• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODE PENELITIAN

3.3.2. Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data sekunder dan data primer dengan penjelasan proses pengumpulannya sebagai berikut:

A. Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peta dasar, peta tematik dan data klimatologi yang diperoleh dari instansi-instansi pemerintah yang memiliki data atau yang menjadi wali data tersebut, sebagai berikut:

(1) Peta Dijital Rupabumi diperoleh dari Bakosurtanal.

(2) Peta Regional Physical Planning Project for Transmigration (RePPProT)/ Landsystem, diperoleh dari Ditjen RLPS, Kementerian Kehutanan.

(3) Peta Satuan Lahan dan Tanah diperoleh dari BBSDLP, Kementerian Pertanian. (4) Citra Digital Elevation Model (DEM), Shuttle Radar Topographic Mission

(SRTM) 30 Arc Sec (NASA), diperoleh dari LAPAN.

(5) Peta Penutupan Lahan tahun 2006, Ditjen Planologi, Departemen Kehutanan. (6) Peta Administrasi Kabupaten/Kota diperoleh dari Bappeda Kabupaten/Kota. (7) Peta Penafsiran Citra Landsat Thematic Mapper Tahun 2009, Path 128 Row 058

dan Path 129 Row 059 diperoleh dari BIOTROP.

(8) Data klimatologi (curah hujan) diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) - Stasiun Klimatologi Sampali.

B. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini adalah data keberadaan dan kondisi bangunan/konstruksi pengendali banjir pada alur sungai yang wilayah sekitarnya

terindikasi sebagai daerah rawan banjir. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan survei lapangan dan plotting koordinat lokasi sebagai referensi bagi penilaian daerah rawan banjir secara spasial.

3.3.3. Analisis Data

A. Identifikasi Kekritisan Daerah Resapan

Untuk mengidentifikasi kekritisan daerah resapan komponen lingkungan yang dipakai terdiri dari kemiringan lereng, jenis tanah, hujan dan penggunaan lahan. Keempat komponen ini ditransformasikan terlebih dahulu kedalam nilai-nilai tingkat infiltrasi potensial dan nilai tingkat infiltrasi aktualnya (Dephut, 1998).

(1) Kemiringan Lereng

Data Citra SRTM dikonversi kedalam format ASCII raster (*.asc) menggunakan Global Mapper v.11.x, selanjutnya menggunakan ArcGIS v.9.x data ASCII raster tersebut diolah menjadi peta kemiringan lereng yang diklasifikasikan menjadi lima kelas lereng.

Kelas kemiringan lereng tersebut selanjutnya ditransformasikan berdasarkan pengaruhnya terhadap tingkat peresapan (infiltrasi) sebagaimana Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Hubungan Kemiringan Lereng dan Tingkat Infiltrasi

Kelas Lereng (%) Deskripsi Transform nilai faktor Infiltrasi (fc) Notasi I < 8 Datar > 0,80 a II 8 – 15 Landai 0,70 – 0,80 b III 15 – 25 Bergelombang 0,50 – 0,70 c IV 25 – 40 Curam 0,20 – 0,50 d V > 40 Sangat Curam < 0,20 e

(2) Jenis Tanah

Berdasarkan pengujian, karateristik tanah dan geohidrologi selanjutnya ditransformasi berdasarkan hubungannya dengan infiltrasi (permeabilitas tanah) dengan klasifikasi sebagaimana Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Hubungan Permeabilitas Tanah dan Nilai Infiltrasi

Kelas Deskripsi Permeabilitas (cm/jam)

Transform nilai faktor Infiltrasi (fc) Notasi I Cepat > 12,7 > 0,45 a II Agak cepat 6,3 – 12,7 0,20 – 0,45 b III Sedang 2,0 – 6,3 0,10 – 0,20 c IV Agak lambat 0,5 – 2.0 0,04 – 0,10 d V Lambat < 0,5 < 0,04 e

