Tabel 11 Hasil analisis rata-rata kadar fosfor (mg/100g) pada produk komersial susu ibu hamil
Sampel Total Fosfor (mg/100 g)
Hasil analisis (bb) Nutrition Fact (bb) Hasil analisis (bk)*
A 171,94±8,7 240 174,03±8,9c
B 237,79±2,4 288 240,68±2,3d
C 130,93±7,4 400 132,25±7,5a
D 149,06±2,9 260 150,92±3,0b
Ket : * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05), n = 3
Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 9) diketahui bahwa produk susu berpengaruh nyata terhadap kadar fosfornya (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 10d) menunjukkan kadar fosfor masing-masing sampel susu berbeda nyata. Sampel susu B lebih tinggi secara nyata daripada sampel susu lain (p<0,05).
Fosfor bersama dengan kalsium merupakan mineral penting yang biasanya dipertimbangkan kombinasinya dalam fungsinya untuk pembentukan tulang, dan penyerapan kalsium yang optimal. Rasio optimal fosfor:kalsium adalah 1:1 sampai 1:2 (Berdanier 1998). Akan tetapi rasio fosfor dan kalsium pada hasil penelitian ini tidak memenuhi rasio optimal. Rasio fosfor:kalsium pada hasil penelitian ini adalah 1,18:4,8 sampai dengan 1,71:7,03. Fosfor tidak selalu ditemukan dalam bentuk bebas di alam. Fosfor yang dikonsumsi biasanya ditemukan dalam bentuk organik dan anorganik. Bentuk organik, fosfor berikatan dengan beberapa senyawa seperti protein, gula dan lemak.
Berdasarkan label pangan, saran penyajian sehari untuk sampel susu A, B dan C yaitu sebanyak 2 gelas sehari. Konsumsi sesuai saran penyajian mampu memenuhi fosfor sebesar 80%, 96% dan 133% AKG. Saran penyajian untuk sampel susu D yaitu sebanyak 3 gelas sehari memenuhi 130% AKG fosfor selama sehari. Mengkonsumsi susu C dan D sesuai saran penyajian sudah mampu memenuhi kebutuhan fosfor ibu hamil untuk sehari.
Kadar Kalsium
Kalsium terkandung dalam tubuh kita dalam jumlah lebih banyak dari mineral lainnya. Diperkirakan 1,5% sampai 2% berat badan orang dewasa dan 39% dari total mineral tubuh. Sebanyak 99% dari jumlah tersebut terdapat pada jaringan keras, yaitu tulang dan gigi, selebihnya kalsium tersebar dalam darah dan cairan ekstraseluler (Gropper et al. 2005).
Kadar kalsium menunjukkan jumlah kalsium yang terkandung dalam suatu bahan pangan. Tabel 12 menyajikan hasil analisis total kalsium sampel susu.
Tabel 12 Hasil analisis rata-rata kadar kalsium (mg/100g) pada sampel susu komersial
Sampel Total kalsium (mg/100 g)
Hasil analisis (bb) Nutrition Fact (bb) Hasil analisis (bk)*
A 703,61±103.2 875 712,18±103,2a
B 975,88±99,4 1429 987,75±99,4 b
C 572,00±69.8 900 577,76±69,8 a
D 538,11±61,6 656 544,82±61,6 a
Ket : * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05), n=3
Berdasarkan Tabel 12, kadar kalsium sampel susu berkisar antara 538,11 mg/100 g sampai dengan 975,88 mg/100g (bb) atau 544,82 mg/100 g sampai dengan 987,75 mg/100 g (bk). Kadar kalsium pada nutrition fact berkisar antara 656 mg/100 g sampai dengan 1429 mg/100 g. Terdapat perbedaan kadar kalsium hasil analisis dengan nutrition fact sampel susu.
Menurut ketetapan Badan Standarisasi Nasional (BSN) dalam SNI 01- 7148-2005 salah satu kandungan mineral yang wajib tercantum dalam produk komersial susu ibu hamil dan atau menyusui yaitu kalsium dengan kadar 200-800 mg/100 g. Kadar kalsium hasil analisis untuk sampel susu A, C dan D berada pada rentang 200-800 mg/100 g, sedangkan untuk sampel susu B, kadar kalsiumnya sebesar 975,88 mg/100 g. Berdasarkan nutrition fact menunjukkan kadar kalsium sampel susu A, B dan C lebih tinggi dari batas maksimal ketetapan SNI 01-7148-2005 yaitu 800 g/100 g.
