ANALISIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FISKAL DAN
MONETER TERHADAP PRODUK DOMESTIK BRUTO
INDONESIA
TESIS
Oleh
ABDUR RAMAN
077018001/EP
SE
K O L A
H
P A
S C
A S A R JA
NA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FISKAL DAN
MONETER TERHADAP PRODUK DOMESTIK BRUTO
INDONESIA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
ABDUR RAMAN
077018001/EP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER TERHADAP PRODUK DOMESTIK BRUTO INDONESIA
Nama Mahasiswa : Abdur Raman Nomor Pokok : 077018001
Program Studi : Ekonomi Pembangunan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Dede Ruslan, M.Si) (Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Dr. Murni Daulay, M.Si) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)
51
Telah diuji pada Tanggal : 22 Juni 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Dede Ruslan, M.Si
Anggota : 1. Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec 2. Dr. Murni Daulay, M.Si
ABSTRAK
Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara diantaranya dipengaruhi oleh implementasi dari kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Proporsi efektivitas kebijakan fiskal dan moneter terhadap perekonomian menjadi bahan perdebatan antara kaum Keynes dan Kaum Monetaris. Penelitian ini mencoba membuktikan secara empirik perihal efektivitas kebijakan fiskal dibandingkan kebijakan moneter dalam mempengaruhi Produk Domestik Bruto Indonesia dengan mengambil studi kasus di Indonesia selama periode 1980 -2007.
Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Two Stage Least Square (TSLS). Model ini digunakan untuk melihat hubungan yang saling mempengaruhi antara variabel endogen yaitu Produk Domestik Bruto Indonesia, jumlah uang beredar dan variabel eksogen yaitu penerimaan dan pengeluaran pemerintah serta tingkat suku bunga yang diteliti.
Hasil empiris penelitian menunjukkan kebijakan moneter lebih besar dalam mempengaruhi PDB Indonesia selama periode 1980-2007 dibandingkan kebijakan Fiskal . Ini terbukti dari hasil analisis data yang memperlihatkan bahwa kebijakan moneter lebih besar dampaknya dari kebijakan fiskal selama periode penelitian.
ABSTRACT
Economic growth of a country is depended on implementation of fiscal and monetary policies. Proportion of effectiveness of the fiscal and monetary policies to economy is still debatable among Keynesian and Monetary specialist. This research is proofing empirical effectiveness of fiscal and monetary policies of Gross Domestic Product of Indonesia, and taking study case in Indonesia in 1980 – 2007 periods.
Two Stage Least Square (TSLS) model is used in this research to analyze. This model is used to find the relationship between endogenous variable that is Gross Domestic Product of Indonesia. Sum of money in the market and exogenous variable those are government revenues and disbursements and also interest.
Empirical research result indicated that monetary policy has bigger impact in Gross Domestic Product of Indonesia in 1980 – 2007 compares to fiscal policy. It can be seen from the data analysis that shows monetary policy has bigger impact than fiscal policy in researching period.
KATA PENGANTAR
Penulis Memanjatkan syukur kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan
karuni-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini yang berjudul
“Analisis Efektivitas Kebijakan Fiskal Dan Moneter Terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia”.
Dalam penyusunan tesis ini, penulis sudah berusaha mencurahkan seluruh
daya dan kemampuan untuk menyusun tesis ini agar lebih baik dan sempurna. Namun
penulis menyadari sepenuhnya akan kelemahan dan kekurangan dari tesis ini baik
dalam isi maupun penyajiannya. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari semua pihak, sehingga tesis ini dapat bermanfaat sebagai
sumber ilmu pengetahuan dan referensi bagi para penelitian lainnya.
Selama mengikuti pendidikan dan penyelesaian penyusunan tesis ini, penulis
banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak berupa materi
maupun dorongan moril baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena
itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
kepada :
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A(k), Rektor Universitas
Sumatera Utara Medan.
2. Ibu Prof. Dr.Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc, Direktur Sekolah Pascasarjana
3. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si, Ketua Program Studi Magister Ekonomi
Pembangunan, Universitas Sumatera Utara dan sekaligus selaku Ketua
Pembanding.
4. Bapak Dr. Dede Ruslan, M.Si, selaku Ketua pembimbing yang telah
memberikan waktu dan pemikirannya dalam penyusunan tesis ini sehingga tesis
ini dapat diselesaikan.
5. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE., M.Ec, selaku Pembimbing kedua yang telah
banyak memberikan waktu dan pemikiran serta bimbingannya kepada penulis
sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
6. Bapak Drs. Iskandar Syarief, M.A, selaku pembanding yang telah memberikan
saran-saran yang sangat membantu dalam penyelesaian tesis ini.
7. Bapak Drs. Rachmad Sumanjaya, M.Si, selaku pembanding yang telah
memberikan saran-saran yang sangat membantu dalam penyelesaian tesis ini.
8. Bapak dan Ibu Dosen Sekolah Pascasarjana Program Studi Magister Ekonomi
Pembangunan Universitas Sumatera Utara.
9. Penghargaan tertinggi penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu serta Istri
tercinta Novita Indriani, S.Pd, yang selalu mendoakan, dan kepada anak-anakku
tersayang Muhammad Daffa Rahfi dan Agha Athaillah Alfathan yang telah
banyak memotivasi penulis di dalam menyelesaikan tesis ini.
10. Rekan-rekan mahasisiwa dan seluruh alumni Pascasarjana (S-2) Magister
Ekonomi Pembangunan (MEP) Universitas Sumatera Utara, seluruh
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dan
memberikan saran, pendapat serta pandangannya sehingga tesis ini dapat
diselesaikan.
Akhirnya, semoga Allah memberikan balasan yang setimpal atas segala amal
dan budi yang diberikan. Dan semoga kemudahan dan kelapangan selalu menyertai
kita semua. Amin.
Medan, Juni 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP 1. Nama : Abdur Raman
2. Tempat/Tanggal Lahir : Palembang, 28 Agustus 1977
3. Jenis Kelamin : Laki Laki
4. Status : Menikah
5. Agama : Islam
6. Pekerjaan : Pegawai Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Pajak
7. Alamat : Jl. Setia Budi Psr. 2 Komp. Taman Harapan Indah Blok C.12 Tanjung Sari Medan
8. Nama Istri : Novita Indriani, S.Pd
9. Anak : 1. Muhammad Daffa Rahfi
2. Agha Athaillah Alfathan
10. Nama Ayah : Basyir Muchtar
Ibu : Rohana
12. PENDIDIKAN
a. SD : SD Negeri 476 Palembang (1989)
c. SMP : SMP Negeri 44 Palembang (1992)
d. SMA : SMA Negeri 14 Palembang (1995)
e. D III : STAN Jakarta (1998)
f. Strata 1 : Program Ekstens on Fak. Ekonomi USU (2004)
g. Strata 2 : Pascasarjana Ekonomi Pembangunan USU (2009)
Medan, Juni 2009
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan masalah ... 10
1.3 Tujuan Penelitian ... 11
1.4 Manfaat Penelitian ... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13
2.1 Teori Kebijakan Fiskal ... 13
2.2 Jenis Kebijakan Fiskal ... 14
2.3 Alat Analisis Kebijakan Fiskal melalui IS Curve ... 17
2.3.1 Teori IS Curve ... 17
2.3.2 Derivasi IS Secara Grafis dan Matematis ... 19
2.4 Teori Kebijakan Moneter ... 23
2.5 Jenis Kebijakan Moneter ... 24
2.6 Alat Analisis Kebijakan Fiskal melalui LM Curve ... 27
2.6.1 Teori LM Curve ... 27
2.6.2 Derivasi LM Secara Grafis dan Secara Matematis ... 29
2.8 Analisis Maksimum Model IS dan LM ... 33
2.9 Koordinasi Kebijakan Dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang ... 36
