• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMETAAN DAERAH RAWAN KONFLIK MANUSIA - HARIMAU SUMATRA (Panthera tigris sumatrae) DI SEKITAR WILAYAH KPH VI KABUPATEN ACEH SELATAN PROVINSI ACEH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PEMETAAN DAERAH RAWAN KONFLIK MANUSIA - HARIMAU SUMATRA (Panthera tigris sumatrae) DI SEKITAR WILAYAH KPH VI KABUPATEN ACEH SELATAN PROVINSI ACEH"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

PEMETAAN DAERAH RAWAN KONFLIK MANUSIA - HARIMAU SUMATRA (Panthera tigris sumatrae) DI SEKITAR WILAYAH KPH VI

KABUPATEN ACEH SELATAN PROVINSI ACEH

SKRIPSI

LIA KARINA SINAMO 141201142

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

PEMETAAN DAERAH RAWAN KONFLIK MANUSIA - HARIMAU SUMATRA (Panthera tigris sumatrae) DI SEKITAR WILAYAH KPH VI

KABUPATEN ACEH SELATAN PROVINSI ACEH

SKRIPSI

Oleh :

LIA KARINA SINAMO 141201142

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kehutanan

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

LIA KARINA SINAMO. Pemetaan Daerah Rawan Konflik Manusia-Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) di Sekitar Wilayah KPH VI Kabupaten Aceh Selatan Provinsi Aceh, dibimbing oleh PINDI PATANA dan BEJO SLAMET.

Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) adalah satu - satunya subspesies harimau yang tersisa di Indonesia. sebagai akibat dari fragmentasi habitat ada masalah yang muncul seperti konflik antara manusia dan harimau.

Kabupaten Aceh Selatan adalah lokasi dengan intensitas konflik tertinggi di Provinsi Aceh yang meliputi sebagian besar hutan lindung yang merupakan area kerja KPH Wilayah VI Kabupaten Aceh Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk membuat peta daerah rawan konflik manusia dengan harimau sumatra menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) berdasarkan faktor-faktor fisik dan untuk mengetahui bagaimana faktor fisik tersebut mempengaruhi intensitas konflik menggunakan metode Analisis komponen utama berdasarkan angka pembobotan. Analisis komponen utama menghasilkan bobot yang sama untuk faktor kelerengan, ketinggian, tutupan lahan dan kepadatan penduduk yaitu sebesar 1,947 dan jarak kesungai sebesar 1,164. Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa sekitar 0,45% Wilayah kabupaten Aceh Selatan merupakan daerah konflik dengan tingkat rawan yang sangat tinggi, 23,18% tinggi, 66,39%

sedang, 9,90% rendah dan 0,026% daerah sangat rendah konflik

KataKunci: Harimau sumatra, Kabupaten Aceh Selatan, Konflik Manusia- Harimau, Tutupan lahan, Analisis Komponen Utama

(6)

ABSTRACT

LIA KARINA SINAMO. Mapping of Prone Areas for Sumatran Tiger-Human Conflict (Panthera tigris sumatrae) around the KPH VI area in South Aceh Regency Aceh Province, supervised by PINDI PATANA and BEJO SLAMET.

The Sumatran tiger (Panthera tigris sumatrae) is the last tiger subspecies that left in Indonesia. Habitat fragmentation causes conflict between tiger and the villagers. South Aceh regency is the location with the highest intensity of conflict in the province of Aceh South Aceh District is the location with the highest intensity of conflict in Aceh Province covering a large part of protected forest which is the work area of KPH VI . The main objectives of the research are to produces map of conflict-prone areas between human and tigers using Geographic Information Systems (GIS) based on physical factors and analyze how these physical factors affect the intensity of conflict by using the principal component analysis (PCA) method based on weighting numbers. The result of PCA produces the same weight for the slope, height, land cover and population density factor which is equal to 1.947 and the river distance is 1.164. As a Results of the spatial analysis show that 0.45% part of South Aceh is the highest conflict prone area, 23.18% high area, 66.39% medium area, 9.90% low area and 0.026 is the lowest conflict areas.

Keyword: Human – Tiger conflict, Land cover, Sumatran Tiger South Aceh Regency, Principal Component Analisysis

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Provinsi Jambi pada tanggal 15 Mei 1996 putri pertama dari ayah Drs. Rasmon Sinamo., M.A.P dan ibu Dra. Herulina Berutu. Penulis menempuh pendidikan formal pertama di SD 030281 Sidikalang dan lulus pada tahun 2008.

Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 3 Sidikalang dan lulus pada tahun 2010. Kemudian penulis melanjutkan ke SMA Negeri 1 Sidikalang dan lulus tahun 2014. Pada tahun 2014 penulis lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara (USU) melalui jalur UMB-PT pada jurusan kehutanan.

Selama masa perkuliahan, penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi di dalam maupun diluar kampus, antara lain: sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS)–USU, Anggota organisasi Rain Forest Fakultas Kehutanan dan Manajer publikasi Yayasan Pelatuk Indonesia. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum silvikultur pada tahun 2017.

Penulis melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di desa Sei Nagalawan Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara pada tahun 2016, kemudian Praktik Kerja Lapang (PKL) di KPH wilayah I Stabat Kabupaten Langkat Propinsi Sumatra Utara selama 1 (satu) bulan yaitu sejak 22 Februari – 22 Maret 2018.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat dan Karunia-Nya skripsiyang berjudul “Pemetaan Daerah Rawan Konflik Manusia – Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) disekitar wilayah KPH VI Kabupaten Aceh Selatan Provinsi Aceh” ini dapat selesai yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak Pindi Patana, S.Hut., M., Sc selaku dosen pembimbing utama dan bapak Dr Bejo Slamet, S.Hut., M.Si selaku dosen pembimbing dua yang telah memberikan bantuan, arahan dan saran dalam penelitian dan penyususunan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, KPH Wilayah VI Kabupaten Aceh Selatan dan Badan Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah I Medan atas bantuan yang telah diberikan dalam pengumpulan data. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada orang tua dan teman-teman yang sudah mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi upaya konservasi harimau sumatra kedepannya khususnya pada kawasan Kabupaten Aceh Selatan.

Medan, 11 April 2019

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Kabupaten Aceh Selatan ... 3

Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah VI ... 3

Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) ... 4

Taksonomi ... 4

Perilaku ... 4

Wilayah Jelajah ... 5

Habitat ... 5

Mangsa ... 6

Status dan Ancaman ... 7

Konflik Harimau dengan Manusia ... 7

Penginderaan Jarak Jauh ... 8

Sistem Informasi Geografis ... 9

METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian ... 10

Bahan dan Alat Penelitian ... 10

Metode Penelitian ... 11

Pengumpulan Data ... 11

Parameter ... 11

Pengamatan Data Lapang ... 12

Pengolahan Data... 12

Pembuatan Peta Distrbusi Konflik ... 12

Pembuatan Peta Tutupan Lahan ... 12

Pembuatan peta Kepadatan Penduduk ... 12

Pembuatan peta Ketinggian dan Kemiringan ... 12

Pembuatan Peta Jarak Kesungai ... 13

(10)

Responden ... 13

Kepadatan Konflik ... 13

Analisis Data ... 14

Analisis Deskriptif ... 14

Analisis Komponen Utama ... 14

Analisis Spasial ... 14

Validasi data ... 15

Kuisioner dan Wawancara ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN Informasi dan Persepsi Masyarakat Mengenai Konflik Harimau ... 16

Karakteristik Wilayah Rawan Konflik Manusia-Harimau ... 17

Penutupan Lahan ... 17

Ketinggian ... 26

Kelerengan ... 26

Jarak dari Sungai ... 27

Kepadatan Penduduk ... 29

Kelas Kepadatan Konflik ... 30

Penentuan Nilai Bobot Variabel... 33

Peta Daerah Rawan Konflik Manusia-Harimau ... 35

Validasi Hasil Overlay ... 35

Analisis Perbandingan Kepadatan Konflik dan Model Rawan Konflik ... 36

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 38

Saran ... 38

DAFTAR PUSTAKA ... 39

LAMPIRAN ... 43

(11)

