• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Mitigasi Banjir di Daerah Aliran Sungai Babura Berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Mitigasi Banjir di Daerah Aliran Sungai Babura Berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG)"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Penggunaan SIG dalam memetakan daerah bahaya banjir telah dilakukan oleh peneliti-peneliti di berbagai kota dan negara. Penelitian terdahulu mengenai pemetaan banjir dengan SIG untuk mitigasi banjir dapat dilihat dalam Tabel 2.1.

2.2 Siklus Hidrologi

Di dalam lingkungan alam proses, perubahan wujud, gerakan aliran air (di permukaan tanah, di dalam tanah dan di udara) dan jenis air mengikuti suatu siklus keseimbangan dan dikenal dengan istilah siklus hidrologi (Sjarief, 2010). Siklus hidrologi tersebut harus tetap berlangsung normal agar tidak terjadi ketidakseimbangan jumlah air di bumi yang mengakibatkan gangguan-gangguan bagi makhluk hidup. Kelestarian lingkungan hidup seperti daerah konservasi alam, hutan, dsb merupakan salah satu kunci dari siklus hidrologi ini. Apabila kelestarian tersebut terganggu, akan timbul dampak yang sangat serius bagi manusia seperti banjir, longsor, dan kekeringan (Imansyah, 2012).

Siklus Hidrologi adalah konsep dasar dalam kajian hidrologi dan merupakan konsep keseimbangan atau neraca air. Konsep ini mengenal empat fase perubahan zat cair, yaitu penguapan, pencairan, pembekuan, dan penyubliman atau dalam istilah hidrologi mencakup evaporasi dan transpirasi, presipitasi, salju, dan lelehan salju atau kristal es. Tenaga yang digunakan untuk berubah dari fase cair ke gas (evaporasi) dan menggerakkannya ke atmosfer adalah energi radiasi surya. Proses berikutnya adalah pendinginan, kondensasi dan presipitasi; selanjutnya akan diikuti oleh infiltrasi, limpasan permukaan, perkolasi dan kembali ke laut atau badan air yang lain (Steven, 2014). Siklus hidrologi ditunjukkan oleh Gambar 2.1.

2.3 Daerah Aliran Sungai

(2)

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Mengenai Pemetaan Banjir

No Nama Peneliti Tahun Judul Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

1

Menggunakan metode Regional Flood Frequency Analysis (RFFA) yaitu metode regresi kawasan untuk memprediksi debit banjir; Simulasi daerah rawan banjir dengan pemodelan terrain dari saluran sungai menggunakan DTM beresolusi tinggi dan pemodelan hidrolika dengan HEC-GEORAS dan menggunakan simulasi steady flow

Lahan dan infrastruktur yang berada di dekat sungai tergenang akibat terkena dampak banjir pada kala ulang singkat. Sedangkan daerah perumahan tergenang akibat terkena dampak banjir pada kala ulang panjang.

Citra satelit dari Google Earth, IRS-1D, peta topografi dikombinasikan dengan analisis hidrolik dan Digital Elevation Model (DEM) untuk mengidentifikasi daerah rawan banjir.

Zona barat dan zona barat daya sangat rawan terhadap banjir sementara zona timur lebih aman. Menurut analisis yang dilakukan, zona barat merupakan zona

Menentukan nilai koefisien kekasaran Manning pada penampang dan pengguanaan lahan menggunakan software SPRING; Menentukan debit aliran banjir untuk simulasi dengan kala ulang 2, 5, 10, 20, 50, dan 100 tahun dengan distribusi Gumble; kemudian mengekstraksi data koefisien kekasaran ke dalam ArcGIS dengan ekstensi HEC-GEORAS kemudian mengekspor ke HEC-RAS untuk simulasi aliran dengan steady flow.

(3)

Lanjutan Tabel 2.1

No Nama Peneliti Tahun Judul Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

4 daerah rawan banjir; Membuat model akumulasi aliran menggunakan DEM dan DEM itu diklasifikasi kedalam zona berisiko tinggi, risiko sedang dan zona risiko rendah dengan menggunakan interval yang sama dan dibedakan berdasarkan elevasi; Selanjutnya melakukan overlay pada peta daerah untuk menghasilkan peta kerentanan daerah banjir; Melakukan wawancara dengan sampel penduduk daerah-daerah tertentu yang beresiko banjir untuk mengidentifikasi elemen-berisiko banjir.

Dari peta kerentanan banjir dapat diamati bahwa bangunan perumahan yang berada di sisi kanan sungan berada dalam zona berisiko tinggi, lahan pertanian dan industri dapat diamati dalam zona berisiko tinggi di sisi kiri sungai. 2. Mensimulasikan aliran banjir dengan kala ulang 10, 25, 50, 100, dan 1000 tahun menggunakan HEC-RAS dengan simulasi steady flow. 3. Mengolah peta risiko banjir dengan

mengintegrasikan langkah 1 dan 2.

