• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Rata-rata Nilai Tukar Petani (NTP)

Nilai tukar petani ( NTP ) merupakan ukuran kemampuan daya tukar produk pertanian yang dihasilkan petani terhadap produk barang dan jasa yang dibeli oleh rumahtangga petani, baik dalam rangka usaha produksi pertanian maupun konsumsi rumahtangga petani. Alat ukur daya beli petani yang mencerminkan tingkat kesejahteraan diformulasikan dalam bentuk nilai tukar petani ( NTP ). Nilai tukar petani ( NTP ) merupakan hubungan antara hasil pertanian yang dijual petani dengan harga barang dan jasa lain yang dibeli petani. NTP berfungsi mengukur kemampuan tukar barang-barang produk pertanian yang dihasilkan petani dengan barang atau jasa yang diperlukan untuk konsumsi rumahtangga petani dan keperluan dalam memproduksi barang-barang pertanian.

Nilai Tukar Petani (NTP) dapat dikalkulasikan dengan rumus konsep pendapatan yaitu :

100 Py.Qy Px.Qx

dimana :

NT : Nilai Tukar

Px : Harga komoditas yang dihasilkan petani Qx : Jumlah komoditas yang dihasilkan petani Py : Harga komoditas yang dibayar petani Qy : Jumlah komoditas yang dibayar petani ( Hendayana, 1995 )

Jenis komoditas yang diteliti adalah padi sawah dan palawija seperti tanaman kacang-kacangan. Sedangkan jenis komoditas yang harus dibayar petani adalah konsumsi bahan makanan, kebutuhan perumahan, kebutuhan pakaian, aneka barang dan jasa, faktor produksi, dan upah tenaga kerja. Jumlah komoditas yang dihasilkan petani sampel bervariasi. Harga yang digunakan untuk menghitung NTP adalah harga pada tahun 2009.

Dengan menggunakan konsep perhitungan Nilai Tukar Petani ( NTP) terhadap variabel-variabel sampel, berikut ini diuraikan hasil kalkulasi NTP di daerah penelitian :

Tabel 5.1 Hasil Kalkulasi Nilai Tukar Petani di Desa Sei Mencirim Kec. Sungga l Sampel NTP Sampel NTP Sampel NTP Sampel NTP 1. 105.30 16. 104.39 31. 85.78 46. 93.68 2. 87.88 17. 92.26 32. 113.92 47. 103.10 3. 79.53 18. 97.55 33. 103.88 48. 96.34 4. 99.24 19. 90.15 34. 104.95 49. 92.27 5. 91.14 20. 95.81 35. 106.45 50. 100.57 6. 87.40 21. 105.16 36. 84.54 51. 94.40 7. 93.01 22. 94.93 37. 95.83 52. 84.27 8. 95.33 23. 98.68 38. 92.55 53. 88.30 9. 94.14 24. 90.25 39. 87.90 54. 96.76 10. 95.50 25. 94.74 40. 84.52 55. 99.32 11. 94.15 26. 91.96 41. 96.39 56. 102.37 12. 95.68 27. 101.87 42. 101.87 57. 93.69 13. 100.28 28. 99.48 43. 99.90 58. 98.05 14. 100.13 29. 97.09 44. 102.83 59. 104.81 15. 96.68 30. 92.17 45. 93.81 60. 91.51 Rata-rata 95.94

Sumber : Data penelitian diolah dari Lampiran 5, 2010.

Pada tabel 5.1, ada 13 sampel ( 21,7 %) yang memiliki NTP >100. Dengan demikian, sampel ini mencapai surplus hasil usahatani. Dengan kata lain,

pendapatan petani lebih tinggi dari pengeluarannya,sehingga ke 13 sampel ini lebih sejahtera dari petani sampel lainnya. Dari ke 13 sampel petani yang memiliki NTP >100 maka akan dilihat lebih lanjut satu (1) sampel petani yaitu sampel no 1 . Dari hasil wawancara dengan petani no sampel 1, dapat dihitung berapa besar indeks harga yang diterima dan indeks harga yang harus dibayar petani. Sesuai dengan teori sebelumnya bahwa jika indeks harga yang diterima petani lebih besar daripada indeks harga yang dibayar petani maka NTP > 100. Dapat kita lihat pada petani no sampel 1, indeks harga yang diterima petani lebih besar daripada indeks harga yang dibayar petani. Indeks harga yang diterima petani terdiri dari harga yang diterima dari produksi padi dan harga yang diterima dari palawija seperti tanaman kacang-kacangan. Jadi total keseluruhan yang diterima petani no sampel 1 adalah Rp 15.200.000. Sedangkan indeks harga yang dibayar petani terdiri dari harga yang harus dibayar dari konsumsi rumah tangga

