• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Kadar Hormon Estrogen dan Gambaran Histopatologi Tulang Alveolar Mencit (Mus musculus L.) yang Melakukan Latihan Fisik Maksimal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Kadar Hormon Estrogen dan Gambaran Histopatologi Tulang Alveolar Mencit (Mus musculus L.) yang Melakukan Latihan Fisik Maksimal"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E

TERHADAP KADAR HORMON ESTROGEN DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI TULANG ALVEOLAR MENCIT (Mus musculus L.)

YANG MELAKUKAN LATIHAN FISIK MAKSIMAL

TESIS

Oleh

KESUMA WARDANI 087008010/BM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN

(2)

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E

TERHADAP KADAR HORMON ESTROGEN DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI TULANG ALVEOLAR MENCIT (Mus musculus L.)

YANG MELAKUKAN LATIHAN FISIK MAKSIMAL

TESIS

Diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh Gelar Magister Biomedik pada Program Studi Magister Ilmu Biomedik

di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

KESUMA WARDANI 087008010/BM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E TERHADAP KADAR HORMON ESTROGEN DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI TULANG ALVEOLAR MENCIT (Mus musculus L.) YANG MELAKUKAN LATIHAN FISIK MAKSIMAL

Nama Mahasiswa : KESUMA WARDANI Nomor Pokok : 087008010

Program Studi : BIOMEDIK

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Em. dr. Yasmeini Yazir) (Prof. Dr. drs. Syafruddin Ilyas, M.Biomed) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Biomedik, Dekan

(4)

Tanggal lulus : 15 Juli 2011 Telah diuji pada tanggal : 15 Juli 2011

Panitia Penguji Tesis

Ketua : Prof. Em. dr. Yasmeini Yazir

Anggota : 1. Prof. Dr. drs. Syafruddin Ilyas, M.Biomed

(5)

ABSTRAK

Radikal bebas merupakan suatu atom atau molekul yang tidak mempunyai pasangan elektron dan dapat merusak molekul-molekul penting bagi fungsi seluler. Pada kondisi stress oksidatif, radikal bebas akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid membran sel dan merusak organisasi membran sel. Pemberian asupan antioksidan berupa vitamin E diusulkan dapat menurunkan efek radikal bebas dalam tubuh.

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada pengaruh pemberian vitamin E terhadap kadar estrogen dan terhadap stuktur tulang alveolar mencit akibat radikal bebas. Pada mencit (Mus musculus L.) betina dibagi dalam 6 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 5 ekor, P0= tidak diberi perlakuan (kelompok kontrol); P1= latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari; P2= vitamin E selama 30 hari; P3= latihan fisik maksimal selama 15 hari, selanjutnya 15 hari lagi vitamin E; P4= vitamin E selama 15 hari, selanjutnya 15 hari lagi latihan fisik maksimal; P5= latihan fisik maksimal dan vitamin E selama 30 hari. Pada akhir perlakuan sesuai dengan kelompok, maka dilakukan pemeriksaan terhadap kadar estrogen dan terhadap stuktur tulang alveolar mencit.

Hasil penelitian ini menunjukkan vitamin E berpengaruh terhadap kadar hormon estrogen mencit (Mus musculus L.) betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal secara nyata (p<0,05). Vitamin E berpengaruh terhadap stuktur tulang alveolar mencit (Mus musculus L.) betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal secara nyata (p<0,05). Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan penambahan dosis vitamin E dan lamapemberian.

(6)

ABSTRACT

Free radicals are an atom or molecule that has no pairs of electrons and can damage the molecules essential for cellular function. In conditions of oxidative stress, free radicals will cause lipid peroxidation of cell membranes and damage the cell membrane organization. Giving intake of antioxidants in the form of vitamin E is proposed to reduce the effects of free radicals in the body.

The aim of this study was to see whether there are effects of vitamin E on the level of estrogen and of the alveolar bone structure of mice caused by free radicals. In mice (Mus musculus L.) females were divided into 6 groups, each group consisted of 5 repetition: P0 = given no treatment (control group); P1 = maximal physical exercise every day for 30 days; P2 = vitamin E for 30 days; P3 = maximum physical exercise for 15 days, then 15 days more vitamin E, P4 = vitamin E for 15 days, then 15 days again maximal physical exercise; P5 = maximal physical exercise and vitamin E for 30 days. At the end of treatment according to the group, then by checking on the level of estrogen and of the alveolar bone structure of mice.

The results of this study shows vitamin E levels of the hormone estrogen effect on mice (Mus musculus L.) adult females who perform maximal physical exercise significantly (p<0.05). Vitamin E effect on alveolar bone structure of mice (Mus musculus L.) adult females who perform maximal physical exercise significantly (p<0.05). For further research needs to be additional doses of vitamin E and long delivery.

(7)

KATA PENGANTAR

Bismillaahir rohmaanir rohiim

Dengan rahmat dan hidayah Allah Subhanahu Wa Ta’ala penulis akhirnya

dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul,” Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Kadar Hormon Estrogen dan Gambaran Histopatologi Tulang Alveolar Mencit (Mus musculus L.) yang Melakukan Latihan Fisik Maksimal”.

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Biomedik di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,

M.Sc (CTM), Sp.A(K), dan seluruh jajarannya atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Ilmu

Biomedik di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A.Siregar, Sp.PD, KGEH dan Ketua Program Studi Biomedik, dr. Yahwardiah

Siregar, Ph.D, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Ilmu Biomedik di Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Rasa terima kasih penulis yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang mulia Prof. Em. dr. Yasmeini Yazir (sebagai ketua komisi

(8)

waktu untuk memberikan dorongan, bimbingan, semangat, bantuan serta saran-saran yang bermanfaat kepada penulis mulai dari persiapan penelitian sampai

pada penyelesaian tesis ini.

Kepada yang terhormat komisi pembanding Prof. dr. Gusbakti Rusip, M.Sc, PKK, dan drg. Pitu Wulandari, S.Psi, Sp.Perio atas perhatian dan saran yang

bermanfaat kepada penulis dalam menguji dan menyempurnakan tesis ini. Demikian juga ucapan terima kasih penulis kepada seluruh Staf Pengajar yang

telah membimbing penulis selama mengikuti program studi ini.

Kepada yang terhormat Prof. drg. Haslinda Z.Tamin, M.Kes., Sp.Pros (K) dan drg. Lisna Unita Rasyid, M.Kes, yang telah merekomendasikan penulis untuk

melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Sumatera Utara Medan.

Kepada Dekan FK-UISU, beserta jajarannya yang telah memberikan dana penelitian kepada penulis untuk kelangsungan pendidikan Program Studi Magister

Ilmu Biomedik di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Penulis tak lupa menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga

kepada yang mulia Ayahanda (alm). drs. H.Sabaruddin Ahmad dan Ibunda (almh) Hj. Mariana Sulun tercinta yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh kasih sayang, walaupun telah tiada namun rasa sayang dan cinta kasih

yang Ayahanda dan Ibunda curahkan, memberi semangat serta dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan program studi ini. Semoga Allah Subhanahu Wa

(9)

Tak kurang pula ucapan terima kasih penulis atas bantuan dan do’a abang, kakak, adik, seluruh keluarga yang penulis cintai, dan teman sejawat serta

adik-adik yang budiman dalam menyelesaikan tesis ini.

Akhirul kalam sebagai hamba-Nya yang dhaif, penulis mengucapkan syukur

Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang telah mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

Penulis,

(10)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Kesuma Wardani.

2. Tempat /Tanggal Lahir : Medan/23 Desember 1968.

3. Agama : Islam.

4. Alamat : Jl. Rahmadsyah no.179/107 Medan. 5. Telepon/ Hp : 061-7363431 / 088261687996.

6. Pendidikan

SD : SD Swasta Al’Ulum Medan Tamat : 1980. SMP : SMP Swasta Al’Ulum Medan Tamat : 1983.

SMA : SMA Negeri 6 Medan Tamat : 1986. Strata-1 : FKG USU Medan Tamat : 1995. Profesi : FKG USU Medan Tamat : 1995.

Strata-2 : Program Studi Magister Ilmu Biomedik

Fakultas Kedokteran USU Medan Tamat : 2011.

7. Pekerjaan

1996-1999 : Dokter PTT di Rumah Sakit Haji Mina Medan.

2000-2002 : Dokter PTT di Puskesmas Gunung Meriah Kabupaten Deli

Serdang Propinsi Sumatera Utara.

