• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permodelan Spasial Daerah Rawan Banjir Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis Dan Analitycal Hierarchy Proses

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Permodelan Spasial Daerah Rawan Banjir Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis Dan Analitycal Hierarchy Proses"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

PERMODELAN SPASIAL DAERAH RAWAN BANJIR DI

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DELI DENGAN

MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN

ANALITYCAL HIERARCHY PROCESS

SKRIPSI

Oleh :

ROSMAWATI SITOMPUL 041201016/ MANAJEMEN HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERMODELAN SPASIAL DAERAH RAWAN BANJIR DI

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DELI DENGAN

MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN

ANALITYCAL HIERARCHY PROCESS

SKRIPSI

Oleh :

ROSMAWATI SITOMPUL 041201016/ MANAJEMEN HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Permodelan Spasial Daerah Rawan Banjir Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis Dan Analitycal Hierarchy Proses

Nama : Rosmawati Sitompul

NIM : 0412010016

Jurusan : Kehutanan Program Studi : Manajemen Kehutanan

Disetujui oleh : Komisi Pembimbing

Nurdin Sulistiyono, S.Hut, M.Si Pindi Patana, S.Hut, M.Sc

Ketua

Anggota

Diketahui Oleh : Ketua Departemen Kehutanan

(4)
(5)

ABSTRAK

ROSMAWATI SITOMPUL. Permodelan Spasial Daerah Rawan Banjir Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis dan Analitycal Hierarchy Process. Dibimbing oleh Nurdin Sulistiyono dan Pindi Patana.

Perubahan fisik yang terjadi di DAS akan berpengaruh langsung terhadap kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu. Perubahan tata guna lahan menyebabkan kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu berkurang secara drastis. Saat ini, di sepanjang aliran sungai Deli terdapat beberapa kerusakan, terutama di bagian hulu dan kondisi hutan di hulu Sungai Deli tinggal 7,59 % dari 48.162 hektar areal DAS Deli . Banyaknya kerusakan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan debit air secara tajam pada saat musim kemarau dan musim hujan. Saat musim hujan, terjadi penambahan debit yang sangat besar. Di saat kelebihan debit, daerah hilir tidak siap karena drainasenya yang buruk sehingga mengakibatkan banjir

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka diperlukan adanya informasi tentang daerah-daerah yang termasuk rawan banjir di Daerah Aliran Sungai Deli sehingga informasi ini dapat digunakan sebagai landasan untuk pengambilan kebijakan dalam pengendalian banjir.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan peta kelas rawan banjir di sekitar Daerah Aliran Sungai Deli dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis dan AHP. Potensi rawan banjir dipengaruhi oleh penutupan lahan, jenis tanah, kelerengan, ketinggian, curah hujan dan jarak dari sungai. Faktor utama yang mempengaruhi potensi rawan banjir adalah curah hujan. Potensi rawan banjir di Daerah Aliran Sungai Deli berturut-turut didominasi oleh kelas rawan, sedang, sangat rawan dan tidak rawan. Penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk pengambilan kebijakan dalam penanganan daerah banjir.

(6)

ABSTRACT

The physical change in watershed has a direct effect to capacity the watershed from upstream.Then change in land use has decreased the capacity oh watershed in upstrean drastically. Nowdays, at entire length of Deli watershed there has been some damage, particullary in upstream section and the forets condition in upstream of Deli watershed has been left 7,59 % of 48.162 hectares of Deli Watershed. The severity of damage has caused the drastic change in water discharge in dry season and rainy season. In rainy season, there was a great increase water discharge. In overrate downstream area was nor ready due to it’s poor drainage causing the flooding. To consider the situations above, it would be important to have comprehensive information regarding the susceptible flooding areas in Deli Watershed, and the information should be made as a basis to take the polity and decision in managing the flooding. This research done to get class map of susceptible flooding areas in Deli watershed. By using the Geographical Information System and Analitycal Hierarchy Process. This research could present the information about the flooding ini Deli watershed and as information for management, controlling of susceptible flooding in Deli watershed. There are six factor influencing this flooding by land use, soil type, slope, elevation,

precipitation and buffer. This research result shows that susceptible flooding .potency in Deli watershed dominate respectively by medium class, susceptible, very susceptible and insusceptible. This research can used as a reference to take the policy and decision in management of flooding area.

Key words :susceptible flooding,analitycal hierarchy process, soil type, land use,

(7)

DAFTAR ISI

Manfaat penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Daerah Aliran Sungai ... 5

Ekosistem Daerah Aliran Sungai ... 7

Komponen-Komponen Ekisisten DAS... 8

Sistem Hidrologi Dalam Ekosistem DAS ... . 8

Banjir……… ... 9

Jenis-Jenis Banjir ... 10

Faktor –Faktor Penyebab Banjir ... 12

Sistem Informasi Geografis ... 15

Teknologi Sistem Informasi Geografis ... 17

Pengideraan Jauh………….. ... 18

AHP ………. ... 19

METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

Bahan Dan Alat ... 22

Metode Penelitian ... 22

Pengumpulan Data ... 22

Analisa Data ... 23

Skoring AHP ... 23

Pembuatan Data Spasial ... 29

Analisis GIS ... 38

(8)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Karakteristik DAS Deli ... 41

Letak dan Luas DAS Deli ... 41

Morfologi DAS Deli ... 41

Bentuk DAS…. ... 41

Panjang dan Kemiringan DAS Deli ... 42

Penutupan atau Penggunaan Lahan ... 43

Geomorfologi.. ... 43

Jenis Tanah…. ... 44

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembobotan Variabel Indikator Banjir ... 45

Variabel Indikator Banjir ... 50

Penutupan lahan... 54

Jenis Tanah………. 57

Curah Hujan……… 60

Kemiringan Lahan... 63

Ketinggian Tempat... 66

Jarak dari Sungai... 69

Pemodelan Peta Potensi Rawan Banjir ... 72

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 76

Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Skala Pembandingan Berpasangan Elemen Hierarki ... 26

2. Nilai random consistencyindex (RI) ... 28

8. Tipe Penutupan Lahan di Daerah Aliran Sungai Deli ... 51

9. Sebaran penutupan Lahan Pada Setiap Kelas Banjir ... 52

10.Klasifikasi Tanah Yang Terdapat di Daerah Aliran Sungai Deli ... 54

9. Sebaran Jenis Tanah Pada Setiap Kelas Banjir ... 55

10. Rata-Rata Curah Hujan di Daerah Aliran Sungai Deli Tahun 2006 ... 57

11. Sebaran Rata- Rata Curah Hujan Kelas Banjir ... 58

12. Kelas Kemiringan Lahan di daerah Aliran Sungai Deli ... 60

15. Sebaran Kelas Kelerengan pada Setiap Kelas Banjir ... 58

16. Kelas Ketinggian di Daerah Aliran Sungai Deli ... 60

17. Sebaran Ketinggian Tempat Pada Setiap Kelas Banjir ... 61

18. Kelas Jarak Dari Sungai ... 63

19. Sebaran Kelas Buffer Pada Setiap Kelas Banjir ... 63

20. Klasifikasi Tingkat Kerawanan Banjir ... 66

21. Luas daerah Tiap Kelas Potensi Rawan Banjir ... 66

22. Sebaran Potensi Rawan Banjir Di Daerah Aliran Sungai Deli ... 70

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Hierarki Permasalahan... 25

2. Tahapan Analisis Citra ... 37

3. Tahapan Penelitian ... 40

4. Nilai Vektor Prioritas Variabel Indikator Banjir Berdasarkan Kriteria ... 46

5. Nilai Vektor Prioritas Berdasarkan Sub Kriteria ... 47

6. Peta Sebaran penutupan Lahan ... 53

7. Peta Sebaran Jenis Tanah... 56

8. Peta Sebaran Curah Hujan ... 59

9. Peta Sebaran Kelerengan ... 59

10. Peta Sebaran Ketinggian ... 62

11. Peta Sebaran Buffer ... 65

12. Peta Sebaran Potensi rawan Banjir... 68

13 Peta Sebaran Potensi Banjir Di Berbagai Daerah Di DAS Deli ... 72

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Kriteria

Faktor Utama Penyebab Banjir ... 79 2. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Sub Kriteria

Curah Hujan ... 79 3. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Sub Kriteria

Jenis Tanah ... 79 4. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Sub Kriteria

Penutupan Lahan ... 80 5. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Sub Kriteria

Tingkat Kelerengan ... 80 6. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Sub Kriteria

Ketinggian Tempat ... 80 7. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Sub Kriteria

Jarak dari Sungai ... 80 8. Hasil Analisis Akurasi Klasifikasi Citra Landsat 5 TM Tahun

2006 ... 81

(12)

ABSTRAK

ROSMAWATI SITOMPUL. Permodelan Spasial Daerah Rawan Banjir Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis dan Analitycal Hierarchy Process. Dibimbing oleh Nurdin Sulistiyono dan Pindi Patana.

