• Tidak ada hasil yang ditemukan

commit to user II-

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

B. Pemahaman Pasar, Wisata dan Budaya

2. Ragam Bentuk Bangunan Arsitektur Jawa

Rumah tradisional Jawa merupakan salah satu wujud Arsitektur Jawa yang sangat bernilai. Karena dalam pembangunan rumah Jawa tidak sekedar membuat sebuah tempat untuk berteduh, tetapi juga memperhatikan keseimbanganalam. Hal ini terlihat pada pola pikir masyarakat Jawa yang mempertimbangkan masa lalu, rencana saat ini dan kegiatan masa yang akan datang. Mereka berusaha mempertimbangkan berbagai tanda- tanda atau peristiwa alam misalnya penebangan pohon yang menimbulkan gejala kerusakan lingkungan di sekitarnya. Mengingat bangunan rumah jawa asli dibangunan dengan menggunakan material kayu, sehingga

commit to user

II- 15

I0208084

Ummi Salamah M.

dalam penebangan pohon dipilih dari pohon yang sudah tua, dan diganti dengan menanam pohon baru untuk keturunannya yang akan datang.

Bentuk arsritektur Jawa merujuk pada pendapat Dakung (1982), Ismunandar (1986), Hamzuri (tanpa tahun), bersumber dari Mintobudoyo, bahwa ada 5 bentuk dasar rumah Jawa yaitu Panggang Pe, Kampung, Limasan, Joglo dan Tajug . Nama- nama rumah diambil dari bentuk atap rumah tersebut.

Serta merujuk pada penelitan Drs. H.J. wibbowo, Drs. Gatot Murniatmo, Sukirman Dh. Dalam bukunya berjudul Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta jenis bangunan tradisional jawa ada 4 yaitu:

a. Panggang Pe

Panggang pe merupakan bentuk bangunan yang paling sederhana dan bentuk dasar bangunan Jawa. Bentuk pokok bangunan memepunyai tiang sebanyak 4 atau 6.

Dalam perkembangan kebutuhan bentuk panggang pe mempunyai beberapa variasi yaitu:panggang pe gedhang selirang, Gambar II.1. Panggang Pe dasar Sumber Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta,1986

commit to user

II- 16

I0208084

Ummi Salamah M.

empyak setangkeap, gedhang setangkep, ceregencet, trajumas, barengan.

b. Kampung

Bangunan lain setingkat lebih sempurna dari panggang pe adalah bentuk bangunan yang di sebut Kampung. Bangunan pokonya terdiri dari saka- saka yang berjumlah 4,6, atau 8 dan bisa seterusnya. Bentuk rumah kampong ini susunan ruangnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian depan, tengah dan belakang.

Dalam perkembangannya bentuk kapung mempunyai beberapa variasi yaitu kampung pacul gowang, srotong, dara gepak, klabang nyander, lambang teplok, lambang teplok semar tinandhu, gajah njerum, ceregncet, semar pinondhong.

c. Limasan

Bentuk bangunan ini merupakan perkembangan kelanjutan bentuk bangunan sebelumnya. Kata limosan ini diambil dari kata Lima- lasan, yakni perhitungan sederhana penggunaan molo 3m dan blandar 5m, atau molo 10m blandar 15m dan seterusnya.

Gambar II.2. Bentuk Rumah kampung (kiri) & skema ruang (kanan) Sumber Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta,1986

commit to user

II- 17

I0208084

Ummi Salamah M.

Susunan ruang limasan dibagi menjadi 3 bagian yaitu ruang depan, tengah dan belakang. Hampir sama dengan kampung, tetapi ruangan tengah lebih luas daripada ruang depan dan belakang.

d. Joglo

Bentuk bangunan yang lebih sempurna dari bangunan sebelumnya. Ciri utama bangunan Joglo adalah menggunakan blandar bersusun (tumpang sari) yang di sangga dengan 4 tiang pokok yang terletak di tengah yang disebut Saka Guru.

Gambar II.4. Skema ruang bangunan kampung Sumber Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta,1986

Gambar II.3. Bentuk dasar Rumah Limasan

Sumber Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta,1986

Gambar II.5. Bentuk Rumah Joglo

commit to user

II- 18

I0208084

Ummi Salamah M.