2003-2004 : Dokter PTT di Rumah Sakit Haji Mina Medan.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang……….... 1

1.2.Perumusan Masalah……….………… 3

1.3.Kerangka Teori………..……….. 3

1.4.Tujuan Penelitian... 4

1.5.Hipotesis... 5

1.6.Manfaat Penelitian... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Latihan Fisik... 6

2.1.1. Defenisi... 6

2.1.2. Respon fisiologis terhadap latihan fisik... 6

2.1.3. Intensitas latihan fisik... 7

(12)

2.1.5. Frekuensi sesi latihan fisik... 9

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian... 22 Defenisi Operasional... 22

3.4. Bahan dan Alat Penelitian ... 23

(13)

3.4.2. Peralatan utama penelitian... 25

3.5. Desain Penelitian... 26

3.6. Pelaksanaan Penelitian... 27

3.6.1. Pemeliharan hewan percobaan... 27

3.6.2. Pemberian latihan fisik maksimal... 27

3.6.3. Pemberian vitamin E... 28

3.6.4. Pengamatan ... 28

a. Pengamatan kadar estrogen... 28

b. Pengamatan gambaran histolopatologi tulang alveolar mandibula... 29

3.7. Analisis Data dan Pengujian Hipotesis………..……….. 32

3.8. Jadwal Penelitian ………... 33

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian... 34

4.1.1. Kadar estrogen (estradiol)………. 34

4.1.2. Gambaran histopatologi tulang alveolar (jarak dari Cementum Enamel Junction/CEJ ke Alveolar Crest/AC).. 36

4.2. Pembahasan ... 38

4.2.1. Kadar Estrogen (Estradiol) darah mencit betina dewasa.. 38

4.2.2. Jarak CEJ ke AC mencit betina dewasa... 39

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 42

5.2. Saran ... 42

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 1. Jadwal Penelitian…... 33 2. Data Kadar Estrogen pada berbagai perlakuan penelitian (pg/mL) 47

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Kerangka teori…... 4

2. RRR-α-Tokoferol……….… 13

3. Alur biosintetis estrogen……….…. 17

4. Bagian rahang manusia dengan gigi di dalamnya…….…. 20

5. Kadar estrogen dalam darah (pg/mL)... 35

6. Jarak dari cementum enamel junction ke alveolar crest (puncak alveolar) (μm)……… 37

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman 1. Output analisis data kadar estrogen (pg/mL)

menggunakan software SPSS 18……….…… 47

2. Output analisis data Jarak CEJ ke AC (μm)

menggunakan software SPSS 18………... 56

3. Pengamatan tulang alveolar di laboratorium Biomedik USU. 59

(17)

ABSTRAK

Radikal bebas merupakan suatu atom atau molekul yang tidak mempunyai pasangan elektron dan dapat merusak molekul-molekul penting bagi fungsi seluler. Pada kondisi stress oksidatif, radikal bebas akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid membran sel dan merusak organisasi membran sel. Pemberian asupan antioksidan berupa vitamin E diusulkan dapat menurunkan efek radikal bebas dalam tubuh.

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada pengaruh pemberian vitamin E terhadap kadar estrogen dan terhadap stuktur tulang alveolar mencit akibat radikal bebas. Pada mencit (Mus musculus L.) betina dibagi dalam 6 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 5 ekor, P0= tidak diberi perlakuan (kelompok kontrol); P1= latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari; P2= vitamin E selama 30 hari; P3= latihan fisik maksimal selama 15 hari, selanjutnya 15 hari lagi vitamin E; P4= vitamin E selama 15 hari, selanjutnya 15 hari lagi latihan fisik maksimal; P5= latihan fisik maksimal dan vitamin E selama 30 hari. Pada akhir perlakuan sesuai dengan kelompok, maka dilakukan pemeriksaan terhadap kadar estrogen dan terhadap stuktur tulang alveolar mencit.

Hasil penelitian ini menunjukkan vitamin E berpengaruh terhadap kadar hormon estrogen mencit (Mus musculus L.) betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal secara nyata (p<0,05). Vitamin E berpengaruh terhadap stuktur tulang alveolar mencit (Mus musculus L.) betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal secara nyata (p<0,05). Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan penambahan dosis vitamin E dan lamapemberian.

(18)

ABSTRACT

Free radicals are an atom or molecule that has no pairs of electrons and can damage the molecules essential for cellular function. In conditions of oxidative stress, free radicals will cause lipid peroxidation of cell membranes and damage the cell membrane organization. Giving intake of antioxidants in the form of vitamin E is proposed to reduce the effects of free radicals in the body.

The aim of this study was to see whether there are effects of vitamin E on the level of estrogen and of the alveolar bone structure of mice caused by free radicals. In mice (Mus musculus L.) females were divided into 6 groups, each group consisted of 5 repetition: P0 = given no treatment (control group); P1 = maximal physical exercise every day for 30 days; P2 = vitamin E for 30 days; P3 = maximum physical exercise for 15 days, then 15 days more vitamin E, P4 = vitamin E for 15 days, then 15 days again maximal physical exercise; P5 = maximal physical exercise and vitamin E for 30 days. At the end of treatment according to the group, then by checking on the level of estrogen and of the alveolar bone structure of mice.

The results of this study shows vitamin E levels of the hormone estrogen effect on mice (Mus musculus L.) adult females who perform maximal physical exercise significantly (p<0.05). Vitamin E effect on alveolar bone structure of mice (Mus musculus L.) adult females who perform maximal physical exercise significantly (p<0.05). For further research needs to be additional doses of vitamin E and long delivery.

(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.

Latihan fisik yang secara teratur memberikan banyak manfaat bagi kesehatan

termasuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, dan penyakit diabetes. Sedangkan latihan fisik maksimal dapat menyebabkan terjadinya stres

oksidatif pada tikus (Senturk et al., 2001) dan manusia (Sonneborn and Barbee, 1998, Pedersen and Hoffman-Goetz, 2000, Senturk et al., 2005) sehingga terjadi kerusakan membran sel (Singh, 1992). Latihan fisik maksimal juga dapat

mengurangi kadar estrogen, yang akhirnya mengakibatkan osteoporosis (Power SK and Howley ET, 2007)

Pada keadaan stres oksidatif, radikal bebas akan menyebabkan terjadinya

peroksidasi lipid membran sel dan merusak organisasi membran sel. Membran sel ini sangat penting bagi fungsi reseptor dan fungsi enzim, karena terjadinya

peroksidasi lipid membran sel oleh radikal bebas, dapat mengakibatkan hilangnya fungsi seluler secara total (Evans, 2000, Singh, 1992). Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan (Clarkson and

Thompson, 2000, Slater, 1984), dan stres oksidatif adalah suatu keadaan produksi radikal bebas melebihi antioksidan sistem pertahanan seluler ( Evans, 2000,

Halliwell dan Whiteman, 2004).

(20)

dihasilkannya juga menjadi berkurang. Menurut Kierszenbaum (2007), estrogen dibentuk di sel-sel granulosa folikel dan sel lutein korpus luteum ovarium.

Sehingga rusaknya sel pembentuk estrogen menyebabkan kadar estrogen menjadi sangat rendah. Kekurangan estrogen ini akan menyebabkan meningkatnya aktivitas osteoklastik pada tulang, berkurangnya matriks tulang, dan berkurangnya

deposit kalsium dan fosfat tulang. Pada beberapa wanita, efek ini sangat hebat sehingga menyebabkan osteoporosis (Guyton, A.C., Hall, J.E., 2007).

Di dalam sel terdapat berbagai antioksidan non-ezimatik dan enzimatik yang berfungsi sebagai sistem pertahanan bagi organel-organel sel dari efek reaksi radikal bebas. Kandungan antioksidan ini bisa bersumber dari diet berupa vitamin

dan mineral antioksidan. Vitamin E merupakan salah satu vitamin antioksidan yang utama. Selain dari diet, senyawa antioksidan juga diproduksi secara endogen oleh tubuh seperti glutation(Evans, 2000, Clarkson and Thompson, 2000). Belum

sepenuhnya diketahui apakah antioksidan natural tubuh yang berperan sebagai sistem pertahanan dapat mengatasi peningkatan radikal bebas pada saat exercise

atau apakah diperlukan suplemen tambahan (Clarkson and Thompson, 2000). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latihan fisik maksimal dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Oleh karena antioksidan berupa

vitamin E diharapkan dapat mengurangi aktivitas radikal bebas, maka akan dilakukan penelitian tentang pengaruh pemberian vitamin E terhadap kadar

(21)

1.2. Perumusan Masalah

Bagaimana pengaruh pemberian vitamin E terhadap kadar hormon estrogen

dan stuktur tulang alveolar mencit betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal.

1.3. Kerangka Teori

Latihan fisik maksimal dapat menyebabkan timbulnya radikal bebas yang

lebih besar daripada sistem antioksidan tubuh sehingga terjadi stres oksidatif. Stres oksidatif akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid dan penurunan kadar estrogen, yang akan mengakibatkan penurunan struktur tulang alveolar.

(22)

Latihan fisik maksimal Latihan fisik maksimal

Radikal bebas  (Stress oksidatif)

Radikal bebas (Stress oksidatif)

Peroksidasi lipid 

Kadar estrogen

Kerusakan struktur tulang alveolar

Peroksidasi lipid

Kadar estrogen

Kerusakan struktur tulang alveolar

Vitamin E secara oral

Gambar 1. Kerangka teori

1.4. Tujuan Penelitian

(23)

1.5. Hipotesis

a. Vitamin E mempunyai pengaruh terhadap kadar hormon estrogen mencit

betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal.

b. Vitamin E mempunyai pengaruh terhadap stuktur tulang alveolar mencit betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal.

1.6. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi ilmiah bagi ilmu olahraga tentang manfaat pemberian vitamin E pada atlit perempuan menopause yang melakukan latihan fisik maksimal dalam rangka meningkatkan prestasinya.

