• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Kerawanan Banjir Di Wilayah Das Padang Menggunakan Sistem Informasi Geografis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kajian Kerawanan Banjir Di Wilayah Das Padang Menggunakan Sistem Informasi Geografis"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KERAWANAN BANJIR DI WILAYAH DAS PADANG

MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

TESIS

Oleh

MUHAMMAD IRSAN

087004007/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KAJIAN KERAWANAN BANJIR DI WILAYAH DAS PADANG

MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUHAMMAD IRSAN

087004007/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : KAJIAN KERAWANAN BANJIR DI WILAYAH

DAS PADANG MENGGUNAKAN SISTEM

INFORMASI GEOGRAFIS

Nama Mahasiswa : Muhammad Irsan

Nomor Pokok : 087004007

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

(PSL)

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D) Ketua

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS) Anggota

(Ir. O. K. Nazaruddin Hisyam, MS) Anggota

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS)

Direktur

(Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 20 Januari 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D

Anggota : 1. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS

2. Ir. O. K. Nazaruddin Hisyam, MS

3. Prof. Dr. Abdul Rauf, MS

(5)

KAJIAN KERAWANAN BANJIR DI WILAYAH DAS PADANG MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

ABSTRAK

Daerah Aliran Sungai (DAS) Padang tergolong sebagai DAS Prioritas I Nasional karena menunjukkan kondisi dan permasalahan biofisik dan sosek DAS yang paling kritis atau tidak sehat. Salah satu permasalahan DAS Padang adalah banjir. Penelitian ini mengkaji kondisi kekritisan daerah resapan, potensi yang dimiliki berbagai unit lahan sebagai pemasok air banjir dan persebaran daerah rawan banjir di wilayah DAS Padang. Kajian dilakukan secara deskriptif kuantitatif, melalui analisis tumpang susun (overlay) peta dengan memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografis dan kalibrasi melalui survei lapangan. Dari hasil kajian diketahui bahwa selama kurun waktu tahun 2004 sampai dengan 2010 terdapat peningkatan tingkat kekritisan peresapan pada berbagai unit lahan di wilayah DAS Padang yang keseluruhannya sebesar 2,31%. Berdasarkan hasil survei lapangan ditemukan bahwa pada penggunaan lahan perkebunan di wilayah DAS Padang terjadi perubahan ekstrim dalam cakupan wilayah yang luas (lebih dari 1 km2) pada masa peremajaan tanaman melalui praktek land clearing, dalam skala yang besar hal tersebut dapat berakibat pada menurunnya nilai infiltrasi aktual lahan dibandingkan nilai infiltrasi potensialnya hingga mencapai tingkatan sangat kritis. Wilayah pemasok air banjir yang berada di wilayah hulu Sub DAS Padang perlu mendapat prioritas penanganan berupa rehabilitasi dan penegakan peraturan terkait penataan ruang, karena karakteristik biofisiknya yang mendukung aliran air permukaan untuk lebih cepat mencapai sungai dibandingkan Sub DAS lainnya. Peningkatan kekritisan dan tingginya potensi pasokan air banjir terjadi sebagai akibat perubahan penggunaan lahan dan pemanfaatan ruang yang tidak tepat. Wilayah rawan banjir tersebar dengan berbagai tingkat kerawanan di wilayah DAS Padang, dengan tingkat kerawanan banjir tertinggi berada di wilayah Kota Tebing Tinggi dan di bagian hilir DAS Padang yang berada di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai.

(6)

STUDY OF PADANG WATERSHED FLOOD VULNERABILITY USING GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM

ABSTRACT

(7)

KATA PENGANTAR

Penulis senantiasa bersyukur kepada Allah SWT atas selesainya penyusunan tesis ini. Selesainya penyusunan tesis ini merupakan karunia mutlak dari Allah SWT melalui kerja keras, bantuan, pengorbanan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis merasa wajib untuk menghaturkan terima kasih secara khusus kepada yang terhormat Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D, Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS, dan Ir. O.K. Nazaruddin Hisyam, MS yang telah memberikan bimbingan penyusunan tesis ini dengan sangat simpatik, telaten, sabar dan bijaksana, tim dosen penguji, Prof. Dr. Abdul Rauf MS. dan Ir. Terunajaya Abdullah, M.Sc., terima kasih atas saran-saran dan masukan yang bermanfaat bagi penelitian ini.

Penulis juga merasa harus mengucapkan terima kasih kepada:

1. Direktur Sekolah Pascasarjana USU dan Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah berkenan menerima penulis untuk belajar di Program Studi ini.

2. Sekretaris Direktorat Jenderal RLPS Departemen Kehutanan yang memberikan ijin bagi penulis untuk melanjutkan jenjang pendidikan S2 dan segenap pimpinan Balai Pengelolaan DAS Wampu Sei Ular yang mendukung penulis dalam menyelesaikan pendidikan S2.

3. Ibu, Bapak dan adik-adik yang senantiasa selalu mendoakan bagi kebaikan penulis. Istri dan anak-anakku tersayang, Julia Rahmawati, Athifa dan Shafiyya. Mereka telah memberikan dukungan dan pengorbanan untuk keberhasilan penulis dalam menyelesaikan S2 ini.

(8)

Dengan harapan semoga tesis ini dapat memberikan manfaat, penulis akan sangat berterima kasih apabila hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan baik dalam rangka mitigasi bencana banjir maupun bagi penelitian lebih lanjut melalui pendekatan yang lebih mutakhir.

Medan, Januari 2011

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cimahi pada tanggal 6 Maret 1981. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara sebagai putra dari Ayahanda Supadi dan Ibunda Euis Sofiah. Penulis menikah pada tahun 2007 dengan Julia Rahmawati dan saat ini telah dikaruniai dua orang putri, Athifa dan Shafiyya.

Pendidikan formal yang telah ditempuh penulis adalah sebagai berikut:

1. Tahun 1986 – 1993, menempuh pendidikan dasar di SD Negeri Pengadilan IV, Kota Bogor.

2. Tahun 1993 – 1996, menempuh pendidikan tingkat pertama di SMP Negeri 4, Kota Bogor.

3. Tahun 1996 – 1999, menempuh pendidikan tingkat menengah atas di SMU Negeri 1, Kota Bogor.

4. Tahun 1999 – 2004, menempuh pendidikan sarjana Strata 1 di Departemen Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.

5. Tahun 2008, memasuki Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.

(10)

DAFTAR ISI

4.1. Kedudukan Geografis dan Pembagian Wilayah Administrasi ... 41

4.2. Morfometri dan Pembagian Wilayah Sub DAS ... 45

(11)

4.4. Jenis Tanah ... 59

4.5. Iklim ... 63

4.6. Penggunaan Lahan ... 67

4.7. Bentuk Lahan ... 70

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 74

5.1. Kekritisan Daerah Resapan DAS Padang ... 74

5.2. Pasokan Air Banjir DAS Padang ... 87

5.3. Kerawanan Banjir DAS Padang ... 92

VI.KESIMPULAN DAN SARAN ... 99

6.1. Kesimpulan ... 99

6.2. Saran ... 100

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Hubungan Kemiringan Lereng dengan Tingkat Infiltrasi ... 20

2. Hubungan Permeabilitas Tanah dan Nilai Infiltrasi ... 21

3. Potensi Infiltrasi untuk Setiap Jenis Tanah ... 21

4. Klasifikasi Nilai “Hujan Infiltrasi” RD ... 22

5. Nilai Tingkat Infiltrasi Aktual (Kualitatif) ... 23

6. Skoring Notasi Potensi Infiltrasi ... 24

7. Notasi Hasil Penjumlahan Skor Parameter Potensi Infiltrasi ... 24

8. Klasifikasi Skoring dan Bobot Hujan Harian Maksimum ... 28

9. Klasifikasi Skoring dan Bobot Bentuk DAS ... 30

10. Klasifikasi Skoring dan Bobot Gradien Sungai ... 30

11. Klasifikasi Skoring dan Bobot Kerapatan Drainase ... 31

12. Klasifikasi Skoring dan Bobot Lereng Rata-Rata DAS ... 31

13. Klasifikasi Skoring dan Bobot Penggunaan Lahan ... 32

14. Skor Tertimbang Identifikasi Kerawanan Daerah Pemasok Air Banjir 33

15. Klasifikasi Skoring dan Bobot Bentuk Lahan ... 35

16. Klasifikasi Skoring dan Bobot Kemiringan Lereng (Kiri–Kanan Sungai) ... 36

17. Klasifikasi Skoring dan Bobot Pembendungan Alami ... 36

18. Klasifikasi Skoring dan Bobot Sinusitas Meandering ... 37

19. Klasifikasi Skoring dan Bobot Keberadaan Bangunan Air ... 38

20. Skor Tertimbang Identifikasi Daerah Rawan Banjir ... 39

21. Wilayah Administrasi DAS Padang ... 44

22. Morfometri DAS Padang (Tingkat Sub DAS) ... 45

23. Wilayah Kemiringan Lereng DAS Padang ... 58

(13)

25. Penggunaan Lahan di Wilayah DAS Padang ... 69

26. Bentuk Lahan di Wilayah DAS Padang ... 73

27. Tingkat Kekritisan Daerah Resapan DAS Padang ... 86

28. Tingkat Pasokan Air Banjir DAS Padang ... 91

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Skema Penerapan Penggunaan Perangkat Lunak dalam Penelitian .... 17

