PERMODELAN SPASIAL DAERAH RAWAN BANJIR DI
DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DELI DENGAN
MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN
ANALITYCAL HIERARCHY PROCESS
SKRIPSI
Oleh :
ROSMAWATI SITOMPUL 041201016/ MANAJEMEN HUTAN
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERMODELAN SPASIAL DAERAH RAWAN BANJIR DI
DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DELI DENGAN
MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN
ANALITYCAL HIERARCHY PROCESS
SKRIPSI
Oleh :
ROSMAWATI SITOMPUL 041201016/ MANAJEMEN HUTAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Permodelan Spasial Daerah Rawan Banjir Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis Dan Analitycal Hierarchy Proses
Nama : Rosmawati Sitompul
NIM : 0412010016
Jurusan : Kehutanan Program Studi : Manajemen Kehutanan
Disetujui oleh : Komisi Pembimbing
Nurdin Sulistiyono, S.Hut, M.Si Pindi Patana, S.Hut, M.Sc
Ketua
Anggota
Diketahui Oleh : Ketua Departemen Kehutanan
ABSTRAK
ROSMAWATI SITOMPUL. Permodelan Spasial Daerah Rawan Banjir Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis dan Analitycal Hierarchy Process. Dibimbing oleh Nurdin Sulistiyono dan Pindi Patana.
Perubahan fisik yang terjadi di DAS akan berpengaruh langsung terhadap kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu. Perubahan tata guna lahan menyebabkan kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu berkurang secara drastis. Saat ini, di sepanjang aliran sungai Deli terdapat beberapa kerusakan, terutama di bagian hulu dan kondisi hutan di hulu Sungai Deli tinggal 7,59 % dari 48.162 hektar areal DAS Deli . Banyaknya kerusakan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan debit air secara tajam pada saat musim kemarau dan musim hujan. Saat musim hujan, terjadi penambahan debit yang sangat besar. Di saat kelebihan debit, daerah hilir tidak siap karena drainasenya yang buruk sehingga mengakibatkan banjir
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka diperlukan adanya informasi tentang daerah-daerah yang termasuk rawan banjir di Daerah Aliran Sungai Deli sehingga informasi ini dapat digunakan sebagai landasan untuk pengambilan kebijakan dalam pengendalian banjir.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan peta kelas rawan banjir di sekitar Daerah Aliran Sungai Deli dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis dan AHP. Potensi rawan banjir dipengaruhi oleh penutupan lahan, jenis tanah, kelerengan, ketinggian, curah hujan dan jarak dari sungai. Faktor utama yang mempengaruhi potensi rawan banjir adalah curah hujan. Potensi rawan banjir di Daerah Aliran Sungai Deli berturut-turut didominasi oleh kelas rawan, sedang, sangat rawan dan tidak rawan. Penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk pengambilan kebijakan dalam penanganan daerah banjir.
ABSTRACT
The physical change in watershed has a direct effect to capacity the watershed from upstream.Then change in land use has decreased the capacity oh watershed in upstrean drastically. Nowdays, at entire length of Deli watershed there has been some damage, particullary in upstream section and the forets condition in upstream of Deli watershed has been left 7,59 % of 48.162 hectares of Deli Watershed. The severity of damage has caused the drastic change in water discharge in dry season and rainy season. In rainy season, there was a great increase water discharge. In overrate downstream area was nor ready due to it’s poor drainage causing the flooding. To consider the situations above, it would be important to have comprehensive information regarding the susceptible flooding areas in Deli Watershed, and the information should be made as a basis to take the polity and decision in managing the flooding. This research done to get class map of susceptible flooding areas in Deli watershed. By using the Geographical Information System and Analitycal Hierarchy Process. This research could present the information about the flooding ini Deli watershed and as information for management, controlling of susceptible flooding in Deli watershed. There are six factor influencing this flooding by land use, soil type, slope, elevation,
precipitation and buffer. This research result shows that susceptible flooding .potency in Deli watershed dominate respectively by medium class, susceptible, very susceptible and insusceptible. This research can used as a reference to take the policy and decision in management of flooding area.
Key words :susceptible flooding,analitycal hierarchy process, soil type, land use,
DAFTAR ISI
Manfaat penelitian ... 4
TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Daerah Aliran Sungai ... 5
Ekosistem Daerah Aliran Sungai ... 7
Komponen-Komponen Ekisisten DAS... 8
Sistem Hidrologi Dalam Ekosistem DAS ... . 8
Banjir……… ... 9
Jenis-Jenis Banjir ... 10
Faktor –Faktor Penyebab Banjir ... 12
Sistem Informasi Geografis ... 15
Teknologi Sistem Informasi Geografis ... 17
Pengideraan Jauh………….. ... 18
AHP ………. ... 19
METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22
Bahan Dan Alat ... 22
Metode Penelitian ... 22
Pengumpulan Data ... 22
Analisa Data ... 23
Skoring AHP ... 23
Pembuatan Data Spasial ... 29
Analisis GIS ... 38
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Karakteristik DAS Deli ... 41
Letak dan Luas DAS Deli ... 41
Morfologi DAS Deli ... 41
Bentuk DAS…. ... 41
Panjang dan Kemiringan DAS Deli ... 42
Penutupan atau Penggunaan Lahan ... 43
Geomorfologi.. ... 43
Jenis Tanah…. ... 44
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembobotan Variabel Indikator Banjir ... 45
Variabel Indikator Banjir ... 50
Penutupan lahan... 54
Jenis Tanah………. 57
Curah Hujan……… 60
Kemiringan Lahan... 63
Ketinggian Tempat... 66
Jarak dari Sungai... 69
Pemodelan Peta Potensi Rawan Banjir ... 72
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 76
Saran ... 76
DAFTAR PUSTAKA ... 77
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Skala Pembandingan Berpasangan Elemen Hierarki ... 26
2. Nilai random consistencyindex (RI) ... 28
8. Tipe Penutupan Lahan di Daerah Aliran Sungai Deli ... 51
9. Sebaran penutupan Lahan Pada Setiap Kelas Banjir ... 52
10.Klasifikasi Tanah Yang Terdapat di Daerah Aliran Sungai Deli ... 54
9. Sebaran Jenis Tanah Pada Setiap Kelas Banjir ... 55
10. Rata-Rata Curah Hujan di Daerah Aliran Sungai Deli Tahun 2006 ... 57
11. Sebaran Rata- Rata Curah Hujan Kelas Banjir ... 58
12. Kelas Kemiringan Lahan di daerah Aliran Sungai Deli ... 60
15. Sebaran Kelas Kelerengan pada Setiap Kelas Banjir ... 58
16. Kelas Ketinggian di Daerah Aliran Sungai Deli ... 60
17. Sebaran Ketinggian Tempat Pada Setiap Kelas Banjir ... 61
18. Kelas Jarak Dari Sungai ... 63
19. Sebaran Kelas Buffer Pada Setiap Kelas Banjir ... 63
20. Klasifikasi Tingkat Kerawanan Banjir ... 66
21. Luas daerah Tiap Kelas Potensi Rawan Banjir ... 66
22. Sebaran Potensi Rawan Banjir Di Daerah Aliran Sungai Deli ... 70
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Hierarki Permasalahan... 25
2. Tahapan Analisis Citra ... 37
3. Tahapan Penelitian ... 40
4. Nilai Vektor Prioritas Variabel Indikator Banjir Berdasarkan Kriteria ... 46
5. Nilai Vektor Prioritas Berdasarkan Sub Kriteria ... 47
6. Peta Sebaran penutupan Lahan ... 53
7. Peta Sebaran Jenis Tanah... 56
8. Peta Sebaran Curah Hujan ... 59
9. Peta Sebaran Kelerengan ... 59
10. Peta Sebaran Ketinggian ... 62
11. Peta Sebaran Buffer ... 65
12. Peta Sebaran Potensi rawan Banjir... 68
13 Peta Sebaran Potensi Banjir Di Berbagai Daerah Di DAS Deli ... 72
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Kriteria
Faktor Utama Penyebab Banjir ... 79 2. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Sub Kriteria
Curah Hujan ... 79 3. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Sub Kriteria
Jenis Tanah ... 79 4. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Sub Kriteria
Penutupan Lahan ... 80 5. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Sub Kriteria
Tingkat Kelerengan ... 80 6. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Sub Kriteria
Ketinggian Tempat ... 80 7. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Sub Kriteria
Jarak dari Sungai ... 80 8. Hasil Analisis Akurasi Klasifikasi Citra Landsat 5 TM Tahun
2006 ... 81
ABSTRAK
ROSMAWATI SITOMPUL. Permodelan Spasial Daerah Rawan Banjir Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis dan Analitycal Hierarchy Process. Dibimbing oleh Nurdin Sulistiyono dan Pindi Patana.