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Latihan Fisik 2.1.1. Definisi

Menurut Caspersen,C.J. (1985) istilah " latihan fisik" telah digunakan secara bergantian dengan "aktivitas fisik" dan pada kenyataannya memiliki sejumlah

elemen umum. Sebagai contoh, aktivitas fisik dan latihan fisik keduanya melibatkan gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang mengeluarkan energi, yang diukur oleh kilokalori secara terus-menerus mulai dari rendah ke

tinggi, dan berkorelasi positif dengan kebugaran fisik seperti intensitas, durasi, dan frekuensi gerakan meningkat. Latihan fisik, bagaimanapun tidak identik dengan aktivitas fisik, karena latihan fisik subkategori dari aktivitas fisik. Latihan

fisik adalah aktivitas fisik yang direncanakan, terstruktur, berulang, dan bermanfaat dalam arti untuk perbaikan atau pemeliharaan dari satu atau lebih

komponen kebugaran fisik pada seseorang.

2.1.2. Respon fisiologis terhadap latihan fisik

Atlit yang melakukan latihan fisik pada tingkat yang lebih tinggi akan mencapai suatu titik transport oksigen menuju otot tidak lagi meningkat dan

(25)

Latihan fisik aerobik dapat meningkatkan VO2max. Peningkatan VO2max ini disebabkan oleh bertambahnya kandungan O2 di dalam arteri dan vena, serta

meningkatnya cardiac output maksimal. Meningkatnya VO2max akan meningkatkan toleransi terhadap latihan fisik. Hal ini berhubungan dengan fakta bahwa dengan meningkatkan kapasitas aerobik akan menurunkan terjadinya

matebolisme anaerob (ambang batas anaerob menjadi lebih tinggi). Sisa metabolisme anaerob berupa asam laktat, mempunyai efek yang tidak

menguntungkan bagi tubuh. Kebutuhan oksigen meningkat sejalan dengan peningkatan level kerja, sehingga produksi CO2 akan meningkat. Peningkatan produksi CO2 ini terjadi karena proses buffer oleh natrium bikarbonat terhadap

asam laktat dan menghasilkan CO2. Ventilasi akan terangsang untuk membersihkan kelebihan CO2 dan asidosis metabolik secara langsung merangsang badan karotis (Casaburi, 1992).

Apabila melakukan latihan fisik maksimal secara teratur, maka produksi asam laktat menjadi lebih sedikit pada saat melakukan latihan fisik maksimal. Selain

itu, respon fisiologis tubuh juga mengalami perubahan saat melakukan latihan fisik maksimal, perubahan tersebut antara lain komsumsi oksigen dan produksi CO2 menjadi lebih sedikit, ventilasi secara dramatis menurun. Walaupun ventilasi

menurun, PCO2 dan pH arteri tetap normal (Casaburi, 1992).

2.1.3. Intensitas latihan fisik

(26)

latihan lagi walaupun frekuensi dan durasi latihan fisik itu ditingkatkan. Kedua, bila intensitas latihan fisik dilakukan melebihi ambang batas, jumlah total kerja

per sesi merupakan determinan yang penting bagi respon latihan fisik. Artinya, latihan fisik intensitas tinggi dalam waktu singkat sama efektifnya dengan latihan fisik intensitas sedang dalam waktu yang lebih lama (Casaburi, 1992).

Terdapat tiga variabel fisiologis yang dapat digunakan untuk menentukan intensitas latihan fisik, yaitu frekuensi denyut jantung, konsumsi oksigen, dan

level laktat darah. Menggunakan frekuensi denyut jantung untuk mengukur intensitas latihan fisik merupakan hal yang mudah dilakukan. Akan tetapi, karena frekuensi denyut jantung mempunyai hubungan yang jauh terhadap kondisi otot

yang melakukan latihan, maka teori dasar yang menggunakan frekuensi denyut jantung untuk menentukan intensitas latihan fisik dianggap masih lemah. Hal yang paling banyak dipakai untuk menentukan intensitas latihan fisik adalah

konsumsi oksigen tubuh maksimal (VO2max). Penggunaan level laktat untuk menentukan intensitas latihan fisik dianjurkan juga oleh beberapa peneliti

(Casaburi, 1992).

2.1.4. Durasi sesi latihan fisik

Hasil latihan fisik intensitas sedang selama 30–60 menit lebih efektif dibandingkan dengan selama 10–15 menit. Latihan fisik intensitas tinggi dapat

(27)

sedikit selama 20 menit, dan akan lebih efektif bila dilakukan selama 30–60 menit (Casaburi, 1992).

2.1.5. Frekuensi sesi latihan fisik

Ada konsensus yang menganjurkan latihan fisik dilakukan dengan frekuensi

3–5 kali seminggu. Walaupun frekuensi 2 kali seminggu dapat meningkatkan kebugaran aerobik, tapi keuntungan yang diperoleh lebih sedikit. Hanya sedikit

bukti yang menunjukkan bahwa latihan fisik 5–7 kali seminggu memberikan keuntungan bagi kebugaran, dan latihan fisik setiap hari jarang bisa dilakukan (Casaburi, 1992).

2.1.6. Durasi program latihan fisik

Durasi program latihan fisik dapat dilakukan selama 3–4 minggu, karena

setelah waktu tersebut tidak akan ada lagi peningkatan VO2max, atau penurunan frekuensi denyut jantung, asam laktat, dan epinefrin. Akan tetapi kebanyakan

peneliti menganjurkan program latihan fisik pada rentang 5–10 minggu, karena pada rentang waktu tersebut sudah tercapi efek latihan fisik yang substansial secara fisiologis. Meningkatkan VO2max dapat dicapai dengan cara meningkatkan

intensitas latihan fisik (Casaburi, 1992).

2.1.7. Produksi radikal bebas akibat latihan fisik

(28)

2003). Pembentukan radikal bebas terutama dihasilkan oleh otot rangka yang berkontraksi (Jackson, 2005). Selama melakukan latihan fisik maksimal,

konsumsi oksigen tubuh meningkat dengan cepat. Penggunaan oksigen oleh otot selama latihan fisik maksimal dapat meningkat sekitar 100–200 kali dibandingkan saat istirahat (Chevion et al., 2003). Saat fosforilasi oksidatif di dalam

mitokondria, oksigen direduksi oleh sistem transport elektron mitokondria untuk membentuk adenosin trifosfat (ATP) dan air. Selama proses fosforilasi oksidatif

ini sekitar 2% molekul oksigen dapat berikatan dengan elektron tunggal yang bocor dari karier elektron pada rantai pernafasan, sehingga membentuk radikal superoksida (O2.). Radikal superoksida yang terbentuk ini akan membentuk

hidrogen peroksida (H2O2) dan hiroksil reaktif (OH.) dengan cara berinteraksi dengan logam transisi reaktif seperti tembaga dan besi (Singh, 1992). Secara lengkap proses reduksi oksigen diperlihatkan pada persamaan berikut ini

(Clarkson dan Thompson, 2000):

O2 + e-  O2-. superoxide radical

O2-. + H2O  H2O. + OH- hydroperoxyl radical

H2O. + e- + H  H2O2 hydrogen peroxyde

H2O2 + e-  .OH + OH- hydroxyl radical.

4.1. Radikal Bebas

2.2.1. Kimia radikal bebas

(29)

Thompson, 2000, Slater, 1984). Kebanyakan radikal bebas bereaksi secara cepat dengan atom lain untuk mengisi orbital yang tidak berpasangan, sehingga radikal

bebas normalnya berdiri sendiri hanya dalam periode waktu yang singkat sebelum menyatu dengan atom lain. Simbol untuk radikal bebas adalah sebuah titik (R·), yang berada di dekat simbol atom. Radikal bebas mempunyai peran dalam fungsi

normal dan abnormal tubuh. Radikal bebas yang penting secara biologis antara lain anion superoksida (O2·-), radikal hidroksil (OH·), dan nitric oxide (NO·) (Vander et al., 2001). Bentuk radikal bebas yang lain adalah hydroperoxyl (HO2·), peroxyl (RO2·), alkoxyl (RO·), carbonate (CO3·-), carbon dioxide (CO2·-), atomic chlorine (Cl·), nitrogen dioxide (NO2·) (Halliwell and Whiteman, 2004). Radikal

bebas bisa bermuatan negatif, bermuatan positif, dan juga bermuatan netral (Slater, 1984, Vander et al., 2001).

2.2.2. Kerusakan sel akibat reaksi radikal bebas

Penelitian yang ekstensif dengan menggunakan sitem model dan dengan

material biologis in vitro, secara jelas menunjukkan bahwa radikal bebas dapat menimbulkan perubahan kimia dan kerusakan terhadap protein, lemak, karbohidrat, dan nukleotida. Bila radikal bebas diproduksi in vivo, atau in vitro di

dalam sel melebihi mekanisme pertahanan normal, maka akan terjadi berbagai gangguan metabolik dan seluler. Jika posisi radikal bebas yang terbentuk dekat

(30)

biologi sel. Bila radikal bebas merusak grup thiol maka akan terjadi perubahan aktivitas enzim. Radikal bebas dapat merusak sel dengan cara merusak membran

sel tersebut. Kerusakan pada membran sel ini dapat terjadi dengan cara: (a) radikal bebas berikatan secara kovalen dengan enzim dan/atau reseptor yang berada di membran sel, sehingga merubah aktivitas komponen-komponen yang

terdapat pada membran sel tersebut; (b) radikal bebas berikatan secara kovalen dengan komponen membran sel, sehingga merubah struktur membran dan

mengakibatkan perubahan fungsi membran dan/atau mengubah karakter membran menjadi seperti antigen; (c) radikal bebas mengganggu sistem transport membran sel melalui ikatan kovalen, mengoksidasi kelompok thiol, atau dengan merubah

asam lemak polyaunsaturated; (d) radikal bebas menginisiasi peroksidasi lipid secara langsung terhadap asam lemak polyaunsaturated dinding sel. Peroksidasi ini akan mempengaruhi fluiditas membran, cross-linking membran, serta struktur

dan fungsi membran (Slater, 1984).