Sumber: USDA, 1951; Hammer, 1978 dalam Dephut, 1998

Jika klasifikasi tersebut dikaitkan dengan jenis tanah, maka dapat dikonversikan sebagaimana Tabel 3 berikut:

Tabel 3. Potensi Infiltrasi untuk Setiap Jenis Tanah

Parameter Klasifikasi Jenis Tanah

Kelas Deskripsi Notasi FAO Soil Taxonomy

Infiltrasi I Besar a Andosol hitam Dystrandepts II Agak besar b Andosol coklat Hydrandepts

III Sedang c Regosol Tropopsamments, Tropaquepts IV Agak kecil d Latosol Dystropepts, Eutropepts

V Kecil e Aluvial Hydraquents, Sulfaquents, Tropaquents

Sumber: Dephut, 1998; Purwanto, 1997

(3) Curah Hujan (RD)

Secara potensial, infiltrasi akan lebih besar untuk hujan dengan periode waktu terjadinya lebih panjang. Sehubungan dengan kondisi yang demikian maka dalam kaitannya dengan infiltrasi ini, faktor hujan dikembangkan sebagai faktor “hujan infiltrasi” atau disingkat ”RD” yaitu jumlah hujan tahunan x jumlah hari hujan/100 (Dephut, 1998).

Hasil perhitungan RD dilakukan berdasarkan data curah hujan tahunan dan hari hujan dalam satu tahun dari 46 pos hujan yang berada di sekitar/wilayah DAS Padang. Rincian pos hujan dan atribut data iklim yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 4. Pemetaan RD dilakukan dengan bantuan ekstensi Spatial Analyst Tools dari ArcGIS v.9.x. Metode interpolasi RD menggunakan Inverse Distance Weighted (IDW) dari nilai RD berdasarkan kedudukan geografis stasiun hujannya. Nilai hujan infiltrasi dari proses interpolasi tersebut selanjutnya ditransformasi kedalam nilai potensi infiltrasinya. Hasil klasifikasi nilai RD dalam kaitannya dengan nilai potensial infiltrasinya dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Klasifikasi Nilai “Hujan Infiltrasi” RD

Kelas Deskripsi Nilai

“hujan infiltrasi” RD Notasi

I Rendah < 2500 A

II Sedang 2500 – 3500 B

III Agak besar 3500 – 4500 C

IV Besar 4500 – 5500 D

V Sangat besar > 5500 E

Sumber: Wischemeier, 1958; Chow, 1968; Wiersum Ambar, 1980 dalam Dephut, 1998

(4) Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan, khususnya tipe vegetasi penutup berpengaruh terhadap infiltrasi lewat tiga bentuk, yaitu: perakaran dan pori-pori memperbesar permeabilitas tanah, vegetasi menahan run-off dan vegetasi mengurangi jumlah air perkolasi melalui transpirasi. Vegetasi juga mempengaruhi erosi melalui beberapa proses. Tajuk pohon mengubah tenaga erosivitas jatuhan hujan yaitu mengubah kecepatan dan ukuran butir tetes hujan. Faktor-faktor yang berperan antara lain tinggi tajuk,

tebal tajuk, kelebatan, serasah yang dihasilkan, rerumputan dan herba sebagai penutup tanah (Dephut, 1998).

Kondisi penggunaan lahan DAS Padang didekati dengan Peta Penutupan Lahan tahun 2006 dari Kementerian Kehutanan. Untuk mendekati kondisi aktual di lapangan, maka Peta Penutupan Lahan dikoreksi secara visual menggunakan citra Landsat 5 TM tahun 2008. Tipe penutupan lahan pada Peta Penutupan Lahan yang telah dikoreksi selanjutnya ditransformasikan kedalam nilai tingkat infiltrasi aktualnya secara kualitatif sebagaimana Tabel 5 berikut:

Tabel 5. Nilai Tingkat Infiltrasi Aktual (Kualitatif)