Perubahan fisik yang terjadi di DAS akan berpengaruh langsung terhadap kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu. Perubahan tata guna lahan menyebabkan kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu berkurang secara drastis. Saat ini, di sepanjang aliran sungai Deli terdapat beberapa kerusakan, terutama di bagian hulu dan kondisi hutan di hulu Sungai Deli tinggal 7,59 % dari 48.162 hektar areal DAS Deli . Banyaknya kerusakan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan debit air secara tajam pada saat musim kemarau dan musim hujan. Saat musim hujan, terjadi penambahan debit yang sangat besar. Di saat kelebihan debit, daerah hilir tidak siap karena drainasenya yang buruk sehingga mengakibatkan banjir
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka diperlukan adanya informasi tentang daerah-daerah yang termasuk rawan banjir di Daerah Aliran Sungai Deli sehingga informasi ini dapat digunakan sebagai landasan untuk pengambilan kebijakan dalam pengendalian banjir.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan peta kelas rawan banjir di sekitar Daerah Aliran Sungai Deli dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis dan AHP. Potensi rawan banjir dipengaruhi oleh penutupan lahan, jenis tanah, kelerengan, ketinggian, curah hujan dan jarak dari sungai. Faktor utama yang mempengaruhi potensi rawan banjir adalah curah hujan. Potensi rawan banjir di Daerah Aliran Sungai Deli berturut-turut didominasi oleh kelas rawan, sedang, sangat rawan dan tidak rawan. Penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk pengambilan kebijakan dalam penanganan daerah banjir.
ABSTRACT
The physical change in watershed has a direct effect to capacity the watershed from upstream.Then change in land use has decreased the capacity oh watershed in upstrean drastically. Nowdays, at entire length of Deli watershed there has been some damage, particullary in upstream section and the forets condition in upstream of Deli watershed has been left 7,59 % of 48.162 hectares of Deli Watershed. The severity of damage has caused the drastic change in water discharge in dry season and rainy season. In rainy season, there was a great increase water discharge. In overrate downstream area was nor ready due to it’s poor drainage causing the flooding. To consider the situations above, it would be important to have comprehensive information regarding the susceptible flooding areas in Deli Watershed, and the information should be made as a basis to take the polity and decision in managing the flooding. This research done to get class map of susceptible flooding areas in Deli watershed. By using the Geographical Information System and Analitycal Hierarchy Process. This research could present the information about the flooding ini Deli watershed and as information for management, controlling of susceptible flooding in Deli watershed. There are six factor influencing this flooding by land use, soil type, slope, elevation,
precipitation and buffer. This research result shows that susceptible flooding .potency in Deli watershed dominate respectively by medium class, susceptible, very susceptible and insusceptible. This research can used as a reference to take the policy and decision in management of flooding area.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan merupakan sumberdaya alam yang telah mengalami banyak
perubahan dan sangat rentan terhadap kerusakan. Sebagai salah satu sumber
devisa negara, hutan telah dieksploitasi secara besar-besaran untuk diambil
kayunya. Ekploitasi ini menyebabkan berkurangnya luasan hutan dengan sangat
cepat. Keadaan semakin diperburuk dengan adanya konversi lahan hutan secara
besar-besaran untuk lahan pemukiman, perindustrian, pertanian, perkebunan,
peternakan serta kebakaran hutan yang selalu terjadi di sepanjang tahun.
Dampak dari eksploitasi ini adalah terjadinya banjir pada musim penghujan dan
kekeringan pada musim kemarau. Dengan demikian jelas terlihat bahwa fungsi
hutan sebagai pengatur tata air telah terganggu dan telah mengakibatkan
berkurangnya keanekaragaman hayati yang ada didalamnya.
Laju kerusakan hutan di Indonesia diperkirakan mencapai 1,6 - 2 juta ha
per tahun. Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun
2002-2003, khusus di dalam kawasan hutan yaitu seluas 133,57 juta ha, kondisi
penutupan lahannya adalah Hutan 85,96 juta ha (64 %), Non hutan 39,09 juta
ha (29 %) dan tidak ada data 8,52 juta ha (7 %) (BAPLAN, 2005). Ini berarti
sebenarnya hanya sekitar 85,96 juta ha yang dapat dikatakan hutan dari kawasan
hutan yang telah ditetapkan.
Kerusakan hutan ini juga terdapat disekitar daerah aliran sungai (DAS) Deli
yang terletak di tiga kabupaten yakni Deli Serdang, Karo dan Medan. Daerah
kerusakan di 20 titik, terutama di bagian hulu dan kondisi hutan di hulu Sungai
Deli tinggal 15 persen. Banyaknya kerusakan tersebut menyebabkan terjadinya
perubahan debit air secara tajam pada saat musimkemarau dan musim hujan. Saat
musim hujan, terjadi penambahan debit yang sangat besar. Di saat kelebihan
debit, daerah hilir tidak siap karena drainasenya yang buruk sehingga
mengakibatkan banjir (Maraganti, 2005).
Terganggunya tata air Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat menimbulkan
banjir di musim penghujan, kekeringan di musim kemarau, pendangkalan waduk
sebagai akibat adanya erosi di daerah hulu, terjadinya lahan-lahankritis/rusak
yang lebih lanjut akan mengakibatkan penurunan produktivitas tanah dan
produksi usaha tani maupun kesejahteraan sosial.
Menurut Asdak (1995) kondisi suatu DAS dianggap mulai terganggu
apabila koefisien air larian cenderung terus naik dari tahun ke tahun, tinggi
permukaan air tanah berfluktuasi secara ekstrim.
Gambaran terganggunya kondisi DAS tersebut juga nampak pada DAS
Deli yang mempunyai luas 48.162 Ha, dengan keadaan bentuk wilayahnya
sebesar 32,35 % mulai dari bergelombang, berbukit dan bergunung, dengan
sebagian besar penduduk bermata pencaharian petani atau mengolah lahan
pertanian sebesar 82 % dari jumlah desa-desa yang termasuk dalam DAS Deli.
Pola hidrograf aliran sungai Sungai Deli menunjukkan kecenderungan
penyimpangan dari yang normal antara lain : fluktuasi aliran debit air maksimum
dan minimum yang telah mencolok, pergeseran waktu debit puncak terhadap
mencapai separuh luasan total, yang secara teoritis akan sangat berpengaruh
terhadap kelestarian kawasan Deli.
Menurut Maraganti (2005) debit air di DAS Deli saat kemarau hanya 10
meter kubik per detik. Namun, pada musim hujan, melonjak menjadi 315 meter
kubik per detik. DAS Deli mempunyai panjang 82 kilometer (km) dan luas total
48.162 hektar. DAS yang berada di Kabupaten Karo, Kabupaten Deli Serdang,
dan Kota Medan ini sangat penting artinya bagi masyarakat. Banjir tahunan yang
terjadi di Medan salah satunya adalah akibat kerusakan DAS Deli.
Pertambahan penduduk dan perkembangan wilayah perkotaan dapat
mengakibatkan perubahan tataguna lahan yang dapat mengakibatkan perubahan
karakteristik aliran seperti terjadinya banjir. Untuk menghindari terjadinya korban
jiwa dan kerugian material yang besar akibat banjir maka perlu dilakukan
tindakan-tindakan antisipasi. Untuk mengantisipasi terjadinya banjir dan
mengurangi kerugian harta benda yang ditimbulkan maka diperlukan informasi
lengkap tentang kejadian-kejadian yang pernah terjadi pada suatu daerah aliran
sungai , baik luas genangannya, lama genangan maupun frekuensi kejadiannya
kepada masyarakat di sekitar daerah rawan banjir. Jadi, untuk mengantisipasi
timbulnya kerugian sebagai dampak terjadinya banjir maka diperlukan informasi
yang memadai yang bisa digunakan oleh pengambil keputusan, termasuk
diantaranya informasi spasial. Sistem Informasi Geografis (GIS) merupakan
teknologi spasial yang sedang berkembang saat ini. Melalui sistem ini dapat
diperoleh permodelan spasial daerah rawan banjir yang menggambarkan
daerah-daerah rawan banjir di sekitar DAS Deli, sehingga dapat dilakukan penanganan
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan peta kelas bahaya banjir
disekitar DAS Deli melalui teknik permodelan spasial dengan menggunakan
perangkat lunak GIS serta teknik penskoran variabel-bariabel yang mempengaruhi
potensi banjir melalui Analitycal Hierarchy Process (AHP).
