• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Arang

Arang adalah suatu bahan padat berpori yang mengandung 85-98% karbon, yang dihasilkan dari pembakaran pada suhu tinggi dengan proses pirolisis yaitu proses pembakaran bahan yang mengandung karbon komplek tanpa adanya oksigen atau pembakaran tidak sempurna, sehingga bahan hanya terkarbonisasi dan tidak teroksidasi menjadi karbondioksida. Sebagian besar pori-pori pada arang masih tertutup dengan hidrokarbon, ter dan senyawa organik lainnya. Bahan yang digunakan adalah bahan yang mengandung karbon baik organik maupun anorganik yang berasal dari tumbuhan, hewan dan bahan tambang (Goldberg 1985; Djatmiko et al. 1985; Heygreen & Bowyer 1996; Kinoshita 2001).

Pirolisis merupakan proses pemanasan tanpa adanya oksigen (Heygreen & Bowyer 1996). Kinoshita (2001), menyatakan bahwa pirolisis adalah proses pembakaran tidak sempurna bahan yang mengandung karbon komplek yang tidak teroksidasi menjadi CO2. Pada saat pirolisis terjadi, energi panas mendorong terjadinya oksidasi sehingga molekul karbon yang komplek terurai sebagian besar menjadi karbon atau arang. Berdasarkan tingkatannya, pirolisis terbagi menjadi dua yaitu pirolisi primer dan sekunder. Pirolisis primer terbagi menjadi proses lambat yaitu pada suhu 150-300oC yang menghasilkan arang, H2O, CO dan CO2

dan proses cepat, terjadi pada suhu 300-400oC, yang menghasilkan arang, gas dan H2O. Pirolisis sekunder terjadi pada suhu di atas 600oC yang menghasilkan karbon monoksida, gas hidrogen dan gas hidrokarbon (Paris et al. 2005 dalam

Gani 2007).

Hambali et al. (2007), menyatakan bahwa apabila digunakan pirolisis cepat (fast pyrolysis) yaitu pemanasan dengan lama 0,5 – 2 detik pada suhu 400 – 600oC dan proses pemadaman yang cepat pada akhir proses, selain dihasilkan arang, juga dihasilkan gas dan cairan yang disebut bio-oil yang merupakan salah satu bahan bakar alternatif.

 

   

Proses pengarangan atau karbonisasi terbagi menjadi empat tahap yaitu: 1. Tahap penguapan air, yang terjadi pada suhu 100-150oC

2. Tahap penguraian hemiselulosa dan selulosa pada suhu 200 – 240oC menjadi larutan piroglinat yang merupakan asam organik dengan titik didih rendah misalnya asam asetat, formiat dan metanol.

3. Tahap proses depolimerisasi dan pemutusan ikatan C-O dan C-C, pada suhu 240 – 400oC. Selain itu lignin mulai terurai menghasilkan ter, menurunnya larutan piroglinat dan CO serta meningkatnya gas CO, CH4

dan gas hidrogen.

4. Tahap pembentukan lapisan aromatik, yang terjadi pada suhu lebih dari 400oC dan lignin masih terus terurai sampai suhu 500oC, sedangkan pada suhu lebih dari 600oC terjadi proses pembesaran luas permukaan arang. Selanjutnya arang dapat dimurnikan atau dijadikan arang aktif pada suhu 500 – 1000oC (Djatmiko et al. 1985).

2.2 Arang Aktif

Menurut Sudradjat dan Soleh (1994), arang aktif adalah arang hasil proses lanjutan dimana konfigurasi atomnya dibebaskan dari ikatan unsur lain dan pori dibersihkan dari senyawa atau kotoran lainnya (hidrokarbon, ter dan senyawa organik lainnya) sehingga luas permukaannya bertambah besar menjadi sekitar 300 sampai 2000 m2/g yang menyebabkan daya adsorpsinya meningkat. Perbedaan antara arang dengan arang aktif adalah pada bagian permukaannya. Bagian permukaan arang masih ditutupi oleh deposit hidrokarbon yang menghalangi keaktifannya, sementara bagian permukaan arang aktif relatif bebas dari deposit dan permukaannya lebih luas serta pori-pori yang terbuka, sehingga dapat melakukan penjerapan (adsorption) (Smisek & Cerny 1970). Untuk mengaktifkan arang menjadi arang aktif dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara kimia dan fisika.