Perubahan fisik yang terjadi di DAS akan berpengaruh langsung terhadap kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu. Perubahan tata guna lahan menyebabkan kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu berkurang secara drastis. Saat ini, di sepanjang aliran sungai Deli terdapat beberapa kerusakan, terutama di bagian hulu dan kondisi hutan di hulu Sungai Deli tinggal 7,59 % dari 48.162 hektar areal DAS Deli . Banyaknya kerusakan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan debit air secara tajam pada saat musim kemarau dan musim hujan. Saat musim hujan, terjadi penambahan debit yang sangat besar. Di saat kelebihan debit, daerah hilir tidak siap karena drainasenya yang buruk sehingga mengakibatkan banjir

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka diperlukan adanya informasi tentang daerah-daerah yang termasuk rawan banjir di Daerah Aliran Sungai Deli sehingga informasi ini dapat digunakan sebagai landasan untuk pengambilan kebijakan dalam pengendalian banjir.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan peta kelas rawan banjir di sekitar Daerah Aliran Sungai Deli dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis dan AHP. Potensi rawan banjir dipengaruhi oleh penutupan lahan, jenis tanah, kelerengan, ketinggian, curah hujan dan jarak dari sungai. Faktor utama yang mempengaruhi potensi rawan banjir adalah curah hujan. Potensi rawan banjir di Daerah Aliran Sungai Deli berturut-turut didominasi oleh kelas rawan, sedang, sangat rawan dan tidak rawan. Penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk pengambilan kebijakan dalam penanganan daerah banjir.

(13)

ABSTRACT

The physical change in watershed has a direct effect to capacity the watershed from upstream.Then change in land use has decreased the capacity oh watershed in upstrean drastically. Nowdays, at entire length of Deli watershed there has been some damage, particullary in upstream section and the forets condition in upstream of Deli watershed has been left 7,59 % of 48.162 hectares of Deli Watershed. The severity of damage has caused the drastic change in water discharge in dry season and rainy season. In rainy season, there was a great increase water discharge. In overrate downstream area was nor ready due to it’s poor drainage causing the flooding. To consider the situations above, it would be important to have comprehensive information regarding the susceptible flooding areas in Deli Watershed, and the information should be made as a basis to take the polity and decision in managing the flooding. This research done to get class map of susceptible flooding areas in Deli watershed. By using the Geographical Information System and Analitycal Hierarchy Process. This research could present the information about the flooding ini Deli watershed and as information for management, controlling of susceptible flooding in Deli watershed. There are six factor influencing this flooding by land use, soil type, slope, elevation,

precipitation and buffer. This research result shows that susceptible flooding .potency in Deli watershed dominate respectively by medium class, susceptible, very susceptible and insusceptible. This research can used as a reference to take the policy and decision in management of flooding area.

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan merupakan sumberdaya alam yang telah mengalami banyak

perubahan dan sangat rentan terhadap kerusakan. Sebagai salah satu sumber

devisa negara, hutan telah dieksploitasi secara besar-besaran untuk diambil

kayunya. Ekploitasi ini menyebabkan berkurangnya luasan hutan dengan sangat

cepat. Keadaan semakin diperburuk dengan adanya konversi lahan hutan secara

besar-besaran untuk lahan pemukiman, perindustrian, pertanian, perkebunan,

peternakan serta kebakaran hutan yang selalu terjadi di sepanjang tahun.

Dampak dari eksploitasi ini adalah terjadinya banjir pada musim penghujan dan

kekeringan pada musim kemarau. Dengan demikian jelas terlihat bahwa fungsi

hutan sebagai pengatur tata air telah terganggu dan telah mengakibatkan

berkurangnya keanekaragaman hayati yang ada didalamnya.

Laju kerusakan hutan di Indonesia diperkirakan mencapai 1,6 - 2 juta ha

per tahun. Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun

2002-2003, khusus di dalam kawasan hutan yaitu seluas 133,57 juta ha, kondisi

penutupan lahannya adalah Hutan 85,96 juta ha (64 %), Non hutan 39,09 juta

ha (29 %) dan tidak ada data 8,52 juta ha (7 %) (BAPLAN, 2005). Ini berarti

sebenarnya hanya sekitar 85,96 juta ha yang dapat dikatakan hutan dari kawasan

hutan yang telah ditetapkan.

Kerusakan hutan ini juga terdapat disekitar daerah aliran sungai (DAS) Deli

yang terletak di tiga kabupaten yakni Deli Serdang, Karo dan Medan. Daerah

(15)

kerusakan di 20 titik, terutama di bagian hulu dan kondisi hutan di hulu Sungai

Deli tinggal 15 persen. Banyaknya kerusakan tersebut menyebabkan terjadinya

perubahan debit air secara tajam pada saat musimkemarau dan musim hujan. Saat

musim hujan, terjadi penambahan debit yang sangat besar. Di saat kelebihan

debit, daerah hilir tidak siap karena drainasenya yang buruk sehingga

mengakibatkan banjir (Maraganti, 2005).

Terganggunya tata air Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat menimbulkan

banjir di musim penghujan, kekeringan di musim kemarau, pendangkalan waduk

sebagai akibat adanya erosi di daerah hulu, terjadinya lahan-lahankritis/rusak

yang lebih lanjut akan mengakibatkan penurunan produktivitas tanah dan

produksi usaha tani maupun kesejahteraan sosial.

Menurut Asdak (1995) kondisi suatu DAS dianggap mulai terganggu

apabila koefisien air larian cenderung terus naik dari tahun ke tahun, tinggi

permukaan air tanah berfluktuasi secara ekstrim.

Gambaran terganggunya kondisi DAS tersebut juga nampak pada DAS

Deli yang mempunyai luas 48.162 Ha, dengan keadaan bentuk wilayahnya

sebesar 32,35 % mulai dari bergelombang, berbukit dan bergunung, dengan

sebagian besar penduduk bermata pencaharian petani atau mengolah lahan

pertanian sebesar 82 % dari jumlah desa-desa yang termasuk dalam DAS Deli.

Pola hidrograf aliran sungai Sungai Deli menunjukkan kecenderungan

penyimpangan dari yang normal antara lain : fluktuasi aliran debit air maksimum

dan minimum yang telah mencolok, pergeseran waktu debit puncak terhadap

(16)

mencapai separuh luasan total, yang secara teoritis akan sangat berpengaruh

terhadap kelestarian kawasan Deli.

Menurut Maraganti (2005) debit air di DAS Deli saat kemarau hanya 10

meter kubik per detik. Namun, pada musim hujan, melonjak menjadi 315 meter

kubik per detik. DAS Deli mempunyai panjang 82 kilometer (km) dan luas total

48.162 hektar. DAS yang berada di Kabupaten Karo, Kabupaten Deli Serdang,

dan Kota Medan ini sangat penting artinya bagi masyarakat. Banjir tahunan yang

terjadi di Medan salah satunya adalah akibat kerusakan DAS Deli.

Pertambahan penduduk dan perkembangan wilayah perkotaan dapat

mengakibatkan perubahan tataguna lahan yang dapat mengakibatkan perubahan

karakteristik aliran seperti terjadinya banjir. Untuk menghindari terjadinya korban

jiwa dan kerugian material yang besar akibat banjir maka perlu dilakukan

tindakan-tindakan antisipasi. Untuk mengantisipasi terjadinya banjir dan

mengurangi kerugian harta benda yang ditimbulkan maka diperlukan informasi

lengkap tentang kejadian-kejadian yang pernah terjadi pada suatu daerah aliran

sungai , baik luas genangannya, lama genangan maupun frekuensi kejadiannya

kepada masyarakat di sekitar daerah rawan banjir. Jadi, untuk mengantisipasi

timbulnya kerugian sebagai dampak terjadinya banjir maka diperlukan informasi

yang memadai yang bisa digunakan oleh pengambil keputusan, termasuk

diantaranya informasi spasial. Sistem Informasi Geografis (GIS) merupakan

teknologi spasial yang sedang berkembang saat ini. Melalui sistem ini dapat

diperoleh permodelan spasial daerah rawan banjir yang menggambarkan

daerah-daerah rawan banjir di sekitar DAS Deli, sehingga dapat dilakukan penanganan

(17)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan peta kelas bahaya banjir

disekitar DAS Deli melalui teknik permodelan spasial dengan menggunakan

perangkat lunak GIS serta teknik penskoran variabel-bariabel yang mempengaruhi

potensi banjir melalui Analitycal Hierarchy Process (AHP).