2. Skema Garis Besar Pendekatan Penyusunan Model Pengkajian Daerah Resapan ... 26

3. Skema Garis Besar Pendekatan Penyusunan Model Pengkajian Tingkat Pasokan Air Banjir ... 34

4. Parameter untuk Menggambarkan Meander ... 37

5. Skema Garis Besar Pendekatan Penyusunan Model Pengkajian Tingkat Kerawanan Banjir ... 40

6. Peta Wilayah Administrasi DAS Padang ... 42

7. Peta Pembagian Wilayah Sub DAS Padang ... 51

8. Peta Bentuk Wilayah (Sub-Sub DAS) Daerah Aliran Sungai Padang . 52

9. Peta Gradien Sungai (Sub-Sub DAS) Daerah Aliran Sungai Padang... 53

10. Peta Kemiringan Lereng Lahan Daerah Aliran Sungai Padang... 55

11. Peta Kemiringan Lereng Kanan Kiri Sungai Daerah Aliran Sungai Padang ... 56

12. Peta Jenis Tanah Daerah Aliran Sungai Padang ... 60

13. Peta Faktor Hujan Infiltrasi Daerah Aliran Sungai Padang ... 65

14. Peta Maksimum Hujan Harian Rata-rata Daerah Aliran Sungai Padang ... 66

15. Peta Penggunaan Lahan Daerah Aliran Sungai Padang ... 68

16. Peta Bentuk Lahan Daerah Aliran Sungai Padang ... 71

17. Peta Kekritisan Daerah Resapan Daerah Aliran Sungai Padang. ... 75

18. Kondisi Daerah Resapan dengan Kategori Kritis di DAS Padang ... 77

19. Lokasi Peremajaan Tanaman pada Perkebunan di Kecamatan Dolok Masihul ... 79

(15)

21. Okupasi Lahan Kawasan Hutan Menjadi Lahan Pertanian

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Pembagian wilayah DAS Padang berdasarkan Wilayah Sub DAS

dan Wilayah Administrasi ... 105 2. Morfometri DAS Padang berdasarkan Wilayah Sub-sub DAS ... 107 3. Distribusi Tingkat Kerawanan Banjir DAS Padang ... 110 4. Pos-pos Hujan di dalam dan di sekitar DAS Padang Beserta Atribut

(17)

KAJIAN KERAWANAN BANJIR DI WILAYAH DAS PADANG MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

ABSTRAK

Daerah Aliran Sungai (DAS) Padang tergolong sebagai DAS Prioritas I Nasional karena menunjukkan kondisi dan permasalahan biofisik dan sosek DAS yang paling kritis atau tidak sehat. Salah satu permasalahan DAS Padang adalah banjir. Penelitian ini mengkaji kondisi kekritisan daerah resapan, potensi yang dimiliki berbagai unit lahan sebagai pemasok air banjir dan persebaran daerah rawan banjir di wilayah DAS Padang. Kajian dilakukan secara deskriptif kuantitatif, melalui analisis tumpang susun (overlay) peta dengan memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografis dan kalibrasi melalui survei lapangan. Dari hasil kajian diketahui bahwa selama kurun waktu tahun 2004 sampai dengan 2010 terdapat peningkatan tingkat kekritisan peresapan pada berbagai unit lahan di wilayah DAS Padang yang keseluruhannya sebesar 2,31%. Berdasarkan hasil survei lapangan ditemukan bahwa pada penggunaan lahan perkebunan di wilayah DAS Padang terjadi perubahan ekstrim dalam cakupan wilayah yang luas (lebih dari 1 km2) pada masa peremajaan tanaman melalui praktek land clearing, dalam skala yang besar hal tersebut dapat berakibat pada menurunnya nilai infiltrasi aktual lahan dibandingkan nilai infiltrasi potensialnya hingga mencapai tingkatan sangat kritis. Wilayah pemasok air banjir yang berada di wilayah hulu Sub DAS Padang perlu mendapat prioritas penanganan berupa rehabilitasi dan penegakan peraturan terkait penataan ruang, karena karakteristik biofisiknya yang mendukung aliran air permukaan untuk lebih cepat mencapai sungai dibandingkan Sub DAS lainnya. Peningkatan kekritisan dan tingginya potensi pasokan air banjir terjadi sebagai akibat perubahan penggunaan lahan dan pemanfaatan ruang yang tidak tepat. Wilayah rawan banjir tersebar dengan berbagai tingkat kerawanan di wilayah DAS Padang, dengan tingkat kerawanan banjir tertinggi berada di wilayah Kota Tebing Tinggi dan di bagian hilir DAS Padang yang berada di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai.

(18)

STUDY OF PADANG WATERSHED FLOOD VULNERABILITY USING GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM

ABSTRACT

(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

DAS Padang merupakan salah satu dari sembilan DAS di wilayah Provinsi Sumatera Utara yang ditetapkan sebagai DAS Prioritas I melalui Keputusan Menteri Kehutanan No.328/Menhut-II/2009 tentang Penetapan DAS Prioritas dalam rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2010-2014. Hal tersebut dapat diartikan bahwa DAS Padang tergolong sebagai salah satu DAS yang prioritas pengelolaannya paling tinggi karena menunjukkan kondisi dan permasalahan biofisik dan sosek DAS yang paling kritis atau tidak sehat (Dephut, 2008).

Salah satu permasalahan utama DAS Padang yang mendesak untuk ditangani adalah banjir akibat luapan Sungai Padang yang tiap tahun rutin terjadi. Berdasarkan data dari BMKG (2009) tercatat kejadian banjir yang cukup besar terjadi di bulan November tahun 2003, yang menggenangi 10 kelurahan di Kota Tebing Tinggi hingga ketinggian 120 cm dan kejadian banjir yang terjadi di bulan Oktober tahun 2008, yang merendam ratusan rumah warga di Kota Tebing Tinggi.

(20)

diperparah oleh adanya waktu jeda pengiriman bantuan ke daerah bencana akibat keterlambatan informasi bahwa lokasi tersebut terkena banjir, sehingga menimbulkan kerugian lebih lanjut berupa gangguan kesehatan yang dialami oleh korban banjir. Kerugian akibat banjir dapat diminimalisir dengan adanya perencanaan yang baik, namun tidak dapat dipungkiri bahwa perencanaan yang baik memerlukan data yang akurat, sehingga dari data tersebut dapat tersaji informasi/fakta sebagai dasar pengambilan kebijakan.

Perencanaan terkait pengelolaan banjir di wilayah DAS Padang masih sangat terbatas jika tidak ingin dikatakan tidak ada. Kalaupun ada, sifatnya parsial dan dibuat berdasarkan wilayah administratif. Hal ini tentunya akan menyulitkan sinergitas perencanaan terkait pengelolaan banjir, sebagaimana diketahui bahwa DAS Padang melintasi tiga wilayah administrasi kabupaten, yaitu Kabupaten Simalungun, Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Tebing Tinggi, dimana ketiga wilayah administratif tersebut tentunya mempunyai kepentingan masing-masing dalam mengelola sumberdaya air di wilayahnya.

Selain perencanaan yang bersifat parsial, data dan informasi yang selama ini dikumpulkan dan disajikan oleh instansi terkait mengenai bencana banjir di wilayah DAS Padang masih belum memadai untuk dijadikan dasar bagi perencanaan pengelolaan bencana banjir. Akibatnya perencanaan yang dilakukan oleh daerah selama ini hanya terbatas pada penanganan dampak setelah banjir.

(21)

Padang sebagai sebuah kesatuan sistem tata air. Fakta terkait banjir tersebut meliputi pemetaan kondisi kekritisan daerah resapan, pemetaan daerah pemasok air banjir dan pemetaan daerah rawan banjir di wilayah DAS Padang. Hasil dari penelitian ini selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai dasar bagi perencanaan pengelolaan banjir yang bersifat antisipatif, sehingga kerugian yang diakibatkan oleh banjir dapat direduksi.

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimana kondisi kekritisan daerah resapan di DAS Padang?

b. Di mana wilayah-wilayah yang menjadi pemasok air banjir di DAS Padang? c. Di mana wilayah-wilayah yang merupakan daerah rawan banjir di DAS Padang?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Terpetakannya kondisi kekritisan daerah resapan di DAS Padang. b. Terpetakannya wilayah pemasok air banjir di DAS Padang. c. Terpetakannya daerah rawan banjir di DAS Padang.

1.4. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: a. Bagi praktisi, pengambil kebijakan dan organisasi-organisasi masyarakat, hasil

(22)

Padang yang terpadu dari hulu ke hilir, sehingga upaya penanganan banjir tidak melulu difokuskan pada penanganan dampak banjir, namun juga disertai dengan upaya-upaya penanganan daerah-daerah resapan di wilayah Sub DAS yang telah mengalami degradasi dan teridentifikasi berpengaruh terhadap pasokan air banjir ke sungai utama.

b. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi mengenai wilayah-wilayah rawan banjir bagi perencanaan tata ruang di wilayah kabupaten yang berada di DAS Padang, dengan demikian perencanaan tata ruang yang ada dapat komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu, efektif dan efisien sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, karena berbasiskan wilayah DAS.

