• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II URAIAN TEORITIS

2.1 Uraian Teoritis

2.1.3 Rasio Keuangan

Analisis rasio keuangan adalah adalah metode analisis untuk mengetahui hubungan dari pos-pos tertentu dalam neraca atau laporan laba rugi secara individu ataupun secara kombinasi dari kedua laporan tersebut (Munawir, 2002)

Dengan menggunakan analisis rasio dimungkinkan untuk dapat menetukan tingkat kinerja suatu bank. Menurut Dendawijaya (2001) rasio keuangan tersebut dapat dikelompokkan menjadi:

1. Rasio Likuiditas

Analisis rasio likuiditas adalah analisis yang dilakukan terhadap kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendeknya atau kewajiban yang sudah jatuh tempo. Beberapa rasio likuiditas yang sering digunakan dalam menilai kinerja suatu bank adalah Cash Ratio, Reserve Requiremwnt, Loan to Deposit Ratio, Loan to Asset Ratio, Rasio kewajiban bersih call money (Dendawijaya, 2001)

2. Rasio Solvabilitas

Analisis Solvabilitas adalah analisis yang digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam memenuhi kebutuhan jangka panjangnya atau kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban-kewajiban jika terjadi likuidasi bank. Di samping itu, rasio ini juga digunakan untuk mengetahui perbandingan antara jumlah dana yang diperoleh dari berbagai sumber seperti uang jangka pendek dan jangka panjang, serta sumber-sumber lain di luar modal bank sendiri dengan volume penanaman dana tersebut pada berbagai jenis aktiva yang dimiliki bank. Beberapa rasionya adalah Capital Adequacy Ratio, Debt to Equity Ratio, Long Term Debt to Asset Ratio (Dendawijaya, 2001)

3. Rasio Rentabilitas

Analisis rasio rentabilitas adalah alat untuk menganalisis atau mengukur tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas yang dicapai oleh bank yang bersangkutan, selain itu rasio-rasio dalam kategori ini dapat pula digunakan untuk mengukur tingkat kesehatan bank. Dalam perhitungan rasio-rasio rentabilitas ini dapat dicari hubungan timbal balik antar pos yang terdapat pada laporan laba rugi, ataupun hubungan timbal balik antar pos yang ada pada laporan laba rugi dengan pos yanga ada pada neraca bank guna memperoleh berbagai indikasi yang bermanfaat dalam mengukur tingkat efisiensi dan profitabilitas bank yang berangkutan. Analisis rentabilitas bank antara lain Return on Asset, Return on Equity, Net Profit Margin, dan Rasio biaya operasional (Dendawijaya, 2001)

2.1.3.1 Return on Asset (ROA)

Return on Asset (ROA) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh profitabilitas dan mengelola tingkat efisiensi usaha bank secara keseluruhan (Mahrinasari, 2003). Sedangkan menurut Bank Indonesia ROA merupakan perbandingan antara laba sebelum pajak dengan rata-rata total aset dalam suatu periode. Rasio ini dapat dijadikan sebagai ukuran kesehatan bank. Rasio ini sangat penting mengingat keuntungan yang diperoleh dari penggunaan aset dapat mencerminkan tingkat efisiensi usaha dalam bank. BI memberikan score maksimal 100 (sehat) apabila bank memiliki ROA >1,5% (Hasibuan, 2001:100)

Semakin besar ROA suatu bank, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dari segi penggunaan aset. Total aset biasanya digunakan untuk mengukur ROA sebuah bank adalah jumlah aset-aset produktif yang terdiri dari penempatan surat-surat berharga seperti Sertifikat Bank Indonesia, surat berharga pasar uang, penempatan dalam saham perusahaan lain, penempatan pada call money atau money market dan penempatan dalam bentuk kredit (Dendawijaya, 2001)

2.1.3.2 Capital Adequacy Ratio (CAR)

Peran modal sangat penting karena selain digunakan untuk kepentingan ekspansi,juga digunakan sebagai buffer untuk menyerap kerugian kegiatan usaha. Dalam hal ini bank wajib memenuhi ketentuan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) yang berlaku untuk peningkatan modal. Secara teknis analisis tentang permodalan disebut juga analisis solvabilitas atau juga disebut capital adequacy analysis, yang mempunyai tujuan untuk mengetahui apakah permodalan bank yang ada telah mencukupi untuk mendukung kegiatan bank secara efisien, apakah permodalan bank tersebut akan mampu menyerap kerugian-kerugian yang tidak dapat dihindarkan, dan apakah kekayaan bank (kekayaan pemegang saham) akan semakin besar atau semakin kecil (Muljono,1999). Lebih lanjut lagi menurut Muljono, untuk mengukur kemampuan permodalan tersebut digunakan : primary ratio, capital ratio dan Capital Adequacy Ratio (CAR). Jumlah kebutuhan modal suatu bank meningkat dari waktu ke waktu tergantung dari tiga pertimbangan yaitu pertumbuhan aset dan simpanan, persyaratan kecukupan modal dari pihak yang berwenang dan ketersediaan serta biaya modal