2.10 Efektivitas Kebijakan Moneter dan Fiskal... 36
2.11 Penelitian Terdahulu ... 41
2.12 Hipotesis Penelitian ... 47
2.13 Kerangka Pemikiran ... 47
BAB III METODE PENELITIAN... 48
3.1 Ruang Lingkup Penelitian ... 48
3.2 Jenis dan Sumber Data ... 48
3.3 Model Analisis ... 48
3.3.1 Persamaan Struktural ... 48
3.3.2 Persamaan Reduce Form ... 49
3.4 Definisi Operasional ... 52
3.5 Metode Analisis ... 53
3.6 Uji Stasioneritas Data ... 53
3.7 Uji Kesesuaian (Test of Goodness of Fit) ... 53
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56
4.1 Kondisi Ekonomi Indonesia ... 56
4.1.1 Kebijakan Fiskal ... 60
4.1.2 Kebijakan Bidang Investasi ... 64
4.2 Rasio Variabel Fiskal dan Moneter terhadap PDP... 65
4.3 Analisis Hasil Persamaan... 69
4.3.1 Analisis Hasil Persamaan Pendapatan Domestik Bruto 69
4.3.2 Analisis Hasil Persamaan Jumlah Uang Beredar ... 73
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 77
5.1 Kesimpulan ... 77
5.2 Saran ... 78
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1.1 Rasio APBN terhadap PDB Th. 2002 – 2008 (dalam persen) ... 2
4.1 Rata-rata Rasio Variabel Fiskal dan Moneter Terhadap PDP (Dalam Persen) ... 68
4.2 Uji Stasioneritas Data... 69
4.3 Hasil Olahan Data ... 70
4.4 Hasil Olahan Data ... 73
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1.1 Grafik GDP, Pajak, Pengeluaran Pemerintah ... 4
2.1 Kurva Kebijakan fiskal ekspansif ... 15
2. 2 Kurva kebijakan fiskal kontraktif ... 16
2.3 Kurva IS pendekatan 2 diagram... 19
2.4 Kurva Pergeseran Kurva IS... 21
2.5 Kebijakan Moneter Ekspansif ... 25
2.6 Kurva LM pendekatan 2 diagram ... 29
2.7 Kurva Pergeseran Kurva LM ... 30
2.8 Kurva Permintaan Agregat... 33
2.9 Kurva Analisis Masksimum Model IS dan LM ... 34
2.10 Kurva Efektivitas Kebijakan Fiskal ... 40
2.11 Kurva Efektivitas Kebijakan Moneter ... 41
2.12 Kerangka Pemikiran ... 47
4.1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 1980-2007... 58
4.2 Diagram Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi di Indonesia ... 59
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Data PDB, pengeluaran pemerintah, jumlah uang beredar, Pajak
dan tingkat suku bunga ... 82
2. Hasil olahan data dengan Two stage least Square ... 83
3. Hasil Uji ADF Test Data pengeluaran Pemerintah ... 84
4. Hasil Uji ADF Test Data Uang Beredar ... 85
5. Hasil Uji ADF Test Data Produk Domestik Bruto ... 86
6. Hasil Uji ADF Test Data Tingkat suku Bunga ... 87
7. Hasil Uji ADF Test Data Pajak ... 88
8. Hasil Uji Correlation Matrix ... 89
ABSTRAK
Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara diantaranya dipengaruhi oleh implementasi dari kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Proporsi efektivitas kebijakan fiskal dan moneter terhadap perekonomian menjadi bahan perdebatan antara kaum Keynes dan Kaum Monetaris. Penelitian ini mencoba membuktikan secara empirik perihal efektivitas kebijakan fiskal dibandingkan kebijakan moneter dalam mempengaruhi Produk Domestik Bruto Indonesia dengan mengambil studi kasus di Indonesia selama periode 1980 -2007.
Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Two Stage Least Square (TSLS). Model ini digunakan untuk melihat hubungan yang saling mempengaruhi antara variabel endogen yaitu Produk Domestik Bruto Indonesia, jumlah uang beredar dan variabel eksogen yaitu penerimaan dan pengeluaran pemerintah serta tingkat suku bunga yang diteliti.
Hasil empiris penelitian menunjukkan kebijakan moneter lebih besar dalam mempengaruhi PDB Indonesia selama periode 1980-2007 dibandingkan kebijakan Fiskal . Ini terbukti dari hasil analisis data yang memperlihatkan bahwa kebijakan moneter lebih besar dampaknya dari kebijakan fiskal selama periode penelitian.
ABSTRACT
Economic growth of a country is depended on implementation of fiscal and monetary policies. Proportion of effectiveness of the fiscal and monetary policies to economy is still debatable among Keynesian and Monetary specialist. This research is proofing empirical effectiveness of fiscal and monetary policies of Gross Domestic Product of Indonesia, and taking study case in Indonesia in 1980 – 2007 periods.
Two Stage Least Square (TSLS) model is used in this research to analyze. This model is used to find the relationship between endogenous variable that is Gross Domestic Product of Indonesia. Sum of money in the market and exogenous variable those are government revenues and disbursements and also interest.
Empirical research result indicated that monetary policy has bigger impact in Gross Domestic Product of Indonesia in 1980 – 2007 compares to fiscal policy. It can be seen from the data analysis that shows monetary policy has bigger impact than fiscal policy in researching period.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan salah satu
kondisi utama bagi kelangsungan ekonomi di Indonesia atau suatu negara, sehingga
pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu tujuan pembangunan Indonesia.
Diharapkan dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi nantinya dapat
mengatasi ketimpangan sosial dan meningkatkan kesejahteraan rakyat atau
masyarakat. Saat ini di hampir setiap negara, pemerintah ikut campur tangan dalam
kegiatan ekonomi. Campur tangan pemerintah dalam kegiatan ekonomi tersebut
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam upaya menciptakan
kesehatan fiskal dimaksud, terhadap dua langkah strategis yang harus dipenuhi.
Pertama, menurunkan secara bertahap defisit APBN menuju seimbang atau surplus.
Kedua, mengusahakan penurunan jumlah (stock) utang publik dan rasionya terhadap
PDB.
Strategi penurunan defisit anggaran pada dasarnya harus ditempuh melalui
dua langkah pokok, yaitu (a) peningkatan penerimaan negara, terutama yang berasal
dari sektor perpajakan, dan (b) pengendalian dan penajaman prioritas alokasi belanja
negara. Sementara itu, penurunan rasio utang publik terhadap PDB dapat dilakukan
pembiayaan yang tepat, dalam rangka penurunan rasio utang, dan meningkatkan
pendapatan nasional.
Berikut data perkembangan APBN serta defisit APBN terhadap PDB
Indonesia periode 2002 – 2008.
Tabel. 1.1. Rasio APBN terhadap PDB Th. 2002 - 2008 (dalam persen)
Uraian (PAN)2002 (PAN)2003 (APBN-P)2004 (APBN-P 2)2005 (APBN-P)2006 (APBN)2007 (APBN)2008 1. Pendapatan Negara
dan Hibah
18,5 16,4 20,3 19,6 21,1 20,5 20
-Penerimaan Perpajakan 13,0 11,6 14,0 13,2 13,6 14.4 13,6
- Penerimaan Bukan Pajak 5,5 4,7 6,2 6,1 7,4 6.0 6,3
- Hibah 0,0 0,0 0,0 0,3 0,1 0.1 0,1
2. Belanja Negara 20,0 18,0 21,6 20,6 22,4 21.6 22,1
-Belanja Pemerintah Pusat 13,9 12,3 15,1 14,9 15,3 41.3 15,5
*Pembayaran Bunga Utang
5,4 3,1 3,2 2,2 2,6 2.4 2,6
* Subsidi 2,5 2,1 3,5 4,6 3,5 1.8 5,2
- Belanja Daerah 6,1 5,8 6,5 5,7 7,1 7.3 6,5
3. Keseimbangan Umum (1,5) (1,7) (1,3) (1,0) (1,4) (1.3) (0,0)
4. Utang Pemerintah 65,1 58,3 53,9 48.7 n.a n.a n.a
- Utang Luar Negeri 31,5 28,3 25,3 24,5 n.a n.a n.a
- Utang Dalam Negeri 33,6 30,0 28,6 24,2 n.a n.a n.a
5. PDB Nominal (Rp T) 1.897,8 2.086,8 2.303,5 2.636,5 3040,8 3.957,4 4484,4
6. Surplus(Defisit) APBN/PDB
(1,4) (1,7) (1,1) (1,0) (1.3) (1,1) (0,7)
Sumber: APBN & NK 2005-2005
Terlepas dari ideologi politiknya, setiap pemerintahan terlibat di dalam
mobilisasi dan alokasi sumber daya-sumber daya, stabilitas perekonomian nasional,
yang sangat bervariasi di dalam pembangunan, sebagai penjaga stabilitas ekonomi,
yang merupakan prasyarat pertumbuhan ekonomi. Dalam literatur makro, peran
pemerintah dalam perekonomian umumnya dijalankan lewat dua kebijakan, yaitu
kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.
Strategi peningkatan pendapatan negara yang dilakukan dari peningkatan
penerimaan atas pajak tentu saja merupakan pilihan yang bukan tanpa resiko.
