• Tidak ada hasil yang ditemukan

Usability

Terdapat beberapa definisi mengenai usability. Definsi pertama disampaikan oleh International Standards Organization (ISO 9241-11) yang mendefinisikan usability sebagai ‘‘sejauh mana suatu produk dapat digunakan oleh pengguna tertentu untuk memperoleh tujuan tertentu dengan efektifitas, efisiensi, dan kepuasan dalam konteks penggunaan.’’ Selanjutnya Usability Professionals Association (UPA), memberikan definisi usability yang lebih berfokus kepada proses pengembangan produk, yaitu ‘‘Usability adalah suatu pendekatan terhadap pengembangan produk yang menggabungkan umpan balik pengguna melalui siklus pengembangan untuk mengurangi biaya dan menciptakan produk dan alat yang memenuhi kebutuhan pengguna.’’ Definisi berikutnya dikemukakan oleh Krug (2000), yakni ‘‘Usability berarti memastikan bahwa sesuatu bekerja dengan baik untuk tujuan tertentu tanpa membuat penggunanya menjadi putus asa’’ (Tullis & Albert 2008).

Menurut Tullis dan Albert (2008), berbagai macam definisi usability tersebut memiliki tiga tema yang serupa, yaitu adanya keterlibatan seorang pengguna, pengguna melakukan suatu pekerjaan, dan pengguna melakukan sesuatu dengan adanya produk, sistem atau hal lain. Beberapa orang juga membedakan antara istilah usability dan pengalaman pengguna(user experience).

Usability biasanya mempertimbangkan kemampuan pengguna untuk menggunakan sesuatu agar dapat melaksanakan tugas dengan sukses, sedangkan user experience memiliki pandangan yang lebih luas, melihat kepada keseluruhan interaksi individual dengan sesuatu hal tersebut, seperti pikiran, perasaan, dan persepsi yang dihasilkan dari interaksi tersebut. Oleh karena itu, pada saat dibicarakan mengenai ‘‘pengukuran usability,’’ maka akan benar-benar melihat pada keseluruhan user experience yang dialami.

Permasalahan terbesar yang dihadapi bidang usability saat ini adalah bagaimana cara meningkatkan performanya secara masif, sehingga dapat mempengaruhi perancang antarmuka pengguna di seluruh dunia. Namun, seberapa besarkah tantangan yang akan dihadapi dalam bidang antarmuka

pengguna? Pada bulan November 2005, terdapat 75 juta situs web di Internet. Selain itu, terdapat 30 juta intranet di dalam firewall perusahaan. Dengan demikian, terdapat lebih dari 100 juta desain antarmuka pengguna hanya dalam ruang online. Namun di lain pihak, terdapat sekitar 70 juta desain antarmuka pengguna profesional di dunia yang ditujukan untuk melayani pelanggan bisnis, badan pemerintah, atau organisasi nirlaba. Apabila antarmuka pengguna yang dibangun tidak memiliki performa usability yang baik, maka banyak biaya yang akan dikeluarkan oleh pengembang situs web tersebut (Nielsen 2005).

Berdasarkan hal-hal di atas, dapat diketahui bahwa usability merupakan salah satu parameter penting yang menentukan keberhasilan situs web dalam meningkatkan keberhasilan akses oleh pengguna, serta dapat meningkatkan efisiensi biaya pembangunan suatu situs web. Dengan demikian, penelitian mengenai usability diharapkan akan dapat memenuhi tantangan untuk meningkatkan performa situs web secara masif dan signifikan.

Evaluasi Usability

Menurut Preece et al. (2002), proses evaluasi terdiri dari dua jenis. Pertama, evaluasi yang dilakukan selama perancangan untuk memeriksa apakah produk telah memenuhi kebutuhan konsumen yang disebut dengan evaluasi formatif (formative evaluations). Kedua, evaluasi yang dilakukan untuk menilai kesuksesan produk yang telah selesai dikembangkan, seperti produk yang telah memuaskan bagi agen sponsor atau untuk memeriksa apakah standar yang digunakan telah dipenuhi. Evaluasi ini disebut sebagai evaluasi akhir (summative

evaluations). Adapun setiap proses evaluasi memainkan peranan kunci dalam

memfasilitasi pemahaman antara pengembang produk dengan penggunanya. Menurut Nielsen (1993), usability pada umumnya diukur dengan melibatkan sejumlah pengguna yang dipilih sebagai perwakilan dari pengguna sesungguhnya. Pengguna tersebut akan menggunakan sistem untuk menyelenggarakan serangkaian tugas khusus, meskipun sistem tersebut juga dapat diukur dengan melibatkan pengguna sesungguhnya di lapangan untuk melakukan tugas apapun yang memang sedang mereka lakukan. Pada kasus tersebut poin pentingnya adalah bahwa usability dievaluasi relatif hanya pada pengguna tertentu

9

dan tugas tertentu. Hal ini juga menjadi perhatian tertentu dimana sistem yang sama dapat diukur sebagai sistem dengan karakteristik usability yang berbeda jika digunakan oleh pengguna yang berbeda untuk tugas yang berbeda pula.

