ANALISIS INTERAKSI FISKAL DAN MONETER TERHADAP
PRODUK DOMESTIK BRUTO INDONESIA
TESIS
Oleh
UMI KHALSUM
087018036/EP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
SE
K O L A
H
P A
S C
A S A R JA
ANALISIS INTERAKSI FISKAL DAN MONETER TERHADAP
PRODUK DOMESTIK BRUTO INDONESIA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
UMI KHALSUM
087018036/EP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS INTERAKSI FISKAL DAN MONETER TERHADAP PRODUK DOMESTIK BRUTO INDONESIA
Nama Mahasiswa : Umi Khalsum
Nomor Pokok : 087018036
Program Studi : Ekonomi Pembangunan
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
(Dr. Jonni Manurung, M.S) Ketua
(Dr. Murni Daulay, S.E, M.Si) Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, S.E, M.Ec)
Direktur
Telah diuji pada
Tanggal : 18 Pebruari 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Jonni Manurung, M.S
Anggota : 1. Dr. Murni Daulay, S.E, M.Si
2. Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, SE, M.Ec
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul:
“ANALISIS INTERAKSI FISKAL DAN MONETER TERHADAP PRODUK
DOMESTIK BRUTO INDONESIA”.
Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan oleh siapapun
sebelumnya. Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara
benar dan jelas.
Medan, Pebruari 2011 Yang membuat pernyataan
Umi Khalsum 087018036/EP
ANALISIS INTERAKSI FISKAL DAN MONETER TERHADAP PRODUK DOMESTIK BRUTO INDONESIA
Umi Khalsum, Dr. Joni Manurung, MS, dan Dr. Murni Daulay, SE, M.Si
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan simultanitas antara interaksi fiskal dan moneter terhadap Produk Domestik Bruto riil Indonesia. Penelitian ini menganalisis pengaruh surat berharga pasar uang terhadap Produk Domestik Bruto riil. Penelitian ini juga ingin menganalisis pengaruh surat berharga pasar uang, tabungan pemerintah atau selisih penerimaan pajak atas konsumsi pemerintah sebagai alat fiskal dan nilai tukar terhadap Produk Domestik Bruto riil. Pengaruh Produk Domestik Bruto riil, indeks harga konsumen,uang beredar dalam arti sempit sebagai alat moneter terhadap surat berharga pasar uang selama kurun waktu periode penelitian 1980-2009 di Indonesia.
Metode analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan simultanitas adalah
2SLS (Two Stage least Square). Dan kaidah identifikasinya menunjukkan bahwa kondisi
pada persamaan simultan mengalami overidentified. Sehingga memungkinkan untuk
menggunakan metode 2SLS.
Berdasarkan hasil estimasi metode 2SLS (Two Stage Least Square) pada persamaan Produk Domestik Bruto menunjukkan bahwa surat berharga pasar uang berpengaruh negatif dan signifikan, tabungan pemerintah berpengaruh positif dan signifikan dengan
tingkat kepercayaan α = 1 persen terhadap Produk Domestik Bruto, Produk Domestik
Bruto, uang beredar dalam arti sempit tahun sebelumnya berpengaruh positif dan negatif
dan signifikan dengan α = 1 persen terhadap surat berharga pasar uang. Indeks harga
konsumen dengan α = 5 persen berpengaruh positif dan signifikan.
Kata Kunci : Fiskal, Moneter, Produk Domestik Bruto, 2SLS (Two Stage Least Square).
Umi Khalsum, Dr. Joni Manurung, MS, and Dr. Murni Daulay, SE, M.Si
ABSTRACT
This study aims to determine whether there is simultaneous relationship between fiscal and monetary interaction upon real Gross Domestic Product of Indonesia. This study analyzes the influence of money market securities, saving, or tax excess revenue on government consumption as a mean of fiscal and exchange rate upon Gross Domestic Product. Influence of real Gross Domestic Product, consumer price index, money supply in a narrow sense act as monetary mean against money market securities for the period of 1980-2009 in Indonesia.
To analyze the data 2 SLS (Two Stage Least Square) method is applied, due to overidentified condition found on the simultaneous equation.
The result show that money market securities has significant and negative influence
upon real Gross domestic Product, government saving has significant and positive
influence where confidence level α = 1 %. GDP in a narrow sense, money supply on the
previous year has positive, negative and significant influence where α = 1 % upon money
market securities. Consumer price index with α = 5 % has positive and significant
influence.
Keywords : Fiscal, Monetary and Gross Domestic Product 2SLS (Two Stage Least Square).
Segala puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat
dan hidayah kepada penulis, sehingga penulis dapat mengerjakan dan menyelesaikan tesis
ini yang berjudul “Analisis Interaksi Fiskal dan Moneter Terhadap Produk Domestik
Bruto Indonesia” sebagai tugas akhir pada Program Studi Ekonomi Pembangunan,
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih yang tulus dan sebanyak-banyaknya kepada semua pihak yang
telah memberikan bimbingan, dukungan, dan bantuan selama proses penyelesaian tesis ini.
Secara khusus, penulis haturkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan sehingga bisa
mengikuti dan menyelesaikan program pendidikan Magister.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh staf pengajar dan pegawai, khususnya pada
Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara, yang telah memberikan pengajaran dan bimbingan selama proses perkuliahan
hingga penulis mampu menyelesaikan studi ini.
3. Bapak Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, S.E, M.Ec, selaku Ketua Program Studi Ekonomi
Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai
Penguji pada sidang tesis yang telah membimbing dengan arif dan bijaksana serta
mengarahkan kami sehingga mampu menyelesaikan pendidikan pada Program Studi
Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. Jonni Manurung, MS selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak
membimbing selama penyelesaian tesis ini dan memberi masukan serta pelajaran yang
berharga kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini, sehingga penulis dapat
menyelesaikan dengan sebaik-baiknya.
5. Ibu Dr. Murni Daulay, SE, M.Si, selaku Dosen Pembimbing II yang telah membantu
membimbing serta mengarahkan dan memberikan pelajaran yang sangat berharga
kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan sebaik-baiknya.
saran, motivasi dan dukungan moril sehingga penulis dapat semangat menyelesaikan
tesis ini dengan baik.
7. Bapak Prof. Dr. Ramli, S.E, MS, selaku Dosen Penguji yang telah membantu penulis,
memberikan kritik dan saran untuk menambah pengetahuan penulis dalam
memperbaiki tesis sebaik-baiknya.
8. Seluruh Dosen dan Staf pada Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
9. Bapak dr. Sofyan Tan, selaku Ketua Dewan Pembina pada Yayasan Perguruan Sultan
Iskandar Muda yang telah banyak membantu penulis dengan dukungan materil dan
moril selama penulis melakukan studi pada Program Studi Ekonomi Pembangunan
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
10.Ibu Finche, S.E, M.Psi, selaku Ketua Yayasan pada Perguruan Sultan Iskandar Muda
yang telah banyak membantu penulis dengan dukungan materil dan motivasi selama
penulis melakukan studi pada Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
11.Kedua orang tuaku tercinta Ayahanda T. Sirait (Alm) dan Ibunda T. Manurung yang
telah memberikan kasih sayangnya serta dukungan moril dan materil sehingga penulis
dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik serta buat adik-adikku tersayang Rahmadi,
Evi, Maimunah, Anisyah, Damayanti, M. Rusli, Fauziah serta seluruh keponakan atas
dukungan dan doa yang telah mereka berikan kepada penulis.
12.Buat orang yang paling spesial Bang Harun yang telah memberikan dukungan,
pengertian serta bantuan dan semangat buat penulis sehingga penulis dapat terus
termotivasi dalam mengerjakan tesis ini.
13.Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara angkatan 15 yang telah sama-sama berjuang dengan
penulis, dalam menyelesaikan studi dan telah memberikan banyak bantuan, motivasi,
dan dukungan yang luar biasa.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis
limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis dan semua pihak yang telah memberikan
bantuannya selama ini.
