III. BAHAN DAN METODE
3.4 Rancangan Percobaan Dan Analisa Data
3.4 Rancangan Percobaan Dan Analisa Data
1. Pembuatan Arang Aktif
Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua kali ulangan. Faktor perlakuan yang digunakan adalah:
A = Konsentrasi H3PO4 0% (A1), 5% (A2) dan 10% (A3). B = Suhu aktivasi, yaitu; 700 oC (B2), dan 800 oC (B3) C = Waktu aktivasi, yaitu; 1 jam (C1) dan 2 jam (C2)
Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Yijkl = µ + Ai + Bj + (AB)ij + Ck + (AC)ik + (BC)jk + (ABC)ijk + εijk
Yijkl = Pengamatan karena pengaruh bersama taraf ke-i faktor A, taraf ke- j faktor B, dan taraf ke-k faktor C, yang terdapat pada ulangan ke-l µ = nilai rataan umum
Ai = Pengaruh perlakuan A pada taraf ke-i
Bj = Pengaruh sebenarnya perlakuan B pada taraf ke-j Ck = Pengaruh sebenarnya perlakuan C pada taraf ke-k
ABij = Pengaruh sebenarnya interaksi antara taraf ke-i faktor A dengan taraf ke-j faktor B
ACik= Pengaruh sebenarnya interaksi antara taraf ke-i faktor A dengan taraf ke-k faktor C
BCjk= Pengaruh sebenarnya interaksi antara taraf ke-j faktor B dengan taraf ke-k faktor C
ABCijk = Pengaruh sebenarnya interaksi antara taraf ke-i faktor A, taraf ke-j faktor B dan taraf ke-k faktor C
εijkl = Pengaruh sebenarnya daripada unit eksperiment ke- l dikarenakan
oleh kombinasi perlakuan.
Jika hasil analisis sidik ragam menunjukkan perbedaan nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan (Sudjana 1980).
2. Aplikasi Arang Aktif pada Minyak Nyamplung
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap yang membandingkan arang aktif dan bentonit dengan perlakuan masing-masing 0, 5, 10, 15, dan 20%.
Model rancangan yang digunakan adalah;
Yij = µ + τi + εij
Yij = mutu minyak ke- j oleh karena perlakuan ke- i (i = 0,5,10,15,20) µ = Pengaruh rata-rata sebenarnya
τi = Pengaruh konsentrasi rata-rata arang aktif pada taraf ke-i
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Kimia Tempurung Biji Nyamplung
Hasil analisis kimia tempurung biji nyamplung dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rataan sifat fisiko kimia tempurung biji nyamplung
Parameter Konsentrasi (%)
Kadar Air 9,97
Kadar Abu 0,61
Kadar Ekstraktif 2,59
Kadar Holoselulosa 87,64
Kadar Alpha selulosa 48,66
Kadar Pentosan 24,82
Kadar Lignin 36,69
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa tempurung nyamplung yang digunakan dalam penelitian ini cukup kering dengan kadar air 9,97%. Kadar holoselulosa tempurung adalah 87,64%. Holoselulosa merupakan karbohidrat dalam kayu yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan pektin. Hasil ini lebih besar dari polisakarida kayu pada umumnya yang berkisar antara 65-75% (Fengel dan Wegener 1995). Hal ini menunjukkan bahwa tempurung nyamplung dapat dikonversi menjadi arang atau arang aktif. Hal ini sesuai dengan pendapat Asano
et al. (1999), bahwa bahan baku pembuatan arang adalah bahan yang mengandung karbon baik organik maupun anorganik.
Tempurung nyamplung mempunyai α selulosa sebesar 48,66% dan kadar hemiselulosa yang ditentukan sebagai pentosan sebesar 24,82%. Selulosa α
digunakan sebagai penduga atau penentu tingkat kemurnian selulosa. Hemiselulosa merupakan heteropolisakarida yang tersusun dari 5 jenis gula yaitu 3 heksosa (glukosa, manosa dan galaktosa) dan 2 pentosa (xilosa dan arabinosa) (Ahmadi 1990).
Kandungan abu tempurung biji nyamplung cukup rendah yaitu 0,61%. Sementara itu kadar ekstraktif tempurung nyamplung yang larut dalam alkohol benzena adalah 2,59%. Zat ekstraktif terdiri dari berbagai jenis komponen senyawa organik seperti minyak atsiri, terpenoid, steroid, lemak, lilin, fenol (stilben, lignan, tanin terhidrolisis, tanin kondensasi, flavonoid) (Sjostrom 1998), beberapa zat ekstaktif tempurung nyamplung yang teridentifikasi dapat dilihat pada Lampiran 3.
