• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Efektivitas Kebijakan Fiskal Dan Moneter Terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Efektivitas Kebijakan Fiskal Dan Moneter Terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FISKAL DAN

MONETER TERHADAP PRODUK DOMESTIK BRUTO

INDONESIA

TESIS

Oleh

ABDUR RAMAN

077018001/EP

SE

K O L A

H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ANALISIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FISKAL DAN

MONETER TERHADAP PRODUK DOMESTIK BRUTO

INDONESIA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ABDUR RAMAN

077018001/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : ANALISIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER TERHADAP PRODUK DOMESTIK BRUTO INDONESIA

Nama Mahasiswa : Abdur Raman Nomor Pokok : 077018001

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Dede Ruslan, M.Si) (Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Dr. Murni Daulay, M.Si) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)

(4)

51

Telah diuji pada Tanggal : 22 Juni 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Dede Ruslan, M.Si

Anggota : 1. Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec 2. Dr. Murni Daulay, M.Si

(5)

ABSTRAK

Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara diantaranya dipengaruhi oleh implementasi dari kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Proporsi efektivitas kebijakan fiskal dan moneter terhadap perekonomian menjadi bahan perdebatan antara kaum Keynes dan Kaum Monetaris. Penelitian ini mencoba membuktikan secara empirik perihal efektivitas kebijakan fiskal dibandingkan kebijakan moneter dalam mempengaruhi Produk Domestik Bruto Indonesia dengan mengambil studi kasus di Indonesia selama periode 1980 -2007.

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Two Stage Least Square (TSLS). Model ini digunakan untuk melihat hubungan yang saling mempengaruhi antara variabel endogen yaitu Produk Domestik Bruto Indonesia, jumlah uang beredar dan variabel eksogen yaitu penerimaan dan pengeluaran pemerintah serta tingkat suku bunga yang diteliti.

Hasil empiris penelitian menunjukkan kebijakan moneter lebih besar dalam mempengaruhi PDB Indonesia selama periode 1980-2007 dibandingkan kebijakan Fiskal . Ini terbukti dari hasil analisis data yang memperlihatkan bahwa kebijakan moneter lebih besar dampaknya dari kebijakan fiskal selama periode penelitian.

(6)

ABSTRACT

Economic growth of a country is depended on implementation of fiscal and monetary policies. Proportion of effectiveness of the fiscal and monetary policies to economy is still debatable among Keynesian and Monetary specialist. This research is proofing empirical effectiveness of fiscal and monetary policies of Gross Domestic Product of Indonesia, and taking study case in Indonesia in 1980 – 2007 periods.

Two Stage Least Square (TSLS) model is used in this research to analyze. This model is used to find the relationship between endogenous variable that is Gross Domestic Product of Indonesia. Sum of money in the market and exogenous variable those are government revenues and disbursements and also interest.

Empirical research result indicated that monetary policy has bigger impact in Gross Domestic Product of Indonesia in 1980 – 2007 compares to fiscal policy. It can be seen from the data analysis that shows monetary policy has bigger impact than fiscal policy in researching period.

(7)

KATA PENGANTAR

Penulis Memanjatkan syukur kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan

karuni-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini yang berjudul

“Analisis Efektivitas Kebijakan Fiskal Dan Moneter Terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia”.

Dalam penyusunan tesis ini, penulis sudah berusaha mencurahkan seluruh

daya dan kemampuan untuk menyusun tesis ini agar lebih baik dan sempurna. Namun

penulis menyadari sepenuhnya akan kelemahan dan kekurangan dari tesis ini baik

dalam isi maupun penyajiannya. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan

kritik yang membangun dari semua pihak, sehingga tesis ini dapat bermanfaat sebagai

sumber ilmu pengetahuan dan referensi bagi para penelitian lainnya.

Selama mengikuti pendidikan dan penyelesaian penyusunan tesis ini, penulis

banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak berupa materi

maupun dorongan moril baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena

itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan

kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A(k), Rektor Universitas

Sumatera Utara Medan.

2. Ibu Prof. Dr.Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc, Direktur Sekolah Pascasarjana

(8)

3. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si, Ketua Program Studi Magister Ekonomi

Pembangunan, Universitas Sumatera Utara dan sekaligus selaku Ketua

Pembanding.

4. Bapak Dr. Dede Ruslan, M.Si, selaku Ketua pembimbing yang telah

memberikan waktu dan pemikirannya dalam penyusunan tesis ini sehingga tesis

ini dapat diselesaikan.

5. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE., M.Ec, selaku Pembimbing kedua yang telah

banyak memberikan waktu dan pemikiran serta bimbingannya kepada penulis

sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

6. Bapak Drs. Iskandar Syarief, M.A, selaku pembanding yang telah memberikan

saran-saran yang sangat membantu dalam penyelesaian tesis ini.

7. Bapak Drs. Rachmad Sumanjaya, M.Si, selaku pembanding yang telah

memberikan saran-saran yang sangat membantu dalam penyelesaian tesis ini.

8. Bapak dan Ibu Dosen Sekolah Pascasarjana Program Studi Magister Ekonomi

Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

9. Penghargaan tertinggi penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu serta Istri

tercinta Novita Indriani, S.Pd, yang selalu mendoakan, dan kepada anak-anakku

tersayang Muhammad Daffa Rahfi dan Agha Athaillah Alfathan yang telah

banyak memotivasi penulis di dalam menyelesaikan tesis ini.

10. Rekan-rekan mahasisiwa dan seluruh alumni Pascasarjana (S-2) Magister

Ekonomi Pembangunan (MEP) Universitas Sumatera Utara, seluruh

(9)

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dan

memberikan saran, pendapat serta pandangannya sehingga tesis ini dapat

diselesaikan.

Akhirnya, semoga Allah memberikan balasan yang setimpal atas segala amal

dan budi yang diberikan. Dan semoga kemudahan dan kelapangan selalu menyertai

kita semua. Amin.

Medan, Juni 2009

Penulis

(10)

RIWAYAT HIDUP 1. Nama : Abdur Raman

2. Tempat/Tanggal Lahir : Palembang, 28 Agustus 1977

3. Jenis Kelamin : Laki Laki

4. Status : Menikah

5. Agama : Islam

6. Pekerjaan : Pegawai Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Pajak

7. Alamat : Jl. Setia Budi Psr. 2 Komp. Taman Harapan Indah Blok C.12 Tanjung Sari Medan

8. Nama Istri : Novita Indriani, S.Pd

9. Anak : 1. Muhammad Daffa Rahfi

2. Agha Athaillah Alfathan

10. Nama Ayah : Basyir Muchtar

Ibu : Rohana

12. PENDIDIKAN

a. SD : SD Negeri 476 Palembang (1989)

c. SMP : SMP Negeri 44 Palembang (1992)

d. SMA : SMA Negeri 14 Palembang (1995)

e. D III : STAN Jakarta (1998)

f. Strata 1 : Program Ekstens on Fak. Ekonomi USU (2004)

g. Strata 2 : Pascasarjana Ekonomi Pembangunan USU (2009)

Medan, Juni 2009

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Manfaat Penelitian ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1 Teori Kebijakan Fiskal ... 13

2.2 Jenis Kebijakan Fiskal ... 14

2.3 Alat Analisis Kebijakan Fiskal melalui IS Curve ... 17

2.3.1 Teori IS Curve ... 17

2.3.2 Derivasi IS Secara Grafis dan Matematis ... 19

2.4 Teori Kebijakan Moneter ... 23

2.5 Jenis Kebijakan Moneter ... 24

2.6 Alat Analisis Kebijakan Fiskal melalui LM Curve ... 27

2.6.1 Teori LM Curve ... 27

2.6.2 Derivasi LM Secara Grafis dan Secara Matematis ... 29

(12)

2.8 Analisis Maksimum Model IS dan LM ... 33

2.9 Koordinasi Kebijakan Dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang ... 36

2.10 Efektivitas Kebijakan Moneter dan Fiskal... 36

2.11 Penelitian Terdahulu ... 41

2.12 Hipotesis Penelitian ... 47

2.13 Kerangka Pemikiran ... 47

BAB III METODE PENELITIAN... 48

3.1 Ruang Lingkup Penelitian ... 48

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 48

3.3 Model Analisis ... 48

3.3.1 Persamaan Struktural ... 48

3.3.2 Persamaan Reduce Form ... 49

3.4 Definisi Operasional ... 52

3.5 Metode Analisis ... 53

3.6 Uji Stasioneritas Data ... 53

3.7 Uji Kesesuaian (Test of Goodness of Fit) ... 53

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56

4.1 Kondisi Ekonomi Indonesia ... 56

4.1.1 Kebijakan Fiskal ... 60

4.1.2 Kebijakan Bidang Investasi ... 64

4.2 Rasio Variabel Fiskal dan Moneter terhadap PDP... 65

4.3 Analisis Hasil Persamaan... 69

4.3.1 Analisis Hasil Persamaan Pendapatan Domestik Bruto 69

4.3.2 Analisis Hasil Persamaan Jumlah Uang Beredar ... 73

(13)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

5.1 Kesimpulan ... 77

5.2 Saran ... 78

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1 Rasio APBN terhadap PDB Th. 2002 – 2008 (dalam persen) ... 2