Suatu evaluasi antarmuka dapat dilaksanakan pada dunia nyata atau kondisi yang terkontrol. Pengukuran performa berasal dari tugas-tugas spesifik yang dilakukan oleh pengguna, dan hasilnya dibandingkan dengan tujuan kinerja yang didefinisikan sebelumnya. Evaluator juga mengumpulkan data pada permasalahan yang muncul. Kondisi kesalahan atau error, kebingungan, frustrasi, dan komplain yang ditemui pada saat evaluasi selanjutnya dapat didiskusikan dengan pengguna. Evaluasi tersebut juga bermanfaat agar pengguna dapat membicarakan secara jelas apa yang mereka sedang lakukan. Kegagalan dalam mencapai tujuan desain usability akan mengindikasikan perlu adanya proses desain ulang. Keuntungan yang diperoleh dengan melakukan evaluasi usability ialah pengujian tersebut menggunakan lingkungan kerja yang realistis. Tugas yang dilaksanakan dalam latar kerja aktual, apakah pada suatu laboratorium

usability atau kondisi terkontrol lainnya. Evaluasi usability dapat mengidentifikasi

permasalahan serius dengan menghindari item-item yang prioritasnya rendah (Galitz 2002).

Adapun kerugian yang dapat menjadi permasalahan paling serius pada evaluasi usability adalah biaya tinggi yang dibutuhkan untuk mempersiapkan fasilitas pengujian. Pelaksanaan evaluasi usability yang efektif membutuhkan seorang penyelenggara evaluasi dengan keahlian antarmuka pengguna. Evaluasi

usability juga menekankan pada penggunaan sistem untuk pertama kalinya, serta

pengumpulan data yang memperhatikan penggunaan suatu sistem oleh pengguna yang berpengalaman. Pengujian ini juga kurang cocok untuk mendeteksi permasalahan dengan konsistensi tertentu.

Skenario tugas untuk memenuhi tujuan pengujian secara memadai haruslah diidentifikasi dan dikembangkan. Idealnya, keseluruhan sistem akan diuji, namun waktu dan biaya seringkali membatasi pekerjaan yang dapat dilakukan. Jika terdapat kendala waktu dan biaya, maka diperlukan kandidat yang baik untuk pengujian meliputi tugas pengguna yang paling penting dan paling representatif. Sebaiknya selalu dilakukan uji fungsi atau fitur dimana landasan

desainnya tidak sekuat yang diinginkan. Fitur-fitur ini merupakan fitur dimana masalah pertukaran (trade-off) tidak terlihat jelas, tidak secara kuat mengacu pada satu alternatif desain dari beberapa desain lain yang mungkin digunakan.

Setelah mempersiapkan skenario tugas, skenario tersebut diuji coba dan diperbaiki jika diperlukan. Perlu dipastikan bahwa skenario tersebut ditulis dengan jelas dan mampu dilaksanakan dalam waktu evaluasi yang telah dialokasikan. Sebuah laboratorium khusus dapat dibangun, kemudian pengguna melaksanakan tugas yang telah dirancang di dalam laboratorium tersebut. Pengguna selanjutnya diobservasi dan hasilnya diukur dan dievaluasi untuk membangun usability suatu produk. Pengujian usability menampilkan apa sebenarnya mereka lakukan, bukan apa yang mereka pikir mereka lakukan. Skenario yang sama dapat disajikan kepada pengguna yang berbeda-beda, dengan menyediakan data perbandingan dari beberapa jenis pengguna (Galitz 2002).

Berdasarkan pada hal-hal di atas, dapat diketahui bahwa pengujian usability situs web dapat dilakukan dengan cara observasi responden dalam ruangan yang terkontrol dengan melaksanakan tugas-tugas tertentu. Pengujian tersebut dimaksudkan untuk dapat mengetahui secara langsung permasalahan apa saja yang ditemui oleh pengguna situs web tersebut dalam mengakses informasi.