Lignin merupakan zat organik polimer yang penting dan banyak terdapat dalam tumbuhan tingkat tinggi. Terdapat dalam lamela tengah dan dinding sel primer. Lignin dapat meningkatkan sifat kekuatan mekanik pada tumbuhan untuk berdiri kokoh (Fengel dan Wagener 1995). Kadar lignin dalam tempurung nyamplung adalah 36,69 %. Kadar lignin tersebut lebih tinggi dari kadar lignin dalam kayu pada umumnya yang berkisar antara 20 – 25%. Adanya lignin yang cukup tinggi dalam tempurung menyebabkan tempurung berstruktur kokoh dan keras.
4.2. Struktur Tempurung Nyamplung, Arang dan Arang Aktif 4.2.1. Gugus fungsi
Gugus fungsi tempurung nyamplung dianalisa menggunakan Fourier Transform Infra Red (FT-IR). Perubahan gugus fungsi tempurung, arang dan arang nyamplung yang disebabkan oleh pengaruh suhu karbonisasi, dan lama aktivasi arang dapat dilihat pada Gambar 4 dan Tabel 2.
Bilangan Gelombang (Cm -1)
Keterangan :
A1 = Konsentrasi H3PO4 0% S1 = Suhu 700 oC W1 = Waktu aktivasi 60 menit A2 = Konsentrasi H3PO4 5% S2 = Suhu 800 oC W2 = Waktu aktivasi 120 menit A3 = Konsentrasi H3PO4 10%
Gambar 4. Spektrum FT-IR tempurung nyamplung, arang dan arang aktif Berdasarkan Gambar 4 dan Tabel 2, dapat dilihat bahwa spektrum FTIR tempurung nyamplung mempunyai pita serapan pada bilangan gelombang 3430 cm-1 yang merupakan gugus fungsi OH, yang diperkuat dengan adanya pita serapan pada 1323 cm-1 yang merupakan OH bending dan 1109 cm-1 yang menunjukkan adanya vibrasi C-O dari OH sekunder. Serapan pada 2922 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi C-H (stretching/regangan) alifatik, juga serapan pada bilangan gelombang 1462 dan 896 cm-1 yang menunjukkan vibrasi asimetris C-H. Pita serapan pada 1741 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi regangan gugus C=O. dan diperkuat pita serapan 1251 cm-1 yang merupakan gugus C-O. Kemudian
terdapat ikatan C=C cincin aromatik pada bilangan gelombang 1511 cm-1, dan terdapat vibrasi C=C alifatik yang ditunjukkan dengan adanya pita serapan pada bilangan gelombang 1624 cm-1 dan pita serapan 1161 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi C-O-C yang merupakan struktur eter yang mempunyai 6 cincin. Selanjutnya pita serapan pada 1034 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi C-O dari C-OH primer. Hasil ini sesuai dengan penelitian Bilba dan Quensanga (1996); Serrano et al (1999); dan Pari (2004).
Tempurung nyamplung banyak mengandung senyawa kimia yang mempunyai ikatan hidroksil OH, seperti dibuktikan dari besarnya serapan absorban pada bilangan gelombang 3430, 1323 dan 1109 cm-1 (Lampiran 2) serta hasil analisis GC-MS Pyrolisis yang menunjukkan adanya senyawa asam asetat, furfuryl alkohol, keton, cyclopentanadion, senyawa phenol, pyrocatechol dan senyawa lainnya (Lampiran 3).
Sementara itu hasil analisi FT-IR pada arang tempurung nyamplung dapat dilihat bahwa telah terjadi perubahan pola spektrum serapan infra red (IR) dari tempurung nyamplung menjadi arang yaitu terjadi pergeseran bilangan gelombang dari 3430 cm-1 ke 3429 cm-1, 2922 cm-1 ke 2920 cm-1 , 1377 cm-1 ke 1378 cm-1, 1251 cm-1 ke 1256 dan bilangan gelombang 896 cm-1 ke 871 cm-1. Kemudian terdapat bilangan gelombang yang hilang yaitu pada 1741, 1624, 1462, 1323, 1161, 1109, 1034 cm-1, dan terbentuknya serapan baru pada bilangan gelombang 2855 cm-1 yang merupakan vibrasi C-H regangan dari gugus metil (CH3) dan metilen (CH2), serta munculnya serapan baru pada 810 dan 751 cm-1 yang merupakan C-H aromatik. Proses karbonisasi dan aktivasi juga telah membentuk ikatan C=C aromatik di sekitar 1558-1580 cm-1. Hal ini membuktikan bahwa karbonisasi dan aktivasi akan meningkatkan senyawa aromatik. Senyawa tersebut merupakan penyusun struktur heksagonal arang dan arang aktif (Pari 2004).