4.1 Rata-rata Rasio Variabel Fiskal dan Moneter Terhadap PDP (Dalam Persen) ... 68

4.2 Uji Stasioneritas Data... 69

4.3 Hasil Olahan Data ... 70

4.4 Hasil Olahan Data ... 73

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1 Grafik GDP, Pajak, Pengeluaran Pemerintah ... 4

2.1 Kurva Kebijakan fiskal ekspansif ... 15

2. 2 Kurva kebijakan fiskal kontraktif ... 16

2.3 Kurva IS pendekatan 2 diagram... 19

2.4 Kurva Pergeseran Kurva IS... 21

2.5 Kebijakan Moneter Ekspansif ... 25

2.6 Kurva LM pendekatan 2 diagram ... 29

2.7 Kurva Pergeseran Kurva LM ... 30

2.8 Kurva Permintaan Agregat... 33

2.9 Kurva Analisis Masksimum Model IS dan LM ... 34

2.10 Kurva Efektivitas Kebijakan Fiskal ... 40

2.11 Kurva Efektivitas Kebijakan Moneter ... 41

2.12 Kerangka Pemikiran ... 47

4.1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 1980-2007... 58

4.2 Diagram Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi di Indonesia ... 59

(16)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Data PDB, pengeluaran pemerintah, jumlah uang beredar, Pajak

dan tingkat suku bunga ... 82

2. Hasil olahan data dengan Two stage least Square ... 83

3. Hasil Uji ADF Test Data pengeluaran Pemerintah ... 84

4. Hasil Uji ADF Test Data Uang Beredar ... 85

5. Hasil Uji ADF Test Data Produk Domestik Bruto ... 86

6. Hasil Uji ADF Test Data Tingkat suku Bunga ... 87

7. Hasil Uji ADF Test Data Pajak ... 88

8. Hasil Uji Correlation Matrix ... 89

(17)

ABSTRAK

Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara diantaranya dipengaruhi oleh implementasi dari kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Proporsi efektivitas kebijakan fiskal dan moneter terhadap perekonomian menjadi bahan perdebatan antara kaum Keynes dan Kaum Monetaris. Penelitian ini mencoba membuktikan secara empirik perihal efektivitas kebijakan fiskal dibandingkan kebijakan moneter dalam mempengaruhi Produk Domestik Bruto Indonesia dengan mengambil studi kasus di Indonesia selama periode 1980 -2007.

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Two Stage Least Square (TSLS). Model ini digunakan untuk melihat hubungan yang saling mempengaruhi antara variabel endogen yaitu Produk Domestik Bruto Indonesia, jumlah uang beredar dan variabel eksogen yaitu penerimaan dan pengeluaran pemerintah serta tingkat suku bunga yang diteliti.

Hasil empiris penelitian menunjukkan kebijakan moneter lebih besar dalam mempengaruhi PDB Indonesia selama periode 1980-2007 dibandingkan kebijakan Fiskal . Ini terbukti dari hasil analisis data yang memperlihatkan bahwa kebijakan moneter lebih besar dampaknya dari kebijakan fiskal selama periode penelitian.

(18)

ABSTRACT

Economic growth of a country is depended on implementation of fiscal and monetary policies. Proportion of effectiveness of the fiscal and monetary policies to economy is still debatable among Keynesian and Monetary specialist. This research is proofing empirical effectiveness of fiscal and monetary policies of Gross Domestic Product of Indonesia, and taking study case in Indonesia in 1980 – 2007 periods.

Two Stage Least Square (TSLS) model is used in this research to analyze. This model is used to find the relationship between endogenous variable that is Gross Domestic Product of Indonesia. Sum of money in the market and exogenous variable those are government revenues and disbursements and also interest.

Empirical research result indicated that monetary policy has bigger impact in Gross Domestic Product of Indonesia in 1980 – 2007 compares to fiscal policy. It can be seen from the data analysis that shows monetary policy has bigger impact than fiscal policy in researching period.

(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan salah satu

kondisi utama bagi kelangsungan ekonomi di Indonesia atau suatu negara, sehingga

pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu tujuan pembangunan Indonesia.

Diharapkan dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi nantinya dapat

mengatasi ketimpangan sosial dan meningkatkan kesejahteraan rakyat atau

masyarakat. Saat ini di hampir setiap negara, pemerintah ikut campur tangan dalam

kegiatan ekonomi. Campur tangan pemerintah dalam kegiatan ekonomi tersebut

bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam upaya menciptakan

kesehatan fiskal dimaksud, terhadap dua langkah strategis yang harus dipenuhi.

Pertama, menurunkan secara bertahap defisit APBN menuju seimbang atau surplus.

Kedua, mengusahakan penurunan jumlah (stock) utang publik dan rasionya terhadap

PDB.

Strategi penurunan defisit anggaran pada dasarnya harus ditempuh melalui

dua langkah pokok, yaitu (a) peningkatan penerimaan negara, terutama yang berasal

dari sektor perpajakan, dan (b) pengendalian dan penajaman prioritas alokasi belanja

negara. Sementara itu, penurunan rasio utang publik terhadap PDB dapat dilakukan

(20)

pembiayaan yang tepat, dalam rangka penurunan rasio utang, dan meningkatkan

pendapatan nasional.

Berikut data perkembangan APBN serta defisit APBN terhadap PDB

Indonesia periode 2002 – 2008.

Tabel. 1.1. Rasio APBN terhadap PDB Th. 2002 - 2008 (dalam persen)

Uraian (PAN)2002 (PAN)2003 (APBN-P)2004 (APBN-P 2)2005 (APBN-P)2006 (APBN)2007 (APBN)2008 1. Pendapatan Negara

dan Hibah

18,5 16,4 20,3 19,6 21,1 20,5 20

-Penerimaan Perpajakan 13,0 11,6 14,0 13,2 13,6 14.4 13,6

- Penerimaan Bukan Pajak 5,5 4,7 6,2 6,1 7,4 6.0 6,3

- Hibah 0,0 0,0 0,0 0,3 0,1 0.1 0,1

2. Belanja Negara 20,0 18,0 21,6 20,6 22,4 21.6 22,1

-Belanja Pemerintah Pusat 13,9 12,3 15,1 14,9 15,3 41.3 15,5

*Pembayaran Bunga Utang

5,4 3,1 3,2 2,2 2,6 2.4 2,6

* Subsidi 2,5 2,1 3,5 4,6 3,5 1.8 5,2

- Belanja Daerah 6,1 5,8 6,5 5,7 7,1 7.3 6,5

3. Keseimbangan Umum (1,5) (1,7) (1,3) (1,0) (1,4) (1.3) (0,0)

4. Utang Pemerintah 65,1 58,3 53,9 48.7 n.a n.a n.a

- Utang Luar Negeri 31,5 28,3 25,3 24,5 n.a n.a n.a

- Utang Dalam Negeri 33,6 30,0 28,6 24,2 n.a n.a n.a

5. PDB Nominal (Rp T) 1.897,8 2.086,8 2.303,5 2.636,5 3040,8 3.957,4 4484,4

6. Surplus(Defisit) APBN/PDB

(1,4) (1,7) (1,1) (1,0) (1.3) (1,1) (0,7)

Sumber: APBN & NK 2005-2005

Terlepas dari ideologi politiknya, setiap pemerintahan terlibat di dalam

mobilisasi dan alokasi sumber daya-sumber daya, stabilitas perekonomian nasional,

(21)

yang sangat bervariasi di dalam pembangunan, sebagai penjaga stabilitas ekonomi,

yang merupakan prasyarat pertumbuhan ekonomi. Dalam literatur makro, peran

pemerintah dalam perekonomian umumnya dijalankan lewat dua kebijakan, yaitu

kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.

Strategi peningkatan pendapatan negara yang dilakukan dari peningkatan

penerimaan atas pajak tentu saja merupakan pilihan yang bukan tanpa resiko.

Peningkatan penerimaan melalui peningkatan pajak dapat menimbulkan kontraksi

(penciutan) dalam perekonomian. Karena diketahui bahwa pajak dapat berimplikasi

terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, karena pajak akan membebani

pendapatan masyarakat. Peningkatan pajak juga dapat menyebabkan kelesuan dalam

iklim investasi dan iklim berusaha, karena tingkat keuntungan yang diperoleh akan

terbebani pajak yang lebih besar.

Pada jangka pendek ada konflik potensial antara kebijakan moneter dan fiskal.

