• Tidak ada hasil yang ditemukan

RANAH AFEKTIF

Dalam dokumen KOMPETENSI KEPRIBADIAN GURU Upaya Mengem (Halaman 39-55)

Sekolah merupakan moral community yang berperan penting dalam pembinaan moral anak didik, disamping tempat pemberian pengetahuan, pengembangan bakat dan kecerdasan. Demikian pula Madrasah sebagai sekolah bercirikan Islam harus mampu berperan sebagi lapangan sosial bagi anak-anak, tempat pertumbuhan mental, moral dan sosial serta segala aspek kepribadian dapat berjalan dengan baik.36

Dengan demikian maka sekolah atau Madrasah selain bertanggungjawab mengembang pengetahuan dan keterampilan peserta didik, juga harus dapat membentik sikap dan karakter yang baik bagi setiap peserta didik. Terlebih lagi kepada lembaga pendidikan Islam yang mempunyai beban moral yang lebih dibandingkan dengan lembaga pendidikan umum.

1. Pengertian Ranah Afektif

Afektif didalam kamus psikologi di defenisikan sebagai perasaan yang sangat kuat, emosi, suasana hati atau tempramen.37 Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Sikap adalah salah satu istilah bidang psikologi yang berhubungan dengan persepsi dan tingkah laku. Istilah sikap dalam bahasa inggris disebut attitude.

36Aliyah A. Rasyid, Pengembangan Model Penilaian Akhlak Peserta

Didik Madrasah Aliyah, dalam Jurnal Penelitaian dan Evaluasi

Pendidikan, Tahun 17, Nomor 2, 2013. H. 348.

37J.P Caplin, Kamus Lengkap Psikologi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 13.

34

Attitude adalah suatu cara bereaksi terhadap sesuatu perangsang. Suatu kecenderungan untuk bereaksi terhadap suatu perangsang atau situasi yang dihadapi.38 Secara sederhana sikap didefenisikan oleh Asmiar Bahar sebagai kumpulan hasil evaluasi seseorang terhadap objek, orang atau masalah tertentu.39

Ranah afektif lebih berorientasi pada rasa atau

kesadaran. Banyak dikalangan para ahli

menginterpretasikan ranah afektif menjadi sikap, nilai sikap yang diartikan tentu akan berpengaruh terhadap tujuan instruksional yang akan ditetapkan dalam tujuan pembelajaran. Adapun ciri-ciri dari ranah afektif ini adalah lebih mengorientasikan pada nilai-nilai, norma-norma untuk diinternalisasikan dalam sistem kerja pribadi seseorang.40

Ada beberpa jenis kategori ranah afektif sebagai hasil belajar. Kategorinya dimulai dari tingkat yang dasar atau sederhana sampai tingkat yang kompleks:

a. Reciving/attending, yakni semacam kepekaan dalam menerima rangsangan (stimulasi) dari luar yang datang kepada siswa dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Dalam tipe ini termasuk

kesadaran, keinginan untuk menerima stimulus, control, dan seleksi gejala atau rangsagan dari luar.

38Asrul, et.al. Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Citapustaka Media, 2014), h. 102.

39Asmiar Bahar, Penilaian Ranah Afektif Pembelajaran PKN Melalui VCT Games, dalam Jurnal Pembelajaran, vol. XXX, , (. .

35

b. Responding atau jawaban, yakni reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap stimulasi yang datang dari luar. Hal ini mencakup ketepatan reaksi, perasaan, kepuasan dalam menjawab

stimulus dari luar yang datang kepada dirinya. c. Valuing atau penilaian berkenaan dengan nilai dan

kepercayaan terhadap gejal atau stimulus tadi. Dalam evaluasi ini termasuk didalamnya kesediaan menerima nilai, latar belakang atau pengalaman untuk menerima nilai dan kesepakatan terhadap nilai tersebut.

