• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interaksi Kebijakan Fiskal Dan Moneter Di Indonesia Terhadap Variabel Ekonomi Makro Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Interaksi Kebijakan Fiskal Dan Moneter Di Indonesia Terhadap Variabel Ekonomi Makro Di Indonesia"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

INTERAKSI KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER

DI INDONESIA TERHADAP VARIABEL

EKONOMI MAKRO DI INDONESIA

TESIS

Oleh

BENNY ROJESTON MARNAEK NAINGGOLAN

087018044/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

S

E K

O L A H

P A

S C

A S A R JA

(2)

INTERAKSI KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER

DI INDONESIA TERHADAP VARIABEL

EKONOMI MAKRO DI INDONESIA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

BENNY ROJESTON MARNAEK NAINGGOLAN

087018044/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : INTERAKSI KEBIJAKAN FISKAL DAN

MONETER DI INDONESIA TERHADAP

VARIABEL EKONOMI MAKRO DI INDONESIA

Nama Mahasiswa : Benny Rojeston Marnaek Nainggolan

Nomor Pokok : 087018044

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Dr. Jonni Manurung, M.S) Ketua

(Dr. Murni Daulay, M.Si) Anggota

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec)

Direktur

(Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 23 Desember 2010

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : Dr. Jonni Manurung, MS

Anggota : 1. Dr. Murni Daulay, SE., M.Si

2. Dr. Rahmanta, M.Si

3. Drs. Rujiman, MA

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul: “INTERAKSI

KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER DI INDONESIA TERHADAP

VARIABEL EKONOMI MAKRO DI INDONESIA”.

Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan oleh

siapapun juga sebelumnya. Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah

dinyatakan secara benar dan jelas.

Medan,

Yang membuat pernyataan,

(6)

INTERAKSI KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER DI INDONESIA TERHADAP VARIABEL

EKONOMI MAKRO DI INDONESIA

Benny Rojeston Marnaek Nainggolan, Dr. Jonni Manurung, MS dan Dr. Murni Daulay, SE., M.Si

ABSTRAK

Penelitian ini menganalisis interaksi kebijakan fiskal dan moneter terhadap variabel ekonomi makro, dalam penelitian ini adalah Defisit Anggaran Riil (100*) (Pengeluaran Pemerintah-Pajak/indeks harga konsumen), jumlah uang beredar, kurs, suku bunga BI dan PDB.

Pengumpulan data diperoleh dari data sekunder. Sumber data dalam penelitian ini dari Badan Pusat Statistik Indonesia dan Bank Indonesia. Data dikumpulkan mulai tahun 1984 s.d tahun 2008. Penentuan jumlah observasi didasarkan dalam model penelitian. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonometrika dengan metode simultanitas.

Hasil analisa data diketahui bahwa Pertumbuhan ekonomi (PDB) dipengaruhi variabel belanja pemerintah (G), Indeks Harga Konsumen (IHK), Kurs (KURS), pajak (TX) dan tingkat bunga BI (SBI) hanya sebesar 64,4%, Suku Bunga BI (SBI) dipengaruhi variabel jumlah uang beredar (JUB) dan PDB sebesar 49,5%.

(7)

THE INTERACTION OF FISCAL AND MONETARY POLICY IN INDONESIAN ON MACROECONOMIC VARIABLES

IN INDONESIAN

Benny Rojeston Marnaek Nainggolan, Dr. Jonni Manurung, MS and Dr. Murni Daulay, SE., M.Si

ABSTRACT

This study analyzes the interaction of fiscal and monetary policy on macroeconomic variables, in this study is the Real Budget Deficit (100*) (Government Expenditures-Tax/Consumer Prices Index), The Money Supply, Exchange Rates, Interest Rates and GDP.

The collection of data obtained from secondary data. Sources of data in this study from the Central Bureau of Statistics of Indonesia and Bank Indonesia. Data collected starting in 1984 s.d 2008. Determination of the number of observations based on the research model. The model used in this research is econometric model with the method of simultaneity.

Results of data analysis known that economic growth (GDP) expenditure variables influenced the government expenditure (GOV), the consumer price index (CPI), exchange rate (EXCHANGE), taxes (TAX) and the interest rate of Bank Indonesia (SBI) is only 64.4%, Interest rates BI (SBI) influenced the variables in the money supply (JUB) and the GDP amounted to 49.5%.

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang

telah memberikan berkat dan rahmatNya kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis yang berjudul “Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter

di Indonesia terhadap Variabel Ekonomi Makro di Indonesia” sebagai tugas

akhir pada Program Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih

yang tulus kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan

bantuan selama proses penyelesaian tesis ini. Secara khusus, penulis haturkan terima

kasih kepada:

1. Bapak Sinung Prabowo, SH, selaku Kepala Balai Diklat Keuangan Medan yang

memberikan izin kuliah dan dukungan moral dan motivasi diawal pertama

pendidikan ini.

2. Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec, selaku Ketua Program Studi Ekonomi

Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang

memberikan arahan kepada saya sehingga mampu menyelesaikan pendidikan

pada Program Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah

(9)

khususnya Program Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pengajaran dan bimbingan

selama proses perkuliahan hingga penulis mampu menyelesaikan studi ini.

4. Bapak Dr. Jonni Manurung, MS, selaku Pembimbing I yang banyak memberikan

arahan, bimbingan, motivasi dan pemikiran yang sangat berharga hingga tesis ini

dapat selesai.

5. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si, selaku Pembimbing II yang banyak memberikan

arahan, bimbingan, motivasi dan pemikiran yang sangat berharga hingga tesis ini

dapat selesai.

6. Bapak Dr. Rahmanta, M.Si., Bapak Drs. Rujiman, MA, dan Bapak Wahyu Ario

Pratomo, SE, M.Ec., selaku Dosen Pembanding yang telah banyak memberikan

saran-saran dan masukan dalam perbaikan penyusunan tesis ini.

7. Rekan-rekan mahasiswa Program Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Angkatan XVI yang telah sama-sama

berjuang dengan penulis, dalam menyelesaikan studi dan telah memberikan

banyak bantuan dan dukungan yang luar biasa.

Teristimewa kepada Istriku tercinta Betty Romauli Hutapea, S.Si dan

anak-anakku tersayang Sheela Victorya Gracetyana Nainggolan dan Sifara Selomitha

Nainggolan yang selama ini telah memberikan inspirasi dan spirit serta pengorbanan

yang tulus ikhlas mulai masa perkuliahan sampai penulisan tesis ini selesai.

(10)

dan spirit mulai masa perkuliahan sampai penulisan tesis ini. Tidak lupa juga penulis

menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu yang telah membantu baik moril dan materil baik selama

perkuliahan maupun dalam penyelesaian tesis ini. Penulis memohon kepada Tuhan

kiranya memberikan balasan pahala yang berlipat ganda bagi semua pihak yang telah

memberikan bantuan selama ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar nantinya dapat

menjadi lebih baik dan sempurna. Akhirnya penulis memohon agar Tuhan Yang

Maha Esa memberikan limpahan rahmat dan berkatNya kepada penulis dan semua

pihak yang telah memberikan bantuannya selama ini.

Medan, Desember 2010

Penulis,

(11)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Benny Rojeston M. Nainggolan

2. Tempat/Tgl. Lahir : Lhokseumawe, 12 Desember 1976

3. Agama : Kristen Protestan

4. Pekerjaan : PNS

5. Nama Istri : Betty Romauli Hutapea

6. Anak : 1. Sheela Victorya Gracetyana Nainggolan

2. Sifara Selomitha Nainggolan

7. Nama Orang Tua : 1. Jasmin Nainggolan

2. Rosdiana Simarmata

8. Alamat Rumah : Jl. Tuba II No. 38 Kec. Medan Denai Kota Medan

9. Pendidikan

a. Tahun 1983-1989 : SD Negeri No. 5 Lhokseumawe – Kab. Aceh Utara

b. Tahun 1989-1992 : SMP Negeri 11 Medan

c. Tahun 1992-1995 : SMA Negeri 8 Medan

d. Tahun 1995-1996 : PRODIP I Spesialisasi Anggaran di BPPK Medan

e. Tahun 1998-2003 : STIE Indonesia Jakarta

f. Tahun 2009-2010 : Magister Ilmu Ekonomi Pembangunan Sekolah

(12)

DAFTAR ISI

2.5. Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter ... 37

2.6. Penelitian Terdahulu ... 41

(13)

