BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Interaksi kebijakan fiskal dan moneter telah lama menjadi perdebatan di
kalangan ekonom dan pengambil kebijakan. Pada satu sisi, kebijakan fiskal
ditetapkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, sementara di sisi lain
kebijakan moneter diarahkan pada pencapaian target menjaga stabilitas tingkat
harga. Permasalahan utama interaksi kebijakan fiskal dan moneter terletak pada
terjadinya hambatanantara pencapaian stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi
terutama dalam jangka pendek. Dampak defisit fiskal (kekurangan anggaran
kemudian mencetak uang baru) yang dapat menyebabkan kenaikan tingkat inflasi,
begitu halnya perekonomian dengan tingkat inflasi yang tinggi juga memberikan
dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter merupakan bagian integral dari
kebijakan makroekonomi yang memiliki target yang harus dicapai baik dalam
jangka pendek dan jangka panjang. Pengelolaan kebijakan fiskal dan moneter
melalui koordinasi yang baik akan memberikan sinyal positif bagi pasar dan
menjaga stabilitas makroekonomi. Stabilitas makroekonomi dapat dilihat dari
kestabilan variabel makro ekonomi terhadap interaksi fiskal dan moneter.
Menurut Goeltom (2007) tujuan dari kebijakan ekonomi makro suatu
negara adalah tercapainya kondisi ekonomi yang “bebas inflasi” (noninflationary) dan tumbuh stabil (stable growth). Dalam kondisi ini, fluktuasi pada tingkat pengangguran, produksi, dan harga dapat diminimalkan dan pertumbuhan
instrumen utama, yaitu kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal
dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan dan kebijakan moneter dilaksanakan
oleh Bank Indonesia.
Pemerintah (kementrian keuangan) selaku otoritas fiskal, kebijakan yang
ia pilih atas dasar menciptakan stabilisasi ekonomi, pemerataan pendapatan dan
pengalokasian sumber daya manusia serta pertimbangan tentang efektivitas
kebijakan tersebut yang juga mempertimbangkan dampak kedaerahan, kecuali
bahwa adanya pemisahan antara pemerintah pusat dan daerah akan membuka
kemungkinan variasi kebijakan fiskal yang berbeda antara daerah satu dengan
lainnya.
Sesuai dengan peranan atau fungsi pemerintah di bidang fiskal adalah
untuk menciptakan stabilisasi ekonomi, pemerataan pendapatan, dan
mengalokasikan sumber daya manusia. Khusus untuk fungsi stabilisasi dan
pemerataan, akan lebih efektif apabila dilakukan pemerintah pusat, sedangkan
fungsi alokasi akan lebih efektif dilakukan pemerintah daerah (Kuncoro, 1997).
Sejauh ini, tekad yang tertulis pemerintah dalam hal anggaran ini (Badan
Analisa Fiskal, 2004) adalah, pertama, menempuh anggaran belanja seimbang dan
dinamis di mana pengeluaran total tidak melebihi permintaan total. Kedua,
Anggaran dibedakan menjadi anggaran rutin dan anggaran pembangunan.
Tabungan pemerintah merupakan penerimaan dalam negeri di atas pengeluaran
rutin yang diusahakan meningkat agar dapat mengurangi kebutuhan bantuan dan
hutang luar negeri. Ketiga, dari sisi penerimaan anggaran, dasar perpajakan
diusahakan semakin luas lewat intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan pajak.
Keempat, di sisi pengeluaran anggaran, prioritas diberikan pada kegiatan-kegiatan
dikurangi baik untuk perusahaan-perusahaan pemerintah maupun terhadap barang
konsumsi, sehingga akan menghemat pengeluaran. Kelima, kebijakan anggaran
diarahkan pada sasaran untuk meningkatkan penggunaan barang-barang dan
tenaga kerja dari dalam negeri, dengan tujuan agar produksi dalam negeri semakin
meningkat. Dan keenam, dalam hubungannya dengan perluasan kesempatan kerja,
produsen didorong untuk lebih menggunakan teknologi padat karya dengan
sedikit menggunakan teknologi padat modal.
Bagi bank sentral (BI) yang merupakan otoritas moneter, kebijakan yang
ia pilih bergantung pada target, kondisi aktual perekonomian, kapasitas kebijakan
dan pertimbangan tentang efektivitas kebijakan tersebut. Kebijakan moneter ini
ditentukan secara terpusat oleh Bank Indonesia. Meskipun dalam formulasi
kebijakannya Bank Indonesia juga sudah mempertimbangkan aspek regional atau
aspek kedaerahan, namun respon variabel dan dampak pada masing-masing
daerah tersebut sangat mungkin berbeda, dan ini sangat bergantung pada kondisi
sebenarnya/riil masing-masing daerah.