Jika bank sentral hendak mencapai stabilitas harga kebijakan fiskal pemerintah harus

berjuang untuk menekan permintaan agregat dan permintaan output sehingga

berbiaya tinggi dan inflasi sulit ditekan sehingga perlunya ada keseimbangan.

Bagaimanapun, jika kebijakan fiskal adalah pasif, maka bank sentral akan leluasa

meningkatkan tingkat suku bunga sebanyak yang diinginkan.

Berikut disajikan grafik Produk Domestik Bruto, Penerimaan Pajak,

(22)

Sumber : APBN beberapa tahun

Gambar 1.1. Grafik GDP, Pajak, Pengeluaran Pemerintah

Di era tahun 1970 perekonomian Indonesia mengalami peningkatan

cukup pesat. Peningkatan hasil minyak atau sering disebut dengan Oil Boom

memberikan dampak positif dan negatif bagi perekonomian. Pada satu sisi,

peningkatan hasil minyak sangat membantu peningkatan anggaran di sisi fiskal.

Pemerintah memiliki peran dominan dalam mendorong laju pertumbuhan rill.

Kebijakan fiskal yang ekspansif yang didukung oleh hasil penerimaan minyak

(23)

peningkatan penerimaan devisa hasil minyak dan pengeluaran pemerintah telah

menyebabkan jumlah uang beredar meningkat pada sisi fiskal.

Kebijakan Bank Indonesia dalam upaya mengendalikan peredaran uang dan

stabilitas harga dilaksanakan dengan kebijakan kredit selektif yang dimulai pada

tahun 1974. Bank Indonesia juga menerapkan kebijakan uang ketat (Tight money

policy) dengan menetapkan besarnya reserve requirement sebesar 3 %. Kebijakan

fiskal yang ekspansif dan kebijakan moneter yang kontraktif menyebabkan kehidupan

sektor perbankan kurang bergairah yang disebabkan kelangkaan sumber dana karena

menurunnya penghimpunan dana masyarakat dan adanya pembatasan dalam kredit.

Investasi masih didominasi oleh sektor pemerintah, sedang ruang gerak sektor swasta

relatif terbatas. Menyadari akan hal ini, Bank Indonesia kemudian menurunkan

kewajiban reserve requirement dari 30 % turun menjadi 15 %. Kebijakan ini seiring

dengan mulai menurunnya kemampuan pemerintah dalam ekspansi fiskal yang

disebabkan mulai menurunnya pendapatan dari penjualan minyak.

Pada tahun 1980-an terjadi kemerosotan harga minyak dipasar sebagai akibat

adanya kecenderungan terjadinya resesi dunia. Menurunnya pendapatan minyak

menyebabkan pemerintah harus menurunkan ekspansi fiskalnya terutama untuk

pembiayaan APBN. Pemerintah mau tidak mau harus secara bertahap menurunkan

domisasinya dalam menggerakkan perekonomian. Serangkaian kebijakan dalam

berbagai sektor ekonomi kemudian dibuat oleh pemerintah guna menghindari krisis

yang jauh lebih akibat krisis harga minyak. Kebijakan yang paling membawa dampak

(24)

Pasca bom minyak tahun 1979, Indonesia meliberalisasikan sektor perbankan

untuk meningkatnya kinerja perekonomian yang mengalami kelesuan akibat

menurunnya pendapatan minyak. Liberalis ini dikenal dengan Paket 27 Oktober 1988

(Pakto 27 – 88). Selain memperlonggar reserve requirement dari 15 % menjadi 2 %

pemerintah juga mempermudah pendirian bank – bank umum swasta dan lembaga

keuangan non bank. Jumlah bank yang tadinya berjumlah 111 dengan 1.728 kantor di

tahun 1988, melonjak menjadi 239 bank dengan 6.022 kantor hingga tahun 1994

(Dumairy,1997). Dominasi bank pemerintah berkurang seiring dengan meningkatnya

jumlah bank swasta. Hal yang sama terjadi pada lembaga keuangan non bank, seperti

asuransi dan pembiayaan lainnya.

Liberalisasi sektor keuangan memberikan dampak positif dan negatif bagi

perekonomian. Pada satu sisi tumbuhnya bank – bank umum menyebabkan sektor riil

(dunia usaha) lebih bergairah karena mudahnya akses peminjaman kredit perbankan.

Pada sisi lain, kemudahan yang diberikan pemerintah nyaris tidak diikuti oleh

pengawasan dan standar kesehatan perbankan. Hal ini terlihat dengan rendahnya

kinerja kesehatan perbankan, misalnya dilanggarnya batas maksimum pemberian

kredit (BMPK) karena ekspansi kredit melebihi batas LDR yang ada, rasio kecukupan

modal (CAR) yang minim, dan lain-lain.

Pada saat yang sama pemerintah sedang mengarahkan transformasi ekonomi

kearah industrialisasi dan peningkatan peran sektor swasta dalam perekonomian.

Sektor swasta diberikan kemudahan dalam peminjaman dana kesektor perbankan.

(25)

ekspor impor sektor swasta. Hal ini terbukti dengan banyaknya utang luar negeri yang

jatuh tempo milik swasta pada tahun 1998 utang luar negeri milik swasta

diperkirakan sebesar $ 9,6 milyar. Diawal tahun 1998 utang luar negeri milik swasta

diperkirakan sebesar US$ 65 milyar (55% dari total utang luar negeri Indonesia).

Besarnya aliran dana luar negeri yang masuk pasca liberalis sektor keuangan mampu

menutup kesenjangan tabungan – investasi (saving – investment gap).

Ketergantungan pada utang luar negeri juga dialami pemerintah. Semenjak

berakhirnya bom minyak anggaran pemerintah dalam APBN terus mengalami defisit

akibat berkurangnya sumber – sumber pendapatan. Defisit ini terus ditutupi dengan

melakukan utang luar negeri. Diawal tahun 1998, total utang luar negeri Indonesia

tercatat sebesar US$117 milyar dan 45% dari total utang tersebut adalah utang

pemerintah.

Krisis moneter di beberapa negara Asia termasuk Indonesia dimulai dari

devaluasi mata uang bath oleh pemerintah Thailand. Devaluasi yang berujung pada

jatuhnya nilai bath ini seiring dengan ulah para spekulan yang terus berburu dolar US

untuk mencari untung dengan berspekulasi. Krisis keuangan di Thailand kemudian

menjadi pola krisis yang sama dibeberapa negara Asia seperti di Filippina, Malaysia,

Singapura, Jepang, dan Korea Selatan.

Di Indonesia jatuhnya nilai tukar bath berpengaruh besar terhadap ekspetasi

masyarakat. Spekulasi besar – besaran terhadap nilai tukar rupiah terjadi sekitar Juli

Agustus 1997. Sebagian besar masyarakat golongan menengah berlomba – lomba

(26)

menurunnya nilai kekayaan akibat tekanan inflasi (dimana jika kurs melemah maka

kekayaan dalam rupiah akan menurun karena daya beli rupiah menurun akibat

naiknya harga). Selain itu para spekulen yang hendak memperoleh keuntungan dari

fluktuasi nilai tukar juga turut berperan menyebabkan makin terdepresiasinya nilai

tukar rupiah. Rupiah terus merosot bahkan sempat mencapai angka Rp.15000,- per 1

US$ pada tahun 1998.

Seiring gentingnya kondisi ekonomi dan politik menyusul maraknya aksi

demo mahasiswa menginginkan kemunduran presiden Suharto, dikalangan

masyarakat muncul isu – isu negatif (ekspektasi) diantaranya yaitu ancaman rush

(pengambilan deposit secara besar – besaran) di beberapa bank swasta, habisnya stok

bahan – bahan kebutuhan pokok akibat penjarahan, dan isu lainnya. Ekspektasi

negatif ditengah ketidakpastian ini menyebabkan masyarakat diliputi ketakutan.

Akibatnya isu rush menyebabkan masyarakat mengantri untuk menarik tabungannya

di bank-bank sehingga isu tentang kebangkrutan bank benar – benar menjadi nyata.

Selain itu tingkat inflasi yang sangat tinggi tidak serta merta menyebabkan

masyarakat mengurangi konsumsinya sehingga tingkat inflasi semakin tinggi yaitu

sempat mencapai 78% pada tahun 1998 (Arifin,2000).

Depresiasi nilai rupiah terhadap dolar berakibat fatal terhadap utang luar

negeri milik swasta yang akan jatuh tempo pada tahun 1998. Para Pengusaha yang

akan membayar utang luar negerinya berusaha mendapatkan dolar AS dalam jumlah

yang diperkirakan cukup besar. Menurut Bank Indonesia, dari sekitar US$ 62 Milyar

(27)

US$ 9.6 milyar. Utang luar negeri swasta tersebut menyebabkan kredit macet disektor

real estate dan properti. Kondisi diperburuk karena utang dalam dollar AS tersebut

tidak di-hedging (dilindungi dari perubahan kurs) sehingga mereka berusaha

memperkecil resiko dengan membeli dolar sebelum utangnya jatuh tempo. (Ritonga,

2004).