Accessibility

Situs web sudah seharusnya didesain dengan memastikan bahwa siapa saja, termasuk pengguna yang memiliki kesulitan melihat, mendengar, dan melakukan gerakan halus dapat menggunakannya. Secara umum, hal ini berarti memastikan bahwa situs web dapat memfasilitasi penggunaan teknologi bantuan (assistive technology) yang umum digunakan. Beberapa permasalahan accessibility utama yang perlu diperhatikan meliputi:

a. Menyediakan format text equivalent untuk elemen yang bukan teks;

b. Memastikan bahwa script yang digunakan mendukung accessibility situs web;

c. Menyediakan judul-judul pada kerangka situs web;

11

e. Memastikan bahwa plug-ins dan applets memenuhi kebutuhan accessibility; dan

f. Mensinkronisasi seluruh elemen multimedia.

Apabila tidak mungkin untuk memastikan bahwa seluruh halaman situs web dapat diakses dengan mudah, para perancang situs web harus menyediakan informasi yang serupa untuk memastikan bahwa seluruh pengguna memiliki akses yang sama terhadap seluruh informasi (USDHHS 2004).

Accessibility dalam arti umum berarti suatu sistem harus dirancang agar mudah digunakan oleh kondisi masyarakat yang sangat beragam, atau pada dasarnya siapa saja yang bermaksud menggunakan sistem tersebut. Dalam arti yang lebih sempit, accessibility dapat didefinisikan sebagai penyediaan akses yang mudah terhadap suatu sistem untuk masyarakat dengan keterbatasan fisik (disabilities). Adapun tujuan desain dalam menciptakan accessibility bagi pengguna dengan keterbatasan fisik antara lain (Galitz 2002):

a. Meminimalkan semua rintangan yang membuat suatu sistem sulit atau tidak mungkin digunakan, dan

b. Menyediakan kesesuaian dengan menginstal keperluan accessibility. Telah banyak pemerintah negara yang telah menerbitkan Peraturan Perundang-undangan yang mewajibkan para pemberi kerja untuk menyediakan bantuan yang layak bagi para pekerja dengan keterbatasan fisik. Sebagai contoh di Amerika Serikat terdapat sebuah perundang-undangan dengan tujuan tersebut, yaitu Undang-undang Warga Negara Amerika dengan Keterbatasan Fisik (the Americans with Disabilities Act). Rancangan sistem yang mudah diakses selanjutnya diperlukan untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pun dengan keterbatasan fisik yang sulit mengakses teknologi komputer (Galitz 2002).

Evaluasi Accessibility dengan WCAG 2.0

Galitz (2002) mengemukakan bahwa accessibility biasanya mengacu kepada seberapa efektif seseorang dengan keterbatasan fisik (disabilities) dapat menggunakan suatu sistem, aplikasi atau situs web. Dengan kata lain, accessibility merupakan usability yang dikhususkan untuk kelompok pengguna tertentu.

Panduan accessibility web yang paling dikenal secara luas adalah Web Content Accessibility Guidelines (WCAG) dari World-Wide Web Consortium (W3C).

Web Accessibility Initiative (WAI) telah dibentuk oleh World Wide Web Consortium (W3C) untuk membawa pertimbangan-pertimbangan accessibility ke dalam pengembangan teknologi Web Consortium dan untuk menentukan panduan bagi teknologi yang mudah diakses meliputi penulisan web dan agen pengguna (browser). Sebagaimana yang dinyatakan oleh Tim Berners-Lee, penemu web, dan Direktur W3C, "Kekuatan situs web terletak pada sifat keuniversalannya. Dapat mengakses suatu web tanpa menghiraukan masalah keterbatasan fisik adalah suatu aspek yang esensial".

Dalam kaitannya dengan accessibility media elektronik, standar Web Content Accessibility Guidelines (WCAG) 1.0 dan 2.0 yang telah diterbitkan memiliki kesamaan dengan standar lain yang pernah dipublikasikan yaitu s508, tetapi standar WCAG lebih maju beberapa langkah ke depan. Versi pertama panduan penulisan web, yaitu WCAG 1.0, menjadi Rekomendasi W3C pada tanggal 5 Mei 1999. WCAG 2.0 dipublikasikan pada tanggal 11 Desember 2008. WCAG 2.0 diaplikasikan secara luas pada teknologi yang lebih tinggi, lebih mudah digunakan dan dimengerti, serta lebih dapat diuji dengan pengujian otomatis dan evaluasi oleh manusia dengan tepat (Pariseau 2010).

