• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

16 Rancangan Pentahapan Program Pengembangan JAMINAN

DAFTAR GAMBAR

Gambar hal

1 Kerangka Pemikiran………... 20 2 Penggunaan Lahan Terbangun Kota Sukabumi Tahun 2000... 37 3 Persentase Jumlah Penduduk Kota Sukabumi Menurut Kecamatan

Tahun 2008 ... 38 4 Persentase Penduduk 10 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut

Jenis Pekerjaan Kota Sukabumi (2006) ... 38 5 Deskripsi ATP 4 Berdasarkan Lima Persen Pengeluaran Bukan

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran hal

1 Rincian Hasil wawancara Jumlah Biaya Pengobatan

Responden ... 80 2 Kesediaan Membayar Tarif Puskesmas Dengan Pelayanan Sesuai

Harapan ... 81 3 Panduan Wawancara Mendalam ... 82

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang saat ini dijadikan sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan, ditopang oleh tiga sektor penting, yakni pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Dalam konteks kesehatan terlihat beberapa indikasi bahwa perhatian terhadap masyarakat dalam pelayanan kesehatan ternyata masih jauh dari harapan masyarakat konsumennya. Menurut Balasubramanian seperti dikutip Kusminarno (2002) menyebutkan bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sekitar 2,5 milyar orang (hampir setengah penduduk dunia) tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang paling dasar.

Pelayanan kesehatan merupakan pelayanan jasa yang unik dimana masih terdapat karakteristik consumer ignorance sehingga dapat terjadi supply induce demand dalam jasa layanan kesehatan. Bagi konsumen pelayanan kesehatan yang paling mendasar pun haruslah menganut asas keadilan sosial dan pemerataan. Kejelasan produk pelayan kesehatan baik yang bersifat public goods maupun

private goods hendaknya diatur dalam batas yang jelas oleh Pemerintah melalui Departemen Kesehatan sebagai regulator dalam sistem kesehatan. Kaidah equity egaliter dalam sistem kesehatan pun tampaknya masih merupakan harapan yang sangat sulit untuk diwujudkan (Tim Pengajar Ekonomi Kesehatan, 2001).

Dalam konteks hubungan industrial kesehatan adanya supply jasa kesehatan dengan demand kesehatan dalam hal ini masyarakat sebagai konsumen kesehatan merupakan suatu hubungan pasar. Berbeda dengan hubungan sektor

ekonomi lainnya, dalam pembelian jasa pelayanan kesehatan masyarakat sebagai konsumen kesehatan masih berada dalam posisi tawar yang lemah.

Aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan secara umum dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu geografis dan ekonomis. Rendahnya aksesibilitas secara geografis disebabkan oleh jauhnya lokasi pengguna sarana pelayanan kesehatan (masyarakat) dengan sarana pelayanan kesehatan dan terbatasnya transportasi menuju sarana pelayanan kesehatan (puskesmas terdekat). Aksesibilitas secara ekonomis terkait dengan keterjangkauan dari sisi financial

atau ketidakterjangkauan terhadap tarif sarana pelayanan kesehatan. Kondisi ketidakterjangkauan tarif sarana pelayanan kesehatan tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor tingginya harga satuan sarana pelayanan kesehatan itu sendiri (Tim Pengajar Ekonomi Kesehatan, 2001).

Melalui Sistem Kesehatan Nasional yang telah ditetapkan tahun 2004, Departemen Kesehatan telah mengatur hal pelayanan kesehatan tersebut dengan menetapkan sub sistem pembiayaan kesehatan. Sub sistem pembiayaan kesehatan yaitu suatu tatanan yang menghimpun berbagai upaya penggalian, pengalokasian, dan pembelanjaaan sumberdaya keuangan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi–tingginya (Depkes, 2004). Pembiayaan kesehatan di Indonesia masih rendah , yaitu hanya rata–rata 2,2 persen dari Pendapatan Domestik Bruto atau rata–rata anatara USD 12-18 kapita/tahun. Persentase ini masih jauh dari anjuran WHO yang paling sedikit lima persen dari Produk Domestik Bruto per tahun. Di Indonesia, 30 persen pembiayaan kesehatan tersebut bersumber dari Pemerintah dan sisanya sebesar 70 persen bersumber dari masyarakat termasuk

swasta, yang sebagian besar masih digunakan untuk pelayanan kuratif (Depkes, 2004).

