• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Kadar C- Reactive Protein Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik Stabil dengan Eksaserbasi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Kadar C- Reactive Protein Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik Stabil dengan Eksaserbasi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan."

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PERBANDINGAN KADAR C-REACTIVE PROTEIN PENDERITA

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK STABIL DENGAN

EKSERBASI

DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

YANTI EVI ARLINI GULTOM

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN USU/SMF PARU RSUP H. ADAM MALIK

(2)

PERBANDINGAN KADAR C-REACTIVE PROTEIN PENDERITA

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK STABIL DENGAN

EKSASERBASI DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM

MALIK MEDAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Paru dalam Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Pada Departemen Pulmonologi Dan Kedokteran Respirasi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

YANTI EVI ARLINI GULTOM

DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN USU/SMF PARU RSUP H. ADAM MALIK

(3)

LEMBARAN PERSETUJUAN TESIS

Judul Tesis : Perbandingan Kadar C- Reactive Protein Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik Stabil dengan Eksaserbasi

di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Nama : Yanti Evi Arlini Gultom

Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis I

Departemen Pulmonologi & Kedokteran Respirasi. Menyetujui

Pembimbing

NIP:196105191989021001

dr. Pandiaman S. Pandia, M.Ked (Paru) SpP(K)

Anggota I Anggota II Koordinator Penelitian Departemen

Pulmonologi

& Kedokteran Respirasi

dr. Amira P Tarigan,M.Ked(Paru)SpP Prof.Dr.Albiner Siagian,MSi Prof. dr. Tamsil S, SpP(K) NIP:196911071999032002 NIP: 196706131993031004 NIP:195211011980031005

Ketua Program Studi Ketua Departemen Ketua Tim Koordinator

Departemen Pulmonologi Departemen Pulmonologi Program Pendidikan & Kedokteran Respirasi & Kedokteran Respirasi Dokter Spesialis

dr.Amira P T,M.Ked(Paru),SpP Prof.dr.H Luhur Soeroso, SpP(K)

(4)

TESIS

PPDS MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA / RUMAH SAKIT UMUM HAJI ADAM

MALIK MEDAN

Judul penelitian : Perbandingan Kadar C- Reactive Protein Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil dengan Eksaserbasi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

Nama peneliti : Yanti Evi Arlini Gultom

Fakultas : Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Program Studi : Program Magister Kedokteran Klinik Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Jangka Waktu : 6 (enam) bulan

Biaya Penelitian : Rp.18.000.000,-

Lokasi Penelitian : Unit Rawat Jalan Poli Paru dan Rawat Inap Paru di RS. H.Adam Malik Medan

(5)

PERNYATAAN

PERBANDINGAN KADAR C- REACTIVE PROTEIN PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK STABIL DENGAN EKSASERBASI DI RUMAH

SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN.

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2013

(6)

Telah diuji pada

Tanggal : 30 Oktober 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Penguji I : Prof. dr. Luhur Soeroso, Sp.P(K) Penguji II : Prof. dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P(K)

Penguji III : dr. Hilaluddin Sembiring, Sp.P(K), DTM&H Penguji IV : dr. Zainuddin Amir, Sp.P(K)

(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS IDENTITAS

Nama : Dr. Yanti Evi Arlini Gultom Tempat/Tgl/Lahir : Hutahotang, 17 Desember 1980 Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : -

Alamat : Jl. Flamboyan VI Komp IKIP No.29 Medan

KELUARGA

Bapak : Drs. Abidin Gultom Ibu : Asta br.Situmorang Suami : Raynold Tumbo Panggalo Anak : George Lucas Tumbo Panggalo PENDIDIKAN

1. SD Negeri 060915 Medan Ijazah 1993 2. SMP Negeri 30 Medan Ijazah 1996 3. SMA Negeri 4 Medan Ijazah 1999 4. FK USU Medan Ijazah 2006

PEKERJAAN

1. Dokter Peserta PPDS Ilmu Penyakit Paru PERKUMPULAN PROFESI

1. Anggota IDI kota Medan 2009- sekarang 2. Anggota muda PDPI cabang Sumatera Utara 2009 – sekarang

PARTISIPASI DALAM KEGIATAN ILMIAH

1. Laporan Kasus dengan topik Efusi Perikard Tuberkulosis pada KONAS XI PDPI, Bukit Tinggi 2007

(8)