Peningkatan penerimaan melalui peningkatan pajak dapat menimbulkan kontraksi
(penciutan) dalam perekonomian. Karena diketahui bahwa pajak dapat berimplikasi
terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, karena pajak akan membebani
pendapatan masyarakat. Peningkatan pajak juga dapat menyebabkan kelesuan dalam
iklim investasi dan iklim berusaha, karena tingkat keuntungan yang diperoleh akan
terbebani pajak yang lebih besar.
Pada jangka pendek ada konflik potensial antara kebijakan moneter dan fiskal.
Jika bank sentral hendak mencapai stabilitas harga kebijakan fiskal pemerintah harus
berjuang untuk menekan permintaan agregat dan permintaan output sehingga
berbiaya tinggi dan inflasi sulit ditekan sehingga perlunya ada keseimbangan.
Bagaimanapun, jika kebijakan fiskal adalah pasif, maka bank sentral akan leluasa
meningkatkan tingkat suku bunga sebanyak yang diinginkan.
Berikut disajikan grafik Produk Domestik Bruto, Penerimaan Pajak,
Sumber : APBN beberapa tahun
Gambar 1.1. Grafik GDP, Pajak, Pengeluaran Pemerintah
Di era tahun 1970 perekonomian Indonesia mengalami peningkatan
cukup pesat. Peningkatan hasil minyak atau sering disebut dengan Oil Boom
memberikan dampak positif dan negatif bagi perekonomian. Pada satu sisi,
peningkatan hasil minyak sangat membantu peningkatan anggaran di sisi fiskal.
Pemerintah memiliki peran dominan dalam mendorong laju pertumbuhan rill.
Kebijakan fiskal yang ekspansif yang didukung oleh hasil penerimaan minyak
peningkatan penerimaan devisa hasil minyak dan pengeluaran pemerintah telah
menyebabkan jumlah uang beredar meningkat pada sisi fiskal.
Kebijakan Bank Indonesia dalam upaya mengendalikan peredaran uang dan
stabilitas harga dilaksanakan dengan kebijakan kredit selektif yang dimulai pada
tahun 1974. Bank Indonesia juga menerapkan kebijakan uang ketat (Tight money
policy) dengan menetapkan besarnya reserve requirement sebesar 3 %. Kebijakan
fiskal yang ekspansif dan kebijakan moneter yang kontraktif menyebabkan kehidupan
sektor perbankan kurang bergairah yang disebabkan kelangkaan sumber dana karena
menurunnya penghimpunan dana masyarakat dan adanya pembatasan dalam kredit.
Investasi masih didominasi oleh sektor pemerintah, sedang ruang gerak sektor swasta
relatif terbatas. Menyadari akan hal ini, Bank Indonesia kemudian menurunkan
kewajiban reserve requirement dari 30 % turun menjadi 15 %. Kebijakan ini seiring
dengan mulai menurunnya kemampuan pemerintah dalam ekspansi fiskal yang
disebabkan mulai menurunnya pendapatan dari penjualan minyak.
Pada tahun 1980-an terjadi kemerosotan harga minyak dipasar sebagai akibat
adanya kecenderungan terjadinya resesi dunia. Menurunnya pendapatan minyak
menyebabkan pemerintah harus menurunkan ekspansi fiskalnya terutama untuk
pembiayaan APBN. Pemerintah mau tidak mau harus secara bertahap menurunkan
domisasinya dalam menggerakkan perekonomian. Serangkaian kebijakan dalam
berbagai sektor ekonomi kemudian dibuat oleh pemerintah guna menghindari krisis
yang jauh lebih akibat krisis harga minyak. Kebijakan yang paling membawa dampak
Pasca bom minyak tahun 1979, Indonesia meliberalisasikan sektor perbankan
untuk meningkatnya kinerja perekonomian yang mengalami kelesuan akibat
menurunnya pendapatan minyak. Liberalis ini dikenal dengan Paket 27 Oktober 1988
(Pakto 27 – 88). Selain memperlonggar reserve requirement dari 15 % menjadi 2 %
pemerintah juga mempermudah pendirian bank – bank umum swasta dan lembaga
keuangan non bank. Jumlah bank yang tadinya berjumlah 111 dengan 1.728 kantor di
tahun 1988, melonjak menjadi 239 bank dengan 6.022 kantor hingga tahun 1994
(Dumairy,1997). Dominasi bank pemerintah berkurang seiring dengan meningkatnya
jumlah bank swasta. Hal yang sama terjadi pada lembaga keuangan non bank, seperti
asuransi dan pembiayaan lainnya.
Liberalisasi sektor keuangan memberikan dampak positif dan negatif bagi
perekonomian. Pada satu sisi tumbuhnya bank – bank umum menyebabkan sektor riil
(dunia usaha) lebih bergairah karena mudahnya akses peminjaman kredit perbankan.
Pada sisi lain, kemudahan yang diberikan pemerintah nyaris tidak diikuti oleh
pengawasan dan standar kesehatan perbankan. Hal ini terlihat dengan rendahnya
kinerja kesehatan perbankan, misalnya dilanggarnya batas maksimum pemberian
kredit (BMPK) karena ekspansi kredit melebihi batas LDR yang ada, rasio kecukupan
modal (CAR) yang minim, dan lain-lain.
Pada saat yang sama pemerintah sedang mengarahkan transformasi ekonomi
kearah industrialisasi dan peningkatan peran sektor swasta dalam perekonomian.
Sektor swasta diberikan kemudahan dalam peminjaman dana kesektor perbankan.
ekspor impor sektor swasta. Hal ini terbukti dengan banyaknya utang luar negeri yang
jatuh tempo milik swasta pada tahun 1998 utang luar negeri milik swasta
diperkirakan sebesar $ 9,6 milyar. Diawal tahun 1998 utang luar negeri milik swasta
diperkirakan sebesar US$ 65 milyar (55% dari total utang luar negeri Indonesia).
Besarnya aliran dana luar negeri yang masuk pasca liberalis sektor keuangan mampu
menutup kesenjangan tabungan – investasi (saving – investment gap).
Ketergantungan pada utang luar negeri juga dialami pemerintah. Semenjak
berakhirnya bom minyak anggaran pemerintah dalam APBN terus mengalami defisit
akibat berkurangnya sumber – sumber pendapatan. Defisit ini terus ditutupi dengan
melakukan utang luar negeri. Diawal tahun 1998, total utang luar negeri Indonesia
tercatat sebesar US$117 milyar dan 45% dari total utang tersebut adalah utang
pemerintah.
Krisis moneter di beberapa negara Asia termasuk Indonesia dimulai dari
devaluasi mata uang bath oleh pemerintah Thailand. Devaluasi yang berujung pada
jatuhnya nilai bath ini seiring dengan ulah para spekulan yang terus berburu dolar US
untuk mencari untung dengan berspekulasi. Krisis keuangan di Thailand kemudian
menjadi pola krisis yang sama dibeberapa negara Asia seperti di Filippina, Malaysia,
Singapura, Jepang, dan Korea Selatan.
Di Indonesia jatuhnya nilai tukar bath berpengaruh besar terhadap ekspetasi
masyarakat. Spekulasi besar – besaran terhadap nilai tukar rupiah terjadi sekitar Juli
Agustus 1997. Sebagian besar masyarakat golongan menengah berlomba – lomba
menurunnya nilai kekayaan akibat tekanan inflasi (dimana jika kurs melemah maka
kekayaan dalam rupiah akan menurun karena daya beli rupiah menurun akibat
naiknya harga). Selain itu para spekulen yang hendak memperoleh keuntungan dari
fluktuasi nilai tukar juga turut berperan menyebabkan makin terdepresiasinya nilai
tukar rupiah. Rupiah terus merosot bahkan sempat mencapai angka Rp.15000,- per 1
US$ pada tahun 1998.
Seiring gentingnya kondisi ekonomi dan politik menyusul maraknya aksi
demo mahasiswa menginginkan kemunduran presiden Suharto, dikalangan
masyarakat muncul isu – isu negatif (ekspektasi) diantaranya yaitu ancaman rush
(pengambilan deposit secara besar – besaran) di beberapa bank swasta, habisnya stok
bahan – bahan kebutuhan pokok akibat penjarahan, dan isu lainnya. Ekspektasi
negatif ditengah ketidakpastian ini menyebabkan masyarakat diliputi ketakutan.
Akibatnya isu rush menyebabkan masyarakat mengantri untuk menarik tabungannya
di bank-bank sehingga isu tentang kebangkrutan bank benar – benar menjadi nyata.