Tujuan Pemerintah dalam mengatur sub sistem pembiayaan kesehatan adalah tersedianya pembiayaan kesehatan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna, untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi – tingginya. Oleh sebab itu diperlukan penelitian mengenai suatu pola pembiayaan masyarakat guna mewujudkan pelayanan kesehatan secara merata dan menyeluruh.

1.2 Perumusan Masalah

Pengalokasian dana bersumber pemerintah yang dikelola oleh sektor kesehatan sampai saat ini belum begitu efektif. Dana Pemerintah dan Pemerintah Daerah lebih banyak dialokasikan pada upaya kuratif serta investasi, sedangkan besarnya dana yang dialokasikan untuk upaya promotif dan preventif sangat terbatas. Mobilisasi sumber pembiayaan kesehatan dari masyarakat masih terbatas dan bersifat perorangan (out of pocket). Jumlah masyarakat yang memiliki jaminan kesehatan masih terbatas, yakni sekitar 20 persen penduduk. Metode pembayaran kepada penyelenggara pelayanan masih didominasi oleh pembayaran tunai, sehingga mendorong penyelenggaraan dan pemakaian pelayanan kesehatan secara berlebihan serta meningkatnya biaya kesehatan. Demikian pula penerapan teknologi canggih dan perubahan pola penyakit sebagai

akibat meningkatnya UHH (Umur Harapan Hidup)5 akan mendorong meningkatnya biaya kesehatan yang tidak dapat dihindari.

Sekitar 80% penduduk Indonesia masih belum terlindungi kesehatannya, sementara hanya kurang lebih 20 persen penduduk yang memiliki jaminan kesehatan melalui PT Askes, Jamsostek, Dana Sehat dan lain sebagainya (Wibisana, 2003). Telah banyak kajian mengenai pelbagai bentuk pemeliharaan kesehatan mancanegara menyadari bahwa pembayaran tunai langsung dari kantong konsumen atau pembayaran melalui pihak ketiga terhadap tagihan pemberi pelayanan kesehatan mendorong kenaikan pembiayaan kesehatan. Sebagai solusinya dirumuskanlah Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA) yang merupakan upaya awal pemerintah Indonesia untuk mengatasi ancaman terhadap akses dan mutu pelayanan kesehatan akibat kenaikan biaya kesehatan. Pada hakekatnya JAMKESDA merupakan sistem pemeliharaan kesehatan yang memadukan penataan sub sistem pelayanan kesehatan dengan sub sistem pembiayaan kesehatan.

Berbagai upaya pun telah ditempuh Pemerintah guna mengembangkan suatu sistem pembiayaan kesehatan pra bayar yang menjamin seluruh masyarakat akan tingginya aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan. Program JAMKESDA yang telah dicetuskan sejak sebelum reformasi masih berjalan tersendat-sendat. Segera setelah era reformasi terjadi berbagai upaya pun telah ditempuh mulai dari Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK), Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Kesehatan (PKPSBBM-BK) sampai pada saat sekarang Jaminan Kesehatan Masyarakat

5

Umur Harapan Hidup Nasional meningkat dari 65 Tahun menjadi 70 Tahun (www.indonesiaindonesia.com, diakses tanggal 4 Februari 2009)

(JAMKESMAS) untuk masyarakat miskin. Metoda dan sistemnya pun sangat bervariasi mulai dari pembiayaan diserahkan kepada Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) sampai pada saat ini dikelola oleh PT Askes.

Jumlah penduduk miskin di Kota Sukabumi tahun 2005 menurut hasil pendataan Badan Pusat Statistik sebanyak 48,732 jiwa, angka tersebut sudah ditetapkan melalui Surat Keputusan Walikota Sukabumi Nomor 235 tahun 2005 tentang Penetapan Jumlah Masyarakat Sasaran Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin (Askes Gakin) di Kota Sukabumi. Pendataan sasaran program Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA) dilakukan oleh Puskesmas yang bekerjasama dengan pihak kader, Petugas Lapang Keluarga Berencana (PLKB) dan Kelurahan.