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah memberikan
informasi tingkat bahaya banjir dan daerah-daerah yang termasuk rawan banjir di
DAS Deli, sehinggga dapat digunakan sebagai informasi/masukan dalam kegiatan
TINJAUAN PUSTAKA
Defenisi Daerah Aliran Sungai
DAS merupakan suatu wilayah yang dibatasi oleh pemisah topografi, yang
menerima hujan, manampung, menyimpan dan mengalirkan ke sungai dan
seterusnya ke danau atau ke laut. Selain itu DAS juga merupakan suatu ekisistem
dimana di dalamnya terjadi suatu proses interaksi antar faktor-faktor
biotik,nonbiotik dan manusia. Sebagai suatu ekosistem maka setiap ada masukan
ke dalamnya, proses yang terjadi dan berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi
berdasarkan keluaran dari sistem tersebut (Suripin, 2002).
Daerah Aliran Sungai adalah wilayah tangkapan air hujan yang akan
mengalir ke sungai yang bersangkutan. Perubahan fisik yang terjadi di DAS akan
berpengaruh langsung terhadap kemampuan retensi terhadap banjir. Retensi DAS
dimaksudkan untuk menahan air bagian hulu. Perubahan tataguna lahan akan
menyebabkan retensi DAS ini berkurang secara drastis (Maryono, 2005).
Daerah aliran sungai (DAS) tersusun oleh kesatuan berlapis-lapis kawasan
yang secara geografis membentang sejak dari hulu, tengah hingga hilir (kawsaan
pesisir). Di kawasan hulu, DAS menjadi daerah tangkapan air hujan dan berfungsi
sebgai kawasan penahan runoff yang seterusnya akan menjamin ketersediaan
pasokan air bagi keseluruhan sistem ekologis DAS utamanya bagi penduduk di
kawasan penyimpan presipitasi air hujan serta mengalirkan kelebihannya melalui
jaringan anak sungai dan infiltrasi aliran air bawah tanah (underground).
Cadangan air tanah tersebut selanjutnya kan menjadi sumber air di berbagai
Permukaan DAS pada dasarnya adalah suatu bentuk cembung yang miring
atau cekungan yang menentukan arah aliran air yang umum atau sebenarnya
memisahkan proses-proses flivial. Belahan lateral suatu daerah aliran sungai
menjelaskan suatu lembah berbentuk huruf U atau lembah yang berbentuk huruf
V, tergantung pada saling berinteraksi anatara iklim, tipe batuan dan struktur
geologinya. Sedangkan belahan melintang mengungkapkan suatu peningkatan
karakteristik kecuraman di dekat daerah bagian hulu (Seyhan, 1990).
Terganggunya tata air Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat menimbulkan
banjir di musim penghujan, kekeringan di musim kemarau, pendangkalan waduk
sebagai akibat adanya erosi di daerah hulu, terjadinya lahan-lahankritis/rusak
yang lebih lanjut akan mengakibatkan penurunan produktivitas tanah dan
produksi usahatani maupun kesejahteraan sosial. Kondisi suatu DAS dianggap
mulai terganggu apabila koefisien air larian cenderung terus naik dari tahun ke
tahun, tinggi permukaan air tanah berfluktuasi secara ekstrim (Asdak ,1995).
Menurut Maryono (2005), perubahan fisik yang terjadi di DAS akan
berpengaruh langsung terhadap kemampuan retensi DAS terhadap banjir. Retensi
DAS dimaksudkan sebagai kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu.
Perubahan tata guna lahan menyebabkan retensi DAS berkurang secara drastis.
Seluruh air hujan akan dilepaskan ke arah hilir. Sebaliknya semakin besar retensi
suatu DAS semakin baik, karena air hujan dapat dengan baik diresapkan
(diretensi) di DAS dan secara perlahan-lahan dialirkan ke sungai sehingga tidak
Ekosistem Daerah Aliran Sungai
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas
komponen-komponen yang saling berintegrasi sehingga membentuk suatu kesatuan. Sistem
tersebut mempunyai sifat tertentu, tergantung pada jumlah dan jenis komponen
yang menyusunnya. Besar kecilnya ukuran ekosistem tergantung pada pandangan
dan batas yang berikan pada ekosistem tersebut. Daerah aliran sungai dapat
dianggap sebagai suatu ekosistem (Asdak, 1995).
Ekosistem DAS merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi
perlindungan terhadap DAS. Aktifitas dalam DAS yang menyebabkan perubahan
ekosistem misalnya perubahan tataguna lahan khususnya di daerah hulu, dapat
memberikan dampak pada daerah hilir berupa perubahan fluktuasi debit air dan
kandungan sedimen serta material terlarut lainnya. Adanya keterkaitan antara
masukan dan keluaran pada suatu DAS ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk
menganalisis dampak suatu tindakan atau aktivitas pembangunan di dalam DAS
terhadap lingkungannya (Suripin, 2002).
Dalam mempelajari ekosistem DAS, daerah aliran sungai biasanya dibagi
menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Daerah hulu merupakan daerah konservasi
yang mempunyai kerapatan drainse labih tinggi dan memiliki kemiringan yang
besar. Sementara daerah hilir merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase
lebih kecil dan memiliki kemiringan lereng yang kecil sampai dengan sangat
kecil. Dan daerah aliran sungai bagian tengah merpakan daerah transisi dari kedua
keadaan DAS yang berbeda tersebut. Ekosistem DAS hulu merupakan bagian
hulu yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh
perencanaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perencanaan mengingat bahwa
dalam suatu DAS, daerah hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui
daur hidrologi (Asdak, 1995).
Komponen-komponen Ekosistem DAS
Komponen ekosistem DAS bagian hulu pada umumnya dapat dipandang
sebagai suatu ekosistem pedesaan. Ekosistem ini terdiri atas empat konmponen
utama yaitu desa, sawah/ladang, sungai dan hutan. Komponen yang menyusun
DAS berbeda tergantung pada keadaan daerah setempat. Misalnya adanya
komponen lain seperti perkebunan, sementara di daerah pantai dijumpai adanya
komponen lingkungan hutan bakau (Asdak, 1995).
Sistem Hidrologi Dalam Ekosistem DAS
Dalam hubungannya dengan sistem hidrologi, DAS mempunyai
karakteristik yang spesifik serta berkaitan erat dengan unsur utamanya seperti
jenis tanah, tataguna lahan, topografi, kemiringan dan panjang lereng.
Karakteristik DAS tersebut dalam merespon curah hujan yang jatuh di tempat
tersebut dapat memberikan pengaruh besar terhadap besar kecilnya
evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi, air larian, aliran permukaa, kandungan air
tanah dan aliran sungai. Diantara faktor-faktor yang berperan dalam menentukan
sistem hidrologi tersebut, faktor tataguna lahan dan kemiringan dan panjang
lereng dapat direkayasa oleh manusia (Asdak, 1995).
Selanjutnya Asdak (1995), juga mnyebutkan bahwa pengetahuan tentang
pengembangan sumberdaya alam dalam Skala DAS. Dalam sistem hidrologi ini,
peranan vegetasi sangat penting artinya karena kemungkinan intervensi manusia
terhadap unsur tersebut amat besar. Vegetasi dapat merubah sifat tanah dalam
hubungannya dengan air, dapat mempengaruhi kondisi permukaan tanah, dan
dengan demikian mempengaruhi besar-kecilnya aliran air permukaan.
Terdapat ketergantungan yang sangat erat antara keadaan air di permukaan
dan air di bawah permukaan. Bila terjadi perubahan prilaku secara kuantitatif pada
salah satunya, maka bagian air yang lain akan terpengaruh pula. Oleh sebab itu,
setiap aktivitas yang diduga berpengaruh terhadap prilaku air, maka keduanya
perlu ditinjau lebih lanjut (Harto, 1993).
Banjir
Banjir adalah peristiwa dimana daratan yang biasanya kering menjadi
tergenang air yang disebabkan oleh tingginya curah hujan dan topografi wilayah
berupa dataran rendah hingga cekung ataupun kemampuan infiltrasi tanah rendah
sehingga tanah tidak mampu tidak mampu menyerap air. Selain itu banjir
didefinisikan sebagai luapan air sungai akibat ketidakmampuan sungai
menampung air (Seyhan, 1990).
Banjir merupakan salah satu peristiwa alam yang yang senantiasa terjadi
pada setiap sungai. Pada umumnya akan terjadi saat curah hujan tinggi dan
melebihi dari kapasitas tampung saluran atau alur sungai maka terjadilah banjir.