d. Organisasi, yakni pengembangan dari nilai kedalam satu sistem organisasi, termasuk hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan, dan

prioritas nilai yang telah dimilikinya. Yang termasuk kedalam organisasi adalah konsep tentang nilai, organisasi sistem nilai, dan lain-lain.

e. Karakteristik nilai atau internalisasi nilai, yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingka lakunya. Ke dalamnya termasuk keseluruhan nilai dan karakteristiknya.41

Taksonomi ranah afektif menurut Bloom dan kawan-kawan sebagai mana yang dikutip oleh Muchson dan Samsuri meliputi lima jenjang atau tingkatan, yang secara hirarkis menunjukkan kedalaman afeksi, mulai dari tingkatan yang paling dangkal hingga tingkatan yang paling dalam. Kelima jenjang atau tingkatan itu adalah:

1. Penerimaan (receiving)

41WS. Winkel, Psikologi Pengajaran (Yogyakarta: Media Abadi, 2004), h. 30.

36

a. Kesadaran (awareness)

b. Kesediaan untuk menerima (willingness to receive)

c. Perahatian terpilih atau terkontrol (controlled or selected attention)

Pada jenjang afektif ini, seseorang menunjukkan kepekaan terhadap stimulus dan kesediaan untuk memperhatikan stimulus itu. Kesediaan itu diekspresikan dalam memperhatikan sesuatu, misalnya memperhatikan penjelasan guru, memandangi peta yang terpampang didinding kelas dan lain-lain.

2. Respon (responding)

a. Tak keberatan merespon (acquiescence in responding)

b. Kesediaan merespon (willingness to respond) c. Kepuasan untuk merespon (statisfaction in response)

Pada jenjang afektif ini, sesorang menunjukkan kerelaan untuk memperhatikan secara sungguh-sungguh dan berpartisipasi dalam suatu kegiatan, misalnya menunjukkan minat yang tinggi terhadap upacara bendera, tugas-tugas yang harus dikerjakan dan lain-lain.

3. Penerimaan nilai (valuing)

a. Penerimaan terhadap suatu nilai (acceptance of a value)

b. Pilihan terhadap suatu nilai (preference of a value)

37

Pada jenjang afektif ini, seseorang menunjukkan adanya proses internalisasi nilai dalam dirinya, yang ditunjukkan dengan sikap menerima atau menolak serta tindakan yang sesuai dengan sikapnya itu. Pada jenjang ini telah berlangsung proses pembentukan sikap, misalnya dengan mengungkapkan apresiasinya terhadap suatu karya seni, hak-hak asasi manusia dan lain-lain.perkataan dan perbuatan itu tidak sekali dilakukan tetapi diulang kembali pada kesempatan lain.

4. Pengorganisasian (organization)

a. Konseptualisasi nilai (conceptualization of a value)

b. Pengorganisasian suatu sistem nilai (organization of a value system)

Pada jenjang afektif ini, seseorang menunjukkan kemampuan untuk membentuk sistem nilai sebagai pedoman atau pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai yang dijunjung tinggi ditempatkan dalam skalaNilai-nilai, hierarki nilai, mana yang sangat penting dan harus diperjuangkan, cukup penting atau tidak begitu penting dan seterusnya. Kemampuan ini diditunjukkan dalam menata sistem nilai, misalnya memiliki pandangan hidup, cita-cita masa depan, minat terhadap satu kegiatan olah ragaatau seni dan lain-lain.

5. Mempribadikan watak berdasar suatu sistem nilai (characterization by a value complex)

a. Perangkat yang tergeneralisasi (generalizet set)

b. Pembentukankarakter/watak (characterization)

38

Pada jenjang afektif ini, seseorang menunjukkan kemampuan untuk menghayati nilai-nilai kehidupan sedemikian rupa, sehingga menjadi bagian hidup atau karakter pribadinya, disertai keberanian untuk memikul tanggungjawab dengan segala konsekwensinya. Kemampuan itu misalnya ditunjukkan dengan ketaatan dalam beribadah, ketekunan dalam belajar, atau disiplin dalam bekerja, loyal terhadap partai dan lain-lain.42

Keseluruhan jenjang tersebut, dari yang terrendah hingga yang tertinggi, menggambarkan suatu kontiniusitas dari ranah afektif. Kelima jenjang tersebut bersifat hirarkis yang menunjukkan intensitas atau kedalaman afeksi (perasaan) seseorang.