Peta menunjukkan pada banjir kala ulang 10 tahun, ketinggian banjir mencapai 6,2 m dengan daerah yang tergenang sekitar 30% di wilayah hilir sungai. Pada kala ulang 100 tahun, ketinggian banjir mencapai 7,6 m dengan daerah yang tergenang sekitar 60%. Storm or Flood Damage and Its Improvement by Using Urban Planning Information System

Menunmpangtindihkan peta pencegahan bencana dengan peta DAS ke dalam SIG

(4)

Gambar 2.1 Siklus Hidrologi

Sumber: www.environmentreviews.com

sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

Definisi lain yaitu suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anakanak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya menampung air yang berasal dari air hujan dan sumber-sumber air lainnya yang penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum-hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut; daerah sekitar sungai, meliputi punggung bukit atau gunung yang merupakan tempat sumber air dan semua curahan air hujan yang mengalir ke sungai, sampai daerah dataran dan muara sungai. Ada yang menyebut dengan Daerah Pengaliran Sungai (DPS) dan Daerah Tangkapan Air (DTA). Dalam istilah bahasa Inggris juga ada beberapa macam istilah, yaitu catchment area, watershed, atau river basin (Kusumadewi dkk, 2012).

2.4 Banjir

(5)

menerus, sehingga tidak dapat ditampung oleh alur sungai yang ada, maka air melimpah keluar dan menggenangi daerah sekitarnya.

Besarnya pasokan air banjir diidentifikasi dari besarnya curah hujan (sebagai masukan sistem DAS) dan karakteristik daerah tangkapan air (catchment area). Tingkat ancaman hujan terhadap besarnya banjir tergantung dari hujan harian maksimum yang merata terjadi pada daerah tangkapan air tersebut. Sedangkan kerakteristik daerah tangkapan air dipilah antara parameter penyusun alami (relatif sulit dikelola) dan penyusun manajemen (mudah dikelola). Parameter atau faktor alami yang mempengaruhi air banjir dari daerah tangkapan air (DTA) adalah bentuk DAS, gradien sungai, kerapatan drainase, dan lereng rata-rata DAS; sedangkan faktor manajemen adalah penggunaan/penutupan lahan. Kondisi hutan merupakan salah satu unsur dari manajemen penutupan lahan yang berpengaruh terhadap banjir. (Paimin dkk, 2009).

2.4.1 Daerah Rawan Banjir

Identifikasi daerah rawan banjir dapat dibagi dalam tiga faktor yaitu factor kondisi alam, peristiwa alam, dan aktivitas manusia. Dari faktor-faktor tersebut terdapat aspek-aspek yang dapat mengidentifikasi daerah tersebut merupakan daerah rawan banjir (Purnama, 2008).

1. Faktor Kondisi Alam

Beberapa aspek yang termasuk dalam faktor kondisi alam penyebab banjir adalah kondisi alam (misalnya letak geografis wilayah), kondisi toporafi, geometri sungai, (misalnya meandering, penyempitan ruas sungai, sedimentasi dan adanya ambang atau pembendungan alami pada ruas sungai), serta pemanasan global yang menyebabkan kenaikan permukaan air laut.

2. Faktor Peristiwa Alam

Aspek-aspek yang menentukan kerawanan suatu daerah terhadap banjir dalam faktor peristiwa alam adalah:

a. Curah hujan yang tinggi dan lamanya hujan

b. Air laut pasang yang mengakibatkan pembendungan di muara sungai c. Air/arus balik (back water) dari sungai utama

(6)

e. Pembendungan aliran sungai akibat longsor, sedimentasi dan aliran lahar dingin. 3. Aktivitas Manusia

Faktor aktivitas manusia juga berpengaruh terhadap kerawanan banjir pada suatu daerah tertentu. Aspek-aspek yang mempengaruhi diantaranya:

a. Belum adanya pola pengelolaan dan pengembangan dataran banjir b. Pemukiman di bantaran sungai

c. Sistem drainase yang tidak memadai d. Terbatasnya tindakan mitigasi banjir

e. Kurangnya kesadaran masyarakat di sepanjang alur sungai f. Penggundulan hutan di daerah hulu

g. Terbatasnya upaya pemeliharaan bangunan pengendali banjir.