Hasil sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan produk susu berpengaruh nyata terhadap kadar kalsium (p<0,05). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 10e) diketahui kadar kalsium sampel A, C dan D tidak berbeda nyata, sedangkan sampel B berbeda nyata dengan sampel yang lain. kadar kalsium terbanyak terdapat pada sampel susu B dan terendah pada sampel susu D. Adanya variasi kadar kalsium pada masing-masing sampel uji diduga karena jumlah penambahan kalsium yang berbeda oleh masing-masing produsen. Bentuk kimia dari kalsium yang ditambahkan dalam produk dapat mempengaruhi bioavailabilitas kalsium (Rajagukguk 2004). Berdasarkan komposisinya, hanya sampel susu A dan B yang mencantumkan jenis kalsium yang digunakan yaitu kalsium kaseinat.
Pertimbangan kadar kalsium pada masing-masing produk dihitung berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) kalsium sehari untuk ibu hamil. Pemenuhan AKG kalsium dari masing-masing produk ditentukan oleh takaran saji dan saran penyajian sehari. Saran penyajian yang tercantum pada label pangan untuk sampel susu A, B dan C sebanyak 2 gelas sehari. Konsumsi susu sesusai saran penyajian secara berturut-turut mampu memenuhi 70%, 120% dan 70% AKG kalsium ibu hamil selama sehari. Saran penyajian sampel susu D, sebanyak 3 gelas sehari. Konsumsi susu sesuai saran penyajian sudah mampu memenuhi 105% AKG kalsium ibu hamil selama sehari.
Kadar kalsium sampel uji lebih tinggi dibandingkan dengan kadar kalsium pada ikan salmon yaitu sebesar 182,42 mg/100 g (Mahan & Stump 2008). Kadar kalsium yang terdapat pada susu bubuk penuh dalam 100 gram yaitu sebesar 119 mg (Berdanier 1998) lebih rendah dibandingkan kadar kalsium hasil analisis dan nutrition fact pada penelitian ini. Keju sebanyak 100 gram mengandung sekitar 719,60 mg (Mahan & Stump 2008). Kandungan kalsium pada sampel uji untuk hasil analisis sudah mendekati kadar kalsium pada keju untuk sampel susu A dan B. Berdasarkan nutrition fact, kadar kalsium sampel susu A, B dan C lebih tinggi dibandingkan kadar kalsium pada keju.
Kadar kalsium sampel susu yang terdapat di nutrition fact dan hasil analisis sudah memenuhi ketentuan WNPG (2004) dan BPOM (2007), sehingga produk susu yang diuji merupakan produk susu tinggi kalsium (190 mg).
Kadar Zat Besi
Zat besi merupakan komponen dari hemoglobin, mioglobin, sitokhrom, enzim katalase dan peroksidase. Zat besi termasuk salah satu mikromineral karena dibutuhkan kurang dari 0,01% berat badan total (Gropper et al. 2005). Meskipun demikian prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil mencapai 44,3% di Indonesia (WHO 2008).
Kadar zat besi menunjukkan jumlah zat besi yang terkandung dalam suatu bahan pangan. Analisis yang dilakukan untuk mengetahui kadar zat besi pada penelitian ini adalah analisis kadar zat besi metode AAS (Atomic Absorption Spectrophotometric). Tabel 13 menyajikan hasil analisis kadar zat besi sampel susu.
