POLA PEMBIAYAAN KESEHATAN MASYARAKAT YANG
TIDAK MEMILIKI JAMINAN PEMELIHARAAN
KESEHATAN DALAM MEWUJUDKAN CAKUPAN
MENYELURUH ASURANSI KESEHATAN DI KOTA
SUKABUMI
RITANENNY ESM
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Bersama ini saya menyatakan sebenarnya, bahwa Tugas Akhir Strategi Pola Pembiayaan Kesehatan Masyarakat yang Tidak Memiliki Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dalam Mewujudkan Cakupan Menyeluruh Asuransi Kesehatan di Kota Sukabumi adalah karya dan pemikiran saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun dan oleh siapapun kepada perguruan tinggi manapun dimana karya tulis ini murni muncul dari pemikiran saya. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah dituliskan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tugas Akhir ini.
Bogor, Februari 2009
Ritanenny ESM
NRP. A153044065
ABSTRACT
RITANENNY ESM. Pattern of Health Funding for People who do not have Health Care Assurance towards a Full Health Coverage of Health Insurance in Sukabumi. Under the Supervision of Dr.Ir.Dedi Budiman Hakim, M.Sc as the head and A. Faroby Falatehan, SP, ME as the member of the Supervisory Commission.
RINGKASAN
RITANENNY ESM. Pola Pembiayaan Kesehatan Masyarakat yang Tidak Memiliki Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dalam Mewujudkan Cakupan Menyeluruh Asuransi Kesehatan di Kota Sukabumi. Dibimbing oleh Dr.Ir.Dedi Budiman Hakim, M.Sc sebagai ketua dan A. Faroby Falatehan, SP, ME sebagai anggota komisi pembimbing.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang saat ini dijadikan sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan, ditopang oleh tiga sektor penting, yakni pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Akan tetapi perhatian terhadap pelayanan kesehatan masyarakat masih jauh dari harapan. Pelayanan kesehatan merupakan pelayanan jasa yang unik dimana masih terdapat karakteristik consumer ignorance
sehingga dapat terjadi supply induce demand dalam jasa layanan kesehatan. Berbeda dengan hubungan sektor ekonomi lainnya, dalam pembelian jasa pelayanan kesehatan masyarakat sebagai konsumen kesehatan masih berada dalam posisi tawar yang lemah. tingginya harga satuan sarana pelayanan kesehatan itu sendiri menjadi faktor yang mempengaruhi aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan sarana kesehatan. Jumlah masyarakat yang memiliki jaminan kesehatan masih terbatas, yakni sekitar 20 persen penduduk sedangkan sekitar 80% penduduk Indonesia masih belum terlindungi kesehatannya. Sehingga dalam penelitian ini dikaji bagaimana pola pembiayaan kesehatan pada kelompok yang belum memiliki jaminan kesehatan, berapa premi ideal yang harus dibayar masyarakat jika mereka bersedia mengikuti asuransi, dan bagaimana strategi dan program pengembangan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi masyarakat yang belum memiliki asuransi.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Analisis data mengunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, dimana data primer diperoleh dari responden masyarakat pada kelompok yang tidak memiliki Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dengan menggunakan kuisioner dan melalui indepth interview serta FGD (Focus Group Discussion) dengan stakeholder yang terkait, terutama para pembuat keputusan. Disamping itu, data sekunder diperoleh dari laporan-laporan serta angka-angka yang dikeluarkan oleh instansi yang terkait dengan penelitian ini yaitu BPS, Bappeda, Rumah Sakit dan Dinas Kesehatan .
6372,- per orang per bulan dengan tingkat kesakitan sebesar 12 persen. Angka ini belum termasuk cakupan penyakit-penyakit katastropik.
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
POLA PEMBIAYAAN KESEHATAN MASYARAKAT YANG
TIDAK MEMILIKI JAMINAN PEMELIHARAAN
KESEHATAN DALAM MEWUJUDKAN CAKUPAN
MENYELURUH ASURANSI KESEHATAN DI KOTA
SUKABUMI
RITANENNY ESM
Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Profesional
Pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tugas Akhir : Pola Pembiayaan Masyarakat yang Tidak Memiliki Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dalam Mewujudkan Cakupan Menyeluruh Asuransi Kesehatan di Kota Sukabumi
Nama : Ritanenny ESM
NRP : A153044065
Disetujui
Komisi Pembimbing,
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.AEc A. Faroby Falatehan, SP, ME Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekoah Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah
Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc Prof. Dr. Ir. Khairil A, Notodiputro, MS
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pola Pembiayaan Kesehatan Masyarakat yang tidak Memiliki Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dalam Mewujudkan Cakupan Menyeluruh Asuransi Kesehatan di Kota Sukabumi” dapat diselesaikan. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas akhir Program Pasca Sarjana Magister Pembangunan Daerah, Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec dan A. Faroby Falatehan, SP, ME, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyelesaian penulisan tesis. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tesis ini. Penulis berusaha mengerjakan dan menyajikan tesis ini dengan sebaik-baiknya. Namun demikian, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan penelitian selanjutnya. Penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.
Bogor, 17 Februari 2009
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR ISI
hal
Kata Pengantar ………... i
Daftar Isi ………... ii
Daftar Tabel ……… iv
Daftar Gambar ………... v
Daftar Lampiran ...………... vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ………..…... 1
1.2.Perumusan Masalah ... 3
1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian ………... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pembiayaan Kesehatan ………... 9
2.2.Perkembangan Sistem Pembiayaan Kesehatan Pra Upaya… ... 10
2.3.Asuransi Kesehatan………... ... 13
2.4.Asuransi Sosial ………... 14
2.5.Asuransi Kesehatan dan Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat………... . 16
2.6.Community Financing ………. 17
2.7.Investasi Swasta dalam Pelayanan Rumah Sakit .……... 17
BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Kerangka Pemikiran ... 20
3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian ………..……….... 21
3.3.Metoda Pengambilan Sampel ….………... 21
3.4.Metoda Pengumpulan Data………. ... 23
3.5.Metoda Pengolahan Data ….……….... 24
3.5.1.Tingkat Kemampuan Membayar (Ability to Pay) dan Tingkat Kemauan Membayar………... ….... 25
3.5.2.Penentuan Premi Asuransi ... 28
3.6.Metoda Perancangan Program ………….……… 31
3.7.Keterbatasan Penelitian ……… 34
BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1.Profil Wilayah ……….………… 36
4.2.Orientasi Wilayah ………... 36
4.3.Penduduk……….. 37
4.3.1.Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk ……….. 37
4.3.2. Tenaga Kerja ……….……… 38
4.4.Infrastruktur ……….……….…...…. 39
4.5.Aspek Pendidikan ………..……… 40
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga ……..……….... 43
5.1.1.Umur Responden ……..………..……… 43
5.1.2.Status Perkawinan………..…………...….. .. 44
5.1.3.Pendidikan ……….……….……… 45
5.1.4.Pekerjaan Responden .…..…....……….. 46
5.1.5.Status Kepemilikan Rumah…..………... 47
5.2.Pola Pembiayaan Masyarakat yang Tidak Memiliki Jaminan Pelayanan Kesehatan... 48
5.2.1.Pengalaman Sakit/Periksa Bulan Lalu ……...….. 48
5.2.2.Pengalaman, Harapan Pelayanan di Puskesmas dan Kemauan Masyarakat Untuk Membayar Pelayanan Kesehatan ……...….………... 52
5.2.3.Kemampuan Masyarakat Untuk Membayar Pelayanan Kesehatan... 53
5.3.Penentuan Premi Asuransi ………... 57
BAB VI STRATEGI DAN PROGRAM PENGEMBANGAN JAMINAN KESEHATAN DAERAH (JAMKESDA) DI KOTA SUKABUMI 6.1.Identifikasi Potensi dan Kebutuhan Masyarakat dalam Pengembangan Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA) di Kota Sukabumi ……..………...……….. 60
6.2.Identifikasi Masalah dalam Pengembangan Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA) di Kota Sukabumi …………...………… 63
6.3.Strategi dan Program Pengembangan Pembiayaan Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA) di Kota Sukabumi….. 66
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1.Kesimpulan ……….. 75
7.2.Saran ………...………. 76
DAFTAR TABEL
Tabel hal
1 Jumlah Penduduk Miskin Kota Sukabumi Tahun 2005... 6
2 Metode Pengambilan Data …….………... ... 24
3 Metoda Pengolahan Data... 25
4 Umur Responden ... 43
5 Status Perkawinan Responden... 44
6 Tingkat Pendidikan ... 45
7 Jenis Pekerjaan Responden ... 46
8 Status Kepemilikan Rumah………. .... 47
9 Pengalaman Sakit Responden/Keluarga Responden Sebulan yang Lalu ... 48
10 Biaya Pengobatan Sakit Responden ...……… 50
11 Cara Bayar Responden ...……… 51
12 Rata–rata Pengeluaran Rumah Tangga Untuk Makanan Selama Satu Bulan... 54
13 Pengeluaran Rumah Tangga Untuk Bukan Makanan Sebulan dan Setahun Yang Lalu ……..……….. ... 55
14 Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga Responden Berdasarkan Pengeluaran Makanan dan Bukan Makanan Selama Sebulan ... 56
15 Penghitungan Premi Universal Coverage dengan Community Rating Kota Sukabumi Tahun 2007 ... 58
DAFTAR GAMBAR
Gambar hal
1 Kerangka Pemikiran………... 20
2 Penggunaan Lahan Terbangun Kota Sukabumi Tahun 2000... 37
3 Persentase Jumlah Penduduk Kota Sukabumi Menurut Kecamatan
Tahun 2008 ... 38
4 Persentase Penduduk 10 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut Jenis Pekerjaan Kota Sukabumi (2006) ... 38
5 Deskripsi ATP 4 Berdasarkan Lima Persen Pengeluaran Bukan
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran hal
1 Rincian Hasil wawancara Jumlah Biaya Pengobatan
Responden ... 80
2 Kesediaan Membayar Tarif Puskesmas Dengan Pelayanan Sesuai
Harapan ... 81
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang saat ini dijadikan sebagai
salah satu indikator keberhasilan pembangunan, ditopang oleh tiga sektor penting,
yakni pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Dalam konteks kesehatan terlihat
beberapa indikasi bahwa perhatian terhadap masyarakat dalam pelayanan
kesehatan ternyata masih jauh dari harapan masyarakat konsumennya. Menurut
Balasubramanian seperti dikutip Kusminarno (2002) menyebutkan bahwa
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sekitar 2,5 milyar orang
(hampir setengah penduduk dunia) tidak memiliki akses terhadap pelayanan
kesehatan yang paling dasar.