2.4.2 Tingkat Kerawanan Banjir

Tingkat kerawanan daerah yang terkena banjir (kebanjiran) diidentifikasi dari karakter wilayahnya seperti bentuk lahan, lereng kiri-kanan sungai, meandering, pebendungan alami, dan adanya bangunan pengendali banjir. Bentuk lahan (landform) dari sistem lahan seperti dataran aluvial, lembah aluvial, kelokan sungai, dan rawa-rawa merupakan daerah yang rentan terkena banjir karena merupakan daerah rendah atau cekungan dengan lereng (Paimin dkk, 2009). Dataran banjir di sekitar bantaran sungai yang masuk dalam daerah genangan pada debit banjir tahunan Q100 merupakan daerah rawan banjir yang sangat tinggi dijelaskan pada Tabel 2.2 menjelaskan klasifikasi ini yang akan diadopsi dalam studi ini.

Tabel 2.2 Tingkat Bahaya Banjir Menurut Periode Kala Ulang Kelas Kala Ulang Debit Banjir Daerah Rawan

Banjir

1 Q50– Q100 Sangat Tinggi

2 Q30– Q50 Tinggi

3 Q10– Q30 Sedang

4 Q1– Q10 Rendah

(7)

2.4.3 Dampak Banjir Bagi Lingkungan

Aliran dinamis air saat terjadinya banjir dapat menyebabkan kerusakan lingkungan sepanjang daerah yang dilanda banjir. Kerusakan-kerusakan tersebut diantaranya (Boudaghpour et al, 2014):

1. Penurunan kualitas air tanah

2. Mengganggu kehidupan hewan dan biota air 3. Mengganggu pertumbuhan tanaman

4. Penurunan kualitas air permukaan 5. Mengganggu kesehatan manusia 6. Merusak karakteristik tanah

2.5 Mitigasi Banjir

Menurut pasal 1 ayat 6 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi adalah kegiatan sebelum bencana terjadi. Mitigasi merupakan tahap awal penanggulangan bencana alam untuk mengurangi dan memperkecil dampak bencana.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2006 tentang pedoman umum mitigasi bencana menjelaskan bahwa ada empat hal penting dalam mitigasi bencana, yaitu: 1. Tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana;

2. Sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana, karena bermukim di daerah rawan bencana;

3. Mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta mengetahui cara penyelamatan diri jika bencana timbul.

4. Pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancarnan bencana.

(8)

tersebut, estimasi kerugian akibat banjir, lokasi titik dan jalur evakuasi sehingga setiap tahunnya masyarakat dapat lebih mempersiapkan diri untuk menghadapi fenomena banjir ini. Pemetaan daerah resiko banjir perlu dilakukan pemerintah agar dapat mengambil kebijakan yang tepat dalam menanggulangi banjir serta mengurangi kerugian yang dialami.

2.6 Curah Hujan

Curah hujan dan kondisi tanah adalah penyebab langsung dari limpasan perkotaan. Curah hujan dapat mengambil salah satu dari beberapa rute setelah mencapai permukaan bumi. Air hujan dapat diserap oleh tanah di permukaan tanah, dicegat oleh vegetasi, langsung disita di banyak fitur permukaan yang berbeda depresi kecil ke danau besar dan lautan, atau menyusup melalui permukaan dan bawah permukaan tanah ke air tanah. Rute lain yang diambil oleh prespitasi jatuh adalah limpasan. Tanah karakteristik DAS memiliki pengaruh langsung pada proses curah hujan-limpasan dan ini termasuk ketebalan lapisan tanah, permeabilitas, laju infiltrasi, dan tingkat kelembaban dalam tanah. Semakin besar permeabilitas tanah, maka air untuk menjadi limpasan semakin berkurang (Horner, 1994 dalam Dauwani, 2012).

2.6.1 Curah Hujan Rata-Rata Areal

Data hujan yang diperoleh dari alat penakar hujan merupakan hujan yang hanya terjadi pada suatu tempat atau titik saja (point rainfall). Mengingat hujan sangat bervariasi terhadap tempat (space), maka untuk kawasan yang luas, satu alat penakar hujan tidaklah cukup untuk menggambarkan curah hujan wilayah tersebut, oleh karena itu di berbagai tempat pada daerah aliran sungai tersebut dipasang alat penakar hujan untuk mendapatkan gambaran mengenai sebaran hujan di seluruh daerah aliran sungai (Yelza dkk, 2010).

Berikut ini merupakan metode-metode untuk menghitung curah hujan rata-rata areal seperti yang dikutip dari Mahbub (2010).

1. Metode Rata-Rata Aritmatik

(9)

dari semua alat penakar dan dijumlahkan seluruhnya. Kemudian hasil penjumlahannya dibagi dengan jumlah penakar hujan maka akan dihasilkan rata-rata curah hujan di daerah tersebut. Secara matematis dituliskan dengan persamaan berikut:

̅ = ∑ �

�=

dimana: R = Curah hujan rata-rata wilayah atau daerah.

Ri = Curah hujan di stasiun pengamatan ke-i.

N = Jumlah stasiun pengamatan.

