• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN TEORITIS

B. Radikalisme

1. Pengertian dan Ciri Radikalisasi

Secara epitimologi radikalisasi merupakan serapan dari bahasa latin yaitu “radix”yang berarti akar. Dalam kamus politik radikal di artikan amat keras menuntut perubahan yang menyangkut undang-undang dan ketentuan pemerintah. 13

Eko Endrarmoko dalam bukunya menjelaskan arti radikal sinonim dengan fundamental, mendasar, primer, esensial, ekstrim, fanatik, keras, reaksioner, revolusioner, progresif, liberal, reformis dan seterusnya.14

Pada awalnya istilah radikalisme justru diintrodusi dari tradisi Barat, terutama yaitu dikalangan keagamaan. Kristen

13

B.N. Marbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), h. 462

14

protestan AS pada tahu 1960-an. Dalam perkembangannya, seperti yang telah disampaikan oleh Roger Graudy yang merupakan filosof dari Prancis menyatakan, bahwa radikalisme tidak berkisar hanya pada paham keagamaan, akan tetapi istilah tersebut telah menjelma dalam kehidupan sosial, politik dan budaya. Dengan demikian berarti, setiap idelogi atau pemikiran yang mempunyai dampak negatif (side effect) yang dapat membawa seseorang menjadi militan dan fanatik maka hal tersebut dapat dikategorikan dalam radikalisme.15

Radikalisme merupakan suatu paham yang menghendaki adanya perubahan, pergantian dan penjebolan suatu sistem di masyarakat sampai keakarnya. Radikalisme menginginkan adanya perubahan secara total terhadap suatu kondisi atau semua aspek kehidupan masyarakat.

Dengan demikian cakupan dari istilah radikalisme ini tergantung dari mana kita melihat dan mengkajinya, yang dalam penelitian ini yaitu penulis membatasi radikalisme dalam bentuk agama yang dalam hal ini yang dimaksud adalah agama Islam.

Pada hakikatnya paham radikalisme pada suatu agama adalah tidak merupakan suatumasalah yang menjadi momok dan menakutkan, selama masih dalam koridor pemikiran (ideologi)

15

A. Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdatul Ulama ; Masa Depan Moderatisme di Indonesia, (Jawa Timur: PWNU Jawa Timur, 2010), hal. 30-32

para pengikutnya.Akan tetapi ketika ideologi tersebut telah menggeser dan menjelma menjadi gerakan-gerakan yang menimbulkan keresahan, kekerasan dan masalah lain, yang dapat menggangu stabilitas masyarakat dan memporak porandakan tatanan yang sudah ada, maka disinilah radikalisasi agama yang timbul perlu mendapatkan perhatian bersama. Hal tersebut dikarenakan, fenomena-fenomena sebagaimana disebutkan akan dapat menyebabkan suatu konflik, dikarenakan perbedaan persepsi dan pemahaman terhadap nilai-nilai agama. Bahkan pada level yang lebih tinggi dapat memunculkan kekerasan antara dua kelompok yang berbeda paham tersebut.

Umat beragama islam, dalam kasus ini merupakan kelompok yang sering merespon globalisasi secara emosional dan reaksioner, sehingga menempatkan Islam seakan-akan bertabrakan dengan kondisi perkembangan yang selalu terjadi di tengah masyarakat. Respom reaksioner umat Islam sering kali

diperlihatkan dalam “wajah Islam” yang tidak santun, yakni

radikal dan penuh dengan kekerasan.16

Ketika agama telah memasuki ranah ideologi, maka ketika iyu agama telah menjadi bagian dari kebenaran yang harus dipertahankan dan diperjuangkan dengan berbagai cara termasuk cara-cara yang hakikatnya “melawan” teks agama itu sendiri.

16

Perusakan, pembakaran, penghancuran dan pengeboman atas nama agama yang dilakukan dengan mengucapkan takbir (Allahu Akbar) adalah sekelumit kisah tentang wajah agama dengan tafsirnya yang keras, radikal atau fundamental.17

Melihat pengertian radikalisme yang telah di deskripsikan diatas, Rubaidi yang mengadopsi istilah Martin E. Marty, mensinyalir radikalisme agama memiliki ciri sebagai berikut:18

Pertama, fundamentalisme, menurutnya hal ini dilakukan sebagai gerakan perlawanan yang banyak kasus biasanya dilakukan secara radikal, yang demikian merupakan respon dari ancaman yang mereka sinyalir dapat mengganggu eksistensi dari agama mereka, adalah seperti modernisasi, sekuralisasi, serta tatanan nilai barat lainnya. Adapun acuan yang digunaka oleh mereka adalah bersumber dari kitab suci mereka.

Dengan demikian, gerakan perlawanan yang dilakukan aktivis gerakan Islam fundamentalis sejatinya merupakan tindakan subjektif-individual, yang dibangun berdasarkan nilai-nilai kolektif yang berkembang dalam sebuah gerakan. Tindakan subjektif yang dimaksud dapat berupa tindakan nyata yang diarahkan kepada pihak tertentu atau agama lain maupun

17

Nur Syam, Tantangan Indonesia Dari Radikalisme Menuju kebangsaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), h. 132

18

tindakan yang bersifat membatin dan sangat subjektif baik berupa pengetahuan, pemahaman, maupun persepsinya.19

Kedua, penolakan terhadap hermeutika.Hal ini dapat dipahami bahwa kaum radikal menolak terhadap sikap kritis teks agama dan segala bentuk interpretasinya. Teks-teks Al-Qur’an

hanya dimaknai apa adanya. Kitab suci dimaknai adanya tanpa mempertimbangkan rasionalitas (nalar) dan sabab nuzul ayat, sehingga dalam implementasinya mereka hanya mengandalkan Al-Qur’an secara literal, sesuai dengan apa yang tertera tanpa

adanya pertimbangan akal.