Keberadaannya tidak dapat dicegah tetapi jika diketahui sejak dini maka korban
atau kerugian yang akan terjadi dapat dihindari atau dikurangi sekecil mungkin
Untuk mengetahui besar kecilnya banjir suatu daerah perlu diketahui
sebab-sebabnya. Salah satu diantaranya yaitu hujan yang tinggi, yang merupakan faktor
pertama bagi daerah yang rentan banjir. Disamping penyebab banjir , maka
faktor-faktor yang mempengaruhi tipe dan tingkatan banjir adalah faktor iklim,
kondisi hidrologi dan kondisi fisik daerah aliran sungai. Keseluruhan dari
faktor-faktor ini mempengaruhi regim hidrologikal ( karakteristik debit, muatan sedimen,
geomorfologikal dinamik) dari sungai utama dan anak-anaknya. Namun selain
faktor diatas , maka banjir juga dapat disebabkan oleh faktor kegiatan manusia
seperti penggundulan hutan ataupun kegiatan lainnya (Yusuf, 2005).
Kejadian banjir menurut Kodoatie (2002) dan Sugianto (2002) disebabkan
oleh teknis dan non teknis ( man made ) . Salah satu akibat dari man made adalah
adanya perubahan tataguna lahan, urbanisasi dan penebangan hutan yang
pengaruhnya sangat besar terhadap kuantitas banjir yang diilustrasikan pada
sebuah DAS yang semula berupa hutan mempunyai debit 10 m3/ det jika berubah
menjadi sawah debit sungainya akan menjadi antara 25 sampai 90 m3/det, ada
kenaikan debit sebesar 2,5 atau 9 kali debitsemula dan seterusnya bila hutan
berubah menjadi kawasan perdagangan/perindustrian, maka debitnya akan
meningkat tajam menjadi 60 sampai 250 m3/det.
Jenis-jenis Banjir
Banjir dapat terjadi akibat naiknya permukaan air pada saat curah hujan
yang di atas normal, bendungan yang bobol, pencairan salju yang cepat,
terhambatnya aliran air di tempat lain, atau waduk yang jebol. Dalam masalah
kekeringan. Banyak faktor yang timbul akibat banjir. Jika dilihat dari sebab-sebab
dan jenis timbulnya bencana banjir terjadinya cukup beragam antara lain :
1. Banjir kilat
Banjir ini biasanya didefinisikan sebagai banjir yang terjadi hanya dalam
waktu 6 jam sesudah hujan lebat mulai turun. Biasanya juga dihubungkan dengan
banyaknya awan kumulus yang menggumpal di angkasa, kilat atau petir yang
keras, badai tropis atau cuaca dingin. Karena banjir ini sangat cepat datangnya,
peringatan bahaya kepada penduduk sekitar tempat itu harus kilat pula, dan segera
dimulai upaya penyelamatan dan persiapan penanggulangan dampaknya.
2. Banjir luapan sungai
Jenis banjir ini berbeda dari banjir kilat karena banjir ini terjadi setelah
proses yang cukup lama meskipun proses itu bisa jadi lolos dari pengamatan
sehingga datangnya banjir terasa mendadak dan mengejutkan. Selain itu banjir
luapan sungai kebanyakan bersifat musiman atau tahunan dan bisa berlangsung
selama berhari-hari atau berminggu-minggu tanpa berhenti. Penyebabnya adalah
kelongsoran daerah-daerah yang biasanya mampu menahan kelebihan air,
pencairan salju yang menumpuk semasa musim dingin, atau terkadang akibat
kedua hal itu sekaligus.
3. Banjir pantai
Sebagian banjir dikaitkan dengan terjadinya badai tropis (juga disebut
angin puyuh laut atau taifun). Banjir yang membawa bencana dari luapan air
hujan sering makin parah akibat badai yang dipicu oleh angin kencang sepanjang
pantai. Air garam membanjiri daratan akibat satu atau perpaduan dampak
lebat yang jatuh di kawasan geografis luas akan menghasilkan banjir besar di
lembah-lembah pesisir yang mendekati muara sungai.
(Yusuf, 2005).
Faktor- Faktor Penyebab Banjir 1. Intensitas Curah Hujan
Presipitasi (hujan) merupakan salah satu komponen hidrologi yang paling
penting. Hujan adalah peristiwa jatuhnya cairan (air) dari atmosfer ke permukaan
bumi. Hujan merupakan salah satu komponen input dalam suatu prosesdan menjdi
faktor pengontrol yang mudah diamati dalam siklus hidrologi pada suatu kawasan
(DAS). Peran hujan sangat menetukan proses akan terjadinya dalam suatu
kawasan dalam kerangka satu sistem hidrologi dan mempengaruhinya, bagaimana
karakteristik hujannya dan mempelajari cara menghitung rta-rata hujan pada
suatukawasan dengan berbgai model perhitungan rata- rata curah hujan
(Sosrodarsono dan Takeda,2003).
Hujan yang terjadi secara merata diseluruh kawasan yang luas hanya
bersifat setempat. Hujan bersifat setempat artinya ketebalan hujan yang diukur
dari suatu pos hujan belum tentu dapat mewakili hujan untuk kawasan yang lebih
luas kecuali hanya untuk lokasi disekitar pos hujan. Peluang hujan pada intensitas
tertentu darisuatu lokasi yang lain dapat berbeda-beda. Sejauh mana curah hujan
yang diukur dari suatu pos hujan dapat mewakili karakteristik hujan untuk daerah
yang luas. Hal ini tergantung pada berbagai fungsi yakni jarak pos hujan itu
sampai titik tengah kawasan yang dihitung curah hujannya, luad daerah, topografi,
Intensitas curah hujan biasanya dinyatakan oleh jumlah curah hujan dalam
satuan waktu dan disebut intensitas curah hujan. Biasanya satuan yang digunakan
adalah mm/jam. Jadi intensitas curah hujan berarti jumlah presipitasi atau curah
hujan dalam waktu relatih singkat.
Keadaan Curah Hujan dan Intensitas Curah Hujan
Keadaan Curah Hujan
Intensitas Curah Hujan ( mm)
1 jam 24 jam
Kelas Intensitas Hujan Intensitas hujan
( mm/ hari )
2. Tingkat Erosi dan Sedimentasi
Proses perubahan alur sungai banyak dipengaruhi oleh adanya karakteristik
angkutan sedimen pada sungai tersebut. Pada suatu sungai yang terjadi fluktuasi
angkutan sedimen cukup besar, akan mengkibatkan prose erosi atau pun
sedimentasi sehingga akan terjadi agradasi maupun degradasi dasar sungai.
Sedangkan angkutan sedimen sendiri di sungai terdiri dari angkutan sedimen
dasar sungai dan melayang (Kodoatie dan Sugiyanto, 2002).
Erosi dan sedimentasi merupakan proses terjadinya proses terlepasnya
butiran tanah dari induknya di suatu tempat dan terangkutnya material tersebut
oleh gerakan air atau angin kemudian diikuti dengan pengendapan material yang
penampang sungai sedangkan besarnya sedimentasi akan mengurangi kapasitas
saluran, sehingga timbul genangan dan banji di daearah aliran sungai
(Suripin, 2002).
Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah atau bagian-bagian tanah dari
suatu tempat yang diangkut oleh air atau angin ke tempat lain. Di daerah beriklim
basah erosi oleh airlah yang penting, sedangkan erosi oleh angin tidak berarti.
Erosi menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang subur dan baik untuk
pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah unuk menyerap dan
menahan air. Sedangkan sedimentasi adalah tanah dan bagian-bagian tanah yang
terangkut dari suatu tempat yang tererosi. Sebagian saja dari sedimen yang akan
sampai dan masuk ke dalam sungai dan terbawa ke luar daerah aliran sungai
(Arsyad, 1989).
3. Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan
Penutupan lahan atau penggunaan lahan adalah aktivitas manusia atas
lahan, yang ditunjukkan dengan adanya bentuk manusia seperti pemukiman dan
sebagainya. Penutupan lahan atau pengunaan lahan penting untuk diketahui.
Informasi tentang penggunaan lahan dapat digunakan untuk mengetahui penyebab
bertambahnya volume banjir dan daerah yang terlanda banjir , dalam hal ini
konversi lahan dari pertanian ke non pertanian, khususnya yang kedap air bisa
merubah besarnya koefisien run-off. Sedangkan informasi tentang penutupan
lahan dapat digunakan untuk mengetahui daerah resapan air sehingga diperoleh
4. Tingkat kelerengan ( Slope)
Kelerengan merupakan faktor yang mempunyai peranan penting dalam
menentukan daerah rawan banjir. Fase lereng digunakan baik sebagai lereng
tunggal maupun sebagai lereng majemuk. Lereng majemuk adalah lereng dengan
lebih dari satu arah dan ditunjukkan oleh daerah punggung dan lembah dalam
satu deliniasi, sedangkan lereng tunggal relatif mempunyai arah lereng yang
seragam.