Tabel 13 Hasil analisis rata-rata kadar zat besi (mg/100g) pada sampel susu komersial Sampel Total Fe (mg/100 g) Basis kering (%)
Hasil analisis (bb) Nutrition Fact (bb) Hasil analisis (bk)*
A 10,21±0,8 12,5 10,34±0,8a
B 15,33±4,0 24,857 15,52±4,0 b
C 17,04±2,2 25 17,21±2,2 b
D 9,08±0,8 12 9,81±0,8a
Ket : * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05), n=3
Berdasarkan Tabel 13, kadar zat besi sampel susu berkisar antara 9,08 mg/100 g sampai dengan 17,04 mg/100g (bb) atau 9,81 mg/100 g sampai dengan 17,21 mg/100 g (bk). Kadar zat besi pada nutrition fact berkisar antara 12 mg/100 g sampai dengan 25 mg/100 g. Terdapat perbedaan kadar zat besi hasil analisis dengan nutrition fact sampel susu. Menurut ketetapan Badan Standarisasi Nasional (BSN) dalam SNI 01-7148-2005 salah satu kandungan mineral yang wajib tercantum dalam produk komersial susu ibu hamil dan atau menyusui yaitu zat besi dengan kadar minimal 10 mg/100 g. Kadar zat besi hasil analisis dan nutrition fact sudah sesuai dengan ketetapan SNI 01-7148-2005.
Hasil sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan produk susu berpengaruh nyata terhadap kadar zat besi (p<0,05). Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 10f) diketahui kadar zat besi sampel A dan D tidak berbeda nyata antar keduanya. Demikian juga dengan sampel B dan C. Kadar zat besi tertinggi terdapat pada sampel susu C dan terendah pada sampel susu A. Sampel susu C merupakan produk susu yang mencantumkan klaim tinggi zat besi pada labelnya.
Kontribusi zat besi berdasarkan saran penyajian 2 gelas sehari untuk sampel susu A, B dan C secara berturut-turut yaitu 30%, 60% dan 50% AKG. Saran penyajian untuk sampel susu D sebanyak 3 gelas sehari mampu memenuhi 60% AKG. Jumlah zat besi yang dikonsumsi berdasarkan saran penyajian pada sampel susu B, C dan D sudah memenuhi setengah dari kebutuhan zat besi untuk ibu hamil selama sehari ( 35 mg/hari). Kadar zat besi sampel susu uji lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar zat besi pada pangan lain seperti susu coklat (0,24 mg/100 g), telur utuh mentah (1,84 mg/100 g), daging ayam masak (1,43 mg/100 g) dan ikan salmon kaleng (0,84 mg/100 g) (USDA 2008).
Menurut surat keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (2007) dan Widiyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) kadar zat besi minimal yang terkandung dalam produk susu ibu hamil dengan klaim tinggi zat
besi sebesar 6,6 mg. Kadar zat besi sampel susu yang terdapat di nutrition fact dan hasil analisis sudah memenuhi ketentuan tersebut. Produk susu yang diuji merupakan produk susu tinggi zat besi.
Kadar Seng (Zn)
Seng (Zn) memegang peranan esensial dalam banyak fungsi tubuh. Seng berperan pada kegiatan lebih dari 200 enzim serta dalam berbagai aspek metabolisme seperti reaksi yang berikatan dengan sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lipida dan asam nukleat (Almatsier 2006). Tubuh manusia mengandung 1,5 sampai dengan 2,5 gram seng. Seng ditemukan pada semua organ, jaringan dan cairan tubuh. Seng adalah salah satu mineral yang tersedia dalam beberapa valensi yang berbeda tetapi hampir semuanya ditemukan sebagai ion divalen (Zn2+) (Gropper et al. 2005).
Kadar seng menunjukkan jumlah seng yang terkandung dalam suatu bahan pangan. Analisis yang dilakukan untuk mengetahui kadar seng pada penelitian ini adalah analisis kadar seng metode AAS (Atomic Absorption Spectrophotometric). Tabel 14 menyajikan hasil analisis kadar seng sampel susu.
Tabel 14 Hasil analisis rata-rata kadar seng (mg/100g) pada sampel susu komersial
Sampel Total Zn (mg/100 g)
Hasil analisis (bb) Nutrition Fact (bb) Hasil analisis (bk)*
A 4,39±0,1 6,25 4,44±0.1a
B 6,55±0,1 9,142 6,63±0.1c
C 10,92±0,2 13,5 11,03±0.2d
D 5,12±0,3 7 5,18±0.3b
Ket : * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05), n=3
Berdasarkan Tabel 14, kadar seng pada sampel susu berkisar antara 4,39 mg/100 g sampai dengan 10,92 mg/100g (bb) atau 4,44 mg/100 g sampai dengan 11,03 mg/100 g (bk). Kadar seng pada nutrition fact berkisar antara 6,25 mg/100 g sampai dengan 13,5 mg/100 g. Kadar seng hasil analisis lebih kecil jika dibandingkan dengan kadar seng yang terdapat pada nutrition fact. Berdasarkan hasil analisis dan nutrition fact kadar seng terbesar terdapat pada sampel susu C sedangkan kadar seng terkecil terdapat pada sampel susu A.