Berdasarkan analisis besaran absorban (Lampiran 2), dapat diketahui bahwa tingkat serapan (absorban) arang pada bilangan gelombang 3429 cm-1 hanya sekitar 1,619, lebih rendah dari absorban tempurung nyampung pada bilangan gelombang 3430 cm-1 yang mempunyai absorban 2. Sementara itu pada bilangan gelombang sekitar 2900 cm-1 terjadi kecenderungan peningkatan serapan (absorban) pada arang dan arang aktif. Hal ini membuktikan bahwa
karbonisasi dengan suhu yang semakin tinggi akan mengakibatkan perubahan gugus fungsi yaitu terjadinya pergeseran, hilangnya bilangan gelombang serapan atau tingkat serapannya berkurang dan terbentuknya senyawa radikal tidak stabil yang selanjutnya bereaksi membentuk senyawa baru (Pari 2004; Demirbas 2005). Tabel 2. Bilangan gelombang tempurung nyamplung, arang dan arang aktif
No Bahan baku Bilangan gelombang (cm-1)
1 Tempurung 3430 2922 1741 1624 1511 1462 1377 1323 1251 1161 1109 1034 896 2 Arang 3429 2920 2855 2366 2341 1580 1378 1256 871 810 751 Arang Aktif 3 A1S1W2 3431 2920 2853 2361 2337 1630 1459 1160 1059 874 671 4 A1S2W1 3433 2921 2853 2361 2337 1631 1559 1461 1161 1058 899 873 670 615 5 A1S2W2 3428 2920 2854 2361 2337 1630 1558 1461 1162 1057 874 708 671 6 A2S2W2 3420 2919 2850 2361 2337 1630 1560 1057 672 7 A3S1W1 3429 2919 2853 2361 2337 1632 1559 1112 670 8 A3S1W2 3429 2921 2852 2388 2346 1623 1561 1107 880 616 9 A3S2W2 3416 2918 2849 2360 2325 1563 1094 1066 604 Keterangan :
A1 = Konsentrasi H3PO4 0% S1 = Suhu 700 oC W1 = Waktu aktivasi 60 menit A2 = Konsentrasi H3PO4 5% S2 = Suhu 800 oC W2 = Waktu aktivasi 120 menit A3 = Konsentrasi H3PO4 10%
Adanya uap air pada proses aktivasi arang aktif dan pada saat penghalusan arang aktif untuk persiapan sampel, ternyata masih berperan dengan teridentifikasinya gugus OH pada arang aktif. Gugus tersebut dapat berasal dari reaksi antara uap air dengan senyawa bebas pada permukaan arang yang diaktivasi dan bukan berasal dari bahan baku tempurung nyamplung. Hal ini dibuktikan dengan tingkat serapan arang aktif pada bilangan gelombang sekitar
3400 cm-1 yang cenderung kembali meningkat dari absorban 1,619 (arang) menjadi 2 pada arang aktif, meskipun beberapa diantaranya berfluktuatif (Lampiran 2).
Arang aktif yang dihasilkan memiliki pola serapan dengan jenis ikatan OH, C-H, C-O, dan C=C. Adanya ikatan OH dan C-O serta hasil GCMS (Lampiran 3), yang mendeteksi adanya senyawa carbamic acid dan propinoic acid yang mengandung gugus karbonil (C=O) dan gugus hidroksil (OH), maka arang aktif akan cenderung bersifat lebih polar, meskipun masih terdapat ikatan C=C yang bersifat non polar.
4.2.2 Identifikasi Pola Struktur Kristalit
Analisis X-ray Difraktometer (XRD) bertujuan untuk mengetahui struktur kristalit suatu bahan yaitu derajat kristalinitas (X), jarak antar lapisan (d), tinggi (Lc), lebar (La) antar lapisan aromatik dan jumlah (N) lapisan aromatiknya. Prinsip X-ray diffraction adalah; pada waktu suatu material dikenai sinar X, maka intensitas sinar yang diteruskan atau ditranmisikan akan lebih rendah dari intensitas sinar datang. Hal ini disebabkan adanya penyerapan oleh material dan juga penghamburan oleh atom-atom dalam meterial tersebut. Berkas sinar X yang dihamburkan tersebut ada yang saling menghilangkan karena fasanya berbeda dan ada juga yang saling menguatkan karena fasanya sama. Berkas sinar X yang saling menguatkan itulah yang disebut sebagai berkas difraksi. Hasil analisis XRD tempurung, arang dan arang aktif tempurung nyamplung disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 5.