Kelas kelerengan yang berlaku di Indonesia
Kelas Kemiringan (%) keterangan
I
Jenis tanah merupakan faktor yang penting untuk menentukan daerah
rawan banjir. Besar kecilnya tingkat bahaya erosi ditentukan oleh jenis tanah
tersebut. Tingkat bahaya erosi menjadi lebih besar apabila jenis tanah tersebut
mempunyai formasi kemiringan lereng besar. Demikian pula struktur vegetasi
penutup tanah yang bertingkat-tingkat dapat menurunkan bahaya erosi daripada
alahan dengan dominasi vegetasi pohon yang tidak atau kurang disertai serasah
dan tumbuhan bawah (Arsyad, 1989).
Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis merupakan suatu alat yang dapat digunakan
untuk mengelola data spasial atau data yang bereferensi geografis. Setiap data
bereferensi geografis.Data GIS terdiri dari dua jenis yakni data grafis yang
menggambarkan bentuk atau kenampakan objek di permukaan bumi dan data data
tabular yang menyatakan nilai dari data grafis. Secara teknis SIG
mengorganisasikan dan memanfaatka data dari peta digital yang tersimpan dalam
basisi data. Dalam SIG dunia nyata dijabarkan dalam data peta digital yang
menggambarkan posisi dari ruang ( space ) dan klasifikasi, atribut data dan
hubungan antar item data. Kerincian data dalam SIG ditentukan oleh besarnya
satuan pemetaan terkecil yang dihimpun dalam basis data (Budiyanto, 2002).
Data SIG dapat dibagi menjadi dua macam, yakni data grafis dan data
atribut atau tabular. Data grafis adalah data yang menggambarkan bentuk atau
kenampakan objek di permukaan bumi. Sedangkan data tabular adalah data
deskriptif yang menyatakan nilai dari data grafis tersebut (Wayan, 2005).
Sistem informasi geografis mempunyai kemampuan analisis terhadap data
spasial untuk keperluan manipulasi maupun permodelan. Fungsi analisis ini
dijalankan memakai data spasial dan data atribut dalam sistem informasi geografis
menjawab berbagai pertanyaan yang dikembangkan dari data yang ada menjadi
suatu persoalan yang relevan. Data spasial dan SIG hanya merupakan model
penyajian yang merefleksikan berbagai aspek realitas dunia nyata., sedangkan
untuk meningkatkan peranan data dalam pengambilan keputusan mengenai
kenyataan tersebut, suatu model harus ditampilkan yang menggambarkan obyek –
obyek termasuk manyajikan hubungan antar obyek (Arifin dkk, 2006).
Sistem informasi geografis paling tidak terdiri dari subsistem pemrosesan ,
subsistem analisis data dan subsistem yang menggunakan informasi. Subsistem
analisis data mencakup perbaikan, analisis dan keluaran informasi dalam berbagai
bentuk. Subsistem yang memakai informasi memungkinkan informasi relevan
diterapakan pada suatu masalah. Dalam rancangan sistem informasi geografis,
komponen input dan output tertentu seringkali memiliki peranan dominan dalam
membentuk arsitektur dari sisa suatu sistem. Hal ini penting untuk memahami
mengenalai kedalaman prosedur yang dipakai dalam kaitannya dengan masalah
input dan output data, juga organisasi data dan pemrosesan data (Lo, 1996).
Menurut Howard (1996), manfaat utama penggunaan sistem informasi
spasial dengan komputer dibandingkan dengan metode pembuatan peta
tradisional dan masukan data manual atau informasi manual adalah memperkecil
kesalahan manusia, kemampuan memanggil kembali peta tumpangsusun dari
simpanan data SIG seacra cepat, menggabungkan tumpangsusun tersebut, tetapi
penggabungan batas agak sulit, dan untuk memperbaharui dengan
memperhatiakan perubahan lingkungan data statistik dan batas-batas dan area
yang nampak pada peta.
Teknologi Sistem Informasi Geografis
Menurut Howard (1996), teknologi yang digunakan dalam sistem informasi
geografis memperluas penggunaan peta, model-model kartografi dan statistik
spasial dengan memberikan kemampuan analisis, tidak hanya tersedia untuk
pengembangan model medan komplek dan pengujian masalah bentang lahan serta
masalah penggunaan lahan. Saat ini penggunaan SIG yang paling umum adalah
Pengelolaan sistem informasi geografis (SIG) meningkat tajam sejak tahun
1980-an. Peningkatan pemakaian sistem ini terjadi di kalangan pemerintah,
akademis atau bisnis terutama di negara-negara maju. Perkembangan teknologi
dijital sangat besar peranannya dalam perkembangan penggunaan SIG dalam
berbagai bidang. Hal ini dikarenakan teknologi SIG banyak mendasarkan pada
teknologi dijital sebagai alat analisis (Budiyanto, 2002).
Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi
mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Biasanya
teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan
diinterpretasi guna membuahkan data yang bermanfaat. Tujuan utama
penginderaan jauh adalah mengumpulkan data sumberdaya alam lingkungan.
Informasi tentang objek disampaikan ke pengamat melalui energi
elektromagnetik. Yang merupakan pembawa informasi dan sebagai penghubung
komunikasi. Oleh karena itu, penginderaan jauh pada dasarnya merupakan
informasi sintesis panjang gelombang yang perlu diberikan kodenya sebelum
informasi tersebut dapat dipahami secara penuh. Proses pengkodean ini setara
dengan interpretasi citra penginderaan jauh yang sangat sesuai dengan
pengetahuan kita mengenai sifat-sifat radiasi elektromagnetik (Lo, 1996).
Penginderaan jauh dari pesawat yang palin sesuai untuk kehutanan adalah
foto udara. Secara operasional, data penginderaan jauh multispektral yang telah
diguankan hanya terbatas pada penginderaan termal untuk mencegah bahaya
digunakan sesekali untuk pemetaan yang belum mempunyai peta di negara-
negara berkembang. Perkembangan penginderaan jauh sistem pesawat udara
untuk terapan kehutanan tidak sama dengan perkembangan penginderaan jauh
sistem satelit beberapa tahun belakang ini. Terapan penginderaan jauh sistem
satelit untuk bidang kehutanan berkembang sangat cepat selaras dengan
perkembangan pemrosesan citra digital satelit sumberdaya bumi (Howard, 1996).
AHP ( Analitycal Hierarchy Process )
AHP (Analitycal Hierarchy Process), disebut pula Proses Hierarki Analitik
(PHA), merupakan suatu metode pengambilan keputusan yang sederhana dan
fleksibel yang menampung kreativitas dalam ancangannya terhadap suatu
masalah. Metode ini dapat menjelaskan suatu keadaan yang kompleks dan tidak
terstruktur dengan cara : 1) membagi-bagi ke dalam bagian-bagiannya, 2)
mengatur kembali bagian-bagian (atau peubah) tersebut ke dalam bentuk hierarki,
kemudian 3) menetapkan suatu nilai numerik untuk setiap peubah tersebut melalui
justifikasi penentuan tingkat kepentingannya, dan terakhir 4) melakukan sintesa
untuk menentukan peubah yang mana mempunyai prioritas paling tinggi yang
harus dikerjakan untuk memperoleh keluaran (outcome) yang diharapkan
(Triyana dan Saleh, 2003).
Prinsip dasar dalam menggunakan metode AHP antara lain :
1. Prinsip penyusunan hierarki (decomposision)
Untuk menerapkan metode AHP, pengambil keputusan harus dapat
mendefenisikan permasalahan secara jelas dan rinci. Selanjutnya, dilakukan
menjadi elemen-elemen pokok dan sub –sub elemen lainnya secara hierarkis.
Dalam AHP, hierarki permasalahan yang disusun harus mencerminkan hubungan
antara tujuan (goal), kriteria, sub-kriteria dan alternatif.
2. Prinsip penetapan prioritas (comparative judgement)
Setelah hierarki permasalahan terbentuk, selanjutnya pengambil keputusan
harus menetapkan prioritas antar elemen. Dalam hal ini, harus dilakukan
peniliaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu
dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya. Penilaian ini merupkan inti dari AHP,
karena ini akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen tersebut.