Kebijakan uang ketat yang diterapkan Bank Indonesia dengan menaikkan

suku bunga pada saat perekonomian sedang maju pesat sebelum masa krisis malah

menyebabkan masuknya aliran dana luar negeri dalam berbagai jangka waktu dan

berbagai bentuk semakin membesar dan menjadi penyebab utama krisis moneter

tahun 1997.

Krisis yang melanda perekonomian Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan

pemerintah meningkatkan pengeluarannya. Biaya restrukturisasi perbankan dan

pemulihan sektor riil menyebabkan pemerintah harus meningkatkan defisit

anggarannya mengingat terbatasnya sumber – sumber dana yang dimiliki. Defisit

anggaran meningkat cukup besar pasca krisis tahun 1997, terutama pada periode

APBN tahun 1999 yang mencapai Rp 114585 milyar. Disisi lain Bank Indonesia

menerapkan kebijakan moneter kontraksif guna menekan inflasi dan mengendalikan

jumlah uang beredar. Tingkat bunga tercatat meningkat cukup tinggi yaitu rata-rata

sekitar 25 % pada tahun 1998 dan rata-rata 22% pada tahun 1999.

Disisi lain kebijakan fiskal yang tepat belum tentu mendatangkan hasil yang

sesuai dengan yang diinginkan, karena selain kebijakan fiskal yang mempengaruhi

(28)

yang dikendalikan oleh otoritas moneter. Kebijakan fiskal dan moneter dalam banyak

kasus sering menimbulkan efek berkebalikan (crowding out). Sehingga diperlukam

mekanisme koordinasi yang baik dan tepat agar tujuan – tujuan pembangunan

perekonomian yang telah ditetapkan dapat tercapai.

Secara rata-rata pertumbuhan Produk Domestik Bruto per kapita mulai

menurun, walau masih positif, peningkatan prosentase penduduk miskin justru

meningkat lebih cepat. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang sedikit

banyak mengurangi kemiskinan. Tetapi pertumbuhan ekonomi yang lambat atau

bahkan negatif akan meningkatkan prosentase penduduk miskin jauh lebih cepat. Itu

sebabnya pertumbuhan ekonomi memang merupakan syarat perlu (necessary

condition) namun bukan syarat cukup (not sufficient condition).

Berdasarkan uraian diatas, Penulis mencoba menganalisis sampai sejauh mana

pengaruh kebijakan fiskal dan moneter yang diterapkan pemerintah pusat terhadap

Produk Domestik Bruto di Indonesia. Untuk itu Penulis mengambil judul “Analisis

Kebijakan Fiskal dan Moneter Terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia”

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka ada rumusan masalah yang dapat diambil

sebagai kajian dalam penelitian yang dilakukan. Hal ini dilakukan untuk

mempermudah dan mensistemasikan penulisan tesis ini. Selain itu, rumusan masalah

ini diperlakukan sebagai suatu cara untuk mengambil keputusan dari akhir penulisan

(29)

Penulis mencoba memuat perumusan masalah apakah kebijakan fiskal dan

moneter yang selama ini diterapkan pemerintah pusat yang tujuannya untuk

stabilisasi ekonomi juga berpengaruh terhadap peningkatan PDB Indonesia.

Yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah:

1. Berapa besar pengaruh pajak (sebagai instrumen kebijakan fiskal) terhadap

Produk Domestik Bruto di Indonesia ?

2. Berapa besar pengaruh pengeluaran pemerintah (sebagai instrumen kebijakan

fiskal) terhadap Produk Domestik Bruto di Indonesia?

3. Berapa besar pengaruh jumlah uang beredar (sebagai instrumen kebijakan

moneter) terhadap Produk Domestik Bruto di Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari Penulisan tesis ini adalah :

1. Untuk menganalisis pengaruh pajak (sebagai instrumen kebijakan fiskal)

terhadap PDB Indonesia.

2. Untuk menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah (sebagai instrumen

kebijakan fiskal) terhadap PDB di Indonesia.

3. Untuk menganalisis pengaruh jumlah uang beredar (sebagai instrumen kebijakan

(30)

12

1.4 Manfaat Penelitian

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui pengaruh

kebijakan fiskal dan moneter terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia.

2. Untuk memperkaya wawasan ilmiah dan non-ilmiah penulis dalam disiplin ilmu

Penulis terkini serta mengaplikasikannya secara kontekstual dan tekstual.

3. Sebagai masukan bagi kalangan akademisi dan Peneliti yang tertarik membahas

(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Kebijakan fiskal

Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan

kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan

dan pengeluaran pemerintah. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang

berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan

daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah

output. Sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta

menurunkan output industri secara umum. Dalam literatur klasik, terdapat beberapa

perbedaan pandangan mengenai kebajikan fiskal, terutama menurut teori Keynes dan

tiori klasik tradisional (Nopirin, 2000). Pada prinsipnya Keynes berpendapat bahwa

kebijakan fiskal lebih besar pengaruhnya terhadap output daripada kebijakan

moneter. Hal ini didasarkan atas pendapatnya bahwa, pertama elastisitas permintaan

uang terhadap tingkat bunga kecil sekali (extrim-nya nol) sehingga kurva IS tegak.

Kebijakan fiskal yang ekspansif akan menggeser kurva IS kekanan sehingga output

meningkat. Sedangkan ekspansi moneter dengan penambahan jumlah uang beredar

pada kurva IS yang tetap tidak akan berpengaruh terhadap output. Hal ini

menunjukkan bahwa kebijakan fiskal akan lebih efektif dibandingkan dengan

(32)

2.2 Jenis Kebijakan Fiskal

Dari sudut ekonomi makro maka kebijakan fiskal dapat dibedakan menjadi

dua yaitu Kebijakan Fiskal Ekspansif dan Kebijakan Fiskal Kontraktif. Kebijakan

Fiskal Ekspansif adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan

kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan

dan pengeluaran pemerintah, pada saat munculnya kontraksional gap. Konstraksional

gap adalah suatu kondisi dimana output potensial (YF) lebih tinggi dibandingkan

dengan output Actual ( ). Pada saat terjadi kontraksional gap ini kondisi

perekonomian ditandai oleh tingginya tingkat pengangguran dimana >

.

Kebijakan ekspansif dilakukan dengan cara menaikkan pengeluaran

pemerintah (G) atau menurunkan pajak (T) untuk meningkatkan output (Y), adapun

mekanisme peningkatan pengeluaran pemerintah ataupun penurunan pajak (T)

terhadap output adalah sebagai berikut, pada grafik (2.1) maka dapat dijelaskan

bahwa disaat pengeluaran pemerintah (∆G) naik atau selisih pajak (∆T) turun maka

akan menggeser kurva pengeluaran agregat keatas sehingga pendapatan akan naik

(33)
[image:33.612.150.483.111.403.2]

Gambar 2.1. Kurva kebijakan fiskal ekspansif

Kebijakan Fiskal Kontraktif adalah kebijakan pemerintah dengan cara

menurunkan belanja negara dan menaikkan tingkat pajak. Kebijakan ini bertujuan

untuk menurunkan daya beli masyarakat dan mengatasi inflasi. kebijakan pemerintah

untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik

anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang

mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan. pada saat

munculnya ekpansionary gap. Ekspansionary gap adalah suatu kondisi dimana output

potensial (Yf) lebih kecil dibandingkan dengan output Actual ( ). Adapun

(34)

terhadap output (Y) adalah sebagai berikut, secara grafik kebijakan fiskal kontraktif

[image:34.612.115.493.178.511.2]

diagram sebagai berikut:

Gambar 2.2. Kurva kebijakan fiskal kontraktif

Pada gambar 2.2 dapat dijelaskan bahwa disaat pengeluaran pemerintah (∆G)

turun atau selisih pajak (∆T) naik maka akan menggeser kurva pengeluaran agregat

(35)

2.3 Alat Analisis Kebijakan fiskal melalui IS Curve 2.3.1 Teori IS Curve

Pasar barang adalah pasar dimana semua barang dan jasa yang diproduksi

oleh suatu negara dan dalam jangka waktu tertentu.

Permintaan dalam pasar barang merupakan agregasi dari semua permintaan

akan barang dan jasa di dalam negeri, sementara yang menjadi penawarannya adalah

semua barang dan jasa yang diproduksi dalam negeri.

