BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.2 C-reactive protein
CRP ditemukan oleh Tillett dan Francis pada tahun 1930, dinamai CRP karena kemampuannya untuk mengendapkan C-polisakarida dari Streptococcus pneumoniae. CRP merupakan protein fase akut yang memiliki kemampuan untuk mengikat bakteri kemudian memfasilitasi pengikatan komplemen yang diperlukan untuk memfagositosis bakteri. CRP merupakan penanda sistemik yang sangat peka terhadap reaksi inflamasi dan kerusakan jaringan. Respon fase-akut meliputi respon nonspesifik yang fisiologis dan biokimia terhadap berbagai bentuk kerusakan jaringan, infeksi, peradangan, dan keganasan. Protein fase-akut terdiri atas penghambat proteinase, koagulasi, komplemen dan protein transport, tetapi hanya molekul protein SAA yang memiliki sensitifitas, dan kecepatan respon yang sebanding dengan CRP.1
2.2.1 Struktur dan filogeni CRP
CRP termasuk dalam famili pentraksin dari protein plasma calcium-dependent
ligand-binding, yang pada manusia merupakan komponen dari SAP. Molekul CRP pada
manusia terdiri dari lima polipeptida yang identik, masing-masing terdiri atas 206 residu asam amino.
Secara struktural CRP adalah molekul simetris yang terdiri dari lima protomers
tidak kovalen yang berhubungan dengan promoter. Setiap protomer memiliki dua ion kalsium yang bertanggung jawab untuk pengikatan posfoklorin spesifik. Posfoklorin merupakan unsur utama dari polisakarida bakteri dan jamur dan yang paling banyak pada
sel membran biologis, seperti residu posfoklorin dari C (kapsuler)-polisakarida dari
Streptococcuspneumoniae. Protein ini dinamakan "C-reactive" karena reaksi ini.
Monosit memiliki reseptor untuk CRP dan selanjutnya CRP akan meningkatkan produksi sitokin. CRP berperan juga dalam proses atherogenesis. Aktifasi CRP lebih lanjut dapat mengakibatkan produksi sitokin pro-inflamasi dan diferensiasi monosit menjadi makrofag. Dengan keberadaan lipoprotein teroksidasi densitas rendah, CRP akan memfasilitasi produksi sel-sel busa yang akan menjadi plak aterosklerotik.
30
31
Gambar 5. CRP pada patogenesis PPOK. LPS: lipopolisakarida; PAH:
polyaromatic hydrocarbons; BEC: bronchial epithelial cell; GM-CSF: granulocyte-monocyte colony-stimulating factor; MPO: myeloperoxidase; MØ: macrophage; TIMP:
tissue inhibitors of metalloproteinase; aAT: a1-antitrypsin; VEGF: vascular endothelial growth factor; END: endothelial cell; CRP: C-reactive protein.19
2.2.2 Fungsi CRP
CRP berperan dalam pertahanan tubuh manusia melalui respon inflamasi alamiah yang merupakan pertahanan tubuh pertama. CRP bekerja secara bersamaan dengan sistem imunitas didapat untuk melawan patogen dan mikroba. CRP akan mengikat
antigen melalui mekanisme yang melibatkan kalsium yang berperan menambah aktifitas proses fagositosis. Konsentrasi serum CRP mencapai kadar patologis jika diatas 5 mg/l. CRP dapat digunakan untuk memonitor inflamasi akibat dari infeksi maupun tidak infeksi, dan untuk menilai kemajuan terapi.