2. Metode Polygon Thiessen

Metode ini untuk daerah yang tidak seragam dan variasi curah hujan besar. Menurut Shaw (1985) cara ini tidak cocok untuk daerah bergunung dengan intensitas curah hujan tinggi. Dilakukan dengan membagi suatu wilayah ke dalam beberapa daerah-daerah membentuk poligon. Untuk menghitungnya dapat menggunakan persamaan berikut:

̅ = ∑ ( × ) �=

dimana: R = Curah hujan daerah.

Rn = Curah hujan di setiap stasiun pengamatan.

An = Luas daerah yang mewakili tiap stasiun pengamatan.

3. Metode Isohyet

Metode ini dipandang paling baik, tetapi bersifat subyektif dan tergantung pada keahlian, pengalaman, pengetahuan pemakai terhadap sifat curah hujan pada daerah setempat. Isohyet adalah garis pada peta yang menunjukkan tempat-tempat dengan curah hujan yang sama. Metode isohyet bergunan terutama berguna untuk mempelajari pengaruh hujan terhadap perilaku aliran air sungai terutama untuk daerah dengan tipe curah hujan orografik (daerah pegunungan). Dalam metode isohyet ini wilayah dibagi dalam daerah-daerah yang masing-masing dibatasi oleh dua garis isohyet yang berdekatan. Untuk menghitung luas daerahnya, kita bisa menggunakan planimeter. Secara sederhana bisa juga menggunakan kertas milimeter dengan cara menghitung kotak yang masuk dalam batas daerah yang diukur. Untuk menghitungnya dapat menggunakan persamaan berikut: 2.1

(10)

̅ = ∑ − + × �=

2.6.2 Distribusi Frekuensi Curah Hujan

Hujan rancangan merupakan kemungkinan tinggi hujan yang terjadi dalam kala ulang tertentu sebagai hasil dari rangkaian analisis hidrologi yang biasa disebut analisis frekuensi curah hujan. Analisis frekuensi sesungguhnya merupakan prakiraan dalam arti probabilitas untuk terjadinya suatu peristiwa hidrologi dalam bentuk hujan rancangan yang berfungsi sebagai dasar perhitungan perencanaan hidrologi untuk antisipasi setiap kemungkinan yang akan terjadi (Putra, 2008). Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi metode yang dipakai dalam analisis frekuensi data curah hujan harian maksimum adalah sebagai berikut:

1. Distribusi Gumbel

Menurut Gumbel curah hujan untuk periode ulang tertentu tertentu (Tr) dihitung berdasarkan persamaan berikut:

= [∑�= �− ̅ ]

= ̅ + ( − )

dimana: YTr = Reduced variate. (tertera pada Tabel 2.3) S = Standar deviasi data hujan.

Sn = Standar deviasi yang juga tergantung pada jumlah sampel (tertera pada

Tabel 2.4)

Yn = Reduced mean yang tergantung jumlah sampel (tertera pada Tabel 2.5)

� = Curah hujan harian maksimum setiap tahun ̅ = Curah hujan harian maksimum rata-rata

XT = Curah hujan rencana

2.3

2.4

(11)

Tabel 2.3 Nilai Reduced Variate (YTR)

Tabel 2.4 Nilai Standar Deviasi Menurut Jumlah Sampel (Sn)

(12)

2. Distribusi Log Pearson Tipe III

Metode ini telah mengembangkan serangkaian fungsi probabilitas yang dapat dipakai untuk hampir semua distribusi probabilitas empiris. Tiga parameter penting dalam Metode Log Pearson Tipe III, yaitu harga rata-rata (̅), Standar deviasi (S), koefisien kemencengan (Cs).

= [∑��= � ���−� ��̅

− ]

= ∑��= � ���−� ��̅

− −

� = � ̅ +

dimana: XT = Curah hujan rencana

Cs = Koefisien kemencengan.

S = Standar deviasi.

K = Variabel standar untuk X yang besarnya tergantung dari nilai Cs (tertera pada Tabel 2.6)

3. Distribusi Normal

Distribusi normal disebut juga distribusi Gauss. Dalam pemakaian praktis umumnya digunakan persamaan sebagai berikut:

= ̅ +

dimana: T = Curah hujan rencana.

̅ = Nilai rata-rata hitung sampel.

KT = Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau yang digunakan

periode ulang dan tipe model matematik distribusi peluang yang digunakan untuk analisis peluang. (tertera pada Tabel 2.7)

4. Distribusi Log Normal

� = � ̅ + ×

dimana: T = Intensitas curah hujan dengan periode ulang T tahun. ̅ = Curah hujan rata-rata

KT = Faktor frekuensi. (tertera pada Tabel 2.7)

2.6

2.7

2.8

2.9

(13)

Tabel 2.6 Nilai Variabel Standar (K)

(14)

2.5.3 Uji Kesesuaian Distribusi

Uji kesesuaian distribusi adalah uji untuk mengukur apakah data kita memiliki distribusi normal sehingga dapat dipakai dalam statistik parametrik (statistik inferensial). Cara yang biasa dipakai untuk menghitung masalah ini adalah Chi Square. Tapi karena tes ini memiliki kelemahan, maka yang paling sering digunakan adalah Smirnov-Kolmograf. Kedua tes dinamakan masuk dalam kategori Goodness of Fit Test.