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Parameter Wilayah Konflik Manusia-Harimau ... 11

2. Klasifikasi Lereng ... 13

3. Selang Kelas Kerawanan Konflik Harimau ... 14

4. Rekapitulasi Penyebab Konflik Menurut Masyarakat ... 16

5. Rekapitulasi Upaya Masyarakat Dalam Mengurangi Konflik ... 17

6. Tipe Penutupan Lahan Di Lokasi Penelitian ... 20

7. Perubahan Luas Tutupan Hutan ... 23

8. Sebaran Titik Konflik Berdasarkan Kelas Ketinggian ... 26

9. Sebaran Titik Konflik Berdasarkan Kelas Kelerengan ... 27

10. Sebaran Titik Konflik Berdasarkan Jarak dari Sungai ... 27

11. Sebaran Titik Konflik Berdasarkan Kepadatan Penduduk ... 29

12. Kelas Kepadatan Konflik ... 30

13. Nilai Akar Ciri (Initial Eigenvalues) ... 33

14. Vektor Akar Ciri Dari Analisis Komponen Utama ... 33

15. Nilai Bobot Tiap Variabel ... 34

16. Kelas Kerawanan Konflik Harimau ... 35

17. Validasi Model Rawan Konflik Harimau ... 35

18. Analisis Perbandingan Kepadatan Konflik dan Model Rawan Konflik .. 36

(12)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1. Peta Wialayah Penelitian ... 10

2. Grafik Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2006-2017... 19

3. Peta Perubahan Tutupan Lahan Kabupaten Aceh Selatan ... 21

4. Peta Sebaran Konflik Berdasarkan Kelas Penutupan Lahan ... 22

5. Peta Sebaran Konflik Berdasarkan Kelas Ketinggian ... 24

6. Peta Sebaran Konflik Berdasarkan Kelas Kelerengan ... 25

7. Peta Sebaran Konflik Berdasarkan Jarak dari Sungai ... 28

8. Peta Sebaran Konflik Berdasarkan Kelas Kepadatan Penduduk ... 31

9. Peta Kepadatan Konflik ... 32

10. Peta Daerah Rawan Konflik Manusia – Harimau Sumatra ... 37

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Halaman

1. Rekapitulasi Kuisioner ... 40

2. Hasil Analisis Komponen Utama ... 42

3. Analisis Perubahan LahanTahun 2006-2011 ... 48

4. Analisis Perubahan Lahan Tahun 2011-2017 ... 49

5. Analisis Perubahan Lahan Tahun 2006-2017 ... 50

6. Hasil Analisis Spasial Terhadap Variabel Untuk Model ... 51

7. Hasil Analisis Spasial Terhadap Variabel Untuk Validasi ... 54

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi didunia, dengan kawasan hutan yang mencapai 120,6 juta hektar (KLHK, 2018). Saat ini sebagian dari luasan hutan di Indonesia telah mengalami degradasi dan deforestasi. Degradasi dan deforestasi mengakibatkan terancamnya keberadaan berbagai jenis satwa liar didalamnya dan menjadi penyebab utama terjadinya konflik manusia dengan satwa liar (Budhiana, 2009). Deforesterasi menyebabkan semakin berkurangnya kawasan hutan sebagai habitat yang mengakibatkan ruang jelajah semakin sempit (Archaya et al., 2017). Di antara spesies kucing besar, harimau (Panthera tigris) merupakan paling terkenal berkonflik dengan manusia karena mereka secara historis membunuh banyak orang (Goodrich et al., 2011)

Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) adalah salah satu subspesies harimau di dunia dan merupakan satwa langka Indonesia yang saat ini masuk dalam kategori sangat terancam punah (critically endangered) oleh IUCN pada tahun 2008. Ada tiga jenis harimau yang sebelumnya pernah ada di Indonesia yaitu harimau jawa (Panthera tigris sundaica), harimau bali (Panthera tigris balica), dan harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae).

harimau bali dan harimau jawa telah dinyatakan punah sehingga saat ini hanya harimau sumatra yang menjadi satu-satunya spesies harimau yang ada di Indonesia (Seidensticker et al., 1999).

Konflik merupakan salah satu tantangan dalam konservasi satwa liar.

Pengurangan intensitas serta mitigasi konflik telah menjadi prioritas utama dalam konservasi harimau (Karanth et al., 2012). Konflik mengakibatkan kerugian baik antara manusia dan satwa. Kejadian konflik yang merugikan masyarakat akan berdampak pada kurangnya apresiasi masyarakat dalam membantu melestarikan dan menjaga kehidupan satwa liar (Nailufar et al., 2015). Harimau sumatra yang memasuki kawasan pemukiman akan memicu masyarakat yang tinggal untuk melakukan perlawanan dan perlindungan diri terhadap harimau dimana hal ini

(15)

akan menyebabkan terjadinya konflik yang berakibat fatal seperti kematian pada harimau dan gangguan ketakutan pada masyarakat.

Selama ini upaya untuk mengurangi konflik manusia - harimau (KMH) berfokus pada pengendalian yang mengakibatkan kematian pada harimau, namun seiring populasi harimau yang menurun, upaya mulai beralih pada pengelolaan KMH dengan cara yang mengurangi resiko bagi manusia dan harimau (Dhungana, et al., 2016) .

Sumatra Barat, Riau dan Aceh merupakan wilayah dengan intensitas konflik tertinggi (Wibisono dan Pusparini, 2010). Provinsi Aceh yang masuk dalam kawasan Taman Nasional gunung Leuser (TNGL) meliputi Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tamiang, sedangkan Provinsi Sumatera Utara yang meliputi Kabupaten Dairi, Karo dan Langkat. Aceh Selatan menjadi salah satu wilayah yang memiliki intensitas konflik tertinggi dari keseluruhan kejadian konflik yang pernah terjadi di Provinsi Aceh.

Melalui penelitian ini akan dilakukan identifikasi dan analisis terhadap beberapa faktor fisik yang diduga sebagai faktor pemicu terjadinya konflik yang kemudian akan diolah menjadi informasi berupa peta daerah rawan konflik menggunakan software sistem informasi geografis (SIG) yang dapat dijadikan prediktor daerah yang rawan terjadinya konflik harimau dengan manusia.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui bagaimana faktor fisik lingkungan mempengaruhi intensitas kejadian konflik harimau-manusia di kabupaten aceh selatan

2. Membuat peta daerah rawan konflik harimau manusia di sekitar wilayah kerja KPH VI kabupaten Aceh Selatan

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang daerah rawan konflik manusia-harimau di Kabupaten Aceh Selatan, sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan mitigasi konflik manusia-harimau.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Kabupaten Aceh Selatan

Kabupaten Aceh Selatan terletak antara 2º 23'- 3º 36' LU dan 96º 54' -97º 51' BTr. Kawasan ini terbagi atas hutan lindung seluas 152.274,3 Ha, 135. 768,4 suaka alam dan pelestarian alam dan 20. 717, 6 Ha hutan produksi. Kondisi topografi Kabupaten Aceh Selatan bervariasi, terdiri dari dataran rendah, bergelombang, berbukit, hingga pegunungan. Tinggi wilayah Aceh Selatan diatas permukaan laut berkisar 2-74 mdpl. Wilayah administrasi Kabupaten Aceh Selatan terdiri dari 18 kecamatan, 260 desa, 43 Mukim. Jumlah penduduk Kabupaten Aceh Selatan sebanyak 224.897 jiwa. Mayoritas penduduk Kabupaten Aceh Selatan emiliki mata pencaharian sebagai petani dan penyedia jasa dengann persentase 46,94 dan 19,28 persen. Padi dan Pala merupakan sektor sawah dan perkebunan yang paling banyak ditanam oleh masyarakat di Kabupaten Aceh Selatan (BPS, 2017)

Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah VI

Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPTD KPH) Wilayah VI Subulussalam Aceh ditetapkan berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 20 Tahun 2013 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas Pada Dinas Kehutanan Aceh dan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 932/Menhut-II/2014 tanggal 31 Desember 2014. Luas KPH Wilayah VI Subulussalam Aceh adalah sekitar 324.260 Ha yang terdiri atas 275.807 ha hutan lindung, 7.941 ha hutan produksi terbatas dan 40.512 ha hutan produksi. Wilayah kerja meliputi Kabupaten Aceh Barat Daya, Kota Subulussalam, Kabupaten Aceh Singkil, Aceh Selatan, dan Aceh Tenggara. KPH Wilayah VI memiliki lanskap hutan yang berada di wilayah pesisir yang terdiri dari hutan mangrove di Kabupaten Aceh Singkil, hutan dataran rendah hingga hutan pegunungan di Kabupaten Aceh Barat Daya, Kota Subulussalam, Aceh Selatan dan Aceh Tenggara (UPTD KPH wilayah VI, 2015)

(17)

Harimau sumatra 1. Taksonomi

Harimau diklasifikasikan sebagai Felis tigris yang merupakan semua jenis kucing (Fata, 2011). Harimau sumatra berbeda dengan harimau jawa, dimana 100% dapat dibedakan (P.sumatrae dan P.sondaica) di bawah Phylogenetic Species Concept (PSC). Harimau bali merupakan subspesies dari harimau jawa, Panthera sondaica balica (Mazak dan Groves, 2006). Harimau sumatra adalah spesies terakhir dari tiga subspecies harimau diIndonesia

(Seidensticker et al., 1999). Harimau bali

(P. tigris balica) sudah punah pada tahun 1940-an dan Harimau jawa (P. tigris sondaica) pada tahun 1970-an (Seidensticker, 2010). Secara ilmiah harimau memiliki klasifikasi :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Carnivora Famili : Felidae Genus : Phantera Spesies : Phantera tigris

Subspesies : Phantera tigris sumatrae Pocock, 1929 (Mazak, 1981; Mazak and Groves, 2006; Linkie., et al, 2008) 2. Perilaku Harimau Sumatra

Harimau umumnya menghindari manusia. Bagi harimau, manusia lebih merupakan pesaing/kompetitor dibandingkan mangsa. Harimau tua atau sakit memiliki peluang lebih besar untuk terpaksa menyerang manusia (Sunarto dan Priatna, 2008). Harimau merupakan predator utama yang aktif pada senja hari menjelang malam hari (Priatna et al., 2012). Harimau berburu dengan mengendap dan menyergap mangsanya sehingga mereka membutuhkan wilayah dengan tutupan vegetasi yang cukup rapat untuk bersembunyi dan menyergap mangsa (Sunarto et al., 2012). Harimau merupakan satwa yang tidak tahan dengan panasnya sengatan matahari (Fata, 2011).

(18)

Harimau merupakan satwa yang jarang dijumpai berpasangan (soliter), kecuali pada harimau betina beserta anak-anaknya. Harimau berkomunikasi melalui bau-bauan dan suara. Harimau mempunyai indera penciuman yang kuat dan seringkali meninggalkan tanda berupa urin dengan bau yang khas. Tanda tersebut berfungsi sebagai penanda jalan, penanda wilayah kekuasaan atau sebagai alat komunikasi informasi yang lebih spesifik seperti identitas individu, periode waktu individu harimau lewat pada areal tertentu, dan penanda estrus pada harimau betina (Ganesa dan Aunurohim, 2012).

3. Wilayah Jelajah

Harimau betina memiliki luas jelajah sekitar 20 km2 sedangkan untuk harimau jantan sekitar 60-100 km2. Wilayah jelajah ini bukan ketentuan yang pasti karena dalam menentukan teritorinya juga dipengaruhi oleh keadaan geografi tanah dan banyaknya mangsa di daerah tersebut. Harimau harus mendapatkan semua komponen habitat di dalam wilayah jelajahnya (Bailey 1982 dalam Budhiana 2009). Daerah-daerah jelajah ini keberadaannya tumpang tindih antara individu harimau (Dinata dan Sugardjito, 2008).

Harimau jantan memiliki daerah jelajah yang lebih luas hingga mencapai tiga kali luas daerah jelajah harimau betina. Harimau memiliki kemampuan untuk berenang menyeberangi sungai maupun laut hingga puluhan kilometer. Harimau menyukai tempat-tempat di mana dia tetap dapat bersembunyi yaitu wilayah dengan vegetasi yang rapat dan cukup luas . Harimau dapat melewati semak atau hutan yang terganggu namun menghindari daerah luas yang terbuka (Sunarto dan Priatna 2008)

4. Habitat

Harimau sumatra merupakan satwa endemik yang hanya dapat ditemukan di hutan Sumatra secara liar, terutama di hutan-hutan dataran rendah sampai dengan pegunungan. Di Sumatera, harimau sumatra terdapat di hutan hujan dataran rendah hingga pegunungan, dengan ketinggian antara 0 – 3.000 meter di atas permukaan laut dan menghuni berbagai jenis habitat, seperti hutan primer, hutan sekunder, hutan pantai, hutan rawa gambut, hutan tebangan, perkebunan, hingga belukar terbuka (Soehartono et al., 2007).

(19)

Harimau sumatra adalah jenis karnivora besar yang memiliki habitat alami berupa alam bebas, dengan wilayah yang tersedia cukup mangsa dan air serta jauh dari gangguan potensial manusia. Kebutuhan paling penting untuk mendukung aktivitas dan kebutuhan hidupnya adalah adanya mangsa yang cukup, tersedianya air serta tutupan vegetasi yang rapat (Ganesa dan Aunorohim, 2012).

Harimau sumatra merupakan satwa yang cenderung mudah beradaptasi pada berbagai habitat. Namun perkebunan yang berdekatan dengan area hutan atau semak belukar lebih memiliki peluang untuk dijumpainya Harimau sumatra dibandingkan dengan perkebunan yang monokultur terlebih jika perkebunan sawit (Priatna et al., 2012)

Harimau sumatra sangat menyukai area hutan alam sebagai tempat tinggal. Harimau juga menggunakan kelapa sawit hutan tanaman dan akasia.

Beberapa tipe habitat yang dapat ditinggali oleh harimau sumatra (Lestari, 2006) adalah: :

a. Hutan hujan tropik, hutan primer dan hutan sekunder pada dataran rendah sampai dataran tinggi pegunungan, hutan savana, hutan terbuka dan hutan pantai

b. Pantai berlumpur, mangrove, pantai berawa payau dan pantai air tawar c. Padang rumput terutama padang alang-alang

d. Daerah datar sepanjang aliran sungai e. Daerah perkebunan dan tanah pertanian 5. Mangsa

Satwa mangsa merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan harimau pada suatu tipe habitat.Satwa mangsa dengan kelangsungan hidup harimau memiliki kolerasi yang cukup kuat. Semakin tinggi letak geografis habitat hutan semakin kecil variasi vegetasinya yang mempengaruhi kepadatan satwanya (Sumitran et al., 2014). Penentuan daerah jelajah individu harimau juga dapat ditentukan dari keberadaan mangsa. Mamalia seperti Rusa sambar (Cervus sp) dan muntjak (Muntiacus muntjak) merupakan mangsa utama bagi harimau, meskipun hewan mangsa yang lebih kecil juga menjadi pakannya. Harimau berburu 3-6 hari sekali tergantung pada ukuran mangsanya dan dapat mengkonsumsi daging hingga5-6 kg (Seidensticker et al., 1999) Sebagai hewan

(20)

pemangsa utama (top predator), harimau memerlukan wilayah habitat yang luas.