Dari Tabel 3 dapat diketahui derajat kristalit tempurung nyamplung lebih rendah dari kristalit arang yaitu 18,92% dan 20,21%, selain itu terjadi pergeseran intensitas sudut difraksi dari θ 22,5 menjadi θ 22,8 serta terbentuknya sudut baru di θ 44,2. Ini menunjukkan bahwa karbonisasi tempurung nyamplung dapat meningkatkan derajat kristalinitas dengan struktur kristalit yang berbeda. Menurut Pari (2004) pada bahan baku, struktur kristalit didominasi oleh struktur kristalit selulosa, sedangkan pada arang, struktur kristalit terbentuk dari senyawa karbon yang membentuk lapisan heksagonal.
Tabel 3. Struktur kristalin dan lapisan aromatik pada bahan baku, arang dan arang aktif tempurung nyamplung
No Perlakuan X (%) θ(002) (o) d (nm) θ(100) (o) d (nm) Lc (nm) N La (nm) 1 Tempurung 18,92 22,50 0,3948 - - - - - 2 Arang 20,21 22,80 0,3896 44,20 0,2047 1,412 6,90 25,964 3 A1S1W1 23,49 25,43 0,3500 42,95 0,2104 1,548 7,36 7,755 4 A1S1W2 24,36 24,50 0,3630 43,00 0,2101 1,674 7,97 6,712 5 A2S1W1 23,72 24,98 0,3561 43,86 0,2062 1,554 7,54 9,592 6 A2S1W2 23,86 25,56 0,3482 43,98 0,2057 1,779 8,65 8,542 7 A3S1W1 24,62 24,47 0,3635 43,13 0,2095 1,312 6,26 7,847 8 A3S1W2 23,33 24,41 0,3643 44,01 0,2055 1,737 8,45 8,868 9 A1S2W1 30,89 25,55 0,3483 42,93 0,2105 1,678 7,97 6,979 10 A1S2W2 29,65 25,64 0,3471 42,77 0,2112 1,611 7,63 6,643 11 A2S2W1 24,95 24,03 0,3700 44,05 0,2054 1,614 7,86 8,758 12 A2S2W2 26,14 24,77 0,3591 42,99 0,2102 1,693 8,05 7,756 13 A3S2W1 28,08 24,45 0,3637 43,89 0,2061 1,786 8,67 8,336 14 A3S2W2 27,66 24,75 0,3594 44,25 0,2045 1,693 8,28 8,249 Keterangan :
A1 = Konsentrasi H3PO4 0% S1 = Suhu 700 oC W1 = Waktu aktivasi 60 menit A2 = Konsentrasi H3PO4 5% S2 = Suhu 800 oC W2 = Waktu aktivasi 120 menit A3 = Konsentrasi H3PO4 10%
Dari data pada Tabel 3, dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi suhu aktivasi cenderung semakin meningkatkan derajat kristalinitas diikuti semakin tingginya lapisan aromatik (Lc) tetapi menyebabkan lebar antara lapisan aromatik (La) semakin rendah. Semakin lama waktu aktivasi menyebabkan derajat kristalinitas semakin berkurang diikuti semakin tingginya tinggi (Lc) dan lebar antar lapisan aromatik (La).
Keterangan :
A1 = Konsentrasi H3PO4 0% S1 = Suhu 700 oC W1 = Waktu aktivasi 60 menit A2 = Konsentrasi H3PO4 5% S2 = Suhu 800 oC W2 = Waktu aktivasi 120 menit A3 = Konsentrasi H3PO4 10%
Gambar 5. Difraksi sinar x tempurung nyamplung, arang dan arang aktif
Tempurung Arang A1S1W1 A1S1W2 A2S1W1 A2S1W2 A3S1W1 A3S1W2 A2S2W1 A2S2W2 A3S2W1 A3S2W2 A1S2W1 A1S2W2
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Schukin et al. (2002); Pari (2004) dan Gani (2007) yang menyimpulkan bahwa peningkatan suhu karbonisasi akan meningkatkan derajat kristalinitas arang aktif. Peningkatan kristalinitas terjadi karena adanya penyusutan struktur kristalit arang yang semakin teratur, dimana akan menghasilkan celah diantara kristalit semakin lebar dan pori yang terbentuk bertambah besar (Pari 2004).