Pelayanan kesehatan merupakan pelayanan jasa yang unik dimana masih
terdapat karakteristik consumer ignorance sehingga dapat terjadi supply induce demand dalam jasa layanan kesehatan. Bagi konsumen pelayanan kesehatan yang paling mendasar pun haruslah menganut asas keadilan sosial dan pemerataan.
Kejelasan produk pelayan kesehatan baik yang bersifat public goods maupun
private goods hendaknya diatur dalam batas yang jelas oleh Pemerintah melalui Departemen Kesehatan sebagai regulator dalam sistem kesehatan. Kaidah equity egaliter dalam sistem kesehatan pun tampaknya masih merupakan harapan yang sangat sulit untuk diwujudkan (Tim Pengajar Ekonomi Kesehatan, 2001).
ekonomi lainnya, dalam pembelian jasa pelayanan kesehatan masyarakat sebagai
konsumen kesehatan masih berada dalam posisi tawar yang lemah.
Aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan secara umum
dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu geografis dan ekonomis. Rendahnya
aksesibilitas secara geografis disebabkan oleh jauhnya lokasi pengguna sarana
pelayanan kesehatan (masyarakat) dengan sarana pelayanan kesehatan dan
terbatasnya transportasi menuju sarana pelayanan kesehatan (puskesmas terdekat).
Aksesibilitas secara ekonomis terkait dengan keterjangkauan dari sisi financial
atau ketidakterjangkauan terhadap tarif sarana pelayanan kesehatan. Kondisi
ketidakterjangkauan tarif sarana pelayanan kesehatan tersebut sangat dipengaruhi
oleh faktor tingginya harga satuan sarana pelayanan kesehatan itu sendiri (Tim
Pengajar Ekonomi Kesehatan, 2001).
Melalui Sistem Kesehatan Nasional yang telah ditetapkan tahun 2004,
Departemen Kesehatan telah mengatur hal pelayanan kesehatan tersebut dengan
menetapkan sub sistem pembiayaan kesehatan. Sub sistem pembiayaan kesehatan
yaitu suatu tatanan yang menghimpun berbagai upaya penggalian,
pengalokasian, dan pembelanjaaan sumberdaya keuangan secara terpadu dan
saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi–tingginya (Depkes, 2004). Pembiayaan kesehatan di Indonesia
masih rendah , yaitu hanya rata–rata 2,2 persen dari Pendapatan Domestik Bruto
atau rata–rata anatara USD 12-18 kapita/tahun. Persentase ini masih jauh dari
anjuran WHO yang paling sedikit lima persen dari Produk Domestik Bruto per
tahun. Di Indonesia, 30 persen pembiayaan kesehatan tersebut bersumber dari
swasta, yang sebagian besar masih digunakan untuk pelayanan kuratif (Depkes,
2004).
Tujuan Pemerintah dalam mengatur sub sistem pembiayaan kesehatan
adalah tersedianya pembiayaan kesehatan dengan jumlah yang mencukupi,
teralokasi secara adil dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna,
untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi – tingginya. Oleh sebab itu diperlukan
penelitian mengenai suatu pola pembiayaan masyarakat guna mewujudkan
pelayanan kesehatan secara merata dan menyeluruh.
1.2 Perumusan Masalah
Pengalokasian dana bersumber pemerintah yang dikelola oleh sektor
kesehatan sampai saat ini belum begitu efektif. Dana Pemerintah dan Pemerintah
Daerah lebih banyak dialokasikan pada upaya kuratif serta investasi, sedangkan
besarnya dana yang dialokasikan untuk upaya promotif dan preventif sangat
terbatas. Mobilisasi sumber pembiayaan kesehatan dari masyarakat masih
terbatas dan bersifat perorangan (out of pocket). Jumlah masyarakat yang memiliki jaminan kesehatan masih terbatas, yakni sekitar 20 persen penduduk.
Metode pembayaran kepada penyelenggara pelayanan masih didominasi oleh
pembayaran tunai, sehingga mendorong penyelenggaraan dan pemakaian
pelayanan kesehatan secara berlebihan serta meningkatnya biaya kesehatan.
akibat meningkatnya UHH (Umur Harapan Hidup)5 akan mendorong
meningkatnya biaya kesehatan yang tidak dapat dihindari.
Sekitar 80% penduduk Indonesia masih belum terlindungi kesehatannya,
sementara hanya kurang lebih 20 persen penduduk yang memiliki jaminan
kesehatan melalui PT Askes, Jamsostek, Dana Sehat dan lain sebagainya
(Wibisana, 2003). Telah banyak kajian mengenai pelbagai bentuk pemeliharaan
kesehatan mancanegara menyadari bahwa pembayaran tunai langsung dari
kantong konsumen atau pembayaran melalui pihak ketiga terhadap tagihan
pemberi pelayanan kesehatan mendorong kenaikan pembiayaan kesehatan.
Sebagai solusinya dirumuskanlah Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA) yang
merupakan upaya awal pemerintah Indonesia untuk mengatasi ancaman terhadap
akses dan mutu pelayanan kesehatan akibat kenaikan biaya kesehatan. Pada
hakekatnya JAMKESDA merupakan sistem pemeliharaan kesehatan yang
memadukan penataan sub sistem pelayanan kesehatan dengan sub sistem
pembiayaan kesehatan.
Berbagai upaya pun telah ditempuh Pemerintah guna mengembangkan
suatu sistem pembiayaan kesehatan pra bayar yang menjamin seluruh masyarakat
akan tingginya aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan. Program JAMKESDA
yang telah dicetuskan sejak sebelum reformasi masih berjalan tersendat-sendat.
Segera setelah era reformasi terjadi berbagai upaya pun telah ditempuh mulai dari
Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK), Program
Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Kesehatan
(PKPSBBM-BK) sampai pada saat sekarang Jaminan Kesehatan Masyarakat
5
(JAMKESMAS) untuk masyarakat miskin. Metoda dan sistemnya pun sangat
bervariasi mulai dari pembiayaan diserahkan kepada Pemberi Pelayanan
Kesehatan (PPK) sampai pada saat ini dikelola oleh PT Askes.
Jumlah penduduk miskin di Kota Sukabumi tahun 2005 menurut hasil
pendataan Badan Pusat Statistik sebanyak 48,732 jiwa, angka tersebut sudah
ditetapkan melalui Surat Keputusan Walikota Sukabumi Nomor 235 tahun 2005
tentang Penetapan Jumlah Masyarakat Sasaran Asuransi Kesehatan Keluarga
Miskin (Askes Gakin) di Kota Sukabumi. Pendataan sasaran program Jaminan
Kesehatan Daerah (JAMKESDA) dilakukan oleh Puskesmas yang bekerjasama
dengan pihak kader, Petugas Lapang Keluarga Berencana (PLKB) dan Kelurahan.
Keluarga miskin (GAKIN) terbesar terdapat di Kecamatan Gunung Puyuh
sebesar 31.86 persen, dan terkecil di Kecamatan Baros sebesar 12.24 persen
(Tabel 1). Akan tetapi bila perbandingan antara penduduk miskin dan jumlah
penduduk seluruhnya maka yang terbesar ada pada Kecamatan Gunung Puyuh
(30.50 persen). Disisi lain jumlah masyarakat yang sudah mengikuti Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan diluar Askes Gakin adalah sebagai berikut : Askes sosial
berjumlah 39,403 jiwa, Jamsostek 1,010 jiwa dan Askes Komersial berjumlah
20 jiwa.