dan harga yang harus dibayar dari operasi produksi usaha tani. Harga konsumsi rumah tangga terdiri dari harga bahan makanan, perumahan, pakaian, dan aneka barang dan jasa. Sedangkan operasi produksi usaha tani terdiri dari harga faktor produksi dan upah tenaga kerja. Jadi total keseluruhan yang harus dibayar petani adalah Rp 14.435.000. Dengan diperolehnya harga dari kedua indeks tersebut maka dapat dihitung NTP sebesar 105,30. Artinya rumah tangga petani sampel sudah sejahtera. Indikasi ini disebabkan karena total pengeluaran yang terdiri dari pengeluaran untuk konsumsi (pangan ,non pangan) dan biaya produksi yang dikeluarkan rumah tangga lebih kecil dari pendapatan atau dengan kata lain pendapatanyang diperoleh masih mencukupi untuk memenuhi semua kebutuhan pengeluaran.

Selanjutnya, ada 3 (tiga) petani sampel (5%) yang mengalami impas karena memiliki nilai NTP =100 yakni petani sampel 13, 14, dan 50. Dari ke 3 sampel petani yang memiliki NTP =100 maka akan kita lihat lebih lanjut satu (1) sampel petani yaitu sampel no 13. Dari hasil wawancara dengan petani no sampel 13, dapat dihitung berapa besar indeks harga yang diterima dan indeks harga yang harus dibayar petani. Sesuai dengan teori sebelumnya bahwa jika indeks harga

yang diterima petani sama dengan indeks harga yang dibayar petani maka NTP = 100. Dapat kita lihat pada petani no sampel 13, indeks harga yang diterima

petani hampir sama dengan indeks harga yang dibayar petani. Walaupun dalam kenyataannya indeks harga yang diterima petani lebih besar dari indeks harga yang dibayar petani. Indeks harga yang diterima petani terdiri dari harga yang diterima dari produksi padi dan harga yang diterima dari palawija seperti tanaman kacang-kacangan. Jadi total keseluruhan yang diterima petani no sampel 13 adalah

Rp 10.600.000. Sedangkan indeks harga yang dibayar petani terdiri dari harga yang harus dibayar dari konsumsi rumah tangga dan harga yang harus dibayar dari operasi produksi usaha tani. Harga konsumsi rumah tangga terdiri dari harga bahan makanan, perumahan, pakaian, dan aneka barang dan jasa. Sedangkan operasi produksi usaha tani terdiri dari harga faktor produksi dan upah tenaga kerja. Jadi total keseluruhan yang harus dibayar petani adalah Rp 10.570.000. Dengan diperolehnya harga dari kedua indeks tersebut maka dapat dihitung NTP sebesar 100,28. Artinya NTP petani mengalami break even point atau impas karena harga yang diterima petani sama dengan harga yang dibayar petani.

Selanjutnya, ada 44 petani sampel yang memiliki nilai NTP <100. Dari ke 44 sampel petani yang memiliki NTP <100 maka akan kita teliti lebih lanjut satu (1) sampel petani yaitu sampel no 31. Dari hasil wawancara dengan petani no sampel 31, dapat dihitung berapa besar indeks harga yang diterima dan indeks harga yang harus dibayar petani. Sesuai dengan teori sebelumnya bahwa jika indeks harga

yang diterima petani lebih kecil dari indeks harga yang dibayar petani maka NTP < 100. Dapat kita lihat pada petani no sampel 31, indeks harga yang diterima

petani lebih kecil dari indeks harga yang dibayar petani. Walaupun dalam kenyataannya indeks harga yang diterima petani lebih kecil dari indeks harga yang dibayar petani. Indeks harga yang diterima petani terdiri dari harga yang diterima dari produksi padi dan harga yang diterima dari palawija seperti tanaman