(Dinata dan Sugardjito, 2008) 6. Status dan Ancaman

Populasi harimau setiap tahunnya smengalami penurunan. Menurunnya populasi harimau sumatra disebabkan beberapa faktor yaitu : (1) Habitat yang terdegradasi dan terfragmentasi (2) Berkurangnya mangsa (3) Pembunuhan untuk perdagangan ilegal (4) Penganiayaan akibat serangan terhadap manusia (Nyhus dan Tilson, 2004)

Keberadaan harimau sumatra saat ini sangat terancam dan diperkiran akan terus terancam setiap tahunnya. Harimau sumatra masuk dalam kategori terancam punah pada daftar red list IUCN pada tahun 2008 (Linkie et al., 2008). Harimau sumatra menurun karena tingginya tingkat kehilangan habitat (3,2 - 5,9% /tahun) diantaranya disebabkan oleh perdagangan ilegal bagian tubuh harimau. Dari 1998- 2002 setidaknya 51 harimau per tahun terbunuh, dengan 76% untuk keperluan perdagangan dan 15% dari konflik manusia-harimau (Linkie et al., 2008)

7. Konflik Manusia-Harimau

Beberapa satwa dilindungi yang sering terlibat konflik di lanskap Leuser adalah harimau, gajah, dan orangutan. Dari beberapa tipe kasus yang terjadi ada konflik hanya berupa melintasi di perladangan milik warga sampai dengan memangsa sapi/lembu ternak milik warga. Selama bulan April - Juni 2017, sebanyak 10 kejadian konflik Harimau dengan manusia (Rumapea et al., 2017)

Ketika kebutuhan dan perilaku satwa liar berdampak negatif pada tujuan manusia atau ketika tujuan manusia berdampak negative terhadap kebutuhan satwa lia merupakan penyebab utama terjadinya konflik. Konflik-konflik ini dapat terjadi ketika satwa liar merusak tanaman, melukai atau membunuh hewan peliharaan, mengancam atau membunuh orang-orang (Madden, 2004). Hewan liar, terutama karnivora besar, dapat memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap komunitas manusia yang hidup berdampingan dengan mereka (Dickman, 2008)

(21)

Konflik manusia-harimau (KMH) umumnya dinyatakan dalam tiga bentuk 1) serangan harimau pada manusia, 2) serangan harimau pada ternak dan 3) ancaman terhadap keselamatan manusia dari harimau yang tinggal di dekat tempat tinggal manusia. dan biasanya ketika harimau mulai mengganggu manusia akan terjadi pembalasan oleh masyarakat untuk membunuh harimau dengan meracuni atau serangan fisik dengan senjata atau tombak (Lamichhanne et al., 2017)

Setiap tahun, ternak dan manusia menjadi korban harimau di sumatera.

Petani pada gilirannya meracuni harimau untuk melindungi ternak dan pemburu mereka untuk diambil bagian tubuh harimau dan dijual pada perdagangan illegal (Nyhus et al., 1999 dalam Seidensticker et al., 1999). Selain itu perburuan harimau untuk perdagangan obat sebagai obat tradisional secara luas, hilangnya variabilitas genetik akibat menurunya populasi dan hilangnya habitat karena adanya ekspansi pertanian dan proyek pengembangan menjadi faktor utama lainnya yang mendorong penurunan populasi harimau (Karan dan Smith, 1999 dalam Seidensticker et al., 1999)

Penginderaan jarak Jauh

Remote sensing yang telah dikenal di Amerika Serikat sekitar tahun 1950- an meupakan istilah dan terjemahan dari penginderaan jarak jauh.

Pemnginderaan jarak jauh merupakan hasil seni dan pengukuran untuk mendapatkan informasi suatu objek atau fenomena menggunakan suatu alat perekaman dari satu kejauhan, dimana pengukuran dilakukan tanpa melakukan kontak langsung secara fisik dengan objek atau fenomena yang diamati.

Penginderaan jarak jauh mencakup pengolahan data secara otomatis (komputerisasi) dan manual (interpretasi), analisis citra dan penyajian data yang diperoleh ada dua (Jaya, 2010)

Berdasarkan sifat sumber gelombang elektromagnetik yang digunakan, pengindraan jarak jauh dibedakan menjadi dua yaitu penginderaan jarak jauh pasif dan penginderaan jarak jauh aktif. Pemantauan tutupan lahan dan penggunaan lahan umumnya menggunakan sensor pasif sementara struktur vegetasi dan elevasi permukaan tanah diukur menggunakan sensor aktif (Turner et al., 2003)

(22)

Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sistem yang terdiri atas perangkat lunak (software), perangkat keras (hardware) dan operator (brainware) yang dapat membuat, menggambar, dan menganalisis data geospasial. (Malia, 2013). Data geospasial dapat dibedakan menjadi data grafis (data geometris) dan data atribut (datatematik). Data grafis terdiri atas tiga elemen yaitu: titik (node), garis (arc) dan luasan atau bidang (polygon) dalam bentuk vektor ataupun raster yang mewakili geometri topologi, ukuran, bentuk, posisi data spasial yaitu peta, foto udara, citra satelit, data survei lapangan, dan sebagainya.

SIG mampu mengintegrasikan data dari berbagai sumber sehingga dapat memberikan analisis yang komprehensif. Data yang dapat dianalisis dalam SIG adalah data yang memiliki georeferensi disebut sebagai data geospasial. Analisis data penginderaan jarak jauh menjadi salah satu input bagi analisis SIG. hasil akhir dari analisis SIG dipersentasikan dalam bentuk peta dan data tabular yang menjadi dasar analisis suatu fenomena atau masalah yang dikaji (Latifah et al., 2018)

(23)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2018 hingga Januari 2019 di Wilayah KPH VI, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh dengan data konflik harimau selama 11 tahun terakhir (2006-2017). Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara. Peta Wilayah penelitian disajikan Pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Wilayah Penelitian

Alat dan Bahan yang digunakan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Kamera DSLR (Nikon D3300), Global Positioning system (GPS), Software DNR Garmin, Arc GIS 10.3., Alat tulis, IBM SPSS 22 dan Microsoft excel yang digunakan untuk mengolah data dan membantu memasukkan titik dari GPS sebelum diolah dalam software ArcGIS 10.3

Bahan yang digunakan adalah citra DEM diunduh dari tides.big.go.id/DEMNAS/Sumatera.html. Peta tutupan lahan 2006, 2011, 2017, peta administrasi Kabupaten Aceh Selatan, peta desa, peta Wilayah kerja KPH

(24)

wilayah VI Kabupaten Aceh Selatan, peta jaringan sungai, peta kelerengan, ketinggian, peta kepadatan penduduk dan Peta Fungsi kawasan hutan Aceh SK.103 Menhut-II /2015

Metode Penelitian 1. Pengumpulan Data

Data Primer terdiri atas data sebaran konflik dan hasil pengecekan lapangan (ground check). Data Sekunder terdiri dari data sebaran titik daerah konflik yang diperoleh dari instansi atau lembaga terkait yaitu Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Badan Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah I (BPKH), KPH VI Aceh Selatan, data tutupan lahan tahun 2006, 2011 dan 2017, kuisioner dan wawancara.

Parameter

Parameter digunakan untuk menduga hubungan terjadinya konflik manusia-harimau pada Tabel 1.

Tabel.1 Parameter penentuan wilayah konflik manusia-harimau sumatra

No Parameter Kelas Sumber Data

1.

Tutupan Lahan Pemukiman Pertanian/Ladang Semak Belukar Lahan terbuka Hutan Badan Air

1. kondisi tutupan lahan tahun 2006, 2011 dan 2017

2. BPKH Wilayah I Medan 3. Observasi Lapangan 4. Wawancara

2.

Sumber Air (Jarak Sungai Kelokasi konflik)

0-400 m 400-800 m 800-1200 m 1200-1600 m

>1600 m

1. Pengambilan titik denga GPS

2. Penghitungan jarak dengan ArcGIS 10.3 3. Website Geospasial Untuk Negeri

3.

Kemiringan/

kelerengan

0-8 % 8-15 % 15 – 25 % 25 – 40 %

> 40 %

1. Pembuatan kelerengan dari citra DEM 2. DEMNAS Web http://tides.big.go.id/

4.

Ketinggian 0-600 600-1200 1200-1800 1800-2500 2500

1. Pembuatan ketinggian dari citra DEM DEMNAS Web http://tides.big.go.id/

5.