Menurut ketetapan Badan Standarisasi Nasional (BSN) dalam SNI 01- 7148-2005 salah satu kandungan mineral yang wajib tercantum dalam produk komersial susu ibu hamil dan atau menyusui yaitu seng dengan kadar minimal 5
mg/100 g. Kadar seng hasil analisis dan nutrition fact sudah sesuai dengan ketetapan SNI 01-7148-2005.
Hasil sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan produk susu berpengaruh nyata terhadap kadar seng (p<0,05). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 10g) diketahui kadar seng semua sampel susu berbeda nyata terhadap sampel yang lain. Perbedaan kadar seng tiap sampel susu uji diduga adanya fortifikasi kadar seng yang berbeda masing-masing sampel susu.
Berdasarkan label pangan, saran penyajian sehari untuk sampel susu A, B dan C yaitu sebanyak 2 gelas sehari. Konsumsi susu sesuai saran penyajian untuk sampel susu A, B dan C mampu memenuhi kebutuhan seng secara berturut-turut yaitu 30%, 50% dan 70% AKG. Saran penyajian untuk sampel susu D yaitu sebanyak 3 gelas sehari sehingga mampu memenuhi 75% AKG zat besi. Mengkonsumsi susu B, C dan D sesuai saran penyajian sudah mampu memenuhi 50% kebutuhan seng ibu hamil untuk sehari.
Kadar Serat Pangan
Menurut Muchtadi (2010) serat pangan (dietary fiber) adalah salah satu bagian dari makanan yang tidak dapat dihancurkan oleh enzim-enzim pencernaan manusia. Serat pangan didefinisikan sebagai sisa-sisa skeletal sel- sel tanaman yang tahan terhadap hidrolisa oleh enzim-enzim pencernaan manusia. Serat pangan sering juga disebut sebagai ‖unavailable carbohydrate‖ sedangkan yang tergolong sebagai ‖available carbohydrate‖ adalah gula, pati dan dekstrin. Serat pangan sebagian besar terdiri dari pektin, selulosa dan hemiselulosa serta lignin.
Kadar serat pangan yang dianalisis meliputi serat tidak larut, serat larut dan total serat pangan yang dianalisis menggunakan metode enzimatis. Hasil analisis total serat pangan basis kering pada produk komersial susu ibu hamil berkisar antara 2,14%-6,55%, kadar serat tidak larut berkisar antara 0,77%- 2,72% dan kadar serat larut berkisar antara 1,37%-4,59%.
Terdapat perbedaan kadar serat total hasil analisis dengan nutrition fact dari setiap sampel susu. Menurut Puspita (2003) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi analisis serat pangan. Faktor pertama adalah perbedaan metode analisis serat yang digunakan. Analisis yang digunakan untuk penentuan kadar serat pangan di dalam label diduga menggunakan metode serat kasar. Berbeda dengan metode enzimatis yang dapat mengukur kadar serat pangan larut dan tidak larut. Metode serat kasar hanya dapat menganalisis serat pangan tak larut
saja sehingga jumlah yang tertera pada label lebih kecil. Faktor lainnya adalah kelemahan dari analisis serat pangan metode enzimatis dimana perhitungan serat pangan baik larut maupun tidak larut hanya berdasarkan berat kertas saring (gravimetri). Hal ini menyebabkan bahan yang bukan termasuk ke dalam serat pangan yang ikut tersaring di dalam kertas saring akan terhitung sebagai serat pangan. Faktor ketiga adalah jenis serat pangan yang berbeda. Jumlah serat pangan yang tertera pada label mungkin merupakan jumlah serat pangan tertentu yang sengaja ditambahkan (fortifikasi) pada produk seperti oligofruktosa dan inulin sehingga jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan hasil analisis.
