• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Saya adalah putra dua peradaban yang di waktu tertentu dalam sejarah telah melangsungkan sebuah perkawinan bahagia. Yang pertama telah berusia tujuh ribu tahun, peradaban Firaun; yang kedua, seribu empat ratus tahun usianya, peradaban Islam… Nasib sayalah, Bapak dan Ibu sekalian, terlahir dalam pangkuan dua peradaban ini, menghisap susu mereka, hidup dengan seni dan sastra mereka. Kemudian saya

meminum madu dari kebudayaan Anda yang kaya dan mempesona.”

Asal Usul dan Ranah Pertaruhan Sastra

Mashuri

CUBITAN

Pidato Naguib Mahfouz, pengarang Mesir, ketika memenangkan Nobel Sastra 1988 itu tidak hanya menegaskan tentang asal sebuah ilham tetapi juga asal-usul, identitas, juga sebuah kesadaran. Sebuah sikap ‘mawas diri’ yang telah menguak dan memberi notasi ihwal peneguhan eksistensi. Pidato itu lebih dari sekedar pengukuhan pertanggungjawaban kreatif tapi juga kehadiran sebuah diri secara utuh di depan Dunia.

Perihal genealogi, asal-usul, dan paran-sangkan, menjadi demikian penting ketika arah peradaban tak lagi bisa diprediksi dengan jernih dan seakan sengkarut seperti saat ini. Juga ketika gagasan ‘perbenturan peradaban’ tidak sekedar berhenti pada taraf ide. Juga, ketika Barat tak lagi sebagai ‘sumbu’ penentu, dan lewat Oktavio Paz, kita tahu, Barat berada di akhir Waktu…

Bila Gayatri Spivak menganggap bahwa klaim yang kelewat ekstrim pada masalah asal-usul dan identitas/sektarianis adalah narsis, lalu dia menunjukkan adalah ‘jalan selamat’ bernama esensialisme strategis dengan mempertanyakan kembali relativitas identitas, hal itu semata karena ia telah melampaui persoalan identitas diri dan

asal-usul kulturnya. Pada taraf tertentu, menjadi universalis adalah sebuah pilihan yang paling mungkin dan realistis, dengan mendaku sebagai warga dunia, dan melekatkan diri pada sebuah entitas ‘besar’ yang bernama: kemanusiaan. Pengalaman yang dicapai Spivak, juga yang dicapai seorang diaspora lain, Edward Said, masih bisa kita ambil hikmah dalam konteks posisi kita, bahwa bagaimana pun identitas itu menjadi penting, agar kita sadar diri pada ke-Liyan-an kita, dan dari mana kita harus berawal dan berpijak, lalu kita menuju dan tak terpaku pada jejak semata.

Mungkin kita harus sadar, untuk menggapai level tersebut diperlukan sebuah penggalian mendalam terhadap persoalan-persoalan yang telah melampaui diri, tapi sudah mengerti asal-usul diri, bibit, dan benih yang menopang sebuah pertumbuhan kesadaran yang menubuh. Kiranya ungkapan Mahfouz dalam pidato Nobelnya, yang merupakan landasan dia berkarya dan sebuah jawaban tegas dan berani ihwal jati diri, meneguhkan bahwa hasil kerjanya bukan hanya sekedar memberi tawaran estetika dengan menggali corak khas peradaban Arab dari masa ke masa, khususnya

Mesir, tetapi karyanya turut menopang kehidupan sastra dunia, dengan nilai-nilai kemanusiaan yang tak hanya dipahami oleh bangsanya sendiri. Ia telah memberi pemahaman besar kepada ahli waris dunia tentang pergulatan manusia.

Dan, di sinilah peran sastra. Terlalu naïf bila kita menepuk dada dengan slogan besar untuk mengubah dunia. Sebagaimana wataknya yang kadang ambigu, ‘menyembah’ sublimitas, serba mungkin, dan selalu erat kaitannya dengan penghayatan pada nilai-nilai manusia yang paling dalam, kita bisa merintis langkah-langkah kecil. Kita bisa bermain dalam dunia mungkin yang memungkinkan kita untuk melacak seberapa jauh kesejarahan diri, asal-usul, juga peradaban yang hidup dan menghidupi kita. Kita bisa bermula dari sebuah arus kesadaran yang melandasi sebuah karya. Kiranya klaim itu bukan jargon semata, menghamba pada mode pemikiran dan sekedar konsep gagah-gagahan dari dunia antah berantah yang jatuh begitu saja dari angkasa kekosongan dan bumi yang tandus kerontang, melainkan sebuah problem realistis yang harus dituntaskan dalam kekinian ‘kita’.