Kepadatan penduduk

11-24 25-48 49-121 122-221 222-298

1. Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Selatan

Sumber: (Dinata dan Sugardjjito, 2008; Nyhus, 2004; Sunarto et al., 2012;

Rudyansyah, 2007)

(25)

2. Pengamatan Data Lapangan (Ground Check)

Pengamatan data lapang dilakukan untuk memastikan data yang diperoleh sebelumnya sesuai dengan keadaan yang terjadi di lokasi penelitian. Kegiatan ini berfungsi untuk melengkapi kebutuhan data penelitian. Pada tahap ini dilakukan pengamatan kondisi lapangan dan wawancara dengan masyarakat untuk mengetahui informasi kejadian dan persepsi masyarakat mengenai konflik.

3. Pengolahan Data

1) Pembuatan peta distribusi Konflik

Pengecekan lapangan dilakukan untuk mendapatkan data kondisi yang sebenarnya adalah sebagai berikut:

a. Menandai wilayah desa yang pernah mengalami konflik manusia-harimau menggunakan Global Positioning system (GPS). Dalam penelitian ini dilakukan pengecekan sebagai contoh di lima kecamatan dan desa.

b. Mengolah data dari GPS dan data sebaran konflik yang telah didapat menggunakan ArcGIS 10.3

2) Peta Tutupan Lahan

Peta tutupan lahan digunakan untuk melihat kondisi biofisik permukaan bumi. Penutupan lahan mendeskripsikan keadaan atau kondisi permukaan lahan (Land surface) seperti lahan pertanian (cropland) pegunungan dan hutan

3) Pembuatan Peta Berdasarkan Tingkat Kepadatan Penduduk

Peta berdasarkan tingkat kepadatan penduduk dibuat dari peta administrasi desa dengan tingkat kepadatan penduduk sebagai atributnya. Informasi tingkat kepadatan penduduk diperoleh melalui Badan Pusat Statistik (BPS).

Identifikasi ancaman dilakukan berdasarkan kondisi interaksi antara manusia dan harimau. Harimau Sumatra cenderung menjauhi keberadaan manusia. Harimau cenderung mendiami wilayah yang memiliki tingkat gangguan manusia yang rendah (Sunarto et al., 2012)

4) Peta Ketinggian dan Kemiringan

Pembuatan peta ketinggian dan kemiringan dibuat dengan menggunakan ArcGis 10.3. Ketinggian letak geografi dapat digunakan sebagai indikator ekologi

(26)

(Dinata dan Sugardjito, 2008). Pembagian kelas kelerengan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi Lereng

Kelas Kemiringan Lereng (%) Keterangan

I 0-8 Datar

II 8-15 Landai

III 15-25 Bergelombang

IV 25-40 Curam

V >40 Sangat curam

Sumber : (Siregar et al., 2014)

Ketersediaan satwa mangsa berhubungan dengan faktor ketinggian dan kelerengan, semakin tinggi suatu kawasan hutan maka diperkirakan semakin sedikit satwa mangsa harimau (Soehartono et al., 2007). Peta kontur, ketinggian dan kemiringan dihasilkan dari peta DEM yang diunduh melalui tides.big.go.id/DEMNAS/Sumatera.html.

5) Penentuan Jarak Ke sungai

Fasilitas buffer digunakan dalam penentuan jarak, dilakukan pada obyek tersebut yang hasilnya merupakan shapefile (feature) atau obyek grafis. Pada buffer kita dapat menentukan jarak yang kita inginkan. Buffer biasanya digunakan untuk mewakili suatu jangkauan pelayanan ataupun luasan yang diasumsikan dengan jarak tertentu untuk suatu kepentingan analisis spasial.

4. Responden

Responden yang akan diambil adalah masyarakat desa yang pernah mengalami konflik. Responden yang digunakan adalah penduduk desa yang berdomisili di beberapa kecamatan di Kabupaten Aceh Selatan. Teknik pengambilan sampel responden adalah purposive sampling yaitu hanya pada responden yang mengalami dampak KMH

5. Analisis Kepadatan Konflik

Analisis kepadatan konflik dilakukan dengan menggunakan tools kernel density untuk jenis feature point. Analisis ini digunakan untuk melihat daerah dengan tingkat kepadatan dan konsentrasi konflik. Permukaan padat menunjukkan tempat fitur titik terkonsentrasi. Selain itu fitur ini dapat digunakan untuk menemukan dan menentukan kepadatan rumah, laporan kejahatan, jalan atau jalur utilitas yang mempengaruhi kota atau habitat satwa liar.

(27)

6. Analisis Data

Titik sebaran konflik dianalisis dengan variabel yang meliputi, ketinggian, kelerengan, jarak dari sungai, Tutupan lahan dan berdasarkan tingkat kepadatan penduduk. Data yang terkumpul dianalisis dengan cara :

1) Analisis deskriptif.

Hasil analisis ini dilakukan dengan mendeskripsikan keterkaitan antara faktor penyebab konflik dengan intensitas konflik berdasarkan data sebaran konflik yang dioverlaykan dengan peta yang menjadi parameter, secara langsung berdasarkan titik sebaran yang terlihat.

2) Analisis Komponen Utama / Principal Component Analysis (PCA)

Analisis komponen utama digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap intensias konflik (ketinggian, tutupan lahan, kelerengan, jarak dari sungai, dan kepadatan penduduk). Dari hasil PCA ditentukan bobot masing-masing faktor yang mempengaruhi intensitas konflik.

Analisis PCA dilakukan dengan menggunakan aplikasi IBM SPSS 22.

3) Analisis Spasial

Analisis spasial dilakukan dengan metode tumpang susun (overlay), pengkelasan (class) dan pengharkatan (skoring). Nilai kelas rawan konflik dilakukan dengan memberi skor pada setiap parameter yang digunakan kemudian dilakukan proses tumpang tindih (overlay) terhadap masing-masing variabel yang digunakan. Kelas dengan kejadian konflik terbanyak diberi nilai skor tertinggi dan seterusnya. Selang kelas kerawan konflik dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Selang Kelas Kerawanan Konflik Harimau

Kelas Kerawanan Konflik Rumus

Sangat Rendah Min Sampai (Mean – 1.5Std)

Rendah (Mean – 1.5 Std) Sampai (Mean - 0.5Std) Sedang (0.5 Mean - Std) Sampai (Mean + 0.5Std ).

Tinggi (mean + 0.5Std) Sampai (Mean + 1.5 Std)

Sangat Tinggi (Mean + 1.5) Std sampai Max

Sumber : (Prasetyo et al., 2017) dimodifikasi

Keterangan :

Min : Nilai terendah Max : Nilai tertinggi

Mean : Nilai rata-rata yang dihasilkan dari proses overlay Std : Nilai standar deviasi yang dihasilkan dari proses overlay

(28)

7. Validasi Data

Validasi dilakukan untuk mengetahui tingkat kepercayaan terhadap model yang dibangun. Sebanyak 70% (52 titik) digunakan untuk membangun model dan 30% (21 titik) akan digunakan untuk uji validasi model. Validasi dilakukan dengan melihat ketepatan titik konflik berada pada lokasi yang sesuai dengan peta rawan yang dibangun berdasarkan model.

8. Kuisioner dan wawancara

Pembuatan kuisioner dilakukan berdasarkan KMH yang pernah dialami masyarakat seperti pengetahuan, perilaku, permasalahan dan tindakan yang pernah masyarakat lakukan dalam mencegah dan menangani konflik. Wawancara dilakukan untuk memenuhi kebutuhan data secara detail mengenai kronologis konflik yang terjadi.

Wawancara terhadap masyarakat dilakukan di lima desa pada lima kecamatan Samadua, Sawang, Pasie Raja, Tapak Tuan dan Kluet Selatan di Kabupaten Aceh Selatan yang merupakan lokasi kejadian konflik. Informasi dan identifikasi diperlukan untuk melihat dan mendapatkan gambaran secara langsung bagaimana kondisi dan situasi konflik antara harimau dengan masyarakat.