Parameter Klasifikasi Tipe Penggunaan Lahan Kelas Deskripsi Notasi

Infiltrasi I Besar A Hutan lebat

II Agak besar B Hutan produksi, perkebunan

III Sedang C Semak, padang rumput

IV Agak kecil D Hortikultura (landai)

V Kecil E Permukiman, sawah

Sumber: Chow, 1968; Suwardjo, 1975, Wiersum & Ambar, 1980; S. Ambar, 1986 dalam Dephut, 1998

(5) Klasifikasi Kekritisan Daerah Resapan

Kondisi kekritisan daerah resapan diperoleh dari hasil tumpang susun Peta Potensi Infiltrasi dengan Peta Tingkat Infiltrasi Aktual, di mana kondisi kekritisan daerah resapan merupakan perbandingan antara kondisi potensi infiltrasi suatu wilayah dengan tingkat infiltrasi aktualnya.

Peta Potensi Infiltrasi tersusun atas parameter kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan. Parameter-parameter potensi infiltrasi yang telah ditransformasi kedalam notasi potensi infiltrasi pada proses sebelumnya, selanjutnya ditransformasikan kedalam skor potensi infiltrasinya, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Skoring Notasi Potensi Infiltrasi

Notasi Potensi Infiltrasi Skor

A 1

B 2

B 3

D 4

E 5

Sumber: Chow, 1968; Suwardjo, 1975, Wiersum & Ambar, 1980; S. Ambar, 1986 dalam Dephut, 1998

Parameter-parameter penyusun potensi infiltrasi yang telah diskoring selanjutnya ditumpang-susun untuk mendapatkan skor potensi infiltrasi. Proses tumpang susun ini menghasilkan unit-unit lahan baru yang merupakan gabungan dari parameter jenis tanah, curah hujan dan kemiringan lereng. Dengan demikian, dalam sebuah unit lahan yang baru, akan didapati skor-skor dari parameter-parameter awal yang menyusunnya.

Untuk dapat menilai suatu unit lahan yang baru sebagai sebuah potensi infiltrasi, maka skor awal dari tiap-tiap parameter yang terdapat pada masing-masing unit lahan dihitung dengan cara dijumlahkan. Hasil dari penjumlahan tersebut kemudian dikelompokkan kedalam lima kelas potensi infiltrasi dan membentuk notasi potensi infiltrasi baru, sehingga menggambarkan potensi infiltrasi dari masing-masing unit lahan yang terbentuk. Klasifikasi hasil penjumlahan parameter penyusun potensi infiltrasi terhadap notasi potensi infiltrasi dapat dilihat pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7. Notasi Hasil Penjumlahan Skor Parameter Potensi Infiltrasi

Jumlah Skor Deskripsi Notasi Potensi Infiltrasi 3 4 5 Sangat Kecil E 6 7 8 Kecil D 9 10 11 Sedang C 12 13 14 Besar B 15 Sangat Besar A

Peta Infiltrasi Aktual diperoleh dari parameter penggunaan lahan yang telah ditransformasikan kedalam notasi tingkat infiltrasi aktualnya, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5 terdahulu.

Tahap akhir dalam proses identifikasi kekritisan daerah resapan adalah dengan melakukan tumpang susun Peta Potensi Infiltrasi (curah hujan, kemiringan lereng dan tanah) dengan Peta Infiltrasi Aktual (penggunaan lahan). Proses tumpang susun tersebut menghasilkan unit-unit lahan telah mempunyai kombinasi nilai potensi infiltrasi dan nilai tingkat infiltrasi aktual, sehingga tingkat kekritisan daerah resapan pada tiap-tiap unit lahan dapat teridentifikasi. Adapun kriteria yang dipakai untuk menilai kondisi kekritisan daerah resapan adalah sebagai-berikut (Dephut, 1998): I Kondisi Baik, yaitu jika nilai infiltrasi aktual lebih besar dibanding nilai

infiltrasi potensial, misalnya dari e menjadi A, atau dari d menjadi B dan seterusnya.