3.4. Identifikasi Simultanitas ... 49

3.5. Metode Analisis ... 51

3.6. Uji Stasioner dan Kointegrasi ... 52

3.7. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 54

3.8. Uji Kesesuaian (Test Goodness of Fit) ... 57

3.9. Definisi Operasional... 57

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 59

4.1. Kondisi Ekonomi Makro ... 59

4.2. Perkembangan IHK dan Tingkat Bunga ... 63

4.3. Perkembangan Nilai Tukar ... 66

4.4. Perkembangan Jumlah Uang Beredar dan PDB ... 67

4.5. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah dan Penerimaan Pajak ... 71

4.6. Hasil Analisis Data dan Pembahasan ... 73

4.7. Hasil Estimasi Model dan Pembahasan ... 77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 82

5.1. Kesimpulan ... 82

5.2. Saran ... 83

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1. Perkembangan PDB dan Belanja Pemerintah………. 4

3.1. Uji Identifikasi Persamaan……… 51

4.1. Perkembangan IHK dan Tingkat Bunga………. 63

4.2. Perkembangan Nilai Tukar (Kurs)……….. 66

4.3. Perkembangan Nilai Tukar (Kurs)……….. 68

4.4. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah dan Penerimaan Pajak 71 4.5. Hasil Pengujian Akar-akar……….. 74

4.6. Uji Kointegrasi……… 75

4.7. Hasil Uji Jarque-Bera……….. 76

4.8. Hasil Uji LM Test………. 76

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1. Perkembangan Inflasi dan SBI Januari 2007 s/d Maret 2009. 3

2.1. Kebijakan Fiskal pada Fixed Exchange Rate……….. 18

2.2. Kebijakan Moneter pada Fixed Exchange Rate……… 19

2.3. Kebijakan Fiskal pada Flexible Exchange Rate………. 21

2.4. Kebijakan Moneter pada Flexible Exchange Rate……… 22

2.5. Kerangka Pemikiran Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter terhadap Variabel Makro Ekonomi……….. 45

4.1. Perkembangan IHK dan Tingkat Bunga, 1986-2008………… 64

4.2. Perkembangan Kurs Tahun 1986-2008……… 67

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Tabulasi Data……….. 86

2. Regresi Simultan……… 87

3. Uji Stasioner………. 88

4. Uji Stasioner pada 1st Difference……… 90

5. Uji Stasioner pada 2nd Difference……….. 93

6. Uji Kointegrasi………. 95

7. Uji Normalitas Data Persamaan PDB……….. 96

(17)

INTERAKSI KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER DI INDONESIA TERHADAP VARIABEL

EKONOMI MAKRO DI INDONESIA

Benny Rojeston Marnaek Nainggolan, Dr. Jonni Manurung, MS dan Dr. Murni Daulay, SE., M.Si

ABSTRAK

Penelitian ini menganalisis interaksi kebijakan fiskal dan moneter terhadap variabel ekonomi makro, dalam penelitian ini adalah Defisit Anggaran Riil (100*) (Pengeluaran Pemerintah-Pajak/indeks harga konsumen), jumlah uang beredar, kurs, suku bunga BI dan PDB.

Pengumpulan data diperoleh dari data sekunder. Sumber data dalam penelitian ini dari Badan Pusat Statistik Indonesia dan Bank Indonesia. Data dikumpulkan mulai tahun 1984 s.d tahun 2008. Penentuan jumlah observasi didasarkan dalam model penelitian. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonometrika dengan metode simultanitas.

Hasil analisa data diketahui bahwa Pertumbuhan ekonomi (PDB) dipengaruhi variabel belanja pemerintah (G), Indeks Harga Konsumen (IHK), Kurs (KURS), pajak (TX) dan tingkat bunga BI (SBI) hanya sebesar 64,4%, Suku Bunga BI (SBI) dipengaruhi variabel jumlah uang beredar (JUB) dan PDB sebesar 49,5%.

(18)

THE INTERACTION OF FISCAL AND MONETARY POLICY IN INDONESIAN ON MACROECONOMIC VARIABLES

IN INDONESIAN

Benny Rojeston Marnaek Nainggolan, Dr. Jonni Manurung, MS and Dr. Murni Daulay, SE., M.Si

ABSTRACT

This study analyzes the interaction of fiscal and monetary policy on macroeconomic variables, in this study is the Real Budget Deficit (100*) (Government Expenditures-Tax/Consumer Prices Index), The Money Supply, Exchange Rates, Interest Rates and GDP.

The collection of data obtained from secondary data. Sources of data in this study from the Central Bureau of Statistics of Indonesia and Bank Indonesia. Data collected starting in 1984 s.d 2008. Determination of the number of observations based on the research model. The model used in this research is econometric model with the method of simultaneity.

Results of data analysis known that economic growth (GDP) expenditure variables influenced the government expenditure (GOV), the consumer price index (CPI), exchange rate (EXCHANGE), taxes (TAX) and the interest rate of Bank Indonesia (SBI) is only 64.4%, Interest rates BI (SBI) influenced the variables in the money supply (JUB) and the GDP amounted to 49.5%.

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah mewujudkan masyarakat

yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Untuk mencapai tujuan

tersebut, Pemerintah Indonesia dihadapkan pada berbagai masalah dan salah satu

diantaranya adalah dalam hal penyediaan sumber pembiayaan pembangunan itu

sendiri. Sumber-sumber pembiayaan pembangunan dapat berasal dari dalam negeri

dan luar negeri. Berkenaan dengan sumber pembiayaan pembangunan yang berasal

dari dalam negeri, pemerintah memanfaatkan dana dari masyarakat melalui

pemanfaatan Product Domestic Bruto (PDB).

Dalam dekade terakhir, beberapa negara baik negara maju maupun emerging

countries mengadopsi kerangka kerja inflation targeting dalam sistem kebijakan

moneter. Inflation targeting merupakan sebuah kerangka dalam sistem kebijakan

moneter dengan sasaran tunggal menciptakan stabilisasi tingkat harga. Sebuah

konsensus dalam kerangka kerja inflation targeting adalah tercapainya tingkat inflasi

yang rendah dan stabil dengan salah satu karakteristik yang harus dipenuhi adalah

adanya independensi bank sentral. Menurut Masson (1997), keberhasilan kerangka

kerja inflation targeting akan lebih efektif bila diawali dengan implementasi setelah

(20)

adanya dominasi fiskal dalam kebijakan moneter. Menurut Sargant dan Wallace

(1981), independensi bank sentral belum cukup untuk melihat efektivitas kebijakan

moneter. Lebih lanjut Woodford (1994, 2001) dan beberapa ekonom lainnya

menyatakan bahwa independensi bank sentral akan tercapai apabila kebijakan fiskal

tidak mempengaruhi tingkat harga dan government solvency harus terpenuhi yang

lebih dikenal dengan Fiscal Theory of Price Level (FTPL). Menurut teori ini bahwa

baik kebijakan moneter maupun fiskal memiliki pengaruh terhadap tingkat harga

secara terpisah (Leith and Lewis, 2000).

Interaksi kebijakan fiskal dan moneter telah lama menjadi perdebatan

di kalangan ekonom dan pengambil kebijakan. Pada satu sisi, kebijakan moneter

diarahkan pada pencapaian target menjaga stabilitas tingkat harga, sementara di sisi

lain kebijakan fiskal ditetapkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Permasalahan

utama interaksi kebijakan fiskal dan moneter terletak pada terjadinya trade-off antara

pencapaian stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi terutama dalam jangka

pendek. Dampak defisit fiskal yang tinggi dapat menyebabkan kenaikan tingkat

inflasi, begitu halnya perekonomian dengan tingkat inflasi yang tinggi juga

memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi. Perkembangan

perekonomian yang semakin dinamis dan terintegrasi dengan perekonomian dunia

memberikan implikasi penting bagi para pelaku ekonomi terutama dalam

pengambilan kebijakan makro ekonomi. Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter

merupakan bagian integral dari kebijakan makro ekonomi yang memiliki target yang

(21)

fiskal dan moneter melalui koordinasi yang baik akan memberikan sinyal positif bagi

pasar dan menjaga stabilitas makro ekonomi. Stabilitas makro ekonomi dapat dilihat

dari adanya penurunan variabel makro ekonomi pada saat krisis menyebabkan

variabel makro ekonomi lainnya juga akan terpengaruh. Penurunan nilai tukar rupiah

sebagai imbas pasar keuangan global yang mengalami krisis sehingga mempengaruhi

variabel makro ekonomi seperti inflasi dan tingkat SBI.