Kurva IS menyatakan hubungan antara tingkat bunga dan tingkat pendapatan

yang muncul di pasar barang dan jasa. Kurva IS juga menyatakan “investasi” dan

“tabungan”. Dalam sistem ekonomi tertutup, identitas output agregat merupakan

penjumlahan konsumsi rumah tangga, konsumsi perusahaan dan konsumsi

pemerintah, yaitu:

G I C

Y    (2.1)

Y = output riil agregat,

C = konsumsi riil rumahtangga,

I = konsumsi riil perusahaan, dan

G = konsumsi riil pemerintah.

Fungsi konsumsi riil rumahtangga dan konsumsi riil perusahaan masing-masing

adalah

] ), [(Y T R C

(36)

] , [Y R I

I  (2.3)

Y - T = pendapatan disposable riil, dan

R = tingkat bunga nominal.

Hubungan persamaan (2.1), (2.2) dan (2.3) menjelaskan output riil agregat,

yaitu: G R Y I R T Y C

Y  [(  ), ] [ , ] (2.4)

Fungsi konsumsi riil rumahtangga dalam bentuk linier dari pendapatan

disposable dan tingkat bunga nominal: C = 0 + 1 [Y-T] - 2 R. Demikian juga

fungsi konsumsi riil perusahaan adalah dalam bentuk linier dari pendapatan

disposable dan tingkat bunga nominal: I= 0 + 1 Y - 2 R. Oleh sebab itu output riil

agregat ekonomi tertutup berubah menjadi:

] ) ( [ 1 1 2 2 1 0 0 1 1 R T G

Y     

          ] , , [R G T

Y  (2.5)

Persamaan (2.5) menjelaskan keseimbangan pasar barang, dimana

keseimbangan output riil agregat [Y] ditentukan oleh tingkat bunga nominal [R],

konsumsi riil pemerintah [G] dan pajak pendapatan riil [T]. Persamaan (2.5)

menjelaskan bahwa kemiringan atau slope dari kurva IS adalah negatip, artinya

respons output riil agregat [Y] terhadap tingkat bunga bunga nominal [R] adalah

(37)

2.3.2 Derivasi Is Secara Grafis dan Matematis

Secara grafis fungsi IS dapat dilihat sebagai berikut :

AE2=C+I(r2)+G

Y2 Y

Y1 R2

R1 R AD/AS

AE1=C+I(r1)+G

Y1 Y2

E2

E1

45

IS E1

[image:37.612.122.500.177.585.2]

E2

Gambar 2.3. Kurva IS pendekatan 2 diagram

1. Pada tingkat bunga pada R1 maka kurva permintaan agregat adalah pada

(38)

2. Titik E1 pada diagram pertama terbentuk dari perpotongan antara kurva a +

bY + e – f.R1 dan garis 45o.

3. Titik E1 pada diagram kedua merupakan perpotongan garis yang ditarik dari

titik E1 pada diagram pertama dengan garis R1 pada diagram kedua.

4. Bila tingkat bunga pada R2, maka kurva permintaan agregat adalah pada

kurva a + bY + e – f.R2, pendapatan nasional equilibrium pada Y2.

5. Titik E2 pada diagram pertama terbentuk dari perpotongan antara kurva a +

bY + e – f.R2 dan garis 45o.

6. Titik E2 pada diagram kedua merupakan perpotongan garis yang ditarik dari

titik E2 pada diagram pertama dengan garis R2 pada diagram kedua.

7. Dengan menghubungkan titik E1 dan E2 pada diagram kedua, didapatkan

kurva IS.

Pergeseran dan pergerakan dalam kurva IS, secara umum dapat dilakukan

melalui perubahan–perubahan pada variabel pengeluaran pemerintah (G) dan pajak

(T) yang terkait dengan kebijakan fiskal.

Dengan menggunakan perpotongan Keynesian untuk melihat bagaimana

perubahan-perubahan lain dalam kebijakan fiskal menggeser kurva IS. Karena

kenaikan pengeluaran pemerintah atau menurunkan pajak akan memperbesar

pendapatan dan menggeser kurva IS keluar atau kekanan. Menurut Mankiw (2000),

(39)

perubahan pengeluaran pemerintah atau penurunan pajak adalah sebesar

[image:39.612.142.500.171.539.2]

multipliernya. Secara grafik maka pergeseran tersebut dapat dilihat sebagai berikut

Gambar 2.4. Kurva Pergeseran Kurva IS

Kenaikan dalam pengeluaran pemerintah (G) menggeser kurva IS dari IS0 ke

IS1. Kenaikan pengeluaran pemerintah meningkatkan pengeluaran yang

(40)

direncanakan sebesar ∆G menyebabkan kenaikan dalam pendapatan nasional Y

sebesar ∆G / (1 – MPC) sehingga kurva IS bergeser ke IS1 (lihat gambar 2.4)

Secara matematis pergeseran kurva IS maka dapat dihitung sebagai berikut :

G R I T Y C

Y  (  ) ( )

) , (Y R E YDengan syarat 0 Y E     Y

E E  0 

r E R

Perhitungan deferensial dari dua persamaan diatas adalah sebagai berikut :

0 1 ) 1 ( r E Y E                                  y r r Y r Y r Y E E R Y R E Y E R E Y E Y R E Y E Y R Y Y

Dari turunan diatas maka dapat dilihat hubungan tingkat suku bunga terhadap

pendapatan maka kurva IS berslope negatif. Hal ini menunjukan jika tingkat suku

bunga (R) meningkat maka akan menurunkan tingkat pendapatan.

Pergeseran kurva IS secara matematis dilihat hubungan antara Pendapatan agregat

dengan Pengeluaran agregat

(41)

Perhitungan deferensial dari dua persamaan diatas adalah sebagai berikut :

0

1

1

)

1

(

R

E

Y

E

0 0

y Y

E

Y

G

G

Y

E

G

R

Y

Y

Dari turunan persamaan pendapatan agregat diatas maka dapat disimpulkan

bahwa disaat pengeluaran pemerintah naik maka pendapatan agregat akan naik dan

menggeser kurva IS kekanan begitu juga sebaliknya disaat pengeluaran pemerintah

turun maka pendapatan agregat juga turun sehingga akan menggeser kurva IS kekiri.

2.4 Teori Kebijakan Moneter

Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan

ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui

pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan

agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output

keseimbangan. Ahli ekonomi klasik mempunyai pendapat bahwa kebijakan moneter

lebih efektif dibandingkan dengan kebijakan fiskal. Pada perkembangannya, dengan

munculnya kaum monetarist yang pada dasarnya beraliran klasik, perbedaan pendapat

dengan noe-kaynesian tidak lagi berkisar pada lereng kurva IS dan LM ini. Demikian

(42)

kebijakan fiskal dapat mempengaruhi pendapatan nasional, hanya saja kebijakan

moneter lebih besar serta dapat di perkirakan dan lebih cepat efeknya.

Kerangka umum yang sering dipergunakan dalam menganalisis interaksi

simultan antara permintaan dan penawaran baik pada pasar barang dan pasar uang

adalah kerangka IS-LM. Kerangka ini dapat menunjukkan bagaimana kebijakan

moneter dan fiskal mampu mempengaruhi tingkat pendapatan atau output (Mankiw, 2000; Mishkin, 2004). Bagi bank sentral yang merupakan otoritas moneter, kebijakan yang ia pilih bergantung pada target, kondisi aktual perekonomian,

kapasitas kebijakan dan pertimbangan tentang efektivitas kebijakan tersebut.

Kebijakan moneter ini ditentukan secara terpusat oleh Bank Indonesia. Meskipun

dalam formulasi kebijakannya Bank Indonesia sudah mempertimbangkan aspek

regional, namun respon agen dan dampak pada masing-masing region tersebut sangat

mungkin berbeda, dan ini sangat bergantung pada kondisi empirik masing-masing

daerah.

2.5 Jenis Kebijakan Moneter

Dari sudut ekonomi makro maka kebijakan fiskal dapat dibedakan menjadi

dua yaitu Kebijakan Moneter ekspansif dan kebijakan moneter kontraktif. Kebijakan

Moneter Ekspansif adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang

yang beredar. pada saat munculnya kontraksional gap. Berikut grafik kebijakan

moneter ekspansif. Dari gambar dibawah dapat dilihat kondisi awal penawaran uang

(43)

yang peka terhadap pengeluran adalah I=(a+Ip), rencana pengeluaran agregat menjadi

[image:43.612.116.525.173.623.2]

AEp(R1) dan Produk Domestik Bruto adalah (Y1).

Gambar 2.5. Kebijakan Moneter Ekspansif R

R

R

MS1 MS2

L(R, Y1) R E

Y1 Y

AEp AEp ( ) Y=E

Y

LM

LM2

I1

M/P I I=(a+Ip

(44)

Selain itu kurva PDB pada Y1 membantu menetukan posisi kurva permintaan

uang pada kurva L(R, Y1) dimana besama-sama dengan kurva (Ms1) menentukan

tingkat suku bunga (R1). Ketika Ms1 meningkat menjadi Ms2 maka tingkat suku

bunga turun karena pendapatan dan pengeluaran naik menjadi menjadi (R1), AEp

(R1) dan Y1.