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kekritisan Daerah Resapan

Jika masalah utama yang sedang berjalan atau telah terjadi di DAS/Sub DAS adalah besarnya fluktuasi aliran, misalnya banjir dan kekeringan, maka dipandang perlu untuk dilakukan penilaian tentang tingkat kekritisan peresapan daerah resapan terhadap air hujan. Paradigma yang digunakan adalah semakin besar tingkat resapan (infiltrasi) maka semakin kecil tingkat air larian, sehingga debit banjir dapat menurun dan sebaliknya aliran dasar (base flow) dapat naik (Dephut, 1998). Teknik identifikasi daerah resapan dapat didekati dengan metode penumpang-tindihan peta atau overlay (McHard, 1971; Carpenter, 1979 dalam Dephut, 1998, Albrecht, 2007).

Untuk melestarikan simpanan air tanah, maka tingkat infiltrasi air hujan kedalam tanah merupakan faktor yang sangat penting. Tingkat peresapan atau infiltrasi tergantung pada: curah hujan, persentase air larian, jenis tanah, kemiringan lereng, tipe vegetasi dan penggunaan lahan (Dephut, 1998).

2.2. Banjir

2.2.1. Terminologi Banjir

(24)

estuari, banjir pantai, banjir dari danau, banjir dari kanal atau saluran air, dan banjir akibat luapan air tanah (De Bruijn, 2007 dalam De Bruijn, 2009).

Banjir, sebuah fenomena alami dan musiman di berbagai area delta dataran rendah, dapat dilihat sebagai manfaat, khususnya untuk meningkatkan kesuburan tanah di wilayah dataran banjir, namun juga sebagai sebuah bahaya, karena membahayakan keselamatan manusia, harta benda dan lingkungan, baik itu karena sebab alami ataupun akibat perbuatan manusia (Godschalk, 1991 dalam Sanyal, 2006)

(25)

Dengan demikian, tempat-tempat yang berisiko adalah tempat-tempat yang diperkirakan akan banyak terjadi korban jiwa. Tempat-tempat berisiko adalah tempat yang berbahaya sekaligus rentan terhadap banjir. Area-area berbahaya adalah area di mana banjir dimungkinkan terjadi, dengan tinggi muka air naik dengan cepat dan kedalaman air tinggi. Tempat-tempat berbahaya selanjutnya diidentifikasikan dengan melihat pada parameter banjir saja. Area-area rentan adalah area di mana banyak terdapat manusia saat banjir terjadi (De Bruijn, 2009).

Banjir adalah fenomena yang tidak dengan mudah dapat dicegah, namun demikian, perlindungan dan upaya prakiraan kejadian banjir yang mutakhir dapat mengurangi dampak yang diakibatkan banjir (Falconer, 2005).

2.2.2. Identifikasi Banjir

Identifikasi kerawanan banjir dipilah antara identifikasi daerah rawan terkena banjir (kebanjiran) dan daerah pemasok air banjir atau potensi air banjir. Hal ini penting untuk dipahami agar memudahkan cara identifikasi sumber bencana secara sistematis sehingga diperoleh teknik pengendalian banjir yang efektif dan efisien (Paimin, et.al, 2006).

(26)

2.3. Sistem Informasi Geografis

2.3.1. Pengertian Sistem Informasi Geografis (SIG)

Banyak definisi SIG telah diajukan dari waktu ke waktu, namun tidak ada

satupun yang dapat sepenuhnya memuaskan. Meskipun banyak yang mendefinisikan

sebagai sesuatu yang lebih dari sebuah teknologi, saat ini label SIG disandingkan

dengan berbagai macam hal, diantaranya yaitu sejenis perangkat lunak yang dapat

dibeli dari sebuah vendor untuk menjalankan peralatan untuk mengolah fungsi-fungsi

kompleks (perangkat lunak SIG); representasi dijital dari berbagai aspek dunia

geografis dalam bentuk rangkaian data (data SIG); komunitas orang-orang yang

menggunakan dan menyerukan penggunaan perangkat SIG untuk berbagai tujuan

(komunitas SIG); dan aktivitas menggunakan SIG untuk memberikan solusi terhadap

permasalahan atau ilmu pengetahuan lanjutan (melakukan SIG). Penamaan berlaku

pada semua hal tersebut dan pengertiannya bergantung pada konteks di mana ia

digunakan (Longley et al., 2005).

Banyak penulis mendefinisikan (SIG) dengan karakteristik yang sedikit berbeda, namun ada kesepakatan bersama bahwa kemampuan kunci dari SIG adalah kemampuannya membuat suatu basis data geografis dan data di dalamnya dapat dimanipulasi, diintegrasikan, dianalisis dan ditampilkan (Gregory & Ell, 2007).

(27)

dan sejenisnya. Ia juga menawarkan potensi untuk menjalankan analisis berganda ataupun mengevaluasi suatu skenario sebagaimana simulasi model (Lyon, 2003).

SIG dalam esensinya adalah sebuah pusat penyimpanan dan

perangkat-perangkat analisis bagi data yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Pengembang

dapat menumpangtindihkan informasi dari berbagai sumber data tersebut melalui

berbagai theme dan layer, melaksanakan analisis data secara menyeluruh dan

menggambarkannya secara grafis bagi pengguna (Galati, 2006).

2.3.2. Kelebihan SIG

Hampir semua yang terjadi, terjadi di suatu tempat. Umumnya,

aktivitas-aktivitas manusia terbatas pada ruang yang berada di dekat atau di permukaan bumi.

Mengetahui di mana suatu hal terjadi adalah kepentingan yang mendesak, apabila kita

hendak berangkat ke suatu lokasi atau menugaskan seseorang kesana, untuk mencari

informasi lain terhadap sebuah tempat, atau menginformasikan kepada seseorang

yang tinggal dekat tempat tersebut. Oleh karenanya, lokasi geografis merupakan

atribut penting dari beragam aktivitas, kebijakan, strategi dan perencanaan. Sistem

Informasi Geografis adalah sebuah kelas khusus sistem informasi yang merekam,

bukan hanya kejadian, aktivitas dan sesuatu, tetapi juga di mana kejadian, aktivitas

dan sesuatu tersebut terjadi atau berada (Longley et al., 2005).

(28)

tertentu, karena lingkungan digambarkan dengan hubungan topologis antara objek-objek fisik (e.g. komposisi tanah atau udara pada suatu ruang dan waktu tertentu, radiasi matahari pada suatu bidang lahan tertentu) dan aktivitas manusia yang memberikan dampak secara keruangan kepada lingkungan (Campagna, 2006).

Setiap data dalam sebuah basis data SIG mengandung sebuah referensi berbasis koordinat yang menjelaskan kedudukannya di muka bumi. Hal ini memberikan kerangka kerja dalam menata sebuah basis data yang memiliki banyak manfaat. Manfaat yang paling jelas adalah, memungkinkannya peneliti untuk melakukan query pada basis data tersebut untuk menanyakan di mana kedudukan suatu obyek dan bagaimana kedudukannya terkait obyek lain. Koordinat adalah sebuah alat yang bermanfaat untuk mengintegrasikan data yang berasal dari sumber yang beragam. Keuntungan lain yang ditawarkan SIG adalah kemampuannya memvisualisasikan data, terutama melalui pemetaan. Dalam SIG, peta bukan lagi sebagai produk akhir, tapi saat ini menjadi sebuah alat penelitian. Segera setelah basis data SIG dibuat, ia dapat segera dipetakan. Hal ini berarti bahwa pola-pola keruangan dalam data tersebut dapat dieksplor secara berulang selama proses penelitian, meningkatkan kemampuan kita untuk menggali lebih dalam dan memahami pola-pola keruangan yang ada. SIG juga dapat digunakan untuk menghasilkan peta dan berbagai bentuk visualisasi ilmiah lain bagi kepentingan publikasi (Gregory & Ell, 2007).

(29)

Tujuan dari banyak studi DAS, termasuk diantaranya adalah pembagian DAS, identifikasi pembagian drainase dan jaringan alur sungai, karakterisasi lereng dan hadapan, konfigurasi daerah tangkapan air dan perilaku aliran air. Menghasilkan variabel-variabel tersebut sulit dilakukan dari peta-peta cetak dan foto udara. Metode-metode tradisional tersebut menjadi pokok terjadinya kesalahan akibat operasi manual dan terbukti membutuhkan waktu yang lama (Lyon, 2003).

SIG memungkinkan menyatukan beragam elemen fisik, biologis dan manusia

dan untuk memperkirakan ukuran (luas, panjang, keliling), bentuk, skala dan dimensi

dari bidang-bidang penggunaan lahan. Sebuah manfaat SIG yang terpenting adalah

sebagai sebuah perangkat pemecahan masalah terletak pada kemampuannya untuk

mengkombinasikan yang umum dengan yang spesifik. Sebagai contoh sebuah SIG

yang dirancang untuk memecahkan permasalahan, di dalamnya terkandung

pengetahuan tentang kemiringan lereng lahan dalam bentuk peta dijital. Selanjutnya

program yang dijalankan oleh sebuah SIG akan menggambarkan pengetahuan yang

umum mengenai bagaimana kemiringan lereng lahan memberikan efek terhadap erosi

tanah. Perangkat lunak SIG merekam dan menjalankan pengetahuan umum,

sementara basis data sebuah SIG mewakili informasi yang spesifik (Longley et al.,

2005).