Selain itu tingkat inflasi yang sangat tinggi tidak serta merta menyebabkan
masyarakat mengurangi konsumsinya sehingga tingkat inflasi semakin tinggi yaitu
sempat mencapai 78% pada tahun 1998 (Arifin,2000).
Depresiasi nilai rupiah terhadap dolar berakibat fatal terhadap utang luar
negeri milik swasta yang akan jatuh tempo pada tahun 1998. Para Pengusaha yang
akan membayar utang luar negerinya berusaha mendapatkan dolar AS dalam jumlah
yang diperkirakan cukup besar. Menurut Bank Indonesia, dari sekitar US$ 62 Milyar
US$ 9.6 milyar. Utang luar negeri swasta tersebut menyebabkan kredit macet disektor
real estate dan properti. Kondisi diperburuk karena utang dalam dollar AS tersebut
tidak di-hedging (dilindungi dari perubahan kurs) sehingga mereka berusaha
memperkecil resiko dengan membeli dolar sebelum utangnya jatuh tempo. (Ritonga,
2004).
Kebijakan uang ketat yang diterapkan Bank Indonesia dengan menaikkan
suku bunga pada saat perekonomian sedang maju pesat sebelum masa krisis malah
menyebabkan masuknya aliran dana luar negeri dalam berbagai jangka waktu dan
berbagai bentuk semakin membesar dan menjadi penyebab utama krisis moneter
tahun 1997.
Krisis yang melanda perekonomian Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan
pemerintah meningkatkan pengeluarannya. Biaya restrukturisasi perbankan dan
pemulihan sektor riil menyebabkan pemerintah harus meningkatkan defisit
anggarannya mengingat terbatasnya sumber – sumber dana yang dimiliki. Defisit
anggaran meningkat cukup besar pasca krisis tahun 1997, terutama pada periode
APBN tahun 1999 yang mencapai Rp 114585 milyar. Disisi lain Bank Indonesia
menerapkan kebijakan moneter kontraksif guna menekan inflasi dan mengendalikan
jumlah uang beredar. Tingkat bunga tercatat meningkat cukup tinggi yaitu rata-rata
sekitar 25 % pada tahun 1998 dan rata-rata 22% pada tahun 1999.
Disisi lain kebijakan fiskal yang tepat belum tentu mendatangkan hasil yang
sesuai dengan yang diinginkan, karena selain kebijakan fiskal yang mempengaruhi
yang dikendalikan oleh otoritas moneter. Kebijakan fiskal dan moneter dalam banyak
kasus sering menimbulkan efek berkebalikan (crowding out). Sehingga diperlukam
mekanisme koordinasi yang baik dan tepat agar tujuan – tujuan pembangunan
perekonomian yang telah ditetapkan dapat tercapai.
Secara rata-rata pertumbuhan Produk Domestik Bruto per kapita mulai
menurun, walau masih positif, peningkatan prosentase penduduk miskin justru
meningkat lebih cepat. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang sedikit
banyak mengurangi kemiskinan. Tetapi pertumbuhan ekonomi yang lambat atau
bahkan negatif akan meningkatkan prosentase penduduk miskin jauh lebih cepat. Itu
sebabnya pertumbuhan ekonomi memang merupakan syarat perlu (necessary
condition) namun bukan syarat cukup (not sufficient condition).
Berdasarkan uraian diatas, Penulis mencoba menganalisis sampai sejauh mana
pengaruh kebijakan fiskal dan moneter yang diterapkan pemerintah pusat terhadap
Produk Domestik Bruto di Indonesia. Untuk itu Penulis mengambil judul “Analisis
Kebijakan Fiskal dan Moneter Terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia”
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka ada rumusan masalah yang dapat diambil
sebagai kajian dalam penelitian yang dilakukan. Hal ini dilakukan untuk
mempermudah dan mensistemasikan penulisan tesis ini. Selain itu, rumusan masalah
ini diperlakukan sebagai suatu cara untuk mengambil keputusan dari akhir penulisan
Penulis mencoba memuat perumusan masalah apakah kebijakan fiskal dan
moneter yang selama ini diterapkan pemerintah pusat yang tujuannya untuk
stabilisasi ekonomi juga berpengaruh terhadap peningkatan PDB Indonesia.
Yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah:
1. Berapa besar pengaruh pajak (sebagai instrumen kebijakan fiskal) terhadap
Produk Domestik Bruto di Indonesia ?
2. Berapa besar pengaruh pengeluaran pemerintah (sebagai instrumen kebijakan
fiskal) terhadap Produk Domestik Bruto di Indonesia?
3. Berapa besar pengaruh jumlah uang beredar (sebagai instrumen kebijakan
moneter) terhadap Produk Domestik Bruto di Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari Penulisan tesis ini adalah :
1. Untuk menganalisis pengaruh pajak (sebagai instrumen kebijakan fiskal)
terhadap PDB Indonesia.
2. Untuk menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah (sebagai instrumen
kebijakan fiskal) terhadap PDB di Indonesia.
3. Untuk menganalisis pengaruh jumlah uang beredar (sebagai instrumen kebijakan
12
1.4 Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui pengaruh
kebijakan fiskal dan moneter terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia.
2. Untuk memperkaya wawasan ilmiah dan non-ilmiah penulis dalam disiplin ilmu
Penulis terkini serta mengaplikasikannya secara kontekstual dan tekstual.
3. Sebagai masukan bagi kalangan akademisi dan Peneliti yang tertarik membahas
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Kebijakan fiskal
Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan
kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan
dan pengeluaran pemerintah. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang
berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan
daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah
output. Sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta
menurunkan output industri secara umum. Dalam literatur klasik, terdapat beberapa
perbedaan pandangan mengenai kebajikan fiskal, terutama menurut teori Keynes dan
tiori klasik tradisional (Nopirin, 2000). Pada prinsipnya Keynes berpendapat bahwa
kebijakan fiskal lebih besar pengaruhnya terhadap output daripada kebijakan
moneter. Hal ini didasarkan atas pendapatnya bahwa, pertama elastisitas permintaan
uang terhadap tingkat bunga kecil sekali (extrim-nya nol) sehingga kurva IS tegak.
Kebijakan fiskal yang ekspansif akan menggeser kurva IS kekanan sehingga output
meningkat. Sedangkan ekspansi moneter dengan penambahan jumlah uang beredar
pada kurva IS yang tetap tidak akan berpengaruh terhadap output. Hal ini
menunjukkan bahwa kebijakan fiskal akan lebih efektif dibandingkan dengan
2.2 Jenis Kebijakan Fiskal
Dari sudut ekonomi makro maka kebijakan fiskal dapat dibedakan menjadi
dua yaitu Kebijakan Fiskal Ekspansif dan Kebijakan Fiskal Kontraktif. Kebijakan
Fiskal Ekspansif adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan
kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan
dan pengeluaran pemerintah, pada saat munculnya kontraksional gap. Konstraksional
gap adalah suatu kondisi dimana output potensial (YF) lebih tinggi dibandingkan
dengan output Actual ( ). Pada saat terjadi kontraksional gap ini kondisi
perekonomian ditandai oleh tingginya tingkat pengangguran dimana >
.
Kebijakan ekspansif dilakukan dengan cara menaikkan pengeluaran
pemerintah (G) atau menurunkan pajak (T) untuk meningkatkan output (Y), adapun
mekanisme peningkatan pengeluaran pemerintah ataupun penurunan pajak (T)
terhadap output adalah sebagai berikut, pada grafik (2.1) maka dapat dijelaskan
bahwa disaat pengeluaran pemerintah (∆G) naik atau selisih pajak (∆T) turun maka
akan menggeser kurva pengeluaran agregat keatas sehingga pendapatan akan naik
Gambar 2.1. Kurva kebijakan fiskal ekspansif
Kebijakan Fiskal Kontraktif adalah kebijakan pemerintah dengan cara
menurunkan belanja negara dan menaikkan tingkat pajak. Kebijakan ini bertujuan
untuk menurunkan daya beli masyarakat dan mengatasi inflasi. kebijakan pemerintah
untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik
anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang
mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan. pada saat
munculnya ekpansionary gap. Ekspansionary gap adalah suatu kondisi dimana output
potensial (Yf) lebih kecil dibandingkan dengan output Actual ( ). Adapun
terhadap output (Y) adalah sebagai berikut, secara grafik kebijakan fiskal kontraktif
[image:34.612.115.493.178.511.2]diagram sebagai berikut:
Gambar 2.2. Kurva kebijakan fiskal kontraktif
Pada gambar 2.2 dapat dijelaskan bahwa disaat pengeluaran pemerintah (∆G)
turun atau selisih pajak (∆T) naik maka akan menggeser kurva pengeluaran agregat
2.3 Alat Analisis Kebijakan fiskal melalui IS Curve 2.3.1 Teori IS Curve
Pasar barang adalah pasar dimana semua barang dan jasa yang diproduksi
oleh suatu negara dan dalam jangka waktu tertentu.