Tabel 15 Hasil analisis rata-rata serat pangan (%) pada produk komersial susu ibu hamil Sampel Serat tidak
larut (bk)* Serat larut (bk)* Total serat (bk)* Serat Makanan /100 g (Nutrition Fact)
Serat FOS GOS
A 0,77a 1,37 a 2,14 a - - -
B 1,61 b 3,53 b 5,14 b 5,7 - -
C 2,73 c 3,09 a 5,82 b 5,7 5,4 -
D 1,97 bc 4,59 b 6,55 b 4 3,6 0,4
Ket : * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05), n=3
** (-) : tidak tercantum
Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 9) diketahui bahwa jenis susu berpengaruh nyata terhadap kadar total serat, serat larut dan serat tidak larut (p<0,05). Uji lanjut Duncan (Lampiran 10h) menunjukkan serat tidak larut sampel susu berbeda nyata terhadap sampel susu yang lain. Serat tidak larut menunjukkan pola yang berbeda yaitu sampel susu A dan C berbeda nyata dengan sampel susu B dan D. Akan tetapi kedua sampel tersebut tidak berbeda nyata satu sama lain. Total serat pangan pada sampel A berbeda nyata dengan sampel susu yang lain sedangkan untuk ketiga sampel yang lain tidak berbeda nyata satu sama lain.
Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa total serat, serat larut dan tidak larut paling tinggi yaitu pada sampel susu D. Sampel susu D merupakan susu yang difortifikasi dengan FOS dan GOS. Kandungan serat paling rendah yaitu sampel susu A. Berdasarkan nutrition fact sampel susu A tidak mencantumkan kandungan seratnya.
Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi serta Total Kalsium Tersedia dan Total Zat Besi Tersedia pada Produk Komersial Susu Ibu Hamil
Ketersediaan Biologis (Bioavailabilitas) Kalsium
Kalsium dalam suatu bahan pangan tidak semua dapat dimanfaatkan untuk keperluan tubuh. Hal ini bergantung pada ketersediaan biologisnya (bioavailabilitas). Bioavailabilitas kalsium menunjukkan proporsi kalsium yang tersedia untuk digunakan dalam proses metabolis terhadap kalsium yang dikonsumsi (Miller 1996). Berdanier (1998) mendefinisikan bioavailabilitas sebagai persentase mineral konsumsi yang dapat diabsorbsi oleh sel enterocyte di saluran pencernaan dan digunakan sesuai dengan fungsinya.
Penelitian ini menggunakan metode in vitro dalam menentukan bioavailabilitas produk susu yang uji. Bioavailabilitas kalsium dianalisis dengan menggunakan metode in vitro yang merupakan simulasi dari sistem pencernaan makanan pada saluran gastrointestinal (Roig et al. 1999). Rajagukguk (2004) menyatakan pengujian bioavailabilitas secara in vitro hanya menunjukkan jumlah kalsium yang dapat diserap dan tidak sampai tahap utility (penggunaan) karena metode ini merupakan simulasi dari keadaan sistem pencernaan di lambung dan usus halus saja, tidak sampai peredaran darah. Pengujian ini dilakukan melalui teknik dialisis menggunakan kantung dialisis. Bisswanger (2008) menjelaskan bahwa prinsip teknik dialisis yaitu memisahkan makromolekul terlarut dari larutan terluarnya melalui membran semipermeabel yang memungkinkan terjadinya difusi senyawa yang memiliki berat molekul yang rendah, tetapi bukan makromolekulnya. Sementara itu, kantung dialisis dimana proses dialisis berlangsung disimulasikan sebagai usus halus.
(a)
(a) (b)
Gambar 4 Tahap persiapan inkubasi: Gelas piala berisis kantung dialisis dalam larutan buffer NaHCO3 (a) dan tabung shaker berisi kantung dialisis dalam suspensi sampel (b)
Pengaturan pH sampel menjadi 2 bertujuan agar kalsium dapat larut dan terbebas dari ikatan garamnya. Gropper et al. (2005) menyatakan bahwa kalsium dalam pangan dan suplemen berada dalam bentuk garam yang relatif tidak larut, sedangkan kalsium hanya diabsorpsi dalam bentuk terionisasi (Ca2+) sehingga agar dapat diserap kalsium harus dilepaskan dari bentuk garamnya. Kalsium dalam lambung dapat larut dari berbagai garam kalsium sekitar satu jam pada kondisi pH asam. Hasil penelitian Kaya et al. (2007) memperlihatkan bahwa solubilitas (kelarutan) kalsium biskuit terbaik dihasilkan pada pH 2. Kalsium bersifat bioavailable apabila mineral tersebut dalam bentuk terlarut (soluble) (Miller 1996). Selain itu, pada pH tersebut sejumlah enzim-enzim pencernaan dapat aktif.