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah memberikan

informasi tingkat bahaya banjir dan daerah-daerah yang termasuk rawan banjir di

DAS Deli, sehinggga dapat digunakan sebagai informasi/masukan dalam kegiatan

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Defenisi Daerah Aliran Sungai

DAS merupakan suatu wilayah yang dibatasi oleh pemisah topografi, yang

menerima hujan, manampung, menyimpan dan mengalirkan ke sungai dan

seterusnya ke danau atau ke laut. Selain itu DAS juga merupakan suatu ekisistem

dimana di dalamnya terjadi suatu proses interaksi antar faktor-faktor

biotik,nonbiotik dan manusia. Sebagai suatu ekosistem maka setiap ada masukan

ke dalamnya, proses yang terjadi dan berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi

berdasarkan keluaran dari sistem tersebut (Suripin, 2002).

Daerah Aliran Sungai adalah wilayah tangkapan air hujan yang akan

mengalir ke sungai yang bersangkutan. Perubahan fisik yang terjadi di DAS akan

berpengaruh langsung terhadap kemampuan retensi terhadap banjir. Retensi DAS

dimaksudkan untuk menahan air bagian hulu. Perubahan tataguna lahan akan

menyebabkan retensi DAS ini berkurang secara drastis (Maryono, 2005).

Daerah aliran sungai (DAS) tersusun oleh kesatuan berlapis-lapis kawasan

yang secara geografis membentang sejak dari hulu, tengah hingga hilir (kawsaan

pesisir). Di kawasan hulu, DAS menjadi daerah tangkapan air hujan dan berfungsi

sebgai kawasan penahan runoff yang seterusnya akan menjamin ketersediaan

pasokan air bagi keseluruhan sistem ekologis DAS utamanya bagi penduduk di

kawasan penyimpan presipitasi air hujan serta mengalirkan kelebihannya melalui

jaringan anak sungai dan infiltrasi aliran air bawah tanah (underground).

Cadangan air tanah tersebut selanjutnya kan menjadi sumber air di berbagai

(19)

Permukaan DAS pada dasarnya adalah suatu bentuk cembung yang miring

atau cekungan yang menentukan arah aliran air yang umum atau sebenarnya

memisahkan proses-proses flivial. Belahan lateral suatu daerah aliran sungai

menjelaskan suatu lembah berbentuk huruf U atau lembah yang berbentuk huruf

V, tergantung pada saling berinteraksi anatara iklim, tipe batuan dan struktur

geologinya. Sedangkan belahan melintang mengungkapkan suatu peningkatan

karakteristik kecuraman di dekat daerah bagian hulu (Seyhan, 1990).

Terganggunya tata air Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat menimbulkan

banjir di musim penghujan, kekeringan di musim kemarau, pendangkalan waduk

sebagai akibat adanya erosi di daerah hulu, terjadinya lahan-lahankritis/rusak

yang lebih lanjut akan mengakibatkan penurunan produktivitas tanah dan

produksi usahatani maupun kesejahteraan sosial. Kondisi suatu DAS dianggap

mulai terganggu apabila koefisien air larian cenderung terus naik dari tahun ke

tahun, tinggi permukaan air tanah berfluktuasi secara ekstrim (Asdak ,1995).

Menurut Maryono (2005), perubahan fisik yang terjadi di DAS akan

berpengaruh langsung terhadap kemampuan retensi DAS terhadap banjir. Retensi

DAS dimaksudkan sebagai kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu.

Perubahan tata guna lahan menyebabkan retensi DAS berkurang secara drastis.

Seluruh air hujan akan dilepaskan ke arah hilir. Sebaliknya semakin besar retensi

suatu DAS semakin baik, karena air hujan dapat dengan baik diresapkan

(diretensi) di DAS dan secara perlahan-lahan dialirkan ke sungai sehingga tidak

(20)

Ekosistem Daerah Aliran Sungai

Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas

komponen-komponen yang saling berintegrasi sehingga membentuk suatu kesatuan. Sistem

tersebut mempunyai sifat tertentu, tergantung pada jumlah dan jenis komponen

yang menyusunnya. Besar kecilnya ukuran ekosistem tergantung pada pandangan

dan batas yang berikan pada ekosistem tersebut. Daerah aliran sungai dapat

dianggap sebagai suatu ekosistem (Asdak, 1995).

Ekosistem DAS merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi

perlindungan terhadap DAS. Aktifitas dalam DAS yang menyebabkan perubahan

ekosistem misalnya perubahan tataguna lahan khususnya di daerah hulu, dapat

memberikan dampak pada daerah hilir berupa perubahan fluktuasi debit air dan

kandungan sedimen serta material terlarut lainnya. Adanya keterkaitan antara

masukan dan keluaran pada suatu DAS ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk

menganalisis dampak suatu tindakan atau aktivitas pembangunan di dalam DAS

terhadap lingkungannya (Suripin, 2002).

Dalam mempelajari ekosistem DAS, daerah aliran sungai biasanya dibagi

menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Daerah hulu merupakan daerah konservasi

yang mempunyai kerapatan drainse labih tinggi dan memiliki kemiringan yang

besar. Sementara daerah hilir merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase

lebih kecil dan memiliki kemiringan lereng yang kecil sampai dengan sangat

kecil. Dan daerah aliran sungai bagian tengah merpakan daerah transisi dari kedua

keadaan DAS yang berbeda tersebut. Ekosistem DAS hulu merupakan bagian

hulu yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh

(21)

perencanaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perencanaan mengingat bahwa

dalam suatu DAS, daerah hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui

daur hidrologi (Asdak, 1995).

Komponen-komponen Ekosistem DAS

Komponen ekosistem DAS bagian hulu pada umumnya dapat dipandang

sebagai suatu ekosistem pedesaan. Ekosistem ini terdiri atas empat konmponen

utama yaitu desa, sawah/ladang, sungai dan hutan. Komponen yang menyusun

DAS berbeda tergantung pada keadaan daerah setempat. Misalnya adanya

komponen lain seperti perkebunan, sementara di daerah pantai dijumpai adanya

komponen lingkungan hutan bakau (Asdak, 1995).

Sistem Hidrologi Dalam Ekosistem DAS

Dalam hubungannya dengan sistem hidrologi, DAS mempunyai

karakteristik yang spesifik serta berkaitan erat dengan unsur utamanya seperti

jenis tanah, tataguna lahan, topografi, kemiringan dan panjang lereng.

Karakteristik DAS tersebut dalam merespon curah hujan yang jatuh di tempat

tersebut dapat memberikan pengaruh besar terhadap besar kecilnya

evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi, air larian, aliran permukaa, kandungan air

tanah dan aliran sungai. Diantara faktor-faktor yang berperan dalam menentukan

sistem hidrologi tersebut, faktor tataguna lahan dan kemiringan dan panjang

lereng dapat direkayasa oleh manusia (Asdak, 1995).

Selanjutnya Asdak (1995), juga mnyebutkan bahwa pengetahuan tentang

(22)

pengembangan sumberdaya alam dalam Skala DAS. Dalam sistem hidrologi ini,

peranan vegetasi sangat penting artinya karena kemungkinan intervensi manusia

terhadap unsur tersebut amat besar. Vegetasi dapat merubah sifat tanah dalam

hubungannya dengan air, dapat mempengaruhi kondisi permukaan tanah, dan

dengan demikian mempengaruhi besar-kecilnya aliran air permukaan.

Terdapat ketergantungan yang sangat erat antara keadaan air di permukaan

dan air di bawah permukaan. Bila terjadi perubahan prilaku secara kuantitatif pada

salah satunya, maka bagian air yang lain akan terpengaruh pula. Oleh sebab itu,

setiap aktivitas yang diduga berpengaruh terhadap prilaku air, maka keduanya

perlu ditinjau lebih lanjut (Harto, 1993).

Banjir

Banjir adalah peristiwa dimana daratan yang biasanya kering menjadi

tergenang air yang disebabkan oleh tingginya curah hujan dan topografi wilayah

berupa dataran rendah hingga cekung ataupun kemampuan infiltrasi tanah rendah

sehingga tanah tidak mampu tidak mampu menyerap air. Selain itu banjir

didefinisikan sebagai luapan air sungai akibat ketidakmampuan sungai

menampung air (Seyhan, 1990).

Banjir merupakan salah satu peristiwa alam yang yang senantiasa terjadi

pada setiap sungai. Pada umumnya akan terjadi saat curah hujan tinggi dan

melebihi dari kapasitas tampung saluran atau alur sungai maka terjadilah banjir.

Keberadaannya tidak dapat dicegah tetapi jika diketahui sejak dini maka korban

atau kerugian yang akan terjadi dapat dihindari atau dikurangi sekecil mungkin

(23)

Untuk mengetahui besar kecilnya banjir suatu daerah perlu diketahui

sebab-sebabnya. Salah satu diantaranya yaitu hujan yang tinggi, yang merupakan faktor

pertama bagi daerah yang rentan banjir. Disamping penyebab banjir , maka

faktor-faktor yang mempengaruhi tipe dan tingkatan banjir adalah faktor iklim,

kondisi hidrologi dan kondisi fisik daerah aliran sungai. Keseluruhan dari

faktor-faktor ini mempengaruhi regim hidrologikal ( karakteristik debit, muatan sedimen,

geomorfologikal dinamik) dari sungai utama dan anak-anaknya. Namun selain

faktor diatas , maka banjir juga dapat disebabkan oleh faktor kegiatan manusia

seperti penggundulan hutan ataupun kegiatan lainnya (Yusuf, 2005).