Berdasarkan fenomena pada Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat
sekelompok masyarakat yang tidak termasuk masyarakat miskin, juga tidak
termasuk dalam masyarakat golongan kaya dan mereka bukan PNS yang memiliki
Asuransi Kesehatan dari PT Askes juga bukan pegawai sektor formal yang
memiliki Jamsostek. Sekelompok masyarakat tersebut belum memiliki kejelasan
Tabel 1. Jumlah Penduduk Miskin Kota Sukabumi Tahun 2005
Jumlah Penduduk KK Penduduk Proposi (%) No Kecamatan KK Miskin
Miskin Seluruhnya Seluruhnya Gakin Penkin
1 BAROS 752 3009 6140 28152 12,24 10,68
2 CITAMIANG 1713 6855 10535 44358 16,26 15,45
3 WARUDOYONG 1850 7402 11819 48876 15,65 15,14
4 GUNUNG PUYUH 2800 11203 8323 36725 24,99 30,50
5 CIKOLE 1593 6374 4999 52162 31,86 12,21
6 LEMBUR SITU 1488 5955 8029 29027 18,53 20,51
7 CIBEUREUM 1983 7934 6992 26116 28,36 30,37
TOTAL 12179 48732 56837 265416
Sumber: Bappeda Kota Sukabumi 2005
Dengan telah dicakupnya masyarakat miskin oleh Jaminan Kesehatan
Masyarakat (JAMKESMAS) yang manajemen kepesertaannya dikelola oleh PT
Askes, dan dengan telah tercakupnya juga masyarakat dari kelompok PNS dan
pegawai sektor formal oleh PT Askes dan Jamsostek, maka masih terdapat
sekelompok masyarakat pada segmen menengah dan atas di luar PNS dan
pegawai sektor formal yang belum tercakup oleh asuransi kesehatan sebagai
jaminan pemeliharaan kesehatannya.
Berdasarkan kondisi di atas yang menjadi pokok permasalahan yaitu
“Bagaimana Pola Pembiayaan Kesehatan bagi Masyarakat yang Belum Memiliki
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dalam Mewujudkan Cakupan Menyeluruh
(Universal coverage) Asuransi Kesehatan di Kota Sukabumi”. Adapun permasalahan spesifik dari masalah pokok di atas adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Pola Pembiayaan Kesehatan pada kelompok yang belum
memiliki jaminan Pemeliharaan kesehatan di Kota Sukabumi pada tahun
2. Berapakah premi yang harus dibayar oleh kelompok masyarakat yang
belum memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan bila mereka bersedia
mengikuti asuransi?
3. Bagaimana strategi dan program pengembangan Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan bagi masyarakat yang belum memiliki asuransi?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan umum kajian adalah merumuskan pola pembiayaan kesehatan bagi
masyarakat yang belum memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan dalam
mewujudkan cakupan menyeluruh asurasi kesehatan di Kota Sukabumi. Untuk
memenuhi tujuan umum tersebut, maka tujuan spesifik dari kajian ini adalah :
1. Mengidentifikasi pola pembiayaan kesehatan pada kelompok yang belum
memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan di Kota Sukabumi Tahun 2005
2. Menganalisis besaran premi bagi kelompok masyarakat yang belum
memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan.
3. Merekomendasikan strategi pengelolaan jaminan pemeliharaan kesehatan
bagi masyarakat yang belum memiliki asuransi kesehatan.
Hasil kajian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut :
1. Agar Pemerintah Daerah mengetahui bagaimana pola pembiayaan
kesehatan bagi masyarakat yang tidak memiliki jaminan pemeliharaan
2. Sebagai bahan referensi bagi peneliti yang melakukan penelitian mengenai
sistem pembiayaan kesehatan melalui penerapan sistem asuransi kesehatan
dengan cakupan menyeluruh.
3. Menciptakan model jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat
yang tidak memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan sebagai bahan
pertimbangan bagi Pemerintah Daerah untuk mewujudkan peningkatan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembiayaan Kesehatan
Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang
peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam
rangka mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan kesehatan di suatu
negara diantaranya adalah pemerataan pelayanan kesehatan dan akses (equitable access to health care) dan pelayanan yang berkualitas (assured quality). Oleh karena itu reformasi kebijakan kesehatan di suatu wilayah seyogyanya
memberikan fokus penting kepada kebijakan pembiayaan kesehatan untuk
menjamin terselenggaranya kecukupan (adequacy), pemerataan (equity), efisiensi (efficiency) dan efektifitas (effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu sendiri (Tim Pengajar Ekonomi Kesehatan, 2001).
Perencanaan dan pengaturan pembiayaan kesehatan yang memadai
(health care financing) akan menolong pemerintah di suatu wilayah untuk dapat memobilisasi sumber-sumber pembiayaan kesehatan, mengalokasikannya secara
rasional serta menggunakannya secara efisien dan efektif. Kebijakan pembiayaan
kesehatan yang mengutamakan pemerataan serta berpihak kepada masyarakat
miskin (equitable and pro poor health policy) akan mendorong tercapainya akses yang universal. Pada aspek yang lebih luas diyakini bahwa pembiayaan kesehatan
mempunyai kontribusi pada perkembangan sosial dan ekonomi. Berdasarkan
uraian tersebut terlihat bahwa pembiayaan kesehatan sesungguhnya merupakan
sebuah investasi untuk mencapai keuntungan dimasa mendatang yaitu
Biaya kesehatan di Indonesia selama tahun 2007 relatif kecil yaitu sekitar Rp
US $ 30/kapita/tahun (World Bank Report, 2007). Sebagai perbandingan, negara lain
seperti Thailand, Philipine, Malaysia dan India masing-masing mengeluarkan
rata-rata US $73, $14, $67 dan $21. Bila pengeluaran di negara-negara tersebut
dinyatakan sebagai prosentase dari GNP, nilainya adalah lima persen, dua persen,
tiga persen dan enam persen(Tim Pengajar Ekonomi Kesehatan, 2001).
Di Indonesia, hanya 30 persen dari biaya kesehatan atau $4,2 per kapita
berasal dari Pemerintah. Jumlah ini adalah sekitar 0.9 persen dari GNP dan 2,4
persen dari jumlah keseluruhan anggaran tahunan pemerintah. Data yang
dikumpulkan selama 1982-1983 sampai 1988-1989 menunjukkan bahwa 35 persen
sampai 40 persen dari anggaran tersebut diserap oleh program pelayanan rumah sakit
dan 25 persen - 30 persen oleh puskesmas.
2.2 Perkembangan Sistem Pembiayaan Kesehatan Pra Upaya
Data Susenas mengemukakan bahwa 25,4%
dari penduduk Indonesia telah mendapat
perlindungan jaminan kesehatan, baik terstruktur
(PT Askes, Jamsostek, Asuransi Kesehatan
Komersial, Asuransi Kesehatan Penduduk Miskin
(Askeskin), dan lainnya) maupun tidak terstruktur
(perusahaan swasta memberi jaminan berupa
sendiri atau bentuk uang tunai). Fakta tersebut,
menunjukan terjadinya pengembangan cakupan
asuransi sosial kesehatan di Indonesia meningkat
dari 13 persen atau sekitar 24 juta penduduk Bank
Dunia dalam "World Development Report 1993".
Seperti diketahui, dari jumlah tersebut sebanyak 15
juta adalah peserta PT. Askes dan sekitar satu juta
adalah peserta program JPK PT. Jamsostek. Tidak
jelas bagaimana komposisi sisanya sebesar delapan
juta, apakah peserta asuransi swasta (yang
diperkirakan tidak lebih dari satu juta) dan peserta
Dana Sehat.
Depkes RI memperkirakan bahwa peserta Dana Sehat (1995) adalah 14 juta
orang. Dengan demikian cakupan sistem pembiayaan praupaya telah mencapai
sekitar 30 - 31 juta atau sekitar 16 persen penduduk. Komposisinya adalah sebagai
berikut, peserta PT. Askes berjumlah 15 juta, peserta PT Jamsostek berjumlah 1 juta,
peserta Dana Sehat berjumlah 14 juta, peserta Askes Swasta berjumlah 1 juta,
sehingga total cakupan berjumlah 31 Juta orang.
Dari data tersebut kepesertaan sistem pembiayaan praupaya ini tidak
ketika konsep DUKM mulai diketengahkan sebagai alternatif pembiayaan kesehatan
di Indonesia.
Ada beberapa faktor yang diperkirakan mempengaruhi rendahnya
permintaan terhadap sistem pembiayaan praupaya ini, yaitu sebagai berikut:
a. Pendapatan penduduk rendah
b. Besarnya subsidi pemerintah terhadap pelayanan kesehatan,
termasuk pelayanan sekunder dan tertier
c. Adanya sistem sosial dengan norma "extended family"
d. Lemahnya infrastruktur penyelenggara sistem pembiayaan praupaya
e. Terbatasnya ketersediaan pelayanan kesehatan yang memenuhi
standar mutu yang diharapkan sementara segmen tertentu dalam
masyarakat.