Tujuan kebijakan moneter lebih difokuskan pada stabilitas harga dengan
beberapa pertimbangan. Pertama, segala kebijakan yang mendorong pertumbuhan
ekonomi (aggregate demand) dalam jangka pendek akan menciptakan inflasi sehingga tidak akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi riil dalam jangka
panjang (Kydland and Prescott, 1977). Kedua, rational economic agent
memahami bahwa pengaruh pembuat kebijakan dalam mendorong inflasi dapat
menimbulkan permasalahan time-inconsistency (Barro and Gordon, 1983). Ketiga, kebijakan moneter mempunyai tenggang waktu (time lag) dalam mempengaruhi variabel ekonomi, sehingga menuntut kebijakan moneter yang
iklim ekonomi yang lebih baik karena mengurangi ekspektasi inflasi (Friedman,
1968). Keempat pertimbangan di atas mencerminkan bahwa penetapan stabilitas
harga akan mendorong kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka
panjang. Namun, di sisi lain pencapaian kebijakan moneter yang tidak dilakukan
secara terukur juga dapat mengakibatkan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Misalnya, kebijakan moneter yang terlalu ketat (tight) dapat menekan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan jumlah pengangguran. Sebaliknya,
kebijakan moneter yang terlalu longgar (loose) dapat menimbulkan tekanan inflasi yang mengganggu daya beli masyarakat dan pada gilirannya kesejahteraan
masyarakat.
Terdapat beberapa alasan mengapa kebijakan fiskal dan moneter
sebaiknya berinteraksi dan koordinasi dalam rangka stabilisasi inflasi dan
pertumbuhan ekonomi. Pertama, terbatasnya ketersediaan instrumen untuk mencapai target. Blinder (1982) mengungkapkan keterbatasan instrumen tersebut
dapat bersumber dari pertimbangan waktu dampak instrumen terhadap target yang
dapat dibedakan untuk jangka pendek dan jangka panjang. Perbedaan durasi
waktu ini dan adanya unsur ketidakpastian mengenai efektivitas instrumen
tersebut menjadi alasan kuat mengapa kebijakan fiskal dan moneter harus
berkoordinasi, khususnya untuk negara-negara berkembang, agar menghasilkan
dampak optimal terhadap pencapaian target. Kedua adalah untuk menjaga
stabilisasi pertumbuhan ekonomi dan inflasi agar tidak memburuk akibat
kurangnya koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter. Adanya koordinasi
kebijakan fiskal dan moneter dapat memberikan pemisahan yang tegas dari dua
kebijakan tersebut atas dasar struktur tenggang waktu kebijakan. Abel (2002)
ekonomi dalam jangka pendek sedangkan kebijakan fiskal diarahkan untuk
mencapai target perekonomian jangka menengah dan panjang. Sementara itu,
kebijakan moneter dalam jangka panjang dapat difokuskan untuk menjaga inflasi.
Taylor (2000) menambahkan bahwa jika kebijakan fiskal difokuskan ke arah
target jangka menengah, kebijakan moneter seharusnya memberikan bobot yang
lebih besar kepada stabilisasi perumbuhan ekonomi. Ketiga, pentingnya
koordinasi kebijakan moneter dan fiskal adalah adanya perbedaan pendapat atau
persepsi antara dua otoritas tersebut mengenai apa yang terbaik bagi suatu bangsa.
Blinder (1982) menyebutkan tiga faktor yang dapat menyebabkan
kurangnya koordinasi fiskal dan moneter adalah : (a) otoritas fiskal dan otoritas
moneter memiliki tujuan yang berbeda terhadap apa yang sebenarnya terbaik bagi
masyarakat, (b) dua otoritas tersebut dapat memiliki pendapat yang berbeda
mengenai dampak dari kebijakan fiskal dan moneter terhadap perekonomian dan
mungkin mereka menganut dasar teori yang berbeda, dan (c) kemungkinan dua
otoritas tersebut memiliki proyeksi perekonomian yang berbeda.