II Kondisi Normal Alami, yaitu jika nilai infiltrasi aktual sama atau tetap seperti nilai infiltrasi potensialnya, misalnya dari b menjadi B, atau dari c menjadi C dan seterusnya.

III Kondisi Mulai Kritis, yaitu jika nilai infiltrasi aktual sudah turun setingkat dari nilai infiltrasi potensialnya, misalnya dari a menjadi B, atau dari c menjadi D dan seterusnya.

IV Kondisi Agak Kritis, yaitu jika nilai infiltrasi aktual sudah turun dua tingkat dari nilai infiltrasi potensialnya, misalnya dari a menjadi C, atau dari b menjadi D dan seterusnya.

V Kondisi Kritis, yaitu jika nilai infiltrasi aktual sudah turun tiga tingkat dari nilai infiltrasi potensialnya, misalnya dari a menjadi D, atau dari b menjadi E. VI Kondisi sangat Kritis, yaitu jika nilai infiltrasi aktual berubah dari sangat

besar menjadi sangat kecil, misalnya dari a menjadi E.

Metode identifikasi karakteristik hingga penentuan kelas kondisi daerah resapan ini secara skematis ditunjukkan oleh Gambar 2.

Gambar 2. Skema Garis Besar Pendekatan Penyusunan Model Pengkajian Daerah Resapan

B. Identifikasi Daerah Pemasok Air Banjir

Besarnya pasokan air banjir diidentifikasi dari besarnya curah hujan dan karakteristik daerah tangkapan air. Tingkat ancaman hujan terhadap besarnya banjir tergantung dari hujan harian maksimum yang merata terjadi pada daerah tangkapan air tersebut. Sedangkan karakteristik daerah tangkapan air dipilah antara faktor alami (relatif sulit dikelola) dan faktor manajemen (mudah dikelola). Faktor alami yang mempengaruhi air banjir dari daerah tangkapan air adalah bentuk DAS, gradien sungai, kerapatan drainase dan lereng rata-rata DAS, sedangkan faktor manajemen adalah penggunaan/penutupan lahan (Paimin, et al. 2009).

(1) Hujan Harian Maksimum (rata-rata bulan basah)

Hujan harian maksimum rata-rata pada bulan basah diperoleh berdasarkan data curah hujan dari 31 stasiun hujan yang berada di sekitar/wilayah DAS Padang (Lampiran 4). Pemetaan hujan harian maksimum rata-rata bulan basah dilakukan dengan bantuan ekstensi Spatial Analyst Tools dari ArcGIS v.9.x menggunakan metode interpolasi Inverse Distance Weighted (IDW) dari nilai hujan harian maksimum berdasarkan kedudukan geografis stasiun hujannya.

Parameter hujan harian maksimum yang dihasilkan selanjutnya ditransformasikan kedalam bobot dan skor berdasarkan perannya terhadap tingkat pasokan air hujan dapat dilihat sebagaimana Tabel 8 berikut:

Tabel 8. Klasifikasi Skoring dan Bobot Hujan Harian Maksimum

Parameter/Bobot Klasifikasi Kategori Skor Hujan harian max. rata-rata

pada bulan basah (mm/hr) (35%) < 20 21 – 40 41 – 75 76 – 150 >150 Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi 1 2 3 4 5 Sumber: Paimin et al. 2009

(2) Bentuk DAS

Bentuk DAS diperoleh dari pengolahan citra SRTM. Citra SRTM dikonversi kedalam format ASCII raster (*.asc) menggunakan Global Mapper v.11.x, selanjutnya menggunakan ArcGIS v.9.x data ASCII raster tersebut dikonversi kedalam format raster grid. Dengan menggunakan ekstensi ArcSWAT, data raster grid tersebut didelineasi sehingga membentuk daerah-daerah tangkapan air/DAS. Daerah tangkapan air yang terbentuk tersebut selanjutnya dikategorikan kedalam Sub DAS dan Sub-Sub DAS berdasarkan daerah tangkapan air sungai utamanya.