11. 85

Jan-07 Feb-07 Mar-07 Apr-07 May-07 Jun-07 Jul-07 Aug-07 Sep-07 Oct-07 Nov-07 Dec-07 Jan-08 Feb-08 Mar-08 Apr-08May-08 Jun-08 Jul-08 Aug-08Sep-08 Oct-08 Nov-08 Dec-08 Jan-09 Feb-09 Mar-09

Sumber: Bank Indonesia. Data Diolah: 2009

Gambar 1.1. Perkembangan Inflasi dan SBI Januari 2007 s/d Maret 2009

Pada gambar di atas diketahui, bahwa seiring dengan kenaikan inflasi yang

merangkak pada kisaran yang lebih tinggi dan juga adanya kecenderungan Bank

Indonesia untuk menurunkan tingkat suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) pada

(22)

meningkat dengan dorongan belanja pemerintah yang juga meningkat maka PDB

akan sulit untuk mencapai tingkat yang diinginkan.

Tabel 1.1. Perkembangan PDB dan Belanja Pemerintah

Tahun PDB

Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia

Keselarasan kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia pada tahun terakhir

menunjukkan perkembangan yang baik. Dari sisi kebijakan fiskal, dengan tetap

(23)

mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini ditunjukkan dari defisit anggaran yang

mampu dikendalikan pada level 1,0% dari PDB pada tahun 2006 meskipun lebih

tinggi dari sasaran awal 0,7% dari PDB. Terkendalinya defisit anggaran ini mampu

memberikan stimulus pertumbuhan ekonomi mencapai 5,5% pada tahun 2006.

Sedangkan dari sisi moneter, stabilitas harga tetap terjaga dengan pengendalian inflasi

pada level 6,60% oy) dibandingkan awal tahun 2006 yang mencapai 17,03%

(y-oy) (Bank Indonesia, 2006). Hal ini juga ditandai dengan menurunnya tingkat suku

bunga SBI sehingga kondisi tersebut memberikan sinyal yang positif bagi sektor riil.

Kerangka umum yang sering dipergunakan dalam menganalisa interaksi

simultan antara permintaan dan penawaran baik pada pasar barang dan pasar uang

adalah kerangka IS-LM. Kerangka ini secara gamblang dapat menunjukkan

bagaimana kebijakan moneter dan fiskal mampu mempengaruhi tingkat pendapatan

atau output (Mankiw, 2000; Mishkin, 2004). Bagi bank sentral yang merupakan

otoritas moneter, kebijakan yang ia pilih bergantung pada target, kondisi aktual

perekonomian, kapasitas kebijakan dan pertimbangan tentang efektivitas kebijakan

tersebut. Kebijakan moneter ini ditentukan secara terpusat oleh Bank Indonesia.

Meskipun dalam formulasi kebijakannya Bank Indonesia sudah mempertimbangkan

aspek regional, namun respon agen dan dampak pada masing-masing region tersebut

sangat mungkin berbeda, dan ini sangat bergantung pada kondisi empirik

masing-masing daerah, pemerintah selaku otoritas fiskal juga memiliki tipikal pertimbangan

(24)

dengan lainnya. Dalam perkembangannya, kebijakan fiskal dapat dibedakan menjadi

4 macam (Basri dan Sabri, 2003), yaitu (i) pembiayaan fungsional (functional

finance), (ii) pengelolaan anggaran (the managed budget approach), (iii) stabilisasi

anggaran otomatis (the automatic stabilizing budget) dan (iv) anggaran belanja

berimbang (balanced budget approach). Kebijakan fiskal ini berada pada setiap level

pemerintahan yakni pusat dan daerah, dan secara umum tertuang dalam Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD).

Sejauh ini, tekad yang tertulis pemerintah dalam hal anggaran ini (Badan

Analisa Fiskal, 2004) adalah, pertama, menempuh anggaran belanja seimbang dan

dinamis di mana pengeluaran total tidak melebihi permintaan total. Kedua, Anggaran

dibedakan menjadi anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Tabungan pemerintah

merupakan penerimaan dalam negeri di atas pengeluaran rutin yang diusahakan

meningkat agar dapat mengurangi kebutuhan bantuan dan hutang luar negeri. Ketiga,

dari sisi penerimaan anggaran, dasar perpajakan diusahakan semakin luas lewat

intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan pajak. Keempat, di sisi pengeluaran

anggaran, prioritas diberikan pada kegiatan-kegiatan pembangunan dan bukan pada

kegiatan-kegiatan rutin. Subsidi-subsidi semakin dikurangi baik untuk

perusahaan-perusahaan pemerintah maupun terhadap barang konsumsi, sehingga akan

menghemat pengeluaran. Kelima, kebijakan anggaran diarahkan pada sasaran untuk

meningkatkan penggunaan barang-barang dan tenaga kerja dari dalam negeri, dengan

(25)

hubungannya dengan perluasan kesempatan kerja, produsen didorong untuk lebih

menggunakan teknologi padat karya dengan sedikit menggunakan teknologi padat

modal.

Peranan atau fungsi daripada pemerintah di bidang fiskal adalah untuk

menciptakan stabilisasi ekonomi, pemerataan pendapatan, dan mengalokasikan

sumber daya manusia. Khusus untuk fungsi stabilisasi dan pemerataan, akan lebih

efektif apabila dilakukan pemerintah pusat, sedangkan fungsi alokasi akan lebih

efektif dilakukan pemerintah daerah (Kuncoro, 1995).

Pertimbangan utama secara ekonomis mengapa fungsi alokasi lebih baik

dilaksanakan oleh daerah adalah efisiensi yang diperoleh dari kedekatan pemerintah

sebagai penyedia jasa bagi masyarakat (Badan Analisa Fiskal, 2004). Argumen ini

merupakan salah satu titik tolak pemikiran dalam mendukung kebijakan desentralisasi

fiskal. Pertimbangan lain yang mendukung desentralisasi fiskal adalah dalam rangka

meningkatkan mobilisasi penerimaan sektor pemerintah secara keseluruhan, karena

desentralisasi fiskal akan dapat memperluas jaringan pajak (tax net) sehubungan

dengan keakuratan informasi basis pajak yang dimiliki oleh pemerintah daerah.

Di samping itu, hal ini juga akan mendorong terjadinya distribusi penduduk dan

ukuran daerah yang lebih baik, karena dimungkinkannya daerah memungut pajaknya

(26)

1.2. Perumusan Masalah

Pokok-pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah Defisit Anggaran Riil (Goverment Expenditure – Pajak/Indeks Harga

Konsumen), Kurs, dan SBI berpengaruh secara simultan terhadap PDB?

2. Apakah jumlah uang beredar dan PDB berpengaruh secara simultan terhadap

SBI?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Untuk menganalisis pengaruh secara simultan Defisit Anggaran Riil (Goverment

Expenditure – Pajak/Indeks Harga Konsumen), Kurs, dan SBI terhadap PDB. 2. Untuk menganalisis pengaruh secara simultan jumlah uang beredar dan PDB

terhadap SBI.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Untuk mengetahui sejauhmana interaksi kebijakan fiskal dan kebijakan

moneter terhadap variabel makro ekonomi di Indonesia.

2. Sebagai informasi ilmiah dan wawasan ilmu pengetahuan tentang interaksi

kebijakan fiskal dan kebijakan moneter serta variabel makro ekonomi.

3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lainnya untuk menganalisis hal-hal yang

berkenaan dengan interaksi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dan

(27)

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1. Variabel Ekonomi Makro

2.1.1. Produk Domestik Bruto (PDB)

PDB diyakini sebagai indikator ekonomi terbaik dalam menilai perkembangan

ekonomi suatu negara. Perhitungan pendapatan nasional ini mempunyai ukuran

makro utama tentang kondisi suatu negara. Pada umumnya, perbandingan kondisi

antar negara dapat dilihat dari pendapatan nasional negara tersebut sebagai gambaran

bagi Bank Dunia untuk menentukan apakah suatu negara berada dalam kelompok

negara maju atau berkembang melalui pengelompokkan besarnya PDB. Dan PDB

suatu negara sama dengan total pengeluaran atas barang dan jasa dalam

perekonomian (Herlambang, 2001).