3. Peserta pada beberapa kegiatan ilmiah Paru TUGAS

Selama mengikuti pendidikan dokter spesialis Ilmu Penyakit Paru FK- USU telah membawakan :

(9)

ABSTRAK

PERBANDINGAN KADAR C- REACTIVE PROTEIN PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK STABIL DENGAN EKSASERBASI DI RUMAH

SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

Yanti E. A. Gultom

DEPARTEMEN PULMONOLOGI & ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI

, Amira P Tarigan, P.S.Pandia

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati, yang ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel dan biasanya bersifat progresif, berhubungan dengan respons inflamasi kronis pada saluran napas dan paru-paru akibat partikel maupun gas berbahaya. C-Reactive Protein (CRP) merupakan salah satu dari protein fase akut yang meningkat pada penderita PPOK sebagai bagian dari respon inflamasi adaptif yang berperan menginformasikan proses inflamasi yang terjadi pada paru-paru penderita PPOK. Penyebab peningkatan nilai CRP salah satunya adalah PPOK, kemudian PPOK itu sendiri di pengaruhi oleh berbagai faktor resiko salah satunya adalah kebiasaan merokok. Penelitian ini mau melihat adanya perbandingan kadar CRP pada penderita PPOK eksaserbasi dan stabil sehingga dapat sebagai peringatan awal tentang kondisi inflamasi sistemik penderita PPOK.

METODE

Penelitian ini dilakukan secara observasional dengan pendekatan studi potong lintang di RSUP H.Adam Malik medan dalam bulan April – Juni 2013 sebanyak 60 sampel yang terdiri dari 30 penderita PPOK eksaserbasi dan 30 penderita PPOK stabil. Dilakukan spirometri dan pemeriksaan kadar CRP dengan flow cytometry.

HASIL

(10)

eksaserbasi dan stabil adalah dengan kelompok > 600 masing -masing sebanyak 21 orang (70,0%) dan sebanyak 23 orang (76.7%). Distribusi kelompok indeks brinkman terbanyak penderita PPOK eksaserbasi dan stabil adalah dengan kelompok > 600 masing -masing sebanyak 21 orang (70,0%) dan sebanyak 23 orang (76.7%). Distribusi BMI terbanyak penderita PPOK eksaserbasi dan stabil adalah dengan kelompok 18.5 - 24.99 (normal) masing masing sebanyak 26 orang (86,7 %) dan sebanyak 19 orang (63,3 %). Distribusi kelompok VEP1 terbanyak penderita PPOK eksaserbasi dan stabil adalah

dengan kelompok 30% < VEP1 < 50% prediksi (berat) masing masing sebanyak 16

orang (53,3%) dan sebanyak 14 orang (46,7%). Penderita PPOK eksaserbasi memiliki kadar hsCRP terbanyak pada kelompok kadar > 10 mg/l sebanyak 27 orang (90,0%) dan seluruh penderita PPOK stabil adalah dengan kadar < 10 mg/l. Perbedaan kadar hsCRP antara penderita PPOK eksaserbasi dan stabil.

KATA KUNCI

(11)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur dan terima kasih penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sebab berkat rahmat dan kasih karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tulisan akhir ini yang berjudul “Perbandingan Kadar C- Reactive Protein Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik Stabil dengan Eksaserbasi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.” Tulisan ini merupakan persyaratan dalam penyelesaian pendidikan keahlian di Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan. Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak baik dari guru-guru yang penulis hormati, teman sejawat asisten Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU, paramedis dan non medis serta dorongan dari pihak keluarga. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Prof. dr. H. Luhur Soeroso, Sp P (K) sebagai Ketua Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/ SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan, yang tiada henti-hentinya memberikan bimbingan Ilmu Pengetahuan, arahan, petunjuk serta nasehat dalam cara berpikir, bersikap dan berprilaku yang baik selama masa pendidikan, yang mana hal tersebut sangat berguna di masa yang akan datang.

Prof. dr. H. Tamsil Syafiuddin, Sp P(K) sebagai koordinator penelitian ilmiah di Departemen Pulmonolgi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/ SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan dan Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) cabang Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan, dorongan, bimbingan, pengarahan dan masukan dalam rangka penyusunan dan penyempurnaan tulisan ini.