Mengingat pentingnya bentuk DAS, sejumlah peneliti telah mencoba, mengandalkan pada prinsip kemiripan geometrik untuk menggantikan sejumlah deskripsi seperti oval, persegi atau membujur dengan indeks yang lebih tepat yang dapat digunakan dalam formulasi matematis (Zavoianu, 1985).

Miller (1953) (dalam Zavoianu, 1985) memperkenalkan Circularity Ratio (RC) yang mewakili hasil pembagian antara luas (Ab) sebuah DAS dan luas (Ac) sebuah lingkaran yang kelilingnya sama dengan keliling DAS.

Ac Ab RC

Untuk mendapatkan rasio ini, luas dan keliling DAS harus dihitung. Ketika nilai rasio sama dengan satu maka DAS membentuk lingkaran sempurna, menurun pada rasio 0,785 DAS berbentuk persegi dan semakin menurun nilainya hingga pada akhirnya berbentuk memanjang. Circularity Ratio dapat diturunkan menjadi formula sebagai berikut, di mana P adalah keliling DAS.

2 4 P A RC  

Dalam kenyataan, nilai rasio tersebut tidak pernah sama dengan satu, dikarenakan faktor fisiografis dan lereng selalu berperan sehingga sebuah DAS mempunyai bentuk memanjang. Berdasarkan persamaan di atas, maka bentuk DAS dihitung berdasarkan rasio antara luas dengan keliling DAS.

Bobot dan skor bentuk DAS berdasarkan perannya terhadap tingkat pasokan air hujan dapat dilihat pada Tabel 9 berikut:

Tabel 9. Klasifikasi Skoring dan Bobot Bentuk DAS

Parameter/Bobot Circularity Ratio Klasifikasi Kategori Skor Bentuk DAS (5%) < 0,256 0,257 - 0,436 0,436 - 0,695 0.696 - 0,785 1,000 Lonjong Agak lonjong Sedang Agak bulat Bulat Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi 1 2 3 4 5 Sumber: Paimin et al. 2009 dan Miller 1953 dalam Zavoianu, 1995

(3) Gradien Sungai

Gradien Sungai diperoleh dari hasil pengolahan Peta Pola Aliran Sungai, Peta DAS dan Peta Wilayah Ketinggian (elevasi). Parameter gradien sungai (á) dihitung dengan menggunakan metode Benson (1962), yaitu:

 

% 100 75 , 0 10 85 Lb h h

Di mana Lb adalah panjang sungai utama pada wilayah Sub-Sub DAS, sedangkan h85 dan h10 adalah elevasi sungai utama pada (0,85)Lb dan (0,1)Lb yang dihitung dari outlet sungai utama.

Bobot dan skor parameter gradien sungai berdasarkan perannya terhadap tingkat pasokan air hujan dapat dilihat pada Tabel 10 berikut:

Tabel 10. Klasifikasi Skoring dan Bobot Gradien Sungai

Parameter/Bobot Klasifikasi Kategori Skor Gradien sungai (%) (10%) < 0,5 0,5 – 1,0 1,1 – 1,5 1,6 – 2,0 > 2,0 Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi 1 2 3 4 5 Sumber: Paimin et al. 2009

(4) Kerapatan Drainase

Kerapatan Drainase diperoleh dari hasil analisis Peta Pola Aliran Sungai dan Peta Bentuk DAS.