Menurut Samuelson (2002), PDB adalah jumlah output total yang dihasilkan

dalam batas wilayah suatu negara dalam satu tahun. PDB mengukur nilai barang dan

jasa yang diproduksi di wilayah suatu negara tanpa membedakan kewarganegaraan

pada suatu periode waktu tertentu. Dengan demikian warga negara yang bekerja

di negara lain, pendapatannya tidak dimasukkan kedalam PDB. Sebagai gambaran,

PDB Indonesia baik oleh warga negara Indonesia (WNI) maupun warga negara asing

(WNA) yang ada di Indonesia tetapi tidak diikutsertakan produk WNI di luar negeri

(28)

Sukirno (2002), mendefinisikan PDB sebagai nilai barang dan jasa dalam

suatu negara yang diproduksi oleh faktor-faktor produksi milik warga negara tersebut

dan warga negara asing. Sedangkan Wijaya (1997), menyatakan bahwa PDB adalah

nilai uang berdasarkan harga pasar dari semua barang-barang dan jasa-jasa yang

diproduksi oleh suatu perekonomian dalam suatu periode waktu tertentu biasanya

satu tahun. Secara umum PDB dapat diartikan sebagai nilai akhir barang-barang dan

jasa yang diproduksi di dalam suatu negara selama periode tertentu (biasanya satu

tahun).

Menurut Tambunan (2001), ada kecenderungan, atau dapat dilihat sebagai

suatu hipotesis, bahwa semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun

yang membuat semakin tinggi atau semakin cepat proses peningkatan pendapatan

masyarakat per kapita, semakin cepat perubahan struktur ekonomi, dengan asumsi

bahwa faktor-faktor penentu lain pendukung proses tersebut, seperti tenaga kerja,

bahan baku dan teknologi tersedia.

2.1.2. Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila

pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa,

pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah

untuk melaksanakan kebijakan tersebut (Mangkoesoebroto, 2003). Dalam rangka

kegiatan ekonomi pembangunan, kebutuhan akan dana yang menjadi beban

pengeluaran pemerintah terus meningkat, kebutuhan dana yang terus meningkat

(29)

sumber penerimaan negara dari pajak dan pendapatan negara lainnya yang sah,

termasuk dari bantuan atau pinjaman atau hutang dari dalam dan luar negeri ataupun

dengan mengadakan efisiensi pengeluaran pemerintah (Frans Seda, 2004).

Penggalian sumber-sumber keuangan khususnya yang berasal dari pajak dapat

dilakukan dengan terlebih dahulu meningkatkan Pengeluaran Pemerintah

(Government Expenditures) untuk merangsang meningkatnya Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB). Dalam hal ini pemerintah dapat melakukannya melalui:

a. Belanja Pegawai. Belanja Pegawai merupakan salah satu pos yang penting dari

APBN karena jika pos ini tidak ada, maka roda pemerintahan tidak dapat

digerakkan. Belanja Pegawai dalam hal ini kita sederhanakan sebagai bayar Gaji

(W). Apakah yang terjadi dari perubahan W ? Pembayaran atau peningkatan gaji

pegawai negeri (PNS) akan berpengaruh pada pendapatan dan seterusnya

permintaan permintaan PNS untuk membeli barang-barang atau jasa-jasa. Gaji

PNS berubah atau naik, maka pendapatan disposable income sektor rumah tangga

bertambah (Yd). Pertambahan Yd dapat menaikkan ∆ AD melalui pengeluaran

konsumsi (∆C). Tambahan konsumsi, akibat dari tambahan pendapatan itu

tergantung pada kecenderungan konsumsi atau pada MPC. Jadi konsumsi

meningkat dengan C = c Yd = c W, c adalah MPC, selanjutnya efek pengganda

atau proses pelipat (proses multiplier) akan meningkat AD sebesar:

1

(30)

1 c

∆ AD = --- c ∆ Yd = --- ∆ W (2.2)

1 - c 1 - c

MPC atau c dinegara kita dapat dikatakan masih tinggi, karena

pendapatannya masih rendah. Sebagian besar dari tambahan pendapatan

digunakan untuk tambahan konsumsi. Misal diasumsi MPC = c = 0,80 , maka

dengan ∆ belanja pegawai sebesar Rp. x ,- maka dapat menaikkan ∆AD

sebesar 500%. Seterusnya perubahan AD sebesar ini akan meningkatkan

PDRB.

b. Belanja Barang/Jasa atau Pengeluaran Pembangunan.

Belanja Barang atau Pengeluaran Pembangunan pada putaran pertama akan

menaikkan AD sebesar:

1

∆ AD = --- ∆ G (2.3)

1 - c

Kalau kita asumsi MPC = c = 0,8, maka pengeluaran pembangunan akan

meningkatkan AD sebesar 500%. Dengan tingginya multiplier effect yang tercipta

maka akan juga menigkatkan PDRB. Menurut Rahmayanti (2006) peningkatan

tarif pajak akan meningkatkan ketidakefisienan dan kepatuhan wajib pajak

sehingga dapat mengurangi penerimaan pajak. Selanjutnya Rahmayanti

menyatakan bahwa batas untuk meningkatkan tarif pajak adalah sesuatu yang

(31)

lebih terbuka dan persaingan dalam menarik investasi dapat dipengaruhi oleh

pajak di suatu negara. Meskipun masih banyak faktor-faktor lain yang

menentukan keputusan untuk berinvestasi namun pajak termasuk tarif pajak

masih menjadi bahan pertimbangan yang penting. Memasukkan variabel jumlah

penduduk dan perubahan harga dalam menentukan besarnya pengeluaran

pemerintah, jelas merupakan hal yang sangat penting. Tetapi hal itu tidak cukup.

Terdapat banyak alasan jika kita menganggap bahwa sebagian dari kenaikan

pendapatan dikeluarkan untuk membeli barang dan jasa oleh sektor pemerintah.

2.1.3. Teori Pajak

Teori klasik tentang sistem perpajakan yang baik dimulai sejak Adam Smith

dalam bukunya “The Wealth of Nations” (Waluyo, 2006) yang menyatakan bahwa penungutan pajak hendaknya didasarkan pada:

a) Equality

Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan kepada

orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau

ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan

bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran

pemerintah sebanding dengan kepentingan dan manfaat yang diminta.

b) Certainty

Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu,

(32)

c) Convenience

Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan

saat-saat yang tidak menyulitkan wajib pajak sebagai contoh pada saat-saat wajib pajak

memperoleh penghasilan. Sistem pemungutan ini disebut pay as you earn.

d) Economy

Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban bagi

wajib pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang

dipikul wajib pajak.

Azas keadilan dalam sistem perpajakan telah banyak didiskusikan secara luas,

dan hal ini merupakan bagian terpenting dalam mengevaluasi setiap pengajuan dalam

pembuatan kebijakan perpajakan. Musgrave (Laksana, 2001) memberikan pandangan

yang adil tentang distribusi beban pajak, beban administrasi dan pengaruh insentif

pajak terhadap penerimaan pajak. Diantara keempat azas di atas, Musgrave juga

menekankan pada tiga azas lainnya yaitu: azas netralitas (neutrality), azas perbaikan

(reformation), dan azas kestabilan dan pertumbuhan (growth and stability).

Di negara-negara yang sedang berkembang sebagian besar penerimaan

pajaknya berasal dan sumber pajak tak langsung. Menurut Nafziger (1990) dalam

Yuzrat and Makhfatih (Nasution, 2003) menyebutkan bahwa proporsi PDB terhadap

pajak langsung pada negara sedang berkembang lebih rendah daripada pajak

langsung dari negara-negara maju. Hal ini dikarenakan pada negara-negara yang

sedang berkembang lebih rendah golongan berpenghasilan tingginya. Dalam

(33)

menjadi pajak langsung sesuai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi

diiringi dengan peningkatan pendapatan perkapita penduduknya.

Dalam jangka panjang peranan pajak langsung akan semakin penting seiring

dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat dan ditunjang pula dengan

teknologi canggih menuju era globalisasi. Selain berfungsi sebagai pemerataan

karena struktur tarifnya bersifat progresif, perkembangan hubungan internasional

yang semakin maju kearah liberal dan global mengharuskan pemerintah untuk

menurunkan tarif impornya dalam rangka peningkatan daya saing ekonomi domestik

di ekonomi dunia. Konsekuensinya penerimaan pajak tidak langsung akan menjadi

turun. Alternatifnya adalah memobilisasi penerimaan pajak yang bertumpu pada

pajak langsung seperti pajak penghasilan.

2.1.4. Inflasi

Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan

terus menerus (Sukirno, 2002). Akan tetapi, bila kenaikan harga hanya dari satu atau

dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau

menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain (Boediono,

2000). Kenaikan harga-harga barang itu tidak harus dengan persentase yang sama.