Belajar afektif adalah kegiatan belajar untuk menghayati nilai dari objek-objek yang dihadapi melalui alam perasaan yang secara normatif bersifat positif. Melalui alam perasaan yang terbimbinglah seseorang dapat langsung menghayati apakah suatu objek menjadi berharga atau bernilai baginya. Bila objek itu dihayati sebagai sesuatu yang berharga, akan timbullah perasaan senang dan cinta. Sebaliknya bila objek itu dihayati sebagi sesuatu yang tidak berharga, akan timbullah perasaan tidak senang, benci dan akan mengambil sikap menjadi menjauh. Mengapa seseorang itu tidak serius dan antusias melaksanakan ibada shalat umpamanya, maka jawabannya adalah bahwa alam perasaan seseorang itu memang tidak menyenangi dan mencintai shalat. Jadi tugas pendidikan pada ranah afektif ini adalah menginternalisasikan nilai-nilai yang bersifat positif kepada siswa melalui pembimbingan alam prasaannya sehingga ia

42Muchson dan Samsuri, Dasar-dasar Pendidikan Moral

39

dapat menerima sesuatu nilai yang dapat menjadi penimbang tentang baik-buruk yang akhirnya akan berpengaruh pada pembntukn sikap. 43

Dalam sisitem pendidikan Islam ranah afektif menempati posisi kunci dalam pembentukan akhlak. Hal itu terutama karena pendidikan Islam senagaimana banyak diulas para pakar merupakan suatu proses penggalian, pendayagunaan dan penggunaan fikir, zikir dan kreasi manusia, melalui pengajaran, bimbingan, latihan dan pengabdian yang berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Oleh karena itu tujuan pendidikan Islam terkait erat dengan penginternalisasikan nilai-nilai Islam menuju terbentuknya perilaku yang berdasarkan kepada akhlakul karimah.44

Pentingnya penginternalisasian nilai ini pula lah yang memotivasi Syed Naquib al-Attas sebagai mana yang dikutip didalam buku Rosnita, ia lebih setuju menggunakan istilah ta’dib untuk pengertian pendidikan Islam daripada menggunakan istilah tarbiyah. Dari pengertian ta’dib tersebut bahwa proses pendidikan merupakan transfor-masi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kepada peserta didik secara berangsur-angsur yang diaktualisasikan melalui perilaku dalam kehidupan sehari-hari yaitu kedudukan dan kondisinya dalam kaitannya dengan diri, keluarga, kelompok, komunitas dan masyarakatnya serta kepada disiplin pribadinya.45

43Rosnita, Evaluasi Pendidikan (Bandung: Citapustaka Media, 2007), h. 63.

44Ibid., h. 64.

40

2. Pengembangan Ranah Afektif

Pada dasarnya perkembangan ranah afektif sama ragamnya dengan perkembangan kognitif, maksudnya tingkat perkembangan ranah afektif seseorang amatlah beragam.46 Perkembangan afektif menurut Erickson sebagaimana yang dikutip oleh Sutarjo Adisusilo dibagi menjadi delapan fase.47 Sebagaimana yang termuat dalam tabel berikut ini:

No Fase Karakteristik

11 Trust

(kepercayaan)

Pada usia 0-1 tahun anak membangun kepercayaan pada hal-hal yang ada di

sekitarnya berdasarkan pengalaman

indrawinya. Perasaan percaya ini akan terbawa dalam perkembangan selanjutnya. 22 Autonomy

(otonomi)

Pada usia 1-3 tahun, dimensi otonomi anak timbul karena

kemampuan motoris dan mental mulai berkembang, namun pada usia ini perasaan masih amat labil,

46Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai Karakter (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), h. 37.