Pengujian distribusi probabilitas dengan Metode Smirnov-Kolmograf dilakukan dengan langkah-langkah perhitungan sebagai berikut:

1. Urutkan data (Xi) dari besar ke kecil atau sebaliknya.

2. Tentukan peluang empiris masing-masing data yang sudah diurut tersebut (Xi) dengan rumus tertentu, misalnya rumus weibull.

= +

dimana: n = Jumlah data

i = Nomor urut data setelah diurut dari besar ke kecil atau sebaliknya.

3. Tentukan peluang teoritis masing-masing data yang sudah di urut tersebut P(Xi) berdasarkan persamaan distribusi probablitas yang dipilih (Gumbel, Normal, dan sebagainya).

4. Hitung selisih ∆Pi) antara peluang empiris dan teoritis untuk setiap data yang sudah diurut.

∆ = − ’

5. Tentukan apakah ∆Pi < ∆P kritis, jika “tidak” artinya Distribusi Probabilitas yang dipilih tidak dapat diterima, demikian sebaliknya.

6. ∆P kritis dijelaskan pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8 Nilai ∆P Kritis Smirnov-Kolmogrov

N α

0,20 0,10 0,05 0,01

5 0,45 0,51 0,56 0,67

10 0,32 0,37 0,41 0,49

15 0,27 0,30 0,34 0,40

20 0,23 0,26 0,29 0,36

25 0,21 0,24 0,27 0,32

30 0,19 0,22 0,24 0,29

40 0,17 0,19 0,21 0,25

2.11

(15)

N α

0,20 0,10 0,05 0,01

45 0,16 0,18 0,20 0,24

50 0,15 0,17 0,19 0,23

N > 50

Sumber: Kamiana, 2011

2.6.4 Intensitas Curah Hujan

Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan persatuan waktu. Sifat umum hujan adalah makin singkat hujan berlangsung intensitasnya cenderung makin tinggi dan makin besar periode ulangnya makin tinggi pula intensitasnya. Apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia, yang ada hanya data hujan harian maka intensitas hujan dapat dihitung dengan Persamaan Mononobe (Yelza dkk, 2010). Secara matematis Persamaan Mononobe dituliskan sebagai berikut:

=

t ⁄

dimana: I = Intensitas curah hujan (mm/jam).

t = Lamanya curah hujan (jam).

R24 = Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm).

2.6.5 Waktu Konsentrasi

Waktu konsentrasi suatu DAS adalah waktu yang diperlukan oleh air hujan yang jatuh untuk mengalir dari titik terjauh sampai ketempat keluar DAS (Titik Kontrol) setelah tanah menjadi jenuh dan depresi-depresi kecil terpenuhi. Salah satu rumus untuk memperkirakan waktu konsentrasi (tc) adalah rumus yang dikembangkan oleh Kirpich, yang dapat ditulis sebagai berikut:

tc= 0.00025 (L/√S)0.8

dimana: L = Panjang saluran utama dari hulu sampai penguras dalam km. S = Kemiringan rata-rata saluran utama dalam m/m.

2.13

(16)

Waktu konsentrasi dapat juga dihitung dengan membedakan menjadi dua komponen, yaitu:

1. Inlet time (t0) yakni waktu yang diperlukan air untuk mengalir di permukaan lahan sampai saluran terdekat.

2. Conduit time (td)yakni waktu perjalanan dari pertama masuk sampai titik keluaran.

tc = t0 + td

dimana: t0 = 23 x 3,28 x Ls x n (menit). td = Ls 60 V (menit).

n = Angka kekasaran Manning.

Ls = Panjang lintasan aliran di dalam saluran/sungai (m).

2.6.6 Koefisien Limpasan

Apabila suatu DAS memiliki intensitas hujan yang melebihi kapasitas infiltrasi maka setelah laju infiltrasi terpenuhi air hujan akan mengisi cekungan-cekungan pada permukaan lahan hingga akhirnya terisi penuh dan air akan mengalir pada permukaan tanah. Air yang mengalir di atas permukaan tanah disebut dengan runoff atau limpasan. Limpasan pada permukaan tanah akan masuk pada saluran drainase yang kemudian akan bertemu pada suatu anak sungai dan akan menjadi aliran sungai. Hal ini dapat menyebabkan debit sungai meningkat dan apabila debit sungai lebih besar dari kapasitas sungai hal ini akan menyebabkan terjadinya luapan sungai yang pada akhirnya menyebabkan banjir pada suatu DAS atau wilayah (Triadmojo, 2010 dalam Putra dkk, 2016).