bank. Menurut Muljono (1999), Capital Adequacy Ratio (CAR) menunjukkan sampai sejauh mana kemampuan permodalan suatu bank untuk mampu menyerap risiko kegagalan kredit yang mungkin terjadi sehingga semakin tinggi angka rasio ini, maka menunjukkan bank tersebut semakin sehat begitu juga dengan sebaliknya. Sementara peraturan Bank Indonesia, CAR adalah rasio yang memperlihatkan seberapa jauh seluruh aktiva bank yang mengandung risiko (kredit, penyertaan surat berharga,tagihan pada bank lain) dibiayai dari dana modal sendiri bank di samping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber di luar bank, seperti dana masyarakat, pinjaman (utang) dan lain-lain. Sejalan dengan standart yang ditetapkan bank for International Settlement (BIS), Bank Indonesia mewajibkan setiap bank menyediakan modal minimal 8% dari aktiva tertimbang menurut risiko.

Capital Adequacy Ratio (CAR) merupakan rasio permodalan yang menunjukkan kemampuan bank dalam menyediakan dana untuk keperluan pengembangan usaha serta menampung kemungkinan risiko kerugian bank yang disebabkan oleh operasional bank. Semakin besar rasio tersebut semakin baik posisi modal bank.

Penelitian yang dilakukan oleh Achmad et,al (2003) menunjukkan bahwa Capital Adequacy Ratio (CAR) sangat berpengaruh terhadap kebangkrutan suatu bank. Besar kecilnya modal yang dimiliki sebuah bank dapat digunakan untuk memprediksi apakah bank tersebut akan mengalami kebangkrutan atau tidak pada masa yang akan datang. Jadi dapat disusun sebuah logika bahwa dengan tercukupinya permodalan suatu bank maka bank tersebut dapat menjalakan

operasinya dengan efisien. Saat bank dikatakan efisien maka dapat disimpulkan bahwa bank tersebut mempunyai kinerja yang bagus, sehingga potensi untuk mengalami kerugian dapat diminimalisir. Dengan semakin kecil kerugian yang dialami, maka dapat dipastikan laba yang diperoleh bank tersebut semakin meningkat. Maka dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa besarnya bahwa Capital Adequacy Ratio (CAR) mempengaruhi profitabilitas bank yang dapat diukur dengan proksi Return on Asset (ROA) karena laba merupakan komponen pembentuk Return on Asset (ROA), jadi semakin besar Capital Adequacy Ratio (CAR) akan berpengaruh kepada semakin besarnya Return on Asset (ROA).

2.1.3.3 Non Performing Loan (NPL)

Menurut peraturan Bank Indonesia nomor 5 tahun 2003, risiko adalah potensi terjadinya peristiwa (event) yang dapat menimbulkan kerugian. Salah satu risiko usaha bank menurut peraturan Bank Indonesia adalah risiko kredit, yang didefinisikan sebagai risiko yang disebabkan oleh kegagalan counterparty memenuhi kewajibannya tepat pada waktu yang ditentukan. Menurut Susilo,et al. (1999), credit risk adalah risiko yang dihadapi bank karena menyalurkan dananya dalam bentuk pinjaman keapada masyarakat. Adanya berbagai sebab, membuat debitur mungkin saja tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada bank, seperti pembayaran pokok pinjaman, pembayaran bunga dan lain-lain. Tidak terpenuhinya kewajiban nasabah bank menyebabkan kerugian dengan tidak diterimanya penerimaan yang sebelumnya sudah diperkirakan.

Manajemen piutang merupakan hal yang sangat penting dalam perusahaan yang usahanya memberikan kredit, karena semakin besar piutang yang diberikan semakin besar pula risikonya. Oleh karena itu perlu diantisipasi kemungkinan risiko yang timbul dalam menjalankan usaha perbankan. Sehingga menajemen perlu meminimalisir risiko yang mungkin terjadi dalam pengelolaan faktor produksi, sumber dana, dan sumber daya yang lain. Pengukuran risiko sangat berhubungan dengan pengukuran return, hal ini disebabkan karena bank menghadapi risiko yang mungkin timbul dalam rangka mendapatkan suatu return tertentu.

Rasio keuangan yang digunakan sebagai proksi terhadap nilai suatu risiko kredit adalah Non Performing Loan (NPL). Rasio ini menunjukkan bahwa kemampuan manajemen bank dalam mengelola kredit bermasalah yang diberikan oleh bank. Non Performing Loan (NPL) mencerminkan risiko kredit, semakin kecil Non Performing Loan (NPL) maka semakin kecil pula risiko kredit yang ditanggung oleh pihak bank. Agar nilai bank terhadap rasio ini baik, Bank Indonesia memberikan kriteria rasio NPL net di bawah 5%. Dengan demikian apabila suatu bank mempunyai Non Performing Loan (NPL) yang tinggi, maka akan memperbesar biaya pencadangan aktiva produktif maupun biaya lainnya, sehingga berpengaruh terhadap kinerja bank.