Medan, Pebruari 2011
Penulis,
Umi Khalsum
RIWAYAT HIDUP
Nama : Umi Khalsum
Tempat dan Tanggal Lahir : Medan, 23 juli 1967
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Pekerjaan : YP. Sultan Iskandar Muda dan POLMED
Nama Orang Tua
Ayah : T. Sirait (Alm)
Ibu : T. Manurung
Alamat Rumah : Jln. Abd. Hamid Gg Tali No 16 B Medan 20118
Pendidikan
1. Tahun 1975-1981 : SD Negeri 111 Medan
2. Tahun 1981-1983 : SMP Negeri 17 Medan
3. Tahun 1983-1986 : SMU Negeri 4 Medan
4. Tahun 1986-1991 : Universitas Medan Area
Fakultas Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan
5. Tahun 2008-2011 : Sekolah Pascasarjana Program Studi Ekonomi
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 8
1.3. Tujuan Penelitian ... 9
1.4. Manfaat Penelitian ... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1. Pendapatan Nasional ……….. 11
2.2. Model IS – LM sederhana ... 12
2.2.1. Model IS ... 12
2.2.2. Model LM ... ... 16
2.3. Kebijakan Fiskal ...……….. 18
2.4. Kebijakan Moneter ……….. 19
2.5. Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter ... 20
2.6. Penelitian Terdahulu ... 22
2.7. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Penelitian ... 26
BAB III METODE PENELITIAN ... 29
3.3. Uji Asumsi ... 30
3.3.1. Uji Normalitas, Multikolinearitas dan Autokorelasi ... 30
3.3.2. Uji Unit Root Test ... 32
3.3.3. Uji Kointegrasi ... 34
3.4. Metode Analisis Data ... 35
3.5. Definisi Operasional ……….. 38
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 39
4.1. Kondisi Perekonomian Indonesia ……… 39
4.1.1. Perkembangan Produk Domestik Bruto Riil ……… 40
4.1.2. Perkembangan Suku Bunga Pasar Uang ……….. 42
4.1.3. Jumlah Uang Beredar………... 45
4.1.4. Konsumsi Pemerintah ………... 48
4.1.5. Indeks Harga Konsumen ………... 50
4.1.6. Perkembangan Penerimaan Pajak di Indonesia ….……….. 52
4.2. Hasil Uji Akar-Akar Unit (Uji Stasioner)…………... 54
4.3. Uji Kointegrasi …….……… 55
4.4. Analisis Data Penelitian ………... 57
4.5. Pembahasan ………... 60
4.5.1. Produk Domestik Bruto ………. 60
4.5.2. Suku Bunga Pasar Uang ………. 61
4.5.3. Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter ……….... 62
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……… 66
5.1. Kesimpulan ………. ………... 66
5.2. Saran………... 67
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1 Hasil Identifikasi Kondisi Order... 37
4.1 Perkembangan PDB Riil Indonesia ... 42
4.2 Perkembangan Suku Bunga Pasar Uang (SBPU)... ... 43
4.3 Perkembangan Jumlah Uang Beredar (M1) ... 46
4.4 Perkembangan Konsumsi Pemerintah di Indonesia... 49
4.5 Perkembangan Indeks Harga Konsumen (IHK) ... 51
4.6 Perkembangan Penerimaan Pajak di Indonesia ... ... 54
4.7 Uji Akar-akar Unit (Uji Stasioneritas) pada Tingkat Level/1st D/2nd D ... 55
4.8 Hasil Estimasi Uji Kointegrasi... 56
4.9 Hasil Estimasi Two Stage Least Square ... 58
4.10 Matrix Korelasi dan VIP Antar Variabel Bebas .………. 59
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1 Fungsi Investasi... ... 13
2.2 Peningkatan Pajak, Cateris Paribus ... 21
2.3 Peningkatan Jumlah Uang Beredar, Cateris Paribus... .. 21
2.4 Kerangka Pemikiran Penelitian... 27
4.1 Perkembangan PDB Riil di Indonesia (Milyar Rp)... 41
4.2 Perkembangan Suku Bunga Pasar Uang (Persen)... 44
4.3 Perkembangan Jumlah Uang Beredar M1 (Milyar Rp)... 45
4.4 Perkembangan Konsumsi Pemerintah di Indonesia (Milyar Rp) ... 50
4.5 Perkembangan Indeks Harga Konsumen di Indonesia (Persen)... 52
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Data Analisis Interaksi Fiskal dan Moneter terhadap Produk Domestik
Bruto Indonesia ……… 71
ANALISIS INTERAKSI FISKAL DAN MONETER TERHADAP PRODUK DOMESTIK BRUTO INDONESIA
Umi Khalsum, Dr. Joni Manurung, MS, dan Dr. Murni Daulay, SE, M.Si
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan simultanitas antara interaksi fiskal dan moneter terhadap Produk Domestik Bruto riil Indonesia. Penelitian ini menganalisis pengaruh surat berharga pasar uang terhadap Produk Domestik Bruto riil. Penelitian ini juga ingin menganalisis pengaruh surat berharga pasar uang, tabungan pemerintah atau selisih penerimaan pajak atas konsumsi pemerintah sebagai alat fiskal dan nilai tukar terhadap Produk Domestik Bruto riil. Pengaruh Produk Domestik Bruto riil, indeks harga konsumen,uang beredar dalam arti sempit sebagai alat moneter terhadap surat berharga pasar uang selama kurun waktu periode penelitian 1980-2009 di Indonesia.
Metode analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan simultanitas adalah
2SLS (Two Stage least Square). Dan kaidah identifikasinya menunjukkan bahwa kondisi
pada persamaan simultan mengalami overidentified. Sehingga memungkinkan untuk
menggunakan metode 2SLS.
Berdasarkan hasil estimasi metode 2SLS (Two Stage Least Square) pada persamaan Produk Domestik Bruto menunjukkan bahwa surat berharga pasar uang berpengaruh negatif dan signifikan, tabungan pemerintah berpengaruh positif dan signifikan dengan
tingkat kepercayaan α = 1 persen terhadap Produk Domestik Bruto, Produk Domestik
Bruto, uang beredar dalam arti sempit tahun sebelumnya berpengaruh positif dan negatif
dan signifikan dengan α = 1 persen terhadap surat berharga pasar uang. Indeks harga
konsumen dengan α = 5 persen berpengaruh positif dan signifikan.
Kata Kunci : Fiskal, Moneter, Produk Domestik Bruto, 2SLS (Two Stage Least Square).
Umi Khalsum, Dr. Joni Manurung, MS, and Dr. Murni Daulay, SE, M.Si
ABSTRACT
This study aims to determine whether there is simultaneous relationship between fiscal and monetary interaction upon real Gross Domestic Product of Indonesia. This study analyzes the influence of money market securities, saving, or tax excess revenue on government consumption as a mean of fiscal and exchange rate upon Gross Domestic Product. Influence of real Gross Domestic Product, consumer price index, money supply in a narrow sense act as monetary mean against money market securities for the period of 1980-2009 in Indonesia.
To analyze the data 2 SLS (Two Stage Least Square) method is applied, due to overidentified condition found on the simultaneous equation.
The result show that money market securities has significant and negative influence
upon real Gross domestic Product, government saving has significant and positive
influence where confidence level α = 1 %. GDP in a narrow sense, money supply on the
previous year has positive, negative and significant influence where α = 1 % upon money
market securities. Consumer price index with α = 5 % has positive and significant
influence.
Keywords : Fiscal, Monetary and Gross Domestic Product 2SLS (Two Stage Least Square).
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dalam
bentuk peningkatan pendapatan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, siklus ekonomi
merupakan fenomena ekonomi yang tidak dapat dihindarkan, berupa fase booming,
kontraksi, normal maupun dalam keadaan melesuh (depressi). Untuk mengantisipasi
fluktuasi yang berlebihan pada siklus ekonomi, dikenal ada dua kebijakan pemerintah yaitu
kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi yang
digunakan pemerintah untuk mengelola/mengarahkan perekonomian ke kondisi yang lebih
baik atau diinginkan dengan cara mengubah-ubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah
(Rahardja dan Manurung, 2001). Sedangkan kebijakan moneter adalah kebijakan otoritas
moneter atau bank sentral dalam bentuk pengendalian besaran moneter (antara lain dapat
berupa uang beredar, uang primer, tingkat bunga, atau kredit perbankan) untuk mencapai
perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan (Warjiyo dan Solikin, 2003)
Teori baru tentang kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan siklus ekonomi diangkat
oleh peraih nobel ekonomi tahun 2004, yaitu: Finn Kydland dan Edward Prescott. Teori ini
merupakan jawaban atas kegagalan–kegagalan yang dialami pengambil kebijakan di
berbagai negara setelah teori ekonomi makro tidak mampu mengatasi permasalahan
perekonomian pasca decade tahun 1960-an. Inti dari teori ini adalah harus dimasukkannya
mempengaruhi sukses atau tidaknya kebijakan ekonomi (fiskal dan moneter). Ekspektasi
masyarakat (rumah tangga dan perusahaaan) tentang kebijakan ekonomi yang di lakukan
pemerintah pada masa akan datang menyebabkan masyarakat mengantisipasi pengaruh
kebijakan tersebut sebelum kebijakan tersebut dilakukan, sehingga terjadi ketidak
konsistenan waktu. Efek kejadian yang seharusnya terjadi pada masa yang akan datang
pada saat kebijakan tersebut diterapkan, justru terjadi sebelum kebijakan tersebut
benar-benar dilaksanakan.
