• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Tahap Industri Menengah Nasional

6.4. Analisis Struktur Pasar

6.6.3. Rasio Keuntungan dan Biaya

Tingkat efisiensi suatu sistem tataniaga dapat dilihat dari penyebaran rasio keuntungan dan biaya, dengan demikian jika semakin merata penyebaran rasio keuntungan dan biaya serta marjin tataniaga terhadap biaya tataniaga, maka secara teknis sistem tataniaga tersebut semakin efisien. Biaya tataniaga adalah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terkait dalam tataniaga jamur tiram putih di Desa Cipendawa. Sedangkan keuntungan lembaga tataniaga merupakan selisih antara marjin tataniaga dengan biaya yang dikeluarkan selama proses tataniaga jamur tiram putih.

xcii Rasio keuntungan dan biaya untuk tiap saluran tataniaga yang ada di Desa Cipendawa dapat dilihat pada Tabel 16. Adapun rincian perhitungan komponen-komponen biaya dan pendapatan pada masing-masing lembaga tataniaga dapat dilihat pada Lampiran 3 sampai 16.

Tabel 16. Rasio keuntungan dan biaya untuk setiap saluran tataniaga yang ada di Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur

Keterangan : Ci : Biaya tataniaga untuk tiap lembaga tataniaga, Li : Keuntungan lembaga tataniaga

Berdasarkan Tabel 16, dapat dilihat pada saluran tataniaga satu, total biaya yang dikeluarkan adalah sebesar Rp 1.248,17 per kg. Biaya terbesar ditanggung oleh pedagang besar yaitu sebesar Rp 607,79 per kg dan biaya tataniaga terendah ditanggung oleh PPD yaitu sebesar Rp 298,44 per kg. Pada saluran tataniaga dua tidak terdapat biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh lembaga perantara karena penjualan jamur tiram putih dilakukan secara langsung oleh petani kepada konsumen akhir (rumah tangga) yang ada di Desa Cipendawa sehingga tidak melibatkan pedagang pengumpul, pedagang besar, dan pedagang pengecer. Berdasarkan Tabel 16 dapat diketahui bahwa pedagang pengumpul merupakan pihak yang memperoleh keuntungan paling kecil dibandingkan lembaga tataniaga lain dalam tataniaga jamur tiram putih yang ditunjukkan dengan nilai Li/Ci rasio sebesar 0,0052, yang berarti setiap satu satuan rupiah biaya, pedagang pengumpul

Lembaga Tataniaga Saluran tataniaga

1 2 Pedagang Pengumpul Desa

Ci 298,44 (2,49 %) - Li 1,56 (0,01%) - Rasio Li/Ci 0,0052 - Pedagang Besar Ci 607,79 (5,06 %) - Li 1.092,21 (9,10 %) - Rasio Li/Ci 1,80 - Pedagang pengecer Ci 341,94 (2,85 %) - Li 2.658,06 (22,15 %) - Rasio Li/ Ci 7,77 - Total Ci 1.248,17 (11,13 %) - Li 3.751,83 (31,27 %) - Rasio Li/Ci 3,00 -

xciii memperoleh keuntungan sebesar 0,0052 satuan rupiah. Hal ini disebabkan pedagang pengumpul tidak menjadikan profesinya tersebut sebagai usaha yang ditujukan untuk memperoleh profit. Pedagang pengumpul memberikan penerimaan yang diperoleh dari penjualan jamur tiram putih bagi tenaga kerja pedagang pengumpul tersebut. Tenaga kerja tersebut yang setiap hari menjemput jamur tiram putih hasil panen petani, dan penerimaan dari penjualan jamur tiram putih kepada pedagang besar sebagian besar diberikan kepada tenaga kerja tersebut untuk dijadikan sebagai upah tenaga kerja tersebut sedangkan hanya sebagian kecil saja dari hasil penjualan tersebut yang diambil oleh pedagang pengumpul. Hal ini menunjukkan bahwa pedagang pengumpul tidak menjadikan usaha tersebut sebagai sumber penghasilan karena fokus sebagai petani jamur tiram putih.

Jika dilihat dari rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga, suatu saluran tataniaga dikatakan efisien apabila penyebaran nilai rasio keuntungan terhadap biaya pada masing-masing lembaga tataniaga merata. Artinya setiap satu satuan rupiah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan yang tidak berbeda jauh dengan lembaga tataniaga lainnya yang terdapat pada saluran tersebut.