(30)

cenderung lebih ditekankan pada analisis statistika dan pemodelan (Lovett & Appleton, 2008).

2.3.3. Data Spasial

Dalam bentuk yang sangat umum, data geografis dapat digambarkan sebagai suatu data yang mempunyai referensi spasial. Sebuah referensi spasial adalah sebuah penunjuk bagi semacam lokasi, baik itu dalam bentuk langsung yang ditunjukkan sebagai sebuah koordinat, sebuah alamat atau kedudukan relatif terhadap lokasi lain. Suatu lokasi dapat (1) berdiri sendiri atau (2) menjadi bagian dari sebuah objek keruangan, di mana dalam kasus ini lokasi menjadi definisi pembatas bagi objek tersebut. Atribut yang diasosiasikan dengan suatu data geografis harus valid bagi seluruh koordinat yang menjadi bagian dari objek geografis (Albrecht, 2007).

2.3.4. Penginderaan Jauh

Dewasa ini, foto udara skala kecil dan citra satelit telah digunakan untuk pemetaan penggunaan lahan/penutup lahan bagi wilayah yang luas (Lillesand dan Kiefer, 1990).

(31)

2.3.5. Overlay

Overlay adalah inti dari operasi SIG yang seolah mendefinisikan SIG. Apabila sebuah perangkat lunak dapat melakukan proses overlay, maka dapat dipastikan bahwa aplikasi tersebut adalah sebuah aplikasi SIG dan bukan hanya aplikasi Computer Aided Design (CAD) atau kartografi saja (Albrecht, 2007).

Proses overlay memerlukan ketepatan dalam kesamaan lokasi. Dengan kata lain, pada suatu lokasi tertentu, suatu data yang terdapat dalam sebuah kelas fitur dan data yang terdapat dalam kelas fitur lain digabungkan menjadi sebuah set data hasil dan membentuk geometri yang sebelumnya tidak ada, sehingga menghasilkan data yang benar-benar baru (Albrecht, 2007).

2.4. Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (DTA atau catchment area) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam (Asdak, 2004).

(32)

DAS-DAS yang prioritas pengelolaannya paling tinggi karena menunjukkan kondisi dan permasalahan biofisik dan sosek DAS paling “kritis” atau “tidak sehat”. Prioritas

II adalah DAS-DAS yang prioritas pengelolaannya sedang, sedangkan DAS prioritas III dianggap kurang prioritas untuk ditangani karena kondisi biofisik dan soseknya masih relatif baik (tidak kritis) atau DAS tersebut dianggap masih “sehat” (Dephut,

2008).

Tingkat kekritisan suatu DAS ditunjukkan oleh menurunnya penutupan vegetasi permanen dan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air yang berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir, erosi dan penyebaran tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau (Dephut, 2008).

(33)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu

Pelaksanaan penelitian bertempat di wilayah DAS Padang, yaitu pada kedudukan geografis 2o 57’25,56“– 3o 29’ 15,83“LU dan 98o 48’ 59,76“– 99o 17’ 42,83“ BT. Secara administratif DAS Padang meliputi dua wilayah kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Simalungun, Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Tebing Tinggi. Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan, terhitung mulai bulan Februari tahun 2010 sampai dengan bulan Juli tahun 2010.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu perangkat keras dan perangkat lunak.

Perangkat keras yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Perangkat Global Positioning System (GPS) Garmin 276C digunakan untuk

memberikan referensi geografis lokasi pengamatan.

b. Perangkat Komputer digunakan untuk mengolah, menganalisis data dan menyajikan hasil analisis berupa peta.

c. Kamera Dijital digunakan untuk mendokumentasikan kondisi aktual penutupan lahan di lapangan.

(34)

Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. DNR Garmin versi 5.4.1 dari Minesota Departement of Natural Resources,

digunakan untuk menginput dan mengkonversi data spasial dari perangkat GPS kedalam format shapefile, sehingga data yang dihasilkan kompatibel dan dapat diolah lebih lanjut dengan Arc View versi 3.x dan Arc GIS versi 9.x.

b. Global Mapper versi 11.x, digunakan untuk mengolah data Digital Elevation Model (DEM)/Citra SRTM dan mengkonversinya kedalam format raster ASCII, sehingga dapat dianalisis lebih lanjut oleh perangkat lunak Arc GIS 9.x menjadi data kemiringan lereng dan batas DAS.

c. Arc View versi 3.x dan Arc GIS versi 9.x dari ESRI, digunakan untuk menginput, menyunting (data spasial dan tabuler), melakukan analisis overlay dan menyajikan hasil analisis dalam bentuk tampilan peta (layout)

d. Ekstensi ArcGIS v.9.3.1, ArcSWAT versi 2009.93.3 Beta released 1/27/10 dari Stone Environmental Inc., Texas A&M Spatial Sciences Lab. & Blackland Research & Extension Center, digunakan untuk melakukan delineasi batas DAS hingga tingkat Sub-Sub DAS.

(35)

Gambar 1. Skema Penerapan Penggunaan Perangkat Lunak dalam Penelitian

Penelitian ini menggunakan bahan berupa Peta Dasar dan Peta Tematik dengan liputan keseluruhan wilayah DAS Padang sebagai berikut:

(1) Peta Dijital Rupabumi Sumatera skala 1 : 50.000, lembar peta: 0618-64 SONDI

0619-32 NEGERI DOLOK 0719-11 DOLOK MERAWAN 0719-13 TEBING TINGGI 0719-14 INDRAPURA

(2) Peta Landsystem - Regional Physical Planning Project for Transmigration (RePPProT), skala 1 : 250.000

(36)

(5) Citra Digital Elevation Model (DEM), Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) 30 Arc Sec.

(6) Peta Penutupan Lahan tahun 2007 skala 1 : 250.000 (7) Peta Administrasi Kabupaten/Kota skala 1 : 50.000

(8) Peta Penafsiran Citra Landsat Thematic Mapper Tahun 2009, Path 128 Row 058 dan Path 129 Row.

(9) Data klimatologi periode 1970 – 2008 dari 46 pos hujan yang tersebar di dalam dan di sekitar wilayah DAS Padang. Pos-pos hujan yang digunakan datanya dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 4.

3.3. Rancangan Penelitian

3.3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif, di mana hasil penelitian memberikan gambaran keruangan mengenai kondisi kekritisan daerah resapan, wilayah pemasok air banjir dan wilayah rawan banjir di DAS Padang berdasarkan parameter komponen-komponen lingkungan yang terukur secara kuantitatif.

(37)

3.3.2. Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data sekunder dan data primer dengan penjelasan proses pengumpulannya sebagai berikut:

A. Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peta dasar, peta tematik dan data klimatologi yang diperoleh dari instansi-instansi pemerintah yang memiliki data atau yang menjadi wali data tersebut, sebagai berikut:

(1) Peta Dijital Rupabumi diperoleh dari Bakosurtanal.

(2) Peta Regional Physical Planning Project for Transmigration (RePPProT)/ Landsystem, diperoleh dari Ditjen RLPS, Kementerian Kehutanan.

(3) Peta Satuan Lahan dan Tanah diperoleh dari BBSDLP, Kementerian Pertanian. (4) Citra Digital Elevation Model (DEM), Shuttle Radar Topographic Mission

(SRTM) 30 Arc Sec (NASA), diperoleh dari LAPAN.

(5) Peta Penutupan Lahan tahun 2006, Ditjen Planologi, Departemen Kehutanan. (6) Peta Administrasi Kabupaten/Kota diperoleh dari Bappeda Kabupaten/Kota. (7) Peta Penafsiran Citra Landsat Thematic Mapper Tahun 2009, Path 128 Row 058

dan Path 129 Row 059 diperoleh dari BIOTROP.

(8) Data klimatologi (curah hujan) diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) - Stasiun Klimatologi Sampali.

B. Data Primer

(38)

terindikasi sebagai daerah rawan banjir. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan survei lapangan dan plotting koordinat lokasi sebagai referensi bagi penilaian daerah rawan banjir secara spasial.

3.3.3. Analisis Data

A. Identifikasi Kekritisan Daerah Resapan

Untuk mengidentifikasi kekritisan daerah resapan komponen lingkungan yang dipakai terdiri dari kemiringan lereng, jenis tanah, hujan dan penggunaan lahan. Keempat komponen ini ditransformasikan terlebih dahulu kedalam nilai-nilai tingkat infiltrasi potensial dan nilai tingkat infiltrasi aktualnya (Dephut, 1998).

(1) Kemiringan Lereng

Data Citra SRTM dikonversi kedalam format ASCII raster (*.asc) menggunakan Global Mapper v.11.x, selanjutnya menggunakan ArcGIS v.9.x data ASCII raster tersebut diolah menjadi peta kemiringan lereng yang diklasifikasikan menjadi lima kelas lereng.