Permintaan dalam pasar barang merupakan agregasi dari semua permintaan
akan barang dan jasa di dalam negeri, sementara yang menjadi penawarannya adalah
semua barang dan jasa yang diproduksi dalam negeri.
Kurva IS menyatakan hubungan antara tingkat bunga dan tingkat pendapatan
yang muncul di pasar barang dan jasa. Kurva IS juga menyatakan “investasi” dan
“tabungan”. Dalam sistem ekonomi tertutup, identitas output agregat merupakan
penjumlahan konsumsi rumah tangga, konsumsi perusahaan dan konsumsi
pemerintah, yaitu:
G I C
Y (2.1)
Y = output riil agregat,
C = konsumsi riil rumahtangga,
I = konsumsi riil perusahaan, dan
G = konsumsi riil pemerintah.
Fungsi konsumsi riil rumahtangga dan konsumsi riil perusahaan masing-masing
adalah
] ), [(Y T R C
] , [Y R I
I (2.3)
Y - T = pendapatan disposable riil, dan
R = tingkat bunga nominal.
Hubungan persamaan (2.1), (2.2) dan (2.3) menjelaskan output riil agregat,
yaitu: G R Y I R T Y C
Y [( ), ] [ , ] (2.4)
Fungsi konsumsi riil rumahtangga dalam bentuk linier dari pendapatan
disposable dan tingkat bunga nominal: C = 0 + 1 [Y-T] - 2 R. Demikian juga
fungsi konsumsi riil perusahaan adalah dalam bentuk linier dari pendapatan
disposable dan tingkat bunga nominal: I= 0 + 1 Y - 2 R. Oleh sebab itu output riil
agregat ekonomi tertutup berubah menjadi:
] ) ( [ 1 1 2 2 1 0 0 1 1 R T G
Y
] , , [R G T
Y (2.5)
Persamaan (2.5) menjelaskan keseimbangan pasar barang, dimana
keseimbangan output riil agregat [Y] ditentukan oleh tingkat bunga nominal [R],
konsumsi riil pemerintah [G] dan pajak pendapatan riil [T]. Persamaan (2.5)
menjelaskan bahwa kemiringan atau slope dari kurva IS adalah negatip, artinya
respons output riil agregat [Y] terhadap tingkat bunga bunga nominal [R] adalah
2.3.2 Derivasi Is Secara Grafis dan Matematis
Secara grafis fungsi IS dapat dilihat sebagai berikut :
AE2=C+I(r2)+G
Y2 Y
Y1 R2
R1 R AD/AS
AE1=C+I(r1)+G
Y1 Y2
E2
E1
45
IS E1
[image:37.612.122.500.177.585.2]E2
Gambar 2.3. Kurva IS pendekatan 2 diagram
1. Pada tingkat bunga pada R1 maka kurva permintaan agregat adalah pada
2. Titik E1 pada diagram pertama terbentuk dari perpotongan antara kurva a +
bY + e – f.R1 dan garis 45o.
3. Titik E1 pada diagram kedua merupakan perpotongan garis yang ditarik dari
titik E1 pada diagram pertama dengan garis R1 pada diagram kedua.
4. Bila tingkat bunga pada R2, maka kurva permintaan agregat adalah pada
kurva a + bY + e – f.R2, pendapatan nasional equilibrium pada Y2.
5. Titik E2 pada diagram pertama terbentuk dari perpotongan antara kurva a +
bY + e – f.R2 dan garis 45o.
6. Titik E2 pada diagram kedua merupakan perpotongan garis yang ditarik dari
titik E2 pada diagram pertama dengan garis R2 pada diagram kedua.
7. Dengan menghubungkan titik E1 dan E2 pada diagram kedua, didapatkan
kurva IS.
Pergeseran dan pergerakan dalam kurva IS, secara umum dapat dilakukan
melalui perubahan–perubahan pada variabel pengeluaran pemerintah (G) dan pajak
(T) yang terkait dengan kebijakan fiskal.
Dengan menggunakan perpotongan Keynesian untuk melihat bagaimana
perubahan-perubahan lain dalam kebijakan fiskal menggeser kurva IS. Karena
kenaikan pengeluaran pemerintah atau menurunkan pajak akan memperbesar
pendapatan dan menggeser kurva IS keluar atau kekanan. Menurut Mankiw (2000),
perubahan pengeluaran pemerintah atau penurunan pajak adalah sebesar
[image:39.612.142.500.171.539.2]multipliernya. Secara grafik maka pergeseran tersebut dapat dilihat sebagai berikut
Gambar 2.4. Kurva Pergeseran Kurva IS
Kenaikan dalam pengeluaran pemerintah (G) menggeser kurva IS dari IS0 ke
IS1. Kenaikan pengeluaran pemerintah meningkatkan pengeluaran yang
direncanakan sebesar ∆G menyebabkan kenaikan dalam pendapatan nasional Y
sebesar ∆G / (1 – MPC) sehingga kurva IS bergeser ke IS1 (lihat gambar 2.4)
Secara matematis pergeseran kurva IS maka dapat dihitung sebagai berikut :
G R I T Y C
Y ( ) ( )
) , (Y R E Y Dengan syarat 0 Y E Y
E E 0
r E R
Perhitungan deferensial dari dua persamaan diatas adalah sebagai berikut :
0 1 ) 1 ( r E Y E y r r Y r Y r Y E E R Y R E Y E R E Y E Y R E Y E Y R Y Y
Dari turunan diatas maka dapat dilihat hubungan tingkat suku bunga terhadap
pendapatan maka kurva IS berslope negatif. Hal ini menunjukan jika tingkat suku
bunga (R) meningkat maka akan menurunkan tingkat pendapatan.
Pergeseran kurva IS secara matematis dilihat hubungan antara Pendapatan agregat
dengan Pengeluaran agregat
Perhitungan deferensial dari dua persamaan diatas adalah sebagai berikut :
0
1
1
)
1
(
R
E
Y
E
0 0
y YE
Y
G
G
Y
E
G
R
Y
Y
Dari turunan persamaan pendapatan agregat diatas maka dapat disimpulkan
bahwa disaat pengeluaran pemerintah naik maka pendapatan agregat akan naik dan
menggeser kurva IS kekanan begitu juga sebaliknya disaat pengeluaran pemerintah
turun maka pendapatan agregat juga turun sehingga akan menggeser kurva IS kekiri.
2.4 Teori Kebijakan Moneter
Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan
ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui
pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan
agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output
keseimbangan. Ahli ekonomi klasik mempunyai pendapat bahwa kebijakan moneter
lebih efektif dibandingkan dengan kebijakan fiskal. Pada perkembangannya, dengan
munculnya kaum monetarist yang pada dasarnya beraliran klasik, perbedaan pendapat
dengan noe-kaynesian tidak lagi berkisar pada lereng kurva IS dan LM ini. Demikian
kebijakan fiskal dapat mempengaruhi pendapatan nasional, hanya saja kebijakan
moneter lebih besar serta dapat di perkirakan dan lebih cepat efeknya.
Kerangka umum yang sering dipergunakan dalam menganalisis interaksi
simultan antara permintaan dan penawaran baik pada pasar barang dan pasar uang
adalah kerangka IS-LM. Kerangka ini dapat menunjukkan bagaimana kebijakan
moneter dan fiskal mampu mempengaruhi tingkat pendapatan atau output (Mankiw, 2000; Mishkin, 2004). Bagi bank sentral yang merupakan otoritas moneter, kebijakan yang ia pilih bergantung pada target, kondisi aktual perekonomian,
kapasitas kebijakan dan pertimbangan tentang efektivitas kebijakan tersebut.
Kebijakan moneter ini ditentukan secara terpusat oleh Bank Indonesia. Meskipun
dalam formulasi kebijakannya Bank Indonesia sudah mempertimbangkan aspek
regional, namun respon agen dan dampak pada masing-masing region tersebut sangat
mungkin berbeda, dan ini sangat bergantung pada kondisi empirik masing-masing
daerah.