Di samping pada pH 2, berdasarkan deskripsi produk, pepsin aktif pada suhu 370C. Hal ini sejalan dengan Bisswanger (2008) yang menyatakan bahwa sebagian besar enzim aktif pada suhu fisiologis (37oC). Kondisi selama inkubasi (Gambar 5) merupakan simulasi dari kondisi tubuh saat pencernaan gastrointestinal terjadi (Puspita 2003). Sementara itu, berdasarkan hasil penelitian pada produk crackers menunjukkan bahwa penambahan enzim pepsin dan pancreatin bile berperan dalam pemecahan protein sehingga kalsium dapat lepas dari bentuk ikatan kalsium-protein (Roig et al. 1999). Menurut Linder (2006), pemecahan protein dimulai dari lambung (denaturasi dengan HCl dan proteolitis dari pepsin). Pencernaan yang lebih banyak selanjutnya terjadi di bagian usus halus, dibantu oleh berbagai ekso dan endopeptidase dalam pankreas dan cairan intestinal. Hasil penelitian Macus dan Lengemann (1962) menyatakan persentasi absorbsi kalsium pada setiap segmennya yaitu usus besar 0%, duodenum 15%, jejenum 23% dan ileum 62%. Enzim pankreatin bile yang digunakan memberikan aksi yang optimal pada pH 5 (Kamchan 2003).
Gambar 5 Inkubasi sampel untuk penentuan bioavailabilitas kalsium dan zat besi in vitro
Hasil analisis (Gambar 10) menunjukkan bahwa bioavailabilitas kalsium susu berkisar antara 36,64% sampai dengan 41,05%. Bioavailabilitas tertinggi terdapat pada sampel susu A dan terendah terdapat pada sampel susu B. Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 10), tidak ada pengaruh nyata antara produk susu dengan bioavailabilitas kalsium (p>0,05).
Gambar 6 Bioavailabilitas kalsium produk komersial susu ibu hamil Kamchan (2003) mengelompokan bioavailabilitas kalsium menjadi tiga yaitu tinggi (≥20%), sedang (10% – 1λ%), dan rendah (≤10%). Berdasarkan pengelompokkan tersebut, bioavailabilitas kalsium keempat sampel susu berada pada kategori tinggi. Tingginya bioavailabilitas kalsium pada penelitian ini sejalan dengan pernyataan Rofles & Whitney (2008) yaitu ketersediaan kalsium pada susu memang relatif tinggi dibandingkan jenis pangan lainnya. Lebih lanjut Wardlaw (1999) menyatakan produk susu menyediakan kalsium yang tinggi penyerapannya dan memenuhi hampir setengah dari kebutuhan kalsium orang dewasa. Berdanier (1998) menambahkan susu dan produk susu merupakan sumber kalsium yang penyerapannya juga sangat baik.
Hasil penelitian Rajagukguk (2004) membuktikan, penambahan susu pada saat mengkonsumsi sereal sarapan dapat meningkatkan bioavailabilitas kalsium. Faktor lain, diduga karena kandungan laktosa dalam susu. Menurut Allen (1982) interaksi laktosa dengan kalsium membentuk kompleks kalsium laktat yang memiliki tingkat absorpsi yang tinggi. Fermentasi laktosa oleh mikroba usus akan menghasilkan asam yang dapat menurunkan pH sehingga absorpsi lebih optimal. Selain itu, menurut Wardlaw (1999) salah satu alasannya karena jenis protein yang terkandung di dalam susu. Damodaran (1996) menyebutkan bahwa protein memiliki berat molekul berkisar antara 20.000 sampai 100.000 dalton. Protein utama di dalam susu merupakan protein yang berat molekulnya relatif kecil (23.000 Da) memiliki banyak residu serin
41,05 36,64 37,31 40,95 A B C D
Bioavailabilitas Kalsium
Bio Ca (%)terforforilasi. Residu ini bermuatan negatif sehingga memungkinkan protein untuk mengikat ion kalsium.