(12)

dr. Pantas Hasibuan, Mked(Paru), Sp P(K) sebagai salah satu pembimbing dalam tesis ini maupun sebagai Sekretaris Departemen Pulmonolgi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/ SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan, yang telah banyak memberikan penulis bantuan, masukan dan arahan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini.

dr. Widirahardjo, Sp.P(K) sebagai pembimbing akademik penulis, yang telah banyak memberikan bantuan, masukan, arahan dan dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.

DR. dr. Amira Permatasari Tarigan, Mked(Paru),Sp P sebagai Ketua Program Studi Departemen Pulmonolgi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/ SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan, yang telah banyak memberikan bimbingan, bantuan, dorongan dan nasehat yang sangat berguna selama penulis menjalani masa pendidikan.

dr. Noni N Soeroso, Mked(Paru), Sp.P sebagai salah satu pembimbing maupun sebagai Sekretaris Program Studi Departemen Pulmonolgi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/ SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan, yang dengan penuh kesabaran memberi bimbingan, bantuan tehnis, masukan, dan dorongan dalam penyempurnaan penelitian bagi penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.

Prof.Dr. Albiner Siagian,MSi sebagai pembimbing statistik yang telah banyak membantu dan membuka wawasan penulis dalam bidang statistik dan dengan penuh kesabaran memberi bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.

(13)

Bihar, M.Ked(Paru), Sp.P yang telah banyak memberikan bantuan, masukan dan pengarahan selama menjalani pendidikan.

Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran USU Medan, Direktur RSUP H Adam Malik Medan, Bagian Patologi Klinik RSUP H Adam Malik Medan, yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada penulis dalam melaksanakan dan menyelesaikan penelitian ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada teman sejawat peserta Program Studi Pendidikan Spesialisasi Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi, pegawai tata usaha, perawat/petugas poliklinik, ruang rawat inap, ruang bronkoskopi, instalasi perawatan intensif, instalasi gawat darurat RSUP H Adam Malik atas bantuan dan kerja sama yang baik selama menjalani masa pendidikan.

Dengan rasa hormat dan terima kasih yang tiada terbalas penulis sampaikan kepada Ayahanda Pdt.A.C.Damanik,STh dan Ibunda M br Gultom tercinta yang telah membesarkan, mendidik dan memberi dorongan semangat serta doa kepada penulis hingga dapat menyelesaikan pendidikan ini.

Rasa hormat dan terima kasih terhadap mertua penulis Amang O. Simatupang dan Inang Dj.H.N br Panjaitanm yang banyak memberikan dukungan dan doa selama penulis menjalani pendidikan ini. Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada abang, adik dan ipar penulis.

(14)

rasa terima kasih dan penghargaan atas segala kesetiaan maupun dukungan kalian selama ini.

Akhirnya pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan, kekhilafan dan kesalahan yang pernah diperbuat selama ini. Semoga ilmu, keterampilan dan pembinaan kepribadian yang penulis dapatkan selama ini dapat bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa dan mendapat restu dari Tuhan Yang Maha Esa.

Medan, Oktober 2013 Penulis

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN………. i

LEMBAR USULAN PENELITIAN……… ii

DAFTAR ISI……….…….. …. iii

DAFTAR ISTILAH………. vi

DAFTAR TABEL……… ix

DAFTAR GAMBAR.………. …. x

BAB I PENDAHULUAN……… 1

1.1. Latar Belakang……… 1

1.2. Perumusan Masalah……… 5

1.3. Tujuan Penelitian………...………. 5

1.3.1 Tujuan Umum……….. 5

1.3.2 Tujuan Khusus……… 5

1.4 Manfaat Penelitian……… 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……… 7

2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)……… 7

2.1.1 Defenisi PPOK……… 7

2.1.2 Epidemiologi………. 7

2.1.3 Patogenesis PPOK……… 9

2.1.4 Patologi PPOK……….. 14

2.1.5 Patofisiologi………. 16

2.1.6 Diagnosis……… 18

2.1.7 Penatalaksanaan PPOK………. 21

(16)