Wawancara dilakukan dengan masyarakat serta tokoh masyarakat setempat yang telah mengalami kejadian dan bertempat tinggal disekitar lokasi konflik.

(29)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Informasi Identifikasi dan Persepsi Masyarakat Mengenai Konflik Harimau Sumatra dengan Masyarakat

Berdasarkan hasil observasi di lapangan dan wawancara dengan masyarakat, diperoleh informasi penyebab harimau memasuki kawasan pemukiman masyarakat yang disajikan pada Tabel 4.

Tabel. 4 Rekapitulasi penyebab konflik menurut masyarakat

No Penyebab Konflik Populasi (N) Persentase (%) 1. Semakin luasnya lahan kebun dan

ladang 3 4,29

2. Jarak pemukiman dan ladang masyarakat berdekatan dengan hutan

11 15,72

3. Kurangnya jumlah pakan di hutan 34 48,58 4. Musim berbuah (terutama durian) 8 11,42 5. Sungai/badan air yang dekat

dengan desa 2 2,85

6. Harimau turun untuk melahirkan 6 8,57

7. Masyarakat memasuki hutan 6 8,57

Kawasan pedesaan yang berjarak dekat dengan hutan membuat masyarakat mengetahui tentang keberadaan harimau sumatra. berdasarkan hasil wawancara, masyarakat yang pernah bertemu dengan harimau secara langsung sedikit. Masyarakat kebanyakan hanya melihat tanda dari keberadaan harimau seperti jejak dan cakaran. Masyarakat biasanya menemukan jejak harimau pada masa panen dan berbuah seperti pinang, pala dan durian. Menurut masyarakat harimau akan ikut menunggu saat musim berbuah hingga saat masa panen.

Menurut masyarakat harimau cenderung menyukai buah durian. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ridley (1894) dalam Nakashima et al., (2008) bahwa harimau gemar memakan durian dan menjadi salah satu satwa penebar benih durian. Harimau akan mucul menjelang siang hari dan menjelang malam.

Masyarakat menganggap bahwa harimau merupakan penjaga hutan dan menghormati keberadaaannya sejak zaman dulu. Menurut masyarakat intensitas konflik dengan harimau yang terjadi cenderung menurun beberapa tahun terakhir . Masyarakat telah melakukan berbagai upaya untuk meminimalisir dan menghalau kedatangan harimau ke wilayah pemukimanan maupun ladang mereka.

(30)

Beberapa upaya yang dilakukan masyarakat untuk menghalau dan mencegah kedatangan harimau disajikan dalam tabel 5.

Tabel 5. Rekapitulasi upaya masyarakat dalam mengurangi konflik

No Upaya mitigasi Populasi (N) Persentase (%)

1. Membawa obor,Lampu senter dan

menyalakan api 6 8,57

2. Membuat suara berisik 7 10

3. Membuat pagar pada ladang atau

kebun 8 11,41

4. Melaporkan keberadaan harimau 8 11,41 5. Memindahkan harimau ketempat

lain yang lebih sesuai 16 22,86

6. Dibiarkan dan diusir saja 36 51,41

Masyarakat biasanya akan mengusir harimau dengan menggunakan obor dan senter untuk membuat harimau takut. Membuat suara berisik seperti memukul benda-benda besar dan membuat mercun sederhana juga terkadang dilakukan oleh masyarakat untuk mengusir harimau memasuki ladang mereka.

Karakteristik Wilayah Rawan Konflik Manusia-Harimau

karakteristik wilayah rawan konflik harimau yang dipetakan meliputi ketinggian, kelerengan, jarak dari sungai, tutupan lahan dan kepadatan penduduk yang diberi skor kemudian ditumpang tindihkan (overlay) sehingga menghasilkan peta daerah rawan konflik harimau dengan manusia.

1. Tutupan Lahan

Luas seluruh daerah penelitian adalah 419.251 ha yang meliputi wilayah Taman Nasional Gunung Leuser yaitu Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Kluet Utara dan kawasan hutan lindung yang merupakan wilayah kerja KPH VI Kabupaten Aceh Selatan. Luas tipe penutupan lahan masing-masing lokasi konflik harimau berjumlah 73 titik disajikan pada Tabel 4.

Tipe penutupan lahan yang terluas adalah hutan kemudian belukar dan pertanian. Sebagian besar wilayah Kabupaten Aceh Selatan didominasi oleh hutan yang menjadi habitat harimau seperti yang ditulis dalam sunarto et al., (2012) bahwa untuk berkembang, harimau bergantung pada keberadaan blok hutan besar Dimana blok hutan besar ini dapat mendukung kualitas hidupnya dalam penyediaan mangsa dan ruang jelajah. Karena keberadaan hutan sangat penting dan hutan merupakan bagian dari penututupan lahan sehingga penutupan lahan

(31)

merupakan hal penting sebagai parameter fisik yang dapat berpengaruh terhadap keberadaan harimau. Perlu diketahui tipe penutupan lahan dan perubahan lahan untuk melihat pengaruhnya terhadap intensitas konflik. Perubahan luasan tutupan lahan dapat dilihat dalam grafik yang disajikan pada Gambar 2.

Grafik pada Gambar 2 menunjukkan perubahan pada beberapa tipe tutupan lahan. Perubahan luasan yang paing mencolok terjadi pada pertanian, hutan, pemukiman dan belukar. Hutan sekunder berubah menjadi belukar dan sebagian besar menjadi hutan primer. Belukar dan pertanian memiliki intensitas konflik terbanyak setelah sawah. Belukar dan sawah sebagian besar berada diantara tepian hutan yang menjadi kawasan peralihan dengan kawasan pertanian masyarakat. Titik konflik dalam kurun waktu 2011-2017 berkurang signifikan hingga 20 titik konflik. Penurunan intensitas konflik ini diikuti penambahan luas hutan primer dan pengurangan lahan terbuka. Perubahan hutan sekunder menjadi hutan primer merupakan perubahan yang terbanyak terjadi selain pemukiman.

Penambahan luasan hutan primer yang semakin bertambah mendukung kualitas habitat yang lebih baik bagi harimau. Penambahan wilayah pemukiman terjadi cukup banyak yaitu 5.433 Ha. Selain penambahan luasan hutan primer dan pemukiman , luas lahan terbuka juga semakin berkurang dari 4.085 Ha menjadi 1.657 Ha.

Gambar 3 menunjukkan perubahan penutupan lahan dari tahun 2006 hingga 2017. Semakin mendekati tahun 2017 intensitas konflik yang terjadi semakin berkurang. Penambahan luasan hutan primer yang merupakan hutan sekunder pada tahun 2006 mengalami perubahan hingga tahun 2017 yaitu seluas 47.728 Ha. Hutan lahan kering primer menjadi sekunder berubah sedikit dibandingkan tahun 2011-2017. Analisis perubahan tutupan lahan tahun 2006- 2017 disajikan pada Lampiran 3, 4 dan 5 . Pada tahun 2006-2011 terjadi kekosongan lahan dari belukar menjadi lahan terbuka. Jumlah luasan pemukiman tidak banyak bertambah. Terjadi juga perubahan hutan lahan kering sekunder menjadi lahan pertanian, tanah terbuka dan belukar. Intensitas konflik yang terjadi selama kurun waktu 2006 hingga 2017 sebanyak 73 titik konflik dengan tipe penutupan lahan yang disajikan pada Tabel 6.