2.5 Jenis Kebijakan Moneter
Dari sudut ekonomi makro maka kebijakan fiskal dapat dibedakan menjadi
dua yaitu Kebijakan Moneter ekspansif dan kebijakan moneter kontraktif. Kebijakan
Moneter Ekspansif adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang
yang beredar. pada saat munculnya kontraksional gap. Berikut grafik kebijakan
moneter ekspansif. Dari gambar dibawah dapat dilihat kondisi awal penawaran uang
yang peka terhadap pengeluran adalah I=(a+Ip), rencana pengeluaran agregat menjadi
[image:43.612.116.525.173.623.2]AEp(R1) dan Produk Domestik Bruto adalah (Y1).
Gambar 2.5. Kebijakan Moneter Ekspansif R
R
R
MS1 MS2
L(R, Y1) R E
Y1 Y
AEp AEp ( ) Y=E
Y
LM
LM2
I1
M/P I I=(a+Ip
Selain itu kurva PDB pada Y1 membantu menetukan posisi kurva permintaan
uang pada kurva L(R, Y1) dimana besama-sama dengan kurva (Ms1) menentukan
tingkat suku bunga (R1). Ketika Ms1 meningkat menjadi Ms2 maka tingkat suku
bunga turun karena pendapatan dan pengeluaran naik menjadi menjadi (R1), AEp
(R1) dan Y1.
Kebijakan Moneter Kontraktif adalah suatu kebijakan dalam rangka
mengurangi jumlah uang yang beredar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat
(tight money policy).
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan
moneter, yaitu antara lain Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation) Operasi
pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau
membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah
jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun,
bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat
berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain
diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau
singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
Fasilitas Diskonto (Discount Rate) Fasilitas diskonto adalah pengaturan
jumlah uang yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank
umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus
menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga
demi membuat uang yang beredar berkurang.
Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio) Rasio cadangan wajib
adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana
cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah
uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang
beredar, pemerintah menaikkan rasio.
Himbauan Moral (Moral Persuasion) Himbauan moral adalah kebijakan
moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi himbauan
kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit
untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar
dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk
memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
2.6 Alat Analisis Kebijakan Fiskal Melalui LM Curve 2.6.1 Teori LM Curve
Model LM menjelaskan keseimbangan permintaan dan penawatan uang.
Rumah tangga memerlukan atau memegang uang sebagai aktiva yang berfungsi
sebagai alat tukar, pengukur nilai dan penyimpan nilai. Model keseimbangan
permintaan dan penawaran uang adalah
) , (Y R L P M
Pada nilai [MP] tertentu, persamaan (2.6) menjelaskan bahwa respons output
riil agregat [Y] terhadap tingkat bunga nominal [R] adalah positip karena hubungan
stok uang [M] dengan tingkat bunga nominal [R] adalah negatip. Jika model
keseimbangan pasar uang adalah M/P = 0 + 1 Y - 2 R maka skedul LM adalah Y =
-(0/1) + (2/1) R + (1/1) M/P atau secara umum: y = [R, M/P].
Hubungan Y dengan R pada stok uang tertentu menjelaskan kurva LM dengan
dengan kemiringan positip. Artinya respons output riil agregat [Y] terhadap tingkat
bunga nominal [R] adalah positip atau peningkatan tingkat bunga akan meningkatkan
output riil agregat pada keseimbangan pasar uang. Hubungan antara tingkat bunga
dan tingkat pendapatan yang muncul di pasar uang dinyatakan dengan Kurva LM.
Teori preferensi likuiditas menyatakan bahwa tingkat bunga menyesuaikan untuk
menyeimbangkan penawaran dan permintaan untuk aset perekonomian yang paling
likuid, yaitu uang. Jika M menyatakan penawaran uang dan P menyatakan tingkat
harga, maka M/P adalah penawaran dari keseimbangan uang riil. Teori preferensi
likuisditas mengasumsikan adanya penawaran uang riil tetap. Penawaran uang M
adalah variabel kebijakan eksogen yang dipilih oleh bank sentral. Tingkat harga P
juga merupakan variabel eksogen dalam model ini (dianggap tingkat harga adalah
tertentu (given) karena model IS-LM menjelaskan jangka pendek ketika tingkat harga
2.6.2 Derivasi LM Secara Grafis dan Secara Matematis Secara grafis fungsi LM dapat dilihat sebagai berikut :
R
Y Y2 Y1
M/P R1
R2 R
L2
LM
E E2
R1
R2 E2
E1
[image:47.612.113.550.177.448.2]L1
Gambar 2.6. Kurva LM pendekatan 2 diagram 1. Penawaran uang merupakan garis tegak lurus (M/P1).
2. Pada penghasilan tertentu ada permintaan uang, kurva permintaan uangnya
adalah L1 = kY – h.R.
3. Perpotongan kurva permintaan uang (M/P1) dan penawaran uang (L1) terletak
pada titik E1 dan menentukan tingkat bunga R
4. Apabila pendapatan bertambah maka kurva permintaan terhadap uang
5. Titik Y1 penghasilan yang bersifat Given kedua tingkat bunga R yang
terbentuk pada diagram sebelah kiri permintaan dan penawaran, kemudian
karena penghasilan naik yaitu menjadi Y2, maka permintaan terhadap uang
menjadi L2 yang menghasilkan tingkat bunga R2 maka terbentuk kurva LM.
kurva IS.
Pergeseran dan pergerakan dalam kurva IS, secara umum dapat dilakukan
melalui perubahan pada variabel tingkat suku bunga dan pendapatan yang terkait
dengan kebijakan moneter. Pergeseran kurva LM dapat dilihat pada gambar 2
[image:48.612.126.516.361.671.2]berikut :
Keterangan : r adalah tingkat suku bunga, Y adalah pendapatan nasional, M/P adalah
money supply, L(R, Y) adalah permintaan uang.
Penurunan dalam penawaran uang akan menggeser kurva LM dari LM0 ke LM1 yang
berakibat terhadap kenaikan tingkat suku bunga dalam tingkat pendapatan nasional
tertentu.
Secara matematis maka pergeseran kurva LM dapat dihitung sebagai berikut
MS=Md atau Ls=Ld sehingga
Maka persamaan kurva LM juga dapat ditulis dalam bentuk :
Perhitungan deferensial dari dua persamaan diatas adalah sebagai berikut :
0 0 ) / ( ) / ( ) / ( r Y r Y L L Y R P M R L Y L P M R R L Y Y L P M
M/P merupakan intersept dengan sumbu tegak, sedangkan h/k merupakan slope
(kecuraman) kurva positif, disaat tingkat suku bunga turun maka pendapatan juga
akan turun. M 0 h k, ;
2.7 Model Permintaan Agregat
Persamaan (2.5) menjelaskan perilaku skedul IS dari rumahtangga dan
perusahaan dan persamaan (2.6) menjelaskan perilaku permintaan uang sebagai
aktiva atau skedul LM. Kombinasi (2.5) dan (2.6) menjelaskan model permintaan
agregat, yaitu:
) , , (R G T
Y dan M/P L(Y,R)
GT
P M Y
Y , , (2.7)
Dari (2.7) ditunjukkan bahwa respons output riil agregat terhadap stok uang
riil dan konsumsi riil pemerintah adalah positip dan respons terhadap pajak riil adalah
negatip. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa hubungan output riil agregat
terhadap tingkat harga umum adalah negatip, menjelaskan skedul permintaan agregat
[AD]. Pada kurva IS yang tetap, peningkatan harga akan menurunkan stok uang riil
sehingga skedul LM semakin rendah dan sebaliknya. Dari (2.7) diketahui tiga faktor
yang dapat mempengaruhi permintaan agregat, yaitu M, G dan T. Peningkatan stok
uang [M] pada tingkat harga umum yang tetap akan meningkatkan skedul LM
sehingga skedul AD naik. Sebaliknya penurunan stok uang [M] pada tingkat harga
umum yang tetap akan menurunkan skedul LM sehingga skedul AD turun
Peningkatan pajak pendapatan riil pada tingkat harga umum yang tetap akan
menurunkan skedul IS sehingga skedul AD turun, dan sebaliknya penurunan pajak
sehingga skedul AD naik Oleh sebab itu perubahan kebijakan fiskal dan moneter
akan merubah skedul AD.