Chebotarev (1953) (dalam Zavoianu, 1985) menunjukkan bahwa kerapatan drainase dapat dijelaskan sebagai rasio dari rata-rata panjang alur sungai (l) berbanding dengan rata-rata area yang dilaluinya (a). Apabila dalam sebuah area DAS (A) terdapat sejumlah n alur sungai atau segmen sungai dengan total panjang ÓL, maka l = ÓL/n dan a = A/n. Maka atas dasar persamaan tersebut, parameter kerapatan drainase (Dd) dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut:

A L Dd atau a l Dd

Terkait dengan nilai kerapatan drainase, Lynsley (1949) (dalam Dephut,1996) menyatakan bahwa jika nilai kerapatan drainase lebih kecil dari 1 mil/mil2 (0,62 km/km2), DAS akan mengalami penggenangan, sedangkan jika nilai kepadatan aliran lebih besar dari 5 mil/mil2 (3,10 km/km2), DAS sering mengalami kekeringan.

Bobot dan skor parameter kerapatan drainase berdasarkan perannya terhadap tingkat pasokan air hujan dapat dilihat pada Tabel 11 berikut:

Tabel 11. Klasifikasi Skoring dan Bobot Kerapatan Drainase

Parameter/Bobot Kerapatan Drainase Klasifikasi Kategori Skor Kerapatan drainase (5%) < 0,50 km/km2 0,51 – 0,99 km/km2 1,00 – 1,49 km/km2 1,50 – 2,00 km/km2 > 2,00 km/km2 Jarang Agak Jarang Sedang Rapat Sangat Rapat Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi 1 2 3 4 5 Sumber: Paimin et al. 2009

(5) Kemiringan Lereng Rata-rata DAS

Data Citra SRTM dikonversi kedalam format ASCII raster (*.asc) menggunakan Global Mapper v.11.x, selanjutnya menggunakan ArcGIS v.9.x data ASCII raster tersebut diolah menjadi peta kemiringan lereng yang diklasifikasikan menjadi lima kelas lereng.

Bobot dan skor kemiringan lereng rata-rata DAS berdasarkan pengaruhnya terhadap tingkat pasokan air hujan dapat dilihat pada Tabel 12 berikut:

Tabel 12. Klasifikasi Skoring dan Bobot Lereng Rata-rata DAS

Parameter/Bobot Klasifikasi Kategori Skor

Lereng rata-rata DAS (%) (5%) < 8 % 8 – 15 % 16 – 25 % 26 – 40 % > 40 Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi 1 2 3 4 5 Sumber: Paimin et al. 2009

(6) Penggunaan Lahan

Kondisi penggunaan lahan DAS Padang didekati dengan Peta Penutupan Lahan tahun 2006 dari Kementerian Kehutanan. Untuk mendekati kondisi aktual di lapangan, maka Peta Penutupan Lahan dikoreksi secara visual menggunakan citra Landsat 5 TM tahun 2008.

Bobot dan skor penggunaan lahan berdasarkan pengaruhnya terhadap tingkat pasokan air hujan dapat dilihat pada Tabel 13 berikut:

Tabel 13. Klasifikasi Skoring dan Bobot Penggunaan Lahan

Parameter/Bobot Klasifikasi Kategori Skor

Penggunaan lahan (40%) Hutan Lindung/Konservasi Hutan Produksi/Perkebunan Semak/Belukar/ Sawah/Tegalan+teras Tegalan/Permukiman Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi 1 2 3 4 5 Sumber: Paimin et al. 2009

(7) Analisis Daerah Pemasok Air Banjir

Parameter hujan harian maksimum rata-rata pada bulan basah, bentuk DAS, gradien sungai, kerapatan drainase, lereng rata-rata DAS dan penggunaan lahan yang telah ditransformasi kedalam skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap tingkat pasokan air hujan, selanjutnya dilakukan overlay terhadap kelima parameter tersebut untuk dapat menghasilkan Peta Daerah Pemasok Air banjir.

Penghitungan skor dan bobot perlu dilakukan setelan proses overlay selesai untuk memperoleh skor tertimbang yang menjadi dasar bagi penilaian tingkat pasokan air suatu wilayah.