Dalam kebijakan fiskal, indikator utama kebijakan ini adalah Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) (Raharja dan Manurung, 2001). Selama tahun anggaran
1997/1998 peningkatan pengeluaran pemerintah cukup tinggi yaitu 63 % dari tahun
sebelumnya merupakan kebijakan pemerintah untuk mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
yang disaat itu merupakan awal krisis ekonomi. Hal yang sama juga terjadi pada tahun
anggaran yang berbeda yaitu tahun 2002/2003 mencapai 85 % dari tahun sebelumnya.
Peningkatan anggaran pengeluaran pemerintah tersebut akan dapat meningkatkan kegiatan
ekonomi, akan tetapi ancaman ketidak stabilan pada ekonomi berupa ancaman inflasi
mungkin sullit dihindari. APBN yang dianggap sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi
sangat dimungkinkan, karena APBN dilaksanakan berdasarkan kepercayaan bahwa sektor
ekonomi pemerintah sangat dibutuhkan untuk pelaksanaan trilogi pembangunan yaitu:
Pertumbuhan, pemerataan, dan stabilisasi. Trilogi pembangunan ini merupakan realisasi
dari teori tentang fungsi fiskal, yaitu alokasi barang publik (allocation), distribusi
Dalam kebijakan anggaran, pada APBN PJP I hingga APBN periode 1994/1995
hingga 1997/1998, Indonesia menerapkan anggaran berimbang. Namun banyak kalangan
berpendapat bahwa APBN Indonesia merupakan anggaran defisit, karena adanya
komponen penerimaan pembangunan yang bersumber dari Hutang. Oleh sebab itu, APBN
Indonesia tergolong anggaran berimbang semu (quasy balance budget).
Dalam implikasi kebijakan defisit anggaran, Alesina dan Peroti menemukan bahwa
defisit kebijakan fiskal akan lebih efisien ketika pengeluaran pemerintah dikurangi
dibandingkan dengan peningkatan pajak. Pajak dapat menjadi fungsi stabilitas yang baik,
pajak juga dapat mempengaruhi output dan inflasi. Hal ini merupakan akibat yang sering
kali ditolak oleh pengambil kebijakan fiskal dalam fungsinya memberikan feedback
terhadap kebijakan moneter (Creel, 2002).
Kebijkan pemerintah yang kedua adalah kebijakan moneter. Di Indonesia, kebijakan
moneter diserahkan sepenuhnya pada Bank Indonesia yang merupakan badan independen.
Indonesia telah membuat perubahan fundamental dalam kebijakan moneternya seiring
dengan dikeluarkannya UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pertama, kebijakan
moneter difokuskan untuk memelihara dan menjaga stabilitas rupiah. Kedua, pemberian
independensi yang lebih besar kepada Bank Indonesia dalam menentukan target inflasi dan
arah kebijakan moneternya. Ketiga, keputusan pemilihan kebijakan diserahkan pada
Gubernur Bank Indonesia tanpa intervensi dari pemerintah dan lembaga lain. Empat,
adanya akuntabilitas dan transparansi kebijakan moneter yang mewajibkan Bank Indonesia
Semua reformasi tersebut diharapkan mampu untuk mengeluarkan Indonesia dari krisis
(Wahyu dan Agung, 2002).
Pada perkembangan teoritis terdapat pula dua aliran makro ekonomi baru yang
memperdebatkan permasalahan dampak kebijakan moneter yaitu, Neo Klassik dan neo
Keynesian. Aliran Neo Klasik berpendapat bahwa kebijakan moneter hanya akan memiliki
pengaruh jika kebijakan tersebut tidak diantisipasi oleh masyarakat. Inti dari aliran ini
menyatakan bahwa kebijakan moneter tidak memiliki pengaruh terhadap perekonomian (
tidak dapat meningkatkan output ataupun mengurangi pengangguran ). Sedangkan aliran
Neo Keynesian berpendapat bahwa kebijakan moneter dapat digunakan untuk
mempengaruhi perekonomian riil atau yang terjadi di sini adalah money non-neutrality.
Berkembangnya kedua aliran pemikiran tersebut semakin menimbulkan minat untuk
membuktikan keberadaan teori mana yang sesuai pada tataran empiris.
Bank Indonesia mendefinisikan Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan
sebuah kerangka kebijakan moneter yang dapat ditandai dengan pengumuman kepada
publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. ITF
bukanlah suatu kaidah yang kakuh (rule) tetapi sebagai kerangka kerja menyeluruh
(framework) untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Sesuai definisi di atas,
sejak berlakunya UU No. 23 Tahun 1999 Indonesia sebenarnya dapat dikategorikan
“Inflation Targetting Life Countries). Kebijakan ini diilhami oleh keberhasilan
negara-negara maju dalam meningkatkan volatilitas output dengan menekan laju inflasi seperti
(1993), Australia (1993), Switzerland dan beberapa negara berkembang seperti Republik
Czech, Polandia, Hungaria, dengan menerapkan kebijakan target inflasi (Mishkin, 2001).
Persoalan penting dalam setting kebijakan Bank Indonesia adalah
mengidentifikasikan variabel informasi yang secara hubungan teoritis menjadi penyebab
inflasi, dan dapat digunakan sebagai indikator utama signal inflasi sekaligus sebagai
penentu besaran inflasi. Variabel yang dimaksud hendaknya dalam kendali kebijakan Bank
Indonesia agar pencapaian tujuan kebijakan dapat efektif. Analisis transmisi kebijakan
moneter bank Indonesia sangat penting dengan alasan: pertama, menentukan variabel
ekonomi dan keuangan mana yang paling kuat dijadikan leading indicators terhadap
pergerakan inflasi kedepan serta variabel mana untuk penentuan sasaran operasional
kebijakan moneter. Kedua, untuk mengetahui seberapa kuat dan lamanya tenggang waktu
masing-masing saluran transmisi bekerja, baik sejak tindakan moneter dilakukan Bank
sentral sampai ke perubahan masing-masing saluran dan saluran transmisi ke perubahan
inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam pelaksanaannya, efektivitas kebijakan moneter tergantung pada hubungan
antara jumlah uang beredar dengan variabel ekonomi utama seperti output dan inflasi. Dari
sejumlah literatur, temuan utama yang menarik mengenai hubungan antara jumlah uang
beredar, inflasi, dan output adalah bahwa dalam jangka panjang, hubungan antara
pertumbuhan uang beredar dan inflasi sangat tinggi (memiliki hubungan erat), sementara
hubungan antara pertumbuhan uang dan inflasi dengan pertumbuhan output riil mungkin
mendekati nol (hampir bisa dikatakan tidak memiliki hubungan). Temuan ini menunjukkan
pada inflasi, dan tidak banyak pengaruhnya terhadap kegiatan ekonomi riil. Terlepas dari
perbedaan sudut pandang diatas, umumnya kalangan praktisi maupun akademisi yakin
bahwa dalam jangka pendek kebijakan moneter ekspansif dapat mendorong kegiatan
ekonomi yang sedang mengalami resesi yang berkepanjangan. Sebaliknya kebijakan
moneter kontraktif dapat memperlambat laju inflasi yang umumnya terjadi pada saat
kegiatan perekonomian sedang mengalami peningkatan (Warjiyo dan Solikin, 2003).
Untuk mencapai tujuan kebijakan makro secara optimal, biasanya diterapkan policy
mix atau bauran kebijakan yang terkoordinasi antara satu kebijakan dengan kebijakan
lainnya (Warjiyo dan Solikin 2003). Pengertian optimal di sini adalah pencapaian tujuan
antar kebijakan dapat terkoordinasi sehingga tidak menimbulkan dampak yang kurang
menguntungkan bagi pencapaian tujuan kebijakan ekonomi makro secara keseluruhan.
Salah satu contoh penerapan bauran kebijakan yang banyak dikenal adalah bauran
kebijakan fiskal-Moneter (monetary–fiscal policy mix). Secara konseptual, koordinasi
bauran kebijakan fiskal-moneter dapat dilakukan melalui beberapa scenario, yaitu: (1)
Kebijakan moneter ekspansif/kebijakan fiskal ekspansif, (2) Kebijakan moneter
kontraktif/kebijakan fiskal ekspansif, (3) Kebijakan moneter ekspansif/kebijakan fiskal
kontraktif, (4) kebijakan moneter kontraktif/kebijakan fiskal kontraktif. Sebagai contoh,
apabila bauran kebijakan fiskal-moneter dapat dilakukan secara terkoordinasi, maka
scenario kebijakan 1 dan 4 merupakan scenario kebijakan yang paling efektif diterapkan
untuk mengatasi fluktuasi ekonomi yang berlebihan.