Keluarga miskin (GAKIN) terbesar terdapat di Kecamatan Gunung Puyuh sebesar 31.86 persen, dan terkecil di Kecamatan Baros sebesar 12.24 persen (Tabel 1). Akan tetapi bila perbandingan antara penduduk miskin dan jumlah penduduk seluruhnya maka yang terbesar ada pada Kecamatan Gunung Puyuh (30.50 persen). Disisi lain jumlah masyarakat yang sudah mengikuti Jaminan Pemeliharaan Kesehatan diluar Askes Gakin adalah sebagai berikut : Askes sosial berjumlah 39,403 jiwa, Jamsostek 1,010 jiwa dan Askes Komersial berjumlah 20 jiwa.

Berdasarkan fenomena pada Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat sekelompok masyarakat yang tidak termasuk masyarakat miskin, juga tidak termasuk dalam masyarakat golongan kaya dan mereka bukan PNS yang memiliki Asuransi Kesehatan dari PT Askes juga bukan pegawai sektor formal yang memiliki Jamsostek. Sekelompok masyarakat tersebut belum memiliki kejelasan tentang sistem perlindungan jaminan kesehatan.

Tabel 1. Jumlah Penduduk Miskin Kota Sukabumi Tahun 2005

Jumlah Penduduk KK Penduduk Proposi (%) No Kecamatan KK Miskin

Miskin Seluruhnya Seluruhnya Gakin Penkin

1 BAROS 752 3009 6140 28152 12,24 10,68 2 CITAMIANG 1713 6855 10535 44358 16,26 15,45 3 WARUDOYONG 1850 7402 11819 48876 15,65 15,14 4 GUNUNG PUYUH 2800 11203 8323 36725 24,99 30,50 5 CIKOLE 1593 6374 4999 52162 31,86 12,21 6 LEMBUR SITU 1488 5955 8029 29027 18,53 20,51 7 CIBEUREUM 1983 7934 6992 26116 28,36 30,37 TOTAL 12179 48732 56837 265416

Sumber: Bappeda Kota Sukabumi 2005

Dengan telah dicakupnya masyarakat miskin oleh Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) yang manajemen kepesertaannya dikelola oleh PT Askes, dan dengan telah tercakupnya juga masyarakat dari kelompok PNS dan pegawai sektor formal oleh PT Askes dan Jamsostek, maka masih terdapat sekelompok masyarakat pada segmen menengah dan atas di luar PNS dan pegawai sektor formal yang belum tercakup oleh asuransi kesehatan sebagai jaminan pemeliharaan kesehatannya.

Berdasarkan kondisi di atas yang menjadi pokok permasalahan yaitu “Bagaimana Pola Pembiayaan Kesehatan bagi Masyarakat yang Belum Memiliki Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dalam Mewujudkan Cakupan Menyeluruh (Universal coverage) Asuransi Kesehatan di Kota Sukabumi”. Adapun permasalahan spesifik dari masalah pokok di atas adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Pola Pembiayaan Kesehatan pada kelompok yang belum memiliki jaminan Pemeliharaan kesehatan di Kota Sukabumi pada tahun 2005?

2. Berapakah premi yang harus dibayar oleh kelompok masyarakat yang belum memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan bila mereka bersedia mengikuti asuransi?

3. Bagaimana strategi dan program pengembangan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi masyarakat yang belum memiliki asuransi?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan umum kajian adalah merumuskan pola pembiayaan kesehatan bagi masyarakat yang belum memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan dalam mewujudkan cakupan menyeluruh asurasi kesehatan di Kota Sukabumi. Untuk memenuhi tujuan umum tersebut, maka tujuan spesifik dari kajian ini adalah :

1. Mengidentifikasi pola pembiayaan kesehatan pada kelompok yang belum memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan di Kota Sukabumi Tahun 2005

2. Menganalisis besaran premi bagi kelompok masyarakat yang belum memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan.