Angka koefisien limpasan merupakan indikator apakah suatu DAS telah mengalami gangguan (fisik). Besar kecilnya nilai C tergantung pada permeabilitas dan kemampuan tanah dalam menampung air. Nilai C yang besar menunjukkan bahwa lebih banyak air hujan yang menjadi limpasan (Hasibuan, 2012). Nilai koefisien limpasan berdasarkan SNI 03-2415-1991 dapat dilihat pada Tabel 2.9.

(17)

Tabel 2.9 Nilai Koefisien Limpasan

2.7 Debit Banjir Rancangan Metode Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu

Stasiun pengukur debit dan tinggi muka air sungai (stasiun hidrometri) pada umumnya hanya dipasang di tempat tempat tertentu yang dipandang oleh pengelolanya mempunyai arti yang cukup penting. Hal tersebut disebabkan karena tidak mungkin memasang stasiun hidrometri disembarang tempat dan biaya pemasangannya juga tidak murah. Namun masalah yang banyak timbul adalah ketidak-cocokan antara rencana pengembangan jaringan stasiun hidrometri. Pengembangan suatu daerah sering tidak dapat diketahui sebelumnya, atau kalau rencana itu diketahui tidak selekasnya diikuti dengan keiatan pengumpulan data. Hingga pada saat dibutuhkan untuk analisis data tidak tersedia, atau tersedia dalam jangka waktu yang sangat pendek.

Untuk mengatasi hal ini sebenarnya di Indonesia telah dikenal dan banyak digunakan berbagai cara untuk memperkirakan banjir rancangan yang didasarkan atas persamaan rasional. Cara ini mengandalkan data curah hujan sebagai dasar hitungan. Namun dari penelitian terbukti bahwa metode seperti Melchior, Der Weduwen dan Haspers

mempunyai penyimpangan yang berkisar antara 2% - 80%, dengan penyimpangan rata Jenis Daerah Koefisien Limpasan

Daerah Perdagangan

Kota 0.70-0.95

Sekitar Kota 0.50-0.70

Daerah Pemukiman

Satu Rumah 0.30-0.50

Banyak Rumah, terpisah 0.40-0.50

Banyak Rumah, rapat 0.60-0.75

Pemukiman, pinggiran kota 0.25-0.40

Apartemen 0.50-0.70

Daerah Industri

Ringan 0.50-0.80

Padat 0.60-0.90

Lapangan, kuburan dan sejenisnya 0.10-0.25

Halaman, jalan kereta api dan sejenisnya 0.20-0.35

Lahan tidak terpelihara 0.10-0.30

(18)

rata berturut turut sebesar 89%, 85% dan 56%. Selain itu tercatat pula bahwa 77% dari kasus yang ditinjau menunjukkan perkiraan lebih (overestimated). Cara- cara rasional untuk memperkirakan banjir yang mendapatkan kritikan tajam, karena pemakaian koefisien limpasan (runoff coefficient) mengundang subjektivitas yang sangat besar dan merupakan salah satu faktor penyebab penyimpangannya. Penyebab lainnya adalah koefisien reduksi (reduction coefficient) (Kurniawan, 2012).

Persamaan rasional hanya dianjurkan untuk DAS kecil kurang dari 80 hektar atau untuk DAS yang memiliki unsur unsur penyusun yang seragam. Dalam perancangan diharapkan perkiraan banjir rancangan yang menyimpang sekecil mungkin. Sudah barang tentu perkiraan yang tepat tidak akan dapat diharapkan, karena proses pengalihragaman hujan menjadi banjir merupakan proses alam yang sangat kompleks yang tidak dapat diungkapkan dengan persamaan matematik secara tuntas. Cara lain yang lebih baik hampir seluruhnya menuntut ketersediaan data pengukuran sungai yang memadai. Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu ini merupakan salah satu upaya untuk mengatasi kesulitan kesulitan tersebut. Cara ini dapat digunakan disembarang lokasi yang dikehendaki dalam suatu DAS tanpa tergantung ada atau tidaknya data pengukuran sungai. Akan tetapi, perlu ditegaskan bahwa kegiatan hidrometrik masih tetap merupakan pilihan utama, sehingga walaupun telah ditemukan cara pendekatan yang akan banyak mengatasi masalah kelangkaan data, namun prioritas pengukuran sungai ditempat mutlak masih diperlukan.