Kebijakan Moneter Kontraktif adalah suatu kebijakan dalam rangka

mengurangi jumlah uang yang beredar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat

(tight money policy).

Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan

moneter, yaitu antara lain Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation) Operasi

pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau

membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah

jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun,

bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat

berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain

diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau

singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.

Fasilitas Diskonto (Discount Rate) Fasilitas diskonto adalah pengaturan

jumlah uang yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank

umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus

(45)

menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga

demi membuat uang yang beredar berkurang.

Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio) Rasio cadangan wajib

adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana

cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah

uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang

beredar, pemerintah menaikkan rasio.

Himbauan Moral (Moral Persuasion) Himbauan moral adalah kebijakan

moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi himbauan

kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit

untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar

dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk

memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.

2.6 Alat Analisis Kebijakan Fiskal Melalui LM Curve 2.6.1 Teori LM Curve

Model LM menjelaskan keseimbangan permintaan dan penawatan uang.

Rumah tangga memerlukan atau memegang uang sebagai aktiva yang berfungsi

sebagai alat tukar, pengukur nilai dan penyimpan nilai. Model keseimbangan

permintaan dan penawaran uang adalah

) , (Y R L P M

(46)

Pada nilai [MP] tertentu, persamaan (2.6) menjelaskan bahwa respons output

riil agregat [Y] terhadap tingkat bunga nominal [R] adalah positip karena hubungan

stok uang [M] dengan tingkat bunga nominal [R] adalah negatip. Jika model

keseimbangan pasar uang adalah M/P = 0 + 1 Y - 2 R maka skedul LM adalah Y =

-(0/1) + (2/1) R + (1/1) M/P atau secara umum: y = [R, M/P].

Hubungan Y dengan R pada stok uang tertentu menjelaskan kurva LM dengan

dengan kemiringan positip. Artinya respons output riil agregat [Y] terhadap tingkat

bunga nominal [R] adalah positip atau peningkatan tingkat bunga akan meningkatkan

output riil agregat pada keseimbangan pasar uang. Hubungan antara tingkat bunga

dan tingkat pendapatan yang muncul di pasar uang dinyatakan dengan Kurva LM.

Teori preferensi likuiditas menyatakan bahwa tingkat bunga menyesuaikan untuk

menyeimbangkan penawaran dan permintaan untuk aset perekonomian yang paling

likuid, yaitu uang. Jika M menyatakan penawaran uang dan P menyatakan tingkat

harga, maka M/P adalah penawaran dari keseimbangan uang riil. Teori preferensi

likuisditas mengasumsikan adanya penawaran uang riil tetap. Penawaran uang M

adalah variabel kebijakan eksogen yang dipilih oleh bank sentral. Tingkat harga P

juga merupakan variabel eksogen dalam model ini (dianggap tingkat harga adalah

tertentu (given) karena model IS-LM menjelaskan jangka pendek ketika tingkat harga

(47)

2.6.2 Derivasi LM Secara Grafis dan Secara Matematis Secara grafis fungsi LM dapat dilihat sebagai berikut :

R

Y Y2 Y1

M/P R1

R2 R

L2

LM

E E2

R1

R2 E2

E1

[image:47.612.113.550.177.448.2]

L1

Gambar 2.6. Kurva LM pendekatan 2 diagram 1. Penawaran uang merupakan garis tegak lurus (M/P1).

2. Pada penghasilan tertentu ada permintaan uang, kurva permintaan uangnya

adalah L1 = kY – h.R.

3. Perpotongan kurva permintaan uang (M/P1) dan penawaran uang (L1) terletak

pada titik E1 dan menentukan tingkat bunga R

4. Apabila pendapatan bertambah maka kurva permintaan terhadap uang

(48)

5. Titik Y1 penghasilan yang bersifat Given kedua tingkat bunga R yang

terbentuk pada diagram sebelah kiri permintaan dan penawaran, kemudian

karena penghasilan naik yaitu menjadi Y2, maka permintaan terhadap uang

menjadi L2 yang menghasilkan tingkat bunga R2 maka terbentuk kurva LM.

kurva IS.

Pergeseran dan pergerakan dalam kurva IS, secara umum dapat dilakukan

melalui perubahan pada variabel tingkat suku bunga dan pendapatan yang terkait

dengan kebijakan moneter. Pergeseran kurva LM dapat dilihat pada gambar 2

[image:48.612.126.516.361.671.2]

berikut :

(49)

Keterangan : r adalah tingkat suku bunga, Y adalah pendapatan nasional, M/P adalah

money supply, L(R, Y) adalah permintaan uang.

Penurunan dalam penawaran uang akan menggeser kurva LM dari LM0 ke LM1 yang

berakibat terhadap kenaikan tingkat suku bunga dalam tingkat pendapatan nasional

tertentu.

Secara matematis maka pergeseran kurva LM dapat dihitung sebagai berikut

MS=Md atau Ls=Ld sehingga

Maka persamaan kurva LM juga dapat ditulis dalam bentuk :

Perhitungan deferensial dari dua persamaan diatas adalah sebagai berikut :

0 0 ) / ( ) / ( ) / (                               r Y r Y L L Y R P M R L Y L P M R R L Y Y L P M

M/P merupakan intersept dengan sumbu tegak, sedangkan h/k merupakan slope

(kecuraman) kurva positif, disaat tingkat suku bunga turun maka pendapatan juga

akan turun. M 0 h k, ;  

(50)

2.7 Model Permintaan Agregat

Persamaan (2.5) menjelaskan perilaku skedul IS dari rumahtangga dan

perusahaan dan persamaan (2.6) menjelaskan perilaku permintaan uang sebagai

aktiva atau skedul LM. Kombinasi (2.5) dan (2.6) menjelaskan model permintaan

agregat, yaitu:

) , , (R G T

Y  dan M/PL(Y,R)

   

 

GT

P M Y

Y , , (2.7)

Dari (2.7) ditunjukkan bahwa respons output riil agregat terhadap stok uang

riil dan konsumsi riil pemerintah adalah positip dan respons terhadap pajak riil adalah

negatip. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa hubungan output riil agregat

terhadap tingkat harga umum adalah negatip, menjelaskan skedul permintaan agregat

[AD]. Pada kurva IS yang tetap, peningkatan harga akan menurunkan stok uang riil

sehingga skedul LM semakin rendah dan sebaliknya. Dari (2.7) diketahui tiga faktor

yang dapat mempengaruhi permintaan agregat, yaitu M, G dan T. Peningkatan stok

uang [M] pada tingkat harga umum yang tetap akan meningkatkan skedul LM

sehingga skedul AD naik. Sebaliknya penurunan stok uang [M] pada tingkat harga

umum yang tetap akan menurunkan skedul LM sehingga skedul AD turun

Peningkatan pajak pendapatan riil pada tingkat harga umum yang tetap akan

menurunkan skedul IS sehingga skedul AD turun, dan sebaliknya penurunan pajak

(51)

sehingga skedul AD naik Oleh sebab itu perubahan kebijakan fiskal dan moneter

akan merubah skedul AD.

Dari (2.7) diketahui tiga faktor yang dapat mempengaruhi permintaan R LM: [M0/P0] LM: [M1/P0]

LM: [MP1]

IS

y

P AD0

P0

P1 AD1

[image:51.612.127.489.176.477.2]

Y

Gambar 2.8. Kurva Permintaan Agregat

2.8 Analisis Maksimum Model IS dan LM

Individu atau rumahtangga bertujuan untuk memaksimumkan utilitas dari

memegang uang. Stok uang riil yang dipegang individu atau rumah tangga digunakan

untuk konsumsi dan lesure sehingga fungsi utilitas rumah tangga untuk memegang

uang sampai waktu tak terhingga adalah

... ) , ( ) , ( ) ,

( 2 2

2 1

1  

tttt

t

t l u c l u c l

c

(52)

Kendala rumahtangga pada periode [t] ditunjukkan oleh hubungan lesure R

IS LM:[M/P0]

LM:[M/P1]

W/P nd ns

y

P AS0 AS1

n AD

y y

y

[image:52.612.131.514.110.534.2]

n 450 y

Gambar 2.9. Kurva Analisis Maksimum Model IS dan LM dengan konsumsi riil dan stok uang riil, yaitu:

lt = (ct, mt) (2.15)

Dimana respons lesure terhadap konsumsi riil adalah negatip [c < 0 ] dan

respons terhadap uang kas riil adalah positip [m > 0]. Persamaan (2.15) menjelaskan

(53)

waktu bekerja akan berkurang apabila waktu lesure dan stok uang riil bertambah.