3. Merekomendasikan strategi pengelolaan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat yang belum memiliki asuransi kesehatan.

Hasil kajian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut :

1. Agar Pemerintah Daerah mengetahui bagaimana pola pembiayaan kesehatan bagi masyarakat yang tidak memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan.

2. Sebagai bahan referensi bagi peneliti yang melakukan penelitian mengenai sistem pembiayaan kesehatan melalui penerapan sistem asuransi kesehatan dengan cakupan menyeluruh.

3. Menciptakan model jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat yang tidak memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah untuk mewujudkan peningkatan kualitas kesehatan masyarakat Kota Sukabumi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembiayaan Kesehatan

Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan kesehatan di suatu negara diantaranya adalah pemerataan pelayanan kesehatan dan akses (equitable access to health care) dan pelayanan yang berkualitas (assured quality). Oleh karena itu reformasi kebijakan kesehatan di suatu wilayah seyogyanya memberikan fokus penting kepada kebijakan pembiayaan kesehatan untuk menjamin terselenggaranya kecukupan (adequacy), pemerataan (equity), efisiensi (efficiency) dan efektifitas (effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu sendiri (Tim Pengajar Ekonomi Kesehatan, 2001).

Perencanaan dan pengaturan pembiayaan kesehatan yang memadai (health care financing) akan menolong pemerintah di suatu wilayah untuk dapat memobilisasi sumber-sumber pembiayaan kesehatan, mengalokasikannya secara rasional serta menggunakannya secara efisien dan efektif. Kebijakan pembiayaan kesehatan yang mengutamakan pemerataan serta berpihak kepada masyarakat miskin (equitable and pro poor health policy) akan mendorong tercapainya akses yang universal. Pada aspek yang lebih luas diyakini bahwa pembiayaan kesehatan mempunyai kontribusi pada perkembangan sosial dan ekonomi. Berdasarkan uraian tersebut terlihat bahwa pembiayaan kesehatan sesungguhnya merupakan sebuah investasi untuk mencapai keuntungan dimasa mendatang yaitu peningkatan kualitas kesehatan masyarakat yang lebih baik.

Biaya kesehatan di Indonesia selama tahun 2007 relatif kecil yaitu sekitar Rp US $ 30/kapita/tahun (World Bank Report, 2007). Sebagai perbandingan, negara lain seperti Thailand, Philipine, Malaysia dan India masing-masing mengeluarkan rata- rata US $73, $14, $67 dan $21. Bila pengeluaran di negara-negara tersebut dinyatakan sebagai prosentase dari GNP, nilainya adalah lima persen, dua persen, tiga persen dan enam persen(Tim Pengajar Ekonomi Kesehatan, 2001).

Di Indonesia, hanya 30 persen dari biaya kesehatan atau $4,2 per kapita berasal dari Pemerintah. Jumlah ini adalah sekitar 0.9 persen dari GNP dan 2,4 persen dari jumlah keseluruhan anggaran tahunan pemerintah. Data yang dikumpulkan selama 1982-1983 sampai 1988-1989 menunjukkan bahwa 35 persen sampai 40 persen dari anggaran tersebut diserap oleh program pelayanan rumah sakit dan 25 persen - 30 persen oleh puskesmas.

2.2 Perkembangan Sistem Pembiayaan Kesehatan Pra Upaya

Data Susenas mengemukakan bahwa 25,4%

dari penduduk Indonesia telah mendapat

perlindungan jaminan kesehatan, baik terstruktur

(PT Askes, Jamsostek, Asuransi Kesehatan

Komersial, Asuransi Kesehatan Penduduk Miskin

(Askeskin), dan lainnya) maupun tidak terstruktur

(perusahaan swasta memberi jaminan berupa

sendiri atau bentuk uang tunai). Fakta tersebut,

menunjukan terjadinya pengembangan cakupan

asuransi sosial kesehatan di Indonesia meningkat

dari 13 persen atau sekitar 24 juta penduduk Bank

Dunia dalam "World Development Report 1993".