Nakayasu (1950) telah menyelidiki hidrograf satuan di Jepang dan memberikan seperangkat persamaan untuk membentuk suatu hidrograf satuan sebagai berikut:

1. Waktu kelambatan (tg), rumusnya:

untuk L > : = , + , 8

untuk L < : � = , ,

2. Waktu saat debit sama dengan 0,3 kali debit puncak:

, = � �

2.16 2.17

(19)

3. Waktu puncak:

= �+ ,8

4. Debit puncak hidrograf satuan sintetis dirumuskan sebagai berikut:

=

, , � �+ ,

5. Bagian lengkung naik (0 < t < tp):

= (

�)

,

6. Bagian lengkung turun:

Untuk ≤ ≤ + ,

= , − , �

Untuk ( + , ) ≤ ≤ ( + , + , , ) = ,

− �+ , � ,

, � ,

Untuk > + , + , ,

= , − �+ , � � , ,

2.19

2.20

2.21

2.22

2.23

(20)

Gambar 2.2 Hidograf Satuan Sintetik Nakayasu

Sumber: Sutapa, 2005

2.8 Hydrologic Engineering Center River Analysis System (HEC-RAS)

Analisis hidrolika sungai berguna untuk menganalisis profil muka air banjir di sungai. Perhitungan analisis hidrolika sungai dalam penelitian ini menggunakan software Hydrologic Engineering Centre-River Analysis System (HEC-RAS), yang dikembangkan oleh Hydrologic Engineering Centre milik US Army Corps of Engineers. HEC-RAS sebagai sistem perangkat lunak terpadu mempunyai tiga komponen analisis hidrolika satu dimensi untuk:

1. Perhitungan profil permukaan air steady flow (aliran permanen). 2. Simulasi unsteady flow (aliran tak permanen)

3. Perhitungan transport sedimen batas yang movable dan desain bangunan air.

(21)

fasilitas-fasilitas infrastruktur yang ada disekitar sungai. Dengan adanya simulasi pemodelan seperti ini banjir dapat di analisa dan dapat memprediksi banjir tahunan yang sering terjadi akibat curah hujan yang sangat tinggi dan akibat saluran penampang sungai yang tidak dapat menampung debit banjir yang melebihi kapasitas tampang saluran. Dan hasil dari prediksi pemodelan tersebut dapat diintegrasi dengan sistem informasi geografis yang nantinya dapat menampilkan informasi daripada daerah genangan banjir dan luas genangan yang terjadi menurut periode kala ulangnya.

2.9 Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah basis data yang biasanya mempunyai komponen spasial dalam pengolahan dan penyimpanannya. Karenanya SIG mempunyai potensi untuk menyimpan dan menghasilkan produk-produk peta dan sejenisnya. Ia juga menawarkan potensi untuk menjalankan analisis berganda ataupun mengevaluasi suatu skenario sebagaimana simulasi model (Lyon, 2003).

SIG dalam esensinya adalah sebuah pusat penyimpanan dan perangkat - perangkat analisis bagi data yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Pengembang dapat menumpangtindihkan informasi dari berbagai sumber data tersebut melalui berbagai theme dan layer, melaksanakan analisis data secara menyeluruh dan menggambarkannya secara grafis bagi pengguna (Albrecht, 2007).

(22)

Tate et al (2002) menggunakan SIG dan HEC-RAS untuk memetakan floodplain di wilayah Waller Creek, Texas. SIG dan HEC-RAS juga telah membantu Sole et al (2007) memperoleh peta risiko banjir di wilayah Basilicata, Italia dengan mengakuisisi profil permukaan air sesuai dengan kala ulang banjir 30, 200, dan 500 tahun. Heimhuber et al (2015) menggunakan SIG dan HEC-RAS untuk menentukan daerah risiko banjir di wilayah Onaville, Haiti. Demir dan Kisi (2016) memetakan daerah bahaya banjir menggunakan SIG dan HEC-RAS dengan kala ulang banjir 10, 25, 50,100, dan 1000 tahun di Mert River, Turki.

2.10 Estimasi Kerugian Akibat Banjir

Resiko banjir pasti akan terjadi apabila suatu daerah terkena dampak banjir baik itu kerusakan, bencana dan kerugian. Semua hal itu akan berdampak langsung terhadap penduduk sekitar akibat dari daerah genangan banjir yang menggenangi dataran pemukiman penduduk. Dalam hal ini kerusakan terjadi terhadap rumah yang memberikan arti bahwasanya pemilik rumah harus mengeluarkan biaya ganti rugi akibat banjir. Selain itu banjir juga memberikan dampak bencana terhadap penduduk seperti: penyakit, gangguan terhadap psikologis (ganguan kesehatan dan kenyamanan) dan memungkinkan terjadinya kematian. Untuk itu sudah seharusnya perlu dilakukan suatu metode maupun suatu pendekatan yang bertujuan untuk menghitung resiko kerugian banjir, agar nantinya pemerintah dalam mengantisipasi kerugian banjir tahunan yang sering terjadi dapat diprediksi ataupun dianalisa dengan cepat dan akurat.