Pada Tabel 16 dapat dilihat bahwa nilai total dari rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga jamur tiram putih pada saluran satu yaitu sebesar 3,00. Maka untuk setiap satu satuan rupiah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan menghasilkan keuntungan sebesar 3,00 rupiah. Rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga terbesar pada saluran satu terdapat pada pedagang pengecer yaitu sebesar 7,77. Sedangkan pada saluran dua tidak dilakukan perhitungan rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga karena tataniaga jamur tiram putih pada saluran dua tidak melibatkan pedagang pengumpul, pedagang besar, maupun pedagang pengecer. Petani langsung menjual jamur tiram putih hasil panen kepada konsumen akhir (rumah tangga) yang berada di Desa Cipendawa sehingga tidak ada biaya-biaya tataniaga yang dikeluarkan dan tidak terdapat perbedaan harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen. Harga jual kepada konsumen akhir tetap pada level Rp 7.000 per kg.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa semakin panjang saluran tataniaga dan semakin jauh jarak tataniaga yang dilalui dalam

xciv mendistribusikan jamur tiram putih mengakibatkan semakin kecil rasio keuntungan terhadap biaya yang dihasilkan, dengan asumsi apabila faktor- faktor lain yang mempengaruhi dalam keadaan konstan (cateris paribus).

6.6.4. Efisiensi Tataniaga

Efisiensi tataniaga merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam suatu proses tataniaga. Efisiensi tataniaga dapat tercapai apabila system tataniaga yang ada telah memberikan kepuasan kepada lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat seperti petani dan lembaga perantara. Selain itu, beberapa indikator atau alat analisis yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi di antaranya adalah pola saluran tataniaga yang terbentuk, berjalannya fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar, perilaku pasar dan keragaan pasar.

Selain itu, tataniaga jamur tiram putih dapat dilihat dengan membandingkan total biaya tataniaga dengan nilai atau harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Berdasarkan hasil analisis tersebut, diperoleh nilai efisiensi tataniaga untuk masing-masing pola saluran tataniaga (Tabel 17).

Tabel 17. Nilai Efisiensi Tataniaga pada Masing-Masing Pola Saluran Tataniaga Jamur Tiram Putih di Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, kabupaten Cianjur.

Berdasarkan Tabel 17 dapat dilihat marjin tataniaga dan farmer’s share

pada saluran satu masing-masing sebesar 41,67 persen dan 58,33 persen. Nilai rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran satu sebesar 3,00. Adapun volume penjualan terbanyak terdapat pada saluran satu yaitu sebanyak 385 kg. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa saluran satu merupakan satu-satunya saluran

Saluran Tataniaga Harga di Tingkat Konsumen Akhir (Rp/Kg) Total Biaya Tataniaga (Rp/Kg) Margin Tataniaga (%) Farmer’s Share (%) Li/Ci Volume (Kg) Saluran 1 12.000 1.248,17 41,67 58,33 3,00 385 Saluran 2 7.000 52,50 - 100 - 45

xcv yang diandalkan oleh petani dan lembaga-lembaga tataniaga terkait lainnya. Hal ini disebabkan saluran satu melibatkan volume sebesar 385 kg yang mencakup 89,53 persen dari total produksi jamur tiram putih di Desa Cipendawa per hari. Sedangkan pada saluran dua volume penjualan hanya mencapai 45 kg atau sebesar 10,47 persen dari total produksi per hari.