2.2.1 Aktivasi Arang Aktif Secara Kimia

Proses pengaktifan arang dengan cara kimia adalah dengan menggunakan bahan kimia seperti Ca(OH)2, CaCl2, Ca2(PO4)2, HCN, HNO3, H3PO4, NaOH,

 

   

NaSO4, SO2, ZnCl2, Na2SO3, (NH4)2S2O8 (Kirk & Othmer 1940 dalam Djatmiko

et al. 1985; Jagtoyen & Derbyshire 1998; Castila et al. 2000; Sabio et al. 2003). Pada cara kimia, sebelum dipanaskan arang direndam dalam larutan larutan kimia selama 24 jam lalu ditiriskan, selanjutnya dipanaskan pada suhu 600-900oC selama 1 – 2 jam. Dengan suhu tinggi tersebut diharapkan bahan pengaktif dapat masuk di antara lapisan atau plat heksagonal kristalit arang dan membuka permukaan arang yang tertutup (Tanaike & Inagaki 1999).

Menurut Pari (2004), cara kimia sering menyebabkan pengotoran pada produk arang aktif. Hal ini disebabkan bahan pengaktif kimia meninggalkan sisa oksida yang tidak larut air pada saat proses pencucian. Untuk mengikat kembali sisa bahan kimia atau abu yang menempel biasanya dilakukan pelarutan HCL pada arang aktif.

2.2.2 Aktivasi Arang Aktif Secara Fisika

Aktivasi arang aktif secara fisika adalah proses untuk memperluas dimensi struktur molekul dan memperluas permukaan produk arang dengan menggunakan perlakuan panas pada temperatur 800-1000oC dengan mengalirkan gas oksidasi seperti uap air dan CO2 (ACS 1996 dalam Manocha 2003) atau hanya dengan pemanasan saja tanpa dialirkan uap air atau CO2 (Gani 2007).

Proses aktivasi dengan uap air atau gas CO2 pada suhu di bawah 800oC, akan berlangsung sangat lambat, sedangkan pada suhu di atas 1000oC dapat menyebabkan kerusakan struktur kisi-kisi heksagonal arang. Menurut Pari (2004) prinsip pembuatan arang aktif secara fisika adalah dengan mengalirkan uap air atau CO2 pada arang yang dipanaskan. Reaksi ini berjalan secara endotermis sehingga proses aktivasinya kurang efektif. Untuk meningkatkan efektifitas aktivasi dapat dilakukan pemanasan permukaan luar unit aktivasi untuk meratakan distribusi panas.

2.3 Sifat Adsorpsi Arang Aktif

Adsorbsi adalah pembentukan lapisan berupa gas atau cairan oleh molekul dalam fasa fluida pada permukaan padatan oleh gaya tarik Van Der Waals. Dimana terjadi perubahan kepekatan molekul, ion atau atom antar permukaan dalam dua fase. Bila ke dua fase saling berinteraksi, maka akan terbentuk suatu

 

   

fase baru yang berbeda dengan masing-masing fase sebelumnya (Manocha 2003; Pari 2004).

Faktor yang mepengaruhi daya serap (adsorpsi) arang aktif (Sembiring & Sinaga 2003) yaitu :

1. Sifat arang aktif sebagai adsorben, yaitu ukuran dan kehalusan pori, semakin kecil pori-pori arang aktif, luas permukaan semakin besar dan kecepatan adsorpsi bertambah.

2. Sifat komponen yang diserap (adsorbat), yaitu ukuran dan polaritas molekul, gugus fungsi, posisi gugus fungsi, ikatan rangkap, struktur rantai dari senyawa serapan.

3. Sifat larutan, yaitu temperatur dan pH, pada asam organik, adsorpsi akan meningkat bila pH diturunkan (dengan penambahan asam mineral) yang mengurangi ionisasi asam organik tersebut, sedangkan bila pH asam organik dinaikkan yaitu dengan menambahkan alkali, adsorpsi akan berkurang sebagai akibat terbentuknya garam.

4. Lamanya proses adsorbsi atau waktu kontak.

Bila arang aktif ditambahkan dalam suatu cairan, dibutuhkan waktu untuk mencapai kesetimbangan. Waktu yang dibutuhkan berbanding terbalik dengan jumlah arang yang digunakan. Selain ditentukan oleh dosis arang aktif, pengadukan juga mempengaruhi waktu singgung. Pengadukan dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada partikel arang aktif untuk bersinggungan dengan senyawa serapan. Untuk larutan yang mempunyai viskositas tinggi, dibutuhkan waktu singgung yang lebih lama.

2.4 Pemanfaatan Arang Aktif

Terdapat tiga kelompok penggunaan arang aktif dalam industri (LIPI 1999), yaitu:

1) Penggunaan untuk gas seperti;

pemurnian gas (desulfurisasi, menghilangkan gas beracun, bau busuk dan asap), pengolahan LNG (desulfurisasi dan penyaringan bahan mentah), katalisator (katalisator reaksi/pengangkut vinil klorida dan vinil asetat), pengunaan lain (mengilangkan bau pada kamar pendingin atau mobil).