Kelas kemiringan lereng tersebut selanjutnya ditransformasikan berdasarkan pengaruhnya terhadap tingkat peresapan (infiltrasi) sebagaimana Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Hubungan Kemiringan Lereng dan Tingkat Infiltrasi

(39)

(2) Jenis Tanah

Berdasarkan pengujian, karateristik tanah dan geohidrologi selanjutnya ditransformasi berdasarkan hubungannya dengan infiltrasi (permeabilitas tanah) dengan klasifikasi sebagaimana Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Hubungan Permeabilitas Tanah dan Nilai Infiltrasi

Kelas Deskripsi Permeabilitas

Jika klasifikasi tersebut dikaitkan dengan jenis tanah, maka dapat dikonversikan sebagaimana Tabel 3 berikut:

Tabel 3. Potensi Infiltrasi untuk Setiap Jenis Tanah

Parameter Klasifikasi Jenis Tanah

Kelas Deskripsi Notasi FAO Soil Taxonomy

Infiltrasi I Besar a Andosol hitam Dystrandepts II Agak besar b Andosol coklat Hydrandepts

III Sedang c Regosol Tropopsamments, Tropaquepts IV Agak kecil d Latosol Dystropepts, Eutropepts

V Kecil e Aluvial Hydraquents, Sulfaquents, Tropaquents

Sumber: Dephut, 1998; Purwanto, 1997

(3) Curah Hujan (RD)

(40)

Hasil perhitungan RD dilakukan berdasarkan data curah hujan tahunan dan hari hujan dalam satu tahun dari 46 pos hujan yang berada di sekitar/wilayah DAS Padang. Rincian pos hujan dan atribut data iklim yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 4. Pemetaan RD dilakukan dengan bantuan ekstensi Spatial Analyst Tools dari ArcGIS v.9.x. Metode interpolasi RD menggunakan Inverse Distance Weighted (IDW) dari nilai RD berdasarkan kedudukan geografis stasiun hujannya. Nilai hujan infiltrasi dari proses interpolasi tersebut selanjutnya ditransformasi kedalam nilai potensi infiltrasinya. Hasil klasifikasi nilai RD dalam kaitannya dengan nilai potensial infiltrasinya dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Klasifikasi Nilai “Hujan Infiltrasi” RD

Kelas Deskripsi Nilai

Sumber: Wischemeier, 1958; Chow, 1968; Wiersum Ambar, 1980 dalam Dephut, 1998

(4) Penggunaan Lahan

(41)

tebal tajuk, kelebatan, serasah yang dihasilkan, rerumputan dan herba sebagai penutup tanah (Dephut, 1998).

Kondisi penggunaan lahan DAS Padang didekati dengan Peta Penutupan Lahan tahun 2006 dari Kementerian Kehutanan. Untuk mendekati kondisi aktual di lapangan, maka Peta Penutupan Lahan dikoreksi secara visual menggunakan citra Landsat 5 TM tahun 2008. Tipe penutupan lahan pada Peta Penutupan Lahan yang telah dikoreksi selanjutnya ditransformasikan kedalam nilai tingkat infiltrasi aktualnya secara kualitatif sebagaimana Tabel 5 berikut:

Tabel 5. Nilai Tingkat Infiltrasi Aktual (Kualitatif)

Parameter Klasifikasi Tipe Penggunaan Lahan Kelas Deskripsi Notasi

Infiltrasi I Besar A Hutan lebat

II Agak besar B Hutan produksi, perkebunan

III Sedang C Semak, padang rumput

IV Agak kecil D Hortikultura (landai)

V Kecil E Permukiman, sawah

Sumber: Chow, 1968; Suwardjo, 1975, Wiersum & Ambar, 1980; S. Ambar, 1986 dalam Dephut, 1998

(5) Klasifikasi Kekritisan Daerah Resapan

Kondisi kekritisan daerah resapan diperoleh dari hasil tumpang susun Peta Potensi Infiltrasi dengan Peta Tingkat Infiltrasi Aktual, di mana kondisi kekritisan daerah resapan merupakan perbandingan antara kondisi potensi infiltrasi suatu wilayah dengan tingkat infiltrasi aktualnya.

(42)

Tabel 6. Skoring Notasi Potensi Infiltrasi

Sumber: Chow, 1968; Suwardjo, 1975, Wiersum & Ambar, 1980; S. Ambar, 1986 dalam Dephut, 1998

Parameter-parameter penyusun potensi infiltrasi yang telah diskoring selanjutnya ditumpang-susun untuk mendapatkan skor potensi infiltrasi. Proses tumpang susun ini menghasilkan unit-unit lahan baru yang merupakan gabungan dari parameter jenis tanah, curah hujan dan kemiringan lereng. Dengan demikian, dalam sebuah unit lahan yang baru, akan didapati skor-skor dari parameter-parameter awal yang menyusunnya.

Untuk dapat menilai suatu unit lahan yang baru sebagai sebuah potensi infiltrasi, maka skor awal dari tiap-tiap parameter yang terdapat pada masing-masing unit lahan dihitung dengan cara dijumlahkan. Hasil dari penjumlahan tersebut kemudian dikelompokkan kedalam lima kelas potensi infiltrasi dan membentuk notasi potensi infiltrasi baru, sehingga menggambarkan potensi infiltrasi dari masing-masing unit lahan yang terbentuk. Klasifikasi hasil penjumlahan parameter penyusun potensi infiltrasi terhadap notasi potensi infiltrasi dapat dilihat pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7. Notasi Hasil Penjumlahan Skor Parameter Potensi Infiltrasi

Jumlah Skor Deskripsi Notasi Potensi

(43)

Peta Infiltrasi Aktual diperoleh dari parameter penggunaan lahan yang telah ditransformasikan kedalam notasi tingkat infiltrasi aktualnya, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5 terdahulu.

Tahap akhir dalam proses identifikasi kekritisan daerah resapan adalah dengan melakukan tumpang susun Peta Potensi Infiltrasi (curah hujan, kemiringan lereng dan tanah) dengan Peta Infiltrasi Aktual (penggunaan lahan). Proses tumpang susun tersebut menghasilkan unit-unit lahan telah mempunyai kombinasi nilai potensi infiltrasi dan nilai tingkat infiltrasi aktual, sehingga tingkat kekritisan daerah resapan pada tiap-tiap unit lahan dapat teridentifikasi. Adapun kriteria yang dipakai untuk menilai kondisi kekritisan daerah resapan adalah sebagai-berikut (Dephut, 1998): I Kondisi Baik, yaitu jika nilai infiltrasi aktual lebih besar dibanding nilai

infiltrasi potensial, misalnya dari e menjadi A, atau dari d menjadi B dan seterusnya.

II Kondisi Normal Alami, yaitu jika nilai infiltrasi aktual sama atau tetap seperti nilai infiltrasi potensialnya, misalnya dari b menjadi B, atau dari c menjadi C dan seterusnya.

III Kondisi Mulai Kritis, yaitu jika nilai infiltrasi aktual sudah turun setingkat dari nilai infiltrasi potensialnya, misalnya dari a menjadi B, atau dari c menjadi D dan seterusnya.

(44)

V Kondisi Kritis, yaitu jika nilai infiltrasi aktual sudah turun tiga tingkat dari nilai infiltrasi potensialnya, misalnya dari a menjadi D, atau dari b menjadi E. VI Kondisi sangat Kritis, yaitu jika nilai infiltrasi aktual berubah dari sangat

besar menjadi sangat kecil, misalnya dari a menjadi E.

Metode identifikasi karakteristik hingga penentuan kelas kondisi daerah resapan ini secara skematis ditunjukkan oleh Gambar 2.

(45)

B. Identifikasi Daerah Pemasok Air Banjir

Besarnya pasokan air banjir diidentifikasi dari besarnya curah hujan dan karakteristik daerah tangkapan air. Tingkat ancaman hujan terhadap besarnya banjir tergantung dari hujan harian maksimum yang merata terjadi pada daerah tangkapan air tersebut. Sedangkan karakteristik daerah tangkapan air dipilah antara faktor alami (relatif sulit dikelola) dan faktor manajemen (mudah dikelola). Faktor alami yang mempengaruhi air banjir dari daerah tangkapan air adalah bentuk DAS, gradien sungai, kerapatan drainase dan lereng rata-rata DAS, sedangkan faktor manajemen adalah penggunaan/penutupan lahan (Paimin, et al. 2009).

(1) Hujan Harian Maksimum (rata-rata bulan basah)

Hujan harian maksimum rata-rata pada bulan basah diperoleh berdasarkan data curah hujan dari 31 stasiun hujan yang berada di sekitar/wilayah DAS Padang (Lampiran 4). Pemetaan hujan harian maksimum rata-rata bulan basah dilakukan dengan bantuan ekstensi Spatial Analyst Tools dari ArcGIS v.9.x menggunakan metode interpolasi Inverse Distance Weighted (IDW) dari nilai hujan harian maksimum berdasarkan kedudukan geografis stasiun hujannya.

(46)

Tabel 8. Klasifikasi Skoring dan Bobot Hujan Harian Maksimum

Bentuk DAS diperoleh dari pengolahan citra SRTM. Citra SRTM dikonversi kedalam format ASCII raster (*.asc) menggunakan Global Mapper v.11.x, selanjutnya menggunakan ArcGIS v.9.x data ASCII raster tersebut dikonversi kedalam format raster grid. Dengan menggunakan ekstensi ArcSWAT, data raster grid tersebut didelineasi sehingga membentuk daerah-daerah tangkapan air/DAS. Daerah tangkapan air yang terbentuk tersebut selanjutnya dikategorikan kedalam Sub DAS dan Sub-Sub DAS berdasarkan daerah tangkapan air sungai utamanya.