Dalam penelitiannya, Mawardi (2005) menyimpulkan bahwa NPL secara signifikan berpengaruh negatif terhdap Return on Asset (ROA). Jika semakin besar Non Performing Loan (NPL), akan mengakibatkan menurunnya Return on Asset (ROA), yang berarti kinerja keuangan bank juga akan menurun. Begitu pula

sebaliknya, jika Non Performing Loan (NPL) turun, maka Return on Asset (ROA) akan semakin meningkat, sehingga kinerja keuangan bank akan semakin baik.

2.1.3.4 Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)

Dalam perbankan, efisiensi operasi dilakukan untuk mengetahui apakah bank dalam operasinya yang berhubungan dengan usaha pokok bank dilakukan dengan benar dalam arti sesuai dengan yang diharapkan manajemen dan pihak pemegang saham, efisiensi operasi juga berpengaruh terhadap kinerja bank, yaitu untuk menunjukkan apakah bank telah menggunakan semua faktor produksinya dengan tepat guna (Mawardi, 2005)

Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) sering disebut rasio efisiensi yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan biaya operasioanl terhadap pendapatan opersional (Dahlan Siamat, 2001). Semakin kecil rasio ini berati semakin efisien biaya operasioanl yang dikeluarkan oleh bank yang bersangkutan. Keberhasilan bank didasarkan pada penilaian kuantitatif terhadap rentabilitas bank dapat diukur dengan menggunakan rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional. Hal ini disebabkan setiap peningkatan operasi akan berakibat pada menurunnya laba sebelum pajak dan akhirnya akan menurunkan laba atau profitabilitas (ROA) bank yang bersangkutan. Menurut Dendawijaya (2001) berdasarkan ketentuan Bank Indonesia besarnya BOPO yang normal berkisar 94%-96%

2.1.3.5 Net Interest Margin (NIM)

Kegiatan utama bank sebagai perantara, yaitu menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat maka biaya dan pendapatan operasional bank didominasi oleh biaya dan hasil bunga (Dendawijaya, 2003). NIM digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola aktiva produktifnya untuk menghasilkan pendapatan bunga bersih.

NIM merupakan rasio antara pendapatan bunga terhadap rata-rata aktiva produktif. Pendapatan diperoleh dari bunga yang diberikan dari pinjaman yang diberikan dikurangi dengan biaya bunga dari sumber dana yang dikumpulkan. NIM mencerminkan risiko pasar yang timbul akibat berubahnya kondisi pasar, dimana hal tersebut merugikan bank . NIM suatu bank dikatakan sehat apabila memiliki NIM datas 2% (Miljono, 1999). Untuk dapat meningkatkan perolehan NIM maka perlu menekan biaya dana, biaya dana adalah bunga yang dibayarkan oleh bank kepada masing-masing sumber dana yang bersangkutan. Secara keseluruhan, biaya yang dikeluarkan oleh bank akan menentukan berapa persen bank harus menetapkan tingkat bunga kredit yang diberikan kepada nasbah untuk memperoleh pendapatan neto bank. Dalam hal ini tingkat suku bunga menentukan NIM. Semakin besar rasio ini maka meningkatnya pendapatan bunga atas aktiva prodiktif yang dikelola bank sehungga kemungkinan bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil.

2.1.3.6 Loan to Deposite Ratio (LDR)

Loan to Deposite Ratio (LDR) menunjukkan perbandingan antara volume kredit dengan volume deposit yang dimiliki oleh bank (Muljono, 1999). Loan to Deposite Ratio (LDR) digunakan untuk mengukur likuiditas suatu bank dengan cara membagi jumlah kredit dengan jumlah dana. Loan to Deposite Ratio (LDR) juga meruakan kemampuan suatu bank dalam menyediakan dana kepada debiturnya dengan modal yang dimiliki oleh bank maupun dana yang dapat dikumpulkan dari masyarakat. Menurut Dendawijaya (2001) , batas toleransi berkisar antara 85%-100%.

Menurut Ali (2006) pengaturan likuiditas terutama dimaksudkan agar bank setiap saat dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya yang harus dibayar. Likuiditas dinilai dengan mengingat bahwa aktiva bank kebanyakan bersifat tidak likuid dengan sumber dana dengan jangka waktu lebih pendek. Indikator likuiditas antara lain dari besarnya cadangan sekunder (secondary reserve) untuk kebutuhan likuiditas harian rasio konsentrasi ketergantungan dari dana besar yang relatif kurang stabil dan penyebaran sumber dana pihak ketiga yang sehat, baik dari segi biaya maupun sisi kestabilan. Menurut Bank Indonesia penilaian aspek likuiditas mencerminkan kemampuan bank untuk mengelola tingkat likuiditas yang memadai serta memenuhi kewajibannya secara tepat waktu dan untuk memenuhi kebutuhan lainnya.

Dokumen terkait