Bentuk bangunan dengan ukuran yang lebih besar, memungkinkan untuk penambahan ruang. Sehingga susunan ruang rumah Joglo lebih banyak dibandingkan rumah bentuk kampung dan limasan. Selain itu, rumah joglo para bangsawan lebih lengkap dibandingkan orang biasa

Keterangan:

1. Regol, merupakan pintu gerbang masuk terletak di sebelah kanan bangunan, tapi ada kalanya dibuat dua regol yang dibangun di sebelah kanan dan kiri depan rumah (berimbang).(Arsitektur Tradisional DIY,DPdK,1986:65)

2. Rana, seperti pagar penghalang yang diletakkan di belakang regol (Arsitektur Tradisional DIY,DPdK,1986:65)

3. Sumur terletak di sebelah barat daya (ArsiTradisional DIY,DPdK,1986:65) 4. Langgar, merupakan tempat ibadah. (Arsitektur Tradisional DIY,1986:65) 5. Kuncung, merupakan tempat pemberhentian kendaraan dibangun

menjorok di depan pendhapa. (Arsitektur Tradisional DIY,DPdK,1986:64) 6. Kandang kuda, tempat kuda terletak disebelah kiri pendhapa sedikit

kebelakang. (Arsitektur Tradisional DIY,DPdK,1986:64)

7. Pendapa, merupakan ruang pertemuan, ruang tamu sedangkan pendapa milik bangsawan kebanyakan berfungsi pula untuk pagelaran Gambar II.6. Skema ruang Sumber Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta,1986

commit to user

II- 19

I0208084

Ummi Salamah M.

kesenian tradisional seperti tarian. Pendhpa dalam pandangan orang Jawa difungsikan untuk menerima tamu resmi, pertemuan, pesta maupun untuk pertunjukan dan juga tempat gamelan tradisional ditempatkan (Prijotomo, 1992: 102).

Para undangan yang menyaksikan pagelaran itu berada di sebelah kiri dan kanan pendhapa, menghadap ke arah yang berlawanan dengan arah bangunan. Sedangkan para keluarga duduk dalam ruangan pendhapa menghadap ke arah bangunan, dan ruang depan untuk iringan musik.(Arsitektur Tradisional DIY,DPdK,1986:64)

8. Longkangan, pada rumah bentuk joglo milik bangsawan ada yang menggunakan batas pemisah antara pendapa dengan pringgitan, batas tersebut berupa sebuah gang kecil yang disebut longkangan dipergunakan untuk jalan kendaraan keluarga. (Arsitektur Tradisional DIY,DPdK,1986:64)

9. Seketheng, terletak diantara dalem dengan masing-masing gandhok berupa pintu gerbang kecil sebagai pembatas antara halaman luar dengan dhalem (omah jero). (Arsitektur Tradisional DIY,DPdK,1986:64) 10.Pringgitan, ruang tengah atau ruang untuk pementasan wayang

(ringgit). Ruang pringgitan merupakan pengantar memasuki dalem ageng yang menjadi pusat rumah Jawa. Berdasar fungsi ini struktur

1= Tempat keluarga 2= Tempat tamu kiri 3= Tempat tamu kanan 4= Tempat iringan music 5= Podium berlantai tinggi 6= Kuncung

Gambar II.7. Skema ruang pendhapa Sumber Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta,1986

commit to user

II- 20

I0208084

Ummi Salamah M.

ruang pringgitan didesain sebagai tempat yang semiprivat, yang tentu berbeda dengan desain pendhapa yang bersifat publik/ umum (Bandingkan Caillois, 1959 ).

11.Dalem (omah jero) sebagai ruang keluarga.

12. Senthong kiwa (kamar kiri), untuk golongan petani senthong kiri berfungsi untuk menyimpan senjata atau barang-barang keramat. (Arsitektur Tradisional DIY,DPdK,1986:62)

13. Senthong tengah (kamar tengah), untuk golongan petani senthong tengan unutk menyimpan benih atau bibit, akar-akaran dan gabah. Terkadang dipakai pula untuk mengheningkan cipta dan berdoa kepada Tuhan. Disamping itu juga dipergunakan sebagai tempat pemujaan kepada Dewi Sri atau Dewi Kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga. Oleh karena iru senthong tengah disebut pasren atau petanen.senthong tersebut diberi batas dengan kain yang disebut langse atau dari gedheg berhias anyaman yang disebut patang- aring.Sedangkan milik bangsawan, senthong tengah ini berisi bermacam-macam benda-benda lambang (perlengkapan) yang mempunyai kesatuan arti sakral (suci). Macam-macam benda lambang ini berbeda dengan benda-benda lambang petani. Namun keduanya mempunyai arti lambang kesuburan, kebahagiaan rumah tangga, personifikasinya adalah Dewi Sri. (Arsitektur Tradisional DIY,DPdK,1986:63)

14. Senthong tengen, baik golongan bangsawan ataupun petani senthong tengen untuk tempat tidur. (Arsitektur Tradisional DIY,DPdK,1986:63)

commit to user

II- 21

I0208084

Ummi Salamah M.