Tubuh mempunyai sistem pertahanan terhadap radikal bebas agar radikal

bebas tidak menyebabkan efek yang merusak. Sistem pertahan ini antara lain enzim superoxide dismutase yang terdapat di mitokondria dan sitosol, enzim

catalase, dan enzim glutahtion peroxidase (Jackson, 2005, Singh, 1992). Sebagai tambahan bagi sistem pertahanan yang berbentuk enzim, sel juga dapat meningkatkan produksi stress proteins atau disebut juga heat shock proteins

(31)

langsung dapat merubah radikal bebas menjadi senyawa yang kurang reaktif seperti vitamin C (Jackson, 2005, Singh, 1992).

2.3. Vitamin E

2.3.1. Kimiawi dan metabolisme vitamin E

Vitamin ini diisolasi oleh Evans dan kawan-kawan (1936) dari wheat-germ oil. Delapan senyawa tokoferol yang terbentuk di alam yang memiliki aktivitas

vitamin E kini telah diketahui. Bentuk yang paling aktif secara biologi adalah RRR-α-tokoferol (Gambar 2), yang merupakan kira-kira 90% tokoferol dalam jaringan hewan dan menunjukkan aktivitas biologis tertinggi dalam sebagian

besar sistem bioasai.

Salah satu sifat kimia tokoferol yang penting adalah bahwa senyawa-senyawa ini merupakan senyawa redoks yang bekerja sebagai antioksidan dalam beberapa

kondisi tertentu, dalam hal ini tampaknya merupakan dasar untuk sebagian besar, tetapi mungkin tidak semua, efek vitamin E. Senyawa tokoferol rusak secara

perlahan jika terpajan udara atau sinar ultraviolet (Marcus, R., and Coulston, A.M., 2007).

(32)

2.3.2.Fungsi vitamin E

Sifat-sifat antioksidan vitamin E memperbaiki kerusakan membran biologis akibat radikal bebas. Vitamin E melindungi asam-asam lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated fatty acid, PUFA) dalam membran fosfolipid dan dalam lipoprotein bersikulasi (Burton et al., 1983). Radikal-radikal peroksil (ROO •)

bereaksi 1000 kali lebih cepat dengan vitamin E dibandingkan dengan PUFA, membentuk hydrogen peroksida organik yang sesuai dan radikal tokoferoksil

(vitamin E-O •). Selanjutnya radikal tokoferoksil berinteraksi dengan antioksidan lain seperti vitamin C, yang akan membentuk kembali tokoferol (Marcus, R., and Coulston, A.M., 2007).

Vitamin E penting untuk melindungi membran sel darah merah yang kaya akan asam lemak tidak jenuh ganda dari kerusakan akibat oksidasi. Selain itu vitamin E melindungi lipoprotein dalam sirkulasi LDL teroksidasi yang ternyata

memegang peranan penting dalam menyebabkan aterosklerosis. Vitamin E dosis besar (1600 mg/hari) melindungi LDL dari oksidasi. Meskipun masih

kontradiktif, beberapa hasil penelitian epidemiologik mengatakan bahwa vitamin E dapat memproteksi penyakit kardiovaskuler, namun mekanisme kerjanya tidak jelas. Vitamin E mengatur proliferasi sel otot polos pembuluh darah,

menyebabkan vasodilatasi dan menghambat baik aktivasi trombosit maupun adhesi lekosit. Vitamin E juga melindungi β-karoten dari oksidasi (Dewoto, H.R.,

2007).

(33)

aktivitas tubuh. Selama aktivitas olah raga, vitamin E menunjukkan respon yang bervariasi (Winarsi,H., 2007).

Pada penelitian Rokitzki, et al (1994) memberikan 300 mg α-tokoferol/hari selama 5 bulan pada subjek yang melakukan olah raga berat. Dari penelitian ini ternyata kadar MDA dan keratin kinase meningkat, meski hanya sedikit. Diduga

integritas membran kompromi dengan stress oksidatif, yang menunjukkan melalui pengukuran keratin kinase dalam serum. Kreatin kinase merupakan protein

intramuskuler yang bocor setelahkerusakan membran, kemudian memasuki serum (Clarkson, et al., 1988). Temuan ini juga membuktikan bahwa vitamin E memberikan efek proteksi terhadap stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan

otot karena olah raga.

Pada penelitian Cohen, M.C dan Meyer, D.M (1993) efek dari suplementasi terhadap kerusakan tulang (jarak dari cementum enamel junction ke alveolar crest

diukur pada garis tengah di bagian lingual dari masing-masing akar molar mandibula) yang diteliti pada tikus yang tidak distreskan atau distreskan pada

perangkat rotasi selama 90 hari. Pada penelitian pertama, baik kondisi yang diberi vitamin E maupun stres secara statistik memberi efek yang signifikan tapi ada substansial dan variabilitas kerusakan tulang pada semua kelompok. Sebelum

dimulainya penelitian kedua, untuk mengurangi perbedaan kerusakan tulang yang dinyatakan mungkin ada, sebelum pengenalan perlakuan, tikus menerima

(34)

kedua. Analisis data menunjukkan bahwa suplemen vitamin E memiliki efek protektif yang signifikan secara statistik, yang paling menonjol di lokasi yang

paling rentan terhadap kerusakan. Pada subjek yang stress cenderung terjadi kerusakan tulang alveolar lebih banyak, tetapi efek ini tidak signifikan. Penemuaan ini menunjukkan peran vitamin E dalam menjaga kesehatan

periodontal, tetapi juga kepekaan terhadap efek terhadap status periodontal awal.

2.4.Estrogen

2.4.1.Kimiawi Estrogen

Aktivitas estrogenik dimiliki oleh banyak senyawa steroid dan nonsteroid.

Estrogen alami dalam tubuh manusia yang paling kuat adalah 17β-estradiol, diikuti dengan estron dan estriol (Gambar 3). Tiap molekul ini merupakan suatu steroid dengan 18 atom karbon yang mengandung satu cincin A fenolik (cincin

aromatik dengan gugus hidroksil pada karbon 3) dan gugus β-hidroksil atau keton di posisi 17 cincin D. Cincin A merupakan struktur dasar yang bertanggung jawab

terhadap ikatannya yang selektif dan berafinitas tinggi dengan reseptor estrogen. Sebagian besar substitusi alkil pada cincin A fenolik merusak ikatan tersebut, tetapi substitusi pada cincin C atau D masih dapat ditoleransi (Loose,

(35)

Gambar 3.Alur biosintetis estrogen (dari Goodman & Gilman: Dasar Farmakologi Terapi, edisi 10, Jakarta: EGC, 2007)

2.4.2.Peranan estrogen dalam pertumbuhan tulang

Estrogen menghambat aktivitas osteoklas dan dengan sendirinya mengambat

resorpsi tulang dan secara bersamaan estrogen mengaktifkan osteoblas, sehingga laju pergantian tulang menjadi normal. Estrogen bekerja baik secara langsung

melalui reseptor yang berada di tulang maupun secara tidak langsung dengan bantuan sitokin dan faktor pertumbuhan. Pada proses pemugaran tulang juga berperan faktor-faktor lain yang juga berada di bawah pengaruh estrogen (Baziad

Ali, 2003).

2.4.3. Menopauase

Menopause merupakan proses fisiologis pada wanita yang biasa terjadi pada usia 47-55 tahun, ditandai dengan berhentinya menstruasi sebagai akibat

berhentinya produksi hormon estrogen oleh ovarium (Joenes H, dkk. 2007). Pada saat menopause, sering kali terjadinya perubahan fisiologis yang

(36)

kulit yang ekstrem, sensasi psikis dispnea, gelisah, letih, ansietas dan kadang-kadang keadaan psikotik yang bermacam-macam, serta penurunan kekuatan dan

kalsifikasi tulang di seluruh tubuh. Kira-kira pada 15 persen wanita, gejala-gejala ini cukup berat sehingga membutuhkan perawatan (Guyton,A.C., and Hall,J.E., 2007).

Defisiensi estrogen dan osteoporosis dibuktikan oleh Payne, J.B, dkk (1997) sebagai faktor resiko berkurangnya kepadatan tulang alveolar.

2.5. Tulang

Tulang adalah jaringan ikat khusus yang terdiri atas materi intersel yang

mengapur, yaitu matriks tulang, dan 3 jenis sel : osteosit yang terdapat dalam rongga (lakuna) di dalam matriks; osteoblas yang membentuk komponen organik dari matriks; dan osteoklas yang merupakan sel raksasa berinti banyak yang

berperan pada resorpsi dan pembentukan kembali jaringan tulang (Junqueira, L.C, 1997).