Kejadian banjir menurut Kodoatie (2002) dan Sugianto (2002) disebabkan

oleh teknis dan non teknis ( man made ) . Salah satu akibat dari man made adalah

adanya perubahan tataguna lahan, urbanisasi dan penebangan hutan yang

pengaruhnya sangat besar terhadap kuantitas banjir yang diilustrasikan pada

sebuah DAS yang semula berupa hutan mempunyai debit 10 m3/ det jika berubah

menjadi sawah debit sungainya akan menjadi antara 25 sampai 90 m3/det, ada

kenaikan debit sebesar 2,5 atau 9 kali debitsemula dan seterusnya bila hutan

berubah menjadi kawasan perdagangan/perindustrian, maka debitnya akan

meningkat tajam menjadi 60 sampai 250 m3/det.

Jenis-jenis Banjir

Banjir dapat terjadi akibat naiknya permukaan air pada saat curah hujan

yang di atas normal, bendungan yang bobol, pencairan salju yang cepat,

terhambatnya aliran air di tempat lain, atau waduk yang jebol. Dalam masalah

(24)

kekeringan. Banyak faktor yang timbul akibat banjir. Jika dilihat dari sebab-sebab

dan jenis timbulnya bencana banjir terjadinya cukup beragam antara lain :

1. Banjir kilat

Banjir ini biasanya didefinisikan sebagai banjir yang terjadi hanya dalam

waktu 6 jam sesudah hujan lebat mulai turun. Biasanya juga dihubungkan dengan

banyaknya awan kumulus yang menggumpal di angkasa, kilat atau petir yang

keras, badai tropis atau cuaca dingin. Karena banjir ini sangat cepat datangnya,

peringatan bahaya kepada penduduk sekitar tempat itu harus kilat pula, dan segera

dimulai upaya penyelamatan dan persiapan penanggulangan dampaknya.

2. Banjir luapan sungai

Jenis banjir ini berbeda dari banjir kilat karena banjir ini terjadi setelah

proses yang cukup lama meskipun proses itu bisa jadi lolos dari pengamatan

sehingga datangnya banjir terasa mendadak dan mengejutkan. Selain itu banjir

luapan sungai kebanyakan bersifat musiman atau tahunan dan bisa berlangsung

selama berhari-hari atau berminggu-minggu tanpa berhenti. Penyebabnya adalah

kelongsoran daerah-daerah yang biasanya mampu menahan kelebihan air,

pencairan salju yang menumpuk semasa musim dingin, atau terkadang akibat

kedua hal itu sekaligus.

3. Banjir pantai

Sebagian banjir dikaitkan dengan terjadinya badai tropis (juga disebut

angin puyuh laut atau taifun). Banjir yang membawa bencana dari luapan air

hujan sering makin parah akibat badai yang dipicu oleh angin kencang sepanjang

pantai. Air garam membanjiri daratan akibat satu atau perpaduan dampak

(25)

lebat yang jatuh di kawasan geografis luas akan menghasilkan banjir besar di

lembah-lembah pesisir yang mendekati muara sungai.

(Yusuf, 2005).

Faktor- Faktor Penyebab Banjir 1. Intensitas Curah Hujan

Presipitasi (hujan) merupakan salah satu komponen hidrologi yang paling

penting. Hujan adalah peristiwa jatuhnya cairan (air) dari atmosfer ke permukaan

bumi. Hujan merupakan salah satu komponen input dalam suatu prosesdan menjdi

faktor pengontrol yang mudah diamati dalam siklus hidrologi pada suatu kawasan

(DAS). Peran hujan sangat menetukan proses akan terjadinya dalam suatu

kawasan dalam kerangka satu sistem hidrologi dan mempengaruhinya, bagaimana

karakteristik hujannya dan mempelajari cara menghitung rta-rata hujan pada

suatukawasan dengan berbgai model perhitungan rata- rata curah hujan

(Sosrodarsono dan Takeda,2003).

Hujan yang terjadi secara merata diseluruh kawasan yang luas hanya

bersifat setempat. Hujan bersifat setempat artinya ketebalan hujan yang diukur

dari suatu pos hujan belum tentu dapat mewakili hujan untuk kawasan yang lebih

luas kecuali hanya untuk lokasi disekitar pos hujan. Peluang hujan pada intensitas

tertentu darisuatu lokasi yang lain dapat berbeda-beda. Sejauh mana curah hujan

yang diukur dari suatu pos hujan dapat mewakili karakteristik hujan untuk daerah

yang luas. Hal ini tergantung pada berbagai fungsi yakni jarak pos hujan itu

sampai titik tengah kawasan yang dihitung curah hujannya, luad daerah, topografi,

(26)

Intensitas curah hujan biasanya dinyatakan oleh jumlah curah hujan dalam

satuan waktu dan disebut intensitas curah hujan. Biasanya satuan yang digunakan

adalah mm/jam. Jadi intensitas curah hujan berarti jumlah presipitasi atau curah

hujan dalam waktu relatih singkat.

Keadaan Curah Hujan dan Intensitas Curah Hujan

Keadaan Curah Hujan

Intensitas Curah Hujan ( mm)

1 jam 24 jam

Kelas Intensitas Hujan Intensitas hujan

( mm/ hari )

2. Tingkat Erosi dan Sedimentasi

Proses perubahan alur sungai banyak dipengaruhi oleh adanya karakteristik

angkutan sedimen pada sungai tersebut. Pada suatu sungai yang terjadi fluktuasi

angkutan sedimen cukup besar, akan mengkibatkan prose erosi atau pun

sedimentasi sehingga akan terjadi agradasi maupun degradasi dasar sungai.

Sedangkan angkutan sedimen sendiri di sungai terdiri dari angkutan sedimen

dasar sungai dan melayang (Kodoatie dan Sugiyanto, 2002).

Erosi dan sedimentasi merupakan proses terjadinya proses terlepasnya

butiran tanah dari induknya di suatu tempat dan terangkutnya material tersebut

oleh gerakan air atau angin kemudian diikuti dengan pengendapan material yang

(27)

penampang sungai sedangkan besarnya sedimentasi akan mengurangi kapasitas

saluran, sehingga timbul genangan dan banji di daearah aliran sungai

(Suripin, 2002).

Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah atau bagian-bagian tanah dari

suatu tempat yang diangkut oleh air atau angin ke tempat lain. Di daerah beriklim

basah erosi oleh airlah yang penting, sedangkan erosi oleh angin tidak berarti.

Erosi menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang subur dan baik untuk

pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah unuk menyerap dan

menahan air. Sedangkan sedimentasi adalah tanah dan bagian-bagian tanah yang

terangkut dari suatu tempat yang tererosi. Sebagian saja dari sedimen yang akan

sampai dan masuk ke dalam sungai dan terbawa ke luar daerah aliran sungai

(Arsyad, 1989).

3. Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan

Penutupan lahan atau penggunaan lahan adalah aktivitas manusia atas

lahan, yang ditunjukkan dengan adanya bentuk manusia seperti pemukiman dan

sebagainya. Penutupan lahan atau pengunaan lahan penting untuk diketahui.

Informasi tentang penggunaan lahan dapat digunakan untuk mengetahui penyebab

bertambahnya volume banjir dan daerah yang terlanda banjir , dalam hal ini

konversi lahan dari pertanian ke non pertanian, khususnya yang kedap air bisa

merubah besarnya koefisien run-off. Sedangkan informasi tentang penutupan

lahan dapat digunakan untuk mengetahui daerah resapan air sehingga diperoleh

(28)

4. Tingkat kelerengan ( Slope)

Kelerengan merupakan faktor yang mempunyai peranan penting dalam

menentukan daerah rawan banjir. Fase lereng digunakan baik sebagai lereng

tunggal maupun sebagai lereng majemuk. Lereng majemuk adalah lereng dengan

lebih dari satu arah dan ditunjukkan oleh daerah punggung dan lembah dalam

satu deliniasi, sedangkan lereng tunggal relatif mempunyai arah lereng yang

seragam.

Kelas kelerengan yang berlaku di Indonesia

Kelas Kemiringan (%) keterangan

I

Jenis tanah merupakan faktor yang penting untuk menentukan daerah

rawan banjir. Besar kecilnya tingkat bahaya erosi ditentukan oleh jenis tanah

tersebut. Tingkat bahaya erosi menjadi lebih besar apabila jenis tanah tersebut

mempunyai formasi kemiringan lereng besar. Demikian pula struktur vegetasi

penutup tanah yang bertingkat-tingkat dapat menurunkan bahaya erosi daripada

alahan dengan dominasi vegetasi pohon yang tidak atau kurang disertai serasah

dan tumbuhan bawah (Arsyad, 1989).

Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis merupakan suatu alat yang dapat digunakan

untuk mengelola data spasial atau data yang bereferensi geografis. Setiap data

(29)

bereferensi geografis.Data GIS terdiri dari dua jenis yakni data grafis yang

menggambarkan bentuk atau kenampakan objek di permukaan bumi dan data data

tabular yang menyatakan nilai dari data grafis. Secara teknis SIG

mengorganisasikan dan memanfaatka data dari peta digital yang tersimpan dalam

basisi data. Dalam SIG dunia nyata dijabarkan dalam data peta digital yang

menggambarkan posisi dari ruang ( space ) dan klasifikasi, atribut data dan

hubungan antar item data. Kerincian data dalam SIG ditentukan oleh besarnya

satuan pemetaan terkecil yang dihimpun dalam basis data (Budiyanto, 2002).

Data SIG dapat dibagi menjadi dua macam, yakni data grafis dan data

atribut atau tabular. Data grafis adalah data yang menggambarkan bentuk atau

kenampakan objek di permukaan bumi. Sedangkan data tabular adalah data

deskriptif yang menyatakan nilai dari data grafis tersebut (Wayan, 2005).

Sistem informasi geografis mempunyai kemampuan analisis terhadap data

spasial untuk keperluan manipulasi maupun permodelan. Fungsi analisis ini

dijalankan memakai data spasial dan data atribut dalam sistem informasi geografis

menjawab berbagai pertanyaan yang dikembangkan dari data yang ada menjadi

suatu persoalan yang relevan. Data spasial dan SIG hanya merupakan model

penyajian yang merefleksikan berbagai aspek realitas dunia nyata., sedangkan

untuk meningkatkan peranan data dalam pengambilan keputusan mengenai

kenyataan tersebut, suatu model harus ditampilkan yang menggambarkan obyek –

obyek termasuk manyajikan hubungan antar obyek (Arifin dkk, 2006).

Sistem informasi geografis paling tidak terdiri dari subsistem pemrosesan ,

subsistem analisis data dan subsistem yang menggunakan informasi. Subsistem

(30)

analisis data mencakup perbaikan, analisis dan keluaran informasi dalam berbagai

bentuk. Subsistem yang memakai informasi memungkinkan informasi relevan

diterapakan pada suatu masalah. Dalam rancangan sistem informasi geografis,

komponen input dan output tertentu seringkali memiliki peranan dominan dalam

membentuk arsitektur dari sisa suatu sistem. Hal ini penting untuk memahami

mengenalai kedalaman prosedur yang dipakai dalam kaitannya dengan masalah

input dan output data, juga organisasi data dan pemrosesan data (Lo, 1996).

Menurut Howard (1996), manfaat utama penggunaan sistem informasi

spasial dengan komputer dibandingkan dengan metode pembuatan peta

tradisional dan masukan data manual atau informasi manual adalah memperkecil

kesalahan manusia, kemampuan memanggil kembali peta tumpangsusun dari

simpanan data SIG seacra cepat, menggabungkan tumpangsusun tersebut, tetapi

penggabungan batas agak sulit, dan untuk memperbaharui dengan

memperhatiakan perubahan lingkungan data statistik dan batas-batas dan area

yang nampak pada peta.

Teknologi Sistem Informasi Geografis

Menurut Howard (1996), teknologi yang digunakan dalam sistem informasi

geografis memperluas penggunaan peta, model-model kartografi dan statistik

spasial dengan memberikan kemampuan analisis, tidak hanya tersedia untuk

pengembangan model medan komplek dan pengujian masalah bentang lahan serta

masalah penggunaan lahan. Saat ini penggunaan SIG yang paling umum adalah

(31)

Pengelolaan sistem informasi geografis (SIG) meningkat tajam sejak tahun

1980-an. Peningkatan pemakaian sistem ini terjadi di kalangan pemerintah,

akademis atau bisnis terutama di negara-negara maju. Perkembangan teknologi

dijital sangat besar peranannya dalam perkembangan penggunaan SIG dalam

berbagai bidang. Hal ini dikarenakan teknologi SIG banyak mendasarkan pada

teknologi dijital sebagai alat analisis (Budiyanto, 2002).

Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi

mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Biasanya

teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan

diinterpretasi guna membuahkan data yang bermanfaat. Tujuan utama

penginderaan jauh adalah mengumpulkan data sumberdaya alam lingkungan.

Informasi tentang objek disampaikan ke pengamat melalui energi

elektromagnetik. Yang merupakan pembawa informasi dan sebagai penghubung

komunikasi. Oleh karena itu, penginderaan jauh pada dasarnya merupakan

informasi sintesis panjang gelombang yang perlu diberikan kodenya sebelum

informasi tersebut dapat dipahami secara penuh. Proses pengkodean ini setara

dengan interpretasi citra penginderaan jauh yang sangat sesuai dengan

pengetahuan kita mengenai sifat-sifat radiasi elektromagnetik (Lo, 1996).

Penginderaan jauh dari pesawat yang palin sesuai untuk kehutanan adalah

foto udara. Secara operasional, data penginderaan jauh multispektral yang telah

diguankan hanya terbatas pada penginderaan termal untuk mencegah bahaya

(32)

digunakan sesekali untuk pemetaan yang belum mempunyai peta di negara-

negara berkembang. Perkembangan penginderaan jauh sistem pesawat udara

untuk terapan kehutanan tidak sama dengan perkembangan penginderaan jauh

sistem satelit beberapa tahun belakang ini. Terapan penginderaan jauh sistem

satelit untuk bidang kehutanan berkembang sangat cepat selaras dengan

perkembangan pemrosesan citra digital satelit sumberdaya bumi (Howard, 1996).

AHP ( Analitycal Hierarchy Process )

AHP (Analitycal Hierarchy Process), disebut pula Proses Hierarki Analitik

(PHA), merupakan suatu metode pengambilan keputusan yang sederhana dan

fleksibel yang menampung kreativitas dalam ancangannya terhadap suatu

masalah. Metode ini dapat menjelaskan suatu keadaan yang kompleks dan tidak

terstruktur dengan cara : 1) membagi-bagi ke dalam bagian-bagiannya, 2)

mengatur kembali bagian-bagian (atau peubah) tersebut ke dalam bentuk hierarki,

kemudian 3) menetapkan suatu nilai numerik untuk setiap peubah tersebut melalui

justifikasi penentuan tingkat kepentingannya, dan terakhir 4) melakukan sintesa

untuk menentukan peubah yang mana mempunyai prioritas paling tinggi yang

harus dikerjakan untuk memperoleh keluaran (outcome) yang diharapkan

(Triyana dan Saleh, 2003).

Prinsip dasar dalam menggunakan metode AHP antara lain :

1. Prinsip penyusunan hierarki (decomposision)

Untuk menerapkan metode AHP, pengambil keputusan harus dapat

mendefenisikan permasalahan secara jelas dan rinci. Selanjutnya, dilakukan

(33)

menjadi elemen-elemen pokok dan sub –sub elemen lainnya secara hierarkis.

Dalam AHP, hierarki permasalahan yang disusun harus mencerminkan hubungan

antara tujuan (goal), kriteria, sub-kriteria dan alternatif.

2. Prinsip penetapan prioritas (comparative judgement)

Setelah hierarki permasalahan terbentuk, selanjutnya pengambil keputusan

harus menetapkan prioritas antar elemen. Dalam hal ini, harus dilakukan

peniliaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu

dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya. Penilaian ini merupkan inti dari AHP,

karena ini akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen tersebut.

Untuk itu, pemgambil keputusan harus membuat pembandingan

berpasangan antar elemen dalam suatulevel tertentu dalam kaitannya dengan

pencapaian elemen di tingkat atasnya. Hal ini dapat dengan mudah dilakukan

dengan menyajikannya dalam bentuk matriks pembandingan berpasangan

(pairwise comparison). Proses pembandingan berpasangan anatar elemen dapat

dilakukan mulai dari puncak (tingkat pertama) hierarki untuk pembandingan antar

kriteria. Kemudian, pada tingkat tepat dibawahnya (tingkat kedua) dilakukan

pembandingan antar elemen.

3. Prinsip Konsistensi logika (logical consistency)

Dalam prinsip konsistensi logika, AHP melibatkan aspek kuantitaf dan

kualitatif dari pikiran manusi. Aspek kualitatif digunakan untuk mendefesinikan

masalah dan struktur hierarkinya. Sedangkan aspek kuantitaitf digunakan untuk

mengekspresikan justifikasi dan preferensi secara ringkas (concisely). Proses AHP

dirancang untuk menggabungkan kedua aspek tersebut. Dengan demikian aspek

(34)

keputusan dalam situasi yang kompleks dimana sangat penting untuk dapat

(35)

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2008 di

Kabupaten Deli Serdang, Karo dan Medan. Analisa data dilakukan di

Laboratorium Inventarisasi Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Data spasial : peta digital jaringan Sungai, peta digital lereng , peta digital

ketinggian, peta digital jenis tanah, peta digital administrasi dan citra

landsat 5 TM tahun 2006 path/row 129/57 dan path/row 129/58.

b. Data non spasial : penggunaan/ penutupan lahan, kelas kelerengan, jenis

tanah, kejadian banjir dan curah hujan tahunan.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Personal Computer (PC),

perangkat lunak GIS untuk menampilkan hasil, printer untuk mencetak data/peta,

Global Positioning System (GPS), dan Camera Digital .