Nakou
32
dkk (2008) dalam analisanya menyimpulkan CRP dapat berperan dalam menginduksi apoptosis sel otot polos pembuluh darah koroner, dapat menginduksi pelepasan IL-1 dan TNFα oleh monosit, meningkatkan pembentukan radikal oksigen dengan monosit dan netrofil, menginduksi aktivasi komplemen, menginduksi ekspresi dari molekul adhesi melalui sel endotel (ICAM-1, VCAM-1, E-selektin) dan menginduksi produksi dari tissue factor dari monosit.33
Gan dkk. (2004) dalam studi metaanalisanya menganalisa 14 studi original dengan membandingkan kadar serum CRP, fibrinogen, leukosit dan TNF-α , IL-6, dan IL-8 pada pasien PPOK dan kontrol sehat. Hasilnya adalah pasien PPOK secara signifikan mengalami peningkatan kadar CRP, fibrinogen, leukosit dan TNF-α dibandingkan dengan kontrol yang sehat, yang mengindikasikan bahwa inflamasi sistemik persisten terjadi pada PPOK. Ditemukan juga bahwa pada pasien PPOK yang telah berhenti merokok terdapat bukti adanya inflamasi sistemik yang rendah. Hal ini menjelaskan bahwa ketika terjadi PPOK, berhenti merokok tidak sepenuhnya menepis proses inflamasi yang berhubungan dengan kondisi ini.34
Bagaimana dan kenapa pasien PPOK mengalami inflamasi sistemik masih belum dapat dijelaskan. PPOK dikarakteristikkan dengan proses inflamasi yang kuat pada saluran napas, parenkim, dan pembuluh darah paru. Ada kemungkinan dalam beberapa kasus bahwa proses inflamasi ini meluas ke sirkulasi sistemik yang selanjutnya menimbulkan reaksi inflamasi yang luas. Bagaimanapun mekanismenya, proses inflamasi sistemik pada PPOK telah dikaitkan dengan berbagai komplikasi seperti
kehilangan berat badan, kaheksia, osteoporosis, dan penyakit kardiovaskular. Hubungan antara PPOK, peradangan sistemik, dan penyakit kardiovaskular sangat erat dimana lebih dari setengah pasien dengan PPOK meninggal karena penyakit kardiovaskular. Selain itu, selama periode eksaserbasi terjadi peningkatan secara signifikan kadar plasma CRP, fibrinogen dan kadar serum IL-6, yang selanjutnya dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada pasien dengan PPOK.
Olafsdottir dkk. (2007) dalam studi kohort mengikutsertakan 53 pasien PPOK. Dengan hasil bahwa kadar CRP lebih besar pada penderita PPOK dibanding yang tidak (1,4 mg/l vs 1,0 mg/l, p=0,003), subjek dengan peningkatan kadar CRP (OR (95% CI) 3.21 (1.13–9.08)) memiliki resiko menderita PPOK dan penurunan FEV
34
1 pada laki-laki (rata-rata 44 mL) dan perempuan (rata-rata 31 mL). Laki-laki dengan kadar CRP > 0,46 mg/l mengalami penurunan FEV1 sementara pada kadar yang sama perempuan tidak mengalami penurunan FEV1 yang signifikan. Hubungan negatif antara CRP dan FEV1
terjadi lebih besar pada laki-laki dibanding perempuan (p=0,04), terdapat hubungan kadar CRP dan FVC (p=0,01) pada laki-laki saja.
Olafsdottir (2011) dalam disertasinya menyimpulkan terdapat hubungan antara kadar CRP dan gejala respirasi seperti mengi, sesak napas yang berhubungan dengan aktifitas, batuk malam hari, dimana hal ini menunjukkan bahwa penanda inflamasi sistemik tidak hanya bermanfaat sebagai penanda penyakit tahap lanjut tetapi juga untuk menilai perjalanan penyakit.
35
36
2.2.3 Kadar CRP
Secara tradisional, kadar serum CRP dapat diukur dengan nephelometry, yang memiliki batas deteksi dari 6 sampai 10 mg / L yang disebut test "serum CRP". Bentuk komersialnya adalah "high-sensitivity CRP" (hs-CRP). Pemeriksaan ini memiliki batas
deteksi sesuai dengan nama dagangnya seperti metode immulite automated analyzer
dengan batas deteksi pengukuran 0,10 – 500 mg/l, berdasarkan BNA nephelometer
dengan batas deteksi pengukuran 0,18-115 mg/l, berdasarkan immage dengan batas deteksi pengukuran 0,2-1440 mg/l.
Kao dkk. (2006) menuliskan bahwa populasi Asia memiliki kadar serum CRP yang lebih rendah dibandingkan dengan populasi Eropa sehingga diperlukan pemeriksaan yang lebih sensitif untuk menilai kadar CRP pada populasi Asia.