Ketiga, penolakan terhadap adanya pluralisme dan relativisme.Bagi kaum radikal plurisme merupakan pemahaman yang keliru terhadap teks-teks kitab suci.Intervensi nalar tehadap Al-Qur’an dan perkembangan sosial di masyarakat yang telah

lepas dari kendali agama, serta pandangan yang tidak sejalan dengan kaum radikalis adalah potret dari bentuk relativisme

keagamaan yang ada.

Keempat, penolakan terhadap perkembangan historis dan

sosiologis.Perkembangan ini dinilai oleh kaum radikalis sebagai muara ketidaksesuaian dalam keberagamaan, mereka menilai bukan Al-Qur’an yang harus mengikuti nalar, tetapi akalah yang

19

Umi Simbullah, Konfigurasi Fundamentalisme Islam, ( Malang: UIN Malang Press, 2009), h. 22

seharusnya tunduk dan patuh terhadap semua nilai-nilai

Al-Qur’an dalam menginterpretasi nilai-nilai agama.

2. Proses dan Faktor Radikalisasi

Terbentuknya radikalisme dicapai melalui proses radikalisi dimana terdapat tiga aspek yang memiliki peranan penting selama proses tersebut berlangsung, yaitu:

a. Proses individu

Radikalisasi dipandang sebagai suatu proses pencarian identitas bagi individu (anak muda pada umumny). Bagi anak muda, pencarian identitas merupakan bagian dari proses mendefinisikan hubungan seseorang dengan dunia.

b. Dinamika interpersona

Radikalisasi memerlukam diamika interpersonal dengan aktor-aktor lain untuk merangsang dan mempengaruhi proses pemahaman atau pemikiran individu yang menjadi target radikalisme.

Narasi dan kosakata politik organisasi keagamaan yang memiliki pengaruh besar dilingkungan masyarakat dapat menjadi masukan narasi bagi kelompok-kelompok radikal.20

Terdapat beberapa faktor yang memungkinkan munculnya radikalisme di kalangan kaum muda dalam beragama, diantaranya:

a. Kesehatan mental

Menurut Michael McCullough daqn Timothy Smith dalam Zuly Qodir, kesehatan mental yang ada pada diri kaum muda sebagai posisi yang sangat rentan, sehingga kaum muda mudah mengalami guncangan jiwa (depression) yang disebabkan oleh berbagai faktor dalam hidup.21

b. Ekonomi yang timpang

Kesenjangan ekonomi yang selama ini terjadi akan dengan mudah menciptakan kemarahan sosial. Jika keadilan ekonomi ini terus berlangsung dan menimpa sebagian masyarakat kecil, dan mereka mentransformasikan kepada generasi muda maka dengan mudah dapat digerakan untuk melakukan perlawanan atas ketidakadilan ekonomi yang sistematik.22

20

Ady Sutio, “Radikalisme Keagamaan dan Terorisma”, Academia edu Ferbuari 2014,

https://www.academia.edu/7242507/Radikalisme_Keagamaan_dan_Terorisme diakses pada 25 April 2016, pukul 15.35 WIB

21

Zuly Qadir, Radikal Agama di Indonesia,…h. 91 22

c. Kondisi sosial politik yang berpengaruh pada adanya perubahan perilaku dan bentuk organisasi keagamaan.

Menurut Pieter Bayer dalam Zuly Qodir, memberikan penjelasan bahwa sekarang dan mendatang karena perubahan kebijakan politik dunia, sebagai bagian dari politik globalisasi akan menimbukan perubahan-perubahan dalam pola (bentuk) dari sikap keagamaan dan pengorganisasian keagamaan. Perubahan-perubahan masyarakat akan berpengaruh pada sikap dan pandangan keagamaan seseorang dan kelompok dalam menyikapi globalisasi yang kadang tidak menguntungkan kelompok yang lebih besar, tetapi menguntungkan kelompok kecil sebagai pemilik modal besar dan pembuat kebijakan global.23

Globalisasi politik kemudian menumbuhkan apa yang dinamakan situasi baru dalam masyarakat, menumbuhkan berbagai variasi dalam masyarakat yang kadang menjadi friksi (distinction) yang bersifat contensted antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Disinilah globalisasi politik kemudian secara nyata menumbuhkan religio-political movement, termasuk dikalangan kaum muda yang masih labil secara ekonomi dan emosi.

d. Religious commitment dari pemahaman keagamaan.

23

Kepastian-kepastian orang dan kelompok yang hidup menjadi tuntutan yang nyaris selalu hadir.Terdapat banyak alasan mengapa orang menhendaki kepastian-kepastian dalam

hidup.Ketidakpastian hidup kemudian diakhiri dengan „jalan pintas’ kepastian beragama yang dikenal dengan jihad.Disinilah

kaum muda sering kali menjadi sasaran kaum jihadis yang memaknai jihad adalah perlawanan dengan kekerasan dan perang fisik.Kaum muda dapat tergiur karna alasan religious commitment yang di kostruksika adalah sebagai pembela keadilan Tuhan dimuka bumi, dan yang membelanya adalah pahlawan agama yang mendapat tempat mulia di sisi Tuhan.24

Dokumen terkait