Metode Penelitian 1. Pengumpulan Data

c. Pengumpulan data dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP.

(36)

dilakukan sebagai persiapan awal dari penelitian. Data yang dikumpulkan

adalah data spasial berupa peta digital jaringan sungai, peta digital lereng,

peta digital ketinggian, peta digital jenis tanah. Peta digital administrasi

dan citra landsat 5 TM tahun 2006 path/row 129/57 dan path/row 129/58,

serta data non spasial berupa penggunaan/ penutupan lahan, kelas

kelerengan, jenis tanah, kejadian banjir dan curah hujan tahunan.

2. Analisa Data

a. Skoring Analitycal Hierarchy Process (AHP)

Dalam menentukan skor untuk tingkat rawan banjir dilakukan

dengan menggunakan metode Analitycal Hierarchy Process (AHP).

Skoring dengan Analitycal Hierarchy Process dalam penelitian ini

dilakukan pada tingkat kriteria dan sub kriteria. Metode ini dapat

menjelaskan suatu keadaan yang kompleks dan tidak terstruktur dengan

cara :

1. Membagi-bagi ke dalam bagian-bagiannya

2. Mengatur kembali bagian-bagian (atau peubah) tersebut ke dalam

bentuk hierarki

3. Menetapkan suatu nilai numerik untuk setiap peubah tersebut

melalui justifikasi penentuan tingkat kepentingannya

4. Melakukan sintesa untuk menentukan peubah yang mana

mempunyai prioritas paling tinggi yang harus dikerjakan untuk

memperoleh keluaran (outcome) yang diharapkan

(37)

Dalam metode ini responden yang digunakan adalah individu yang dinilai

termasuk dalam kategori tenaga ahli, baik karena kedudukannya, jabatannya,

keilmuannya maupun pengalamannya. Tenaga ahli dalam penelitian ini adalah

1. Prof. Ir.Zulkifli Nasution, M.Sc.Ph.D, asal instansi Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara.

2. Ir. Misran, MM, asal instansi BPDAS Wampu-Sei Ular.

3. Dr. Deni Elfiati, SP, MP, asal instansi Fakultas Pertanian Departemen

Kehutanan Universitas Sumatera Utara.

4. Ir. Abdul Rauf, asal instansi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Utara.

Adapun tahapan-tahapan dalam menggunakan AHP antara lain :

1. Penyusunan hierarki permasalahan

Hierarki permasalahan yang disusun harus mencerminkan hubungan

antara tujuan (goal), kriteria, sub-kriteria dan alternatif. Penyusunan

(38)

Menentukan Faktor Utama

1. Hujan sangat ringan

(39)

2. Pembandingan berpasangan antar kriteria

Pembandingan antar kriteria dilakukan dengan cara :

a. Menentukan kriteria mana yang lebih penting dan seberapa kali

lebih penting dibanding kriteria lainnya. Intensitas pembandingan

ditunjukkan oleh skala nilai dari 1 sampai 9 atau kebalikan seperti

pada tabel berikut :

Tabel 1 Skala pembandingan berpasangan dalam penilaian elemen- elemen suatu hierarki

Intensitas

Pentingnya Defenisi

1 Kedua elemen yang dibandingkan sama penting

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dibanding elemen yang lain

5 Elemen yang satu sangat penting dibandingkan

elemen lainnya

7 Satu elemen lebih jelas lebih penting daripada elemen lainnya

9 Satu elemen mutlak lebih penting dibanding elemen lainnya

2,4,6,8 Nilai-nilai diantara dua pertimbangan yang

beredekatan

Kebalikan Juka untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j , maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i

b. Menyusunnya dalam bentuk matriks pembandingan berpasangan

c. Pembandingan dilakukan dari baris terhadap kolom

2. Penentuan vektor prioritas

(40)

- Membagi setiap elemen pada masing-masing kolom dengan jumlah

nilai dari kolom tersebut untuk menormalisasikannya

- Menjumlahkan hasilnya pada masing-masing baris dan dibagi

masing-masing jumlah tersebut dengan banyaknya elemen pada

setiap baris

3. Penentuan tingkat konsistensi

Untuk mengetahui konsisten atau tidaknya pembandingan antar kriteria,

perlu dilakukan perhitungan tingkat konsistensi. Adapaun tahapan

perhitungannya adalah sebagai berikut :

- Melihat kembali matriks pembandingan berpasangan antar kriteria

(A) dan vektor prioritasnya.

- Mengalikan vektor prioritas tersebut dengan masing kolom dalam

matriks A.

- Mengambil kolom jumlah baris dari hasil diatas dan dibagi dengan

nilai yang sesuai dengan vektor prioritasnya.

- Menghitung nilai rata-rata dari vektor untuk menentukan akar ciri

terbesar (λmaks).

- Menentukan indeks konsistensi ( CI = Consistency Indeks ) dengan

rumusan sebagai berikut :

CI =

- Menentukan nilai rasio konsistensi (CR= Consistency Ratio)

dengan rumusan sebagai berikut :

(41)

dimana, nilai Random Consistency Index (RI) untuk penentuan

consistency ratio tersebut adalah seperti pada tabel berikut :

Tabel 2 Nilai random consistencyindex (RI) untuk penentuan

consistency ratio

n RI

1 0,00

2 0,00

3 0,58

4 0,90

5 1,12

6 1,24

7 1,32

8 1,41

9 1,45

10 1,49

11 1,51

12 1,48

13 1,56

14 1,57

15 1,59

Keterangan : n = banyaknya elemen yang diperbandingkan

RI = random consistencyindex

- Membuat kesimpulannya

4. Penentuan prioritas pada tingkat sub kriteria

- Pembandingan berpasangan untuk penentuan vektor prioritas sama

(42)

- Penentuan tingkat konsistensi pada tingkat alternatif sama seperti

pada tingkat kriteria

5. Sintesis

Proses sintesis permasalahan dalam AHP didasarkan atas penyatuan

vektor-vektor prioritas kriteria (dan jika ada vektor sub-kriteria) dan

matriks prioritas alternatif untuk suatu kriteria atau subkriteria tertentu.

Adapun tahapan sintesis ini adalah sebagai berikut :

- Menentukan matriks prioritas alternarif dari masing-masing

kriteria.

- Melihat kembali vektor prioritas kriteria yang telah diperoleh.

- Mengalikan matriks prioritas altrernatif dan vektor prioritas kriteria

tersebut untuk memperoleh vektor prioritas alternatif menyeluruh

menurut kriteria tersebut.

- Menentukan matriks pendapat gabungan dari masing-masing

kriteria

- Menentukan rata-rata geometri dari masing-masing kriteria

- Menentukan vektor prioritas dengan membagi rataan geometris

suatu kriteria.

b. Pembuatan Data Spasial

Pembuatan data spasial merupakan hal yang paling penting dalam analisa

data. Data spasial didigitasi dengan menggunakan alat digitizer atau

(43)

kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli didijitasi sesuai luasan kawasan

yang diteliti. Peta hasil dijitasi dipakai sebagai batasan kawasan yang

diteliti. Adapun data spasial yang digunakan dalam penelitian ini yakni :

1. Pembuatan Peta Curah Hujan

Data curah hujan tahun 2006 dari Badan Metereologi dan Geofisika

(BMG) harus diubah menjadi data dalam bentuk file DBF supaya dapat

diproses di perangkat lunak ArcView. Proses pengubahan ini dilakukan

dengan menggunakan Microsoft Office Excel yang prosedurnya antara

lain :

a. Data curah hujan diketik di Microsoft Office Excel kemudian

disimpan dalam bentuk file DBF.

b. Data curah hujan dibuka di perangkat lunak ArcView dengan

menggunakan fitur Tables.

c. Ditampilkan dengan menggunakan menu View dan Add Event

Theme.

d. Diolah dengan menggunakan menu View Tool dan fitur

Thiessen Polygons untuk memperoleh peta curah hujan.

e. Hasil peta kemudian diinterseksi dengan poligon DAS Deli

dengan menggunakan fitur GeoProcessing Wizard agar

diperoleh peta curah hujan DAS Deli.