2.2.1 Struktur dan filogeni CRP……….. 22

2.2.2 Fungsi CRP………. 24

2.2.3 Kadar CRP………. 26

2.2.4 Cut off CRP………. 28

2.2.5 Faktor – faktor yang mempengaruhi kadar CRP…...…. 29

2.3. Kerangka konsep……… 31

2.4 Hipotesis………. 31

BAB III METODOLOGI PENELITIAN………... 32

3.1 Rancangan penelitian……….. 32

3.2 Tempat dan waktu penelitian………. 32

3.3 Subjek penelitian………. 32

3.4 Kriteria inklusi……… 32

3.5 Kriteria eksklusi.……… 33

3.6 Besar sampel……… 33

3.7 Kerangka operasional………. 34

3.8 Definisi Operasional……… 34

3.9 Cara penelitian………. 37

3.10 Analisa Data………. 38

3.11 Jadwal Penelitian……….. 38

3.12 Biaya Penelitian………... 39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN…………... 40

4.1 Hasil penelitian………...……….. 40

4.2 Pembahasan penelitian……...……….…. 43

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN…………... 47

(17)
(18)

DAFTAR ISTILAH

AECOPD : Acute Exacerbation Chronic Obstructive Pulmonary Disease BMI : Body Mass index

BODE : Body mass index, obstruction, dyspnoea and exercise capacity BAL : Bronchoalveolar lavage

C1q : Complement 1 q

CAT : COPD Assessment Test CD : Cluster of Differentiation CO2 : Carbon Dioxyde

CXCR :CXC chemokine receptor CCR :CC chemokine receptor CXCL :CXC chemokine ligan CRP : C Reactive Protein ET : Endothelin

FEV

FGF : Fibroblast Growth Factor : Force Expiratory Volume

FGFR : Fibroblast Growth Factor Receptor FVC : Force Vital capacity

GM-CSF : Granulocyte Monocyte Colony Stimulating Factor GOLD : Global Initiative for Obstructive Pulmonary Disease hsCRP : high sensitive CRP

(19)

ICAM : Intercellular Adhesion Molecule KVP : Kapasitas Vital Paksa

LTB : Leukotrin B

LDL : Low Density Lipoprotein LPS :Lipopolysacharida

MHC : Mayor Histocompatibility Complex MCP

MMP : Matriks Metalloproteinase

: Monocyte Chemoattractant Protein

mMRC : modified Medical Research Council NFkB : Nuclear Factor kappa B

OR : Odd Ratio

PCOPD : Pneumonia Chronic Obstructive Pulmonary Disease PaO2

PCT : Procalcitonin

: Arterial oxygen tension

PPOK : Penyakit Paru Obstruksi kronik RA3 : Rindu A3

ROS : Reactive Oxygen Species RR : Relative Risk

RS : Rumah Sakit

RS HAM : Rumah Sakit Haji Adam Malik Sel T : Sel Thimus

STAT : Signal Tranducers and Activators of Transcription SCOPD : Stable Chronic Obstructive Pulmonary Disease SAA : Serum Amiloid A

(20)

Th : T helper

(21)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pembagian hambatan aliran udara berdasarkan spirometri

setelah pemberian bronkodilator……… 21

Tabel 2. Jadwal kegiatan………. 38

Tabel 3. Biaya penelitian………. 39

Tabel 4.1.1. Distribusi penderita berdasarkan umur……….... 41

Tabel 4.1.2. Distribusi penderita berdasarkan nilai Indeks Brinkman… 41

Tabel 4.1.3. Distribusi penderita berdasarkan derajat BMI……… 42

Tabel 4.1.4. Distribusi penderita berdasarkan nilai VEP1 Tabel 4.1.5. Distribusi penderita berdasarkan nilai hsCRP……… 43

……...……… 42

Tabel 4.1.6. Distribusi penderita berdasarkan nilai CAT……… 43

(22)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Inflamasi pada PPOK……… 11 Gambar 2. Inflamasi perifer di paru dapat masuk ke sirkulasi sistemik…….. 13 Gambar 3. Gambaran radiologi penderita PPOK….………... 20 Gambar 4. Penilaian PPOK menurut GOLD 2011..……… 21 Gambar 5. CRP pada patogenesis PPOK……… Gambar 6. Kerangka konsep penelitian……….. 31

23

(23)

ABSTRAK

PERBANDINGAN KADAR C- REACTIVE PROTEIN PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK STABIL DENGAN EKSASERBASI DI RUMAH

SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

Yanti E. A. Gultom

DEPARTEMEN PULMONOLOGI & ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI

, Amira P Tarigan, P.S.Pandia

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati, yang ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel dan biasanya bersifat progresif, berhubungan dengan respons inflamasi kronis pada saluran napas dan paru-paru akibat partikel maupun gas berbahaya. C-Reactive Protein (CRP) merupakan salah satu dari protein fase akut yang meningkat pada penderita PPOK sebagai bagian dari respon inflamasi adaptif yang berperan menginformasikan proses inflamasi yang terjadi pada paru-paru penderita PPOK. Penyebab peningkatan nilai CRP salah satunya adalah PPOK, kemudian PPOK itu sendiri di pengaruhi oleh berbagai faktor resiko salah satunya adalah kebiasaan merokok. Penelitian ini mau melihat adanya perbandingan kadar CRP pada penderita PPOK eksaserbasi dan stabil sehingga dapat sebagai peringatan awal tentang kondisi inflamasi sistemik penderita PPOK.

METODE

Penelitian ini dilakukan secara observasional dengan pendekatan studi potong lintang di RSUP H.Adam Malik medan dalam bulan April – Juni 2013 sebanyak 60 sampel yang terdiri dari 30 penderita PPOK eksaserbasi dan 30 penderita PPOK stabil. Dilakukan spirometri dan pemeriksaan kadar CRP dengan flow cytometry.

HASIL

(24)

eksaserbasi dan stabil adalah dengan kelompok > 600 masing -masing sebanyak 21 orang (70,0%) dan sebanyak 23 orang (76.7%). Distribusi kelompok indeks brinkman terbanyak penderita PPOK eksaserbasi dan stabil adalah dengan kelompok > 600 masing -masing sebanyak 21 orang (70,0%) dan sebanyak 23 orang (76.7%). Distribusi BMI terbanyak penderita PPOK eksaserbasi dan stabil adalah dengan kelompok 18.5 - 24.99 (normal) masing masing sebanyak 26 orang (86,7 %) dan sebanyak 19 orang (63,3 %). Distribusi kelompok VEP1 terbanyak penderita PPOK eksaserbasi dan stabil adalah

dengan kelompok 30% < VEP1 < 50% prediksi (berat) masing masing sebanyak 16

orang (53,3%) dan sebanyak 14 orang (46,7%). Penderita PPOK eksaserbasi memiliki kadar hsCRP terbanyak pada kelompok kadar > 10 mg/l sebanyak 27 orang (90,0%) dan seluruh penderita PPOK stabil adalah dengan kadar < 10 mg/l. Perbedaan kadar hsCRP antara penderita PPOK eksaserbasi dan stabil.

KATA KUNCI

(25)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Pertengahan tahun 1990 pemeriksaan imunologi untuk C-reactive protein (CRP) lebih banyak digunakan untuk kelainan kardiovaskular. Minat yang luas terhadap studi mengenai penanda ini terutama terjadi di Amerika Serikat. CRP merupakan bagian dari respons fase akut yang tidak spesifik terutama terhadap berbagai bentuk inflamasi, infeksi, dan kerusakan jaringan. Nilai CRP tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostik tunggal dan hanya dapat dipertimbangkan jika dikaitkan dengan klinis dan hasil diagnostik lainnya. CRP merupakan penyokong diagnostik yang kuat sama halnya seperti nilai temperatur pasien yang sangat berguna secara klinis dan juga merupakan parameter tidak spesifik.

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit paru dengan inflamasi kronis yang kompleks dimana terdapat keterlibatan berbagai sel inflamasi dan mediator inflamasi terhadap gas ataupun partikel beracun.

1

2

Meskipun proses inflamasi berlangsung di paru namun proses inflamasi kronik pada PPOK berdampak pada sistemik. Petanda inflamasi seperti CRP, LPS, molekul adhesi meningkat dalam sirkulasi sistemik. Sudah banyak studi yang dilakukan untuk menilai dampak manifestasi klinik inflamasi sistemik ini terhadap prognosa penderita PPOK.