Untuk itu, pemgambil keputusan harus membuat pembandingan
berpasangan antar elemen dalam suatulevel tertentu dalam kaitannya dengan
pencapaian elemen di tingkat atasnya. Hal ini dapat dengan mudah dilakukan
dengan menyajikannya dalam bentuk matriks pembandingan berpasangan
(pairwise comparison). Proses pembandingan berpasangan anatar elemen dapat
dilakukan mulai dari puncak (tingkat pertama) hierarki untuk pembandingan antar
kriteria. Kemudian, pada tingkat tepat dibawahnya (tingkat kedua) dilakukan
pembandingan antar elemen.
3. Prinsip Konsistensi logika (logical consistency)
Dalam prinsip konsistensi logika, AHP melibatkan aspek kuantitaf dan
kualitatif dari pikiran manusi. Aspek kualitatif digunakan untuk mendefesinikan
masalah dan struktur hierarkinya. Sedangkan aspek kuantitaitf digunakan untuk
mengekspresikan justifikasi dan preferensi secara ringkas (concisely). Proses AHP
dirancang untuk menggabungkan kedua aspek tersebut. Dengan demikian aspek
keputusan dalam situasi yang kompleks dimana sangat penting untuk dapat
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2008 di
Kabupaten Deli Serdang, Karo dan Medan. Analisa data dilakukan di
Laboratorium Inventarisasi Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Data spasial : peta digital jaringan Sungai, peta digital lereng , peta digital
ketinggian, peta digital jenis tanah, peta digital administrasi dan citra
landsat 5 TM tahun 2006 path/row 129/57 dan path/row 129/58.
b. Data non spasial : penggunaan/ penutupan lahan, kelas kelerengan, jenis
tanah, kejadian banjir dan curah hujan tahunan.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Personal Computer (PC),
perangkat lunak GIS untuk menampilkan hasil, printer untuk mencetak data/peta,
Global Positioning System (GPS), dan Camera Digital .
Metode Penelitian 1. Pengumpulan Data
c. Pengumpulan data dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP.
dilakukan sebagai persiapan awal dari penelitian. Data yang dikumpulkan
adalah data spasial berupa peta digital jaringan sungai, peta digital lereng,
peta digital ketinggian, peta digital jenis tanah. Peta digital administrasi
dan citra landsat 5 TM tahun 2006 path/row 129/57 dan path/row 129/58,
serta data non spasial berupa penggunaan/ penutupan lahan, kelas
kelerengan, jenis tanah, kejadian banjir dan curah hujan tahunan.
2. Analisa Data
a. Skoring Analitycal Hierarchy Process (AHP)
Dalam menentukan skor untuk tingkat rawan banjir dilakukan
dengan menggunakan metode Analitycal Hierarchy Process (AHP).
Skoring dengan Analitycal Hierarchy Process dalam penelitian ini
dilakukan pada tingkat kriteria dan sub kriteria. Metode ini dapat
menjelaskan suatu keadaan yang kompleks dan tidak terstruktur dengan
cara :
1. Membagi-bagi ke dalam bagian-bagiannya
2. Mengatur kembali bagian-bagian (atau peubah) tersebut ke dalam
bentuk hierarki
3. Menetapkan suatu nilai numerik untuk setiap peubah tersebut
melalui justifikasi penentuan tingkat kepentingannya
4. Melakukan sintesa untuk menentukan peubah yang mana
mempunyai prioritas paling tinggi yang harus dikerjakan untuk
memperoleh keluaran (outcome) yang diharapkan
Dalam metode ini responden yang digunakan adalah individu yang dinilai
termasuk dalam kategori tenaga ahli, baik karena kedudukannya, jabatannya,
keilmuannya maupun pengalamannya. Tenaga ahli dalam penelitian ini adalah
1. Prof. Ir.Zulkifli Nasution, M.Sc.Ph.D, asal instansi Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara.
2. Ir. Misran, MM, asal instansi BPDAS Wampu-Sei Ular.
3. Dr. Deni Elfiati, SP, MP, asal instansi Fakultas Pertanian Departemen
Kehutanan Universitas Sumatera Utara.
4. Ir. Abdul Rauf, asal instansi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
Utara.
Adapun tahapan-tahapan dalam menggunakan AHP antara lain :
1. Penyusunan hierarki permasalahan
Hierarki permasalahan yang disusun harus mencerminkan hubungan
antara tujuan (goal), kriteria, sub-kriteria dan alternatif. Penyusunan
Menentukan Faktor Utama
1. Hujan sangat ringan
2. Pembandingan berpasangan antar kriteria
Pembandingan antar kriteria dilakukan dengan cara :
a. Menentukan kriteria mana yang lebih penting dan seberapa kali
lebih penting dibanding kriteria lainnya. Intensitas pembandingan
ditunjukkan oleh skala nilai dari 1 sampai 9 atau kebalikan seperti
pada tabel berikut :
Tabel 1 Skala pembandingan berpasangan dalam penilaian elemen- elemen suatu hierarki
Intensitas
Pentingnya Defenisi
1 Kedua elemen yang dibandingkan sama penting
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dibanding elemen yang lain
5 Elemen yang satu sangat penting dibandingkan
elemen lainnya
7 Satu elemen lebih jelas lebih penting daripada elemen lainnya
9 Satu elemen mutlak lebih penting dibanding elemen lainnya
2,4,6,8 Nilai-nilai diantara dua pertimbangan yang
beredekatan
Kebalikan Juka untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j , maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i
b. Menyusunnya dalam bentuk matriks pembandingan berpasangan
c. Pembandingan dilakukan dari baris terhadap kolom
2. Penentuan vektor prioritas
- Membagi setiap elemen pada masing-masing kolom dengan jumlah
nilai dari kolom tersebut untuk menormalisasikannya
- Menjumlahkan hasilnya pada masing-masing baris dan dibagi
masing-masing jumlah tersebut dengan banyaknya elemen pada
setiap baris
3. Penentuan tingkat konsistensi
Untuk mengetahui konsisten atau tidaknya pembandingan antar kriteria,
perlu dilakukan perhitungan tingkat konsistensi. Adapaun tahapan
perhitungannya adalah sebagai berikut :
- Melihat kembali matriks pembandingan berpasangan antar kriteria
(A) dan vektor prioritasnya.
- Mengalikan vektor prioritas tersebut dengan masing kolom dalam
matriks A.
- Mengambil kolom jumlah baris dari hasil diatas dan dibagi dengan
nilai yang sesuai dengan vektor prioritasnya.
- Menghitung nilai rata-rata dari vektor untuk menentukan akar ciri
terbesar (λmaks).
- Menentukan indeks konsistensi ( CI = Consistency Indeks ) dengan
rumusan sebagai berikut :
CI =
- Menentukan nilai rasio konsistensi (CR= Consistency Ratio)
dengan rumusan sebagai berikut :
dimana, nilai Random Consistency Index (RI) untuk penentuan
consistency ratio tersebut adalah seperti pada tabel berikut :
Tabel 2 Nilai random consistencyindex (RI) untuk penentuan
consistency ratio
n RI
1 0,00
2 0,00
3 0,58
4 0,90
5 1,12
6 1,24
7 1,32
8 1,41
9 1,45
10 1,49
11 1,51
12 1,48
13 1,56
14 1,57
15 1,59
Keterangan : n = banyaknya elemen yang diperbandingkan
RI = random consistencyindex
- Membuat kesimpulannya
4. Penentuan prioritas pada tingkat sub kriteria
- Pembandingan berpasangan untuk penentuan vektor prioritas sama
- Penentuan tingkat konsistensi pada tingkat alternatif sama seperti
pada tingkat kriteria
5. Sintesis
Proses sintesis permasalahan dalam AHP didasarkan atas penyatuan
vektor-vektor prioritas kriteria (dan jika ada vektor sub-kriteria) dan
matriks prioritas alternatif untuk suatu kriteria atau subkriteria tertentu.
Adapun tahapan sintesis ini adalah sebagai berikut :
- Menentukan matriks prioritas alternarif dari masing-masing
kriteria.
- Melihat kembali vektor prioritas kriteria yang telah diperoleh.
- Mengalikan matriks prioritas altrernatif dan vektor prioritas kriteria
tersebut untuk memperoleh vektor prioritas alternatif menyeluruh
menurut kriteria tersebut.