Sementara itu aktivasi arang tanpa H3PO4 menunjukkan kecendrungan peningkatan derajat kristalinitas sejalan dengan meningkatnya suhu aktivasi, tetapi cenderung turun dengan semakin lamanya waktu aktivasi. Aktivasi arang dengan H3PO4 5% menunjukkan kecenderungan peningkatan derajat kristalinitas sejalan dengan meningkatnya suhu dan waktu aktivasi. Aktivasi arang dengan H3PO4 10% menunjukkan kecendrungan yang sama dengan aktivasi tanpa H3PO4 yaitu derajat kristalinitas meningkat bila suhu naik, tetapi turun bila waktunya semakin lama. Derajat kristalinitas tertinggi diperoleh pada perlakuan aktivasi tanpa H3PO4 atau 0%, suhu 800 oC dan waktu aktivasi 60 menit yaitu sebesar 30,89%, dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Lebih rendahnya derajat kristalinitas arang aktif yang menggunakan H3PO4 5% dan 10% dapat terjadi karena adanya reaksi oksidasi dan reduksi antara bahan baku dengan asam fosfat dimana asam fosfat tereduksi menjadi fosfat anhidrida yang bersifat dapat menarik uap air (Sudradjat dan Suryani 2002). Sifat higroskopis tersebut diduga lebih memudahkan penyerapan uap air dari ketel uap sehingga lebih melindungi arang aktif dari panas.
Hasil analisis XRD menunjukkan derajat kristalinitas tempurung nyamplung lebih rendah dibandingkan dengan bahan berlignoselulosa lainnya (Tabel 4). Rendahnya kristalit diduga dipengaruhi oleh kadar lignin yang cukup tinggi yaitu sebesar 36,59%. Hal ini dimungkinkan karena lignin merupakan senyawa aromatik dengan struktur dasar bersifat amorf, kaku dan rapuh (Pari 2004; Tarmansyah 2007). Sehingga adanya kandungan lignin diduga dapat menurunkan derajat kristalinitas dalam bahan. Tabel 4 berikut menyajikan feneomena tersebut.
Tabel 4. Derajat kristalinitas beberapa bahan berlignoselulosa Karakteristik
(%)
Sengon Jati Rami Pulp bambu Selulosa Murni Lignin murni Tempurung Nyamplung Selulosa 49,4a 47,5a 80-90d 40-50 - - 48,66 Holoselulosa 75,76b 77,46 b - - - - 87,64 Lignin 26,8a 29,9a 0,5-1d - - - 36,69 Pentosan 15,6a 14,4a 3-4d - - - 24,82 Derajat kristalinitas 38,8c 34,9c 72d 59,9e 51,7c 4,3c 18,92
Keterangan : a. Martawijaya et al. 1981, b. Irawaty 2006, c. Pari 2004, d. Tarmansyah 2007, e. Fengel dan Wegener 1995.
Tabel 4 memperlihatkan bahwa kayu sengon dengan kadar selulosa 49,4% dan lignin 26,8 % mempunyai derajat kristalinitas sebesar 38,8%, sementara itu pada pulp bambu dengan lignin yang sudah dihilangkan mempunyai derajat kristalinitas sebesar 59,9%. Hal ini menunjukkan bahwa bahan yang mengandung selulosa relatif tinggi dan mempunyai kadar lignin yang juga relatif tinggi, dapat mempunyai derajat kristalinitas yang lebih rendah, dibandingkan bahan dengan kandungan selulosa yang sama, tetapi kadar ligninnya relatif rendah.
4.2.3 Struktur Pori Tempurung Nyamplung, Arang dan Arang Aktif
Analisis struktur permukaan pori dilakukan menggunakan Scaning Electron Microscope (SEM). Analisis ini bertujuan untuk mengetahui topografi permukaan suatu bahan akibat perubahan suhu karbonisasi dan aktivasinya. Hasil analisi SEM dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 6.
Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa tempurung nyamplung yang belum dikarbonisasi tidak menunjukkan adanya pori-pori yang terbuka (Gambar 6). Setelah proses karbonisasi tempurung menjadi arang, mulai terbentuk pori-pori dengan diameter 0,667 – 4,444 μ, tetapi masih didominasi pori beridiameter < 5 μ.