Model yang memperlihatkan adanya koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter
dikatakan bahwa, jika kebijakan fiskal relatif aktif dimana hutang dikendalikan secara
perlahan, apapun kasus kebijakan fiskal yang dipilih, ini akan sangat sensitive terhadap
kebijakan moneter yang sedang dilakukan. Jika kebijakan moneter sedang merespon
perubahan inflasi dengan meningkatkan tingkat bunga riil, ini akan meningkatkan ketidak
stabilan dalam pergerakan output seperti hutang pemerintah yang akan sangat terpengaruh.
Bagaimanapun, jika kebijakan fiskal adalah pasif, maka bank sentral akan leluasa
meningkatkan tingkat bunga sebanyak yang mereka inginkan (Creel, 2002).
Di Indonesia, dalam aktivitasnya kadangkala dua kebijakan ini (kebijakan moneter
dan fiskal) berjalan tanpa terkoordinasi dengan baik sehingga menyebabkan adanya ketidak
seimbangan dalam perekonomian. Contoh kasus yang terjadi pasca kemerdekaan RI,
misalnya: adanya hyperinflasi pada tahun 1965 yang disebabkan ekspansi fiskal dan
ekspansi moneter yang tidak terkendali, kesenjangan antara peran sektor pemerintah dan
peran sektor swasta pada saat boom minyak pada era 1970-an, dan terakhir adalah
kesenjangan antara pertumbuhan sektor riil dan sektor moneter pada kurun tahun 1980-an
pasca liberalisasi sektor keuangan hingga pasca krisis moneter tahun 1997. Dua kebijakan
ini juga kadangkala cenderung tidak sejalan. Pada kondisi krisis misalnya, Bank Indonesia
pada suatu ketika hendak menekan inflasi dengan kebijakan tight money policy nya, namun
pada saat itu juga pemerintah terus melakukan kebijakan anggaran defisitnya untuk
meningkatkan kinerja sektor riil dan untuk mengurangi angka pengangguran. Begitu juga
sebaliknya pada saat Bank Indonesia hendak menstimulus pertumbuhan ekonomi dengan
kebijakan moneter yang ekspansif, pemerintah justru membuat kebijakan fiskal yang
Fenomena ini menjadi isu utama penelitian ini, yaitu apakah kedua kebijakan
ekonomi tersebut telah mampu mencapai tujuannya yaitu mendorong pertumbuhan
ekonomi pada tingkat yang tinggi dan apakah instrumen kebijakan ekonomi tersebut yaitu
kebijakan fiskal dan kebijakan ekonomi memiliki kontribusi satu sama lainnya. Lebih jauh,
penelitian ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana interaksi kebijakan fiskal dan moneter
terhadap PDB Indonesia baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
1.2. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah yang akan dikemukakan dalam
penelitian ini adalah:
1. Apakah selisih antara penerimaan pajak dengan konsumsi pemerintah mempunyai
pengaruh terhadap PDB Indonesia?
2. Apakah kurs atau nilai tukar mempunyai pengaruh terhadap PDB Indonesia?
3. Apakah indeks harga konsumen mempunyai pengaruh terhadap suku bunga pasar
uang di Indonesia?
4. Apakah jumlah uang beredar dalam arti sempit mempunyai pengaruh terhadap suku
bunga pasar uang di Indonesia?
5. Apakah suku bunga pasar uang berpengaruh secara timbal balik dengan PDB di
Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah terdahulu,tujuan dari
1. Untuk menganalisis pengaruh selisih antara penerimaan pajak dengan konsumsi
pemerintah terhadap PDB Indonesia.
2. Untuk menganalisis pengaruh kurs atau nilai tukar terhadap PDB Indonesia.
3. Untuk menganalisis pengaruh indeks harga konsumen terhadap suku bunga pasar uang
di Indonesia.
4. Untuk menganalisis pengaruh jumlah uang beredar dalam arti sempit terhadap suku
bunga pasar uang di Indonesia.
5. Untuk menganalisis pengaruh timbal balik suku bunga pasar uang dengan PDB di
Indonesia.
6. Untuk menganalisis interaksi kebijakan fiskal dan moneter terhadap PDB riil dan suku
bunga pasar uang di Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat:
1. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang kebijakan fiskal dan
moneter di Indonesia.
2. Bahan pertimbangan dan masukan bagi pengambil kebijakan di Indonesia, dalam hal
3. Sebagai bahan acuan untuk peneliti selanjutnya terutama yang berminat untuk
meneliti tentang kebijakan moneter dan kebijakan fiskal dengan cara yang lebih
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pendapatan Nasional
Untuk mengukur kinerja ekonomi suatu negara dapat dilakukan dengan menghitung
besarnya pendapatan nasional atau produksi nasional setiap tahunnya, yang disebut dengan
PDB (Product Domestic Brutto). Product Domestic Brutto diartikan sebagai nilai
barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksikan di dalam negara selama satu tahun tertentu
(Mankiew, 2006). Perhitungan besarnya pendapatan nasional dapat dilakukan dengan 3
pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan
pengeluaran.
Pendekatan produksi, perhitungan pendapatan nasional dengan menjumlahkan nilai
tambah yang dihasilkan oleh berbagai sektor dalam perekonomian (sektor pertanian;
pertambangan; industri, listrik, gas dan air minum; bangunan; pengangkutan, perdagangan,
keuangan, sewa rumah; pemerintah dan pertahanan; jasa-jasa lain).
Pendekatan pendapatan, perhitungan pendapatan nasional dengan menjumlahkan
pendapatan yang diterima oleh para pemilik faktor-faktor produksi yang digunakan untuk
menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa ke dalam perekonomian.
Pendekatan pengeluaran, Perhitungan pendapatan nasional dengan menjumlahkan
seluruh pengeluaran para pelaku ekonomi atas barang-barang dan jasa-jasa yang
diproduksikan dalam perekonomian.
2.2. Model IS-LM Sederhana
Model IS-LM dirancang untuk menjelaskan perekonomian dalam jangka pendek
ketika tingkat harga adalah tetap dan melihat bagaimana perubahan tingkat harga
mempengaruhi keseimbangan dalam model IS-LM. Model IS-LM juga menjelaskan
perekonomian dalam jangka panjang ketika tingkat disesuaikan untuk menjamin bahwa
perekonomian berproduksi pada tingkat alamiah.
2.2.1. Model IS
(Mankiw, 2006) Pendapatan nasional mengalami kenaikan atau penurunan menurut
Teori Keynes tergantung kepada total permintaan agregat. Model permintaan agregat
dibentuk dari variabel-variabel C, I, G, X – M dengan bentuk perekonomian terbuka
sebagai berikut:
Y = AD = C + I + G + NX (2.1)
dimana C = C(Y - T). Fungsi konsumsi dinyatakan dalam bentuk C = C (Y-T), yang berarti
C merupakan variabel endogen yang dipengaruhi oleh besar kecilnya pendapatan nasional
dan pajak yang dikeluarkan (dispossible income). Semakin besar pendapatan yang diterima
maka pengeluaran konsumsi akan semakin tinggi, sehingga hubungannya positif terhadap
pertumbuhan pendapatan nasional. Sedangkan pajak yang dibayarkan memiliki hubungan
negative terhadap pengeluaran konsumsi. Jika pajak yang dibayarkan semakin tinggi maka
pengeluaran konsumsi akan semakin menurun dan akhirnya akan menurunkan pendapatan
nasional.
I = I(r,Y) (2.2)
Pengertian investasi dalam teori ekonomi makro lebih banyak kepada investasi fisik,
barang (inventory). Investasi berarti pembelian (dan berarti juga produksi) dari
capital/modal barang–barang yang tidak dikonsumsi tetapi digunakan untuk produksi yang
akan datang (barang produksi). Agar tidak terjadi kerancuan dengan kenyataan sehari-hari,
perhitungan investasi harus konsisten dengan perhitungan pendapatan nasional. Yang
dimasukkan dalam perhitungan investasi adalah barang modal, bangunan/konstruksi,
maupun persediaan barang jadi yang masih baru.
Fungsi investasi dinyatakan dalam bentuk I = I(r,Y), yang berarti besar kecil
investasi dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat bunga yang berlaku (r) dan juga
pendapatan nasional (Y). Jika tingkat bunga mengalami kenaikan maka investasi akan
menurun dan sebaliknya, sehingga hubungannya dinyatakan bersifat negatif, sedangkan
terhadap pendapatan nasional, apabila pendapatan nasional mengalami kenaikan maka
permintaan investasi juga akan meningkat dan sebaliknya, sehingga hubungannya
dinyatakan positif.