2. Pembuatan Peta Ketinggian

Data citra dari SRTM harus diubah dalam bentuk format grid/DEM

(44)

dilakukan dengan menggunakan perangklat lunak Global mapper yang

prosedurnya antara lain :

a. Citra diproyeksi dalam proyeksi Geographic

(Latitude/Longitude), dengan datum WGS84.

b. Setelah citra diformat sesuai dengan yang ditentukan maka

tahap selanjutnya adalah citra diformat ke dalam bentuk file

DEM. Proses ini menggunakan fitur Export raster and

elevation data.

c. Kemudian data dalam bentuk file DEM tersebut dikonversikan

ke grid dengan menggunakan Model Builder.

d. Setelah dikonversikan, data tersebut direclassify sesuai dengan

kelas ketinggian yang telah ditentukan sehingga diperoleh peta

ketinggian.

3. Pembuatan Peta Kelerengan

Prosedur pembuatan peta kelerengan sama dengan pembuatan peta

ketinggian. Peta kelerengan diperoleh dari DEM ketinggian melalui

proses Derive Slope.

4. Pembuatan Peta Jenis Tanah

Peta Jenis Tanah dibuat dengan memanfaatkan perangkat lunak

(45)

a. Peta jenis tanah dalam bentuk format JPEG digitasi dengan

menggunakan fitur Draw Polygon untuk masing-masing jenis

tanah.

b. Hasil digitasi masing-masing jenis tanah kemudian digabungkan

dengan menggunakan fitur Geoprocessing Wizard dari menu View,

sehingga diperoleh peta digital jenis tanah.

5. Pembuatan Peta Buffer (Jarak dari Sungai)

Peta Buffer diperoleh dengan memanfaatkan perangkat lunak ArcView

dengan teknik digitasi on screen yang prosedurnya antara lain :

a. Peta jaringan sungai dalam bentuk format JPEG digitasi dengan

menggunakan fitur Draw Polygon agar diperoleh aliran sungainya.

b. Setelah digitasi, kemudian diolah dengan menggunakan fitur

Create Buffer dalam menu Theme. Sehingga diperoleh peta buffer

(jarak dari sungai).

6. Analisis Citra untuk Pembuatan Peta Penutupan Lahan

Citra Landsat 5 TM dianalisis dengan tujuan untuk memperoleh peta

penggunaan lahan (Land Use) dari kawasan yang diteliti. Analisis citra

dapat dilakukan dalam enam tahap yang digambarkan dalam diagram

(46)

a. Mosaik Image

Mosaik image adalah penggabungan dua citra yakni citra landsat

129/57 dan citra landsat 129/58 sehingga gambaran pada kedua

citra tersebut bertampalan.

b. Subset Image

Subset image adalah memotong (cropping) citra untuk menentukan

daerah kawasan yang diteliti dari kedua citra tersebut.

c. Koreksi Citra

Koreksi citra merupakan prosedur operasi agar diperoleh data yang

sesuai dengan aslinya. Sebab citra hasil rekaman sensor

penginderaan jauh mengalami berbagai distorsi yang disebabkan

oleh gerakan sensor, faktor media antara, dan faktor objeknya

sendiri, sehingga perlu dibetulkan atau dipulihkan kembali.

Koreksi citra terdiri dari :

1. Koreksi Geometris

Koreksi geometris dilakukan sesuai dengan atau penyebab

kesalahannya, yaitu kesalahan sistematik dan kesalahan

random dengan sifat distorsi geometrik pada citra. Tujuan

koreksi geometrik antara lain :

- Melakukan rektifikasi (pembetulan) citra agar koordinat

citra sesuai dengan koordinat geografi

- Mencocokkan (registrasi) posisis citra dengan citra lainnya

ataua mentransformasikan sistem koordinat citra

(47)

- Registrasi citra ke peta atau transformasi sistem koordinat

citra ke peta, yang menghasilkan citra dengan sistem

proyeksi tertentu.

2. Koreksi Radiometrik

Koreksi radiometrik merupakan perbaikan akibat cacat atau

kesalahan radiometrik, yaitu kesalahan pada sistem optik,

kesalahan karena gangguan energi radiasi elektromagnetik

pada atmosfer dan kesalahan karena pengaruh sudut elevasi

matahari.

d. Perbaikan Citra (Image Enhancement)

Image Enhancement bertujuan untuk meningkatkan mutu citra,

baik untuk memperoleh keindahan gambar maupun untuk

kepentingan analisis citra. Secara umum teknik perbaikan citra

terdiri dari :

1. Perbaikan Spasial (Spatial enhancement)

Spatial Enhancement bertujuan memperbaiki citra

(memberikan efek kontras, penajaman tepi dan atau

penghalisan citra) menggunakan nilai-nilai pixel yang

bersangkutan dan yang ada disekitarnya.

2. Perbaikan Radiometrik (Radiometrik enhancement)

Radiometrik Enhancement adalah teknik memperbaiki citra

(48)

Teknik manipulasi citra dilakukan dengan menggunakan

modifikasi histogram.

3. Perbaikan Spektral (Spectral enhancement)

Spectral Enhancement adalah teknik perbaikan citra

menggunakan masing-masing pixel sejumlah band (basis

multi-band), meliputi analisis komponen utama (principal

componen), komponen baku, komponen vegetasi,

transformasi warna berdasarkan kontras intensitas siturasi,

dan perentangan dekorelasi.

e. Klasifikasi Citra (Image classification)

Klasifikasi citra bertujuan untuk pengelompokan atau segmentasi

terhadap kenampakan-kenampakan yang homogen dengan

menggunakan teknik kuantitaif. Klasifikasi citra yang digunakan

yakni klasifikasi terbimbing (supervised classification). Klasifikasi

terbimbing adalah proses klasifikasi dengan pemilihan kategori

informasi yang diinginkan dan memilih training area untuk tiap

kategori penutup lahan yang mewakili sebagai kunci interpretasi.

f. Uji Ketelitian

Uji ketelitian dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

metode Maksimum Likelihood. Uji ketelitian ini bertujuan untuk

menguji kebenaran dari hasil interpretasi yang diperoleh dengan

cara pengecekan di lapangan serta pengukuran beberapa titik

(49)

penutupan/penggunaan lahan yang homogen. Besarnya tingkat

akurasi akan diperoleh dari hasil uji ketelitian, yang dihitung dari

matriks analisis akurasi dengan formulasi sebagai berikut:

Producer’s accuracy = x100%

N = Jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan

r = Jumlah baris/lajur pada matriks kesalahan (jumlah kelas)

Xkk= Jumlah piksel pada kelas bersangkutan (diagonal matriks)

Xkt = ∑Xij (jumlah semua kolom pada baris ke i)

(50)

Citra Landsat 129/57

Citra Landsat 129/58

Mosaik Image

Subset Image

Geometris

Koreksi

Radiometrik

Image Enhancement

Spasial Radiometrik Spektral

Citra Terkoreksi

Klasifikasi Terbimbing (Supervised classification)

Uji Ketelitian

Peta Land Use

(51)

d. Analisis GIS

Untuk memperoleh peta tingkat rawan banjir, maka langkah yang

dilakukan selanjutnya adalah analisis GIS melalui beberapa tahapan yakni :

• Pembuatan data spasial

Data spasial didigitasi dengan menggunakan alat digitizer atau

menggunakan perangkat lunak dengan teknik digitasi on screen.

• Konversi spasial vektor ke format grid

Data spasial dikonversi dari bentuk vektor ke format grid dengan

tujuan untuk memudahkan pengolahan dengan perangkat lunak

GIS

• Skoring dengan AHP

Data spasial yang telah dikonversi di skoring dengan AHP untuk

memperoleh besarnya tingkat kerawanan

Weighted Overlay

Untuk memperoleh peta tingkat rawan banjir, maka tahapan

selanjutnya adalah mengeoverlay-kan peta penutupan lahan dengan

peta curah hujan kemudian peta jenis tanah dengan peta kelerengan

dan peta ketinggian dengan peta jaringan sungai.

• Pengkasifikasian nilai-nilai rawan banjir

Dari hasil Weighted Overlay nilai-nilai rawan banjir

(52)

Persamaan yang digunakan untuk mengevaluasi fungsi tingkat rawan banjir

adalah :

a[P] + b[LU] + c[S] + d[ST] + e[K] + f[JS]

Keterangan :

P = Precipitation (curah hujan)

LU = Land use (penggunaan lahan)

S = Slope (kemiringan)

ST = Soil type (jenis tanah)

K = Ketinggian

JS = Jaringan Sungai

a, b, c, d, e,f = kontanta/skor sesuai AHP

3. Uji Ketelitian Model

Dari hasil interpretasi potensi dan kejadian banjir dilakukan validasi

terhadap kondisi sesungguhnya di lapangan. Untuk itu perlu dilakukan

pengecekan kondisi sesungguhnya dilapangan dengan tujuan untuk mengetahui

tingkat rawan banjir pada lokasi kejadian banjir. Hasil dari pengecekan lapangan

dengan bantuan alat Global Positioning System (GPS) dimana fungsinya dapat

menentukan keberadaan lokasi contoh tersebut. Uji ketelitian model ini dilakukan

dengan cara ground check (cek lapangan) di beberapa titik pengamatan yang

dipilih sebagai perwakilan dari luasan daerah yang diteliti. Pengambilan titik ini

dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal yakni biaya, waktu, dan

(53)

PERSIAPAN

Adapun tahapan dari penelitian ini disajikan dalam gambar berikut :

Tidak

Ya

(54)
(55)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembobotan Variabel Indikator Banjir

Pembobotan variabel–variabel indikator banjir dilakukan dengan

menggunakan metode Analitycal Hierarchy Process (AHP). Dalam metode ini

responden yang diambil sebanyak 4 (empat) orang ahli. Pembobotan ini dibagi

menjadi dua tahap yakni berdasarkan kriteria dan sub kriteria faktor utama

penyebab banjir. Hasil skoring dari masing-masing ahli dianalisa dengan

menggunakan Software Expert Choice baik berdasarkan kriteria maupun sub

kriteria.