Dari (2.7) diketahui tiga faktor yang dapat mempengaruhi permintaan R LM: [M0/P0] LM: [M1/P0]
LM: [MP1]
IS
y
P AD0
P0
P1 AD1
[image:51.612.127.489.176.477.2]Y
Gambar 2.8. Kurva Permintaan Agregat
2.8 Analisis Maksimum Model IS dan LM
Individu atau rumahtangga bertujuan untuk memaksimumkan utilitas dari
memegang uang. Stok uang riil yang dipegang individu atau rumah tangga digunakan
untuk konsumsi dan lesure sehingga fungsi utilitas rumah tangga untuk memegang
uang sampai waktu tak terhingga adalah
... ) , ( ) , ( ) ,
( 2 2
2 1
1
t t t t
t
t l u c l u c l
c
Kendala rumahtangga pada periode [t] ditunjukkan oleh hubungan lesure R
IS LM:[M/P0]
LM:[M/P1]
W/P nd ns
y
P AS0 AS1
n AD
y y
y
[image:52.612.131.514.110.534.2]n 450 y
Gambar 2.9. Kurva Analisis Maksimum Model IS dan LM dengan konsumsi riil dan stok uang riil, yaitu:
lt = (ct, mt) (2.15)
Dimana respons lesure terhadap konsumsi riil adalah negatip [c < 0 ] dan
respons terhadap uang kas riil adalah positip [m > 0]. Persamaan (2.15) menjelaskan
waktu bekerja akan berkurang apabila waktu lesure dan stok uang riil bertambah.
Apabila individu atau rumah tangga menggunakan semua fasilitas aktiva produktif
maka produksi agregat berubah menjadi:
] , [ 1 t t
t f n k
y (2.16)
Dimana f(kt-1) menjelaskan fungsi produksi agregat individu atau
rumahtangga. Fungsi produksi agregat individu atau rumah tangga mengakibatkan
perubahan kendala anggaran rumahtangga menjadi:
t t t
t t t t
t v c k k m m
k
f( 1) 1 [1 1]1 (2.17)
dimana:
vt = transfer pemerintah kepada individu atau rumahtangga, dan
t-1 = Pt-1 Pt-2 = tingkat inflasi periode [t - 1].
Masalah rumahtangga adalah menentukan ct, kt, lt dan mt dengan cara
memaksimalkan fungsi tujuan (2.14) dengan kendala (2.15) dan (2.17).
Penurunan konsumsi sekarang [ct] berarti juga penurunan permintaan stok
uang riil sekarang [mt]. Penurunan konsumsi sekarang akan menurunkan skedul IS
dan peningkatan stok uang riil akan meningkatkan skedul LM, sehingga permintaan
agregat turun dan tingkat harga umum naik. Penurunan permintaan agregat dan
peningkatan tingkat harga umum akan menurunkan konsumsi riil rumahtangga dan
konsumsi riil perusahaan. Proporsisi ini membuktikan bahwa analisis utilitas
2.9 Koordinasi Kebijakan Dalam Jangka Panjang dan Jangka Pendek
Beberapa hasil studi telah melahirkan beberapa kajian baru tentang koordinasi
kebijakkan fiskal dan moneter. Dalam jangka panjang (Hagen dan Mundshenk, 2003)
terget kebijakan moneter yang dibuat bank sentral adalah untuk mengendalikan
tingkat inflasi tanpa memikirkan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu kebijakan
pengeluaran pemerintah dalam kebijakan fiskal suatu negara bertujuan untuk
meningkatkan output kepada sektor swasta dan sektor publik tetapi tidak dalam
tingkat output dan mendistribusikan output kepada sektor swasta dan sektor publik
dalam jangka panjang, bank sentral akan dapat mencapai sasaran kebijakannya yaitu
stabilitas harga, tanpa bertentangan dengan kebijakan fiskal. Pemerintah dapat
menggunakan alternatif kebijakan fiskal cocok dan sesuai yang dibutuhkan negara
saat itu. Pada posisi tersebut, tidak diperlukan adanya koordinasi antara kebijakan
fiskal dan kebijakan moneter.
2.10 Efektivitas Kebijakan Moneter dan Fiskal
Para ekonom telah lama memperdebatkan apakah kebijakan moneter atau
fiskal yang memiliki pengaruh lebih besar terhadap permintaan agregat. Menurut
model IS-LM jawaban atas pertanyaan ini tergantung parameter dari kurva IS dan
LM.
Efektivitas Kebijakan fiscal dilihat dari kurva IS
Y=C(Y-T)+I(R)+G (1)
Y-bY=(a+c)+(G-bT)-dR (3)
+ + + (4)
Persamaan diatas menunjukan kurva IS secara aljabar. Persamaan ini
menyatakan tingkat pendapatan (Y) pada tingkat bunga (R) serta kebijakan fiskal (G)
dan (T) berapa pun. Dengan mempertahankan kebijakan fiscal tetap, semakin tinggi
tingkat bunga, semakin rendah tingkat pendapatan. Kurva IS menggambarkan
persamaan ini untuk nilai-nilai yang berbeda dari (Y) dan (R) berdasarkan nilai tetap
dari (G) dan (T). Dari persamaan ini bisa diverifikasi kurva IS
1. Koefisien bunga negatif, kurva iS akan miring ke bawah; tingkat bunga lebih
tinggi mengurangi pendapatan.
2. Karena koefisien belanja pemerintah adalah positif, kenaikan belanja
pemerintah akan mengeser kurva IS ke kiri
3. Koefisien pajak adalah negatif kenaikan pajak akan mengeser kurva IS ke kiri
Koefisien tingkat bunga,-d/(1-b), menunjukan kecuraman atau datarnya kurva
IS. Jika investasi sangat sensitive terhadap tingkat bunga, maka d menjadi besar, dan
pendapatan juga sangat sensitive terhadap tingkat bunga. Dalam kasus ini, perubahan
kecil pada tingkat bunga menyebabkan perubahan besar dalam pendapatan kurva IS
lebih datar. Sebaliknya, jika investasi tidak sangat sensitif terhadap tingkat bunga, d
menjadi kecil, dan pendapatan juga tidak sangat sensitif terhadap tingkat bunga.
Dalam kasus ini perubahan besar pada tingkat bunga menyebabkan perubahan kecil
tergantung pada kecenderungan mengkonsumsi marjinal b. semakin besar
mengkonsumsi marginal semakin besar perubahan pendapatan yang disebabkan
tingkat bunga. Alasannya adalah bahwa akan menimbulkan pengganda yang besar
atas perubahan investasi. Semakin besar pengganda, semakin besar dampak
perubahan investasi terhadap pendapatan dankurva IS menjadi mendatar.
Kecenderungan mengkonsumsi marginal b juga menentukan sejauh mana
perubahan kebijakan fiskal menggeser kurva IS . Koefisien G. 1/(1-b), adalah
pengganda belanja pemerintah dalam perpotongan Keynesian. Demikian pula,
koefisien T,-b/(1-b), adalah pengganda pajak dalam perpotongan Keynesian. Semakin
besar kecenderungan mengkonsumsi marginal, semakin besar pengganda, dan
semakin besar pergeseran kurva IS yang berasal dari perubahan kebijakan fiskal.
Efektivitas Kebijakan fiskal dilihat dari Kurva LM
Untuk melihat efektivitas kebijakan fiskal dapat diuraikan secara aljabar dari
persamaan sebagai berikut
M/P=L(r, Y) (1)
L(r, Y)=eY-f r (2)
Dimana e dan f adalah angka lebih besar dari nol. Nilai e menentukan berapa besar
permintaan uang meningkat ketika pendapatan naik. Nilai f menentukan berapa
banyak permintaan uang turun ketika tingkat bunga naik. Ekuillibrium pasar uang
sekarang dijelaskan dengan
M/P =eY- f r (3)
Persamaan ini memberi kita tingkat bunga yang menyeimbangkan pasar uang
untuk setiap nilai pendapatan dan keseimbangan berdasarkan riil. Kurva LM
menggambarkan persamaan ini untuk nilai Y dan R yang berbeda berdasarkan nilai
M/P yang tetap. Dari koefisien pendapatan (e/f) dapat menentukan kurva LM curam
atau datar. Jika permintaan uang tidak sangat sensitif terhadap tingkat pendapatan,
maka e adalah kecil. Dalam kasus ini, hanya diperlukan perubahan kecil dalam
tingkat bunga untuk mengurangi kenaikan kecil dalam permintaan uang yang
disebabkan oleh perubahan pendapatan ; kurva LM relatif datar. Demikian pula, jika
kuantitas uang yang diminta tidak sangat sensitive terhadap tingkat bunga, f adalah
kecil. Dalam kasus ini, pergeseran pada permintaan uang yang disebabkan oleh
perubahan pendapatan akan menimbulkan perubahan besar pada tingkat bunga
ekuillibrium; kuva LM relatif Curam.