2.6. Tulang alveolar

Tulang alveolar (alveolar process) adalah bagian dari maksila dan mandibula

yang membentuk dan mendukung soket gigi (alveoli). Tulang ini terbentuk sewaktu gigi erupsi untuk memberikan tempat perlekatan bagi ligament

(37)

Tulang alveolar terdiri atas:

1.Plat eksternal dari tulang kortikal (cortical bone) yang dibentuk oleh tulang

haversian dan lamella tulang kompak.

2.Dinding soket sebelah dalam yang berupa tulang kompak (compact bone) yang tipis, yang dinamakan tulang alveolar utama (alveolar bone proper). Pada gambar

foto ronsen bagian tulang ini sebagai lamina dura. Secara histologis bagian tulang ini mengandung lubang-lubang seperti tapis (cribriform plate) melalui

bundel-bundel neurovascular menghubungkan ligament periodontal dengan tulang kanselous (cancellous bone) yang merupakan bagian tengah tulang alveolar.

3.Trabekula kanselous, yang berada diantara kedua lapisan tulang kompak

tersebut di atas, yang berperan sebagai tulang alveolar pendukung (supporting alveolar bone). Septum interdental terdiri atas tulang kanselous pendukung yang dikelilingi oleh tulang kompak.

Selain bagian-bagian tersebut di atas, tulang rahang juga mencakup tulang basal (basal bone), yaitu bagian tulang rahang yang berada dibagian apikal tetapi

tidak berhubungan dengan gigi (Gambar 4).

Meskipun atas dasar anatomis tulang alveolar dapat dibedakan atas beberapa bagian, namun kesemuanya secara bersama-sama berfungsi sebagai suatu

(38)

Tulang spongy

Plat tulang vestibular

Mandibular canal

Tulang alveolar pendukung Septum interdental

Tulang basal Tulang alveolar utama

Gambar 4. Bagian rahang manusia dengan gigi di dalamnya, garis putus-putus menunjukkan pemisahan antara tulang basal dan tulang alveolar (dari Ten Cate AR : Oral histology : development, structure, and function,

ed 4, St.Louis, 1994, Mosby)

2.7. Osteoporosis

Osteoporosis adalah suatu kondisi massa tulang yang rendah dan kerusakan mikrostruktur yang dengan sedikit saja trauma dapat mengakibatkan fraktur. Lokasi khas fraktur mencakup badan vertebral, radius distal, dan femur proksimal,

tetapi pasien osteoporosis umumnya mengalami kerapuhan kerangka tulang. Fraktur di lokasi lain seperti tulang iga dan tulang panjang, juga umum terjadi.

(39)

 Osteoporosis tipe I, adalah hilangnya tulang trabekula akibat

kekurangan estrogen saat menopause.

 Osteoporosis tipe II, adalah hilangnya tulang korteks dan trabekula pada

pria dan wanita akibat tidak efisiennya remodeling pada jangka panjang,

gizi tidak mencukupi, dan aktivasi sumbu paratiroid seiring usia.

Osteoporosis sekunder adalah akibat penyakit sistemik atau dari obat-obatan

seperti glukokortikoid atau fenitoin (Loose, D.S., Mitchell and Stancel,G.M, 2007).

Lee, B.D.,dan. White, S.C (2005) meneliti pada 37 perempuan dan 29 laki-laki

terhadap densitas mineral tulang (BMD), tulang belakang lumbal dan proksimal femur diukur dengan dual-energy x-ray absorptiometri. variabel klinis termasuk

usia, tinggi dan berat subjek. Kepadatan optik dan morfologi wajah subjek diukur dari posterior rahang atas dan rahang bawah. Ditemukan adanya hubungan yang signifikan pada rahang atas dan rahang bawah dengan BMD lumbal

femoralis.

Osteoporosis akan mengakibatkan ketidakseimbangan antara proses resorbsi

tulang dan proses pembentukan tulang. Osteoporosis terjadi karena berkurangnya hormon estrogen sehingga akan berpengaruhi pada berkurangnya massa dan kepadatan mineral tulang alveolar. Wanita kehilangan 1-5% massa tulang selama

(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi FMIPA USU Medan, Laboratorium Klinik Pramitha Medan, dan Laboratorium Biomedik FK USU Medan. Penelitian dilakukan pada bulan Januari – bulan Mei 2011.

3.2. Variabel Penelitian 3.2.1. Variabel independent

 Latihan fisik maksimal.

 Vitamin E.

3.2.2. Variabel dependent

 Kadar estrogen (estradiol) dalam darah.

 Gambaran histopatologi tulang alveolar.

3.3. Definisi operasional

a. Latihan fisik maksimal : mencit melakukan aktivitas fisik berenang sampai letih ± selama 20 menit.

b. Vitamin E : 0,4mg α-tokoferol asetat.

c. Kadar estrogen (estradiol) : jumlah estradiol dalam piko gram yang

(41)

d. Gambaran histopatologi tulang alveolar : kerusakan tulang alveolar dilihat secara vertikal.

3.4. Bahan dan Alat Penelitian 3.4.1. Bahan penelitian

Bahan biologis. Bahan biologis yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit betina (Mus musculus L.) yang berumur 12 bulan dengan berat badan

30-45 gram yang diperoleh dari FMIPA Biologi Universitas Sumatera Utara. Jumlah hewan uji perkelompok ditentukan dengan rumus (t-1)(n-1) ≥ 15 (Federer., 1963). Jika t adalah jumlah perlakuan (dalam penelitian ini ada 6 kelompok perlakuan)

dan n adalah jumlah ulangan perkelompok, maka jumlah n yang diharapkan secara teoritis adalah 4 sehingga di dapat jumlah keseluruhan hewan coba yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 50 ekor yang dipilih dari hasil pembiakan

untuk keperluan penelitian.

Bahan kimia. Bahan kimia yang dibutuhkan pada penelitian ini terdiri dari : a. Vitamin E cair (DL-α-tokoferol asetat, produksi Merck, Germany), aquadest. b. Reagensia jenis estradiol strip yang terdiri dari 10 bagian siap pakai dengan urutan sebagai berikut :

(1) Sampel well

(2), (3), (4) Well kosong

(5) Konjugat (Alkaline phospatase berlabel derivate estradiol + 0,9 gr/l sodium azide (400µl).

(42)

(7), (8) : Wash buffer : Tris NaCl (0,05 mol/l) pH 9 + 1 gr/l sodium azide (600µl).

(9) Wash buffer : diethanolamine (DEA) (1,1 mol/l, pH 9,8) + 1gr/l sodium azide (600µl).

(10) Cuvette dengan substrate 4-Methyl Umbeliferyl-Phospat (0,6 mmol/l)

diethanolamine (DEA) (0,62 mol/l atau 6,6 %, pH 9,2) + 1gr/l sodium azide (300µl).

c. Estradiol Solid Phase Receptacle.

Siap pakai, pada bagian ujungnya telah dilekati dengan polyclonal anti – Estradiol immunoglobulin (mencit).

d. Bahan untuk pemeriksaan histologi tulang :

1. Netral Buffer formalin 10 % (Fiksasi). 2. Asam formik 5% (dekalsifikasi).

3. Aceton.

4. Toluena merck.

5. Parafin blok (keras). 6. Haematoxylin mayer. 7. Eosin 1 %.

8. Acid Alkohol 1 %. 9. Lithium carbonat 1 %.

10.Alkohol 70%, 80 %, 90 %, 96%. 11.Alkohol Absolute.

(43)

13.Entelin.

14.Balsem kanada.

3.4.2. Peralatan utama penelitian

Alat utama yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas :

a. Jarum oval (Gavage). b. Spuit 1 ml.

c. Timbangan. d. MINI VIDAS.

e. Mikropipet 50-200 µl.

f. Bak bedah dan dissecting set. g. Cawan petri.

h. Mikrotom.

i. Waterbath. j. Hot plate.

k. Freezer. l. Staining jar. m. Pensil Diamond.

n. Pengukur waktu. o. Kaca objek.

p. Kaca penutup.

(44)

3.5. Disain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental yang didisain mengikuti

Rancangan Acak Lengkap (RAL). Penelitian ini terdiri dari 6 kelompok perlakuan, yaitu :

a. Kelompok I (P0) = terdiri dari 8 ekor mencit betina dewasa yang tidak diberi

perlakuan (kelompok kontrol).

b. Kelompok II (P1) = terdiri dari 8 ekor mencit betina dewasa yang diberi

perlakuan latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari.

c. Kelompok III (P2) = terdiri dari 8 ekor mencit betina dewasa yang diberi vitamin E selama 30 hari.

d. Kelompok IV (P3) = terdiri dari 8 ekor mencit betina dewasa yang diberi perlakuan latihan fisik maksimal selama 15 hari, selanjutnya 15 hari berikutnya diberi vitamin E.

e. Kelompok V (P4) = terdiri dari 8 ekor mencit betina dewasa yang diberi vitamin E selama 15 hari, selanjutnya 15 hari berikutnya diberi perlakuan

latihan fisik maksimal.

f. Kelompok VI (P5) = terdiri dari 8 ekor mencit betina dewasa yang diberi perlakuan latihan fisik maksimal dan vitamin E selama 30 hari.

(45)

P0 kelompok kontrol

P1 latihan fisik maksimal selama 30 hari P2 diberi vitamin E selama 30 hari.

P3 latihan fisik maksimal 15 hari, diberi vitamin E selama 15 hari P4 diberi vitamin E selama 15 hari latihan fisik maksimal 15 hari P5 latihan fisik maksimal dan vitamin E selama 30 hari

0 15 30 (hari)

3.6. Pelaksanaan Penelitian

3.6.1. Pemeliharaan hewan percobaan

Mencit betina dewasa ditempatkan di dalam kandang yang terbuat dari bahan

plastik (ukuran 30x20x10cm) yang ditutup dengan kawat kasa. Dasar kandang dilapisi dengan sekam padi setebal 0,5-1 cm dan diganti setiap tiga hari. Cahaya

ruangan dikontrol selama 12 jam terang (pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00), dan 12 jam gelap (pukul 18.00 sampai dengan pukul 06.00), sedangkan suhu dan kelembaban ruangan dibiarkan berada pada kisaran alamiah. Pakan

(pelet komersial) dan air minum (air PAM) disuplai setiap hari secara berlebih.

Ethical clearance diperoleh dari Komisi Penelitian Hewan Biologi FMIPA

Universitas Sumatera Utara Medan.

3.6.2. Pemberian latihan fisik maksimal

(46)

Mencit berenang di dalam wadah kaca (ukuran 100 x 50 x 80 cm) yang diisi dengan air setinggi 60 cm, tidak ada jalan keluar. Sebagai usaha untuk keluar dari

wadah, tikus akan berenang, menyelam dan memanjat dinding wadah dengan sekuat tenaga. Saat mencit menghentikan segala gerakannya, kecuali gerakan untuk bertahan hidup (mempertahankan kepala tetap berada di permukaan air), hal

ini dianggap mencit sudah melakukan latihan fisik maksimal. Segera setelah itu, keluarkan mencit dari wadah, keringkan dengan handuk kering, dan kembalikan

ke dalam kandang.

3.6.3. Pemberian vitamin E

Vitamin E yang diberikan adalah DL-α-tokoferol asetat yang dilarutkan dalam aquadest. Dosis vitamin E yang diberikan adalah 0,4mg/hari per oral. Dosis tersebut hasil dari konversi dosis manusia ke mencit yang merupakan metode

modifikasi dari Ilyas, S.( 2007).

3.6.4. Pengamatan

Setelah 30 hari perlakuan, masing-masing hewan coba dikorbankan dengan cara dislokasi leher dan selanjutnya dibedah. Setelah itu dilakukan pengamatan

sebagai berikut :

a. Pengamatan kadar estrogen (estradiol)

(47)

yang digunakan pada pemeriksaan ini merupakan fase solid seperti pipet. Reagensia pada pemeriksaan ini siap pakai dan tersimpan dalam satu bungkus

reagensia strip. Semua tahap pemeriksaan ini dilakukan secara otomatis di dalam alat.

Sampel dimasukkan ke dalam well yang berisi Alkaline phospatase berlabel

Estradiol (Konjugat). Sampel dan konjugat dicampur masuk dan keluar SPR pada waktu tertentu dan kecepatan reaksi tertentu.

Komponen yang tidak terikat akan dihilangkan pada saat pencucian. Pada langkah akhir reaksi substrate (4 - Methyl – umbelliferyl phospat) akan berputar masuk dan keluar SPR. Enzym konjugat katalisator akan menghidrolisa substrate

menjadi product flourescent (4 – Methyl – umbelliferone). Flouresensi ini diukur pada panjang gelombang 450 nm. Intensitasnya sebanding dengan konsentrasi Estrogen (estradiol) dalam serum. (Biomerieux® SA, 2008)

b.Pengamatan gambaran histopatologi tulang alveolar mandibula

Pengamatan gambaran histopatologi tulang alveolar mandibula mencit, dibuat sediaan histologis menurut Hoeber,P.B (1950) dengan metode parafin, menggunakan pewarnaan HE (Hematoksilin Eosin). Sesuai dengan cara yang

lazim dikerjakan dalam pembuatan sediaan histologis yaitu: fiksasi, dekalsifikasi, pencucian, dehidrasi, penjernihan, infiltrasi parafin, penanaman, pengirisan,

(48)

Fikasasi

Jaringan tulang mandibula diambil, kemudian difiksasi dalam larutan

netral buffer formalin 10 % selama 2-10 jam. Dekalsifikasi

Dekalsifikasi adalah menghilangkan bahan anorganik dari jaringan tulang. Hasil akhir dari dekalsifikasi adalah semua material anorganik sudah tidak ada pada tulang, sehingga dapat ditanam pada parafin atau celoidin. Mekanisme dari

dekalsifikasi adalah dengan merendam spesimen tulang mandibula pada larutan asam formik 5%.

Pencucian

Setelah proses fiksasi dilakukan pencucian dengan alkohol 70%. Dehidrasi

Dilakukan secara bertahap, dengan alkohol 70% selama 10 menit, alkohol

80%, 90%, 96%, masing-masing selama 60 menit, kemudian dengan alkohol absolut 30 menit.

Penjernihan

Dilakukan segera setelah proses dehidrasi dengan menggunakan toluena murni.

Infiltrasi

Proses infiltasi parafin dilakukan di dalam oven dengan suhu 56ºC. Organ

tulang mandibula dimasukkan kedalam campuran toluena-parafin dengan perbandingan 1:1 selama 30 menit. Kemudian berturut dimasukkan kedalam:

(49)

Parafin murni II selama 1 jam. Parafin murni III selama 1 jam.

Penanaman

Sediaan dari parafin murni III dimasukkan ke dalam kaset cetakan yang telah berisi parafin cair, dan dibiarkan sampai parafin mengeras.

Pengirisan

Blok parafin tulang mandibula yang telah mengeras ditempelkan pada holder

dengan menggunakan spatula, letakkan holder beserta blok parafin pada tempatnya di mikrotom. Pengirisan dilakukan dengan ketebalan 6µm.

Penempelan

Jaringan yang sudah diiris dimasukkan ke dalam water bath agar parafin hilang/larut. Kemudian jaringan diambil dan ditempel pada kaca objek, lalu dianginkan/dikeringkan.

Pewarnaan

Pewarnaan dengan hematoxylin-Eosin (H-E) melalui tahapan:

 Deparafinisasi preparat dengan xylol sampai bebas parafin.

 Hidrasi dengan alkohol 96%, 90%, 80%, 70%, 50%, 30%, akuades.

 Inkubasi dalam larutan haematoxylin Erlich selama 30 menit.

 Cuci dengan air mengalir ± 10 menit.

 Dicelupkan kedalam akuades.

 Dimasukkan alkohol 30%, 50%, 70%.

 Kemudian dimasukkan kedalam larutan Eosin 0,5% selama 3 menit.

(50)

 Dikeringkan dengan kertas penghisap.

 Inkubasi dengan xylol selama 1 malam.

Penutup

Preparat ditutup dengan gelas penutup setelah ditetesi dengan balsem kanada terlebih dahulu, lalu diberi label. Pewarnaan dengan hematoksilin-eosin (HE) yang akan menyebabkan inti berwarna hitam kebiru-biruan dan sitoplasma

berwarna merah. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan histopatologis dengan menggunakan mikroskop cahaya. Pengamatan gambaran kerusakan tulang alveolar mandibula dengan pembesaran 400x .

3.7. Analisis Data dan Pengujian Hipotesis

Data dipresentasikan dalam bentuk rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ± SD). Dilakukan uji normalitas dan homogenitas data. Jika data berdistribusi normal dan homogen maka dilakukan uji ANOVA. Bila terdapat perbedaan

dilakukan dengan uji Post Hoc untuk melihat perbedaan antar kelompok kontrol dan masing-masing perlakuan.

Jika distribusi data tidak normal dan atau tidak homogen, maka dilakukan transformasi data. Kemudian diuji lagi normalitas dan homogenitas data. Apabila data masih tidak normal distribusinya atau tidak homogen maka diuji dengan uji

Kruskal-Wallis. Untuk melihat perbedaan antar kelompok kontrol dan kelompok perlakuan mengunakan uji Mann Whitney. Semua analisis data dilakukan dengan

(51)

3.8. Jadwal Penelitian

Keseluruhan kegiatan penelitian ini dari persiapan sampai pada penulisan hasil penelitian adalah lebih kurang 21 minggu. Urutan kegiatan dan jadwal pelaksanaan secara lengkap dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:

Tabel 1. Jadwal Penelitian

(52)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Pada BAB IV ini ditunjukkan beberapa grafik histogram dari rata-rata data hasil analisis yang berdasarkan pada hipotesis dan tujuan dari penelitian yang dilakukan selama 30 hari. Urutan tampilan hasil dan pembahasan dari penelitian

ini adalah; (1) Kadar estrogen (estradiol) dalam darah, (2) Gambaran histopatologi tulang alveolar (jarak dari Cementum Enamel Junction/CEJ ke

Alveolar Crest/AC).

4.1.1. Kadar estrogen (estradiol)

Data pengukuran kadar estrogen dalam darah tiap-tiap mencit betina dewasa

ditunjukkan pada Lampiran 1, Tabel 1. Rata-rata hasil analisis data kadar estrogen dalam darah mencit betina (Mus musculus L.) ditunjukkan pada Gambar 5. Hasil

analisis distribusi data dan homogenitas variansi adalah sebagai berikut; semua data kadar estrogen dalam darah distribusinya tidak normal dan variansi datanya juga tidak homogen. Hasil ini tidak memenuhi asumsi untuk dapat dilakukan uji

parametrik. Kemudian dilakukan transformasi data dan didapatkan data yang tidak normal dan variansinya tetap tidak homogen. Oleh sebab itu dilakukan uji non

(53)

perlakuan.

Hasil uji didapatkan bahwa kadar estrogen yang tertinggi terdapat pada P3

(46,01±2,52 pg/mL), yang berbeda nyata (p<0,05) dengan P0 (31,41±27,51 pg/mL) dan P1 (20,39±5,44 pg/mL), tetapi tidak berbeda nyata dengan P2 (42,94±19,79 pg/mL), P4 (34,42±12,05 pg/mL) dan P5 (38,22±8,64 pg/mL).

Kadar estrogen terendah terdapat pada P1 (20,39±5,44 pg/mL), yang berbeda nyata dengan P2, P3, dan P5, tetapi tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan P0 dan

P4.

b

ab

b

b

a

a

Gambar 5. Kadar estrogen dalam darah (pg/mL). Keterangan; Grafik histogram pada perlakuan berbeda yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbe- da tidak nyata pada taraf uji 5%. P0= tidak diberi perlakuan (kelompok kontrol); P1= latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari; P2= vi- tamin E selama 30 hari; P3 = latihan fisik maksimal selama 15 hari,

(54)

4.1.2. Gambaran histopatologi tulang alveolar (jarak dari Cementum Enamel Junction/CEJ ke Alveolar Crest/AC)

Hasil pengukuran jarak dari Cementum Enamel Junction ke Alveolar Crest

pada mencit betina dewasa ditunjukkan pada Lampiran 1, Tabel 2. Rata-rata hasil analisis datanya ditunjukkan pada Gambar 6 dan gambaran histopatologi tulang

alveolar pada Gambar 7. Hasil analisis distribusi data dan homogenitas variansi adalah sebagai berikut; semua data jarak CEJ ke AC distribusinya normal dan

variansi datanya homogen. Hasil ini memenuhi asumsi untuk dapat dilakukan uji parametrik. Kemudian dilakukan uji ANOVA pada taraf 5%. dan ditemukan adanya perbedaan yang nyata antara masing-masing perlakuan penelitian (p<0,05;

Lampiran 1). Oleh sebab itu dilakukan Post Hoc test - Bonferroni untuk melihat ada/tidaknya perbedaan rata-rata jarak CEJ ke AC antara masing-masing kelompok perlakuan (P0-P5).

Hasil uji terhadap jarak CEJ ke AC yang terpanjang / terjauh terdapat pada P1 (78,14±10,15 μm), yang berbeda nyata (p<0,05) dengan P3 (40,13±22,64 μm),

tetapi tidak berbeda nyata (p>0,5) dengan P0 (49,48±17,94), P2 (47,56±11,66

μm), P4 (64,53±25,83 μm)dan P5(54,77±14,03 μm). Sedangkan jarak CEJ ke AC

terendah / terdekat terdapat pada P3 (40,13±22,64 μm), yang berbeda nyata (p<0,05) dengan P1 dan P4, tetapi tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan P0, P2

(55)

(56)

4.2. PEMBAHASAN

4.2.1. Kadar Estrogen (Estradiol) darah mencit betina dewasa

Tingginya kadar estrogen pada P3 (latihan fisik maksimal selama 15 hari, selanjutnya 15 hari lagi vitamin E) (Gambar 5), mungkin disebabkan oleh adanya pemberian vitamin E yang dapat menekan oksidan (ROS/Reactive Oxygen

Species) yang timbul setelah latihan fisik maksimal. Hal ini terbukti ketika dibandingkan dengan kadar estrogen yang didapatkan pada P1 atau latihan fisik

maksimal setiap hari selama 30 hari, yang lebih rendah secara nyata (p<0,05) dibandingkan dengan P3. Pengaruh vitamin E terhadap kadar estrogen mencit betina terlihat jelas jika dilihat pada perlakuan lainnya yang ada penambahan

vitamin E (P2, P4 dan P5). Menurut Powers and Jackson (2008), latihan fisik dapat meningkatkan pembentukan ROS dalam otot rangka. Verma et al., (2001) menyatakan, bahwa pemberian vitamin E 2 mg/hari per oral selama 45 hari

mampu meningkatkan aktivitas enzim superoxide dismutase, glutathione peroxidase, dan catalase, serta menurunkan kadar MDA testis mencit yang

dipaparkan aflatoksin 25 g/hari per oral selama 45 hari. Senturk et al., (2001) menyebutkan, latihan fisik maksimal dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif pada tikus. Ditambahkan oleh Ji (1999), selama latihan fisik maksimal,

konsumsi oksigen seluruh tubuh meningkat 20 kali, sedangkan konsumsi oksigen pada serabut otot di perkirakan meningkat 100 kali lipat. Peningkatan konsumsi

(57)

Peningkatan radikal bebas (ROS) menyebabkan rusaknya sel-sel pembentuk estrogen melalui peroksidasi lipid pada membran selnya, sehingga estrogen yang

dihasilkannya juga menjadi berkurang. Menurut Kierszenbaum (2007), estrogen dibentuk di sel-sel granulosa folikel dan sel lutein korpus luteum ovarium. Rusaknya sel pembentuk estrogen pada kelompok P1 menyebabkan kadar

estrogen menjadi sangat rendah (p<0,05) dibanding dengan latihan fisik maksimal yang diberi asupan vitamin E (P2-P5). Menurut Leeuwenburgh and Heinecke

(2001), peningkatan metabolisme aerobik selama latihan merupakan sumber potensial stres oksidatif. Menurut Murdoch and Martinchicky (2004), bahwa sel permukaan ovarium dapat terkena inflamasi bahan kimia atau radikal bebas.

Folikel menjadi pecah sehingga jadi rusak dan tidak dapat diperbaiki serta mengalami apoptosis. Kemudian dikatakannya, bahwa penggunaan vitamin E dapat mencegah kerusakan epitel ovarium domba oleh adanya oksidan.

4.2.2. Jarak CEJ ke AC mencit betina dewasa

Gambaran histopatologi tulang alveolar ditentukan dengan mengukur jarak dari Cementum Enamel Junction/CEJ ke Alveolar Crest/AC). Jarak yang semakin jauh, cenderung memperparah patologinya, begitu juga sebaliknya, atau dengan

kata lain semakin kurang tulang alveolarnya. Jarak CEJ ke AC yang paling tinggi terdapat pada P1 (78,14±10,15 μm) karena aktifitas fisik maksimal yang

dilakukan dan tidak diberi asupan vitamin E. Selain timbulnya radikal bebas/oksidan yang memperparah kerusakan ovarium (sumber utama estrogen),

(58)

estrogen rendah (Gambar 5) dan berdampak pada tingginya jumlah osteoklas dari pada osteoblas. Hal ini menyebabkan tingginya histopatologi tulang alveolar.

Pada penelitian Shuid et al., (2001) dinyatakan bahwa, vitamin E dapat menahan laju peningkatan stres oksidatif (radikal bebas) sehingga berfungsi dalam menjaga kerusakan tulang pada pria dewasa. Misalnya osteoarthritis dan osteoporosis yang

dapat membatasi pergerakan serta meningkatkan peluang untuk patah tulang dan komplikasi kondisi lain yang berpotensi mengancam.

Pendeknya jarak antara CEJ ke AC menandakan semakin kuatnya kondisi gigi atau makin panjangnya tulang alveolar tempat gigi tertanam (Gambar 7). Seperti pada P3 (40,13±22,64 μm) dilakukan latihan fisik maksimal awalnya dan

kemudian diberi asupan asupan vitamin E. Penambahan vitamin ini memicu bertambahnya estrogen dan menghalangi radikal bebas hasil latihan fisik

maksimal yang merusak ovarium pembentuk utama estrogen. Vitamin E sebagai antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari

pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan stres oksidatif. Peningkatan penghasilan estrogen inilah yang dapat memicu pertumbuhan tulang alveolar atau

memperpendek jarak antara AC ke CEJ. Baziad Ali (2003) menyatakan bahwa, estrogen menghambat aktivitas osteoklas dan dengan sendirinya mengambat resorpsi tulang dan secara bersamaan estrogen mengaktifkan osteoblas, sehingga

laju pergantian tulang menjadi normal. Estrogen bekerja baik secara langsung melalui reseptor yang berada di tulang maupun secara tidak langsung dengan

(59)

berperan faktor-faktor lain yang berada di bawah pengaruh estrogen. Shuid et al.,

(2001) dan Haflah et al., (2009) berpendapat bahwa, suplemen vitamin E dapat

meningkatkan struktur tulang sehingga tulang menjadi kuat. Oleh karena itu, vitamin E berpotensi digunakan sebagai bahan untuk mengobati osteoporosis atau sebagai suplemen tulang pada orang dewasa muda dalam mencegah osteoporosis

(60)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian tentang Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Kadar Hormon Estrogen dan Gambaran Histopatologi Tulang Alveolar Mencit (Mus musculus L.) Yang Melakukan Latihan Fisik

Maksimal, dapat disimpulkan;

a. Vitamin E berpengaruh terhadap kadar hormon estrogen mencit (Mus musculus L.) betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal secara

nyata (p<0,05).

b. Vitamin E berpengaruh terhadap stuktur tulang alveolar mencit (Mus musculus

L.) betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal secara nyata

(p<0,05).