37
30
Jika ada perangsangan terhadap protein fase akut ini, nilainya dapat meningkat antara lebih < 50 ug/l sampai > 500 mg/l, yaitu 10.000 kali lipat. Kadar CRP plasma diproduksi oleh sel hati, terutama di bawah kontrol transkripsi sitokin IL-6, TNF-a dan IL-1 meskipun telah pernah dikemukakan kemungkinan sumber lain dapat membentuk CRP lokal.38 Broz BR dalam studinya menyatakan bahwa parenkim paru dan jaringan bronkus juga dapat mensintesa CRP.
Hutchinson dkk. (2000) dalam studi epidemiologi menilai kadar CRP pada populasi dewasa dari Augsburg (2291 laki-laki, 2203 perempuan, usia 25-74 tahun), Glasgow (604 laki-laki, 650 perempuan, usia 25-64 tahun) dengan hasil bahwa kadar CRP hampir sama pada kedua populasi yaitu 1 mg/l pada usia muda dan 2 mg/l pada usia tua, dimana kadarnya lebih tinggi pada wanita. Rata-rata kadar CRP pada kedua populasi yaitu 0,75 sampai 2,40 mg/l.
39
Dalam semua kondisi (baik normal ataupun dalam kondisi sedang mengalami inflamasi) maka waktu paruh plasma CRP adalah sekitar 19 jam, hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar CRP dalam sirkulasi akan berkurang dalam sebanyak 50% setiap 19 jam jika individu tersebut diberi stimulus yang memperbaiki penyebab peningkatan CRP, jika dibanding dengan parameter biokimia lain (viskositas plasma atau sedimentasi eritrosit), maka kadar sirkulasi CRP lebih akurat.
40
38
Lacoma dkk. (2011) dalam studinya memeriksa kadar PCT, CRP dan neopterin, pada 46 pasien PPOK stabil, 217 PPOK eksaserbasi, 55 PPOK dengan pneumonia dengan hasil PCT dan CRP meningkat pada pasien pneumonia kemudian eksaserbasi (p<0,0001), sementara neopterin tidak menunjukkan perubahan. Ketiga biomarker ini meningkat lebih tinggi pada pasien yang meninggal dalam waktu satu bulan setelah pemeriksaan darah dibanding dengan yang meninggal dalam waktu lebih dari satu bulan. Dari 217 pasien PPOK eksaserbasi, 23 orang pasien diperiksakan kembali menemukan kadar PCT, CRP dan neopterinnya satu bulan kemudian dan hasilnya bahwa kadar PCT (P=0.0788) dan CRP (P=0.0181) mengalami penurunan setelah satu bulan episode eksaserbasi (fase pemulihan) sementara kadar neopterin meningkat (P =0.0325).
Halvani dkk. (2006) dalam studi komperatif-deskriptif pada 45 pasien PPOK stabil dengan jenis kelamin laki-laki tanpa penyakit jantung iskemi dan 45 orang sehat sebagai kontrol menemukan bahwa kadar hsCRP pada pasien PPOK secara signifikan (p=0,04) berhubungan dengan derajat sesak napas dengan berdasarkan skala MMRC dimana derajat I, II, III masing-masing 22,78 ng/ml; 28,88 ng/ml dan 36.90 ng/ml. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kadar CRP dan beratnya penyakit, episode eksaserbasi dan penggunaan kortikosteroid inhalasi. CRP merupakan marker inflamasi sistemik dan faktor utama yang menyebabkan komplikasi ekstrapulmonal.
41
42
2.2.4 Cut off CRP
Hurst dkk. dalam studi kohort menyimpulkan bahwa cutoff CRP dapat dipilih untuk memaksimalkan sensitivitas dan spesifisitas sesuai kebutuhan. Namun CRP saja tidak cukup sensitif maupun spesifik untuk mengkonfirmasi eksaserbasi.