Dalam melihat efektivitas kebijakan kita membandingkan pada tiga daerah
yaitu daerah klasik, intermediate range dan daerah keynes. Daerah liquidity trap
merupakan daerah yang idenya pertama sekali dikemukan oleh Keynes. Keynes
menganggap ada satu daerah pada kurva LM yang memiliki tingkat bunga yang
sangat rendah dan tidak mungkin turun lagi. Daerah ini yang disebut daerah liquidity
trap. Situ daerah klasik memili kurva LM yang tegak lurus. Hal ini dikarenakan
pemahaman kaum klasik bahwa teori permintaan uang, permintaan uang tidak
dipengaruhi oleh suku bunga. Menurut paham ini, permintaan uang dipengaruhi oleh
pendapatan. Karena tidak ada hubungannya dengan suku bunga, maka kurva LM
kurva LM dipengaruhi oleh suku bunga. Untuk melihat keefektifan ekonomi dapat
kita lihat pada gambar berikut:
IS0
IS1
IS0
IS1 IS0 IS1
R
[image:58.612.128.516.177.494.2]Y Y0 Y1 Y0a
Gambar 2.10. Kurva Efektivitas Kebijakan Fiskal Y0c=Y1d Y1b
Gambar (2.10) menunjukkan apabila kurva IS bergeser ke kanan berarti
kebijakan fiskal ekspansif. Jika kita perhatikan pada masing-masing daerah,
kebijakan fiskal sangat efektif pada daerah keynesian dan efektif pada daerah
intermediate range. Hal ini terlihat dari besarnya perubahan keseimbangan
tidak efektif pada daerah klasik. Ketika ada kebijakan fiskal, keseimbangan
pendapatan nasional tidak berubah.
R
IS3 LM0 LM1
IS2
IS1
[image:59.612.165.470.175.438.2]y1 y2 y4 y3 y5 y
Gambar 2.11. Kurva Efektifitas Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter yang ekspansif ditandai dengan bergeser kurva LM
dari Ke . Apabila dibandingkan pada ketiga daerah maka kebijakan moneter
sangat efektif didaerah klasik dan efektif pada daerah intermediate. Sementara itu,
kebijakan moneter sama sekali tidak efektif pada daerah keynesian.
2.11 Penelitian Terdahulu
guncangan fiskal. Hasil temuan dari penelitian ini adalah bahwa kenaikan pajak
merupakan kebijakan yang bersifat kontraksi terhadap perekonomian. Pengaruhnya
sangat signifikan dan merugikan bagi perekonomian, karena efek perubahannya lebih
besar dari pada perubahan tingkat pajak itu sendiri. Efek yang paling besar pengaruh
negatifnya adalah pajak yang berhubungan dengan investasi
Chun (2006), meneliti tentang pengaruh kebijakan fiskal terhadap tingkat tabungan nasional di korea dengan menggunakan model life – cycle menemukan
bahwa dalam jangka panjang ketidakseimbangan dalam anggaran belanja akan
menurunkan tingkat tabungan nasional di Korea.
Penelitian Bania dkk (2006), untuk melihat hubungan antara pajak, pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi di US menemukan bahwa
penerimaan pajak yang selanjutnya digunakan untuk penegluaran pemerintah yang
produktif dalam hal ini, pendidikan, dan infrastruktur berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menggunakan model non linear dan
mengadopsi teori endogenous dari Robert Barro.
Kustepeli (2005), meneliti dan menganalisis tentang efektifitas kebijakan
fiscal dalam konteks hipotesis crowding out kebijakan fiscal yang dilakukan oleh
pemerintah Turkey. Penelitian tersebut menggunakan kointegrasi johansen yang
menghasilkan bahwa pendapat Keynes dan pendapat neokalsik tentang akibat dari
kebijakan fiscal yang diambil oleh pemerintah Turkey berlaku terjadi di Turki. Ketika
investasi swasta. Disimpulkan bahwa defisit angaran menimbulkan crowding out efek
terhadap investasi swasta.
Maryatmo (2004), melaukan penelitian yang bertujuan untuk mengamati dampak dari kebijakan deficit anggaran yang dilakukan oleh pemrintah terhadap
variable makro ekonomi secara umum dan khususnya variable moneter dalam jangka
panjang dan jangka pendek. Penelitian ini menggunakan spesifikasi model rasional
ekspektasi yang memungkinkan pengambil keputusan untuk mencegah efek – efek
yang lain.
Model tersebut mengkonstruksi 8 persamaan jangka panjang dan delapan
persamaan jangka pendek dan 12 persamaan identitas. Pengestimasian menggunakan
metode two stage least square hasil penelitian menunjukkan bahwa deficit anggaran
mempengaruhi tingkat suku bunga dalam jangka panjang dan jangka pendek. Dan
defisit anggaran juga berpengaruh terhadap nilai tukar dan tingkat harga.dalam jangka
panjang hasil uji causal memperlihatkan bahwa nilai tukar dan tingkat harga
mempunyai efek yang berkebalikan dengan defisit anggaran.
Adapun Gupta et al. (2002) melakukan studinya dengan kasus 39 negara ESAF dan PRGF dengan kurun waktu 1990-2000. Studi tersebut lebih dimaksudkan
untuk mengetahui apakah fiskal adjustment dan perbaikan komposisi pengeluaran
pemerintah memiliki manfaat baik bagi pertumbuhan ekonomi di negara-negara
miskin. Sumber pembiayaan pemerintah juga diamati di sini dengan dilatarbelakangi
kenyataan bahwa selama ini studi-studi yang ada belum memperhatikan apakah
pertumbuhan dibandingkan defisit yang dibiayai dengan sumber-sumber dana dalam
negeri.
Selain menemukan bahwa komposisi pengeluaran pemerintah yang lebih
produktif penting artinya bagi pertumbuhan dan pencapaian fiskal adjustment yang
berkelanjutan, Gupta et al. (2002) juga menyebutkan bahwa komposisi pembiayaan defisit juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di
negara-negara miskin. Namun, berbeda dengan temuan Aschauer di atas, Gupta et al.
justru menemukan bahwa pembiayaan defisit anggaran pemerintah dari
sumber-sumber domestik lebih merugikan pertumbuhan ekonomi daripada pinjaman luar
negeri.
Turnovsky (2000), meneliti tentang hubungan antara kebijakan fiskal dan output di Amerika Serikat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah OLS.
Penelitiannya menemukan bahwa kebijakan fiskal tidak memiliki dampak terhadap
keseimbangan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Tingkat pertumbuhan
yang lambat memberikan kenyataan bahwa kebajikan fiskal hanya berpengaruh pada
jangka pendek pada masa transisi. Kenaikan variabel instrumen fiskal dalam jumlah
yang relatif besar tidak terlalu berpengaruh besar terhaap output.
Hafer, Haslag dan Jones (2002), meneliti tentang hubungan antara kebijakan moneter, jumlah uang beredar, dan output di Amerika Serikat. Metodologi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode OLS dengan menggunakan data tahun
1961 – 1982 dan 1961 – 2000. Penelitian ini terdiri dari tiga kajian. Yang pertama
persamaan output gap dimana tingkat pembiayaan bank sentral menjadi instrumen
kebijakan moneter. Yang kedua yaitu mengestimasi pengaruh jumlah uang beredar
(M0,M1.M2) dengan mempengaruhi tingkat bunga terhadap output. Hasil estimasi
memperlihatkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara tingkat pembiayaan bank
sentral terhadap output kurun waktu tahun 1961 – 1982. Namun tercatat tidak
signifikan pada data tahun 1982 hingga tahun 2000. Penelitian ini juga menemukan
hubungan yang signifikan antara lag jumlah uang riil dan output gap pada tahun 1961
– 1982, namun juga tidak signifikan pada tahun 1982 – 2000.
Albatel (2003), meneliti tentang hubungan antara kebijakan pemerintah (kebijakan moneter dan kebajikan fiskal) dan output di Arab Saudi. Metodologi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode kointegrasi dan error correction model
dengan menggunakan data tahun 1964 – 1998. hasil penelitian memperlihatkan
terhadap hubungan kointegrasi antara kebijakan pemerintah (kebijakan fiskal dan
moneter), liberalisasi perdagangan, dan pertumbuhan ekonomi di Arab Saudi.
Variabel pengeluaran pemerintah (kebijakan fiskal) dan jumlah uang beredar
(kebijakan mon