Apabila individu atau rumah tangga menggunakan semua fasilitas aktiva produktif

maka produksi agregat berubah menjadi:

] , [ 1t t

t f n k

y (2.16)

Dimana f(kt-1) menjelaskan fungsi produksi agregat individu atau

rumahtangga. Fungsi produksi agregat individu atau rumah tangga mengakibatkan

perubahan kendala anggaran rumahtangga menjadi:

t t t

t t t t

t v c k k m m

k

f( 1)    1 [1 1]1 (2.17)

dimana:

vt = transfer pemerintah kepada individu atau rumahtangga, dan

t-1 = Pt-1  Pt-2 = tingkat inflasi periode [t - 1].

Masalah rumahtangga adalah menentukan ct, kt, lt dan mt dengan cara

memaksimalkan fungsi tujuan (2.14) dengan kendala (2.15) dan (2.17).

Penurunan konsumsi sekarang [ct] berarti juga penurunan permintaan stok

uang riil sekarang [mt]. Penurunan konsumsi sekarang akan menurunkan skedul IS

dan peningkatan stok uang riil akan meningkatkan skedul LM, sehingga permintaan

agregat turun dan tingkat harga umum naik. Penurunan permintaan agregat dan

peningkatan tingkat harga umum akan menurunkan konsumsi riil rumahtangga dan

konsumsi riil perusahaan. Proporsisi ini membuktikan bahwa analisis utilitas

(54)

2.9 Koordinasi Kebijakan Dalam Jangka Panjang dan Jangka Pendek

Beberapa hasil studi telah melahirkan beberapa kajian baru tentang koordinasi

kebijakkan fiskal dan moneter. Dalam jangka panjang (Hagen dan Mundshenk, 2003)

terget kebijakan moneter yang dibuat bank sentral adalah untuk mengendalikan

tingkat inflasi tanpa memikirkan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu kebijakan

pengeluaran pemerintah dalam kebijakan fiskal suatu negara bertujuan untuk

meningkatkan output kepada sektor swasta dan sektor publik tetapi tidak dalam

tingkat output dan mendistribusikan output kepada sektor swasta dan sektor publik

dalam jangka panjang, bank sentral akan dapat mencapai sasaran kebijakannya yaitu

stabilitas harga, tanpa bertentangan dengan kebijakan fiskal. Pemerintah dapat

menggunakan alternatif kebijakan fiskal cocok dan sesuai yang dibutuhkan negara

saat itu. Pada posisi tersebut, tidak diperlukan adanya koordinasi antara kebijakan

fiskal dan kebijakan moneter.

2.10 Efektivitas Kebijakan Moneter dan Fiskal

Para ekonom telah lama memperdebatkan apakah kebijakan moneter atau

fiskal yang memiliki pengaruh lebih besar terhadap permintaan agregat. Menurut

model IS-LM jawaban atas pertanyaan ini tergantung parameter dari kurva IS dan

LM.

Efektivitas Kebijakan fiscal dilihat dari kurva IS

Y=C(Y-T)+I(R)+G (1)

(55)

Y-bY=(a+c)+(G-bT)-dR (3)

+ + + (4)

Persamaan diatas menunjukan kurva IS secara aljabar. Persamaan ini

menyatakan tingkat pendapatan (Y) pada tingkat bunga (R) serta kebijakan fiskal (G)

dan (T) berapa pun. Dengan mempertahankan kebijakan fiscal tetap, semakin tinggi

tingkat bunga, semakin rendah tingkat pendapatan. Kurva IS menggambarkan

persamaan ini untuk nilai-nilai yang berbeda dari (Y) dan (R) berdasarkan nilai tetap

dari (G) dan (T). Dari persamaan ini bisa diverifikasi kurva IS

1. Koefisien bunga negatif, kurva iS akan miring ke bawah; tingkat bunga lebih

tinggi mengurangi pendapatan.

2. Karena koefisien belanja pemerintah adalah positif, kenaikan belanja

pemerintah akan mengeser kurva IS ke kiri

3. Koefisien pajak adalah negatif kenaikan pajak akan mengeser kurva IS ke kiri

Koefisien tingkat bunga,-d/(1-b), menunjukan kecuraman atau datarnya kurva

IS. Jika investasi sangat sensitive terhadap tingkat bunga, maka d menjadi besar, dan

pendapatan juga sangat sensitive terhadap tingkat bunga. Dalam kasus ini, perubahan

kecil pada tingkat bunga menyebabkan perubahan besar dalam pendapatan kurva IS

lebih datar. Sebaliknya, jika investasi tidak sangat sensitif terhadap tingkat bunga, d

menjadi kecil, dan pendapatan juga tidak sangat sensitif terhadap tingkat bunga.

Dalam kasus ini perubahan besar pada tingkat bunga menyebabkan perubahan kecil

(56)

tergantung pada kecenderungan mengkonsumsi marjinal b. semakin besar

mengkonsumsi marginal semakin besar perubahan pendapatan yang disebabkan

tingkat bunga. Alasannya adalah bahwa akan menimbulkan pengganda yang besar

atas perubahan investasi. Semakin besar pengganda, semakin besar dampak

perubahan investasi terhadap pendapatan dankurva IS menjadi mendatar.

Kecenderungan mengkonsumsi marginal b juga menentukan sejauh mana

perubahan kebijakan fiskal menggeser kurva IS . Koefisien G. 1/(1-b), adalah

pengganda belanja pemerintah dalam perpotongan Keynesian. Demikian pula,

koefisien T,-b/(1-b), adalah pengganda pajak dalam perpotongan Keynesian. Semakin

besar kecenderungan mengkonsumsi marginal, semakin besar pengganda, dan

semakin besar pergeseran kurva IS yang berasal dari perubahan kebijakan fiskal.

Efektivitas Kebijakan fiskal dilihat dari Kurva LM

Untuk melihat efektivitas kebijakan fiskal dapat diuraikan secara aljabar dari

persamaan sebagai berikut

M/P=L(r, Y) (1)

L(r, Y)=eY-f r (2)

Dimana e dan f adalah angka lebih besar dari nol. Nilai e menentukan berapa besar

permintaan uang meningkat ketika pendapatan naik. Nilai f menentukan berapa

banyak permintaan uang turun ketika tingkat bunga naik. Ekuillibrium pasar uang

sekarang dijelaskan dengan

M/P =eY- f r (3)

(57)

Persamaan ini memberi kita tingkat bunga yang menyeimbangkan pasar uang

untuk setiap nilai pendapatan dan keseimbangan berdasarkan riil. Kurva LM

menggambarkan persamaan ini untuk nilai Y dan R yang berbeda berdasarkan nilai

M/P yang tetap. Dari koefisien pendapatan (e/f) dapat menentukan kurva LM curam

atau datar. Jika permintaan uang tidak sangat sensitif terhadap tingkat pendapatan,

maka e adalah kecil. Dalam kasus ini, hanya diperlukan perubahan kecil dalam

tingkat bunga untuk mengurangi kenaikan kecil dalam permintaan uang yang

disebabkan oleh perubahan pendapatan ; kurva LM relatif datar. Demikian pula, jika

kuantitas uang yang diminta tidak sangat sensitive terhadap tingkat bunga, f adalah

kecil. Dalam kasus ini, pergeseran pada permintaan uang yang disebabkan oleh

perubahan pendapatan akan menimbulkan perubahan besar pada tingkat bunga

ekuillibrium; kuva LM relatif Curam.

Dalam melihat efektivitas kebijakan kita membandingkan pada tiga daerah

yaitu daerah klasik, intermediate range dan daerah keynes. Daerah liquidity trap

merupakan daerah yang idenya pertama sekali dikemukan oleh Keynes. Keynes

menganggap ada satu daerah pada kurva LM yang memiliki tingkat bunga yang

sangat rendah dan tidak mungkin turun lagi. Daerah ini yang disebut daerah liquidity

trap. Situ daerah klasik memili kurva LM yang tegak lurus. Hal ini dikarenakan

pemahaman kaum klasik bahwa teori permintaan uang, permintaan uang tidak

dipengaruhi oleh suku bunga. Menurut paham ini, permintaan uang dipengaruhi oleh

pendapatan. Karena tidak ada hubungannya dengan suku bunga, maka kurva LM

(58)

kurva LM dipengaruhi oleh suku bunga. Untuk melihat keefektifan ekonomi dapat

kita lihat pada gambar berikut:

IS0

IS1

IS0

IS1 IS0 IS1

R

[image:58.612.128.516.177.494.2]

Y Y0 Y1 Y0a

Gambar 2.10. Kurva Efektivitas Kebijakan Fiskal Y0c=Y1d Y1b

Gambar (2.10) menunjukkan apabila kurva IS bergeser ke kanan berarti

kebijakan fiskal ekspansif. Jika kita perhatikan pada masing-masing daerah,

kebijakan fiskal sangat efektif pada daerah keynesian dan efektif pada daerah

intermediate range. Hal ini terlihat dari besarnya perubahan keseimbangan

(59)

tidak efektif pada daerah klasik. Ketika ada kebijakan fiskal, keseimbangan

pendapatan nasional tidak berubah.