15. Gandhok, berupa dua buah ruang samping yang memanjang sejajar dengan dalem, dipergunakan untuk tempat tinggal keluarga. Gandhok ini digunakan untuk kamar anak-anak yang sudah menginjak dewasa. Mereka dipisahkan menurut jenis kelamin. Anak putri yang sudah dewasa ditempatkan pada gandhok kiri sedangkan yang laki-laki di gandhok kanan. (Bahasa Dan Seni, Tahun 39, Nomor 1, Februari 2011:73) 16. Dapur posisinya sebelah timur dalem atau belakang gandhok kiri.

Dapur digunakan untuk meramu bumbu, memasak, dan tempat sisa makanan atau sayuran. Dalam menerima tamu wanita dari tetangga dekat dan saudara biasanya juga di ruang dapur. Maka ruang ini lebih sebagai pusat kegiatan para wanita atau fungsi domestik merupakan tempat untuk memasak. Selain dapur terdapat gadri terdapat ruang di belakang senthong namanya gadri. Ruang ini digunakan sebagai tempat makan keluarga. Bagian belakang biasanya terdapat pintu. Pintu bagian belakang dalam rumah Jawa memiliki tafsiran sebagai sarana saling komunikasi, berhubungan sosial, dan fungsi menghargai. (Bahasa Dan Seni, Tahun 39, Nomor 1, Februari 2011:73) Namun pada susunan tataruang di atas dapur menjadi satu dengan gadri.

e. Tajug

Rumah ibadah sepeti masjid kebanyakan menggunakan bentuk bangunan tajug. Bangunan tajug ini hamper samadengan bangunan joglo, bedanya bentuk atap tajug tidak mempunyai molo, jadi atapnya

commit to user

II- 22

I0208084

Ummi Salamah M.

tidak brunjung tapi lancip atau runcing. Atap dibuat demikian diartikan sebagai lambang keabadian Tuhan dan keesaan Tuhan.

Selain lima bangunan diatas terdapat bangunan lain yang biasanya ada di masyarakat Jawa:

a. Rumah tempat musyawarah

Rumah tempat musyawarah kebanyakan berbentuk Joglo dan limasan, sedangkan bentuk kampung tidak ada karena dirasa terlalu kecil.

b. Rumah tempat menyimpan.

Dalam rumah jawa biasanya ada tempat penyimpanan padi yang disebut lumbung dan terdapat kandang sapi.

a= Lantai tengah b= lantai pananggap c= serambi untuk tamu kehormatan

d= serambi untuk hadirin Gambar II.8. Bentuk Rumah Tajug Sumber Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta,1986

Gambar II.9. Bentuk ruang tempat musyawarah Sumber Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta,1986

Gambar II.10. Bentuk lumbung (kiri)dan kandang sapi (kanan) Sumber Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta,1986

commit to user

II- 23

I0208084

Ummi Salamah M.

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa bangunan Jawa dibedakan berdasarkan bentuk atapnya. Atap merupakan peneduh atau penutup suatu ruang, semakin luas kebutuhan ruang maka semakin luas atap yang digunakan. Begitu pula pada bangunan arsitektur Jawa semakin luas suatu ruang maka semakin kompleks bentuk atapnya. Hal itu menunjukkan bahwa orang dahulu juga memahami system sturktur bangunan. Berikut hirarki kerumitan bangunan Jawa.

Joglo

Tajug

Limasa

Kampung

Panggang

Gambar II.11. Hirarki kerumitan bangunan Jawa Sumber Analisa Pribadi

commit to user

II- 24

I0208084

Ummi Salamah M.

Jadi juga dapat disimpulkan bahwa semakin banyak kegiatan yang di wadahi maka semakin besar ruang yang dibutuhkan dengan kata lain ruang yang besaran kecil seperti kios kemungkinan akan mengambil bentuk panggang pe dan seterusnya. Selain berdasarkan besaran ruang pemilihan bentuk bangunan juga diambil dari fungsi ruang bangunan jawa seperti:Masjid -> atap tajug, Ruang pagelaran seni -> pendhapa -> Joglo. D. Relevansi Pasar Wisata Budaya dengan Arsitektur Jawa

Berdasarkan tinjauan teori arsitektur jawa terdapat 4 aspek yang mencerminkan arsitektur jawa, yaitu:

1. Tataruang dan orientasi bangunan

Dalam Arsitektur Jawa tataruang yang ada berupa rumah tinggal dengan orientasi bangunan utara-selatan. Sedangkan untuk bangunan umum seperti pasar tidak ada tataruang khusus. Hal tersebut dapat dilihat dari diskripsi buku karangan A. Dewey, Peasant Marketing in Jawa (1962) yang menggambarkan poses terjadinya pasar di Jawa. Namun masyarakat Jawa sudah mengenal penzoningan tempat yang disebut Segara-Gunung dimana hasil bumi dari laut berada pada satu zona,tidak bercampur dengan hasil bumi dari gunung.