NX = NX(e, r , Y) (2.3)
Selisih dari kegiatan ekspor terhadap impor menghasilkan net ekspor, yang berarti Tingkat Bunga (r)
Investasi (I)
modal dan barang internasional, maka pengeluaran domestic tidak harus sama dengan
output barang dan jasa yang dihasilkan. Karena jika terdapat selisih pendapatan atas
pengeluaran konsumsi, investasi dan pengeluaran pemerintah akan menghasilkan net
ekspor positif ( Y > C + I + G ), karena:
Y = C + I + G + NX
Y – C – G = I + NX
Y – C – G = S
S = I + NX
S – I = NX (2.4)
dimana S = tabungan. Jika S – I positif dan S > I, maka negara meminjamkan kelebihan
dananya pada pihak asing, tetapi bila S – I negative dan S < I negara memiliki kekurangan
dana dan untuk mendanai investasi dilakukan dengan meminjam dana dari luar negeri.
Neraca perdagangan suatu negara dipengaruhi oleh nilai kurs (e), tingkat bunga (r)
dan juga pendapatan nasional (Y). Pengaruh nilai tukar mata uang diantara negara yang
menjalin hubungan ekonomi luar negeri (e) adalah Jika harga barang dan jasa di luar negeri
lebih murah (nilai kurs riil tinggi ) dibanding dalam negeri maka neraca perdagangan akan
bersifat negatif, karena mendorong impor yang lebih besar, dan itu artinya pendapatan
nasional akan menurun dan mendorong terjadinya depresiasi nilai tukar mata uang terhadap
mata uang negara yang berhubungan. Sebaliknya bila nilai kurs riil rendah maka harga
barang di dalam negeri akan lebih murah dibanding luar negeri dan akan mendorong
peningkatan. Sehingga dapat dikatakan hubungan antara nilai kurs riil terhadap neraca
perdagangan bersifat negatif.
Arus barang dan modal internasional menggambarkan bahwa neraca perdagangan
adalah sama dengan arus modal keluar netto, atau tabungan sama dengan investasi. Dalam
perekonomian terbuka, meminjam dan memberi pinjaman dipengaruhi tingkat bunga (r).
Apabila tingkat bunga dunia (r*) di atas tingkat bunga domestik (r), maka investasi keluar
netto akan naik sehingga tabungan domestik menurun dan akibatnya neraca perdagangan
akan negatif (defisit) sehingga pendapatan nasional menurun.
Sehingga:
Y = C(Y-T) + I(r,Y) + G + NX (e, r , Y) (2.5)
Dari persamaan (2.5) ditunjukkan variabel yang mempengarhi Y yaitu, T, G, r dan e
sehingga model IS dinyatakan dengan fungsi sebagai berikut
Y = Y(G, T , r, e) (2.6)
dimana Y = pendapatan nasional, C = pengeluaran konsumsi ,I = pengeluaran investasi, T
= penerimaan pajak, r = tingkat bunga, G = pengeluaran pemerintah, NX = X – M = net
export, jika X > M (surplus neraca perdagangan), X = pengeluaran export dan M = import.
Apabila terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah (∆G) maka permintaan output
(pendapatan nasional) mengalami peningkatan sebesar multiplier effect atas komponen
pengeluaran pemerintah tersebut.
Peningkatan pajak berefek negatif terhadap perekonomian, karena menurunnya
dispossible income akan mengurangi konsumsi, sehingga permintaan output mengalami
Semakin tinggi tingkat bunga ke dalam perekonomian berarti akan mengganggu
investasi, sehingga investasi berefek negatif atas tingkat bunga. Jika investasi turun maka
output juga akan menurun atau berkurang.
Perubahan nilai kurs terhadap pertumbuhan output terlihat besar pengaruhnya bagi
perekonomian yang bersifat terbuka. Apabila kurs mata uang negara tersebut cenderung
menguat maka efek negatifnya terhadap kegiatan export, sehingga sangat mungkin terjadi
penurunan pada pendapatan nasional. Dan sebaliknya jika kurs melemah maka sangat
dimungkinkan neraca perdagangan akan menigkat, sehingga terjadi pertumbuhan
pendapatan nasional karena didorong bertambahnya permintaan output dari pasar luar
negeri.
2.2.2. Model LM
Model LM menjelaskan hubungan antara tingkat bunga dan tingkat pendapatan
yang muncul di pasar uang, dan untuk memahami pemahaman model LM adalah dengan
melihat teori tingkat bunga atau teori preferensi likuiditas (theory of liquidity preference).
Teori ini menyatakan bahwa tingkat bunga disesuaikan untuk menyeimbangkan penawaran
dan permintaan uang. Permintaan terhadap keseimbangan uang riil yang ditegaskan oleh
teori preferensi menegaskan bahwa tingkat bunga adalah salah satu determinant dari berapa
banyak uang yang ingin dipegang, karena tingkat bunga merupakan opportunity cost dari
memegang uang. Ketika tingkat bunga naik, orang hanya ingin memegang uang lebih
sedikit.
Perubahan pendapatan nasional (Y) terhadap keseimbangan uang riil adalah positif
pengeluaran tinggi sehingga permintaan uang lebih besar. Karenanya pendapatan yang
lebih tinggi menyebabkan tingkat bunga juga lebih tinggi.
Sehingga dapat ditulis bahwa fungsi dari jumlah uang yang diminta (M/P)
ditentukan tingkat bunga dan pendapatan, yaitu:
M / P = L (r , Y) (2.7)
) , (r Y L
M
P =
(2.8) r
= r(M/P, Y) (2.9)
Apabila jumlah uang beredar mengalami peningkatan akibat tingginya permintaan
barang dan jasa yang diikuti dengan permintaan uang, menurut teori kuantitas uang Fisher,
maka akan terjadi penurunan tingkat bunga nominal karena terbukanya peluang inflasi.
Hubungan antara tingkat harga terhadap tingkat bunga adalah bersifat positif, artinya
apabila terjadi inflasi ke dalam perekonomian maka kebijakan moneter yang dilakukan
adalah dengan menaikkan tingkat bunga.
Kenaikan pendapatan nasional yang diikuti dengan meningkatnya permintaan
output harus dicegah pengaruhnya terhadap kenaikan jumlah uang beredar, karena
kenaikan permintaan menimbulkan ancaman inflasi dengan cara menaikkan tingkat bunga
agar perekonomian stabil.
2.3. Kebijakan Fiskal
Kebijakan ekonomi makro akan selalu diperlukan untuk mencegah dan
menghilangkan gejala ekonomi makro yang tidak diinginkan seperti tingkat inflasi yang
kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mempengaruhi perekonomian dengan
menggunakan instrument variabel pajak (tax), transfer pemerintah atau dengan pengeluaran
pemerintah. (Reksoprayitno: 2000). Kedua kebijakan ekonomi makro tersebut dapat
bersifat ekspansi maupun kontraksi. Ketika perekonomian menghadapi peningkatan
pengangguran dan kapasitas produksi nasional bersifat unemployment dilakukan kebijakan
yang bersifat ekspansi (mis: defisit neraca pembayaran), sedangkan kebijakan kontraksi
digunakan apabila perekonomian dalam keadaan over employment yaitu permintaan
agregatif melebihi kapasitas produksi nasional (mis: inflasi yang tinggi). Tujuan dari kedua
kebijakan ekonomi makro tersebut baik ekspansi maupun kontraksi adalah untuk
meningkatkan pendapatan nasional dan menurunkan tingkat pengangguran serta tingkat
inflasi dan memperkecil defisit neraca pembayaran luar negeri.
Perubahan dalam belanja pemerintah akan mempengaruhi perekonomian. Jika
belanja pemerintah naik sebesar G (Government expenditure) akan mendorong adanya
kenaikan pendapatan nasional sebesar = KG x G (Direct Stimulus). Bertambahnya
pendapatan, akibat kebijakan fiskal yang ekspansif menyebabkan permintaan uang juga
meningkat, sehingga mendorong kenaikan tingkat bunga (r). Sebaliknya kebijakan fiskal
yang bersifat kontraksi dengan menaikkan pajak akan menurunkan pendapatan nasional,
karena pajak (tax) bersifat indirect stimulus. Dengan menurunnnya pendapatan nasional
(Y) maka terjadi penurunan permintaan uang, akibatnya tingkat bunga (r) turun. Dalam
kebijakan fiskal ini lebih efektif menurunkan pengeluaran (G) dibandingkan dengan
menaikkan pajak (Tax).