Tabel 5. Diameter pori tempurung nyamplung, arang dan arang aktif
No. Bahan Diameter Pori (μ)
Persentase Diameter Pori (%)
Baku Minimal Maksimal < 5 μ 5-15 μ > 15 μ
1. Arang 0,667 4,444 100 - - Arang aktif 2. A1S1W1 0,44 3,33 100 - - 3 A1S1W2 0,44 8,22 94,59 5,41 - 4 A1S2W2 0,5 6,56 98,28 1,74 - 5. A2S1W1 0,6 9,67 99,63 0,37 - 6. A2S1W2 0,53 7,6 98,2 1,8 - 7. A3S1W1 0,365 10 94,64 5,37 - 8 A3S1W2 0,36 9,78 93,5 6,49 - 9 A2S2W1 0,4 9,38 95,86 4,14 - 10. A2S2W2 0,5 10,5 92,38 7,62 - 11 A3S1W1 0,44 9,56 86,08 13,91 - 12. A3S2W2 0,48 9,76 82,88 17,12 - Keterangan :
A1 = Konsentrasi H3PO4 0% S1 = Suhu 700 oC W1 = Waktu aktivasi 60 menit A2 = Konsentrasi H3PO4 5% S2 = Suhu 800 oC W2 = Waktu aktivasi 120 menit A3 = Konsentrasi H3PO4 10%
Berdasarkan Gambar 6 dan Tabel 5, dapat diketahui bahwa aktivasi arang menjadi arang aktif cenderung menyebabkan peningkatan jumlah dan diameter pori. Selain itu penggunaan asam phosphat pada konsentrasi 10% telah membuka pori-pori menjadi lebih besar dan membuka pori-pori berukuran kecil. Hal ini menunjukkan bahwa asam phosphat dapat mengurangi senyawa hidrokarbon yang masih menempel pada permukaan arang.
Tempurung Arang 0%, 700 oC /60 0%, 700 oC/120 0%, 800 oC/120 5%, 700 oC/60 5%, 700 oC/120 10%, 700 oC/60
10%, 700 oC/120 5%, 800 oC/60
5%, 800 oC/120 10%, 800 oC/60
10%, 800 oC/120
Keterangan :
0% = Konsentrasi H3PO4 0% 700 oC & 800 oC = Suhu 60 & 120 = Waktu aktivasi 5% = Konsentrasi H3PO4 5%
10% = Konsentrasi H3PO4 10%
Gambar 6. Struktur permukaan tempurung nyamplung, arang dan arang aktif pada penampang atas dengan pembesaran 2000x
Menurut Novicio et al. (1998), terbentuknya pori karena adanya penguapan zat terbang dari bahan baku karena adanya proses karbonisasi. Karbonisasi telah menyebabkan komponen bahan terdegradasi menghasilkan produk gas (CO, CO2, hidrogen dan metan), produk cair (tar, hidrokarbon, cuka kayu, air) dan produk padatan yaitu arang (Vigouroux 2001 dalam Darmawan
2008). Hasil analisis menunjukkan bahwa zat terbang arang cukup tinggi yaitu 19,85 (Tabel 6). Hal ini sesuai dengan hasil GCMS Pyrolisis, dimana terdapat sekitar 40 komponen zat terbang, dan selanjutnya zat terbang tersebut semakin berkurang jumlahnya seiring meningkatnya suhu aktivasi (Lampiran 3). Secara keseluruhan arang dan arang aktif tempurung nyamplung termasuk ke dalam struktur makropori, karena mempunyai diameter pori lebih dari 0,025 μ.
4.3. Mutu Arang dan Arang Aktif Tempurung Nyamplung 4.3.1 Sifat Arang
Karbonisasi tempurung nyamplung dilakukan menggunakan retort atau reaktor pirolisis (Gambar 1). Rendemen rata-rata arang tempurung nyamplung yang dihasilkan adalah 37,22 % (Tabel 6). Rendemen arang bergantung pada jenis bahan baku dan teknik pengolahan yang dilakukan. Menurut Sudardjat dan Soleh (1994), teknik karbonisasi menggunakan retort dapat memberikan rendemen yang lebih tinggi yaitu 25 – 30%, dibandingkan teknik pengarangan menggunakan kiln 20 – 25%. Hal ini disebabkan pada cara retort, sumber pemanasan selain berasal dari bahan yang diarangkan, juga berasal dari dinding bagian luar dengan cara dibakar atau menggunakan listrik, selain itu retort dirancang agar tidak ada atau sangat sedikit sekali kehadiran udara. Sedangkan pada cara kiln atau dapur pengarangan berdinding batu bata dan beton, kemungkinan kehadiran udara cukup besar. Adanya udara dalam proses karbonisasi dapat menyebabkan bahan mengalami oksidasi sehingga bahan tidak berubah menjadi arang tetapi lebih banyak menjadi abu. Rataan sifat arang tempurung biji nyamplung disajikan dalam Tabel 4.