Web Content Accessibility Guidelines (WCAG) 2.0 telah mencakup rentang yang luas untuk membuat konten web lebih mudah diakses. Panduan tersebut diharapkan dapat membantu orang-orang dengan keterbatasan fisik, termasuk penderita tuna netra dan penglihatan lemah, tuna rungu, ketidakmampuan belajar, keterbatasan kognitif, keterbatasan gerak, keterbatasan bicara, fotosensitivitas dan kombinasinya. Kriteria kesuksesan WCAG 2.0 disusun sebagai pernyataan yang teruji dan bukan tergolong technology-specific (W3C 2008).

Dalam merancang suatu media elektronika berdasarkan WCAG 2.0, seorang perancang harus mempertimbangkan dan mengaplikasikan beberapa panduan yang telah diringkas pada Tabel 1.

13

Tabel 1 Ringkasan panduan WCAG 2.0 (Pariseau 2010) Prinsip 1: Perceivable Prinsip 2:

Operable

Prinsip 3:

Understandable Prinsip 4: Robust Menyediakan alternatif

teks untuk konten non-teks sehingga dapat diubah menjadi bentuk lain yang dibutuhkan orang, seperti cetak besar, Braille, suara, simbol atau bahasa yang lebih sederhana

Membuat semua fungsionalitas tersedia dari sebuah keyboard

Membuat konten teks dapat dibaca dan dapat dimengerti.

Memaksimalkan kompatibilitas dengan agen-agen pengguna masa kini dan masa depan, termasuk teknologi bantu

Menyediakan alternatif untuk media berbasis waktu

Menyediakan waktu yang cukup bagi pengguna untuk membaca dan menggunakan konten

Membuat halaman-halaman web tampil dan beroperasi dengan cara yang dapat diprediksi Menyediakan konten yang

dapat dipresentasikan dengan cara berbeda (untuk contoh tampilan yang lebih sederhana) tanpa

menghilangkan informasi atau struktur

Jangan mendesain konten dalam suatu cara yang diketahui akan menyebabkan penyitaan Membantu pengguna menghindari dan mengoreksi kesalahan Memudahkan pengguna untuk melihat dan mendengar konten

termasuk memisahkan latar depan dari latar belakang

Menyediakan cara untuk membantu pengguna menavigasi, menemukan konten dan menentukan dimana mereka berada

Panduan WCAG telah diorganisir menjadi bentuk chekpoint atau success criteria agar lebih mudah digunakan. Success criteria tersebut dikategorikan menjadi Prioritas 1, 2 atau 3 menurut Pariseau (2010):

1. Prioritas 1 atau Level A

Seorang pengembang konten Web harus memenuhi beberapa checkpoint ini. Jika sebaliknya, maka satu atau lebih kelompok tidak akan mungkin mengakses informasi di dalam dokumen. Pemenuhan checkpoint ini adalah kebutuhan dasar untuk beberapa kelompok mungkin untuk menggunakan dokumen-dokumen Web. Dalam WCAG 2.0, level AAA memiliki 20 success criteria.

2. Prioritas 2 atau Level AA

Seorang pengembang Web seharusnya memenuhi beberapa checkpoint ini. Jika sebaliknya, maka satu atau lebih kelompok akan sulit mengakses informasi dalam dokumen. Pemenuhan checkpoint ini akan menghilangkan penghalang yang signifikan untuk mengakses dokumen-dokumen Web. Dalam WCAG 2.0, level AA memiliki 12 success criteria.

3. Prioritas 3 atau Level AAA

Seorang pengembang Web boleh memenuhi beberapa checkpoint ini. Jika sebaliknya, maka atau lebih kelompok akan menemukan beberapa kesulitan untuk mengakses informasi dalam dokumen. Pemenuhan checkpoint ini akan meningkatkan akses terhadap dokumen-dokumen Web. Dalam WCAG 2.0, level A memiliki 25 success criteria.

e-Government Pemerintah Provinsi

Hof dan Groothuis (2011) menyatakan bahwa electronic government ( e-Government) merupakan implementasi teknologi informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi atau meningkatkan pelayanan publik bagi warga negara atau perusahaan. Sebagai konsekuensinya, fokus electronic government secara khusus berpusat pada digitasi dari transaksi antara pemerintah dan warga negara atau pebisnis. Kemajuan electronic government telah sangat dibantu oleh meningkatnya kapasitas untuk menyimpan dan memproses data melalui teknologi broadband dan juga disebabkan karena fakta bahwa kebanyakan masyarakat telah mengakses Internet dewasa ini.