Bioavailabilitas kalsium sampel susu yang diuji pada penelitian ini cukup berbeda dengan bioavailabilitas bahan pangan lain seperti cookies pati garut dengan penambahan torbangun pada berbagai minuman yang berkisar antara 0,76 – 11,46% (Muflihah 2011). Demikian juga dengan bioavailabilitas kalsium sayuran hijau dan hasil olahannya yang berkisar antara 0,69% sampai dengan 8,76% (Safitri 2003). Bioavailabilitas kalsium pada beberapa produk komersial susu ibu hamil ini lebih tinggi (36,64% - 41,05%). Hal ini sejalan dengan pernyataan Heaney (1988) yang menyatakan bioavailabilitas kalsium lebih tinggi pada susu dan olahan susu daripada pangan lainnya.
Sementara itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Roig et al. (1999) menunjukkan bahwa bioavailabilitas kalsium pada susu sapi sebesar 20%±0,9. Penelitian Heavey et al. (1988) dalam Heaney dan Weaver (1999) menunjukkan penyerapan kalsium pada susu sapi sebesar 27%. Demikian juga dengan hasil analisis bioavailabilitas susu bubuk komersial tinggi kalsium yang memiliki bioavailabilitas antara 6,40% - 9,60% (Puspita 2003) dan produk sereal sarapan yang memiliki bioavailabilitas antara 2,69% - 33,46% (Rajagukguk 2004). Dibandingkan dengan penelitian ini, hasil bioavailabilitas kalsium pada produk komersial susu ibu hamil (36,64% - 41,05%) masih tinggi dari literatur.
Sebaliknya, secara umum bioavailabilitas kalsium pada beberapa produk komersial susu ibu hamil lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Weaver & Heaney (2002) menunjukkan bahwa bioavailabilitas kalsium susu sapi yang dikonsumsi oleh wanita kaukasia sebesar 54,8% dari 250 mg kalsium. Sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa bioavailabilitas kalsium susu sapi sebesar 53% dan bioavailabilitas kalsium susu yang diuji pada mahasiswa Universitas Purdue sebesar 44% dari 250 mg kalsium. Menurut Latunde dan Neale (1986) hasil bioavailabilitas mineral yang bervariasi pada suatu jenis pangan juga dapat disebabkan oleh perbedaan kondisi pengolahan serta metode dan parameter yang digunakan yang mempunyai tingkat kepekaan yang berbeda.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bioavailabilias Kalsium
Bioavailabilitas kalsium dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik sebagai faktor pendorong maupun penghambat. Allen (1982) mengelompokkan faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium menjadi dua kelompok yaitu
faktor komponen makanan dan faktor fisiologis. Komponen makanan yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium meliputi fosfor, protein, komponen tumbuhan (serat, fitat, dan oksalat), laktosa, dan lemak. Selain itu, Gropper et al. (2005) menambahkan bahwa keberadaan kation divalen (bervalensi dua) juga dapat mengurangi absorpsi kalsium.
Weaver & Heaney (2008) menjelaskan absorbsi kalsium dapat terjadi melalui dua jalur, (a) transelular; melalui transfer aktif yang melibatkan protein pengikat kalsium, calbindin D9k dan (b) paraselular; melalui difusi pasif kalsium.
kedua jalur tersebut melibatkan protein dengan mekanisme berbeda. Calcitriol mempengaruhi penyerapan kalsium dengan stimulasi protein pengikat kalsium (calbindin) ( Gropper at al. 2005). Satu molekul calbindin mengikat dua atau lebih ion kalsium. Kemudian penyerapan kalsium terjadi melalui tiga langkah, yaitu melalui membran brush border, pergerakan intraseluler, dan ekstrusi melalui membran basolateral. (Gropper et al. 2005). Sementara itu, pada difusi pasif, konsentrasi makromolekul seperti protein berperan dalam menimbulkan perbedaan tekanan osmotik di kompartemen luar sehingga ion kalsium dapat