Seperti diketahui, dari jumlah tersebut sebanyak 15

juta adalah peserta PT. Askes dan sekitar satu juta

adalah peserta program JPK PT. Jamsostek. Tidak

jelas bagaimana komposisi sisanya sebesar delapan

juta, apakah peserta asuransi swasta (yang

diperkirakan tidak lebih dari satu juta) dan peserta

Dana Sehat.

Depkes RI memperkirakan bahwa peserta Dana Sehat (1995) adalah 14 juta orang. Dengan demikian cakupan sistem pembiayaan praupaya telah mencapai sekitar 30 - 31 juta atau sekitar 16 persen penduduk. Komposisinya adalah sebagai berikut, peserta PT. Askes berjumlah 15 juta, peserta PT Jamsostek berjumlah 1 juta, peserta Dana Sehat berjumlah 14 juta, peserta Askes Swasta berjumlah 1 juta, sehingga total cakupan berjumlah 31 Juta orang.

Dari data tersebut kepesertaan sistem pembiayaan praupaya ini tidak berkembang di Indonesia, paling tidak selama 15 tahun yang lalu. Sejak awal 1980,

ketika konsep DUKM mulai diketengahkan sebagai alternatif pembiayaan kesehatan di Indonesia.

Ada beberapa faktor yang diperkirakan mempengaruhi rendahnya permintaan terhadap sistem pembiayaan praupaya ini, yaitu sebagai berikut:

a. Pendapatan penduduk rendah

b. Besarnya subsidi pemerintah terhadap pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan sekunder dan tertier

c. Adanya sistem sosial dengan norma "extended family"

d. Lemahnya infrastruktur penyelenggara sistem pembiayaan praupaya e. Terbatasnya ketersediaan pelayanan kesehatan yang memenuhi

standar mutu yang diharapkan sementara segmen tertentu dalam masyarakat.

Namun demikian, diperkirakan bahwa permintaan terhadap sistem pembiayaan praupaya ini (baik Asuransi Kesehatan pertanggungan kerugian maupun Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) Miskin, akan meningkat pesat dimasa mendatang. Ini didukung oleh kenyataan bahwa pendapatan dan pemerataan pendapatan terus membaik. Pada Tahun 2007 pendapatan per kapita mencapai US $ 1946, jumlah tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai US $ 1600. Berbagai upaya untuk meningkatkan pemerataan terus dilakukan secara intensif seperti misalnya IDT (Inpres Desa Tertinggal), peningkatan pendapatan keluarga, dll. Disamping itu, perkembangan industrialisasi yang pesat akan menambah jumlah pekerja di sektor formal, suatu kondisi yang baik untuk mengembangkan program JPKTK (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Tenaga Kerja). Sementara itu pendidikan tenaga asuransi kesehatan yang lebih profesional mulai dirintis dan diselenggarakan.

Faktor lain yang mendorong perkembangan sistem pembiayaan pra upaya adalah kecenderungan kenaikan tarif pada fasilitas pemerintah sebagai bagian dari kebijaksanaan unit swadana, yang sudah mulai diterapkan di beberapa propinsi baik di rumah sakit maupun puskesmas. Kenaikan tarif akan menempatkan konsumer pada resiko finansial yang lebih besar dan oleh karenanya mendorong minat untuk menjadi peserta asuransi atau Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA). Dapat dikatakan bahwa kalau pada lalu sistem "out of pocket payment" adalah tulang punggung pembiayaan kesehatan, maka dimasa datang peranannya akan diambil alih oleh sistem pembiayaan pra-upaya, yaitu asuransi kesehatan pertanggungan kerugian, Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA) dan Dana Sehat.

Di Indonesia, ada dua jenis sistem pembiayaan pra upaya yang bisa dikembangkan sesuai dengan UU yang berlaku, yaitu (1) asuransi pertanggungan kerugian seperti diatur dalam UU No. 2/1992 dan (2) Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) seperti diatur dalam pasal 66 UU No. 23 tahun 1992.