2. Bentuk bangunan

Bentuk pokok bangunan Jawa terdapat lima yaitu Panggang Pe, Limasan, Kampung, Joglo dan Tajug.

commit to user

II- 25

I0208084

Ummi Salamah M.

3. Material bangunan

Bangunan jawa pada umumnya menggunakan material kayu, namun beberapa bangunan juga ditemukan menggunakan material bambu.

4. Struktur bangunan

Struktur bangunan jawa menggunakan struktur kayu dengan gaya beban bidang sehingga dapat bertahan terhadap gaya horisontal. Sistem ini sangat berbeda dengan struktur kayu orang barat dimana gaya yang bekerja merupaka gaya vertikal. Sehingga konstruksi kayu bangunan Jawa dalam posisi tidur, sedangkan konstruksi kayu orang barat tegak.

Berdasarkan kajian teori arsitektur jawa dan pemahaman pasar di atas maka aplikasi arsitektur jawa dapat diterapkan pada Pasar Wisata Budaya pada setiap aspek berikut:

1. Tata ruang dan orientasi bangunan

Tidak adanya tataruang khusus tentang arsitektur jawa sebuah pasar, serta konsep Segara-Gunung yang kurang sesuai dengan produk yang dijual pada Pasar Wisata Budaya nantinya. Maka penulis mencoba

tegak tidur

Gambar II.12. Struktur bangunan Jawa(kiri)& struktur barat (kanan) Sumber Analisa Pribadi

commit to user

II- 26

I0208084

Ummi Salamah M.

mentransformasikan susunan tataruang rumah jawa pada Pasar Wisata Budaya sebagai wujud melestarikan budaya.

Arsitektur jawa mempunyai tata ruang yang khas, sebuah rumah tinggal Jawa setidak-tidaknya terdiri dari satu unit dasar yaitu omah yang terdiri dari dua bagian, bagian dalam terdiri dari deretan sentong tengah, sentong kiri, sentong kanan dan ruang terbuka memanjang di depan deretan sentong yang disebut dalem sedangkan bagian luar disebut emperan seperti dijelaskan dalam gambar 3.

Pola tata ruang tersebut akan ditransformasikan pada Pasar Wisata Budaya yang direncanakan sesuai dengan kegiatan yang ada pada pasar. Sehingga penarapan tataruang rumah Jawa pada Pasar Wisata Budaya lebih ditekankan pada makna atau nilainya, seperti

-Pendapa merupakan tempat terbuka untuk umum ditransformasikan pada fungsi ruang sebagai ruang penerima,

Umum

Semi privat Privat

Gambar II.13. Denah Rumah Jawa Sumber Analisa Pribadi

commit to user

II- 27

I0208084

Ummi Salamah M.

-Gandok sebagai ruang tambahan dan zona semi privat alan

ditransformasikan kedalam fungsi ruang dengan kegiatan yang lebih bermakna seperti retail produk budaya besrta proses pembuatannya.

- Senthong sebagai ruang privat yang dikenal dengan tempat sacral maka dimaknai sesuai konteks kekiniaan (kegiatan Pasar Wisata Budaya) akan ditransformasikan sebagai ruang pamer barang antik.

Karena tataruang Pasar Wisata Budaya bercermin pada rumah Jawa maka orientasi banguanan juga sesuai rumah Jawa pada umumnya yaitu berorientasi utara-selatan.

2. Bentuk bangunan

Bentuk bangunan pada Pasar Wisata Budaya tidak lepas dari tataruang rumah Jawa, seperti:

Pendhapa menggunakan bentuk atap pendhapa, Gandhok mengggunakan bentuk atap panggangpe, Senthong menggunakan bentuk atap kampung

Karena pasar wisata budaya yang direncanakan berupa masa jamak maka dimungkinkan untuk menggunakan bentuk atap Jawa lainnya sesuai kegiatan yang diwadahi.

commit to user

II- 28

I0208084

Ummi Salamah M.

3. Tampilan bangunan berdasarkan material

Material yang digunakan berupa kayu sertap penggunaan batu bata espos untuk sebagai eksplorasi bentuk masa kini sehingga memperkuat karakter konsep kedekatan dengan alam pada rumah Jawa.

4. Struktur bangunan

Struktur banguana pasar sesuai dengan bentuk banguanan Jawa yang diterapkan dengan susunan strukur bangunan:

- Upper sruktur berupa atap dengan konstruksi kayu

- Sub stuktur berupa tiang atau disebut saka pada bangunan Jawa - Supper sturktur berupa umpak

Berikut kerangka pikir relecansi antara Pasar Wisata Budaya dengan Arsitektur Jawa:

atap

saka umpak Gambar II.14. Struktur Rumah Jawa

commit to user

II- 29

I0208084

Ummi Salamah M.