41 berubah-ubah tergantung lingkunagnnya. 33 Initiative (inisiatif)

Pada usia 5-3 tahun anak sudah mulai menguasai badan dan gerakannya, sosialitas mulai berkembang, daya imajinatif dan inisiatif mulai tumbuh. 44 Productivity

(produktivitas)

Pada usia 6-11 tahun, anak mulai mengembangkan sikap ingin menghasilkan sesuatu sesuai keinginannya. 55 Identity (identitas )

Pada usia 12-18 tahun, ketika kematangan fisik dan mental mulai sempurna, maka dimensi interpersonal dan intrapersonal mulai muncul. 66 Imitacy (keakraban)

Pada usia 19-25 tahun, kemampuan berbagi rasa dan memerhatikan orang lain mulai

berkembang. 77 Generativiy

(generasi berikut)

Pada usia 25-45 tahun, orangmulai

memikirkan orang-orang lain diluar

42

keluarganya sendiri, memikirkan generasi yang akan datang, serta masyarakatnya.

88 Integrity (integritas)

Pada usia 45 keatas, orang memiliki jati dirinya yang penuh, menemukan integritas diri.

Tabel.1 Perkembangan afektif menurut Erickson

Sementara itu dalam versi lain menurut Dupont sebagaimana yang dikutip oleh Darmiyati Zuchdi, tahap perkembangan afektif dapat digambarkan sebagai berikut:

NO Tahap Karakteristik

1 Impersonal Pribadi yang tidak jelas (afek menyebar)

2 heteronomi Pribadi yang jelas (afek unilateral) 3 Antarpribadi Pribadi teman sejawat (afek

mutural) 4 Psikologis

personal

Afek yang dapat dibedakan satu sama lain (afek interaktif yang kompleks)

5 Otonomi Pusat afek disekitar konsep

abstrak tentang otonomi diri dan orang lain (afek yang didominasi oleh sifat otonomi)

6 Integritas Puat afek disekitar konsep abstrak integritas diri dan orang lain

43

Afeksi dipandang sebagai kekuatan perilaku yang energik, dan transformasi afeksi dianggap paralel dengan transformasi kognisi. Penekanan perkembangan afektif adalah pada bagaimana perasaan anak, bukan pada apa yang dirasakan anak. Dengan kata lain, yang menjadi pertanyaan utama adalah bagaimana perasaan atau emosi berubah atau bagaimana afeksi di transformasikan dalam perkem-bangan.48

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa ranah afektif seseorang mengalami perkembangan seperti halnya dalam ranah kognitif, namun perkembangan kedua rahah tersebut tidaklah sejajar. Perkembangan ranah afektif pada seseorang tidak secara otomatis sejalan dengan pertam-bahan usia, tetapi amat tergantung pada faktor eksternal atau internal yang mempengaruhinya. Pendidikan dan pengajaran merupakan salah satu wahana yang dapat membantu perkembangan ranah afektif peserta didik.

Oleh karena itu guru disarankan agar memiliki kompetensi afektif sehingga dapat berperan positif dalam pengembangan karakteristik afektif pada diri anak didik. Berbagai kompetensi afektif yang harus dimiliki oleh guru adalah sebagai berikut:

1. Menunjukkan ketajaman perhatian

a. Menyadari situasi kelas

b. Menanggapi murid dan situasi dengan mendengarkan, berbicara dan bertindak. 2. Menunjukkan sikap positif

a. Senang bekerja dengan murid

48Darmiyati Zuchdi, Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan yang Manusiawi (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 27.