Mengingat pentingnya bentuk DAS, sejumlah peneliti telah mencoba, mengandalkan pada prinsip kemiripan geometrik untuk menggantikan sejumlah deskripsi seperti oval, persegi atau membujur dengan indeks yang lebih tepat yang dapat digunakan dalam formulasi matematis (Zavoianu, 1985).

Miller (1953) (dalam Zavoianu, 1985) memperkenalkan Circularity Ratio (RC) yang mewakili hasil pembagian antara luas (Ab) sebuah DAS dan luas (Ac) sebuah lingkaran yang kelilingnya sama dengan keliling DAS.

(47)

Untuk mendapatkan rasio ini, luas dan keliling DAS harus dihitung. Ketika nilai rasio sama dengan satu maka DAS membentuk lingkaran sempurna, menurun pada rasio 0,785 DAS berbentuk persegi dan semakin menurun nilainya hingga pada akhirnya berbentuk memanjang. Circularity Ratio dapat diturunkan menjadi formula sebagai berikut, di mana P adalah keliling DAS.

2 dikarenakan faktor fisiografis dan lereng selalu berperan sehingga sebuah DAS mempunyai bentuk memanjang. Berdasarkan persamaan di atas, maka bentuk DAS dihitung berdasarkan rasio antara luas dengan keliling DAS.

Bobot dan skor bentuk DAS berdasarkan perannya terhadap tingkat pasokan air hujan dapat dilihat pada Tabel 9 berikut:

Tabel 9. Klasifikasi Skoring dan Bobot Bentuk DAS

Parameter/Bobot Circularity Ratio Klasifikasi Kategori Skor Bentuk DAS Sumber: Paimin et al. 2009 dan Miller 1953 dalam Zavoianu, 1995

(3) Gradien Sungai

Gradien Sungai diperoleh dari hasil pengolahan Peta Pola Aliran Sungai, Peta DAS dan Peta Wilayah Ketinggian (elevasi). Parameter gradien sungai (á) dihitung

(48)

sedangkan h85 dan h10 adalah elevasi sungai utama pada (0,85)Lb dan (0,1)Lb yang dihitung dari outlet sungai utama.

Bobot dan skor parameter gradien sungai berdasarkan perannya terhadap tingkat pasokan air hujan dapat dilihat pada Tabel 10 berikut:

Tabel 10. Klasifikasi Skoring dan Bobot Gradien Sungai

Parameter/Bobot Klasifikasi Kategori Skor

Kerapatan Drainase diperoleh dari hasil analisis Peta Pola Aliran Sungai dan Peta Bentuk DAS.

Chebotarev (1953) (dalam Zavoianu, 1985) menunjukkan bahwa kerapatan drainase dapat dijelaskan sebagai rasio dari rata-rata panjang alur sungai (l) berbanding dengan rata-rata area yang dilaluinya (a). Apabila dalam sebuah area DAS (A) terdapat sejumlah n alur sungai atau segmen sungai dengan total panjang ÓL, maka l = ÓL/n dan a = A/n. Maka atas dasar persamaan tersebut, parameter kerapatan drainase (Dd) dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut:

(49)

Terkait dengan nilai kerapatan drainase, Lynsley (1949) (dalam Dephut,1996) menyatakan bahwa jika nilai kerapatan drainase lebih kecil dari 1 mil/mil2 (0,62 km/km2), DAS akan mengalami penggenangan, sedangkan jika nilai kepadatan aliran lebih besar dari 5 mil/mil2 (3,10 km/km2), DAS sering mengalami kekeringan.

Bobot dan skor parameter kerapatan drainase berdasarkan perannya terhadap tingkat pasokan air hujan dapat dilihat pada Tabel 11 berikut:

Tabel 11. Klasifikasi Skoring dan Bobot Kerapatan Drainase

Parameter/Bobot Kerapatan Drainase Klasifikasi Kategori Skor Kerapatan drainase menggunakan Global Mapper v.11.x, selanjutnya menggunakan ArcGIS v.9.x data ASCII raster tersebut diolah menjadi peta kemiringan lereng yang diklasifikasikan menjadi lima kelas lereng.

Bobot dan skor kemiringan lereng rata-rata DAS berdasarkan pengaruhnya terhadap tingkat pasokan air hujan dapat dilihat pada Tabel 12 berikut:

Tabel 12. Klasifikasi Skoring dan Bobot Lereng Rata-rata DAS

(50)

(6) Penggunaan Lahan

Kondisi penggunaan lahan DAS Padang didekati dengan Peta Penutupan Lahan tahun 2006 dari Kementerian Kehutanan. Untuk mendekati kondisi aktual di lapangan, maka Peta Penutupan Lahan dikoreksi secara visual menggunakan citra Landsat 5 TM tahun 2008.

Bobot dan skor penggunaan lahan berdasarkan pengaruhnya terhadap tingkat pasokan air hujan dapat dilihat pada Tabel 13 berikut:

Tabel 13. Klasifikasi Skoring dan Bobot Penggunaan Lahan

Parameter/Bobot Klasifikasi Kategori Skor gradien sungai, kerapatan drainase, lereng rata-rata DAS dan penggunaan lahan yang telah ditransformasi kedalam skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap tingkat pasokan air hujan, selanjutnya dilakukan overlay terhadap kelima parameter tersebut untuk dapat menghasilkan Peta Daerah Pemasok Air banjir.

(51)

Formulasi yang digunakan untuk memperoleh skor tertimbang daerah pemasok air banjir adalah sebagai berikut:

Skor Tertimbang = ((30% × HH) + (10% × BD) + (10% × GS) + (5% × KD) + (45% × LD) ) + (45% × PL)) : 100

HH = Skor hujan harian max. KD = Skor kerapatan drainase BD = Skor bentuk DAS LD = Skor lereng DAS GS = Skor gradien sungai PL = Skor penggunaan lahan

Klasifikasi skor tertimbang daerah pemasok air banjir dapat dilihat pada Tabel 14 berikut:

Tabel 14. Skor Tertimbang Identifikasi Kerawanan Daerah Pemasok Air Banjir

No. Skor Tertimbang Kategori

1. > 4,3 Tinggi

2. 3,5 – 4,3 Agak Tinggi

3. 2,6 – 3,4 Sedang

4. 1,7 – 2,5 Agak Rendah

5. < 1,7 Rendah

Sumber: Paimin et al. 2009

(52)

Gambar 3. Skema Garis Besar Pendekatan Penyusunan Model Pengkajian Tingkat Pasokan Air Banjir

C. Identifikasi Daerah Rawan Banjir

(53)

(1) Bentuk Lahan

Data bentuk lahan diperoleh dari Peta Landsystem. Data bentuk lahan dari Peta Landsystem dikalibrasikan dengan Citra SRTM melalui proses dijitasi menggunakan ArcView v.3.x. Proses kalibrasi tersebut diperlukan untuk memperoleh keakurasian bentuk lahan yang lebih baik data, di mana bentuk lahan yang dihasilkan memiliki akurasi setara peta Skala 1 : 50.000.

Kelas bentuk lahan dataran aluvial, lembah aluvial, kelokan sungai dan rawa-rawa, merupakan daerah yang rentan terkena banjir karena merupakan daerah rendah atau cekungan dengan lereng < 2% (Paimin, 2009).

Kelas bentuk lahan yang telah dikalibrasi selanjutnya ditransformasikan kedalam skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap proses banjir sebagaimana Tabel 15 berikut:

Tabel 15. Klasifikasi Skoring dan Bobot Bentuk Lahan

Parameter/Bobot Klasifikasi Kategori Skor

(54)

Data kemiringan lereng diperoleh dari pengolahan citra SRTM. Citra SRTM dikonversi kedalam format ASCII raster (*.asc) menggunakan Global Mapper v.11.x, selanjutnya menggunakan ArcGIS v.9.x data ASCII raster tersebut diolah menjadi Peta Kemiringan Lereng. Peta Kemiringan Lereng yang dihasilkan dibagi kedalam tiga kelas lereng untuk kemudian ditransformasikan kedalam skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap proses banjir sebagaimana Tabel 16 berikut:

Tabel 16. Klasifikasi Skoring dan Bobot Kemiringan Lereng (KiriKanan

Pembendungan alami adalah keberadaan percabangan sungai, penyempitan sungai, dan atau daerah di sekitar muara di mana aliran sungai tertahan oleh air laut pasang.

Pembendungan alami diidentifikasi dari Peta Aliran Sungai. kemudian ditransformasikan kedalam skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap proses banjir sebagaimana Tabel 17 berikut:

Tabel 17. Klasifikasi Skoring dan Bobot Pembendungan Alami

(55)

(4) Sinusitas Meandering

Tingkat kebanjiran diukur dengan nilai sinusitas (P), yaitu panjang sungai sesuai kelokan dengan panjang sungai secara horizontal yang berupa garis lurus dalam satuan peta (Paimin et al. 2009). Sinusitas meandering diidentifikasi dari Peta Pola Aliran Sungai dan dibatasi pada lereng-lereng ≤ 5% yang berada di kanan-kiri sungai.

Gambar 4. Parameter untuk Menggambarkan Meander (Hugget, j. R., 2007 dengan Modifikasi)

(56)

Tabel 18. Klasifikasi Skoring dan Bobot Sinusitas Meandering

Keberadaan Bangunan Air diperoleh berdasarkan pengumpulan data primer lokasi bangunan air dengan bantuan GPS pada daerah yang secara alami terindikasi rawan banjir.