R

IS3 LM0 LM1

IS2

IS1

[image:59.612.165.470.175.438.2]

y1 y2 y4 y3 y5 y

Gambar 2.11. Kurva Efektifitas Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter yang ekspansif ditandai dengan bergeser kurva LM

dari Ke . Apabila dibandingkan pada ketiga daerah maka kebijakan moneter

sangat efektif didaerah klasik dan efektif pada daerah intermediate. Sementara itu,

kebijakan moneter sama sekali tidak efektif pada daerah keynesian.

2.11 Penelitian Terdahulu

(60)

guncangan fiskal. Hasil temuan dari penelitian ini adalah bahwa kenaikan pajak

merupakan kebijakan yang bersifat kontraksi terhadap perekonomian. Pengaruhnya

sangat signifikan dan merugikan bagi perekonomian, karena efek perubahannya lebih

besar dari pada perubahan tingkat pajak itu sendiri. Efek yang paling besar pengaruh

negatifnya adalah pajak yang berhubungan dengan investasi

Chun (2006), meneliti tentang pengaruh kebijakan fiskal terhadap tingkat tabungan nasional di korea dengan menggunakan model life – cycle menemukan

bahwa dalam jangka panjang ketidakseimbangan dalam anggaran belanja akan

menurunkan tingkat tabungan nasional di Korea.

Penelitian Bania dkk (2006), untuk melihat hubungan antara pajak, pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi di US menemukan bahwa

penerimaan pajak yang selanjutnya digunakan untuk penegluaran pemerintah yang

produktif dalam hal ini, pendidikan, dan infrastruktur berpengaruh positif terhadap

pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menggunakan model non linear dan

mengadopsi teori endogenous dari Robert Barro.

Kustepeli (2005), meneliti dan menganalisis tentang efektifitas kebijakan

fiscal dalam konteks hipotesis crowding out kebijakan fiscal yang dilakukan oleh

pemerintah Turkey. Penelitian tersebut menggunakan kointegrasi johansen yang

menghasilkan bahwa pendapat Keynes dan pendapat neokalsik tentang akibat dari

kebijakan fiscal yang diambil oleh pemerintah Turkey berlaku terjadi di Turki. Ketika

(61)

investasi swasta. Disimpulkan bahwa defisit angaran menimbulkan crowding out efek

terhadap investasi swasta.

Maryatmo (2004), melaukan penelitian yang bertujuan untuk mengamati dampak dari kebijakan deficit anggaran yang dilakukan oleh pemrintah terhadap

variable makro ekonomi secara umum dan khususnya variable moneter dalam jangka

panjang dan jangka pendek. Penelitian ini menggunakan spesifikasi model rasional

ekspektasi yang memungkinkan pengambil keputusan untuk mencegah efek – efek

yang lain.

Model tersebut mengkonstruksi 8 persamaan jangka panjang dan delapan

persamaan jangka pendek dan 12 persamaan identitas. Pengestimasian menggunakan

metode two stage least square hasil penelitian menunjukkan bahwa deficit anggaran

mempengaruhi tingkat suku bunga dalam jangka panjang dan jangka pendek. Dan

defisit anggaran juga berpengaruh terhadap nilai tukar dan tingkat harga.dalam jangka

panjang hasil uji causal memperlihatkan bahwa nilai tukar dan tingkat harga

mempunyai efek yang berkebalikan dengan defisit anggaran.

Adapun Gupta et al. (2002) melakukan studinya dengan kasus 39 negara ESAF dan PRGF dengan kurun waktu 1990-2000. Studi tersebut lebih dimaksudkan

untuk mengetahui apakah fiskal adjustment dan perbaikan komposisi pengeluaran

pemerintah memiliki manfaat baik bagi pertumbuhan ekonomi di negara-negara

miskin. Sumber pembiayaan pemerintah juga diamati di sini dengan dilatarbelakangi

kenyataan bahwa selama ini studi-studi yang ada belum memperhatikan apakah

(62)

pertumbuhan dibandingkan defisit yang dibiayai dengan sumber-sumber dana dalam

negeri.

Selain menemukan bahwa komposisi pengeluaran pemerintah yang lebih

produktif penting artinya bagi pertumbuhan dan pencapaian fiskal adjustment yang

berkelanjutan, Gupta et al. (2002) juga menyebutkan bahwa komposisi pembiayaan defisit juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di

negara-negara miskin. Namun, berbeda dengan temuan Aschauer di atas, Gupta et al.

justru menemukan bahwa pembiayaan defisit anggaran pemerintah dari

sumber-sumber domestik lebih merugikan pertumbuhan ekonomi daripada pinjaman luar

negeri.

Turnovsky (2000), meneliti tentang hubungan antara kebijakan fiskal dan output di Amerika Serikat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah OLS.

Penelitiannya menemukan bahwa kebijakan fiskal tidak memiliki dampak terhadap

keseimbangan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Tingkat pertumbuhan

yang lambat memberikan kenyataan bahwa kebajikan fiskal hanya berpengaruh pada

jangka pendek pada masa transisi. Kenaikan variabel instrumen fiskal dalam jumlah

yang relatif besar tidak terlalu berpengaruh besar terhaap output.

Hafer, Haslag dan Jones (2002), meneliti tentang hubungan antara kebijakan moneter, jumlah uang beredar, dan output di Amerika Serikat. Metodologi yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode OLS dengan menggunakan data tahun

1961 – 1982 dan 1961 – 2000. Penelitian ini terdiri dari tiga kajian. Yang pertama

(63)

persamaan output gap dimana tingkat pembiayaan bank sentral menjadi instrumen

kebijakan moneter. Yang kedua yaitu mengestimasi pengaruh jumlah uang beredar

(M0,M1.M2) dengan mempengaruhi tingkat bunga terhadap output. Hasil estimasi

memperlihatkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara tingkat pembiayaan bank

sentral terhadap output kurun waktu tahun 1961 – 1982. Namun tercatat tidak

signifikan pada data tahun 1982 hingga tahun 2000. Penelitian ini juga menemukan

hubungan yang signifikan antara lag jumlah uang riil dan output gap pada tahun 1961

– 1982, namun juga tidak signifikan pada tahun 1982 – 2000.

Albatel (2003), meneliti tentang hubungan antara kebijakan pemerintah (kebijakan moneter dan kebajikan fiskal) dan output di Arab Saudi. Metodologi yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode kointegrasi dan error correction model

dengan menggunakan data tahun 1964 – 1998. hasil penelitian memperlihatkan

terhadap hubungan kointegrasi antara kebijakan pemerintah (kebijakan fiskal dan

moneter), liberalisasi perdagangan, dan pertumbuhan ekonomi di Arab Saudi.

Variabel pengeluaran pemerintah (kebijakan fiskal) dan jumlah uang beredar

(kebijakan mon

Gambar

Grafik  GDP, Pajak, Pengeluaran Pemerintah ..............................
Tabel. 1.1. Rasio APBN terhadap PDB Th. 2002 - 2008 (dalam persen)
Gambar 1.1. Grafik  GDP, Pajak, Pengeluaran Pemerintah
Gambar 2.1.  Kurva kebijakan fiskal ekspansif
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis pengaruh Produk Domestik Bruto, Suku Bunga dan Jumlah Penduduk terhadap Jumlah Uang Beredar di ASEAN-5 pada tahun

Dalam analisa yang digunakan terlihat hasil dari estimasi OLS menunjukkan bahwa variabel suku bunga, inflasi, tabungan domestik dan produk domestik bruto tidak memiliki

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa variabel Pengangguran tidak berpengaruh terhadap Produk Domestik Bruto dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang memiliki

1) Variabel Independen Inflasi (INF), Tingkat Suku Bunga (BI RATE ), Nilai Tukar Mata Uang (KURS), dan Produk Domestik Bruto (PDB) secara simultan berpengaruh signifikan

Koefisien determinasi sebesar 0,986 yang berarti bahwa 98,6% variasi variabel utang luar negeri di Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel produk domestik bruto,

Data yang digunakan adalah data time series tahun 1997-2016.Hasil penelitian menyimpulkan bahwa (1) inflasi, jumlah uang beredar, suku bunga dan pengeluaran pemerintah

Berdasarkan hasil pengolahan data yang diperoleh dari model regresi dengan metode OLS (Ordinary Least Squares), variabel Produk Domestik Bruto (PDB), Penanaman Modal

Penulis Memanjatkan syukur kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan karuni-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini yang berjudul “Analisis Efektivitas Kebijakan