 

   

2) Penggunaan untuk cairan;

Industri obat dan makanan (menyaring dan menghilangkan warna), industri minuman ringan dan keras (menghilangkan warna dan bau), kimia perminyakan (zat perantara dan penyulingan bahan mentah), pembersih air (menyaring dan menghilangkan warna, bau zat pencemar dalam air, sebagai alat pelindung dan penukar resin dalam alat penyulingan air), pembersih air buangan (membersihkan air buangan dari pencemar, warna, bau dan logam berat), penambakan udang dan benur (pemurnian, menghilangkan bau dan warna air tambak), pelarut yang digunakan kembali (penarikan kembali berbagi pelarut, sisa metanol, etil asetat dan lainnya).

3) Penggunaan lainnya;

Industri pengolahan pulp (pemurnian dan penghilangan bau), industri pengolahan pupuk (pemurnian), pengolahan emas (pemurnian), penyaringan minyak makan dan glukosa (menghilangkan warna, bau dan rasa tidak enak). Menurut Fitriani (2007), arang digunakan sebagai penghantar zat antikanker pada tubuh manusia. Karbon aktif diubah menjadi sejenis batang berukuran sepersejuta meter atau disebut nanohorn, yang salah satu ujung silindernya meruncing. Pada ujung silinder tersebut, disempalkan atau dimasukkan butiran 1-2 obat kanker berukuran nanometer bernama cisplatin. Selanjutnya disuntikkan ke tubuh pasien, dimana nanohorn masuk ke peredaran darah dan hanya terakumulasi dalam sel kanker, tidak menyebar ke seluruh tubuh. Hal ini karena sifat sel kanker lebih mudah menyerap benda berukuran 100 nanometer dibandingkan sel tubuh lainnya. Setelah berkumpul di dalam sel kanker, obat dalam kapsul nanohorn itu perlahan lepas untuk mematikan sel kanker. Sistem penghantar obat itu lebih efektif untuk pemusnahan kanker dan tumor serta tanpa efek samping.

Penelitian yang dilakukan Richard C. Kaufman, Ph.D dari National Health Federation, Minessota Amerika Serikat. Arang terbukti bersifat antipenuaan dan memperpanjang umur sebanyak 40% hewan percobaan. Hal ini disebabkan arang menjaga sensitivitas tubuh dari bahan kimia dan racun yang merusak sel tubuh. Arang juga menyeimbangkan metabolisme lemak, menurunkan kinerja sintesis protein pemicu penuaan, penurunan RNA, penghambat arteriosklerosis dan

 

   

fibrosis. Selain itu arang sebagai pereduksi kolesterol dimana sejumlah pasien berkolesterol tinggi yang diberi konsumsi 8 g arang per hari turun 25% dari total kolesterol, 41% kolesterol jahat LDL (low density lipoprotein), serta melipatgandakan rasio HDL/LDL kolesterol. Hal ini karena arang menyerap penyumbat jantung dan melancarkan peredaran darah koroner (British Journal of Nutrition dalam Fitriani 2007).

2.5 Tanaman Nyamplung (Calophyllum inophyllum L)

Nyamplung atau bintangur termasuk dalam famili Guttiferae. Nama daerah nyamplung di Sumatera adalah bintangor, bintol, mentangur, punaga, di Jawa dikenal sebagai bunut, nyamplung, sulatri, di Kalimatan; bataoh, bentangur, butoo, jempelung, jinjit, mahadingan, maharunuk, di Sulawesi; betau, bintula, dinggale, pude, wetai, di Maluku; balitoko, bintao, biatur, petaule dan di NTT; bentango, gentangir, matau, samplong (Martawijaya et al. 1981). Daerah penyebaran di Indonesia adalah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi, Maluku, NTT (Martawijaya et al. 1981).

Pohon nyamplung dapat mencapai tinggi 20 m, diameter 150 cm, batang agak pendek, bercabang rendah dekat permukaan tanah (Gambar 1). Kayu nyamplung dengan batang yang lurus digunakan sebagai kayu perkapalan, tiang layar dan dayung, kayu yang berat digunakan untuk balok, tiang, papan lantai dan perumahan, kayu yang ringan digunakan untuk papan, peti dan konstruksi di bawah atap, roda dan sumbu gerobak, kano, bantalan, tong dan kepala pemukul golf (Martawijaya et al. 1981).