Kebijakan moneter merupakan kebijakan pemerintah yang dilakukan otoritas
moneter (Bank Sentral) untuk mempengaruhi perekonomian dengan cara penambahan atau
pengurangan jumlah uang beredar (M1) yang biasa disebut dengan penawaran uang
(Reksoprayitno: 2000). Kebijakan moneter yang bersifat ekspansi dengan cara menambah
jumlah uang beredar (M), bertujuan untuk menambah jumlah pendapatan nasional (Y),
pada tingkat yang diharapkan. Kenaikan pendapatan pada tingkat keseimbangan penawaran
riil akan diikuti dengan adanya peningkatan permintaan uang dan mendorong terjadinya
kenaikan tingkat bunga. Sehingga hubungan antara peningkatan pertambahan jumlah uang
beredar terhadap tingkat bunga adalah positif. Sebailiknya kebijakan moneter yang bersifat
kontraksi dengan mengurangi jumlah uang beredar pada tingkat harga yang fleksibel akan
menurunkan pendapatan nasional sehingga inflasi dan tingkat bunga juga akan menurun.
2.5. Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter
Ketika menganalisis setiap perubahan dalam kebijakan moneter atau fiskal maka
perlu disadari bahwa kebijakan dalam suatu kebijakan akan mempengaruhi kebijakan
lainnya. Artinya ada saling ketergantungan atas sebuah kebijakan terhadap dampak
kebijakan ekonomi yang dihasilkan. Hasil interaksi atas kebijakan fiskal dan moneter dapat
terdiri dari:
Apabila pemerintah menjalankan kebijakan fiskalnya dengan menaikkan pajak maka
ada 3 kemungkinan yang akan berlaku yaitu:
a. Otoritas moneter mempertahankan jumlah uang beredar pada tingkat konstan, maka
akan mengakibatkan pendapatan nasional akan turun, karena kenaikan pajak akan
mengurangi pengeluaran konsumen, sehingga tingkat bunga juga akan turun karena
ada kecenderungan mengurangi permintaan uang (kurva IS bergeser ke kiri dari
IS1 ke IS2 sedangkan kurva LM tetap akibatnya Y1 turun menjadi Y21 dan tingkat
bunga turun dari r1 ke r2 , Gambar 2.2).
b. Otoritas moneter mempertahankan tingkat bunga konstan dengan mengurangi
jumlah uang beredar, sehingga pendapatan nasional akibatnya juga turun lebih
besar dibandingkan cara no (a), karena kenaikan pajak (Gambar 2.2).
c. Otoritas moneter mencegah akibat kenaikan pajak pada menurunnnya pendapatan
nasional (pendapatan nasional berada pada tingkat tetap) dengan meningkatkan
jumlah uang beredar, akibatnya tingkat bunga turun cukup besar. Refleksi dari
kebijakan fiskal dan moneter tersebut ke dalam perekonomian dengan tingkat
pendapatan nasional yang tetap adalah adanya penurunan konsumsi akibat kenaikan
pajak, sedangkan ekspansi moneter dengan tingkat bunga yang turun mendorong
investasi (kurva IS bergeser ke kiri dari IS1 ke IS2 dan kurva LM bergeser ke
kanan dari LM1 ke LM2, akibatnya Y tetap dan tingkat bunga turun dari r1 ke r2,
(Gambar 2.3).
Tingkat bunga (r)
IS2 LM1
[image:39.612.120.488.65.564.2] [image:39.612.144.422.76.233.2]
0 Y22 Y21 Y1 Pendapatan (Y)
Gambar 2.2. Peningkatan Pajak, Cateris Paribus
Tingkat bunga (r) LM1
LM2
IS1
IS2
0 Y Pendapatan (Y)
2. Kebijakan fiskal dengan menaikkan pengeluaran pemerintah
Kebijakan menaikkan pengeluaran akan mendorong meningkatnya output. Nasional
atau pendapatan nasional bertambah, dan akan meningkatkan permintaan uang. Jika
otoritas moneter mempertahankan jumlah uang beredar pada tingkat konstan maka
tingkat bunga akan naik (kurva IS bergeser dari IS2 ke IS1 dan kurva LM tetap LM1
sedangkan Y bertambah dari Y21 ke Y1 tetapi tingkat bunga naik dari r2 ke r1, r1
r2
r1
r2
nasional pada tingkat bunga yang tetap dapat direspon otoritas moneter dengan
menambah jumlah uang beredar, sehingga sebanding dengan permintaan uang akibat
peningkatan pendapatan nasional yang bertambah (kurva IS bergeser ke kanan dari IS2
ke IS1, sedangkan kurva LM bergeser ke kanan dari LM2 ke LM1 dengan tingkat
bunga sebesar r1, Gambar 2.2).
2.6. Penelitian Terdahulu
Turnovsky (2000), meneliti tentang hubungan antara kebijakan fiskal dan output di
Amerika Serikat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah OLS. Penelitiannya
menemukan bahwa kebijakan fiskal tidak memiliki dampak terhadap keseimbangan
pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Tingkat pertumbuhan yang lambat
memberikan kenyataan bahwa kebijakan fiskal hanya berpengaruh pada jangka pendek
pada masa transisi. Kenaikan variabel instrumen fiskal dalam jumlah yang relatif besar
tidak terlalu berpengaruh besar terhadap output. Dalam penelitiannya memperlihatkan,
kenaikan investasi pemerintah dari 0.08 ke 0.14 dari output akan menaikkan tingkat
pendapatan dalam jangka panjang sebesar 40% saja. Sedangkan kenaikan pajak atas
pendapatan modal dari 0,28 ke 0,40 hanya akan menurunkan output dalam jangka panjang
sebesar 16%.
Hafer, Haslag dan Jones (2002), meneliti tentang hubungan antara kebijakan
moneter, jumlah uang beredar, dan output di Amerika Serikat. Metodologi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode OLS, dengan menggunakan data tahun 1961-1982 dan
1961-2000. Penelitian ini terdiri dari tiga kajian. Yang pertama yaitu melihat hubungan
tingkat pembiayaan bank sentral menjadi instrument kebijkan moneter. Yang kedua yaitu
Congressional Budget Office (CBO) terhadap output gap, dan yang ketiga mengestimasi
pengaruh jumlah uang beredar (M0,M1,M2) dengan mempengaruhi tingkat bunga terhadap
output. Hasil estimasi memperlihatkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara tingkat
pembiayaan bank sentral terhadap output kurun waktu tahun 1961-1982. Namun tercatat
tidak signifikan pada data tahun 1982 hingga tahun 2000. Penelitian ini juga menemukan
hubungan yang signifikan antara lag jumlah uang beredar riil dan output gap pada tahun
1961-1982. Namun juga tidak signifikan pada tahun 1982-2000.
Albatel (2003), meneliti tentang hubungan antara kebijakan pemerintah (kebijakan
moneter dan kebijakan fiskal) dan output di Arab Saudi. Metodologi yang digunakan dalam
penelitiannya adalah metode Kointegrasi dan Error Correction Model dengan
menggunakan data tahun 1964-1998. Hasil penelitian memperlihatkan terdapat hubungan
kointegrasi antara kebijakan pemerintah (kebijakan fiskal dan moneter), liberalisasi
perdagangan, dan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah ternyata memiliki peran penting
dalam pembangunan ekonomi di Arab Saudi. Variabel pengeluaran pemerintah (kebijakan
fiskal) dan jumlah uang beredar (kebijakan moneter) memiliki pengaruh signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil statistik mendukung adanya pemikiran bahwa
aktivitas pemerintah berupa investasi akan meningkatkan pertumbuhan pendapatan
perkapita. Termasuk kebijakan fiskal dan moneter memiliki efek permanen terhadap output
riil. Semenjak kenaikan harga minyak tahun 1973, Arab Saudi terus meningkatkan
pengeluarannya. Namun fluktuasi harga minyak menyebabkan pemerintah harus
Hagen dan Mundshenk (2003), meneliti tentang koordinasi antara kebijakan fiskal
dan kebijakan moneter di EMU (Economic and Monetary Union di Eropah). Hasil
penelitian memperlihatkan bahwa pada jangka panjang kebijakan moneter dapat mencapai
kestabilan harga tanpa bertentangan dengan kebijakan fiskal. Bank Sentral dapat
menetapkan tingkat inflasi tanpa mempengaruhi output terhadap individu dan keseluruhan
masyarakat. Namun pada jangka pendek, ada konflik potensial antara kebijakan moneter
dan kebijakan fiskal. Bila Bank Sentral hendak mencapai kestabilan harga, maka kebijakan
fiskal pemerintah harus bisa menekan permintaan aggregate, dan meningkatkan output.