Teknologi-teknologi baru akan membangkitkan banyak kesempatan untuk merancang ulang interaksi antara warga negara dan pemerintah. Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dapat merangsang partisipasi elektronik dari para warga negara dengan memperkenalkan Web 2.0 tools (seperti wiki, chat, blog, jejaring sosial, e-Petisi, dan lain-lain). Di lain pihak, terdapat warga negara yang secara mandiri mengangkat teknologi baru tersebut sehingga mereka dapat lebih terlibat dalam administrasi publik dan aktivitas politik dimana mereka tertarik di dalamnya, atau dapat pula menyediakan ahli tertentu yang dapat mewakili mereka untuk dapat terlibat dalam administrasi publik tersebut.

15

Menurut Nurhadryani (2009), aktor dalam e-Government secara sederhana dapat dibagi menjadi dua jenis yang dapat dilihat pada Gambar 1. Pertama yaitu sektor publik sebagai penyelenggara pemerintahan yang terdiri dari eksekutif (seperti departemen keuangan, pendidikan, kesehatan dan sebagainya), yudikatif dan legislatif pada level nasional, regional dan lokal. Aktor kedua disebut end-user yang terdiri dari sektor non-pemerintah dan sektor privat yang berinteraksi di lima level governance (level internasional, level regional 1, level nasional, level regional 2 dan level lokal). Melalui e-Government, masyarakat dapat menerima informasi dengan cepat dan transparan sehingga masyarakat mendapat pengetahuan mengenai bagaimana pemerintahan berjalan, dengan pengetahuannya tersebut dan sesuai dengan minat masing-masing, masyarakat dapat melakukan partisipasi melalui elektronik misalnya dengan berdiskusi dan berkomunikasi mengenai isu-isu dalam pemerintahan secara elektronik, sehingga proses pemerintahan menjadi lebih demokratis.

Gambar 1 Framework governance: dimensi horisontal dan vertikal (Nurhadryani 2009).

Dewasa ini terdapat peningkatan keterlibatan warga negara melalui TIK. Warga negara menjadi semakin berani mengeluarkan aspirasinya dan semakin memahami hal-hal kebijakan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan lain-lain, dan memahami bagaimana cara menampilkan tugas-tugas publik (Leadbeater & Cottam 2007). Beberapa pihak mengharapkan hal ini dapat membantu proses demokratisasi hubungan antara warga negara dan pemerintah dengan menerima lebih banyak kepercayaan dan transparansi, lebih banyak keterlibatan aktif dalam

proses demokrasi, dan memberi kuasa pada warga negaranya. Beberapa pihak yang lainnya lebih skeptis dan beranggapan bahwa kepercayaan tidak akan meningkat dan motivasi di antara warga negara untuk berpartisipasi sangatlah kurang (Frissen et al. 2008, diacu dalam Hof & Groothuis 2011).

Menurut Inpres Nomor 3 Tahun 2003, pengembangan e-Government merupakan upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan kepemerintahan yang berbasis (menggunakan) elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif dan efisien. Melalui pengembangan e-Government, dilakukan penataan sistem manajemen dan proses kerja di lingkungan pemerintah dengan mengoptimalisasi pemanfaatan teknologi informasi.

Pemanfaatan teknologi informasi tersebut mencakup 2 (dua) aktivitas yang berkaitan yaitu: Pertama, pengolahan data, pengelolaan informasi, sistem manajemen dan proses kerja secara elektronis; Kedua, pemanfaatan kemajuan teknologi informasi agar pelayanan publik dapat diakses secara mudah dan murah oleh masyarakat di seluruh wilayah negara. Selanjutnya, membangun e-Government bukan saja membangun infrastruktur komunikasi data dan informasi, tetapi juga berarti membangun infrastruktur sistem aplikasi, standarisasi metadata, pengembangan sumberdaya manusia, pengembangan prosedur, kebijakan dan peraturan.

Berkenaan dengan implementasi e-Government di Indonesia, Rokhman (2011) mengemukakan hasil penelitiannya yang bertujuan untuk mencari tahu tentang penerimaan masyarakat Indonesia pengguna Internet terhadap pelayanan e-Government, yakni anggapan bahwa masyarakat Indonesia belum siap dengan e-Government tidak terbukti pada penelitian tersebut. Segmen masyarakat dengan status sosial menengah ke atas sangat siap untuk menggunakan e-Government. Anggapan lain bahwa e-Government tidak cocok dengan gaya hidup dan kebudayaan juga tidak perlu dipersoalkan lagi. Melalui parameter kesesuaian, penelitian tersebut membuktikan bahwa e-Government kompatibel dengan gaya hidup dan kebudayaan, dan mereka siap jika pelayanan publik tidak disampaikan dengan cara bertemu muka.