Fokus utama asuransi kesehatan pertanggungan kerugian adalah melindungi pesertanya dari kerugian finansial yang terjadi karena masalah kesehatan. Sedangkan fokus utama Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA) adalah menjamin pemeliharaan kesehatan yang paripurna, sehingga derajat kesehatan pesertanya meningkat. Namun secara umum penyelenggaraan asuransi kesehatan dan Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA) mempunyai banyak persamaan.

2.3 Asuransi Kesehatan

Athern (1960) dalam Gani (2002) mengemukakan bahwa asuransi adalah suatu alat sosial yang menggabungkan resiko individu menjadi resiko kelompok,

dan menggunakan dana yang dikumpulkan oleh kelompok tersebut untuk membayar kerugian yang diderita. Dengan demikian, esensi asuransi adalah sebagai alat sosial, dimana pengumpulan dana, mencakup sekelompok resiko, dan setiap orang atau badan yang menjadi anggotanya mengalihkan resikonya kepada seluruh kelompok. Berdasarkan pada definisi tersebut, dapat terlihat bahwa prinsip-prinsip yang terkandung dalam kata-kata sosial, juga menjadi prinsip asuransi kesehatan. Sebagai alat sosial asuransi kesehatan bukan semata mencari keuntungan bagi pihak tertentu, akan tetapi diperolehnya keuntungan bagi masyarakat secara keseluruhan.

Asuransi kesehatan mudah dipahami dengan contoh sederhana sebagai berikut. Andaikan 100 orang menjadi anggota sebuah perkumpulan. Untuk mempermudah persoalan, asumsikan semua orang berusia kurang lebih sama dan memiliki gaya hidup yang serupa. Sekitar setahun sekali salah seorang jatuh sakit sehingga harus menghadapi biaya medis sebesar Rp 1.000.000,-. Asumsikan insidensi penyakit bersifat random, artinya tidak terdapat perbedaan sistematis risiko penyakit pada pria ataupun wanita, tua ataupun muda.

Karena khawatir mengalami kerugian besar sewaktu sakit, para anggota memutuskan untuk mengumpulkan dana Rp 10,000 per anggota, dan menyimpan dana total Rp 1,000,000 di bank supaya aman dan mendapat bunga. Bila seseorang anggota jatuh sakit, maka dana tersebut akan digunakan untuk pengobatan. Sesungguhnya yang dilakukan perkumpulan dan para anggota tersebut merupakan asuransi.

Beban pembiayaan kesehatan di Indonesia semakin hari semakin berat. Ini disebabkan oleh beberapa faktor penting, yaitu (1) meningkatnya jumlah penduduk,

(2) masalah kesehatan yang terus semakin besar baik dari segi kuantitatif dan kualitatif, (3) perkembangan teknologi kesehatan yang semakin canggih dan (4) meningkatnya demand penduduk terhadap pelayanan kesehatan yang lebih bermutu.

Disisi lain, kemampuan pemerintah untuk menyediakan biaya kesehatan terbatas. Oleh sebab itu, perlu dicari cara untuk melakukan mobilisasi sumber dana dari masyarakat dan swasta. Salah satu cara adalah dengan mengembangkan sistem pembiayaan pra-upaya (prepayment), yang dikenal sebagai asuransi kesehatan dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (Gani, 1998).

2.4. Asuransi Sosial

Asuransi sosial adalah suatu sistem pembiayaan pemeliharaan kesehatan, biasanya sekaligus dengan jaminan hari tua, untuk para pekerja. Disini diberlakukan pembayaran iuran wajib sebesar persentase tertentu dari gaji pekerja atau karyawan tersebut. Jumlah total iuran yang perlu dikumpulkan ditetapkan atas dasar resiko atau kemungkinan kejadian sakit pada kelompok pekerja tersebut, akan tetapi besarnya iuran ditetapkan menurut persentase tertentu dari gaji mereka. Tidak jarang dalam sistem ini pemerintah berperan sebagai penunjang biaya, yaitu dengan memberikan subsidi (Gani, 1998).