Namun demikian, diperkirakan bahwa permintaan terhadap sistem
pembiayaan praupaya ini (baik Asuransi Kesehatan pertanggungan kerugian maupun
Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) Miskin, akan meningkat pesat
dimasa mendatang. Ini didukung oleh kenyataan bahwa pendapatan dan pemerataan
pendapatan terus membaik. Pada Tahun 2007 pendapatan per kapita mencapai US $
1946, jumlah tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai US $ 1600.
Berbagai upaya untuk meningkatkan pemerataan terus dilakukan secara intensif
seperti misalnya IDT (Inpres Desa Tertinggal), peningkatan pendapatan keluarga,
dll. Disamping itu, perkembangan industrialisasi yang pesat akan menambah jumlah
pekerja di sektor formal, suatu kondisi yang baik untuk mengembangkan program
JPKTK (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Tenaga Kerja). Sementara itu pendidikan
Faktor lain yang mendorong perkembangan sistem pembiayaan pra upaya
adalah kecenderungan kenaikan tarif pada fasilitas pemerintah sebagai bagian dari
kebijaksanaan unit swadana, yang sudah mulai diterapkan di beberapa propinsi baik
di rumah sakit maupun puskesmas. Kenaikan tarif akan menempatkan konsumer
pada resiko finansial yang lebih besar dan oleh karenanya mendorong minat untuk
menjadi peserta asuransi atau Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA). Dapat
dikatakan bahwa kalau pada lalu sistem "out of pocket payment" adalah tulang punggung pembiayaan kesehatan, maka dimasa datang peranannya akan diambil alih
oleh sistem pembiayaan pra-upaya, yaitu asuransi kesehatan pertanggungan
kerugian, Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA) dan Dana Sehat.
Di Indonesia, ada dua jenis sistem pembiayaan pra upaya yang bisa
dikembangkan sesuai dengan UU yang berlaku, yaitu (1) asuransi pertanggungan
kerugian seperti diatur dalam UU No. 2/1992 dan (2) Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat (JPKM) seperti diatur dalam pasal 66 UU No. 23 tahun
1992.
Fokus utama asuransi kesehatan pertanggungan kerugian adalah melindungi
pesertanya dari kerugian finansial yang terjadi karena masalah kesehatan. Sedangkan
fokus utama Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA) adalah menjamin
pemeliharaan kesehatan yang paripurna, sehingga derajat kesehatan pesertanya
meningkat. Namun secara umum penyelenggaraan asuransi kesehatan dan Jaminan
Kesehatan Daerah (JAMKESDA) mempunyai banyak persamaan.
2.3 Asuransi Kesehatan
Athern (1960) dalam Gani (2002) mengemukakan bahwa asuransi adalah
dan menggunakan dana yang dikumpulkan oleh kelompok tersebut untuk
membayar kerugian yang diderita. Dengan demikian, esensi asuransi adalah
sebagai alat sosial, dimana pengumpulan dana, mencakup sekelompok resiko, dan
setiap orang atau badan yang menjadi anggotanya mengalihkan resikonya kepada
seluruh kelompok. Berdasarkan pada definisi tersebut, dapat terlihat bahwa
prinsip-prinsip yang terkandung dalam kata-kata sosial, juga menjadi prinsip
asuransi kesehatan. Sebagai alat sosial asuransi kesehatan bukan semata mencari
keuntungan bagi pihak tertentu, akan tetapi diperolehnya keuntungan bagi
masyarakat secara keseluruhan.
Asuransi kesehatan mudah dipahami dengan contoh sederhana sebagai
berikut. Andaikan 100 orang menjadi anggota sebuah perkumpulan. Untuk
mempermudah persoalan, asumsikan semua orang berusia kurang lebih sama dan
memiliki gaya hidup yang serupa. Sekitar setahun sekali salah seorang jatuh sakit
sehingga harus menghadapi biaya medis sebesar Rp 1.000.000,-. Asumsikan
insidensi penyakit bersifat random, artinya tidak terdapat perbedaan sistematis
risiko penyakit pada pria ataupun wanita, tua ataupun muda.
Karena khawatir mengalami kerugian besar sewaktu sakit, para anggota
memutuskan untuk mengumpulkan dana Rp 10,000 per anggota, dan menyimpan
dana total Rp 1,000,000 di bank supaya aman dan mendapat bunga. Bila
seseorang anggota jatuh sakit, maka dana tersebut akan digunakan untuk
pengobatan. Sesungguhnya yang dilakukan perkumpulan dan para anggota
tersebut merupakan asuransi.
Beban pembiayaan kesehatan di Indonesia semakin hari semakin berat. Ini
(2) masalah kesehatan yang terus semakin besar baik dari segi kuantitatif dan
kualitatif, (3) perkembangan teknologi kesehatan yang semakin canggih dan (4)
meningkatnya demand penduduk terhadap pelayanan kesehatan yang lebih bermutu. Disisi lain, kemampuan pemerintah untuk menyediakan biaya kesehatan
terbatas. Oleh sebab itu, perlu dicari cara untuk melakukan mobilisasi sumber dana
dari masyarakat dan swasta. Salah satu cara adalah dengan mengembangkan sistem
pembiayaan pra-upaya (prepayment), yang dikenal sebagai asuransi kesehatan dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (Gani, 1998).
2.4. Asuransi Sosial
Asuransi sosial adalah suatu sistem pembiayaan pemeliharaan kesehatan,
biasanya sekaligus dengan jaminan hari tua, untuk para pekerja. Disini diberlakukan
pembayaran iuran wajib sebesar persentase tertentu dari gaji pekerja atau karyawan
tersebut. Jumlah total iuran yang perlu dikumpulkan ditetapkan atas dasar resiko atau
kemungkinan kejadian sakit pada kelompok pekerja tersebut, akan tetapi besarnya
iuran ditetapkan menurut persentase tertentu dari gaji mereka. Tidak jarang dalam
sistem ini pemerintah berperan sebagai penunjang biaya, yaitu dengan memberikan
subsidi (Gani, 1998).
PT. Askes yang mengelola dana pemeliharaan kesehatan pegawai negeri
adalah salah satu bentuk sistem pembiayaan yang mirip dengan asuransi sosial.
Bedanya, PT. Askes terbatas hanya mengurus pembiayaan pemeliharaan kesehatan
dan tidak termasuk jaminan hari tua. Iuran yang dikumpulkan besarnya adalah dua
persen gaji. Ini berarti besar iuran tersebut tidak didasarkan pada resiko sakit yang
dihadapi seseorang. Pegawai negeri dengan gaji tinggi akan membayar lebih banyak
sehat dibandingkan pegawai yang bergaji kecil. Jelas disini bagaimana prinsip
gotong royong diwujudkan.
Masalah utama dalam penerapan asuransi sosial ini adalah cakupannya yang
sangat terbatas, yaitu pada kelompok pekerja yang terorganisir dan mempunyai
penghasilan tetap. Masyarakat yang bekerja di sektor informal atau "self employed"
atau para buruh tani, umumnya tidak dicakup oleh asuransi sosial. Masalah
"inequity" muncul disini. Kelompok penduduk yang dicakup oleh asuransi sosial akan lebih mudah memanfaatkan pelayanan kesehatan. Karena pelayanan kesehatan
tersebut mendapat subsidi dari Pemerintah, maka keadaan ini juga menimbulkan
"misallocation" subsidi Pemerintah pada kelompok yang lebih mampu. Hal ini misalnya terjadi kalau tarif yang dikenakan oleh badan penyelenggara asuransi sosial
tersebut di bawah biaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
2.5 Asuransi Kesehatan dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM)
Ada dua badan penyelenggara sistem pembiayaan praupaya yang utama di
Indonesia sekarang ini. Pertama adalah PT. Askes yang mencakup sekitar empat juta
pegawai negeri (atau 15 juta jiwa termasuk anggota keluarganya). Yang kedua
adalah JPKTK atau Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Tenaga Kerja yang dikelola
oleh PT. Jamsostek. Sekarang diperkirkan ada sebanyak satu juta tenaga kerja yang
ikut dalam program JPKTK tersebut. Beberapa asuransi kesehatan swasta juga mulai
berkembang di Indonesia (Tugu Mandiri, Bintang Jasa, dan lain-lain).
Yang menjadi isu dalam pengembangan sistem pembiayaan praupaya adalah
mencegah terjadinya efek samping, yaitu inflasi biaya, seperti yang terjadi di USA.
Masyarakat (DUKM), dan prinsip operasionalnya yang disebut Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Seperti diketahui, Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM), sudah diatur dalam UU No. 23/92
pasal 66. Menurut UU tersebut, " Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) adalah suatu cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang paripurna
berdasarkan azas usaha bersama dan kekeluargaan, yang berkesinambungan dan
dengan mutu yang terjamin serta pembiayaan yang dilaksanakan secara pra-upaya"
(Tim Pengajar Ekonomi Kesehatan, 2001).
Beberapa prinsip pokok dalam Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
(JPKM) tersebut, yang harus dilaksanakan oleh semua badan yang bergerak dalam
bidang pembiayaan kesehatan adalah penerapan prinsip gotong royong dua pihak
(biparties), sistem kapitasi dan sistem pelayanan terstruktur serta pengendalian mutu yang terarah. Uraian lebih lanjut tentang sistem pembiayaan praupaya ini
disampaikan sebagai bagian terpisah dalam makalah ini.