Parameter keberadaan bangunan air tersebut selanjutnya menjadi dasar bagi penilaian parameter manajemen terhadap daerah yang secara alami terindikasi rawan banjir. Parameter keberadaan bangunan air pada daerah yang secara alami terindikasi rawan banjir kemudian ditransformasikan kedalam skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap proses banjir sebagaimana Tabel 19 berikut:

Tabel 19. Klasifikasi Skoring dan Bobot Keberadaan Bangunan Air

Parameter/Bobot Klasifikasi Kategori Skor

(57)

skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap proses banjir, selanjutnya dilakukan overlay terhadap kelima parameter tersebut untuk dapat menghasilkan Peta Daerah Rawan Banjir.

Penghitungan skor dan bobot perlu dilakukan setelan proses overlay selesai untuk memperoleh skor tertimbang yang menjadi dasar bagi penilaian tingkat kerawanan suatu wilayah terhadap banjir.

Formulai yang digunakan untuk memperoleh skor tertimbang daerah rawan banjir adalah sebagai berikut:

Skor Tertimbang = ((30% × BL) + (10% × KL) + (10% × PA) + (5% × SM) + (45% × BA)) : 100

BL = Skor bentuk lahan SM = Skor sinusitas meandering

Kl = Skor kemiringan lereng BA = Skor bangunan air

PA = Skor pembendungan alami

Klasifikasi skor tertimbang daerah rawan terkena banjir dapat dilihat pada Tabel 20 berikut:

Tabel 20. Skor Tertimbang Identifikasi Daerah Rawan Banjir

No. Skor Tertimbang Kategori

(58)
(59)

IV. DESKRIPSI WILAYAH DAS PADANG

3.1. Kedudukan Geografis dan Pembagian Wilayah Administrasi

Secara geografis kedudukan DAS Padang berada pada lintang bujur 2o 57’ 25,56“ – 3o 29’ 15,83“LU dan 98o 48’ 59,76“ – 99o 17’ 42,83“ BT dan meliputi wilayah seluas 110.671,85 hektar (1.106,71 km2). Secara administrasi, wilayah DAS Padang meliputi dua wilayah kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Simalungun dan Kota Tebing Tinggi. Dengan demikian DAS Padang dapat dikategorikan sebagai DAS lintas kabupaten/kota. Gambaran spasial wilayah kabupaten/kota yang berada di DAS Padang dapat dilihat pada Gambar 6 Peta Wilayah Administrasi DAS Padang.

(60)
(61)

Kabupaten Simalungun mencakup 40,3% wilayah DAS Padang seluas 44,570,97 hektar. Kabupaten Simalungun menempati posisi kedua wilayah administrasi terluas di wilayah DAS Padang dengan lima wilayah kecamatannya berada di wilayah DAS Padang, yaitu Kecamatan Dolok Batunanggar, Kecamatan Raya, Kecamatan Raya Kahean, Kecamatan Silau Kahean dan Kecamatan Tapian Dolok.

Kota Tebing Tinggi mencakup 3,5% wilayah DAS Padang seluas 3.903,39 hektar. Meskipun memiliki proporsi luas wilayah yang paling kecil dibandingkan dengan dua kabupaten lainnya, namun tidak seperti kedua wilayah administrasi lainnya di mana hanya sebagian wilayahnya saja yang berada di DAS Padang, seluruh wilayah Kota Tebing Tinggi berada di wilayah DAS Padang. Dengan demikian seluruh kecamatan di wilayah Kota Tebing Tinggi berada di wilayah DAS Padang, yaitu Kecamatan Bajenis, Kecamatan Padang Hilir, Kecamatan Padang Hulu, Kecamatan Rambutan dan Kecamatan Tebing Tinggi Kota.

(62)

Tabel 21. Wilayah Administrasi DAS Padang

Total Serdang Bedagai* 6.819,89 4.462,91 7.814,09 3.691,29 15.008,24 15.543,35 8.857,72 62.197,49 56,2

(63)

3.2. Morfometri dan Pembagian Wilayah Sub DAS

Sebagai sebuah kesatuan ekosistem DAS, sungai utama DAS Padang mengalir sepanjang 112,41 km, dengan nilai gradien sungai 0,59 dan angka rasio kebulatan (RC) 0,29. Dari nilai gradien sungai dan angka rasio kebulatan tersebut, dapat diketahui bahwa wilayah ekosistem DAS Padang memiliki kemiringan alur sungai yang termasuk kedalam kelas landai dan memiliki bentuk daerah aliran yang termasuk kedalam kelas lonjong.

DAS Padang terbentuk sebagai kesatuan dari tujuh wilayah Sub DAS, yaitu Sub DA Bah Hilang, Sub DA Bah Kaliat, ub DA Bah Sumbu, Sub DA Sei Kalembah, Sub DA Sei Padang, Sub DA Sei Padang Hilir dan Sub DA Sei Sibarau. Morfometri DAS Padang sampai dengan tingkat Sub DAS dapat dilihat pada Tabel 22 berikut.

Tabel 22. Morfometri DAS Padang (Tingkat Sub DAS)

No Sub DAS RC Bentuk Sub DAS Gradien Luas (hektar) % Luas DAS

(64)

tersebut, dapat diketahui bahwa Sub DA Bah Hilang memiliki kemiringan alur sungai yang termasuk kedalam kelas datar, sehingga dinilai rendah dalam perannya memasok air banjir dan memiliki bentuk daerah aliran yang termasuk kedalam kelas lonjong (memanjang).

Secara Administratif Sub DA Bah Hilang melintasi tiga wilayah administrasi kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Serdang Bedagai pada Kecamatan Dolok Merawan dan Kecamatan Tebing Syah Bandar seluas 6.819,89 hektar (71,5% wilayah Sub DAS), Kabupaten Simalungun pada Kecamatan Dolok Batunanggar dan Kecamatan Tapian Dolok seluas 2.310,28 hektar (24,2% wilayah Sub DAS) dan Kota Tebing Tinggi pada Kecamatan Bajenis, Kecamatan Padang Hilir, Kecamatan Padang Hulu dan Kecamatan Tebing Tinggi Kota seluas 410,96 hektar (4,3% wilayah Sub DAS). (2) Sub DA Bah Kaliat

Secara geografis keudukan Sub DA Bah Kaliat berada pada lintang bujur 03o 16’ 37“ – 03o 29’ 16“ LU dan 99o 07’ 41“ – 99o 17’ 43“ BT. Sub DA Bah Kaliat mencakup 11,57% wilayah DAS Padang seluas 12.803,10 hektar. Sub DA Bah Kaliat memiliki nilai gradien sungai 1,12 dan RC 0,26. Dari nilai gradien sungai dan RC tersebut, dapat diketahui bahwa Sub DA Bah Kaliat memiliki kemiringan alur sungai yang termasuk kedalam kelas agak curam, sehingga dinilai sedang dalam perannya memasok air banjir dan memiliki bentuk daerah aliran yang termasuk kedalam kelas agak lonjong.

(65)

Kecamatan Sipispis seluas 4.462,91 hektar (34,9% wilayah Sub DAS) dan Kabupaten Simalungun pada Kecamatan Raya dan Kecamatan Tapian Dolok seluas 8.340,19 hektar (65,1% wilayah Sub DAS).

(3) Sub DA Bah Sumbu

Secara geografis keudukan Sub DA Bah Sumbu berada pada lintang bujur 03o 10’ 28“ – 03o 20’ 03“ LU dan 99o 06’ 08“– 99o 09’ 30“ BT. Sub DA Bah Sumbu mencakup 9,95% wilayah DAS Padang seluas 11.009,56 hektar. Sub DA Bah Sumbu memiliki nilai gradien sungai 0,55 dan RC 0,19. Dari nilai gradien sungai dan RC tersebut, dapat diketahui bahwa Sub DA Bah Sumbu memiliki kemiringan alur sungai yang termasuk kedalam kelas datar, sehingga dinilai rendah dalam perannya memasok air banjir dan memiliki bentuk daerah aliran yang termasuk kedalam kelas lonjong (memanjang).

Secara Administratif Sub DA Bah Sumbu melintasi dua wilayah administrasi kabupaten, yaitu Kabupaten Serdang Bedagai pada Kecamatan Sipispis dan Kecamatan Tebing Tinggi seluas 7.814,09 hektar (71% wilayah Sub DAS) dan Kabupaten Simalungun pada Kecamatan Raya Kahean seluas 3.195,47 hektar (29% wilayah Sub DAS).

(4) Sub DA Sei Kalembah

(66)

sungai dan RC tersebut, dapat diketahui bahwa Sub DA Sei Kalembah memiliki kemiringan alur sungai yang termasuk kedalam kelas datar, sehingga dinilai rendah dalam perannya memasok air banjir dan memiliki bentuk daerah aliran yang termasuk kedalam kelas lonjong (memanjang).

Secara Administratif Sub DA Sei Kalembah melintasi dua wilayah administrasi kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Serdang Bedagai pada Kecamatan Dolok Merawan, Kecamatan Tebing Syah Bandar dan Kecamatan Tebing Tinggi seluas 3.691,29 hektar (84,7% wilayah Sub DAS) dan Kota Tebing Tinggi pada Kecamatan Bajenis dan Kecamatan Padang Hulu seluas 669,16 hektar (15,3% wilayah Sub DAS).