- Menentukan matriks pendapat gabungan dari masing-masing
kriteria
- Menentukan rata-rata geometri dari masing-masing kriteria
- Menentukan vektor prioritas dengan membagi rataan geometris
suatu kriteria.
b. Pembuatan Data Spasial
Pembuatan data spasial merupakan hal yang paling penting dalam analisa
data. Data spasial didigitasi dengan menggunakan alat digitizer atau
kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli didijitasi sesuai luasan kawasan
yang diteliti. Peta hasil dijitasi dipakai sebagai batasan kawasan yang
diteliti. Adapun data spasial yang digunakan dalam penelitian ini yakni :
1. Pembuatan Peta Curah Hujan
Data curah hujan tahun 2006 dari Badan Metereologi dan Geofisika
(BMG) harus diubah menjadi data dalam bentuk file DBF supaya dapat
diproses di perangkat lunak ArcView. Proses pengubahan ini dilakukan
dengan menggunakan Microsoft Office Excel yang prosedurnya antara
lain :
a. Data curah hujan diketik di Microsoft Office Excel kemudian
disimpan dalam bentuk file DBF.
b. Data curah hujan dibuka di perangkat lunak ArcView dengan
menggunakan fitur Tables.
c. Ditampilkan dengan menggunakan menu View dan Add Event
Theme.
d. Diolah dengan menggunakan menu View Tool dan fitur
Thiessen Polygons untuk memperoleh peta curah hujan.
e. Hasil peta kemudian diinterseksi dengan poligon DAS Deli
dengan menggunakan fitur GeoProcessing Wizard agar
diperoleh peta curah hujan DAS Deli.
2. Pembuatan Peta Ketinggian
Data citra dari SRTM harus diubah dalam bentuk format grid/DEM
dilakukan dengan menggunakan perangklat lunak Global mapper yang
prosedurnya antara lain :
a. Citra diproyeksi dalam proyeksi Geographic
(Latitude/Longitude), dengan datum WGS84.
b. Setelah citra diformat sesuai dengan yang ditentukan maka
tahap selanjutnya adalah citra diformat ke dalam bentuk file
DEM. Proses ini menggunakan fitur Export raster and
elevation data.
c. Kemudian data dalam bentuk file DEM tersebut dikonversikan
ke grid dengan menggunakan Model Builder.
d. Setelah dikonversikan, data tersebut direclassify sesuai dengan
kelas ketinggian yang telah ditentukan sehingga diperoleh peta
ketinggian.
3. Pembuatan Peta Kelerengan
Prosedur pembuatan peta kelerengan sama dengan pembuatan peta
ketinggian. Peta kelerengan diperoleh dari DEM ketinggian melalui
proses Derive Slope.
4. Pembuatan Peta Jenis Tanah
Peta Jenis Tanah dibuat dengan memanfaatkan perangkat lunak
a. Peta jenis tanah dalam bentuk format JPEG digitasi dengan
menggunakan fitur Draw Polygon untuk masing-masing jenis
tanah.
b. Hasil digitasi masing-masing jenis tanah kemudian digabungkan
dengan menggunakan fitur Geoprocessing Wizard dari menu View,
sehingga diperoleh peta digital jenis tanah.
5. Pembuatan Peta Buffer (Jarak dari Sungai)
Peta Buffer diperoleh dengan memanfaatkan perangkat lunak ArcView
dengan teknik digitasi on screen yang prosedurnya antara lain :
a. Peta jaringan sungai dalam bentuk format JPEG digitasi dengan
menggunakan fitur Draw Polygon agar diperoleh aliran sungainya.
b. Setelah digitasi, kemudian diolah dengan menggunakan fitur
Create Buffer dalam menu Theme. Sehingga diperoleh peta buffer
(jarak dari sungai).
6. Analisis Citra untuk Pembuatan Peta Penutupan Lahan
Citra Landsat 5 TM dianalisis dengan tujuan untuk memperoleh peta
penggunaan lahan (Land Use) dari kawasan yang diteliti. Analisis citra
dapat dilakukan dalam enam tahap yang digambarkan dalam diagram
a. Mosaik Image
Mosaik image adalah penggabungan dua citra yakni citra landsat
129/57 dan citra landsat 129/58 sehingga gambaran pada kedua
citra tersebut bertampalan.
b. Subset Image
Subset image adalah memotong (cropping) citra untuk menentukan
daerah kawasan yang diteliti dari kedua citra tersebut.
c. Koreksi Citra
Koreksi citra merupakan prosedur operasi agar diperoleh data yang
sesuai dengan aslinya. Sebab citra hasil rekaman sensor
penginderaan jauh mengalami berbagai distorsi yang disebabkan
oleh gerakan sensor, faktor media antara, dan faktor objeknya
sendiri, sehingga perlu dibetulkan atau dipulihkan kembali.
Koreksi citra terdiri dari :
1. Koreksi Geometris
Koreksi geometris dilakukan sesuai dengan atau penyebab
kesalahannya, yaitu kesalahan sistematik dan kesalahan
random dengan sifat distorsi geometrik pada citra. Tujuan
koreksi geometrik antara lain :
- Melakukan rektifikasi (pembetulan) citra agar koordinat
citra sesuai dengan koordinat geografi
- Mencocokkan (registrasi) posisis citra dengan citra lainnya
ataua mentransformasikan sistem koordinat citra
- Registrasi citra ke peta atau transformasi sistem koordinat
citra ke peta, yang menghasilkan citra dengan sistem
proyeksi tertentu.
2. Koreksi Radiometrik
Koreksi radiometrik merupakan perbaikan akibat cacat atau
kesalahan radiometrik, yaitu kesalahan pada sistem optik,
kesalahan karena gangguan energi radiasi elektromagnetik
pada atmosfer dan kesalahan karena pengaruh sudut elevasi
matahari.
d. Perbaikan Citra (Image Enhancement)
Image Enhancement bertujuan untuk meningkatkan mutu citra,
baik untuk memperoleh keindahan gambar maupun untuk
kepentingan analisis citra. Secara umum teknik perbaikan citra
terdiri dari :
1. Perbaikan Spasial (Spatial enhancement)
Spatial Enhancement bertujuan memperbaiki citra
(memberikan efek kontras, penajaman tepi dan atau
penghalisan citra) menggunakan nilai-nilai pixel yang
bersangkutan dan yang ada disekitarnya.
2. Perbaikan Radiometrik (Radiometrik enhancement)
Radiometrik Enhancement adalah teknik memperbaiki citra
Teknik manipulasi citra dilakukan dengan menggunakan
modifikasi histogram.
3. Perbaikan Spektral (Spectral enhancement)
Spectral Enhancement adalah teknik perbaikan citra
menggunakan masing-masing pixel sejumlah band (basis
multi-band), meliputi analisis komponen utama (principal
componen), komponen baku, komponen vegetasi,
transformasi warna berdasarkan kontras intensitas siturasi,
dan perentangan dekorelasi.
e. Klasifikasi Citra (Image classification)
Klasifikasi citra bertujuan untuk pengelompokan atau segmentasi
terhadap kenampakan-kenampakan yang homogen dengan
menggunakan teknik kuantitaif. Klasifikasi citra yang digunakan
yakni klasifikasi terbimbing (supervised classification). Klasifikasi
terbimbing adalah proses klasifikasi dengan pemilihan kategori
informasi yang diinginkan dan memilih training area untuk tiap
kategori penutup lahan yang mewakili sebagai kunci interpretasi.
f. Uji Ketelitian
Uji ketelitian dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
metode Maksimum Likelihood. Uji ketelitian ini bertujuan untuk
menguji kebenaran dari hasil interpretasi yang diperoleh dengan
cara pengecekan di lapangan serta pengukuran beberapa titik
penutupan/penggunaan lahan yang homogen. Besarnya tingkat
akurasi akan diperoleh dari hasil uji ketelitian, yang dihitung dari
matriks analisis akurasi dengan formulasi sebagai berikut:
Producer’s accuracy = x100%
N = Jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan
r = Jumlah baris/lajur pada matriks kesalahan (jumlah kelas)
Xkk= Jumlah piksel pada kelas bersangkutan (diagonal matriks)
Xkt = ∑Xij (jumlah semua kolom pada baris ke i)
Citra Landsat 129/57
Citra Landsat 129/58
Mosaik Image
Subset Image
Geometris
Koreksi
Radiometrik
Image Enhancement
Spasial Radiometrik Spektral
Citra Terkoreksi
Klasifikasi Terbimbing (Supervised classification)
Uji Ketelitian
Peta Land Use
d. Analisis GIS
Untuk memperoleh peta tingkat rawan banjir, maka langkah yang
dilakukan selanjutnya adalah analisis GIS melalui beberapa tahapan yakni :
• Pembuatan data spasial
Data spasial didigitasi dengan menggunakan alat digitizer atau
menggunakan perangkat lunak dengan teknik digitasi on screen.