2.6 Community Financing
Untuk masyarakat berpendapatan rendah seperti di pedesaan, telah dilakukan
berbagai macam model mobilisasi dana masyarakat (community financing) yang di Indonesia dikenal sebagai Dana Sehat. Dana sehat merupakan suatu upaya
pemeliharaan kesehatan dari, oleh dan untuk masyarakat yang diselenggarakan
berdasarkan atas azas usaha bersama dan kekeluargaan dengan pembiayaan secara
pra-upaya dan bertujuan untuk meningkatkan taraf kesehatan masyarakat.6
Modelnya sangat bervariasi antara satu tempat dengan tempat lainnya. Prinsip
dasarnya adalah pengumpulan iuran secara teratur (biasanya setiap bulan) dari rumah
6
Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI www.depkes.go.id
tangga. Besarnya iuran biasanya ditetapkan secara musyawarah, yang dibicarakan
dalam forum desa atau forum tradisional. Dana yang terkumpul dipergunakan untuk
biaya berobat di difasilitas terdekat, misalnya Puskesmas Pembantu atau Puskesmas.
Sekarang ini yang diusahakan adalah bagaimana Dana Sehat yang telah
berkembang di banyak tempat bisa ditingkatkan lebih lanjut sehingga pelaksanaanya
mengikuti prinsip-prinsip Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM).
Lebih jauh lagi, ada pula model Dana Sehat yang dikaitkan dengan kegiatan
peningkatan ekonomi keluarga (income generating activities). 2.7 Investasi Swasta dalam Pelayanan Rumah Sakit
Di Indonesia, rumah sakit ternyata menyerap anggaran kesehatan pemerintah
dalam proporsi yang sangat besar. Dari sudut pandang "equity", keadaan ini menyebabkan adanya "misalokasi" subsidi Pemerintah. Kalau anggaran pemerintah
dapat dibebaskan dari rumah sakit, diharapkan subsidi tersebut akan lebih banyak
diberikan kepada masyarakat yang kurang mampu, yang umumnya tinggal di daerah
pedesaan (Tim Pengajar Ekonomi Kesehatan, 2001).
Membuka peluang yang lebih besar kepada modal swasta untuk mengelola
rumah sakit diperkirakan bisa menjadi jalan keluar masalah diatas. Namun beberapa
issue perlu dipecahkan, antara lain kemungkinan rumah sakit swasta menjadi "profit maximizing bussiness" dan merebut sumberdaya tenaga kesehatan sehingga sektor pemerintah, yang bertanggung jawab terhadap masyarakat tidak mampu, menjadi
makin berat tanggungannya.
Investasi swasta dapat pula dilakukan di rumah sakit milik pemerintah.
Barat. GE dan rumah sakit bersangkutan sepakat untuk bagi hasil selama tujuh
tahun. Selain itu, sebuah investor swasta membangun fasilitas rawat inap sebanyak
50 Tempat Tidur di RS yang sama.
Tidak dapat dihindari bahwa peranan sektor swasta akan bertambah besar,
yang disebabkan karena meningkatnya sosial ekonomi penduduk, jumlah
penduduk yang dilayani bertambah dan adanya kesadaran akan kualitas pelayanan
yang baik Tumbuhnya rumah sakit terutama di kota-kota besar, menyebabkan
tingkat kompetisi antar rumah sakit terutama swasta cukup tinggi.7 Dengan
tingkat kompetisi yang tinggi, maka akan diikuti dengan segala upaya setiap
rumah sakit untuk mempertahankan keberadaannya. Hanya rumah sakit yang
dapat menyediakan layanan yang bermutu dengan pembiayaan yang relatif rendah
dapat unggul dalam kompetisi ketat tersebut. Hal ini memacu adanya efisiensi
pengelolaan dan perbaikan kualitas pelayanan kesehatan baik di rumah sakit
swasta maupun pemerintah. Pernyataan tersebut membuktikan bahwa investasi
swasta dalam hal pelayanan kesehatan tidak mengurangi aksesibilitas masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan tersebut.
7Nani Iriyanti, 2001. Pengendalian Biaya Pelayanan Rumah Sakit.
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan uraian pada perumusan masalah telah dikemukakan bahwa
secara geografis, penduduk Kota Sukabumi relatif tidak memiliki masalah dalam
hal kemampuan mengakses sarana kesehatan. Hal ini terlihat dari rata-rata jarak
terjauh ke puskesmas adalah 2.5 km dengan rata-rata waktu tempuh 17.7 menit
dan kondisi keterjangkauan yang baik, bagi roda dua maupun roda empat (BPS
Kota Sukabumi, 2007). Akan tetapi secara ekonomis, aksesibilitas masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan tidak dapat sepenuhnya dinyatakan telah terjamin
dengan baik. Sekitar 66 persen dari 265,416 penduduk Kota Sukabumi tidak
memiliki Jaminan Kesehatan. Ketiadaan jaminan pelayanan kesehatan tersebut
diperkuat dengan pendapatan per kapita masyarakat Kota Sukabumi yang hanya
mencapai Rp 600,000 per bulan dibandingkan dengan DKI Jakarta yang sudah
mencapai Rp. 1000,000 per kapita per bulan8, menyebabkan rawannya
keterjangkauan masyarakat terhadap tarif pelayanan kesehatan.
8
Berangkat dari masalah tersebut, perumusan strategi pengelolaan
pembiayaan kesehatan masyarakat guna mewujudkan pembangunan kesehatan
secara merata dan menyeluruh akan menjadi bahasan utama dalam penelitian ini.
Sebagai langkah awal, akan diidentifikasi bagaimana pola pembiayaan kesehatan
masyarakat yang tidak memiliki JPK. Selanjutnya dengan menggunakan
pendekatan ATP (Ability to Pay) dan WTP (Willingness to Pay) dianalisis berapa keinginan dan kemampuan membayar masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
sebagai pertimbangan untuk menetapkan premi bagi masyarakat yang tidak
memiliki JPK. Selanjutnya besaran premi bagi masyarakat yang tidak memiliki
JPK ditentukan dengan formulasi yang digunakan departemen kesehatan dan
dengan tingkat utilitas atau tingkat penggunaan standar yang ditetapkan Depkes
serta berdasarkan pola pembiayaan masyarakat yang tidak memiliki Jaminan
Pelayanan Kesehatan (JPK) yang telah diidentifikasi pada tujuan pertama.
Akhirnya kebijakan dan strategi pengelolaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
bagi masyarakat yang belum memiliki JPK juga perlu diketahui dan dirumuskan
untuk menciptakan pola pengelolaan sistem asuransi kesehatan sebagai bentuk
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi masyarakat yang belum memiliki JPK
Identifikasi pola pembiayaan kesehatan masyarakat yang tidak memiliki JPK
Penentuan besaran premi bagi
masyarakat yang tidak memiliki JPK
Strategi Pembiayaan Kesehatan Masyarakat
66 % penduduk Kota Sukabumi tidak memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan
Rawan terhadap rendahnya aksesibilitas masyarakat secara ekonomis terhadap kesehatan
[image:38.595.36.562.83.678.2]Income per kapita Kabupaten Sukabumi Rp 600,000 Rata-rata jarak terjauh ke Puskesmas 2.5 km Analisis Kualitatatif dari hasil Focus Group Discussion dan Depth Interview)
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi Kajian Pola Pembiayaan Kesehatan Masyarakat yang tidak
Memiliki Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) dalam Mewujudkan Cakupan
Menyeluruh Asuransi Kesehatan dilaksanakan di Wilayah Kelurahan Waru
Doyong Kecamatan Waru Doyong Pemerintah Kota Sukabumi Jawa Barat.
Pemilihan wilayah tersebut karena pada Kelurahan Waru Doyong merupakan
Kecamatan Waru Doyong merupakan wilayah yang memiliki heterogenitas yang
tinggi. Waktu Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan terhitung mulai tanggal
dua Agustus sampai 30 Oktober 2006.
3..3. Metoda Pengambilan Sampel
Sasaran penelitian pada kajian adalah seluruh penduduk yang berada di
Wilayah Pemerintah Kota Sukabumi yang belum memiliki Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan. Pada kajian ini akan membandingkan data jumlah penduduk pada
kelompok tersebut yang tercatat di BPS dan Dinas Kesehatan dengan kondisi riil
di masyarakat. Hal ini diharapkan dapat memberikan Data yang riil tentang
jumlah penduduk yang belum memiliki Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.