(5) Sub DA Sei Padang

Secara geografis keudukan Sub DA Sei Padang berada pada lintang bujur 02o 59’ 28“ – 03o 20’ 17“ LU dan 98o 51’ 03“ – 99o 08’ 31“ BT. Sub DA Sei Padang mencakup 27,36% wilayah DAS Padang seluas 30.276,28 hektar. Sub DA Sei Padang memiliki nilai gradien sungai 0,77 dan RC 0,16. Dari nilai gradien sungai dan RC tersebut, dapat diketahui bahwa Sub DA Sei Padang memiliki kemiringan alur sungai yang termasuk kedalam kelas landai, sehingga dinilai agak rendah dalam perannya memasok air banjir dan memiliki bentuk daerah aliran yang termasuk kedalam kelas lonjong (memanjang).

(67)

wilayah Sub DAS), Kabupaten Simalungun pada Kecamatan Raya, Kecamatan Raya Kahean dan Kecamatan Tapian Dolok seluas 14.923,61 hektar (49,3% wilayah Sub DAS) dan Kota Tebing Tinggi pada Kecamatan Bajenis dan Kecamatan Padang Hulu seluas 344,93 hektar (1,1% wilayah Sub DAS).

(6) Sub DA Sei Padang Hilir

Secara geografis keudukan Sub DA Sei Padang Hilir berada pada lintang bujur 02o 57’26“– 03o 21’15“ LU dan 98o 48’59,76“– 99o 08’39“ BT. Sub DA Sei Padang Hilir mencakup 15,97% wilayah DAS Padang seluas 17.677,27 hektar. Sub DA Sei Padang Hilir memiliki nilai gradien sungai 0,07 dan RC 0,37. Dari nilai gradien sungai dan RC tersebut, dapat diketahui bahwa Sub Sei Padang Hilir memiliki kemiringan alur sungai yang termasuk kedalam kelas datar, sehingga dinilai rendah dalam perannya memasok air banjir dan memiliki bentuk daerah aliran yang termasuk kedalam kelas agak lonjong.

(68)

(7) Sub DA Sei Sibarau

Secara geografis keudukan Sub DA Sei Sibarau berada pada lintang bujur 03o 06’ 03“– 03o 17’ 27“ LU dan 98o 53’ 45“– 99o 06’01“ BT. Sub DA Sei Sibarau mencakup 22,59% wilayah DAS Padang seluas 25.004,07 hektar. Sub DA Sei Sibarau memiliki nilai gradien sungai 1,33 dan RC 0,10. Dari nilai gradien sungai dan RC tersebut, dapat diketahui bahwa Sub DA Sei Sibarau memiliki kemiringan alur sungai yang termasuk kedalam kelas agak curam, sehingga dinilai sedang dalam perannya memasok air banjir dan memiliki bentuk daerah aliran yang termasuk kedalam kelas lonjong (memanjang).

Secara Administratif Sub DA Sei Sibarau melintasi tiga wilayah administrasi kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Serdang Bedagai pada Kecamatan Dolok Masihul, Kecamatan Sipispis dan Kecamatan Tebing Tinggi seluas 8.857,72 hektar (35,4%), Kabupaten Simalungun pada Kecamatan Raya, Kecamatan Raya Kahean dan Kecamatan Silau Kahean seluas 15.801,42 hektar (63,2% wilayah Sub DAS) dan Kota Tebing Tinggi pada Kecamatan Bajenis dan Kecamatan Rambutan seluas 344,93 hektar (1,1% wilayah Sub DAS).

(69)
(70)
(71)
(72)

3.3. Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng lahan DAS Padang terbagi kedalam lima kelas kemiringan lereng, yaitu: (1) 0 – 8%; (2) 8 – 15%; (3) 15 – 25%; (4) 25 – 40%; dan (5) >40%. Berdasarkan hasil tumpang susun (overlay) peta, dapat diketahui cakupan luasan masing-masing wilayah kemiringan lereng di wilayah DAS Padang. Gambaran spasial kemiringan lereng lahan DAS Padang dapat dilihat pada Gambar 10. Peta Kemiringan Lereng Lahan Daerah Aliran Sungai Padang.

Wilayah kemiringan lereng 0 – 8% dapat digambarkan sebagai wilayah yang memiliki topografi datar. Wilayah ini merupakan wilayah yang paling dominan, karena mencakup 59,63% wilayah DAS Padang, seluas 65.991,37 hektar. Pada formulasi daerah rawan banjir, wilayah kemiringan lereng 0 – 8% yang berada di wilayah kanan dan kiri sungai DAS Padang lebih lanjut dibagi kedalam tiga kelas kemiringan lereng, yaitu (1) 0 – 2%; (2) 2 – 8% dan (3) > 8%, di mana pada wilayah-wilayah inilah terjadi banjir limpasan ataupun genangan, karena aliran air yang cenderung terhambat. Gambaran spasial kemiringan lereng lahan kanan dan kiri sungai DAS Padang dapat dilihat pada Gambar 11. Peta Kemiringan Lereng Kanan Kiri Sungai Daerah Aliran Sungai Padang.

(73)
(74)
(75)

Wilayah kemiringan lereng 15 – 25% dapat digambarkan sebagai wilayah yang memiliki topografi bergelombang. Wilayah ini mencakup 7% wilayah DAS, seluas 7.824,57 hektar.

Wilayah kemiringan lereng 25 – 40% dapat digambarkan sebagai wilayah dengan topografi berbukit dan berlereng curam. Wilayah ini mencakup 4% wilayah DAS Padang seluas 4.193,13 hektar.

Wilayah kemiringan lereng >40% dapat digambarkan sebagai wilayah dengan topografi bergunung dan berlereng sangat curam.

(76)
(77)

3.4. Jenis Tanah

Berdasarkan Peta Satuan Lahan dan Tanah yang ditumpangsusunkan dengan Peta Wilayah DAS Padang, dapat diketahui bahwa jenis tanah utama di wilayah DAS Padang terbagi kedalam sembilan kelompok, yaitu Dystrandepts, Hydrandepts, Dystropepts, Eutropepts, Tropaquepts, Hydraquents, Sulfaquents, Tropaquents dan Tropopsamments, sementara selebihnya adalah singkapan batuan atau lahan terbangun yang tidak teridentifikasi jenis tanahnya. Gambaran spasial persebaran jenis tanah yang berada di wilayah DAS Padang dapat dilihat pada Gambar 12. Peta Jenis Tanah Daerah Aliran Sungai Padang.

Tanah Dystrandepts mencakup 9,9% wilayah DAS Padang seluas 10.960,04 hektar. Berdasarkan batuan induk penyusunnya, tanah Dystrandepts di wilayah DAS Padang terbagi kedalam kelompok Volkan dan Tufa Toba Masam.

Tanah Hydrandepts mencakup 6,26% wilayah DAS Padang seluas 6.924,56 hektar. Berdasarkan batuan induk penyusunnya, tanah Hydrandepts di wilayah DAS Padang terbagi kedalam kelompok Volkan dan Tufa Toba Masam.

Tanah Dystropepts merupakan tanah yang dominan di wilayah DAS Padang. Jenis tanah ini mencakup 58% wilayah DAS Padang seluas 64.184,23 hektar. Berdasarkan batuan induk penyusunnya, tanah Dystropepts di wilayah DAS Padang terbagi kedalam kelompok Tufa Toba Masam yang lebih dominan dan Volkan.

(78)

Gambar

Gambar 1. Skema Penerapan Penggunaan Perangkat Lunak dalam Penelitian
Tabel 3. Potensi Infiltrasi untuk Setiap Jenis Tanah
Tabel 4. Klasifikasi Nilai “Hujan Infiltrasi” RD
Tabel 6. Skoring Notasi Potensi Infiltrasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Potensi rawan banjir dipengaruhi oleh penutupan lahan, jenis tanah, kelerengan, ketinggian, curah hujan dan jarak dari sungai.. Faktor utama yang mempengaruhi potensi rawan

Hasil analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) menghasilkan empat kelas kondisi peresapan air di daerah penelitian, yang terdiri dari baik, normal alami, mulai kritis

Potensi mikrohidro pada DAS rawatamtu berkisar dari 5 sampai 97 kW (Gambar 8b). Teridentifikasinya kategori selain mikrohidro ini disebabkan karena pada pemilihan kriteria,

Tujuan dari proyek ini adalah untuk mengembangkan SIG berbasis web yang diimplementasikan untuk mengetahui kerentanan bahaya banjir dalam hal memberi informasi tentang

Informasi data penyakit DBD di setiap daerah disediakan dari tahun 2006 sampai 2008 untuk korban yang menderita penyakit DBD dalam bentuk visualisasi peta

Potensi banjir yang terjadi pada saat tingginya curah hujan yaitu tinggi banjir. dan dataran banjir pada

Nilai AUC prediksi pada peta kerawanan banjir bandang di sub-DAS Kaliputih menggunakan metode Weights of Evidence adalah sebesar 80,0% yang berarti peta kerawanan

Tujuan dari proyek ini adalah untuk mengembangkan SIG berbasis web yang diimplementasikan untuk mengetahui kerentanan bahaya banjir dalam hal memberi informasi tentang