Dewasa ini telah banyak institusi yang melakukan pemeringkatan terhadap kondisi e-Government di suatu negara, salah satunya adalah yang dilaksanakan

17

oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB 2010). Evaluasi e-Government yang dilaksanakan pada tahun 2010 oleh PBB menempatkan Indonesia pada peringkat 109 dari 184 negara di dunia yang disebut dengan peringkat e-Government Development Index. Indonesia berada pada peringkat 102 dalam hal indeks pelayanan online dan komponennya, berada pada peringkat 116 dalam hal indeks infrastruktur telekomunikasi dan komponennya, berada pada peringkat 97 dalam hal indeks modal sumberdaya manusianya, dan berada pada peringkat 86 dalam hal e-Participation.

Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, pemerintahan daerah provinsi dapat menyelenggarakan sendiri atau menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi yang penyelenggaraannya ditugaskan kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota berdasarkan asas tugas pembantuan, secara bertahap dapat diserahkan untuk menjadi urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersangkutan apabila pemerintahan daerah kabupaten/kota telah menunjukkan kemampuan untuk memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang dipersyaratkan.

Pemerintahan provinsi dipimpin oleh seorang Gubernur sebagai kepala daerah dengan struktur organisasi pemerintahan provinsi disajikan pada Gambar 2. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi meliputi (Kemkominfo 2004):

a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan

b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang

c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat d. Penyediaan sarana dan prasarana umum

e. Penanganan bidang kesehatan

f. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial g. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota

i. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota

j. Pengendalian lingkungan hidup

k. Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota

Gambar 2 Susunan organisasi pemerintahan provinsi (Kemkominfo 2004).

Pemerintah provinsi memiliki suatu lembaga bernama Komisi Informasi Provinsi dikarenakan provinsi termasuk ke dalam badan publik yang memiliki fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Komisi Informasi Provinsi merupakan lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan peraturan pelaksanaannya menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan Sengketa Informasi Publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi (UU No. 14/2008). Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government, seluruh provinsi diwajibkan untuk mensosialisasikan informasi publik yang dimilikinya dalam suatu situs web atau sistem informasi demi kepentingan masyarakat banyak.

Menurut Kemkominfo (2003), situs web pemerintah daerah merupakan salah satu strategi di dalam melaksanakan pengembangan e-Government secara sistematik melalui tahapan yang realistis dan terukur. Pembuatan situs web

19

pemerintah daerah merupakan tingkat pertama dalam pengembangan e-Government di Indonesia dengan sasaran agar masyarakat Indonesia dapat memperoleh akses kepada informasi dan layanan pemerintah daerah dengan mudah, serta ikut berpartisipasi dalam pengembangan demokrasi di Indonesia dengan menggunakan media Internet.

Berdasarkan sifat transaksi informasi dan pelayanan publik yang disediakan oleh Pemerintah Daerah melalui jaringan informasi, pengembangan e-Government dapat dilaksanakan melalui 4 (empat) tingkatan, yaitu Tingkat 1 – Persiapan (Pembuatan situs web sebagai media informasi dan komunikasi pada setiap lembaga; dan Sosialisasi situs web untuk internal dan publik), Tingkat 2 – Pematangan (Pembuatan situs web informasi publik yang bersifat interaktif; dan Pembuatan antarmuka keterhubungan dengan lembaga lain), Tingkat 3 – Pemantapan (Pembuatan situs web yang bersifat transaksi pelayanan publik; dan Pembuatan interoperabilitas aplikasi dan data dengan lembaga lain), Tingkat 4 – Pemanfaatan (Pembuatan aplikasi untuk pelayanan yang bersifat Government to Government (G2G), Government to Business (G2B), dan Government to Consumers (G2C)).

Situs web pemerintah daerah provinsi dan daerah otonom (Kabupaten, dan Kotamadya) dapat dikatakan sebagai perubahan bentuk penggunaan media komunikasi dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (Information and Communication Technology - ICT) (Kemkominfo 2003). Oleh karena itu, pemerintah memiliki tugas yang berkesinambungan karena performa

Dokumen terkait