Dalam mengestimasi resiko banjir berdasarkan Penjelasan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas tentang hasil penilaian kerusakan dan kerugian pascabencana banjir awal Februari 2007 di wilayah Jabodetabek, terdapat beberapa formula dalam perhitungan estimasi resiko banjir yaitu:

1. Untuk jumlah penduduk yang terkena dampak diestimasi proporsional terhadap luas genangan banjirnya dengan formula sebagai berikut:

�ℎ � � � = � � ��� � �ℎ × �ℎ

(23)

�ℎ �ℎ � � � = � � ��� � �ℎ × �ℎ �ℎ

3. Kemudian untuk menghitung besar biaya kerugian yang diakibatkan oleh banjir digunakan formula sebagai berikut:

� � � � = �ℎ �ℎ � � � � ×

� � � � � � �ℎ/

2.11 Pemilihan Jalur dan Titik Evakuasi

Kerugian-kerugian yang didapatkan sebagai sebuah akibat dari bencana bisa saja disebabkan oleh kurang tanggapnya masyarakat dalam menghadapi bencana yang datang sehingganya banyak masyarakat yang tidak tahu harus pindah atau mengungsi kemana dan akhirnya resiko yang diambil yaitu menetap dirumah yang tergenang banjir. Ketidaktahuan masyarakat akan tempat pengungsian ini juga diakibatkan dengan tidak adanya rute jalur evakuasi bencana banjir. Olehnya itu perlu ada sebuah rancangan atau perencanaan sebelumnya dalam hal meminimalisir kerugian yang dapat terjadi (Hasan, 2013).

Studi mengenai alternatif jalur evakuasi bencana banjir dengan menggunakan SIG telah dilakukan Santoso dan Taufik (2009) di Kabupaten Situbondo. Penelitian ini akan menjadi teori penunjang dalam penelitian tugas akhir yang akan dilakukan.

Pemilihan titik evakuasi ini berdasarkan beberapa pertimbangan, diantaranya: a. Titik evakuasi minimal berjarak 750-1500 meter tegak lurus dari sungai.

b. Titik evakuasi yang dipilih merupakan lahan terbuka seperti lapangan, tegalan, dan area persawahan kering.

c. Titik evakuasi bukan berada di daerah permukiman padat.

d. Penempatan titik evakuasi disesuaikan dengan sebaran area permukiman.

Dalam proses pembuatan jalur evakuasi terdapat beberapa factor pertimbangan pemilihan jalur evakuasi, yaitu:

(24)

b. Jalur evakuasi diusahakan tidak melintangi sungai atau jembatan.

c. Untuk daerah pemukiman padat dirancang jalur evakuasi berupa sistem blok. Dengan begitu pergerakan masa setiap blok tidak tercampur dengan blok lainnya untuk menghindari kemacetan.

Gambar

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Mengenai Pemetaan Banjir
Gambar 2.1 Siklus Hidrologi
Tabel 2.2 Tingkat Bahaya Banjir Menurut Periode Kala Ulang
Tabel 2.3 Nilai Reduced Variate (YTR)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Akuntasi pertanggungjawaban sebagai alat pengendalian biaya produksi pada Perusahaan Rokok PT.Semanggimas Agung Tulungagung dapat dikatakan baik jika memenuhi 3 (tiga) syarat

Inilah jalan filosofis untuk memperoleh jawaban pasti bahwa terjadi paradoks (kekacauan, ambiguitas) sehubungan dengan apakah masyarakat itu tunggal atau beragam. Ada pula

♥ Winda Dwi Yunita (ginda), yang selalu mensupport saya agar bias menjadi sarjana dan terima kasih telah membantu dalam urusan skripsi saya dalam mengasih saran ♥ Tedo

A. Satu penyiasatan telah dijalankan oleh sekumpulan murid dengan meletakkan beberapa objek iaitu paku besi, kertas, getah pemadam dan jarum peniti pada litar

pelayanan yang terbaik bagi seluruh stake holder sehingga mampu menciptakan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap seluruh jasa yang diberikan oleh Airnav Indonesia Cabang..

diberikan kepada siswa, dan adanya keaktifan siswa secara langsung terhadap pembelajaran. Hal itu tercermin pada sikap positif siswa terhadap kegiaan pembelajaran

Sidik ragam laju perkecambahan benih sirsak pada perlakuan tingkat kematangan buah, suhu air dan lama perendaman.. SK Db JK KT

tidak boleh mempengaruhi pelajar etnik India bertingkah laku devian. d) Untuk mengenal pasti sama ada penglibatan terhadap aktiviti sosial/. kemasyarakatan boleh atau