Alasan pemilihan teknik sampel di atas adalah karena berdasarkan data
sekunder telah diketahui jumlah total populasi pada penelitian ini adalah seluruh
penduduk yang tidak memiliki asuransi kesehatan atau Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan (JPK) di Wilayah Pemerintah Kota Sukabumi yaitu sebesar 66 persen
atau sebanyak 43,563 Kepala Keluarga (KK). Teknik pengambilan sampel
menggunakan metoda Estimasi Proporsi dengan presisi relatif (Ariawan, 1998)
menggunakan rumus sebagai berikut :
Z2 – α/2 = (1 – P) / (E 2 x P)
Keterangan :
Z2 – α/2 = tingkat kepercayaan P = Presisi
E = Estimasi
yang digunakan adalah 50% dan estimasi yang digunakan adalah 10%. Sehingga
didapatkan jumlah sampel penelitian adalah sebanyak 96 Kepala Keluarga. Akan
tetapi karena wilayah penelitian hanya diambil dari satu Kelurahan yang
merupakan daerah lama Kota Sukabumi dan daerah pemekaran, serta untuk
melihat tingkat kemampuan dan kemauan membayar masyarakat dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan dan untuk melihat besaran premi asuransi
minimal yang harus dibayar masyarakat bila diberlakukan asuransi kesehatan,
maka besar sampel yang diambil adalah sampel minimal sebanyak 30 Kepala
Keluarga. Untuk mengantisipasi terjadinya kehilangan sampel pada waktu
pengukuran sehingga jumlah sampel minimal tidak terpenuhi, maka jumlah
sampel ditambah sebanyak 40 persen dari sampel minimal (Mardalis, 2002) dalam
(Wahyu, 2002) sehingga jumlah sampel yang disiapkan adalah 42 Kepala
Keluarga.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam kajian ini adalah
random sampling untuk melihat bagaimana pola pembiayaan masyarakat yang
belum memiliki Jaminan Pemeliharaan Kesehatan tersebut dan menggali berapa
rata-rata angka tingkat kesehatan masyarakat pada kelompok tersebut. Alasan
pengambilan teknik sampling tersebut mengingat jumlah populasi pada kelompok
masyarakat tersebut dan keterbatasan penelitian. Responden dipilih secara acak
dari sampling frame yang ada, yaitu daftar nama warga Kecamatan Warudoyong
yang belum memiliki asuransi.
3.4. Metoda Pengumpulan Data
Metoda pengambilan data yang digunakan adalah perolehan data primer
kelompok yang tidak memiliki Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dengan
menggunakan kuisioner dan melalui indepth interview serta FGD (Focus Group Discussion) dengan stakeholder yang terkait, terutama para pembuat keputusan. Disamping itu, data sekunder diperoleh dari laporan-laporan serta angka-angka
yang dikeluarkan oleh instansi yang terkait dengan penelitian ini yaitu BPS,
Bappeda, Rumah Sakit dan Dinas Kesehatan .
Kuisioner diperuntukan pada sampel yaitu masyarakat yang tidak memiliki
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan sedangkan laporan-laporan diperuntukan
membandingkan dengan data sasaran yang diperoleh dilapangan, indepth interview diperuntukan untuk menggali dari para pengambil kebijakan dan FGD guna memperoleh sistem dan tata kelola, strategi dan program Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Bagi Masyarakat tersebut. Metode pengambilan data
[image:41.595.106.514.473.789.2]dapat dilihat secara rinci pada Tabel 2.
Tabel 2. Metode Pengambilan Data
Variabel Definisi Operasional Sumber Data Alat Ukur
Jumlah Penduduk Kota Sukabumi
Adalah jumlah keseluruhan penduduk yang terdapatar di wilayah hukum Kota Sukabumi tahun 2005
Data Sekunder
Sumber Data BPS Kota Sukabumi
Format
Yang Tidak Memiliki Asuransi Kesehatan
Adalah angka jumlah penduduk di Kota Sukabumi yang tidak memiliki Identitas atau tidak terdaptar sebagai peserta asuransi kesehatan
Sumber Data : Dinkes dan BPS Kota Sukabumi
Format
Tingkat Prevalensi Adalah rata-rata kontak penduduk yang tidak memiliki asuransi kesehatan dengan sarana pelayanan kesehatan
Sumber Data : Data Sekunder (Dinkes,Rumah Sakit Pemerintah)
Format
Aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan
Adalah kemudahan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan baik jarak maupun keterjangkauan tarif
transportasi dan tarif layanan
Data Primer Kuesioner
Pola Pembiayaan Kesehatan
Adalah mekanisme
pembayaran pada saat kontak
dengan pelayanan kesehatan Ability to pay (ATP) Adalah jumlah uang dalam
rupiah yang mampu dibayarkan oleh
pasien/keluarga pasien untuk mengganti biaya pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Puskesmas/Rumah Sakit.
Data primer Kuesioner
Willingnes to pay (WTP)
Adalah jumlah uang dalam rupiah yang pasien/keluarga pasien mau/bersedia membayar setiap kali kunjungan ke pelayanan kesehatan dengan imbalan pelayanan pemeriksaan atau pengobatan yang diterima.
Data primer Kuesioner
3.5. Metoda Pengolahan Data
Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Analisis data mengunakan
pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Sistematika penelitian ini adalah terlebih
dulu melakukan pendekatan kuantitatif kemudian dilanjutkan dengan pendekatan
kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan untuk menghitung besaran premi rill,
mengukur kemampuan dan kemauan membayar peserta serta menilai persepsi
peserta terhadap pelayanan kesehatan (benefit package) yaitu dengan menggunakan pendekatan ATP (Ability to Pay) dan WTP (Willingness to Pay), sedangkan analisis kualitatif dilakukan dengan menganalisis data hasil indept interview FGD dalam menganalisis strategi dan kebijakan yang tepat untuk pengembangan dan pengelolaan Jaminan Kesehatan bagi masyarakat yang belum
memiliki asuransi kesehatan.
Metoda pengolahan data yang digunakan adalah content analysis, analisis data kualitatif untuk menganalisis data hasil indepth interview dan hasil FGD.
untuk mengetahui pola pembiayaan masyarakat yang tidak memiliki asuransi.
Secara ringkas, metode pengolahan data dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Metode Pengolahan Data
Tujuan Alat Analisis Data
1. Pola pembiayaan masyarakat Content Analysis dan analisis deskriptif
Profil Kesehatan Kota Sukabumi dan kuisioner
2. Kemauan masyarakat untuk membayar pelayanan kesehatan
Willingness to Pay Kuisioner
3. Kemampuan masyarakat untuk membayar pelayanan kesehatan
Ability to Pay melalui pendekatan
ATP 4 (5 persen pengeluaran bukan makanan
Kuisioner
4. Penentuan Premi Asuransi Pedoman penetapan premi Departemen Kesehatan
Standar utilitas nasional dan standar biaya kesehatan Kota Sukabumi
5. Strategi dan program
pengembangan jaringan kesehatan bagi masyarakat yang belum memiliki asuransi
Analisis kualitatif Hasil indepth interview dan FGD
3.5.1. Tingkat Kemampuan Membayar (Ability to Pay) dan Tingkat Kemauan Membayar (Willingness to Pay)
Tingkat kemampuan membayar (Ability to Pay) masyarakat terhadap pelayanan kesehatan merupakan salah satu pertimbangan utama dalam melakukan
penyesuaian tarif. Pada dasarnya Ability to Pay (ATP) merupakan proxy (ukuran tidak langsung) dari elastisitas harga. Tujuan utamanya adalah untuk melihat
berapa besar perubahan tarif dapat berubah terhadap utilisasi. Pendekatan ATP
memiliki beberapa kelebihan antara lain :
1. Data yang diperlukan relatif sederhana, terdiri dari pertanyaan-pertanyaan
mengenai pengeluaran rumah tangga
2. Analisis hanya melihat distribusi frekuensi dan tampilan hasil program
3. Penggunaannya juga sangat sederhana yaitu dengan membuat garis lurus
untuk mengetahui tingkat tarif yang dapat ditanggung oleh mayoritas
penduduk.
non essensial expenditure dan ATP essensial expenditure. Pengeluaran untuk bahan makan biasanya diukur dalam waktu mingguan, sedangkan pengeluaran
bukan makanan diukur secara bulanan dan tahunan. Yang termasuk barang tidak
essensial adalah belanja untuk rokok, tembakau, sirih minuman beralkohol,
kosmetik, rekreasi dan belanja hiburan lainnya.
Ada beberapa cara untuk menghitung ATP dengan beberapa alternatif yaitu :
1. Jumlah pengeluaran untuk bukan makanan (non food expenditure)
yang didapat dari masyarakat (ATP 1)
2. Jumlah pengeluaran untuk bukan makanan dikurangi pengeluaran
untuk pesta dan upacara adat (ATP 2)
3. Jumlah pengeluaran non essensial seperti minuman beralkohol, tembakau, sirih dan rokok dan bahan tahan lama (ATP 3)
4. Jumlah lima persen pengeluaran bukan makanan (ATP 4)
Asumsinya adalah kalau seseorang mampu mengeluarkan biaya untuk
barang-barang non essensial tentu ia mampu mengeluarkan biaya untuk pelayanan
kesehatan yang sifatnya essensial (Gani, 1998).