(32)

Gambar. 2 Grafik Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2006-2017

0 50000 100000 150000 200000 250000 300000 350000 400000 450000

2006 2011 2017

Lahan Terbuka Sawah Rawa

Pertanian Lahan Kering Campur

Pertanian Lahan Kering Perkebunan

Pemukiman

Hutan Rawa Sekunder Hutan Rawa Primer Hutan Lahan Kering Sekunder

Hutan Lahan Kering Primer

Belukar Rawa Belukar

(33)

Tabel 6. Tipe Penutupan Lahan di Lokasi Penelitian

No Penutupan Lahan Luas (Ha) Jumlah Titik

Konflik

Persentase Konflik (%)

2006 (%) 2011 (%) 2017 (%)

1 Badan Air 1.191 0,30 1.191 0,30 1.422 0,34 3 4,11

2 Belukar 27.944 6,67 30.387 7,24 42.641 10,17 18 24,66

3 Belukar Rawa 17.354 4,14 19.339 4,61 16.786 4,00 1 1,37

4 Hutan Lahan Kering

Primer 12.834 30,61 128.344 30,61 171.574 40,92 - -

5 Hutan Lahan Kering

Sekunder 11.111 26,50 10.821 25,81 61.629 14,69 1 1,37

6 Hutan Rawa Primer 8.543 2,04 8.543 2,03 10.746 2,56 - -

7 Hutan Rawa Sekunder 61.240 15 57.302 13,66 51.473 12,27 - -

8 Pemukiman 760 0,18 760 0,18 5.435 1,29 16 21,92

9 Perkebunan 7.694 1,84 7.694 1,83 8.827 2.10 1 1,37

10 Pertanian Lahan Kering 17.455 4,16 17.494 4,17 16.411 3,91 9 12,33

11 Pertanian Lahan Kering

Campur 5.520 1,32 5.791 1,38 14.949 3.56 2 2,74

12 Rawa 40 0,01 40 0,01 78 0,01 - -

13 Sawah 30.049 7,2 30.049 7,16 14.521 3.46 20 27,40

14 Tambak 7 0.002 7 0,002 7 0.002 - -

15 Tanah Terbuka 1.991 0,47 4.085 0,97 2.470 0.58 2 2,73

16 Bandata/Pelabuhan 7 0.002 7 0,002 11 0.002 - -

(34)

Gambar. 3 Peta Perubahan Tutupan Lahan Kabupaten Aceh Selatan

(35)

Gambar 4. Peta Sebaran Konflik Berdasarkan Kelas Penutupan Lahan

(36)

Konflik harimau terbanyak berada pada lokasi dengan tipe penutupan lahan Sawah yaitu sebanyak 20 titik kemudian pada tipe penutupan lahan belukar sebanyak 18 titik dan terbanyak ketiga adalah pada Pemukiman yaitu 8 titik (Tutupan lahan tahun 2017). Terjadi penuruan konflik yang cukup tinggi selama 11 tahun terakhir.

Gambar 4 menunjukkan bahwa titik konflik terbanyak berada pada tipe tutupan lahan sawah. Hal ini disebabkan karena lokasi sawah masyarakat memiliki jarak yang cukup dekat pada kawasan tepi hutan, kemudian belukar yang merupakan peralihan kawasan hutan ke wilayah pertanian dan persawahan masyarakat serta pemukiman. Dhantwatey (2013) menyatakan bahwa Konflik manusia-karnivora besar cenderung lebih sering terjadi dekat tepi hutan dan kebanyakan serangan terjadi di dalam atau di dekat hutan ke desa. Wilayah kerja KPH yang merupakan hutan lindung menjadi penghubung atau jalan masuk (koridor) bagi harimau sumatra hingga dapat memasuki kawasan pemukiman masyarakat. Perbandingan intensitas konflik berdasarkan luasan hutan disajikan pada Tabel 7

Tabel 7. Perubahan Luas Tutupan Hutan

No Tahun Luas Awal (Ha)

Luas Akhir

(Ha) Luas (ha) Persentase (%)

Jumlah Titik Konflik 1 2006-

2011 302.613 302.408 - 205 0,06 59

2 2011-

2017 302.408 295.474 - 6.934 2,29 14

3 2006-

2017 302.613 295.474 - 7.139 2,35 73

. Ketika terjadi deforesterasi atau pengurangan luasan hutan sekitar 205 Ha dalam kurun waktu 5 tahun pada tahun 2006 hingga 2011 terdapat intensitas konflik yang tinggi yaitu sebanyak 59 kasus konflik. Pada tahun 2011 hingga 2017, terjadi pengurangan luasan hutan seluas 6.934 ha yang diikuti dengan terjadinya penurunan intensitas konflik hingga 14 kasus. Luasan hutan semakin menurun diikuti dengan semakin meningkatnya kawasan pemukiman dan perladangan. Terjadinya penurunan intensitas konflik diantaranya dikarenakan semakin menurunnya populasi harimau. Selain itu terjadi juga peningkatan luasan hutan lahan kering skunder menjadi hutan lahan kering primer yang menunjukkan terjadi peningkatan kualitas hutan yang dapat mendukung kelangsungan hidup

harimau. .

(37)

Gambar 5. Peta Sebaran Konflik Berdasarkan Ketinggian

(38)

Gambar 6. Peta Sebaran Konflik Berdasarkan Kelerengan

(39)

2. Ketinggian

Hasil penghitungan spasial diketahui bahwa ketinggian di lokasi penelitian berkisar antara 0 – 3.197 mdpl. Sebaran konflik menurut kelas ketinggian disajikan dalam Tabel 8.

Tabel 8. Sebaran Titik Konflik Berdasarkan Kelas Ketinggian No Kelas Ketinggian

(mdpl)

Luas (ha)

Jumlah Titik Konflik

Persntase Konflik (%)

1 0 – 600 231.075 67 91,78

2 600 – 1200 70.903 3 4,10

3 1200 – 1800 47.333 3 4,10

4 1800 – 2500 27.138 0 0

5 > 2500 30.582 0 0

Konflik terjadi hanya pada ketinggian 0-1800 m dan tidak terjadi konflik pada ketinggian >1800 m. Titik Konflik terbanyak ditemukan pada ketinggian 0- 600 m yaitu sebanyak 67 kejadian kemudian diikuti ketinggian 600-1200 m sebanyak 3 kejadian dan yang terakhir adalah pada ketinggian 1200-1800 m yaitu sebanyak 3 kejadian. Akitivitas manusia berkurang pada ketinggian >1800. Peta sebaran konflik berdasarkan ketinggian dapat dilihat pada Gambar 5.

Tingginya intensitas konflik pada rentang ketinggian ini dikarenakan satwa mangsa harimau sebagian besar hidup pada ketinggian yang rendah. Dinata dan Sugardjito (2008) mengemukakan bahwa keanekaragaman dan kepadatan hewan mangsa harimau di hutan berada di ketinggian kisaran 100-600 m dpl. Hal ini dipengaruhi oleh faktor vegetasi dan ruang gerak. Dalam Soeharto et al.,(2007) dikatakan bahwa, Semakin tinggi letak geografis habitat hutan semakin kecil variasi vegetasinya yang mempengaruhi pula kepadatan satwanya. Satwa mangsa adalah faktor penting bagi kelangsungan hidup harimau.

3. Kelerengan

Konflik harimau di lokasi penelitian banyak terjadi pada kelas kelerengan 0 – 8% yaitu sebanyak 39 titik, kemudian 8-15% sebanyak 18 konflik dan yang ketiga yaitu 15-25% yaitu sebanyak 7 titik. konflik yang paling banyak terjadi berada pada daerah datar hingga bergelombang dan sedikit di kategori curam dan sangat curam. Kelerengan berpengaruh terhadap satwa mangsa dan keberadaan manusia. Ketika kelerengan semakin curam akan dapat mempengaruhi jenis vegetasi yang ada sehingga menyebabkan pakan atau satwa mangsa harimau turun

(40)

ke wilayah yang lebih landai untuk mencari makanannya. Dickman (2008) menyatakan bahwa satwa-satwa yang menjadi mangsa predator menghindari daerah dengan lereng terjal karena sulit untuk dilalui dan pakan cenderung sedikit Tabel luas dan sebaran titik konflik dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Sebaran Titik Konflik Berdasarkan Kelas Kelerengan No Kelas

Kelerengan (%)

Keterangan Luas (ha)

Jumlah Titik Konflik

Persentase konflik

1 0 – 8 Datar 138.641 39 53,42

2 8 – 15 Landai 21.436 18 24,65

3 15 – 25 Bergelombang 35.017 7 9,58

4 25 – 40 Curam 35.017 3 4,10

5 > 40 Sangat Curam 141.822 6 8,21

Selain faktor vegetasi yang mempengaruhi keberadaan mangsa, terdapat juga faktor yang disebabkan karena adanya aktivitas masarakat seperti pembukaan ladang dan kebun mereka di lahan yang datar sampai dengan bergelombang.

Kelerengan yang sangat terjal dapat membatasi pergerakan satwa sehingga lebih memungkinkan bagi harimau untuk memperoleh mangsa di kelerengan yang lebih landai. Peta sebaran konflik berdasarkan kelerengan dapat dilihat pada Gambar 6.

4. Jarak dari Sungai

Harimau menyukai habitat yang memiliki sumber air untuk minum dan berburu mangsa. Sunarto dan Priatna (2008) mengemukakan bahwa harimau kebanyakan memilih daerah dekat sungai salah satunya sebagai wilayah jelajah, tempat penyergapan mangsa dan merupakan salah satu dari karakteristik habitatnya. Tabel sebaran konflik berdasarkan jarak sungai disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Sebaran Titik Konflik Berdasarkan Jarak dari Sungai No Kelas (m) Luas (ha) Jumlah Titik

Konflik

Persentase Konflik

1 0 – 400 211.627 38 52,05

2 400 – 800 91.762 13 17,80

3 800 – 1200 40.036 10 13,69

4 1200 – 1600 22.587 4 5,47

5 > 1600 53.692 8 10,95

(41)

Gambar 7. Peta Sebaran Konflik Berdsarkan Jarak lokasi konflik ke sungai

(42)

Berdasarkan jarak dari sungai, konflik harimau di lokasi penelitian banyak terjadi pada jarak 0 – 400 m yaitu sebanyak 38 titik. Semakin dekat jarak sungai maka akan semakin rentan konflik terjadi karena sebagian besar konflik yang tejadi berjarak dekat dengan sungai. Harimau biasanya membawa buruannya untuk disantap disekitar aliran sungai. Selain itu lokasi aliran sungai kebanyakan berdekatan dengan kawasan pemukiman masyarakat sehingga menaikkan peluang terjadinya konflik dengan masyarakat. Peta sebaran konflik berdasarkan jarak ke sungai dapat dilihat pada Gambar 7. Hewan mangsa harimau biasanya berkumpul pada tempat-tempat sumber pakan yang melimpah. Daerah pinggiran alur sungai merupakan lahan yang sangat subur untuk jenis-jenis vegetasi yang merupakan sumber pakan hewan mangsa. Jarak dari sungai merupakan faktor penting pada tingkat perjumpaan dengan harimau yang dapat menyebabkan peluang terjadinya konflik semakin besar jika sungai berdekatan dengan kawasan masyarakat (Dinata dan Sugardjito 2008)

5. Kepadatan Penduduk

Titik lokasi konflik harimau pada kelas kepadatan penduduk cukup bervariasi. Konflik harimau di lokasi penelitian terjadi pada daerah dengan kepadatan penduduk 11 – 24 jiwa/km2 berjumlah 6 titik. Titik terbanyak yaitu pada daerah dengan kepadatan penduduk 25 – 48 jiwa/km2 berjumlah 20 titik, pada daerah kepadatan penduduk 49 -121 berjumlah 18 titik, pada daerah kepadatan penduduk 122 – 221 berjumlah 17 titik. Sebaran konflik berdasarkan kepadatan penduduk dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Sebaran Titik Konflik Berdasarkan Kepadatan Penduduk No Kelas (jiwa/km2) Luas

(ha)

Jumlah Titik Konflik

Persentase Konflik (%)

1 11-24 178.609 6 8,21

2 25-48 86.176 20 27,39

3 49-121 83.828 18 24,65

4 122-221 55.659 17 23,28

5 222-298 15.429 12 16,43

Harimau cenderung menjauhi wilayah dengan kepadatan penduduk yang relatif tinggi, mereka lebih suka menghindari dan menjauh dari manusia. Menurut (Anand dan Radhakrishna, 2017) Peningkatan intensitas konflik manusia dengan satwa liar telah dikaitkan dengan sejumlah faktor-faktor, seperti ekspansi aktivitas

(43)

manusia ke habitat satwa liar. Semakin padat penduduk di sekitar lokasi konflik yang berdekatan dengan sekitar hutan menyebabkan semakin banyaknya peluang aktivitas manusia di sekitar hutan. Peta sebaran konflik manusia - harimau berdasarkan kelas kepadatan penduduk dapat dilihat pada Gambar 8.

Titik konflik yang paling banyak terjadi berada pada titik konflik dengan kelas kepadatan penduduk 25 – 48 jiwa/km2. Hal ini disebabkan karena perbedaan posisi lokasi kejadian konflik. Sebagian besar wilayah dengan penduduk tinggi berada pada kawasan yang cukup jauh dari kawasan hutan. Sebaliknya kawasan yang berpenduduk lebih rendah, beberapa berada pada kawasan yang dekat dengan kawasan hutan dan memiliki aktivitas di lading dan kebun lebih tinggi.

Kelas Kepadatan Konflik

Peta kepadatan konflik dibuat menggunakan tools Kernel density pada Arcgis 10.3. Peta kepadatan konflik menunjukkan konsentrasi konflik dalam satu wilayah yang pernah terjadi konflik terjadi serta daerah sekitar yang merupakan daerah yang dianggap rawan. Kelas tingkat kepadatan konflik dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Kelas Kepadatan Konflik

No Kelas Luas (ha) Persentase Luas (%) Konsentrasi Konflik 1 Sangat Rendah 340.971 81,29 <20%

2 Rendah 36.802 8,77 40%

3 Sedang 23.302 5,55 60%

4 Tinggi 10.965 2,61 80%

5 Sangat tinggi 7.388 1,76 >80%

Berdasarkan Gambar 9, dapat dilihat bahwa daerah dengan kelas kepadatan sangat tinggi memiliki konsentrasi kepadatan sebesar >80%. Daerah ini sangat rawan terjadi konflik. Sekitar 1.76% dari seluruh luas kawasan merupakan daerah yang sangat rawan. Pada kelas tinggi konsentrasi rawannya konflik sebesar 80% denga luas 8.77% dari total luas seluruh kawasan, daerah sedang dengan konsentrasi konflik yaitu sebesar 60%, kelas rendah sebesar 40 %, dan terakhir daerah dengan kelas kepadatan konflik sangat rendah yaitu <20%

dan mencakup daerah terluas yaitu 81.29% dari total keseluruhan luas kawasan.

(44)

Gambar 8. Peta Sebaran Konflik Berdasarkan Kepadatan penduduk

(45)

Gambar 9. Peta Sebaran Konflik Berdasarkan Kepadatan konflik

Referensi

Dokumen terkait

Catatan persediaan beisi data tentang lead time, ukuran lot (lot size), persediaan pengaman (safety stock), dan catatan – catatan penting lainnya dari semua item. 3)

Produk yang akan dihasilkan dalam usaha ini adalah makanan ringan berupa dawet yang dibuat dengan memanfaatkan Jagung, yang digunakan untuk mengoptimalkan pemanfaatan Jagung..

Perbandingan Unsur Hara Nitrogen dan Fosfor Tanah Terhadap Jenis Keanekaragaman Mangrove di Muara Sungai Gunung Anyar Surabaya dan Bancaran Bangkalan.. Dosen Pembimbing Boedi

302 SJD204 Historiografi Indonesia A SJT309 Sejarah Militer Indonesia A LII304 Analisis Wacana C BUK203 Pengantar Kajian Budaya Urban L-2 PHB102 Pengantar Filsafat dan.

Berorientasi Objek Ismi Amalia, S.Si., M.Kom.. Said

(2) Permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi atas SKPD, SKPDKB, SKPDKBT dan STPD sebagaimana

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam proyek CCDP – IFAD adalah faktor pendidikan, pekerjaan sampingan,

Zainoel Abidin (RSUDZA) perlu membuat perencanaan di bidang proteksi kebakaran untuk mengantisipasi berbagai hal yang tidak diinginkan.penilaian dari kelengkapan