• Konversi spasial vektor ke format grid
Data spasial dikonversi dari bentuk vektor ke format grid dengan
tujuan untuk memudahkan pengolahan dengan perangkat lunak
GIS
• Skoring dengan AHP
Data spasial yang telah dikonversi di skoring dengan AHP untuk
memperoleh besarnya tingkat kerawanan
• Weighted Overlay
Untuk memperoleh peta tingkat rawan banjir, maka tahapan
selanjutnya adalah mengeoverlay-kan peta penutupan lahan dengan
peta curah hujan kemudian peta jenis tanah dengan peta kelerengan
dan peta ketinggian dengan peta jaringan sungai.
• Pengkasifikasian nilai-nilai rawan banjir
Dari hasil Weighted Overlay nilai-nilai rawan banjir
Persamaan yang digunakan untuk mengevaluasi fungsi tingkat rawan banjir
adalah :
a[P] + b[LU] + c[S] + d[ST] + e[K] + f[JS]
Keterangan :
P = Precipitation (curah hujan)
LU = Land use (penggunaan lahan)
S = Slope (kemiringan)
ST = Soil type (jenis tanah)
K = Ketinggian
JS = Jaringan Sungai
a, b, c, d, e,f = kontanta/skor sesuai AHP
3. Uji Ketelitian Model
Dari hasil interpretasi potensi dan kejadian banjir dilakukan validasi
terhadap kondisi sesungguhnya di lapangan. Untuk itu perlu dilakukan
pengecekan kondisi sesungguhnya dilapangan dengan tujuan untuk mengetahui
tingkat rawan banjir pada lokasi kejadian banjir. Hasil dari pengecekan lapangan
dengan bantuan alat Global Positioning System (GPS) dimana fungsinya dapat
menentukan keberadaan lokasi contoh tersebut. Uji ketelitian model ini dilakukan
dengan cara ground check (cek lapangan) di beberapa titik pengamatan yang
dipilih sebagai perwakilan dari luasan daerah yang diteliti. Pengambilan titik ini
dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal yakni biaya, waktu, dan
PERSIAPAN
Adapun tahapan dari penelitian ini disajikan dalam gambar berikut :
Tidak
Ya
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembobotan Variabel Indikator Banjir
Pembobotan variabel–variabel indikator banjir dilakukan dengan
menggunakan metode Analitycal Hierarchy Process (AHP). Dalam metode ini
responden yang diambil sebanyak 4 (empat) orang ahli. Pembobotan ini dibagi
menjadi dua tahap yakni berdasarkan kriteria dan sub kriteria faktor utama
penyebab banjir. Hasil skoring dari masing-masing ahli dianalisa dengan
menggunakan Software Expert Choice baik berdasarkan kriteria maupun sub
kriteria.
Hasil skoring dari masing-masing ahli baik berdasarkan kriteria maupun
sub kriteria dibuat menjadi suatu matriks gabungan agar diperoleh rataan
geometris dari setiap variabel. Dengan demikian, akan diperoleh vektor prioritas
atau nilai bobot dari masing-masing variabel yang sesungguhnya. Matriks
gabungan berdasarkan tingkat kriteria maupun sub kriteria dari masing-masing
ahli dapat dilihat pada lampiran 1.
Hasil matriks gabungan berdasarkan tingkat kriteria faktor utama
penyebab banjir menunjukkan bahwa, nilai vektor prioritas dari masing-masing
0 .2 6 1
Gambar 4. Nilai Vektor Prioritas Matriks Gabungan Berdasarkan Kriteria.
Gambar 4 menunjukkan bahwa, faktor yang memiliki nilai vektor prioritas
yang paling besar adalah curah hujan, yakni sebesar 0,261. Hal ini menunjukkan
bahwa curah hujan merupakan faktor utama yang memiliki pengaruh yang besar
terhadap potensi terjadinya banjir. Sedangkan variabel indikator banjir yang
memiliki nilai vektor prioritas yang paling kecil adalah ketinggian tempat, yakni
sebesar 0.155.
Menurut Moehansya (2006), distribusi hujan sepanjang tahun sangat
berpengaruh pada kondisi air yang terdapat di wilayah DAS. Curah hujan yang
rendah dan tidak terdistribusi baik sepanjang tahun akan menyebabkan suplai air
yang berfluktuasi. Proporsi banyaknya air hujan yang berubah menjadi air
limpasan dinamakan dengan istilah koefisien runoff (KR). Semakin besar KR
berarti semakin banyak air hujan yang mengalir di permukaan tanah sebagai air
limpasan yang berpotensi sebagai sumber banjir. Sebaliknya semakin kecil KR
semakin sedikit air hujan yang berubah menjadi air limpasan dan semakin kecil
0.055
Hasil matriks gabungan berdasarkan tingkat sub kriteria faktor utama
penyebab banjir menunjukkan bahwa, nilai vektor prioritas dari masing-masing
variabel indikator banjir berbeda-beda seperti ditunjukkan pada gambar 5.
Gambar 5 menunjukkan hasil matriks gabungan dari para ahli berdasarkan
sub kriteria dari masing-masing variabel indikator banjir, yakni curah hujan, jenis
tanah, penutupan lahan, kelerengan, ketinggian tempat dan jarak dari sungai
(buffer). Untuk tingkat sub kriteria curah hujan, faktor yang memiliki nilai vektor
prioritas yang paling besar adalah curah hujan sangat lebat yakni sebesar 0,411.
Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan yang sangat lebat merupakan faktor yang
memiliki pengaruh yang besar terhadap potensi banjir. Sedangkan faktor yang
nilai vektor prioritasnya paling kecil adalah curah hujan sangat ringan yakni
sebesar 0,055. Namun, rata-rata curah hujan yang terdapat di Daerah Aliran
Sungai Deli masuk kedalam kriteria curah hujan ringan dengan nilai vektor
prioritas sebesar 0,087.
Berdasarkan sub kriteria jenis tanah, Podsolik/ Litosol Regosol merupakan
faktor yang memiliki nilai vektor prioritas yang paling besar, yakni sebesar 0,652.
Hal ini menunjukkan bahwa jenis tanah ini memiliki pengaruh besar terhadap
potensi banjir dibandingkan jenis tanah yang lainnya. Dimana jenis tanah ini
umumnya peka terhadap erosi. Tingkat bahaya erosi menjadi lebih besar apabila
jenis tanah tersebut mempunyai formasi kemiringan lereng besar. Dan jenis tanah
yang memiliki nilai vektor prioritas yang paling kecil adalah Latosol Coklat
sebesar 0,054.
Menurut Moehansyah (2006), sifat-sifat tanah yang paling dominan
berpengaruh pada terjadinya air limpasan/banjir adalah sifat fisik tanah berupa
kemampuan infiltrasi yang sangat ditentukan oleh porositas dan permeabilitas
tanah di sepanjang profil. Ketebalan profil tanah yang mampu mengalirkan air
sangat menentukan besar kecilnya air limpasan. Semakin tebal solum tanah yang
mampu dilewati air dengan baik akan memperbesar volume air hujan yang dapat
diserap dan disimpan di dalam tanah sehingga mengurangi volume air yang akan
berubah menjadi air limpasan.
Untuk tingkat sub kriteria penutupan lahan, dapat dilihat bahwa badan air
yang terdiri dari sungai dan tambak merupakan faktor yang memiliki nilai vektor
prioritas terbesar, yakni sebesar 0,177. Hal ini menunjukkan bahwa badan air
memiliki pengaruh yang besar terhadap potensi banjir. Dan Kebun Campuran
merupakan faktor yang paling kecil nilai vektor prioritasnya, yakni sebesar 0,081.
Menurut Maryono (2005), perubahan fisik yang terjadi di DAS akan
berpengaruh langsung terhadap kemampuan retensi DAS terhadap banjir. Retensi
DAS dimaksudkan sebagai kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu.
Perubahan tata guna lahan menyebabkan retensi DAS berkurang secara drastis.
Seluruh air hujan akan dilepaskan ke arah hilir. Sebaliknya semakin besar retensi
suatu DAS semakin baik, karena air hujan dapat dengan baik diresapkan
(diretensi) di DAS dan secara perlahan-lahan dialirkan ke sungai sehingga tidak
menimbulkan banjir.
Berdasarkan sub kriteria tingkat kelerengan, dapat dilihat bahwa kelas
kelerengan IV dengan persen kemiringan > 49 % (sangat curam) memiliki nilai
vektor prioritas yang paling besar yakni sebesar 0.419. Hal ini menunjukkan
bahwa kelas kelerengan IV merupakan faktor utama yang mempengaruhi potensi
terjadinya banjir. Semakin curam kemiringan lahan suatu daerah maka semakin
besar potensi terjadinya banjir. Hal ini sesuai dengan pernyataan Moehansyah