Tabel. 6. Sifat arang tempurung biji nyamplung
No. Jenis uji Arang SNI 01-1682-1996
1 Zat terbang (%) 19,85 maks.15
2 Air (%) 3,7 maks.6
3 Abu (%) 4,09 maks.3
4 Warna hitam merata hitam merata
5 Benda asing tidak ada tidak boleh ada
6 Rendemen (%) 37,22 -
7 Karbon terikat 76,06 -
8 Daya serap iod (mg/g) 448,06 -
9 Daya serap benzena (%) 6,31 -
Berdasarkan SNI 01-1682-1996, arang yang dihasilkan hanya memenuhi kriteria pada kadar air, warna dan benda asing, sedangkan zat terbang dan kadar abu belum memenuhi persyaratan. Tingginya kadar abu dapat disebabkan oleh sifat dan struktur bahan baku (Sudradjat dan Suryani 2002). Kadar zat terbang arang cukup tinggi dan melebihi persyaratan. Hal ini menunjukkan bahwa pada permukaan arang masih mengandung deposit hidrokarbon yang menempel dan menutupi keaktifan pori-pori arang, yang menyebabkan daya serap arang terhadap iod dan benzena rendah. Tetapi daya serap tersebut masih lebih tinggi jika dibandingkan daya serap iod arang tempurung kemiri sebesar 191 mg/g, dan sedikit lebih rendah dari daya serap benzena arang kemiri yang besarnya 7,35% (Darmawan 2008). Nilai rataan kalor arang tempurung biji nyamplung adalah 6.069,63 kal/g. Nilai kalor tersebut lebih tinggi jika dibandingkan nilai kalor arang kayu Pinus mercusii dan Acacia mangium yang masing-masing sebesar 4.547 dan 4.514 kal/g (Nurhayati 2000).
4.3.2 Sifat Arang Aktif
Arang aktif yang dihasilkan, secara umum telah memenuhi standar SNI 06-3703-1995 (Tabel 7). Mutu arang aktif yang diamati pada penelitian ini yaitu:
1. Rendemen
Rendemen arang aktif tempurung nyamplung berkisar antara 9,5 – 60,5% (Tabel 7). Rendemen tertinggi diperoleh pada arang yang diaktivasi dengan perendaman H3PO4 10%, suhu 700 o C, selama 60 menit (A3S1W1) yaitu sebesar 60,5% dan yang terendah adalah arang yang diaktivasi tanpa perendaman H3PO4, suhu 800 oC selama 120 menit yaitu sebesar 9,5%. Terdapat kecenderungan semakin tinggi suhu dan lama waktu aktivasi, rendemen semakin sedikit. Hasil ini lebih rendah bila dibandingkan rendemen arang aktif dari tempurung kemiri yang berkisar antara 50,5-88,5% (Darmawan 2008). Rendahnya rendemen yang dihasilkan disebabkan oleh reaksi kimia yang terjadi antara karbon yang terbentuk dengan uap air (H2O) semakin meningkat, sejalan dengan makin meningkatnya suhu dan lama aktivasi, sehingga karbon yang bereaksi menjadi CO2 dan H2O juga semakin banyak, dan sebaliknya karbon yang dihasilkan semakin sedikit (Lee et al. 2003). Penggunaan aktivator H3PO4 berpengaruh nyata terhadap
rendemen arang aktif. Menurut Hartoyo dan Pari (1993), bahan kimia yang ditambahkan dalam aktivasi arang aktif dapat memperlambat laju reaksi pada proses oksidasi. Dengan demikian selain berfungsi sebagai aktivator, H3PO4 juga berfungsi sebagai pelindung arang dari suhu yang tinggi.