Formulasi yang digunakan untuk memperoleh skor tertimbang daerah pemasok air banjir adalah sebagai berikut:

Skor Tertimbang = ((30% × HH) + (10% × BD) + (10% × GS) + (5% × KD) + (45% × LD) ) + (45% × PL)) : 100

HH = Skor hujan harian max. KD = Skor kerapatan drainase BD = Skor bentuk DAS LD = Skor lereng DAS GS = Skor gradien sungai PL = Skor penggunaan lahan

Klasifikasi skor tertimbang daerah pemasok air banjir dapat dilihat pada Tabel 14 berikut:

Tabel 14. Skor Tertimbang Identifikasi Kerawanan Daerah Pemasok Air Banjir

No. Skor Tertimbang Kategori

1. > 4,3 Tinggi

2. 3,5 – 4,3 Agak Tinggi

3. 2,6 – 3,4 Sedang

4. 1,7 – 2,5 Agak Rendah

5. < 1,7 Rendah

Sumber: Paimin et al. 2009

Metode identifikasi tingkat pasokan air banjir secara skematis ditunjukkan oleh Gambar 3 berikut.

Gambar 3. Skema Garis Besar Pendekatan Penyusunan Model Pengkajian Tingkat Pasokan Air Banjir

C. Identifikasi Daerah Rawan Banjir

Tingkat kerawanan daerah yang terkena banjir diidentifikasi dari karakter wilayahnya, seperti bentuk lahan, lereng kiri-kanan sungai, meandering, pembendungan alami dan adanya bangunan pengendali banjir.

(1) Bentuk Lahan

Data bentuk lahan diperoleh dari Peta Landsystem. Data bentuk lahan dari Peta Landsystem dikalibrasikan dengan Citra SRTM melalui proses dijitasi menggunakan ArcView v.3.x. Proses kalibrasi tersebut diperlukan untuk memperoleh keakurasian bentuk lahan yang lebih baik data, di mana bentuk lahan yang dihasilkan memiliki akurasi setara peta Skala 1 : 50.000.

Kelas bentuk lahan dataran aluvial, lembah aluvial, kelokan sungai dan rawa-rawa, merupakan daerah yang rentan terkena banjir karena merupakan daerah rendah atau cekungan dengan lereng < 2% (Paimin, 2009).

Kelas bentuk lahan yang telah dikalibrasi selanjutnya ditransformasikan kedalam skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap proses banjir sebagaimana Tabel 15 berikut:

Tabel 15. Klasifikasi Skoring dan Bobot Bentuk Lahan

Parameter/Bobot Klasifikasi Kategori Skor

Bentuk lahan (30%)

Pegunungan, perbukitan Kipas aluvial Dataran, teras Dataran aluvial, lembah

Aluvial, jalur kelokan

Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi 1 2 3 4 5 Sumber: Paimin et al. 2008

(2) Kemiringan Lereng

Parameter kemiringan lereng pada daerah rawan banjir diasumsikan sebagai lereng di kiri dan kanan sungai, di mana lereng yang lebih landai akan memungkinkan terjadinya limpasan air ketika sungai melampaui daya tampungnya dibandingkan lereng yang lebih curam.

Data kemiringan lereng diperoleh dari pengolahan citra SRTM. Citra SRTM dikonversi kedalam format ASCII raster (*.asc) menggunakan Global Mapper v.11.x, selanjutnya menggunakan ArcGIS v.9.x data ASCII raster tersebut diolah menjadi Peta Kemiringan Lereng. Peta Kemiringan Lereng yang dihasilkan dibagi kedalam tiga kelas lereng untuk kemudian ditransformasikan kedalam skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap proses banjir sebagaimana Tabel 16 berikut:

Tabel 16. Klasifikasi Skoring dan Bobot Kemiringan Lereng (Kiri–Kanan

Sungai)

Parameter/Bobot Klasifikasi Kategori Skor

Lereng lahan kiri-kanan sungai (%) (10%) > 8 (Sangat lancar) 2 – 8 (Agak lancar) <2 (Terhambat) Rendah Sedang Tinggi 1 3 5 Sumber: Paimin et al. 2009

(3) Pembendungan Alami

Pembendungan alami adalah keberadaan percabangan sungai, penyempitan sungai, dan atau daerah di sekitar muara di mana aliran sungai tertahan oleh air laut pasang.