Beberapa studi epidemiologi telah menunjukkan peningkatan kadar CRP yang berhubungan dengan peningkatan rawat inap, penyakit kardiovaskular, dan kematian pada pasien PPOK dengan obstruktif saluran napas derajat ringan sampai dengan sangat berat, seperti Man dkk. (2006) dalam studinya mengukur kadar CRP pada 4803 penderita PPOK ringan sampai menengah. Mereka menemukan pasien yang penyebab kematiannya adalah karena penyakit kardiovaskular memiliki kadar CRP dengan relative

(26)

risk (RR) 1.51 (95% CI 1.20 sampai 1.90) dan yang dikarenakan kanker dengan RR 1.85 (95% CI 1.10 sampai 3.13). Peningkatan kadar CRP juga berhubungan dengan penurunan FEV1 dalam 5 tahun pengamatan, sehingga disimpulkan bahwa kadar CRP

dapat menjadi penanda bagi prognosis PPOK.4

Dahl dkk. (2006) dalam studi kohort pada 1302 penderita PPOK menemukan bahwa pasien dengan kadar CRP > 3 mg/L merupakan prediktor peningkatan rawatan inap dan kematian karena PPOK dibandingkan dengan kadar CRP < 3 mg/L (p < 0,001). Setelah pengamatan 10 tahun penderita PPOK yang berusia > 70 tahun, konsumsi tembakau 15 gr/hari, FEV

1 < 50, dengan kadar CRP > 3 mg/L mengalami rawat inap

sekitar 54% dan kematian sekitar 57%. Kesimpulan studi ini adalah CRP merupakan penanda yang kuat memprediksi prognosis penderita PPOK.5

Torres dkk. (2006) dalam studinya pada 130 penderita PPOK stabil dan 65 orang kontrol sehat melaporkan bahwa kadar CRP meningkat pada penderita PPOK stabil (4.1 mg/l) yang tidak mengalami eksaserbasi berulang dalam 2 bulan, terutama yang masih merokok dibanding dengan kontrol (1.8 mg/l). Dengan hasil bahwa peningkatan kadar CRP berkorelasi negatif dengan PaO

2 dan 6 MWD, faal paru serta serta pemberian

glukokortikosteroid tidak mempengaruhi kadar CRP.

Hurst dkk. (2006) meneliti 36 biomarker pada 90 pasien PPOK eksaserbasi hasilnya menunjukkan bahwa CRP merupakan petanda yang paling selektif, konsentrasi CRP plasma dapat berguna dalam mengkonfirmasi PPOK eksaserbasi tetapi tidak dapat memprediksikan beratnya eksaserbasi, dan respon fase akut pada eksaserbasi berhubungan dengan fungsi monosit.

6

Perera dkk. (2007) dalam studi kohort pada 73 penderita PPOK mengukur kadar serum CRP dan IL-6 serta kadar IL-6 dan IL-8 pada sputum saat kondisi penderita PPOK stabil, eksaserbasi serta pada hari ke 7, 14, dan 35 setelah eksaserbasi. Hasilnya adalah

(27)

23% pasien tidak mengalami perbaikan gejala sampai hari ke 35, ternyata pasien ini memiliki kadar serum CRP yang lebih tinggi secara menetap selama periode pemulihan dibanding dengan pasien yang mengalami pemulihan ke kadar normal (p=0,03). Sekitar 22% pasien yang mengalami eksaserbasi berulang pada hari ke 50 hari dari eksaserbasi sebelumnya berhubungan secara signifikan (p=0,007) dengan tingginya kadar CRP pada hari ke 14 (8,8 mg/l) dibandingkan dengan kadar CRP pasien yang tidak mengalami eksaserbasi berulang (3,4 mg/l). Hasil ini menunjukkan bahwa kadar CRP dapat menjadi penanda penting bagi lamanya pemulihan dan berulangnya eksaserbasi serta penanda serum inflamasi merupakan penanda yang lebih baik dari pada penanda sputum.

Marevic dkk. (2007) dalam studinya yang mengikutsertakan 27 pasien PPOK stabil dan 7 pasien PPOK eksaserbasi, 37 orang sehat merokok dan 23 orang sehat tidak merokok dengan hasil bahwa kadar hsCRP lebih tinggi pada pasien PPOK dari pada kelompok kontrol normal (p=0,0004), hsCRP juga terbukti sebagai parameter diagnostik yang lebih sensitip dibanding TNF-a, CXCL8 dan ET-1 pada sirkulasi sistemik pasien PPOK. Terdapat juga hubungan antara konsentrasi hsCRP dan kebiasaan merokok (p=0,0229) yang mendukung pernyataan merokok dapat menimbulkan inflamasi sistemik.