Inflasi merupakan kenaikan harga secara terus menerus dan kenaikan harga

yang terjadi pada seluruh kelompok barang dan jasa (Pohan, 2008). Bahkan mungkin

dapat terjadi, kenaikan tersebut tidak pada waktu yang bersamaan. Yang penting

(34)

yang cukup besar, bukan merupakan inflasi (Nopirin, 2000). Atau dapat dikatakan,

kenaikan harga barang yang hanya bersifat sementara.

Dari kutipan di atas diketahui bahwa inflasi adalah keadaan di mana terjadi

kelebihan permintaan (excess demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian

secara keseluruhan. Inflasi sebagai suatu kenaikan harga yang terus menerus dari

barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang saja dan sesaat). Menurut

definisi ini, kenaikan harga yang sporadis tidak dapat dikatakan sebagai inflasi.

Inflasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi faktor produksi

serta produk nasional. Efek terhadap distribusi pendapatan disebut dengan equity

effect, sedangkan efek terhadap alokasi faktor produksi dan pendapatan nasional

masing-masing disebut dengan efficiency dan output effects (Nopirin, 2000).

2.2. Model IS-LM

Semua pelajar ekonomi pasti mengetahui masalah keseimbangan ekonomi.

Hal yang sama juga dipahami mengenai luas kecilnya skala perekonomian sebagai

dasar analisis utama. Ketika perekonomian masih dalam kondisi awal, kegiatan

ekonomi hanya terdiri dari kegiatan konsumsi, investasi dan pemerintah (C,I,G).

Ketika muncul peran hubungan luar negeri, perekonomian kemudian berkembang

menjadi kegiatan konsumsi, investasi, pemerintah dan luar negeri (C,I,G,(X-I)).

Perekonomian negara yang sudah memasukkan unsur hubungan luar negeri tentu

membawa konsekuensi munculnya sistem aliran devisa negara serta sistem nilai tukar

(35)

pasti mengetahui sebuah nama Mundell Flemming. Ekonom inilah yang kemudian

memodifikasi bentuk analisa IS-LM yang sederhana dengan memasukkan unsur

Balance of Payment (BOP) sehingga analisanya menjadi lebih kompleks. Dari hasil

analisa IS-LM-BOP inilah nantinya dapat dijadikan dasar penentuan apakah

kebijakan fiskal atau moneter yang lebih berperan bagi perekonomian suatau negara,

berdasarkan sistem nilai tukar negara maupun sistem aliran devisa negara.

Gambar 2.1. Kebijakan Fiskal pada Fixed Exchange Rate

Sebagai contoh ilustrasi ekonomi berada pada kondisi awal di titik A dengan

tingkat suku bunga domestik (r) sama dengan tingkat suku bunga luar negeri (rf).

Karena kondisinya sedang krisis, sektor swasta tidak tumbuh sebagaimana mestinya

dan sektor pemerintahlah yang memegang peranan dalam bentuk peningkatan suku

bunga domestik menjadi r1. Kenaikan tingkat suku bunga ke r1 menyebabkan

(36)

adanya kenaikan permintaan terhadap rupiah. Hal tersebut juga dapat diartikan

tingkat suku bunga domestik lebih tinggi daripada tingkat suku bunga internasional

sehingga orang tertarik untuk menabung di domestik. Naiknya demand terhadap

Rupiah menyebabkan pemerintah harus menambah supply dari Rupiah (karena kurs

tetap maka kurs tidak akan disesuaikan). Adanya kenaikan penawaran terhadap

Rupiah inilah yang menyebabkan ekspor mengalami penurunan dan impor justru

meningkat pesat. Peningkatan dari supply Rupiah menyebabkan kurva LM bergerak

menuju LM1 yang artinya kurva LM mengalami penurunan. Keseimbangan ekonomi

kembali berpindah menuju titik C dengan tingkat pendapatan naik dari Y menuju Y2.

Kenaikan tingkat pendapatan inilah yang menjadi barometer kesuksesan kebijakan

fiskal pada kondisi fixed exchange rate.

Gambar 2.2. Kebijakan Moneter pada Fixed Exchange Rate

(37)

Dengan ilustrasi yang sama kita dapat menjelaskan jalannya perekonomian

pada kondisi krisis dengan kebijakan moneter di dalamnya. Perekonomian

diumpamakan berada pada kondisi keseimbangan awal di titik A dengan IS0-LM0.

Perubahan yang terjadi pada fixed exchange rate juga sama di sini hingga terjadinya

kenaikan penawaran Rupiah. Adanya peningkatan penawaran Rupiah akan

menyebabkan bergeraknya LM ke LM1 sehingga perekonomian berpindah dari titik A

menuju B. Perpindahan kondisi perekonomian dari A menuju B menyebabkan

penurunan pada tingkat bunga dari r ke r1 sehingga terjadi aliran modal keluar

(capital outflow) akibat rendahnya tingkat suku bunga domestik dibandingkan suku

bunga internasional. Meningkatnya capital outflow ini akan menyebabkan terjadinya

kenaikan permintaan valuta asing. Peningkatan permintaan valuta asing di satu sisi

menyebabkan terjadinya penurunan penawaran Rupiah sebagai substitusi valuta

asing. Pengurangan penawaran Rupiah sama saja artinya dengan penurunan kurva

LM sehingga kurva LM kembali bergerak dari LM1 ke LM0 dan keseimbangan

kembali berpindah dari B menuju A. Keseimbangan ini biasanya tidak permanen dan

hanya terjadi pada periode jangka pendek sehingga dapat disimpulkan pada negara

dengan kebijakan fixed exchange rate, kebijakan moneter tidak efektif dibandingkan

(38)

Gambar 2.3. Kebijakan Fiskal pada Flexible Exchange Rate

Adanya kebijakan fiskal dalam arti terjadinya kenaikan government spending

(fiskal ekspansif) akan menggerakkan kurva IS ke kanan atau berpindah dari IS0

menuju IS1. Akibatnya suku bunga domestik mengalami kenaikan dan terjadi capital

inflow dari dunia internasional. Dengan kebijakan kurs yang flexible maka kenaikan

permintaan terhadap Rupiah akan memungkinkan perubahan kurs yang menyebabkan

harga tukar Rupiah meningkat (apresiasi Rupiah). Efek dari apresiasi Rupiah terhadap

perdagangan Indonesia cukup merugikan, sebab secara relatif harga komoditi

Indonesia lebih mahal dalam valuta asing sehingga mengurangi permintaan ekspor

kita serta meningkatkan permintaan impor. Akibatnya apresiasi Rupiah akan kembali

menurunkan kurva IS ke kiri dan menurunkan keseimbangan ekonomi dari titik B

kembali ke titik A dalam jangka panjang. Jadi dapat disimpulkan pada negara dengan

(39)

kebijakan flexible exchange rate, kebijakan fiskal tidak efektif dibandingkan

kebijakan moneter.

Gambar 2.4. Kebijakan Moneter pada Flexible Exchange Rate

Kebijakan moneter yang ekspansif akan menyebabkan kenaikan kurva LM

sehingga bergeser dari LM0 menuju LM1. Akibatnya tingkat suku bunga domestik

turun dan terjadinya capital outflow ke luar negeri. Dalam kondisi flexible exchange

rate maka capital outflow akan menaikkan permintaan valuta asing sehingga harga

valuta asing naik atau dengan kata lain terjadi depresiasi Rupiah. Depresiasi Rupiah

akan menaikkan neraca perdagangan Indonesia dan kurva IS bergeser ke kanan (IS0

-IS1). Keseimbangan akhir berada pada titik C dengan tingkat pendapatan sebesar Y1.

Karenanya dapat disimpulkan kebijakan moneter justru sangat efektif untuk

diterapkan di suatu negara yang menganut sistem nilai tukar yang flexible.

(40)

2.3. Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk

mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa

pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang

bertujuan menstabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan

jumlah uang yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan

pajak. Perubahan tingkat dan komposisi pajak dan pengeluaran pemerintah dapat

mempengaruhi variabel-variabel berikut:

1. Permintaan agregat dan tingkat aktivitas ekonomi,

2. Pola persebaran sumber daya,

3. Distribusi pendapatan.

Kebijakan fiskal dapat diartikan sebagai tindakan yang diambil oleh

pemerintah dalam bidang anggaran belanja negara dengan maksud untuk

mempengaruhi jalannya perekonomian. Anggaran belanja negara terdiri dari

penerimaan atas pajak, pengeluaran pemerintah (goverment expenditure) dan transfer

pemerintah (goverment transfer). Kebijakan fiskal dapat diartikan sebagai tindakan

yang diambil oleh pemerintah dalam bidang anggaran belanja negara dengan maksud

untuk mempengaruhi jalannya perekonomian, khususnya perekonomian Indonesia.