Fenomena masalah dalam penelitian ini yaitu dengan melihat respon
variabel-variabel makro ekonomi terhadap shock yang bersumber dari interaksi
kebijakan fiskal dan moneter. Berikut interaksi beberapa variabel fiskal dan
moneter terhadap stabilitas ekonomi makro Indonesia dalam periode penelitian
(2000 s/d 2012), sebagai berikut :
Tabel 1.1. Pengeluaran Pemerintah (Milyar Rp) Tahun 2000 s/d 2012
8 2007 943594 16,09
Sumber : Bank Indonesia (data diolah, 2013)
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Sumber : Tabel 1.1
Gambar 1.1. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah ( Milyar Rp) Tahun 2000 s/d 2012
Berdasarkan tabel dan grafik di atas diketahui adanya penurunan terhadap
pengeluaran pemerintah yaitu tahun 2002 turun sebesar 6,15%, hal ini
diperkirakan disebabkan adanya pengurangan atas pengeluaran pembangunan.
Ketidakpastian besarnya dana pengeluaran atas infrastruktur setiap tahun menjadi
penyebab turunnya pengeluaran pemerintah. Kemudian tahun 2009 pengeluaran
pemerintah turun sebesar 3,49%, hal ini diperkirakan disebabkan atas dampak
krisis ekonomi global yang melanda tahun 2008.
Tabel 1.2. Jumlah Uang Beredar (Milyar Rp) Tahun 2000 s/d 2012
9 2008 456787 1,49
10 2009 515824 12,92
11 2010 605411 17,37
12 2011 722991 19,42
13 2012 841722 16,42
Sumber : Bank Indonesia (data diolah, 2013)
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Sumber : Tabel 1.2
Gambar 1.2. Perkembangan Jumlah Uang Beredar Milyar Rp) Tahun 2000 s/d 2012
Berdasarkan tabel dan grafik di atas diketahui adanya penurunan
pertumbuhan jumlah uang beredar, dimana terdapat pertumbuhan jumlah uang
beredar yang kecil yaitu pada tahun 2002 sebesar 7,99% menurun dari tahun
sebelumnya, hal ini diperkirakan didasarkan atas kenaikan suku bunga. Naiknya
suku bunga akan menurunkan jumlah uang beredar di masyarakat dan akibat
adanya penurunan dari daya beli masyarakat. Kemudian tahun 2008 pertumbuhan
jumlah uang beredar hanya sebesar 1,49%, jauh lebih kecil dari perumbuhan tahun
sebelumnya, hal ini juga disebabkan naiknya suku bunga dan diperkirakan juga
disebabkan atas dampak krisis ekonomi global yang melanda tahun 2008.
Tabel 1.3. Produk Domestik Bruto (Milyar Rp) Tahun 2000 s/d 2012
9 2008 2082457 6,01
10 2009 2178851 4,63
11 2010 2314459 6,22
12 2011 2464677 6,49
13 2012 2618139 6,23
Sumber : Bank Indonesia (data diolah, 2013)
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Sumber : Tabel 1.3
Gambar 1.3. Perkembangan Produk Domestik Bruto (Milyar Rp) Tahun 2000 s/d 2012
Berdasarkan tabel dan grafik di atas diketahui bahwa adanya pertumbuhan
PDB yang sangat kecil pada tahun 2001 yaitu hanya sebesar 3,64%, hal ini
disebabkan adanya kenaikan harga BBM. Kemudian penurunan pertumbuhan
PDB yang cukup besar dari tahun sebelumnya, yaitu tahun 2006 pertumbuhan
PDB sebesar 5,50% menurun dari tahun sebelumnya, hal ini disebabkan adanya
kenaikan harga BBM akibat pengurangan subsidi BBM. Dan tahun 2009
pertumbuhan PDB sebesar 4,63% menurun dari tahun sebelumnya, hal ini juga
disebabkan adanya kenaikan harga BBM akibat dampak krisis ekonomi global.
Tabel 1.4. Inflasi (%) Tahun 2000 s/d 2012
11 2010 6.96
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Sumber : Tabel 1.4
Gambar 1.4. Perkembangan Inflasi (%) Tahun 2000 s/d 2012
Berdasarkan tabel dan grafik di atas diketahui terjadi kenaikan terbesar
terhadap inflasi yaitu pada tahun 2001 sebesar 12,55%, hal ini disebabkan
kenaikan BBM serta adanya perayaan keagamaan yang hampir bersamaan seperti
natal, lebaran dan tahun baru. Tahun 2005 inflasi sebesr 17,11%, hal ini
disebabkan kenaikan BBM akibat pengurangan subsidi BBM. Kemudian tahun
2008 inflasi sebesar 11,06%, hal ini disebabkan dampak kenaikan harga minyak
dunia dan kenaikan BBM akibat efek krisis ekonomi global yang meningkatkan
harga-harga barang.