Dalam jangka pendek, kebijakan tersebut cenderung berbiaya tinggi, sehingga resiko inflasi
tinggi sulit ditekan. Keseimbangan diperlukan dengan mempengaruhi permintaan
aggregate oleh Bank Sentral dan Pemerintah mempengaruhi melalui aggregate supply.
Giavazzi (2003), meneliti tentang koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan
moneter di Brazil. Hasil studinya memperlihatkan bahwa resiko kredit dapat menjadi pusat
mekanisme dimana bank sentral yang menargetkan inflasi dapat kehilangan kendali atas
inflasi itu sendiri. Dengan kata lain terjadi perpindahan dominasi moneter ke dominasi
fiskal. Ketidak teraturan kebijakan fiskal dapat menyebabkan efektivitas kebijakan moneter
menjadi berkurang. Misalnya kebijakan peningkatan tingkat bunga malah menyebabkan
inflasi tidak menurun. Perekonomian Brazil jatuh pada tingkat keseimbangan yang buruk
ketika kebijakan fiskal mengurangi efektivitas kebijakan moneter (terjadi crowding out).
Namun dalam jangka panjang, kebijakan fiskal ini dapat mengembalikan kondisi kembali
normal, terjadi kestabilan EMBI spread, kestabilan nilai tukar, inflasi, dan hutang
Arestis dan Sawyer (2002), melihat bagaimana tingkat bunga sebagai instrumen
utama kebijakan moneter mempengaruhi sektor riil. Penelitian ini menggunakan metode
VAR dan OLS dengan menggunakan data tahun 2001-2005, dengan studi kasus di
Angeloni salah satu wilayah dalam zona Euro. Sektor riil disini diukur dengan GDP.
permintaan aggregate, nilai tukar, dan investasi. Hasil estimasi memperlihatkan bahwa
tingkat bunga berpengaruh signifikan terhadap sekto riil. Kenaikan 1% tingkat bunga akan
menurunkan 0,2-0,35 % GDP dan menurunkan 0,2-0,4 % tingkat inflasi.
Nasir,Muhammad,dkk (2010), meneliti tentang koordinasi antara kebijakan fiskal
dan kebijakan moneter di Pakistan. Penelitian ini menggunakan metode VAR, dengan
variabel Pajak, Pengeluaran pemerintah, tingkat bunga. Inflasi dan jumlah uang beredar
dari thn 1975-2006 (31 thn). Lemahnya koordinasi dalam kebijakan fiskal dan moneter
menimbulkan “shock” gangguan pada kebijakan lainnya dalam jangka panjang, berupa
tingginya pengangguran akibat rendahnya permintaan output, dan tingginya angka inflasi
akibat respon kebijakan moneter pada fiskal.
2.7. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Penelitian
Penerimaan pajak, konsumsi pemerintah dan kurs secara langsung mempengaruhi
PDB, sebaliknya indeks harga konsumen dan jumlah uang beredar dalam arti sempit secara
langsung mempengaruhi suku bunga pasar uang. Sedangkan suku bunga pasar uang dan
(Penerimaan Pajak-Konsumsi Pemerintah)
Kurs/Nilai Tukar
Jumlah Uang Beredar Dalam
Arti Sempit (M1)
PDB
Suku Bunga
Pasar Uang
Indeks Harga
Gambar 2.4.Kerangka Pemikiran Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan dari beberapa kajian empiris yang dilakukan
oleh peneliti-peneliti sebelumnya, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Selisih antara penerimaan pajak dengan konsumsi pemerintah berpengaruh positif
terhadap PDB.
2. Kurs atau nilai tukar berpengaruh positif terhadap PDB.
3. Indeks harga konsumen berpengaruh positif terhadap suku bunga pasar uang.
4. Jumlah uang beredar dalam arti sempit berpengaruh negatif terhadap suku bunga pasar
uang.
5. Suku bunga pasar uang berpengaruh negatif terhadap PDB, sebaliknya PDB
berpengaruh positif terhadap suku bunga pasar uang.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana interaksi kebijakan fiskal dan kebijakan
moneter terhadap PDB Indonesia. Ruang lingkup penelitian ini adalah untuk menganalisis
apakah terdapat hubungan sebab akibat (kausalitas) antara variabel-variabel kebijakan
fiskal dan kebijakan moneter terhadap PDB Indonesia baik dalam jangka pendek maupun
dalam jangka panjang dari tahun 1980-2009.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder (data time series).
Data yang digunakan diperoleh dari badan-badan terkait antara lain: Bank Indonesia (BI),
Institute Finance Study (IFS), Biro Pusat Statistik (BPS), Departemen Keuangan
(DEPKEU), jurnal-jurnal dan hasil-hasil penelitian sebelumnya, dan sumber-sumber
bacaan lainnya. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: penerimaan pajak
(TAX), konsumsi pemerintah (GOV), jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1), suku
bunga pasar uang (SBPU), nilai tukar atau kurs rupiah terhadap dollar (EXR), dan Produk
Domestik Brutto riil.
Variabel TAX, GOV merupakan variabel yang menjadi instrument kebijakan fiskal
perekonomian untuk menghasilkan output nasional (PDB). Variabel konsumsi pemerintah
mencerminkan tumbuhnya permintaan pemerintah sehingga mendorong tumbuhnya
Variabel jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1), indeks harga konsumen
(IHK) dan SBPU merupakan variabel yang menjadi instrumen dalam kebijakan moneter.
Variabel ini, dalam kebijakan moneter yang diharapkan dapat mempengaruhi output
nasional (PDB). Sedangkan variabel EXR (nilai tukar rupiah atau kurs) merupakan variabel
kontrol (variabel luar).
3.3. Uji Asumsi
3.3.1. Uji Normalitas, Multikolinearitas dan Autokorelasi
Pengujian asumsi normalitas menggunakan Jarque-Berra Test (JB) dan
membandingkannya dengan statistic , yaitu:
(3:1)
dimana S merupakan koefisien skewness dan K merupakan koefisien kurtosis. Di
bawah hipotesis nol dinyatakan bahwa stochastic term error atau residual terdistribusi
secara normal dengan derajat bebas atau df = 2. Jika nilai perhitungan p-statistic dari
statistik cukup rendah atau nilai statistik berbeda dengan nol, maka hipotesis yang
menyatakan stochastic term error atau residual terdistribusi secara normal ditolak. Akan
tetapi jika nilai perhitungan p-statistik lemah atau nilainya cukup tinggi, dengan kata lain
statistik adalah nol maka hipotesis yang menyatakan stochastic term error atau
residual terdistribusi normal tidak ditolak. Bila JB 2:0.05 maka hipotesis nol ditolak
atau stochastic term error tidak normal. Sedangkan jika JB 2:0.05 maka hipotesis nol
Pengujian multikolinearitas menggunakan variance inflating factor (VIF) atau
tolerance (TOL) yaitu:
(3:2)
dimana ij adalah koefisien determinasi dua variabel eksogen atau predetermine. Jika
nilai VIF 10 atau TOL 0,10, maka model mengalami multikolinearitas yang serius.
Uji Autokorelasi dengan menggunakan Durbin-Watson Statistic, yaitu:
(3.3)
Masalah yang timbul dari Durbin-Watson test adalah bila d-statistik berada pada zona tidak
dapat disimpulkan, penyelesaiannya menggunakan modified d test, yaitu:
1. Ho : p = 0 dan H1 : p 0. Tolak Ho pada tingkat signifikansi jika d <
d
u,
artinyaterjadi autokorelasi positif.
2. Ho : p = 0 dan H1 : p 0. Tolak Ho pada tingkat signifikansi jika
d [4-d] <
d
u artinya terjadi autokorelasi negatif.3. Ho : p = 0 dan H1 : p 0. Tolak Ho pada tingkat signifikansi jika d <
d
uatau [4-d]<
d
u artinya terjadi autokorelasi positif atau negatif.