5.2. Saran

a. Disarankan adanya penelitian lanjutan dengan memeriksa kadar hormon lain

seperti progesteron, LH, dan FSH.

b. Adanya penelitian pada tingkat molekuler untuk mempelajari makanisme

molekuler dari latihan fisik maksimal terhadap histologis ovarium.

c. Adanya penelitian terhadap MDA darah, GSH, enzim Q10, SOD, dan katalase.

(61)

e. Membandingkan vitamin E dengan antioksidan lain seperti vitamin C dan beta karotin dalam menekan oksidan (radikal bebas) yang diakibatkan oleh latihan

fisik maksimal pada mencit betina dewasa.

(62)

DAFTAR PUSTAKA

Barunawati, S.B., (2006) Pengaruh osteoporosis terhadap tulang alveolar.

Majalah Ceril, 9, 92-7.

Baziad, A. (2003) Menopause dan andropause. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 81.

Biomerieux® SA. (2008) Vidas et SPR sont des marques utilisees, REF 30 431, France, 1-4

Burton, G.W., Joyce, A., and Ingold, K.U., (1983) Is vitamin E the only lipid-soluble, chain-breaking antioxidant in human blood plasma and erythrocyte membrane? Arch. Biochem. Biophys., 221, 281-290.

Casaburi, R. (1992) Principles of exercise training. American College of Chest Physicians, 101, 263-267.

Caspersen, C.J., Powell, K.E., Christenson, G.M. (1985) Physical activity, exercise, and physical fitness : definitions and distinctions for health-related research. Public Health Reports, 126-31.

Chevion, S., Moran, D. S., Heled, Y., Shani, Y., Regev, G., Abbou, B., Berenshtein, E., Stadtman, E. R., Epstein, Y. (2003) Plasma antioxidant status and cell injury after severe physical exercise. Proc Natl Acad Sci U S A, 100, 5119-23.

Clarkson, P.M., and Tremblay, I. (1988) Rapid adaptation to exercise induced muscle damage. Journal of Applied Physiology, 65, 1-6.

Clarkson, P. M. and Thompson, H. S. (2000) Antioxidants: what role do they play in physical activity and health? Am J Clin Nutr, 72, 637S-46S.

Cohen, M.E., and Meyer, D.M. (1993) Effect of dietary vitamin E supplementation and rotational stress on alveolar bone loss in rice rats.

Arch, oral Biol 38(7), 7, 601-6

Dewoto, H.R.(2007) Vitamin dan mineral, di dalam Farmakologi dan Terapi, Ed.5, Jakarta, 786-7.

Evans, W. J. (2000) Vitamin E, vitamin C, and exercise. Am J Clin Nutr, 72, 647S-52S.

Federer, W. (1963) Experimental design, theory and application, New York, Mac Millan.

Fiorellini, J.P., Kirn, D.M., and Ishikawa, S.O., (2006) The tooth supporting structures, in: Newman, M.G., Takei, H.H., Klokkevold, P.R., and Carranza, F.A., (eds), Clinical Periodontology, ed 10, St Louis, Saunders Elsevier, 79-80.

Gusty dan Reni Prima (2007). Efek Pemberian Berulang Epinefrin Dosis Terapeutik Maksimal Pada Jumlah Folikel Ovarium Mencit (Mus musculus) Betina. Theses Master. Airlangga University Library. Surabaya Guyton, A. C. and Hall, J. E. (2007) Textbook of medical physiology,

(63)

Haflah NH, Jaarin K, Abdullah S, Omar M. (2009), Palm vitamin E and glucosamine sulphate in the treatment of osteoarthritis of the knee. Saudi Med J.;30(11):1432-8.

Halliwell, B. and Whiteman, M. (2004) Measuring reactive species and oxidative damage in vivo and in cell culture: how should you do it and what do the results mean? Br J Pharmacol, 142, 231-55.

Hoeber, P.B. (1950) Technique for decalcifying bone. Microscopical Techique, 271-2.

Ilyas, S. (2007) Azoospermia Dan Pemulihannya Melalui Regulasi Apoptosis Sel Spermatogenik Tikus (Rattus sp.) Pada Penyuntikan Kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) Dan Depot Medroksiprogesteron Asetat (DMPA), Disertasi Program Doktor Ilmu Biomedik Fak. Kedokteran Univ. Indonesia. Jakarta, 71.

Jackson, M. J. (2005) Reactive oxygen species and redox-regulation of skeletal muscle adaptations to exercise. Philos Trans R Soc Lond B Biol Sci, 360, 2285-91.

Jawi, I.M., Suprapta, D.N., Subawa, A.A.N. (2008) Ubi Jalar Ungu menurunkan Kadar MDA dalam Darah dan Hati Mencit setelah Aktivitas Fisik Maksimal. Jurnal Veteriner, 9(2), 65-72.

Ji.L.L. (1999). Antioxidant Enzyme Response to Exercise and Aging. Med Scient Sport Exercise, 25, 225-231.

Joenes, H., Fatma, D., Gultom, F., Djamal, N (2007) Aktivitas enzim peroksidase saliva pada wanita sebelum dan sesudah menopause. Dentika Dental Journal, 12, 10-13

Junqueira, L.C.,Carneiro, J., Kelley, R.O. (1997) Histologi dasar, Ed.8, Jakarta :EGC, 136.

Khassaf, M., Mcardle, A., Esanu, C., Vasilaki, A., Mcardle, F., Griffiths, R. D., Brodie, D. A. & Jackson, M. J. (2003) Effect of vitamin C supplements on antioxidant defence and stress proteins in human lymphocytes and skeletal muscle. J Physiol, 549, 645-52.

Kierszenbaum, AL. (2007). Histology and cell biology: an introduction to pathology. Paperback, Older Edition, 1, Book, ISBN: 0323016391. p.572 Laksmi, D.N.D.I (2010) Glutathion meningkatkan kualitas tubulus seminiferus

pada mencit yang menerima pelatihan fisik berlebih. Buletin Veteriner Udayana, 3, 719-21.

Lee, B.D., and White, S. C., (2005) Age and trabecular features of alveolar bone associated with osteoporosis, Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 100, 92-8.

Leeuwenburgh, C., Ji, L.L. (1998) Glutathione and Glutathione Ethyl Ester Supplementation of Mice Alter Glutathione Homeostasis during Exercise.

The Journal of Nutrition, 128, 2420-26.

Leeuwenburgh, C and J. W. Heinecke.( 2001) Oxidative Stress and Antioxidants in Exercise. Current Medicinal Chemistry, 8, 829-838 829

Gambar

Gambar 1.  Kerangka teori
Gambar 2. RRR-α-Tokoferol   (dari   Goodman  &  Gilman :  Dasar   Farmakologi                   Terapi, edisi 10, Jakarta: EGC, 2007)
Gambar 3.Alur biosintetis estrogen (dari Goodman & Gilman: Dasar Farmakologi                  Terapi, edisi 10, Jakarta: EGC, 2007)
Gambar 4. Bagian  rahang  manusia  dengan  gigi  di dalamnya, garis putus-putus                    menunjukkan  pemisahan  antara  tulang basal dan tulang alveolar (dari                    Ten Cate AR : Oral  histology : development,  structure, and  function,                    ed 4, St.Louis, 1994, Mosby)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian tentang Pengaruh Pemberian Tocopherol terhadap Kadar Testosteron, Jumlah Sperma dan Berat Testis Mencit Jantan Dewasa ( Mus musculus

pengaruh minuman berkarbonasi terhadap kadar ureum darah mencit.

sintetis minuman ringan terhadap kadar kreatinin darah pada mencit.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan histopatologi hati mencit (Mus musculus) yang diberikan ekstrak daun Ashitaba (Angelica keiskei).. Penelitian ini

Skripsi ini berjudul “ Efek Pemberian Bahan Pengawet Natrium Benzoat Dosis 1000 mg Terhadap Gambaran Histopatologi Hati Mencit (Mus musculus) ” telah diuji dan disahkan oleh

Skripsi berjudul Kajian Struktur Testis Setelah Pemberian Senyawa Diethylstilbestrol (DES) Sebagai Estrogen Sintetik Pada Mencit (Mus musculus L.) Strain Balb-C telah diuji

pengaruh minuman berkarbonasi terhadap kadar glukosa darah mencit. ( Mus

Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Gambaran Histologi Dan Kadar SGOT/SGPT Hati Mencit (Mus musculus L .) Jantan Yang Dipapari Tuak.. Program Magister Ilmu