8

Sembiring (2007) dalam studinya dengan 40 sampel di Medan menemukan bahwa rerata kadar CRP pada pasien PPOK stabil di RSHAM dan Pirngadi adalah 0,23 + 0,34 mg/dl.

9

10

Sementara itu, Parhusip (2008) dalam studinya pada 40 pasien PPOK eksaserbasi di RS HAM dan RS Pirngadi Medan menemukan kadar CRP adalah 0,68 + 0,54 mg/dl.11

Durme dkk. (2009) dalam studi kohort pada 6836 sampel tanpa PPOK, dengan hasil bahwa sampel dengan kadar high sensitivity CRP (hsCRP) > 3 mg/l setelah pengamatan 3 tahun menunjukkan peningkatan risiko mengalami PPOK secara

(28)

signifikan dibanding dengan kadar < 1 mg/l. Namun hsCRP tidak dapat dikatakan sebagai faktor risiko dalam menyebabkan PPOK tetapi dapat dianggap sebagai prediktor. Penelitian ini juga tidak menemukan hubungan antara variasi dalam gen CRP sebagai penanda perubahan kadar hsCRP dan insiden PPOK. Hasil ini menunjukkan bahwa faktor endogen atau eksogen lain memiliki peran kausal dalam hubungan antara inflamasi sistemik dan PPOK.

Alavi dkk. (2011) dalam studi cross-sectional pada 160 pasien PPOK eksaserbasi di Iran menunjukkan bahwa kadar hsCRP secara signifikan berhubungan dengan stadium penyakit PPOK sesuai dengan kriteria GOLD (rata-rata kadar hsCRP 11,65 + 15,03).

12

Berdasarkan latar belakang di atas yang menginformasikan bahwa terjadi proses inflamasi sistemik pada pasien PPOK stabil dan eksaserbasi dimana penanda biologis yang paling direkomendasikan adalah CRP serta belum adanya informasi kadar CRP pada penderita PPOK stabil dan eksaserbasi yang berobat ke poli paru RS HAM Medan maka peneliti ingin melakukan penelitian mengenai perbedaan kadar CRP pada penderita PPOK eksaserbasi dan PPOK stabil di RA3 dan poli paru RS HAM Medan.

13

1.2 Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas perlu diteliti mengenai adakah perbedaan kadar CRP antara penderita PPOK stabil dan eksaserbasi di RA3 dan poli paru RS HAM Medan Desember – Mei 2012.

1.3 Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan umum

(29)

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui karakteristik penderita PPOK eksaserbasi dan stabil.

2. Untuk mengetahui nilai rerata kadar CRP pada penderita PPOK stabil dan eksaserbasi.

3. Untuk mengetahui apakah kadar CRP pada penderita PPOK stabil lebih rendah atau sebaliknya dibandingkan dengan eksaserbasi.

1.4 Manfaat penelitian

1. Memberikan informasi besarnya kadar CRP pada penderita PPOK stabil dan eksaserbasi, sehingga dapat diketahui bahwa proses inflamasi yang terjadi pada pasien PPOK dapat menimbulkan perubahan kadar CRP, dan dapat digunakan sebagai tanda awal terhadap penatalaksaanaan.

2. Peningkatan kadar CRP pada penderita PPOK dapat digunakan sebagai petanda untuk menentukan prognosa sehingga pemeriksaan ini harus dilakukan secara rutin bagi penderita PPOK stabil dan eksaserbasi.

3. Selama ini penilaian pasien PPOK eksaserbasi adalah dari anamnesa dan pemeriksaan klinis saja sehingga dengan adanya data kadar CRP yang meningkat dapat berguna untuk mengidentifikasi dan mengkonfirmasi PPOK eksaserbasi. 4. Peningkatan kadar CRP pada pasien PPOK stabil maupun eksaserbasi di

RSHAM Medan akan digunakan sebagai penambah data yang membuktikan bahwa pasien PPOK mengalami inflamasi yang berlangsung secara terus menerus, sehingga diperlukan terapi anti inflamasi baik inhalasi maupun sistemik pada pasien PPOK terutama penderita PPOK eksaserbasi.