44

b. Mengharapkan agar murid-murid berhasil

c. Mengutarakan secara otomatis tentang etos kerja, motivasi belajar dan profesinya sebagai pendidik

3. Menunjukkan keramahtamahan dan kegembiraan

a. Sering senyum, menyalami murid ketika berjumpa

b. Menyenangkan dan bijaksana

c. Akrab dengan murid

4. Dapat menjaga rahasia yaitu: Menyimpan (tidak menyebarkan) informasi tentang murid

5. Mempraktekkan kerjasama

a. Secra sukarela berpartisipasi dalam kegiatan murid

b. Secara sukarela memberikan pertolongan kepada murid

c. Menunjukkan kemampuan memberi dan menerima di kelas

6. Menunjukkan empati dan memahami kebutuhan murid

a. Sensitif, penuh perhatian terhadap kebutuhan murid

b. Menunjukkan kemampuan berada di posisi orang lain

7. Menunjukkan antusiasme

a. Menunjukkan tanggung jawab terhadap murid tentang tugas mengajar

b. Membangkitkan kesenangan akan konsep-konsep yang dipelajari di kelas

8. Mengakui kesalahan

a. Mengakui ketidakmampuan menjawab pertanyaan, melakukan koreksi terhadap kesalahan sendiri

45

b. Meminta dan menggunakan kritik yang konstruktif.

9. Menunjukkan keadilan

a. Menerima dan mengatasi isu-isu kontroversial tanpa memihak

b. Menolong murid melihat masalah dari berbagai sisi

c. Memberikan waktu yang seimbang untuk memperoleh pandangan yang berbeda. 10. Menunjukkan kejujuran dan keikhlasan (ketulusan

hati) yaitu: Menunjukkan perasaan yang sebenarnya, konsisten dan tampil sebagaimana adanya.

11. Menunjukkan sikap rajin dan penuh inisiatif

a. Merencanakan dan menyusun pembelajaran sebelum batas akhir

b. Mengerjakan tugas lebih dari yang seharusnya dikerjakan

12. Menunjukkan sikap keterbukan dan menerima ide baru.

a. Mendengarkan ide-ide baru dari murid dan tampak senang mendengarnya

b. Mengundang kritik, diskusi dan pertanyaan 13. Menunjukkan pandangan yang optimis

14. Menunjukkan kesadaran akan hargadiri positif dan stabilitas emosi

a. Memandang dirinya berharga

b. Tampak dapat melakukan control diri, menjaga keseimbangan emosi

15. Menunjukkan sifat humor 16. Menunjukkan kesunguhan 17. Menunjukkan sifat bijaksana

46 19. Menunjukkan pngaruh positif

20. Menunjukkan kemampuan memimpin 21. Responsip terhadap kebutuhan individual.49

Demikian lah beberapa kriteria kompetensi afektif guru yang diperlukan dalam rangka mengembangkan afektif siswa. Jadi untuk mendapatkan siswa yang mempunyai afeksi yang baik, maka gurunya terlebih dahulu harus mempunyai kompetensi afektif yang baik juga.

Selain itu menurut Prof. Dr. Haidar Putra Daulay, MA dalam salah satu makalahnya disampaikan bahwa untuk mengembangkan afektif siswa, sekolah juga memiliki peran yang sangat penting diantaranya adalah:

1. Mengadakan imbingan kehidupan beragama 2. Uswatun hasanah

3. Melaksanakan malam ibadah 4. Pesantren kilat

5. Membangun laboratorium keagamaan 6. Menciptakan iklim religious

7. Menjalin hubungan sekolah dengan rumah tangga peserta didik

8. Mengadakan field visit (kunjungan lapangan) 9. Mengadakan peringatan hari besar islam 10. Mengadakan kemah wisata religius 11. Membangun budaya sekolah yang positif.

Dengan demikian Untuk meningkatkan ranah afektif siswa ternyata banyak faktor yang menentukannya. Tidak cukup hanya kompetensi guru saja, akan tetapi sekolah dan lingkungan masyarakat juga ikut berperan.

47

Karena itu dibutuhkan sinergi yang baik antara keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat.

49

Dalam dokumen KOMPETENSI KEPRIBADIAN GURU Upaya Mengem (Halaman 39-55)

Dokumen terkait