Anggaran belanja negara terdiri dari:

1. penerimaan atas pajak,

2. pengeluaran pemerintah (goverment expenditure),

(41)

4. government transfer.

Biaya transfer pemerintah merupakan pengeluaran-pengeluaran pemerintah

yang tidak menghasilkan balas jasa secara langsung. Contoh pemberian beasiswa

kepada mahasiswa, bantuan bencana alam dan sebagainya. Salah satu pengaruh

penerapan kebijakan fiskal adalah pada pendapatan nasional. Pada sistem

perekonomian yang tertutup (tidak ada perdagangan internasional) maka pendapatan

nasional (Y) dapat tersusun atas konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah

(G). Dirumuskan:

Y = C + I + G (2.4)

Di mana konsumsi (C) sebagai fungsi dirumuskan sebagai:

C = aY + b (2.5)

Pendapatan disposibel (YD) sebagai nilai pendapatan yang dapat dibelanjakan

diformulasikan sebagai:

YD = Y – Tx + Tr

YD = C + S (2.6)

Di mana:

Tx : Pajak

Tr : Transfer pemerintah

S : Saving

Di mana saving dapat difungsikan sebagai:

(42)

Dengan pendekatan matematis dapat ditemukan adanya angka pengganda/

multiplier dalam perekonomian dengan penggunaan kebijakan fiskal, yaitu:

1. Angka pengganda investasi,

2. Angka pengganda konsumsi,

3. Angka pengganda pengeluaran pemerintah,

4. Angka pengganda transfer pemerintah,

5. Angka pengganda pajak.

Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal:

1. Pemantapan koordinasi untuk menjaga sasaran bersama.

2. Harmonisasi kebijakan moneter dan fiskal untuk mengoptimalkan

pertumbuhan.

3. Mengendalikan likuiditas perekonomian dengan mengupayakan.

Suku bunga yang secara riil mampu menjaga kepercayaan terhadap Rupiah

adalah:

1. Mengurangi tekanan inflasi.

2. Penyediaan insentif untuk mendukung percepatan sektor riil.

3. Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Desentralisasi.

4. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja sebagai stimulus

pembangunan.

5. Memperbaiki pelaksanaan anggaran di daerah-daerah untuk mendukung

percepatan pembangunan.

(43)

7. Pelaporan dan penggunaan belanja APBD.

8. Peningkatan kepastian hukum dan keserasian peraturan pusat dan daerah

diprioritaskan.

9. Penegakan hukum persaingan usaha.

10.Sinkronisasi UU Penanaman Modal Tahun 2007 dengan berbagai peraturan

daerah & Juklak UU Penanaman Modal.

11.Penyusunan rancangan perubahan UU No. 5/1999 untuk membangun sistem

pasar yang lebih sehat.

Kebijakan Fiskal adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam

rangka mendapatkan dana-dana dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah

untuk membelanjakan dananya tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan.

Atau dengan kata lain, kebijakan fiskal adalah kebjakan pemerintah yang berkaitan

dengan penerimaan atau pengeluaran Negara. Dari semua unsur APBN hanya

pembelanjaan negara atau pengeluaran dan negara dan pajak yang dapat diatur oleh

pemerintah dengan kebijakan fiskal. Contoh kebijakan fiskal adalah apabila

perekonomian nasional mengalami inflasi, pemerintah dapat mengurangi kelebihan

permintaan masyarakat dengan cara memperkecil pembelanjaan dan atau menaikkan

pajak agar tercipta kestabilan lagi. Cara demikian disebut dengan pengelolaan

anggaran. Tujuan kebijakan fiskal adalah untuk mempengaruhi jalannya

perekonomian. Hal ini dilakukan dengan jalan memperbesar dan memperkecil

(44)

pendapatan nasional (Y) dan tingkat kesempatan kerja (N). Salah satu kebijakan

penting yang berada di dalam otoritas pemerintah adalah kebijakan fiskal, dan pelaku

dari kegiatan ekonomi secara makro ialah Negara. Negara berperan untuk mengatur

kegiatan ekonomi agar terjaga stabilitas ekonomi dan mensejahterakan rakyatnya agar

tidak mengalami kemiskinan dan pengangguran. Salah satu kegiatan ekonomi yang

dilakukan pemerintah adalah membuat APBN, mengatur inflasi agar tidak terjadi

krisis ekonomi, membangun ekonomi dengan pertumbuhan yang signifikan dan

merata.

Pertumbuhan ekonomi sangat berpengaruh pada kebijakan fiskal yang

terwujud dalam APBN. Ketika APBN digunakan sesuai dengan waktu dan tempat

yang tepat maka inflasi yang akan terkendali dengan baik sehingga berdampak pada

pertumbuhan yang signifikan dan merata dalam ruang lingkup makro yaitu Negara.

Untuk itu kita perlu mengkaji peranan pajak dalam kebijakan fiskal yang termasuk

dalam sumber penerimaan suatu negara. Agar kita mengetahui seberapa pentingkah

pajak dalam suatu negara yang merupakan sumber penerimaan negara. Pajak sudah

dikenal sejak ratusan tahun atau lebih seribu tahun yang lalu. Konsep pajak pada

masa itu jauh berbeda dengan masa sekarang. Intinya adalah pengalihan harta dari

suatu pihak kepada pihak yang lain dengan paksaan yang digunakan untuk

kepentingan pihak yang berkuasa. Secara bertahap dan melalui berbagai perubahan

yang disertai dengan pemberontakan, revolusi atau perlawanan lain, lambat laun

dalam masa yang lama, pajak yang berbentuk seperti dahulu mengalami perubahan.

(45)

pajak. Sistem perpajakan mengalami pelbagai perubahan dari masa lampau hingga

sekarang. Bila masa lalu pajak ditetapkan atas kehendak penguasa secara sepihak

maka pajak pada masa sekarang telah berubah sebagai suatu keputusan berdasarkan

dengan tujuan untuk kepentingan rakyat banyak.

2.4. Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam mewujudkan

stabilitas ekonomi makro terdiri dari kerangka strategis dan kerangka operasional.

Kerangka strategis umumnya terkait dengan pencapaian tujuan akhir kebijakan

moneter (stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, dan perluasan kesempatan kerja)

serta strategi untuk mencapainya (exchange rate targeting, monetary targeting,

Inflation targeting, implicit but not explicit anchor) (Perry Warjiyo dan Solikin,

2004). Kerangka operasional kebijakan moneter terdiri dari instrumen,

sasaran-operasional, dan sasaran-antara yang digunakan untuk mencapai sasaran akhir.

Sasaran-antara diperlukan karena adanya time lag antara pelaksanaan kebijakan

moneter dengan hasil pencapaian sasaran akhir, sehingga untuk meninjau keefektifan

suatu kebijakan, maka diperlukan adanya kebijakan yang dapat dilihat dengan segera.

untuk mencapai sasaran antara ini, diperlukan adanya sasaran operasional agar proses

transmisi dapat berjalan sesuai rencana. Kriteria dari sasaran-operasional ini adalah

memiliki kestabilan hubungan dengan sasaran antara, dapat dikendalikan oleh bank

(46)

Instrumen moneter merupakan instrumen yang dimiliki bank sentral yang dapat

mempengaruhi sasaran operasional yang telah ditetapkan.

Indikator kebijakan moneter dilakukan dengan berbagai pertimbangan sebagai

berikut:

1. Dalam merumuskan kebijakan moneter, Bank Indonesia akan selalu melakukan

analisis dan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi, khususnya

prakiraan inflasi, pertumbuhan ekonomi, besaran-besaran moneter dan

perkembangan sektor ekonomi dan keuangan secara keseluruhan.

2. Demikian pula, Bank Indonesia akan selalu dan terus memperhatikan

langkah-langkah kebijakan ekonomi yang ditempuh Pemerintah. Langkah-langkah-langkah

koordinasi kebijakan yang selama ini telah berlangsung baik akan terus diperkuat

dan ditingkatkan.

3. Analisis dan prakiraan berbagai variabel ekonomi tersebut dipertimbangkan

untuk mengarahkan agar prakiraan inflasi ke depan sejalan dengan kisaran

sasaran inflasi yang telah ditetapkan.