PT. Askes yang mengelola dana pemeliharaan kesehatan pegawai negeri adalah salah satu bentuk sistem pembiayaan yang mirip dengan asuransi sosial. Bedanya, PT. Askes terbatas hanya mengurus pembiayaan pemeliharaan kesehatan dan tidak termasuk jaminan hari tua. Iuran yang dikumpulkan besarnya adalah dua persen gaji. Ini berarti besar iuran tersebut tidak didasarkan pada resiko sakit yang dihadapi seseorang. Pegawai negeri dengan gaji tinggi akan membayar lebih banyak daripada pegawai negeri bergaji kecil, walaupun mungkin ia secara umum lebih

sehat dibandingkan pegawai yang bergaji kecil. Jelas disini bagaimana prinsip gotong royong diwujudkan.

Masalah utama dalam penerapan asuransi sosial ini adalah cakupannya yang sangat terbatas, yaitu pada kelompok pekerja yang terorganisir dan mempunyai penghasilan tetap. Masyarakat yang bekerja di sektor informal atau "self employed"

atau para buruh tani, umumnya tidak dicakup oleh asuransi sosial. Masalah

"inequity" muncul disini. Kelompok penduduk yang dicakup oleh asuransi sosial akan lebih mudah memanfaatkan pelayanan kesehatan. Karena pelayanan kesehatan tersebut mendapat subsidi dari Pemerintah, maka keadaan ini juga menimbulkan

"misallocation" subsidi Pemerintah pada kelompok yang lebih mampu. Hal ini misalnya terjadi kalau tarif yang dikenakan oleh badan penyelenggara asuransi sosial tersebut di bawah biaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

2.5 Asuransi Kesehatan dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM)

Ada dua badan penyelenggara sistem pembiayaan praupaya yang utama di Indonesia sekarang ini. Pertama adalah PT. Askes yang mencakup sekitar empat juta pegawai negeri (atau 15 juta jiwa termasuk anggota keluarganya). Yang kedua adalah JPKTK atau Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Tenaga Kerja yang dikelola oleh PT. Jamsostek. Sekarang diperkirkan ada sebanyak satu juta tenaga kerja yang ikut dalam program JPKTK tersebut. Beberapa asuransi kesehatan swasta juga mulai berkembang di Indonesia (Tugu Mandiri, Bintang Jasa, dan lain-lain).

Yang menjadi isu dalam pengembangan sistem pembiayaan praupaya adalah mencegah terjadinya efek samping, yaitu inflasi biaya, seperti yang terjadi di USA. Oleh sebab itu, di Indonesia dikembangkan konsep Dana Upaya Kesehatan

Masyarakat (DUKM), dan prinsip operasionalnya yang disebut Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Seperti diketahui, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM), sudah diatur dalam UU No. 23/92 pasal 66. Menurut UU tersebut, " Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) adalah suatu cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang paripurna berdasarkan azas usaha bersama dan kekeluargaan, yang berkesinambungan dan dengan mutu yang terjamin serta pembiayaan yang dilaksanakan secara pra-upaya"

(Tim Pengajar Ekonomi Kesehatan, 2001).

Beberapa prinsip pokok dalam Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) tersebut, yang harus dilaksanakan oleh semua badan yang bergerak dalam bidang pembiayaan kesehatan adalah penerapan prinsip gotong royong dua pihak (biparties), sistem kapitasi dan sistem pelayanan terstruktur serta pengendalian mutu yang terarah. Uraian lebih lanjut tentang sistem pembiayaan praupaya ini disampaikan sebagai bagian terpisah dalam makalah ini.

2.6 Community Financing

Untuk masyarakat berpendapatan rendah seperti di pedesaan, telah dilakukan berbagai macam model mobilisasi dana masyarakat (community financing) yang di Indonesia dikenal sebagai Dana Sehat. Dana sehat merupakan suatu upaya pemeliharaan kesehatan dari, oleh dan untuk masyarakat yang diselenggarakan berdasarkan atas azas usaha bersama dan kekeluargaan dengan pembiayaan secara pra-upaya dan bertujuan untuk meningkatkan taraf kesehatan masyarakat.6 Modelnya sangat bervariasi antara satu tempat dengan tempat lainnya. Prinsip

Dokumen terkait