Tanaman nyamplung merupakan tanaman multi guna, selain sebagai penghasil kayu, juga menghasilkan buah yang dimanfaatkan sebagai penghasil minyak nyamplung, dimana daging bijinya mengandung minyak mencapai 71,4% (Nijverheid dan Handel dalam Heyne 1987) dan 75% (Dweek dan Meadowsi 2002). Selain itu kulit batang dan akar diketahui mengandung bahan bioaktif yang berkasiat obat bahkan pada getah daun bintangur telah ditemukan senyawa bioaktif costatolide A yang terbukti dapat menekan pertumbuhan virus HIV (Anonim 2003).

 

   

Gambar 1. Pohon, buah dan tempurung biji nyamplung

2.6 Pemanfaatan Minyak Nyamplung

Meskipun penelitian minyak nyamplung atau dikenal sebagai minyak tamanu sudah dilaksanakan sejak tahun 1918, akan tetapi pemanfaatan minyaknya baru berkembang pada sepuluh tahun/dekade terakhir terutama sebagai bahan baku obat (Kilham 2008). Lebih lanjut Dweck dan Meadows (2002) melaporkan bahwa minyak nyamplung dapat digunakan untuk pengobatan penyakit kulit, menyembuhkan luka kecil seperti tergores juga efisien untuk luka serius seperti luka bakar oleh api atau bahan kimia atau luka pasca operasi dan telah dikaji secara klinis pada sejumlah kasus. Selain itu untuk alergi kulit, jerawat, gatal, psoriasis, luka diabetes, infeksi kulit, untuk mengobati arthritis (radang sendi),

rheumatism, neuralgia (sakit safaf otot), muscle aches (sakit otot), serta sebagai bahan kosmetik (Anonim 2008b). Tanaman nyamplung mengandung banyak komponen kimia yang telah terbukti membantu perbaikan dan regenerasi jaringan kulit. Kandungan terbesar adalah calophylloloide dan asam calophyllic, benzoic

dan oxi-benzoic acids dengan jumlah yang signifikan.

Di Indonesia, selama ini minyak nyamplung dimanfaatkan oleh masyarakat di daerah Kebumen Jawa Tengah, hanya sebagai campuran bahan pembuatan batik dan bahan perendam genteng atau batu bata sebelum dibakar, yang bertujuan agar genteng atau batu bata tidak retak dan pecah pada waktu pembakaran dengan suhu tinggi (Sahirman 2008).

Kemungkinan pemanfaatan lainnya adalah sebagai bahan baku energi alternatif biodiesel, pelumas, bio-oil dan oleo kimia seperti surfaktan, epoxy,

 

   

polyurethane (Sudradjat 2007). Hasil penelitian Sahirman (2008) melaporkan bahwa biodiesel dari minyak nyamplung sebagian besar sudah memenuhi persyaratan SNI 04-7182-2006 yaitu massa jenis, angka setana, titik nyala, korosi kepngan tembaga, air dan sedimen, kandungan belerang, kandungan fosfor, kadar gliserol, kadar alkil ester dan angkan iodium. Meskipun bilangan asam, viscositas, residu karbon dan titik kabut beberapa parameter masih belum memenuhi syarat.

Di beberapa negara Eropa dan Amerika, saat ini minyak nyamplung sudah dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan dan sudah diperjualbelikan secara bebas. Salah satu merk dagang yang menggunakan minyak nyamplung adalah True Tamanu dengan harga $29,95 per 1 oz (setara dengan 29,5 ml). Menurut Soerawidjaja (2008), minyak nyamplung mengandung koumarin, diantaranya;

calophyllolide, inofilolid dan calophyllic acid yang berkhasiat sebagai anti radang (anti inflammatory), anti koagulan, anti bakteri, serta 4-phenylcoumarin yang berkhasiat sebagai canser chemopreventive agent.

2.7 Penjernihan Minyak

Penjernihan minyak dilakukan untuk menghilangkan rasa dan bau tidak enak, warna yang tidak menarik, meningkatkan kualitas dan memperpanjang masa simpan minyak sebelum dikonsumsi atau digunakan sebagai bahan mentah dalam industri. Penjernihan minyak dapat dilakukan dengan menambahkan sejumlah adsorben ke dalam minyak. Jenis adsorben yang digunakan antara lain tanah pemucat (bleaching earth), lempung aktif (activated cley) dan arang (bleaching carbon), arang aktif atau bahan kimia (Ketaren 1986). Kemampuan karbon aktif sebagai bahan penjernih/pemucat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain; ukuran partikel, porositas, kadar mineral yang terikut pada karbon aktif dan berat atau ringannya senyawa molekul zat yang diserap misalnya bilangan iod yang bermolekul ringan akan mudah diserap karbon aktif. Bila adsorben memiliki berat jenis tinggi, ukuran partikel halus dan pH mendekati normal akan lebih efektif dalam mengadsorbsi warna (Ketaren 1986).

 

   

Dokumen terkait