Tabel 7. Mutu arang dan arang aktif tempurung nyamplung Perlakuan Rendemen Kadar
Air (%) Zat terbang (%) Kadar Abu (%) Karbon terikat (%) Daya serap Iod (mg/g) Benzena (%) A1S1W1 51,5 10,97 7,01 8,14 84,85 729,07 10,97 A1S1W2 22,5 11,39 8,41 8,30 83,29 728,24 11,97 A2S1W1 56 8,73 7,20 4,68 88,12 662,11 10,59 A2S1W2 51 7,72 6,45 4,32 89,23 787,83 13,07 A3S1W1 60,5 7,15 6,92 4,27 88,81 705,19 13,74 A3S1W2 52 8,25 7,41 4,27 88,32 839,11 13,65 A1S2W1 18 12,61 8,14 15,13 76,73 770,73 12,44 A1S2W2 9,5 8,02 9,19 17,32 73,48 774,13 9,29 A2S2W1 29,5 8,31 6,75 4,01 89,24 1034,03 14,49 A2S2W2 14 10,97 7,03 8,28 84,69 1038,03 18,57 A3S2W1 39,5 10,01 6,36 4,35 90,5 905,09 16,56 A3S2W2 19 9,57 6,42 6,37 87,21 805,01 19,12 SNI 06-3703-1995 <15 <25 <10 >65 >750 -Keterangan :
A1 = Konsentrasi H3PO4 0% S1 = Suhu 700 oC W1 = Waktu aktivasi 60 menit A2 = Konsentrasi H3PO4 5% S2 = Suhu 800 oC W2 = Waktu aktivasi 120 menit A3 = Konsentrasi H3PO4 10%
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor aktivator, suhu, lama aktivasi dan interaksi antara aktivator-suhu-waktu memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen arang aktif tempurung nyamplung. Interaksi aktivator-suhu, aktivator-waktu, dan interaksi suhu-waktu tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen arang aktif tempurung nyamplung (Lampiran 5).
Hasil uji Duncan terhadap pengaruh aktivator menunjukkan bahwa pemberian aktivator H3PO4 menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dari pada tanpa aktivator. Akan tetapi tidak ada perbedaan yang nyata antara pemberian H3PO4 5% dengan 10%. Faktor suhu menunjukkan bahwa suhu 800 oC menghasilkan rendemen arang aktif yang lebih rendah dari pada 700 oC. Demikian juga dengan pengaruh waktu, semakin lama waktu aktivasi semakin rendah rendemen yang dihasilkan. Pada interaksi aktivator-suhu-waktu menunjukkan tidak semua interaksinya menyebabkan perbedaan rendemen yang nyata. Perlakuan A3S1W1 berada satu grup dengan A2S1W1, A3S1W2 dan A1S1W1 yang menghasilkan rendemen antara 51,5 – 60,5%, A2S2W1 berada dalam satu grup dengan A3S2W1 dan A2S1W2 dengan rendemen 29,5 – 51%, kemudian A1S2W2, A2S2W2, A1S2W1, A3S2W2 dan A1S1W2 berada dalam satu grup menghasilkan rendemen terendah antara 9,5 – 22,5% (Lampiran 5).
2. Kadar air
Kadar air yang dikehendaki pada arang aktif adalah yang bernilai serendah-rendahnya, karena akan mempengaruhi daya serap terhadap gas atau cairan (Pari 1996). Kadar air arang aktif tempurung nyamplung berkisar antara 7,15 – 12,61% Nilai kadar air ini memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia (1995) karena kurang dari 15%. Kadar air terendah diperoleh pada arang aktif yang diaktivasi dengan H3PO4 10%, suhu 700 oC selama 60 menit yaitu 7,15%, dan yang tertinggi diperoleh pada arang arang aktif tanpa H3PO4, suhu 800 oC dan lama aktifasi 60 menit. Kadar air arang aktif secara umum lebih besar dari kadar air arang. Hal ini disebabkan oleh struktur pori arang aktif yang lebih besar dan lebih bersifat higroskopis jika dibandingkan dengan arang. Selain itu menurut Hendaway (2003), kadar air arang aktif dipengaruhi oleh jumlah uap air di udara, lama proses pendinginan, penggilingan dan pengayakan. Seperti diketahui bahwa preparasi sampel arang dan arang aktif berupa penghalusan dan pengayakannya dilakukan pada ruang terbuka.
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa faktor aktivator, suhu, waktu, interaksi aktivator-suhu, aktivator-waktu, suhu-waktu dan interaksi aktivator-suhu-waktu memberikan pengaruh yang tidak nyata.
3. Kadar Zat Terbang
Kadar zat terbang arang aktif yang dihasilkan berkisar antara 6,36 – 9,19% (Tabel 7). Nilai kadar zat terbang arang aktif yang dihasilkan memenuhi persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995), karena kurang dari 25%. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa aktivator, suhu, waktu dan interaksinya tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar zat terbang (Lampiran 7) . Kadar zat terbang terendah diperoleh pada perlakuan aktivasi H3PO4 10%, suhu 800 oC selama 60 menit dan yang tertinggi diperoleh pada perlakuan aktivasi H3PO4 0%, suhu 800 oC selama 120 menit. Kadar zat terbang yang tinggi menunjukkan bahwa permukaan arang aktif mengandung zat terbang yang berasal dari hasil interaksi antara karbon dengan uap air (Pari 2004). Hal tersebut dapat mengurangi daya serapnya terhadap gas atau larutan.