Konsep WTP berbeda dengan dengan ATP, WTP lebih mencerminkan nilai yang dianut oleh perilaku seseorang. Asumsinya adalah bahwa setiap orang atau
rumah tangga akan membuat keputusan secara rasional dalam menggunakan
sumber daya yang dimilikinya. Yang dimaksud rasional disini berarti
jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Kemauan membayar masyarakat
(Willingness to Pay) terhadap pelayanan kesehatan diperoleh dengan teknis survei yakni dengan pengandaian-pengandaian yang ditanyakan langsung kepada
masyarakat atau rumah tangga berapa dana yang tersedia dan mampu mereka
bayarkan untuk pelayanan kesehatan atau produk kesehatan tertentu.
Secara teoritis besarnya WTP tidak harus sama dengan ATP. Ada orang yang ATP nya besar, akan tetapi tidak mau membayar pelayanan kesehatan (WTP<ATP) . Sebaliknya ada orang yang ATP nya rendah, tetapi mampu meminjam uang untuk biaya kesehatannya (WTP>ATP). Dari kedua contoh tersebut menjelaskan bahwa di dalam nilai WTP (apa yang sudah pernah dikeluarkan untuk kesehatan) termasuk juga besarnya nilai ATP . Namun demikian dalam nilai WTP belum tentu semua nilai ATP sudah tercakup, yaitu bila selain nilai WTP, orang atau keluarga tersebut juga masih mengeluarkan biaya untuk hal-hal lain yang bersifat non essensial. Hal ini dapat dilihat dalam
perkiraan ATP dengan menggunakan data susenas, yang dimaksud dengan ATP
adalah WTP ditambah pengeluaran non essensial atau ATP = WTP + Non essensial expenditure. WTP diperoleh secara rata-rata dari data primer melalui wawancara terhadap responden tentang berapa dana yang mau dikeluarkan untuk
pelayanan kesehatan (Wahyu, 2002).
Pendekatan ATP yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
ATP 4 yaitu dihitung dari 5 persen dari pengeluaran bukan makanan sedangkan
pendekatan WTP dihitung dengan merata-ratakan tingkat kemauan membayar
masyarakat yang dapat diketahui dari hasil wawancara dengan responden.
masing-masing jenis pelayanan. Biaya perkapita setiap layanan tersebut diperoleh
dari perkalian tingkat penggunaan (mengikuti standar utilitas nasional) dengan
satuan biaya yang digunakan untuk menggunakan jenis pelayanan tersebut.
3.5.2. Penentuan Premi Asuransi
Dalam menghitung premi, ada beberapa langkah yang harus dilakukan
penghitungan premi bersih dan penghitungan premi bruto. Dalam penelitian ini
dibatasi hanya menghitung tingkat premi bersih, yaitu menetapkan perkiraan
biaya untuk setiap pelayanan kesehatan. Tingkat premi bersih menyatakan bagian
dari total tingkat premi yang dialokasikan hanya untuk membayar biaya pelayanan
kesehatan. Perkiraan biaya klaim atas suatu jenis pelayanan kesehatan merupakan
hasil kali dari probabilitas terjadinya pelayanan kesehatan (frekuensi) dan
perkiraan nilai nominal biaya pelayanan kesehatan tersebut (severity). Probabilitas terjadinya pelayanan kesehatan, dalam program jaminan pemeliharaan kesehatan
masyarakat, biasa disebut sebagai tingkat utilisasi (utilization rate). Sementara itu, perkiraan nilai nominal biaya pelayanan kesehatan biasa disebut biaya satuan
pelayanan (unit cost). Berikut ditunjukan teknik perhitungan tingkat utilisasi dan
biaya satuan.
Tingkat utilisasi merupakan peluang (probabilitas) kebutuhan seorang
peserta atas satu jenis pelayanan kesehatan. Jenis Pelayanan kesehatan dapat
ditetapkan sesuai dengan kebutuhan, kewajaran dan ketersediaan data yang
diperlukan. Jenis pelayanan rawat jalan, misalnya, dapat dianggap sebagai satu
paket pelayanan atau satu unit pelayanan. Apabila pelayanan rawat jalan dianggap
sebagai satu paket pelayanan, maka pelayanan rawat jalan diuraikan kedalam
penunjang, dan obat-obatan, keempat unsur pelayanan rawat jalan ini
masing-masing memiliki tingkat utilsasi yang mungkin berbeda-beda dan dihitung
sendiri-sendiri jika pelayanan rawat jalan dianggap sebagai satu unit pelayanan,
maka rawat jalan merupakan satu pelayanan terpadu yang tidak diuraikan dalam
unit-unit yang lebih kecil. Penentuan jenis unit pelayanan dalam menghitung
tingkat utilisasi berkaitan dengan karakteristik biaya dan administrasi biaya dari
unit pelayanan tersebut. Apabila biaya dari pelayanan rawat jalan dicatat dalam
pembukuan dicatat sebagai satu kesatuan yang tidak dapat diuraikan menjadi
bagian-bagian yang lebih kecil, maka unit pelayanan rawat jalan secara terpadu
lebih yang digunakan. Sebaliknya apabila biaya pelayanan rawat jalan dicatat
secara terperinci berdasarkan jenis unit pelayanan, seperti : biaya dokter, biaya
paramedis, biaya fasilitas penunjang dan biaya obat-obatan, misalnya maka
penentuan unit pelayanan secara terperinci yang digunakan. Tingkat utilisasi
dihitung berdasarkan rasio dari perkiraan jumlah kasus pelayanan kesehatan pada
suatu periode ( biasanya periode satu tahun ) tertentu atas jumlah rata-rata peserta
program pada periode yang sama. Pada penelitian ini tingkat utilitas yang
digunakan mengacu pada tingkat utilitas Nasional.
Biaya satuan merupakan biaya jenis pelayanan kesehatan. Jenis pelayanan
kesehatan dapat ditetapkan sesuai dengan kebutuhan, kewajaran dan ketersediaan
data yang diperlukan. Seperti dalam formulasi tingkat ultilisasi, jenis pelayanan
rawat jalan misalnya dapat dianggap sebagai satu paket pelayanan atau satu unit
pelayanan. Untuk menghitung biaya satuan dari masing-masing jenis pelayanan
dalam program jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat yang bersifat wajib
penyelenggara pelayanan kesehatan biasanya cukup banyak, jenis dan sifat
penyelenggaraan pelayanan kesehatan juga biasanya bervariasi, Rumah sakit
(Swasta dan Pemerintah), puskesmas, poliklinik swasta dokter praktek,
masing-masing memiliki karater biaya yang berbeda-beda, sehingga tidak dapat disama
ratakan, karena terdapat beberapa jenis tarif pelayanan kesehatan, maka biaya
pelayanan kesehatan yang digunakan seharusnya disesuaikan dengan pilihan
peserta bagi peserta yang memilih puskesmas sebagai Pemberian Pelayanan
Kesehatan (PPK) misalnya, maka tarif puskesmas digunakan sebagai biaya satuan
dengan demikian dalam satu wilayah mungkin terdapat beberapa jenis biaya
satuan jika i menyatakan jenis pelayanan kesehatan dan j menyatakan jenis tarif
PPK yang dipilih oleh peserta, maka biaya satuan dapat dinyatakan sebagai cij.
Seperti juga pada formulasi tingkat utilisasi, biaya satuan yang diperoleh biasanya
berdasarkan biaya satuan pada premi pelayanan kesehatan pada tahun lalu. Karena
yang diperlukan adalah biaya satuan pada tahun yang akan datang, maka perlu
dilakukan proyeksi atas biaya satuan. Jika cij menyatakan rata-rata biaya satuan
untuk jenis pelayanan kesehatan i pada tarif PPK jenis j pada tahun z dan hij
menyatakan perkiraan tingkat kenaikkan biaya satuan untuk jenis pelayanan
kesehatan i pada tarif PPK jenis j dari tahun z ke tahun z+1, maka pekiraan biaya
satuan untuk jenis pelayanan kesehatan I pada tarif PPK jenis j pada tahun Z+ 1
adalah Cij = hij . C’ij
Premi bersih merupakan bagian dari premi, yang dibayarkan oleh peserta,
yang semata-mata diperuntukan bagi biaya pelayanan kesehatan. Premi bersih
untuk suatu jenis pelayanan kesehatan merupakan hasil kali tingkat utilisasi jenis
Jika Ui. Menyatakan tingkat utilisasi untuk jenis pelayanan kesehatan i dan cij
menyatakan rata-rata biaya satuan untuk jenis pelayanan kesehatan i pada tarif
PPK jenis j, maka tingkat premi bersih untuk jenis pelayanan kesehatan i pada
tarif PPK jenis j dinyatakan sebagai.
Pij =ui . cij
Premi bersih (Pj) untuk seorang peserta merupakan jumlah premi bersih dari
semua jenis pelayanan kesehatan.
Pj =
∑
= ni Pij
1
3.6. Metoda Perancangan Program
Perancangan program merupakan kegiatan lanjutan dari kegiatan hasil
penelitian. Hasil penelitian Pola Pembiayaan Kesehatan Masyarakat yang Tidak
Memiliki Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dalam Mewujudkan Cakupan
Menyeluruh Asuransi Kesehatan di Kota Sukabumi dapat merupakan suatu
rancangan kebijakan dengan berbagai alternatif pemilihan strategi dalam
mewujudkan Masyarakat Kota Sukabumi yang terjamin oleh asuransi kesehatan.