Saluran satu melibatkan banyak lembaga tataniaga mulai dari petani, pedagang pengumpul, pedagang besar, dan pedagang pengecer sehingga menimbulkan marjin tataniaga akibat pembentukan biaya tataniaga dan tingkat keuntungan yang diharapkan pada masing-masing lembaga yang terlibat. Sedangkan pada saluran dua tidak terdapat marjin tataniaga karena petani langsung menjual jamur tiram putih hasil panen kepada konsumen akhir yang merupakan masyarakat Desa Cipendawa itu sendiri sehingga wajar jika tidak terdapat marjin tataniaga. Farmer’s share pada saluran dua sebesar 100 persen dan lebih tinggi dibandingkan dengan saluran satu sebesar 58,33 persen. Hal ini disebabkan karena saluran dua merupakan saluran tataniaga terpendek dibandingkan dengan jalur tataniaga satu karena tidak melibatkan lembaga pedagang sebagai perantara dalam pendistribusian jamur tiram putih. Oleh karena itu, tidak terdapat marjin tataniaga yang terbentuk selama proses distribusi jamur tiram putih. Selain itu, pasar yang dituju pada saluran pertama dan kedua sangat berbeda sehingga harga di tingkat konsumen pun menjadi sangat berbeda. Pada saluran pertama, konsumen yang membeli jamur tiram putih dari Desa Cipendawa berada di pasar induk Tangerang dengan harga jual yang tinggi, yaitu Rp. 12.000 per kg, sedangkan pada saluran ke dua pasar yang dituju adalah masyarakat yang berada di Desa Cipendawa yang letaknya berdekatan dengan tempat produksi petani sehingga harga jualnya hanya Rp. 7.000 atau setara dengan harga jual petani kepada pedagang pengumpul.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa saluran tataniaga satu lebih efisien jika dibandingkan dengan saluran tataniaga dua. Hal ini dapat dilihat dari sebaran harga dan keuntungan serta nilai rasio Li/Ci sebesar 3,00. Saluran pertama merupakan saluran tataniaga jamur tiram putih di Cipendawa yang dapat mewakili kepentingan seluruh lembaga tataniaga. Selain itu, saluran tataniaga satu melibatkan sebagian besar volume produksi jamur tiram putih sebanyak 385 kg (89,53 persen) per hari, sedangkan pada saluran dua hanya 45 kg (10,47 persen) per

xcvi hari. Penjualan pada saluran satu paling besar karena tingkat permintaan jamur tiram putih di pasar akhirnya cukup besar. Sedangkan permintaan di saluran dua rendah karena hanya terbatas pada konsumen rumah tangga yang ada di sekitar tempat produksi petani saja yaitu di Desa Cipendawa.

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

xcvii 1. Terdapat dua pola saluran tataniaga di Desa Cipendawa. pola 1 (petani –

pedagang pengumpul desa (PPD) – pedagang besar/grosir – pedagang pengecer – konsumen akhir di Tangerang), pola 2 (petani – konsumen akhir di Desa Cipendawa).

2. Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas sudah berjalan relatif baik. Umumnya semua lembaga yang terkait dalam tataniaga jamur tiram putih di Desa Cipendawa sudah melakukan berbagai fungsi tataniaga dengan baik.

3. Struktur dan perilaku pasar berpengaruh terhadap kinerja keseluruhan sistem tataniaga jamur tiram putih di Desa Cipendawa.

4. Secara umum sistem tataniaga jamur tiram putih di Desa Cipendawa belum efisien. Jika dilakukan perbandingan antar saluran tataniaga yang ada, maka saluran tataniaga satu merupakan jalur yang paling efisien dibandingkan saluran tataniaga dua. Hal ini dapat dilihat dari sebaran harga dan keuntungan serta nilai rasio Li/Ci sebesar 3,0. Saluran pertama merupakan saluran tataniaga jamur tiram putih di Cipendawa yang dapat mewakili kepentingan seluruh lembaga tataniaga. Selain itu, saluran tataniaga satu melibatkan sebagian besar volume produksi jamur tiram putih sebanyak 385 kg (89,53 persen) per hari, sedangkan pada saluran dua hanya 45 kg (10,47 persen) per hari. Penjualan pada saluran satu paling besar karena tingkat permintaan jamur tiram putih di pasar akhirnya cukup besar. Sedangkan permintaan di saluran dua rendah karena tingkat permintaan jamur tiram putih di Desa Cipendawa relatif kecil per harinya yaitu sebesar 45 kg sehingga para petani tidak dapat mengandalkan tataniaga jamur tiram putih di Desa tersebut. Hal ini yang menjadi penyebab petani lebih memilih menjual jamur tiram putih kepada pedagang pengumpul.

7.2. Saran

xcviii 2. Petani dapat memilih saluran tataniaga pertama sebagai saluran yang paling efisien dibandingkan dengan saluran dua karena memungkinkan bagi petani untuk menjamin keberlangsungan usahanya.

3. Petani dapat mengembangkan agroindustri yang merupakan suatu bentuk usaha pengolahan jamur tiram putih (produk primer) menjadi berbagai macam produk olahan (by product) yang memiliki nilai tambah (added value) yang tinggi sehingga petani mampu untuk meningkatkan pendapatan. Melalui agroindustri ini, petani dapat memperpendek saluran tataniaga atau bahkan membentuk saluran baru dengan karakteristik produk yang berbeda.

Dokumen terkait