Untuk melihat interaksi beberapa variabel kebijakan fiskal, moneter dan
ekonomi makro, dilihat pada gambar 1.5 berikut : Titik Interaksi I
Titik Interaksi II
0 500000 1000000 1500000 2000000 2500000 3000000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
G JUB PDB
Sumber : Tabel 1.1, 1.2, 1.3
Gambar 1. 5. Tiga Tahap Interaksi
Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui adanya tiga tahap interaksi
dimana respon variabel-variabel makro ekonomi terhadap shock yang bersumber
dari dari interaksi kebijakan fiskal dan moneter menunjukkan pergerakan yang
searah dalam kurun waktu tahun 2000 sampai tahun 2012.
Dalam interaksi tahap pertama yaitu rentang tahun 2001 s/d 2002, dimana
naiknya inflasi tahun 2001 sebesar 12,55% diperkirakan karena adanya kenaikan
harga BBM dan meningkatnya belanja masyarakat menyusul parayaan hari besar
keagamaan yang berdekatan antara lebaran, natal dan tahun baru, sehingga
meningkatkan permintaan akan kebutuhan bahan-bahan pokok. Kenaikan inflasi
diikuti dengan turunnya pertumbuhan PDB tahun 2001 dari petumbuhan tahun
sebelumnya atau melambatnya pertumbuhan ekonomi, dan berdampak pula pada
menurunnya pertumbuhan jumlah uang beredar tahun 2002 yang merupakan
dampak dari respon moneter terhadap terjadinya inflasi, dan menurunnya
pengeluaran pemerintah tahun 2002.
Dalam interaksi tahap kedua yaitu rentang tahun 2005 s/d 2006, dimana
naiknya inflasi tahun 2005 sebesar 17,11% diperkirakan karena adanya ekspansi
fiskal tahun 2005 yaitu naiknya pengeluaran pemerintah sebesar 32,25% yang
didominasi dengan naiknya belanja rutin seperti naiknya gaji sehingga
menimbulkan inflasi, dan berdampak pula pada turunnya pertumbuhan PDB tahun
2006 dari pertumbuhan tahun sebelumnya atau melambatnya pertumbuhan
ekonomi.
Dalam interaksi tahap ketiga yaitu rentang tahun 2008 s/d 2009, dimana
naiknya inflasi tahun 2008 sebesar 11,06% diperkirakan karena adanya krisis
ekonomi global. Kenaikan inflasi tersebut diikuti dengan turunnya pertumbuhan
jumlah uang beredar tahun 2008 dari pertumbuhan tahun sebelumnya disebabkan
respon moneter terhadap terjadinya inflasi, dan berdampak pula pada menurunnya
pengeluaran pemerintah tahun 2009 dan turunnya pertumbuhan PDB tahun 2009
dari pertumbuhan tahun sebelumnya atau melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Dari fenomena diatas, diketahui bahwa terjadinya interaksi fiskal dan
moneter dapat menganggu stabilitas ekonomi makro Indonesia. Adanya
ketidakstabilan variabel konomi makro yang diperkirakan karena kurangnya
koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter. Hal ini menyebabkan pemerintah
harus mengambil langkah-langkah antisipasi dampak yang ditimbulkan dalam
jangka pendek, menengah dan jangka panjang, dimana langkah antisipasi dari
adanya interaksi adalah berupa koordinasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter
dalam menjaga stabilitas ekonomi Indonesia. Perlunya pengelolaan kebijakan
fiskal dan moneter melalui koordinasi yang baik agar interaksi yang terjadi dapat
berdampak positif bagi stabilitas ekonomi makro, dimana stabilitas ekonomi
Menurut Mohanty dan Scatigna (2004) kebijakan yang dilakukan secara
parsial dan bertahap cenderung akan semakin meningkatkan ketidakpastian dan
resiko, yang dapat mendorong penurunan kinerja perekonomian lebih lanjut.
Untuk itu, banyak ahli ekonomi yang menyarankan strategi yang sebaiknya
ditempuh adalah koordinasi kebijakan dan penggunaan berbagai instrumen
kebijakan secara lebih agresif untuk mendukung efektivitas kebijakan yang
diambil.
Adiningsih (2012) menyatakan bahwa koordinasi kebijakan moneter dan
fiskal menjadi makin penting ketika terdapat ketidakpastian yang tinggi dari
pengaruh masing-masing kebijakan. Boediono (2001) menjelaskan pada akhirnya,
kebijakan moneter ataupun kebijakan fiskal tidak dapat berjalan sendiri. Dalam
prakteknya, yang sering dijumpai adalah kebijakan fiskal yang juga mempunyai
konsekuensi moneter atau kebijakan moneter dengan
konsekuensi-konsekuensi fiskal.
Aplikasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dalam perkembangannya
melahirkan suatu bauran kebijakan (policy mix) yang kemudian menyebabkan berkembangnya kajian-kajian tentang koordinasi kebijakan fiskal dan moneter.
Beberapa kajian tentang koordinasi kebijakan tersebut menemukan bahwa, dalam
jangka panjang kebijakan fiskal dan moneter tidak bertentangan satu sama lain
dalam mencapai pertumbuhan ekonomi. Pada kondisi ini tidak diperlukan adanya
koordinasi kebijakan (Hagen dan Mundshenk,2003). Dalam jangka pendek, tidak
adanya koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter akan
menyebabkan efektivitas kebijakan menjadi berkurang (Giavazzi,2003).
Corsetti dan Mueller (2008) yang menyatakan bahwa kebijakan fiskal akan
kata lain, agar stimulus fiskal dapat berjalan dengan baik, kebijakan moneter harus
diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, yang konsisten dengan
mandat menjaga kestabilan harga.
Hasil Penelitian Hermawan dan Munro (2007) melalui eksperimen
simulasi stokastik menyimpulkan bahwa kebijakan fiskal di Indonesia mempunyai
kontribusi yang signifikan dalam menjaga stabilitas perekonomian atau bersifat
countercyclical, dan peran aktif tersebut bersama-sama dengan kebijakan moneter telah menghasilkan loss function yang minimum bagi perekonomian.
Pentingnya penelitian ini adalah untuk mengkaji seberapa besar interaksi
kebijakan fiskal dan moneter dalam menjaga stabilitas ekonomi makro. Kemudian
kebijakan mana yang paling dominan dalam mempengaruhi stabilitas ekonomi
makro. Hasil analisis tersebut diharapkan mampu menjadi masukan bagi
pemerintah dalam membuat koordinasi yang baik antara bank sentral dan
departemen keuangan, sehingga koordinasi tersebut akan menghasilkan interaksi
yang berdampak positif bagi stabilitas ekonomi makro. Terjadinya interaksi fiskal
dan moneter secara teoritis maupun empiris mempunyai peranan yang sangat
strategis dalam rangka stabilisasi perekonomian. Dalam kondisi tersebut,
kebijakan fiskal dan moneter harus dikelola atau dikoordinasikan sedemikian rupa
agar stimulus yang dihasilkan oleh kedua kebijakan tersebut dapat diarahkan
untuk stabilitas ekonomi makro, kurangnya koordinasi kebijakan fiskal dan
moneter akan berdampak pada terjadinya guncangan terhadap variabel ekonomi
makro yang mempengaruhi stabilitas ekonomi. Mengingat pentingnya kordinasi
yang baik dalam pengelolaan kebijakan fiskal dan moneter, maka penting juga
diketahui secara empiris kontribusi masing-masing variabel baik fiskal, moneter
moneter agar kebijakan fiskal dan moneter yang diambil dapat mendukung
pencapaian stabilitas ekonomi makro. Berdasarkan penjelasan di atas penulis
tertarik untuk meneliti dengan judul : ANALISIS INTERAKSI KEBIJAKAN
FISKAL DAN MONETER TERHADAP STABILITAS EKONOMI MAKRO DI
INDONESIA.
1.2. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah interaksi variabel
kebijakan fiskal (TAX dan GOV) dan variabel kebijakan moneter (SBK dan JUB)
terhadap variabel stabilitas ekonomi makro (PDB, INV, KURS, INF) saling
berkontribusi?”.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah : “Untuk menganalisis kontribusi variabel dari interaksi variabel kebijakan fiskal (TAX dan GOV) dan variabel kebijakan
moneter (SBK dan JUB) terhadap variabel stabilitas ekonomi makro (PDB, INV,
KURS, INF).
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :
1. Sebagai masukan bagi pemerintah, baik kementrian keuangan selaku
otoritas kebijakan fiskal dan BI selaku otoritas kebijakan moneter dalam
mengkoordinasikan kebijakan yang relevan berkaitan dengan interaksi
2. Bagi penulis, sebagai informasi ilmiah dan wawasan ilmu pengetahuan
mengenai interaksi kebijakan fiskal dan moneter terhadap stabilitas
ekonomi makro, selain itu menambah pengetahuan penulis mengenai
metode analisis data khususnya mengaplikasikan model VAR dalam
Eviews, sehingga dari pengetahuan-pengetahuan yang penulis peroleh
dalam penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan dalam kegiatan penulis
selanjutnya.
3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lainnya untuk menganalisis hal-hal
yang berkenaan dengan interaksi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter