran tulang juga berperan faktor-faktor lain yang juga berada di bawah pengaruh estrogen (Baziad Ali, 2003).

2.4.3. Menopauase

Menopause merupakan proses fisiologis pada wanita yang biasa terjadi pada usia 47-55 tahun, ditandai dengan berhentinya menstruasi sebagai akibat berhentinya produksi hormon estrogen oleh ovarium (Joenes H, dkk. 2007). Pada saat menopause, sering kali terjadinya perubahan fisiologis yang bermakna pada fungsi tubuh, temasuk rasa panas (hot flushes) dengan kemerahan

kulit yang ekstrem, sensasi psikis dispnea, gelisah, letih, ansietas dan kadang-kadang keadaan psikotik yang bermacam-macam, serta penurunan kekuatan dan kalsifikasi tulang di seluruh tubuh. Kira-kira pada 15 persen wanita, gejala-gejala ini cukup berat sehingga membutuhkan perawatan (Guyton,A.C., and Hall,J.E., 2007).

Defisiensi estrogen dan osteoporosis dibuktikan oleh Payne, J.B, dkk (1997) sebagai faktor resiko berkurangnya kepadatan tulang alveolar.

2.5. Tulang

Tulang adalah jaringan ikat khusus yang terdiri atas materi intersel yang mengapur, yaitu matriks tulang, dan 3 jenis sel : osteosit yang terdapat dalam rongga (lakuna) di dalam matriks; osteoblas yang membentuk komponen organik dari matriks; dan osteoklas yang merupakan sel raksasa berinti banyak yang berperan pada resorpsi dan pembentukan kembali jaringan tulang (Junqueira, L.C, 1997).

Dokumen terkait