ini berkarya adalah menerima sekaligus memberi, bisa pula dikatakan bertahan sekaligus menyerang. Langkah awal ini menjadi penting, sebagaimana seorang yang sedang belajar pencak silat yang tidak hanya diajari kuda-kuda, tetapi juga kemampuan bertahan dan menghantam, karena tak bisa dipungkiri, bagaimanapun masa lalu kita memang belum selesai, trauma-trauma sejarah belum tuntas untuk dijinakkan, dan kita tak bisa terus ‘mati’ dan beku dalam masa lalu. Kita harus hadir dalam kekinian, juga merenda masa depan dalam kekinian, meski kita kadang juga sadar kita seringkali tidak bisa benar-benar hadir dalam waktu kini dan menafsirkan masa lalu dengan bening. Ada yang terbelah dalam diri kita. Ada yang meneguhkannya dengan antroposentrisme tak utuh, jiwa yang rekah, dan sebagainya, karena perkembangan diri dan di luar diri seringkali tak berimbang, juga apa yang tampak dan apa yang diresapi tak sepadan. Lacurnya, kita dituntut untuk berlaku seimbang oleh sejarah. Adonis atau Ali Ahmad Said, penyair Syria, telah mengingatkan tentang kekinian: “kurang tepat jika kita memusuhi masa sekarang”, juga kurang tepat jika kita juga tak berlaku adil pada

ia membaca syair-syair Arab sejak zaman kuno sampai abad XX.

Para penulis Indonesia kini memang sedang berhadapan dengan hadirnya ‘seluruh waktu’. Masa lalu, kini dan nanti seakan-akan hadir bersama dengan porsi yang tak sama. Inilah yang menjadikan kenapa asal-usul itu demikian penting untuk didedahkan, ‘dibaca’, dan digali kembali tanpa harus terus tertimbun dalam alur masa lalu dan terjebak pada sihir bayang-bayang masa depan yang terus bergulir. Sebagai langkah taktis, apa yang dinyatakan Mahfouz dalam pidato, dengan menyapa perabadan ‘Anda’, alias peradaban Barat untuk diminum madu-nya, adalah niscaya. Hal yang sama juga berlaku bagi Adonis, ketika dia memasukkan unsur-unsur Eropa dalam gerakan puitika Arab. Tapi mereka memiliki latar belakang ego kultural dan ego sebagai bangsa yang tidak kita punya. Keduanya hidup dan dihidupi oleh peradaban yang menjunjung begitu tinggi harga diri bangsa, Sejarah dan kebudayaannya.

Perihal merunut asal-usul, sebuah karya menarik dari masa sastra Jawa Pertengahan, Pararaton, sudah lebih dulu menggali dengan lebih netral. Meskipun pengarang

Nuruddin Ar Raniri itu anonim dan hanya berisi kronik sejarah penguasa, tetapi ‘model’ prosanya tentu saja telah menyumbang sebuah ‘gaya’ tersendiri dalam sastra, juga menyangkut satu soal yang berupa jati diri. Pararaton menabalkan sebuah energi atau spirit untuk mengubah sebuah jalan nasib. Lewat penggambaran sejarah dan diri Ken Angrok yang sarat dengan momen-momen puitika, kita disadarkan bahwa asal-usul itu menjadi satu penopang untuk melaju ke arah cahaya, bukan dalam ratap masa lalu yang sia-sia.

Oleh karena itu dalam menghadapi kehadiran ‘waktu yang jumbuh’, ruang rumpang, pusat yang menyebar, dan manusia berada pada posisi ambang, kiranya langkah realitis adalah menggabungkan semua jurus dalam banyak ruang. Kita punya banyak pilihan: membaca ulang masa lalu dan asal usul kita, sekaligus kita hadapi waktu kini dan masa depan; atau kita harus menggagas Waktu kita sendiri dengan ruang sendiri; atau, ada metode lain, misalnya meniru Polemik Kebudayan di masa lampau dalam menentukan kiblat kebudayaan, dengan masih tetap bersiteguh pada dua pilihan: Timur atau Barat; atau membuat jalan sendiri menuju kiblat; atau…