Respon kebijakan moneter selalu berorientasi kepada kebijakan sebagai dasar

dan tujuan kebijakan moneter sebagai berikut:

1. Tujuan dan bentuk respon kebijakan moneter adalah sebagai berikut:

a. Respon (stance) kebijakan moneter ditetapkan untuk menjamin agar

pergerakan inflasi dan ekonomi ke depan tetap berada pada jalur

(47)

b. Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam kenaikan, penurunan,

atau tidak berubahnya BI Rate.

c. Perubahan (kenaikan atau penurunan) BI Rate dilakukan secara

konsisten dan bertahap.

2. Fungsi BI Rate sebagai sinyal kebijakan

a. BI Rate adalah suku bunga instrumen sinyaling Bank Indonesia yang

ditetapkan pada RDG triwulan untuk berlaku selama triwulan berjalan

(satu triwulan), kecuali ditetapkan berbeda oleh RDG bulanan dalam

triwulan yang sama. Dengan demikian, rata-rata tertimbang hasil

lelang SBI pada setiap kali lelang SBI tidak lagi diinterpretasikan oleh

stakeholders sebagai sinyal kebijakan moneter Bank Indonesia.

b. BI Rate diumumkan ke publik segera setelah ditetapkan dalam RDG

sebagai sinyal stance kebijakan moneter (yang lebih jelas dan tegas)

dalam merespon prospek pencapaian sasaran inflasi ke depan.

c. BI Rate digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan operasi

pengendalian moneter untuk mengarahkan agar Rata-Rata Tertimbang

Suku Bunga SBI 1 bulan hasil lelang OPT (suku bunga instrumen

liquidity adjustment) berada di sekitar BI Rate. Selanjutnya suku

bunga SBI 1 bulan diharapkan mempengaruhi suku bunga PUAB dan

(48)

3. Proses penetapan respon kebijakan moneter

a. Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dalam RDG

triwulanan.

b. Respon kebijakan moneter ditetapkan untuk periode satu triwulan ke

depan.

c. Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dengan

memperhatikan efek tunda (lag) kebijakan moneter dalam

mempengaruhi inflasi.

d. Dalam kondisi yang luar biasa, penetapan respon kebijakan moneter

dapat dilakukan dalam RDG bulanan.

4. Dasar pertimbangan penetapan respon kebijakan

a. BI Rate merupakan respon bank sentral terhadap tekanan inflasi ke

depan agar tetap berada pada sasaran yang telah ditetapkan. Perubahan

BI Rate dilakukan terutama jika deviasi proyeksi inflasi terhadap

targetnya (inflation gap) dipandang telah bersifat permanen dan

konsisten dengan informasi dan indikator lainnya.

b. BI Rate ditetapkan oleh Dewan Gubernur secara diskresi dengan

mempertimbangkan:

i. Rekomendasi BI Rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi

kebijakan dalam model ekonomi untuk pencapaian sasaran

(49)

ii. Berbagai informasi lainnya seperti leading indicators, survei,

informasi anekdotal, variabel informasi, expert opinion,

asesmen faktor risiko dan ketidakpastian serta hasil-hasil riset

ekonomi dan kebijakan moneter.

5. Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam perubahan BI Rate (SBI tenor 1

bulan) secara konsisten dan bertahap dalam kelipatan 25 basis points (bps).

Dalam kondisi untuk menunjukkan intensi Bank Indonesia yang lebih besar

terhadap pencapaian sasaran inflasi, maka perubahan BI Rate dapat dilakukan

lebih dari 25 bps dalam kelipatan 25 bps.

Operasional pengendalian moneter memiliki 3 prinsip dasar sebagai berikut:

Berbeda dengan pelaksanaan selama ini yang menggunakan uang primer, sasaran

operasional pengendalian moneter adalah BI Rate. Dengan langkah ini, sinyal

kebijakan moneter diharapkan dapat lebih mudah dan lebih pasti dapat ditangkap oleh

pelaku pasar dan masyarakat, dan karenanya diharapkan pula dapat meningkat

efektivitas kebijakan moneter. Kemudian pengendalian moneter dilakukan dengan

menggunakan instrumen: (i) Operasi Pasar Terbuka (OPT), (ii) Instrumen likuiditas

otomatis (standing facilities), (iii) Intervensi di pasar valas, (iv) Penetapan giro wajib

minimum (GWM), dan (v) Himbauan moral (moral suassion). Pengendalian moneter

diarahkan pula agar perkembangan suku bunga PUAB berada pada koridor suku

bunga yang ditetapkan. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan efektivitas

(50)

berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi dan bisnis melalui alur tingkat bunga atau

interest rate channel, alur harga aktiva atau asset price channel, dan alur kredit atau credit channel. Mekanisme transmisi alur tingkat bunga dari ekspansi moneter adalah

peningkatan permintaan agregat sebagai akibat peningkatan ekspektasi inflasi dan

penurunan tingkat bunga riil. Penurunan tingkat bunga riil akan meningkatkan

investasi dan menurunkan biaya modal dalam proses produksi sehingga output

agregat naik. Mekanisme transmisi alur harga aktiva dari ekspansi moneter adalah

peningkatan permintaan agregat sebagai akibat peningkatan ekspektasi inflasi, nilai

perusahaan dan kekayaan individu. Peningkatan ekspektasi inflasi akan menurunkan

tingkat bunga riil sehingga nilai tukar mata uang depresiasi, ekspor netto naik dan

kemudian meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Mekanisme transmisi alur kredit atau credit channel terdiri dari alur pinjaman

bank atau bank lending channel, alur neraca atau balance sheet channel, alur arus kas

atau cash flow channel, alur harga takterantisipasi atau unanticipated price channel,

dan alur likuiditas rumah tangga atau household liquidity channel. Mekanisme

transmisi alur kredit adalah peningkatan permintaan karena peningkatan kredit

perbankan sebagai akibat peningkatan investasi dan konsumsi. Peningkatan investasi

dan konsumsi akan mendorong aktivitas ekonomi dan bisnis. Permasalahan dari

mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah memilih alur tarnsmisi yang paling

(51)

a. Mekanisme Transmisi Alur Tingkat Bunga

Tingkat bunga merupakan kunci mekanisme transmisi moneter dalam model

IS, model LM, model AD dan model AS. Peningkatan stok uang akan menurunkan

tingkat bunga riil dan biaya modal serta meningkatkan investasi bisnis. Peningkatan

investasi akan meningkatkan permintaan agregat. Penurunan tingkat bunga riil juga

akan meningkatkan pengeluaran untuk pembelian rumah dan barang tahan lama. Oleh

sebab itu penurunan tingkat bunga akibat ekspansi moneter akan meningkatkan

belanja atau konsumsi dan permintaan agregat. Pada tingkat bunga nominal yang

sangat rendah, ekspansi moneter akan meningkatkan ekspektasi tingkat harga dan

inflasi, akibatnya tingkat bunga riil turun. Penurunan tingkat bunga riil akan

menurunkan biaya modal dan biaya memegang uang, kemudian menstimulasi

pengeluaran bisnis dan konsumen. Peningkatan pengeluaran bisnis dan konsumen

pada akhirnya akan mingkatkan permintaan agregat. Mekanisme transmisi alur

tingkat bunga dirumuskan dalam dua bentuk, yaitu:

Di mana:

m = stok uang nominal,

r = tingkat bunga riil,

p = ekspektasi tingkat harga,

m  r  y

m  p  r  y

(2.8)

(52)

 = investasi riil, dan

y = output riil agregat.

b. Mekanisme Transmisi Alur Harga

Mekanisme transmisi alur harga aktiva terdiri dari efek nilai tukar atau

exchange rate effect, Tobin’s q theory dan efek kekayaan atau wealth effect.

Pertumbuhan ekonomi internasional dan nilai tukar fleksibel telah meningkatkan

peranan kebijakan moneter internasional dalam penentuan nilai tukar mata uang suatu

negara. Ekspansi moneter pada awalnya akan menurunkan tingkat bunga riil domestik

dan kemudian mengakibatkan deposit mata uang luar negeri naik. Peningkatan nilai

deposit mata uang luar negeri terhadap deposit mata uang domestik akan

mengakibatkan apresiasi nilai tukar matauang luar negeri dan depresiasi nilai tukar

mata uang domestik. Depresiasi nilai tukar mata uang domestik mengakibatkan harga

relatif produk atau ekspor lebih murah sehingga ekspor netto naik dan akhirnya

meningkatkan permintaan agregat. Mekanisme transmisi alur efek nilai tukar

dirumuskan sebagai berikut:

Di mana:

e = nilai tukar mata uang, dan

x = ekspor riil netto.