Pembendungan alami diidentifikasi dari Peta Aliran Sungai. kemudian ditransformasikan kedalam skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap proses banjir sebagaimana Tabel 17 berikut:

Tabel 17. Klasifikasi Skoring dan Bobot Pembendungan Alami

Parameter/Bobot Klasifikasi Kategori Skor

Pembendungan oleh percabangan sungai/

air pasang (10%)

Tidak ada Anak cabang s. induk

Cabang s. induk S. induk/bottle neck

Pasang air laut

Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi 1 2 3 4 5 Sumber: Paimin et al. 2009

(4) Sinusitas Meandering

Tingkat kebanjiran diukur dengan nilai sinusitas (P), yaitu panjang sungai sesuai kelokan dengan panjang sungai secara horizontal yang berupa garis lurus dalam satuan peta (Paimin et al. 2009). Sinusitas meandering diidentifikasi dari Peta Pola Aliran Sungai dan dibatasi pada lereng-lereng ≤ 5% yang berada di kanan-kiri sungai.

Gambar 4. Parameter untuk Menggambarkan Meander (Hugget, j. R., 2007 dengan Modifikasi)

Berdasarkan parameter untuk menggambarkan meander seperti Gambar 4, maka penghitungan sinusitas (P) adalah nisbah antara panjang sungai yang berkelok (digambarkan dengan garis putus-putus berwarna merah) dengan total panjang gelombang meander (meander length) yang terbentuk pada alur sungai tersebut. Sinusitas meandering yang dihasilkan kemudian ditransformasikan kedalam skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap proses banjir sebagaimana Tabel 18 berikut:

Tabel 18. Klasifikasi Skoring dan Bobot Sinusitas Meandering

Parameter/Bobot Klasifikasi Kategori Skor

Sinusitas meandering (5%) 1 – 1,1 1,2 – 1,4 1,5 – 1,6 1,7 – 2,0 >2,0 Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi 1 2 3 4 5 Sumber: Paimin et al. 2009

(5) Keberadaan Bangunan Air

Keberadaan Bangunan Air diperoleh berdasarkan pengumpulan data primer lokasi bangunan air dengan bantuan GPS pada daerah yang secara alami terindikasi rawan banjir.

Parameter keberadaan bangunan air tersebut selanjutnya menjadi dasar bagi penilaian parameter manajemen terhadap daerah yang secara alami terindikasi rawan banjir. Parameter keberadaan bangunan air pada daerah yang secara alami terindikasi rawan banjir kemudian ditransformasikan kedalam skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap proses banjir sebagaimana Tabel 19 berikut:

Tabel 19. Klasifikasi Skoring dan Bobot Keberadaan Bangunan Air

Parameter/Bobot Klasifikasi Kategori Skor

Bangunan air (45%)

Waduk+tanggul tinggi & baik Waduk

Tanggul/sodetan/banjir kanal Tanggul tidak terawat Tanpa bangunan Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi 1 2 3 4 5 Sumber: Paimin et al. 2009

(6) Analisis Daerah Rawan Banjir

Parameter bentuk lahan, lereng lahan kiri-kanan sungai, pembendungan alami, sinusitas meandering dan keberadaan bangunan air yang telah ditransformasi kedalam

skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap proses banjir, selanjutnya dilakukan overlay terhadap kelima parameter tersebut untuk dapat menghasilkan Peta Daerah Rawan Banjir.

Penghitungan skor dan bobot perlu dilakukan setelan proses overlay selesai untuk memperoleh skor tertimbang yang menjadi dasar bagi penilaian tingkat

Dokumen terkait