Data time series seringkali tidak stasioner sehingga menyebabkan hasil regresi yang
meragukan atau sering disebut regresi lancung (superious regression). Regresi lancung
adalah situasi dimana hasil regresi menunjukkan koefisien regresi yang signifikan secara
statistik dan nilai koefisien determinasi yang tinggi namun hubungan antar variabel
didalam model tidak saling berhubungan. Agar regresi yang dihasilkan tidak rancu
(meragukan) kita perlu merubah data tidak stasioner menjadi data stasioner. Jika data tidak
stasioner pada tingkat level maka uji stationeritas data diteruskan tingkat diferensi data
yang disebut juga dengan uji derajat integrasi dan second difference. Jadi data yang tidak
stasioner pada tingkat level akan diuji lagi pada tingkat diferen sampai menghasilkan data
yang stasioner. Di dalam menguji apakah data mengandung akar unit atau tidak,
Dickey-Fuller menyarankan untuk melakukan regresi model-model berikut ini: Dickey-Dickey-Fuller
menyarankan untuk melakukan regresi model-model berikut ini:
t t
t
Y
e
Y
=
+
Δ
θ
−1 (3.4)t t
t
Y
e
Y
=
+
+
Δ
β
1θ
−1 (3.5)t t
t
t
Y
e
Y
=
+
+
+
Δ
β
1β
2θ
−1 (3.6)dimana t adalah variabel trend waktu. Perbedaan persamaan (3.1) dengan dua regresi
lainnya adalah memasukkan konstanta dan variabel trend waktu. Dalam setiap model, jika
data time series mengandung unit root yang berarti data tidak stasioner Dimana t adalah
hipotesis nulnya adalah Ø = 0, sedangkan hipotesis alternatifnya Ø<0 yang berarti data
stasioner. Prosedur untuk menentukan apakah data stasioner atau tidak dengan cara
Nilai DF ditunjukkan oleh nilai t statistik koefisien ØYt-1. Jika nilai absolut statistik DF
lebih besar lebih besar dari nilai kritisnya maka kita menolak hipotesis nul sehingga data
yang diamati stasioner. Sebaliknya data tidak stasioner jika nilai statistik DF lebih kecil
dari nilai kritis distribusi statistik τ.
Salah satu asumsi dari persamaan (3.1) dan (3.2) adalah bahwa residual et tidak
saling berhubungan. Dalam banyak kasus residual et seringkali berhubungan dan
mengandung unsur autokorelasi. Dickey fuller kemudian mengembangkan uji akar unit
dengan memasukkan unsur autokorelasi dalam modelnya yang kemudian dikenal dengan
Augmented Dickey-Fuller (ADF). Dalam prakteknya uji ADF inilah yang digunakan untuk
mendeteksi apakah data stasioner atau tidak. Adapun formulasi uji ADF sebagai berikut:
t n
t
t t
t
Y
Y
e
Y
∑
= −+ −+
Δ
+
=
Δ
1 1 1 1β
γ
(3.7)t n
t
t t
t
Y
Y
e
Y
∑
= −+ −+
Δ
+
+
=
Δ
1 1 1 10
γ
β
α
(3.8)t n
t
t t
t
T
Y
Y
e
Y
∑
= −+ −+
Δ
+
+
+
=
Δ
1 1 1 10
α
1
γ
β
α
(3.9) dimana:
Y : variabel yang diamati
Yt : Yt - Yt-1
T : Trend waktu
n : tenggang waktu
Prosedur untuk mengetahui data stasioner atau tidak dengan cara membandingkan
ditunjukkan oleh nilai t statistik koefisien Yt-1 pada persamaan (3.4 - 3.6). Jika nilai
absolut statistik ADF lebih besar dari nila kritisnya, maka data yang diamati menunjukkan
stasioner dan jika sebaliknya nilai statistik ADF lebih kecil dari nilai kritisnya maka data
tidak stasioner. Hal penting dalam uji ADF adalah menentukan panjangnya kelambanan.
Panjangnya kelambanan bisa ditentukan berdasarkan kriteria AIC (Akaike Information
Criterion) ataupun SIC (Schwarz Information Criterion). Nilai AIC dan SIC yang paing
rendah dari sebuah model akan menunjukkan model tersebut yang paling tepat (Pratomo
dan Hidayat, 2007).
3.3.3. Uji Kointegrasi
Regresi yang menggunakan data time series yang tidak stasioner kemungkinan
besar akan menghasilkan regresi lancung. Regresi lancung terjadi jika koefisien
determinasi cukup tinggi tapi hubungan antara variabel independen dan variabel dependen
tidak mempunyai makna. Hal ini terjadi karena hubungan keduanya yang merupakan data
time series hanya menunjukkan tren saja. Secara umum bisa dikatakan bahwa jika data time
series Y dan X tidak stasioner pada tingkat level tetapi menjadi stasioner pada diferensi
(difference) yang sama yaitu Y adalah I (d) dan X adalah I (d) dimana d tingkat diferensi
yang sama maka kedua data adalah terkointegrasi (mempunyai hubungan dalam jangka
panjang). Uji kointegrasi ada berbagai macam namun untuk uji dengan beberapa vektor uji
yang sering digunakan adalah uji Johansen.
Granger (1988) menjelaskan bahwa jika dua variabel berintegrasi pada derajat satu,
I (1) dan berkointegrasi maka paling tidak pasti ada satu arah kausalitas Granger.
suatu vektor n I (1) dari data runtut waktu Xt berkointegrasi dengan vektor kointegrasi,
maka ada representasi koreksi kesalahan atau secara matematis dapat dinyatakan dengan:
A (L) .Xt = - αXt-1 + (L) εt (3.10)
didasarkan pada uji Trace Ada tidaknya kointegrasi Statistic dan Maksimum Eigenvalue.
Apabila nilai hitung Trace Statistic dan Maksimum Eigenvalue lebih besar dari pada nilai
kritisnya, maka terdapat kointegrasi pada sejumlah variabel. Sebaliknya jika nilai hitung
Trace Statistic dan Maksimum Eigenvalue lebih kecil dari pada nilai kritisnya maka
terdapat kointegrasi.
3.4. Metode Analisis Data
Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan deterministik
ekonometrika, yaitu model regresi persamaan simultan (simultaneous equation regression
model) untuk mengetahui hubungan interdependensi dimana salah satu persamaan
dimungkinkan muncul pada persamaan lain dalam sistem. Model simultan terdiri lebih dari
satu variabel tidak bebas (Endegenous Variable) dan lebih dari satu persamaan. Hubungan
interdependensi menyebabkan variabel endogen yang menjelaskan (Dependent
Explanatory Variable) menjadi stokastik dan terkorelasi dengan gangguan (disturbance
term) dari persamaan yang muncul sebagai variabel yang menjelaskan.Istilah yang
digunakan untuk variabel adalah varibel endogen dan variabel eksogen (Nachrowi, 2006).
Model yang digunakan dalam analisis adalah model persamaan simultan dengan
autoregression AR (1), yaitu:
+[AR(1)=C(24)]+ µ2
dimana:
PDB = Produk DomestikBruto (Miliar Rp)
SBPU = Suku bunga pasar uang (persen)
TAX = Penerimaan pajak pemerintah (Miliar Rp)
GOV = Konsumsi riil pemerintah (Miliar Rp)
IHK = Indeks harga konsumen atas dasar harga konstan 1993 = 100 (persen)
M1 = Jumlah uang beredar dalam arti sempit yang terdiri dari uang kartal dan uang giral (Miliar Rp)
KURS = Nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (Rp/$)
AR(1) = autoregression atau tenggang waktu satu periode dari variabel
endogen yaitu variabel SBPU µ1 dan µ2 = Residual dari PDB dan SBPU.
Persamaan reduce-form dari persamaan struktural PDB dan SBPU adalah sebagai
berikut:
LOG(PDB) = α(10)+ α(11) LOG(TAX-GOV)+α(12) LOG(KURS)
+ α(13) LOG(IHK)+α(14) LOG(M1)+ v1
LOG(SBPU) = α(20)+ α(21) LOG(TAX-GOV)+α(22) LOG(KURS)
+ α(23) LOG(IHK)+α(24) LOG(M1)+ v2
dimana v1 dan v2 masing-masing residual dari persamaan reduce-form PDB dan SBPU.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Two-Stage Least
Square (2SLS). Cara penaksiran ini digunakan untuk model regresi persamaan simultan
yang mengandung persamaan-persamaan yang over identified. Over identified karena
koefisien reduce form lebih banyak dari koefisien persamaan awal.
Dengan metode order condition diidentifikasikan rumus persamaan simultan sebagai
berikut:
K – k > m - 1 ; disebut Over Identified.
K – k < m - 1 ; disebut Unidentified.
dimana K = jumlah seluruh variabel bebas (predetermined) dalam model, k = jumlah
seluruh variabel bebas (predetermined) dalam suatu persamaan tertentu, m = jumlah
variabel endogen dalam suatu persamaan tertentu. Dari hasil identifikasi kondisi order,
[image:54.612.93.542.484.549.2]dinyatakan sebagai berikut:
Tabel 3.1. Hasil Identifikasi Kondisi Order
Dari hasil i