kacang-kacangan. Jadi total keseluruhan yang diterima petani no sampel 31 adalah Rp 12.000.000. Sedangkan indeks harga yang dibayar petani terdiri dari harga

yang harus dibayar dari konsumsi rumah tangga dan harga yang harus dibayar dari operasi produksi usaha tani. Harga konsumsi rumah tangga terdiri dari harga

bahan makanan, perumahan, pakaian, dan aneka barang dan jasa. Sedangkan operasi produksi usaha tani terdiri dari harga faktor produksi dan upah tenaga kerja. Jadi total keseluruhan yang harus dibayar petani adalah Rp 13.990.000. Dengan diperolehnya harga dari kedua indeks tersebut maka dapat dihitung NTP sebesar 85,78. Artinya rumah tangga petani sampel belum sejahtera. Indikasi ini disebabkan karena total pengeluaran yang terdiri dari pengeluaran untuk konsumsi (pangan ,non pangan) dan biaya produksi yang dikeluarkan rumah tangga lebih besar dari pendapatan atau dengan kata lain pendapatan yang diperoleh masih mencukupi untuk memenuhi semua kebutuhan pengeluaran karena tidak mencapai 100%. Turunnya NTP lebih disebabkan karena tingginya kenaikan indeks harga konsumsi rumahtangga terutama untuk perumahan dan makanan. Tentu saja hal ini berkaitan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak khususnya minyak tanah yang mengalami kenaikan cukup tinggi. Dampaknya adalah penurunan tingkat kesejahteraan petani.

Secara rata-rata, NTP yang diperoleh ke-60 petani sampel adalah sebesar 95.94 atau <100. Bila dibandingkan dengan nilai tukar rata-rata perolehan petani Sumatera Utara sebesar 100.70 untuk tahun 2009, dapat disimpulkan bahwa tingkat kesejahteraan petani sampel di Desa Mencirim Kecamatan Sunggal adalah tergolong rendah (tidak sejahtera). Dampaknya terhadap petani sampel adalah tingkat harga yang diterima petani, yang didasari bahwa harga berperan penting dalam pembentukan penerimaan/pendapatan dari usaha tani. Peningkatan/perbaikan nilai tukar petani berkaitan erat dengan kegairahan petani berproduksi, dengan dampak ganda yaitu peningkatan partisipasi petani dan produksi pertanian serta menghidupkan perekonomian pedesaan, penciptaan

lapangan perkerjaan di pedesaan, yang berarti akan menciptakan sedikitnya keseimbangan pembangunan antar daerah dan antar wilayah serta optimalisasi. Dengan kata lain, tingkat keberhasilan petani ditinjau dari nilai NTP ke-60 petani sampel adalah sebesar 13/60 x 100% = 21.66%.

Nilai tukar petani di daerah penelitian berbeda-beda. Ada yang mencapai titik surplus, titik impas , dan ada yang mencapai defisit. Kesenjangan kesejahteraan masyarakat antarkelompok maupun antardaerah selalu terjadi. Persoalannya adalah apakah kesenjangan tersebut menurun atau menaik sejalan dengan perubahan waktu atau kenaikan rata-rata kesejahteraan?

Secara teoritik kesenjangan dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu faktor alam, faktor kultural, dan faktor struktural (kebijakan). Teori-teori mengenai proses kesenjangan pada umumnya menekankan kepada peranan satu atau lebih faktor tersebut. Kuznets (2000) menyimpulkan bahwa pendapatan rata-rata perkapita pada awal perkembangan negara masih rendah, dan tingkat kesenjangan juga rendah. Ketika pendapatan rata- naik, maka kesenjangan juga meningkat. Kemudian ketika pendapatan rata-rata naik lebih tinggi, maka kesenjangan akan turun kembali.

Perbedaan nilai tukar petani juga disebabkan oleh struktur pasar. Teori penawaran dan permintaan biasanya mengasumsikan bahwa pasar merupakan pasar persaingan sempurna. Implikasinya ialah terdapat banyak pembeli dan penjual di dalam pasar, dan tidak satupun diantara mereka memiliki kapasitas untuk mempengaruhi harga barang dan jasa secara signifikan.

5.2 Perkembangan Nilai Tukar Petani di Sumatera Utara selama 5 tahun

Dokumen terkait