Bircan dkk. (2008) dalam studinya pada 30 pasien PPOK stabil, 51 pasien PPOK eksaserbasi, 32 pasien PPOK dengan foto thorax pneumonia (PCOPD) , 30 pasien
laki normal sebagai control, dengan kesimpulan bahwa nilai cutoff CRP untuk mendiagnosa PPOK atau infeksi bakteri sebagai penyebab eksaserbasi akut masih belum diketahui. Dalam studinya Bircan dkk. menggunakan cutoff CRP 10 mg/l untuk eksaserbasi akut dengan sensitivitas dan spesifisitas 72,5% dan spesifisitas 100%. Nilai kisaran normal yang digunakan adalah 0-10 mg/l. Hasilnya yaitu rata-rata kadar CRP pada PCOPD adalah 108.1 + 61.8 mg/l, SCOPD: 3,9 + 1,4 mg/l, AECOPD: 36,8+ 43,9 mg/l, kontrol normal : 2.1+ 0.9 mg/l. Hasil ini menunjukkan tidak satupun dari kontrol yang sehat dan pasien PPOK stabil memiliki kadar CRP >10 mg/l, sementara semua pasien PPOK eksaserbasi memiliki kadar CRP >10 mg/l.
Broekhuizen dkk (2006) dalam studinya pada 102 penderita PPOK dengan hasil penderita PPOK dengan GOLD derajat III dan IV memiliki kadar CRP yang lebih tinggi dibanding GOLD derajat II (II: 1.92 (0.36–16.00) mg/l; III: 4.43 (0.47–75.60) mg/l; IV: 4.90 (0.47–65.70) mg/l; p<0.03). Nilai cut off yang digunakan untuk membedakan kadar CRP orang normal (rata-rata 1,49 mg/l) dan yang mengalami peningkatan (rata – rata 12,50 mg/l) adalah 4,21 mg/l.
43
44
2.2.5 Faktor – faktor yang mempengaruhi kadar CRP
Telah banyak laporan bahwa pada beberapa populasi kadar CRP pada wanita lebih tinggi dibanding pria. Data dari Ausburg juga menunjukkan demikian bahwa kadar CRP pada wanita (2,9 mg/L) secara signifikan lebih tinggi dibanding pria (1,5 mg/L) dan kebalikannya ditemukan pada populasi di Jepang.
Alavi dkk. (2011) berdasarkan studinya menyatakan bahwa kadar hsCRP meningkat pada penderita PPOK eksaserbasi dengan BMI yang dibawah normal dan diatas normal dibandingkan dengan yang normal, pasien dengan PaCO
45
2 yang lebih tinggi juga menunjukkan kadar hsCRP yang lebih tinggi.13
Sin dkk. (2004) dalam studinya mengikutsertakan 41 pasien PPOK ringan sampai sedang, menemukan efek prednisolon oral 30 mg/hari menurunkan kadar CRP 71% dan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi (flutikason 1000 dan 2000 μg/hari) menurunkan kadar CRP 50% pada pasien PPOK ringan sampai berat.
Pinto-plata dkk. (2006) dalam studinya mengikutsertakan 88 pasien PPOK dan 33 kontrol merokok dan 38 kontrol tidak merokok, dengan hasil bahwa kadar CRP sekitar 20% lebih rendah pada pasien yang menggunakan dosis tinggi kortikosteroid inhalasi budesonid 800-1200 μg/hari, kadar CRP lebih tinggi pada pasien PPOK (rata -rata 1,51 mg/l) dibanding orang sehat baik merokok (1,04 mg/l) maupun tidak merokok (1,04 mg/l).
46
47
Sementara itu Karadag dkk. (2008) menemukan tidak ada perbedaan kadar serum CRP, TNF-alfa atau IL-6 pada pasien PPOK yang sedang ataupun yang sudah berhenti menggunakan steroid inhalasi dengan dosis medium budesonide 400-800 μg/hari. Kadar CRP juga diketahui secara signifikan lebih tinggi pada pasien PPOK dengan BMI yang rendah.
Kherad dkk. (2010) dalam studinya memeriksa kadar CRP (86 orang) dan PCT (81orang) penderita AECOPD dengan hasil medium kadar CRP 33 mg/l dan PCT 0,06 μg/l pada kasus yang ditemukan infeksi bakteri. Dan pada kasus yang ditemukan infeksi virus kadar medium CRP dan PCT adalah 45 mg/l dan 0,08 μg/l, namun hasil ini tidak ada perbedaan secara signifikan dengan pasien tanpa infeksi bakteri maupun virus.
48