Hasil skoring dari masing-masing ahli baik berdasarkan kriteria maupun

sub kriteria dibuat menjadi suatu matriks gabungan agar diperoleh rataan

geometris dari setiap variabel. Dengan demikian, akan diperoleh vektor prioritas

atau nilai bobot dari masing-masing variabel yang sesungguhnya. Matriks

gabungan berdasarkan tingkat kriteria maupun sub kriteria dari masing-masing

ahli dapat dilihat pada lampiran 1.

Hasil matriks gabungan berdasarkan tingkat kriteria faktor utama

penyebab banjir menunjukkan bahwa, nilai vektor prioritas dari masing-masing

(56)

0 .2 6 1

Gambar 4. Nilai Vektor Prioritas Matriks Gabungan Berdasarkan Kriteria.

Gambar 4 menunjukkan bahwa, faktor yang memiliki nilai vektor prioritas

yang paling besar adalah curah hujan, yakni sebesar 0,261. Hal ini menunjukkan

bahwa curah hujan merupakan faktor utama yang memiliki pengaruh yang besar

terhadap potensi terjadinya banjir. Sedangkan variabel indikator banjir yang

memiliki nilai vektor prioritas yang paling kecil adalah ketinggian tempat, yakni

sebesar 0.155.

Menurut Moehansya (2006), distribusi hujan sepanjang tahun sangat

berpengaruh pada kondisi air yang terdapat di wilayah DAS. Curah hujan yang

rendah dan tidak terdistribusi baik sepanjang tahun akan menyebabkan suplai air

yang berfluktuasi. Proporsi banyaknya air hujan yang berubah menjadi air

limpasan dinamakan dengan istilah koefisien runoff (KR). Semakin besar KR

berarti semakin banyak air hujan yang mengalir di permukaan tanah sebagai air

limpasan yang berpotensi sebagai sumber banjir. Sebaliknya semakin kecil KR

semakin sedikit air hujan yang berubah menjadi air limpasan dan semakin kecil

(57)

0.055

Hasil matriks gabungan berdasarkan tingkat sub kriteria faktor utama

penyebab banjir menunjukkan bahwa, nilai vektor prioritas dari masing-masing

variabel indikator banjir berbeda-beda seperti ditunjukkan pada gambar 5.

(58)

Gambar 5 menunjukkan hasil matriks gabungan dari para ahli berdasarkan

sub kriteria dari masing-masing variabel indikator banjir, yakni curah hujan, jenis

tanah, penutupan lahan, kelerengan, ketinggian tempat dan jarak dari sungai

(buffer). Untuk tingkat sub kriteria curah hujan, faktor yang memiliki nilai vektor

prioritas yang paling besar adalah curah hujan sangat lebat yakni sebesar 0,411.

Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan yang sangat lebat merupakan faktor yang

memiliki pengaruh yang besar terhadap potensi banjir. Sedangkan faktor yang

nilai vektor prioritasnya paling kecil adalah curah hujan sangat ringan yakni

sebesar 0,055. Namun, rata-rata curah hujan yang terdapat di Daerah Aliran

Sungai Deli masuk kedalam kriteria curah hujan ringan dengan nilai vektor

prioritas sebesar 0,087.

Berdasarkan sub kriteria jenis tanah, Podsolik/ Litosol Regosol merupakan

faktor yang memiliki nilai vektor prioritas yang paling besar, yakni sebesar 0,652.

Hal ini menunjukkan bahwa jenis tanah ini memiliki pengaruh besar terhadap

potensi banjir dibandingkan jenis tanah yang lainnya. Dimana jenis tanah ini

umumnya peka terhadap erosi. Tingkat bahaya erosi menjadi lebih besar apabila

jenis tanah tersebut mempunyai formasi kemiringan lereng besar. Dan jenis tanah

yang memiliki nilai vektor prioritas yang paling kecil adalah Latosol Coklat

sebesar 0,054.

Menurut Moehansyah (2006), sifat-sifat tanah yang paling dominan

berpengaruh pada terjadinya air limpasan/banjir adalah sifat fisik tanah berupa

kemampuan infiltrasi yang sangat ditentukan oleh porositas dan permeabilitas

tanah di sepanjang profil. Ketebalan profil tanah yang mampu mengalirkan air

(59)

sangat menentukan besar kecilnya air limpasan. Semakin tebal solum tanah yang

mampu dilewati air dengan baik akan memperbesar volume air hujan yang dapat

diserap dan disimpan di dalam tanah sehingga mengurangi volume air yang akan

berubah menjadi air limpasan.

Untuk tingkat sub kriteria penutupan lahan, dapat dilihat bahwa badan air

yang terdiri dari sungai dan tambak merupakan faktor yang memiliki nilai vektor

prioritas terbesar, yakni sebesar 0,177. Hal ini menunjukkan bahwa badan air

memiliki pengaruh yang besar terhadap potensi banjir. Dan Kebun Campuran

merupakan faktor yang paling kecil nilai vektor prioritasnya, yakni sebesar 0,081.

Menurut Maryono (2005), perubahan fisik yang terjadi di DAS akan

berpengaruh langsung terhadap kemampuan retensi DAS terhadap banjir. Retensi

DAS dimaksudkan sebagai kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu.

Perubahan tata guna lahan menyebabkan retensi DAS berkurang secara drastis.

Seluruh air hujan akan dilepaskan ke arah hilir. Sebaliknya semakin besar retensi

suatu DAS semakin baik, karena air hujan dapat dengan baik diresapkan

(diretensi) di DAS dan secara perlahan-lahan dialirkan ke sungai sehingga tidak

menimbulkan banjir.

Berdasarkan sub kriteria tingkat kelerengan, dapat dilihat bahwa kelas

kelerengan IV dengan persen kemiringan > 49 % (sangat curam) memiliki nilai

vektor prioritas yang paling besar yakni sebesar 0.419. Hal ini menunjukkan

bahwa kelas kelerengan IV merupakan faktor utama yang mempengaruhi potensi

terjadinya banjir. Semakin curam kemiringan lahan suatu daerah maka semakin

besar potensi terjadinya banjir. Hal ini sesuai dengan pernyataan Moehansyah

Gambar

Tabel 1 Skala pembandingan berpasangan dalam penilaian elemen- elemen  suatu hierarki
Gambar 2. Tahapan analisis citra.
Gambar 3. Tahapan Penelitian.
Gambar 5. Nilai Vektor Prioritas  Matriks Gabungan Berdasarkan Sub Kriteria.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bencana banjir yang sering terjadi di DAS Cisadane disebabkan karena tingginya curah hujan harian maksimum (>150 mm) di Kabupaten Bogor, penutupan lahan

Data profil sungai dan data curah hujan digunakan untuk analisa debit banjir menurut periode kala ulang yang diinput ke dalam software HEC-RAS untuk menganalisa

Hasil penelitian terhadap lima aspek fisik dasar yang dianggap berperan dalam penetapan kawasan berpotensi banjir, yaitu curah hujan, kemiringan lereng, penggunaan lahan, orde

karakteristik wilayah rawan konflik harimau yang dipetakan meliputi ketinggian, kelerengan, jarak dari sungai, tutupan lahan dan kepadatan penduduk yang diberi

Sebagian wilayah kecamatan Kupang Timur merupakan wilayah yang rawan (20,62 %) dan sangat rawan (28,68 %) terhadap banjir karena memiliki curah hujan yang tinggi dan

Dengan adanya simulasi pemodelan seperti ini banjir dapat di analisa dan dapat memprediksi banjir tahunan yang sering terjadi akibat curah hujan yang sangat tinggi dan

Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian daerah rawan banjir di Daerah Aliran Sungai DAS Wae Heru dengan menggunakan keenam parameter yang dimodifikasi dari peneliti-peneliti

Sumber : Kodoatie dan Roestam 2005 Penyebab Banjir Perubahan tata guna lahan Sampah Erosi dan Sedimentasi Kawasan kumuh di sepanjang sungai / drainase Perencanaan sistem