(53)

Tobin telah mengembangkan teori bagaimana kebijakan moneter dapat

mempengaruhi penilaian saham, yang disebut Tobin’s q theory. Tobin

mendefinisikan q sebagai rasio harga pasar perusahaan dengan biaya penggantian

modal. Jika q tinggi maka rasio harga pasar perusahaan dengan biaya penggantian

modal tinggi, dan sebaliknya jika q rendah maka rasio harga pasar perusahaan dengan

biaya penggantian modal rendah. Ekspansi moneter akan meningkatkan ekspektasi

harga saham perusahaan dan akibatnya rasio harga pasar perusahaan dengan biaya

penggantian modal naik. Peningkatan q ini akan meningkatkan pengeluaran untuk

peralatan dan pabrik baru atau investasi.

Peningkatan pengeluaran investasi perusahaan akan meningkatkan permintaan

agregat. Mekanisme transmisi alur Tobin’s q theory dirumuskan sebagai berikut:

Di mana:

s = ekspektasi harga saham, dan

q = rasio harga pasar saham dengan biaya penggantian modal.

Mekanisme transmisi moneter juga mempengaruhi kekayaan masyarakat.

Keputusan pengeluaran dari konsumen mungkin akan mempengaruhi neraca

konsumen. Modigliani menggunakan hipotesis siklus hidup atau life cycle hypotheses

dari konsumsi barang tahan lama dan jasa-jasa untuk menjelaskan efek kekayaan.

Premis utama dari Modigliani adalah bahwa konsumsi tidak konstan dalam periode

(54)

seperti saham, obligasi dan deposit tidak konstan selama hidup. Ekspansi moneter

akan meningkatkan harga aktiva keuangan sehingga kekayaan keuangan naik.

Peningkatan kekayaan keuangan akan meningkatkan sumberdaya ekonomi selama

hidup konsumen dan pada akhirnya akan meningkatkan konsumsi dan permintaan

agregat. Mekanisme transmisi alur efek kekayaan dirumuskan sebagai berikut:

Di mana:

w = kekayaan keuangan atau neraca konsumen, dan

c = konsumsi riil rumah tangga.

2.5. Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter

Interaksi kebijakan fiskal dan moneter dapat dijelaskan dengan menggunakan

pendekatan Fiscal Theory of Price Level (FTPL). Teori ini menyebutkan bahwa bila

pengambil kebijakan fiskal tidak memenuhi intertemporal budget constraint, maka

kebijakan fiskal lebih memberikan pengaruh terhadap tingkat harga. Kebijakan

moneter dapat mengontrol stabilisasi harga apabila Ricardian Equivalence terpenuhi.

Model dasar FTPL menjelaskan peran jangka pendek kebijakan fiskal sebagai

stabilisasi yang konsisten dengan kebijakan moneter yang aktif. Sedangkan kebijakan

fiskal yang aktif atau pasif menjadi tidak relevan. Oleh karena itu, kombinasi

stabilisasi dan solvency menjadi tidak kredibel. Adanya pengaruh kebijakan fiskal

terhadap inflasi dan output menyebabkan permasalahan time inconsistency dalam

(55)

kebijakan moneter. Kondisi ini akan menimbulkan konflik terhadap solvency hutang

pemerintah jangka panjang. Banyaknya kegagalan studi empiris mengenai interaksi

kebijakan disebabkan belum dimasukkannya fiscal solvency jangka panjang dalam

model. Diawali dengan persamaan intertemporal government budget constraint

(IGBC) harus dipenuhi di mana hutang merupakan penjumlahan dari present discount

value dari ekspektasi surplus anggaran (selisih antara pendapatan pajak termasuk seigniorage dengan pengeluaran pemerintah).

Fungsi reaksi kebijakan fiskal dan moneter untuk menggambarkan bagaimana

otoritas pengambil kedua kebijakan memiliki preferensi yang sama untuk mencapai

stabilisasi inflasi dan pertumbuhan ekonomi secara optimal. Fungsi tujuan kebijakan

fiskal dan moneter dapat dibentuk melalui model permintaan dan penawaran agregat.

Dalam jangka pendek, adanya output gap yang positif (Y>Y*) akan diikuti

oleh ekspansi kebijakan moneter (penurunan tingkat suku bunga di bawah

keseimbangan jangka panjang, ekspansi kebijakan fiskal dan shocks permintaan

positif).

Kebijakan fiskal yang ekspansif dan kebijakan moneter yang ketat melalui

kenaikan tingkat suku bunga menyebabkan kenaikan tingkat inflasi. Sedangkan

respon output terhadap perubahan tingkat suku bunga dan kebijakan fiskal adalah

negatif. Kebijakan fiskal yang ekspansif dan kebijakan moneter yang ketat melalui

kenaikan tingkat suku bunga menyebabkan kenaikan tingkat inflasi. Sedangkan

(56)

Efektivitas kebijakan fiskal dan moneter di suatu negara ditentukan oleh

sistem nilai tukar negaranya serta sistem aliran devisa luar negeri. Pada suatu negara

yang menganut sistem fixed exchange rate dan sistem aliran devisa terkendali,

kebijakan fiskal efektif meningkatkan pendapatan nasional dibandingkan kebijakan

moneter. Sementara di negara lain yang menganut sistem nilai tukar yang flexibel

serta aliran valuta asing yang bebas, kebijakan moneter akan lebih efektif

mengendalikan perekonomian dibandingkan kebijakan fiskal.

Perdebatan pentingnya koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal pada

dasarnya tidak terlepas dari terdapat perbedaan penekanan dalam pencapaian tujuan

masing-masing kebijakan. Tujuan utama kebijakan moneter lebih ditekankan pada

stabilitas harga, dengan dasar beberapa pertimbangan. Pertama, dengan output

ditentukan kapasitas ekonomi dalam jangka panjang maka segala kebijakan yang

mendorong pertumbuhan ekonomi akan menciptakan inflasi (the short-run

Phillips-curve) sehingga tidak akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi riil (Kydland and

Prescott, 1997). Kedua, rational economic agent mengerti bahwa tindakan kejutan

pembuat kebijakan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang mendorong inflasi

dapat mendorong terjadinya permasalahan time-consistency (Barro and Gordon,

1983). Ketiga, Kebijakan moneter mempengaruhi variabel ekonomi memakan waktu

panjang dan mempunyai lag (Friedman, 1968). Keempat, kestabilan harga dapat

mendorong terciptanya iklim ekonomi yang lebih baik karena akan mengurangi biaya

yang berasal dari inflasi. Penetapan stabilitas harga sebagaimana dikemukakan di atas

Gambar

Gambar 1.1. Perkembangan Inflasi dan SBI Januari 2007 s/d Maret 2009
Tabel 1.1. Perkembangan PDB dan Belanja Pemerintah
Gambar 2.1. Kebijakan Fiskal pada Fixed Exchange Rate
Gambar 2.2. Kebijakan Moneter pada Fixed Exchange Rate
+7

Referensi

Dokumen terkait

STANDAR KOMPETENSI : Setelah mengikuti mata kuliah ini praja diharapkan mampu menjelaskan kedudukan Hukum Pemerintahan dalam kerangka hokum seluruhnya;menyebutkan

[r]

Metode observasi, yaitu suatu teknik yang dilakukan dengan cara. mengadakan pengamatan secara teliti serta pencatatan

PERBANDINGAN KUNJUNGAN PASIEN PER KASUS DI PELAYANAN KESEHATAN GIGI LANJUTAN PADA RUMAH SAKIT DI KOTA PADANG DITINJAU DARI PEMANFAATAN.. SISTEM JAMINAN KESEHATAN

Hasil penelitian Nashrath, Akkadechanunt dan Chontawan (2011) diperoleh data bahwa total skor untuk harapan perawat terhadap kualitas keperawatan adalah = 87,32 dan

Adalah metode pengumpulan data yang diperoleh dari pengamatan yang sistematis dan akurat pada perusahaan mengenai analisis laporan keuangan Untuk Menilai Tingkat

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Religiusitas dan Kepercayaan terhadap Preferensi masyarakat menabung dibank syariah dengan Pelayanan sebagai

Melalui hasil penelitian ini diharapkan siswi kelas XI SMAN 1 Yogyakarta dapat memperhatikan kesehatan organ reproduksi agar tidak terjadi keputihan yang dapat