Pembuatan program dalam penelitian ini didasarkan pada hasil strategi
pengembagan Jaminan Kesehatan Daerah melalui Focus Group Discussion dan
indepth Interview bersama pihak terkait. Dalam proses pembuatan program
tersebut ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:
1. Pembuatan program harus berdasarkan atas fakta yang objektif, rasional
dan pertimbangan-pertimbangan terhadap perkembangan kegiatan.
3. Program harus memenuhi komponen 5W + H yaitu What (Apa), Why
(Kenapa), Who (Siapa), Where (Dimana), When (Kapan) dan How
(Bagaimana).
4. Pembuatan program harus mempertimbangkan kebijaksanaan pemerintah
daerah.
5. Antara satu kegiatan dengan kegiatan yang saling mengisi dan berkaitan.
6. Tidak kaku dalam batas-batas tertentu sesuai dengan perkembangan.
7. Mudah dipahami dan penafsiran harus sama oleh pelaksana kegiatan.
Perencanaan program dalam pelaksanaannya belum tentu berjalan
dengan seharusnya, sehingga pemerintah harus dapat memperkecil
kendala-kendala yang datang baik dari dalam maupun dari luar. Kendala yang datang dari
dalam adalah berupa kurangnya pengertian dan pemahaman, kesadaran dan
tanggung jawab, waktu dan pendanaan, pola manajemen. Sedangkan yang datang
dari luar seperti peraturan/ketentuan-ketentuan (birokrasi) yang berlaku, faktor
sosial, politik dan ekonomi.
Kegiatan adalah suatu tindakan nyata yang dilaksanakan dalam jangka
waktu tertentu oleh instansi pemerintah sesuai dengan kebijakan dan program
yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan tertentu. Rencana kegiatan terdiri
dari pilihan-pilihan instansi pemerintah untuk melaksanakan metode, proses,
keterampilan, peralatan, dan sistem verja dalam rangka mengimplementasikan
program verja operacional yang telah dibuat dengan memperhatikan lingkungan
yang ada di organisasi, baik lingkungan internal maupun eksternal. Dalam
• Spesific artinya status kegiatan harus menggambarkan hasil yang spesifik yang
diinginkannya, memberikan arah dan tolok ukur yang jelas.
• Measureable artinya kegiatan harus dapat diukur, dapat dipastikan
waktu/tingkat pencapaiannya.
• Aggressive but attainable artinya statu kegiatan harus dijadikan standar
keberhasilan dalam satu tahun sehingga cukup menantang Namur masih dalam
tingkat keberhasilan.
• Result artinya kegiatan berorientasi kepada hasil yang ingin dicapai dalam
periode satu tahun.
• Time bound artinya kegiatan harus memiliki batas waktu
Agar rancangan program tersebut dapat secara nyata meningkatkan dan
mewujudkan keterjaminan kesehatan masyarakat, maka untuk mewujudkan
program usulan tersebut sebagai langkah awal perlu dilakukan pendekatan dan
sosialisasi kepada Pemerintah Daerah mengenai program tersebut beserta manfaat
dan dampaknya terhadap masyarakat secara khusus terhadap kesehatan
masyarakat. Hal tersebut dilakukan karena sasaran utama dari penelitian ini adalah
pembuat kebijakan yakni pemerintah daerah setempat yang berwenang, agar hasil
penelitian ini, dimana strategi dan formulasi kebijakan yang menjadi outputnya,
dapat diimplementasikan dan tujuan peningkatan kesehatan masyakatan dapat
3.7. Keterbatasan Penelitian
Ada beberapa hal yang menjadi keterbatasan penelitian ini yaitu dari aspek
waktu penelitian. Untuk melihat data kecenderungan akan lebih lengkap bila
data yang disajikan adalah dalam jumlah sesuai dengan jumlah sampel yang
direkomendasikan, tetapi hal tersebut tidak terpenuhi karena keterbatasan
peneliti dan keterbatasan dalam pengumpulan data. Berdasarkan cara penentuan
premi dalam penelitian ini terdapat beberapa perbedaan dan hambatan dalam
menentukan cara-cara penentuan premi seperti yang telah dijelaskan di bab
sebelumnya.
Pada penentuan premi belum mencerminkan biaya overhead dan biaya obat yang real serta bahan habis pakai sehingga total biaya masih harus
diperkirakan dengan penambahan biaya-biaya tersebut. Sedangkan seharusnya
penentuan premi sudah dapat memberikan hasil dengan sudah memasukkan
komponen biaya pengembangan sebagai tambahan untuk biaya operasional serta
utilisasi yang sesungguhnya dengan tarif berdasarkan biaya satuan pelayanan
dan sudah diproyeksikan untuk antisipasi kenaikan tarif ke depan.
Keterbatasan penelitian lain adalah bahwa tidak dilakukannya penelitian
ini untuk seluruh masyarakat serta tahap simulasi dan skenario untuk
BAB IV
GAMBARAN UMUM KOTA SUKABUMI 4.1. Profil Wilayah
Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada
koordinat 106045’50” Bujur Timur dan 106049’29” Lintang Selatan dan 6050’44”
Lintang Selatan. Terletak di kaki Gungung Gede dan Gunung Pangrango yang
ketinggiannya mencapai 584 m diatas permukaan laut, dengan suhu maksimum
290 C. Kota Sukabumi merupakan wilayah yang strategis yakni berjarak 120 Km
dari Ibukota Negara (Jakarta) dan 96 Km dari Ibukota Propinsi (Bandung). Kota
Sukabumi terdiri dari 7 kecamatan yaitu Kecamatan Baros, Citamiang,
Warudoyong, Gunung Puyuh, Cikole, Lembur Situ, dan Cibeureum yang terdiri
dari 33 kelurahan seluas 4800.23. Kecamatan dengan luas wilayah terbesar yaitu
Kecamatan Cibeureum (889.763 ha) sedangkan kecamatan dengan luas terkecil
yaitu Kecamatan Citamiang (404.00 ha).
4.2.Orientasi Wilayah
Secara geografis wilayah Kota Sukabumi mempunyai luas wilayah 49.81 km2
dengan batas-batas sebagai berikut :
• Batas Utara : Kabupaten Sukabumi
• Batas Selatan : Kabupaten Sukabumi
• Batas Timur : Kabupaten Sukabumi
4.3. Penduduk
4.3.1. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk
Perkembangan dari tahun ke tahun di antara kecamatan-kecamatan yang
termasuk ke dalam wilayah Kota Sukabumi, kecamatan yang mempunyai
perkembangan penduduk terbesar adalah Kecamatan Gunung Puyuh dan yang
terkecil adalah Kecamatan Cikole dan Warudoyong. Berdasarkan hasil
rekapitulasi registrasi penduduk tahun 2002, penduduk Kota Sukabumi meningkat
menjadi 259.045 jiwa (data termuat dalam Renstra Kota Sukabumi tahun
2003-2008). Kemudian semakin meningkat lagi pada tahun-tahun berikutnya. Berikut
adalah perkembangan penduduk Kota Sukabumi 2003 – 2006.
240000 250000 260000 270000 280000 290000 300000
Tahun 2002 Tahun 2003 Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006
[image:54.595.98.501.118.736.2]Sumber: Jawa Barat dalam Angka (diolah)
Gambar 2. Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Sukabumi 2002-2006
Penduduk Kota Sukabumi tersebar hampir merata diseluruh kecamatan di
Kota Sukabumi. Di Kecamatan Cikole terdapat sekitar 19.96 persen penduduk dan
Kecamatan Warudoyong terdapat 18.15 persen. Adapun persentase penduduk
terkecil terdapat di Kecamatan Cibeureum yakni sebesar 9.78 persen. Berikut
adalah grafik persentase penduduk Kota Sukabumi menurut Kecamatan.
14% 18% 11% 20% 10% 17% 10% Gunung puyuh Warudoyong
Lem bur situ
Cikole
Baros
Citam iang
Cibeureum
[image:55.595.98.500.47.829.2]Sumber: Selayang Pandang Kota Sukabumi (2008)
Gambar 3. Persentase Jumlah Penduduk Kota Sukabumi Menurut Kecamatan Tahun 2008
Kecamatan dengan tingkat kepadatan tertinggi yaitu Kecamatan Citamiang
(10.430 jiwa/ km2), sedangkan kecamatan dengan tingkat kepadatan terendah
yaitu Kecamatan Cibeureum (2.764 jiwa/ km2).
4.3.2. Tenaga Kerja
Masyarakat Kota Sukabumi memiliki mata pencaharian yang beragam,
mulai dari bidang primer, sekunder dan tersier. Berikut merupakan persentase
penduduk menurut tenaga kerja.
5% 15% 8% 29% 6% 4% 32% 1% Tenaga Profesional Tenaga Kepemimpinan
Pejabat Pelaksana dan Tenaga Tata Usaha
Jenis Tenaga Penjualan
Tenaga Tata Usaha (administrasi
Pertanian
Produksi
TNI dan Lainnya
Sumber : BPS Jabar (diolah)
Berdasarkan