(30)
(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 2.1.1 Defenisi PPOK

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang persisten, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya, disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.14

2.1.2 Epidemiologi PPOK

Di Indonesia tidak ditemukan data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1992 menemukan angka kematian emfisema, bronkitis kronik dan asma menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia. Pada tahun 1997 penderita PPOK yang dirawat inap di RSUP Persahabatan sebanyak 124 (39,7%), sedangkan rawat jalan sebanyak 1837 atau 18,95%. Di RSUD dr. Moewardi Surakarta ditemukan penderita PPOK rawat inap sebanyak 444 (15%), dan rawat jalan 2368 (14%).

Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyebab morbiditas dan kematian ke-4 terbesar di dunia dan WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2020 PPOK menjadi penyebab kematian ketiga tertinggi di dunia. Angka prevalensi, morbiditas, dan mortalitas PPOK bervariasi antar negara dan di antara kelompok populasi, umumnya berkaitan dengan prevalensi perokok serta kondisi polusi udara akibat pembakaran yang juga telah diidentifikasi sebagai faktor risiko PPOK.

15

(32)

Menurut Raherison (2009) prevalensi PPOK diperkirakan 7,6% (95% CI 6 - 9,2%. Berdasarkan 38 penelitian, prevalensi bronkitis kronis diperkirakan 6,4% (95% CI 5,3-7,7%). Prevalensi emfisema (melalui rontgen dada) diperkirakan 1,8% (95% CI 1,3-2,6%) berdasarkan delapan studi. Mayoritas studi (62%) menunjukkan umur pasien lebih dari 40 tahun, dengan rentang usia antara 40 dan 64 tahun. Prevalensi PPOK meningkat sesuai dengan usia, dengan peningkatan risiko menjadi lima kali lipat bagi mereka yang berusia di atas 65 tahun dibandingkan dengan pasien berusia kurang dari 40 tahun. Prevalensi PPOK meningkat sesuai dengan status merokok, tetapi perlu ditekankan bahwa prevalensi PPOK pada perokok adalah 4%, menunjukkan adanya faktor risiko lain, seperti merokok pasif, atau faktor paparan akibat kerja. PPOK terjadi pada laki-laki dua kali lebih banyak dibanding perempuan, tetapi perbedaan ini akan berkurang, mengingat fakta bahwa semakin banyak perempuan yang merokok terutama di negara berkembang, dan bahwa perempuan yang tidak merokok terkena produk hasil pembakaran dari biomassa di negara berkembang.

Menurut Purba (2010) berdasarkan studinya menemukan penderita PPOK stabil yang berobat jalan di Poli RS H. Adam Malik sekitar 82 orang dalam satu tahun, laki-laki sekitar 85,4%, umur lebih dari 60 tahun sekitar 63,4%.

16

17

Kondisi tersebut menunjukkan angka kematian yang disebabkan PPOK terus mengalami peningkatan tanpa disadari masyarakat.

2.1.3 Patogenesis PPOK

(33)

diketahui. Inflamasi paru diperberat oleh tekanan oksidatif dan kelebihan proteinase. Semua mekanisme ini mengarah pada karakteristik perubahan patologis PPOK.

Mikroba tidak sendirian dalam memicu sistem imunitas tubuh melainkan terdapat keterlibatan tekanan selular, kerusakan jaringan akibat dari infeksi TLR. Hasil dari sel epitel yang cedera ini dapat bertindak sebagai ligan untuk TLR4 dan TLR2 yang akan mengaktifkan NF-kB. NF-kB ini akan menginduksi sel epitel untuk memproduksi mediator peradangan. Mediator ini akan mengaktifkan makrofag dan neutrofil, yang pada gilirannya akan mensekresikan enzim proteolitik dan bersama dengan ROS akan merusak jaringan paru-paru. Pada sebagian besar perokok proses penyakit ini tidak akan berkembang jika peradangan ini diminimalkan dan peristiwa pada tahap selanjutnya tidak terjadi.

14

Pada perokok dengan PPOK, terjadi peningkatan sel dendritik yang matang di saluran napas perifer yang berhubungan dengan tingginya ekspresi chemoattractant dari sel dendritik di paru. Terdapat juga peningkatan sel T CD4+ yang mengekspresikan STAT4 di paru-paru. Ekspresi STAT4 dan IFN-γ berkorelasi dengan hambatan aliran napas pada PPOK. Pada paru-paru perokok, material yang berasal dari sel yang mengalami stres, cedera, nekrosis dan apoptosis diambil oleh sel dendritik dan disajikan melalui MHC-I ke sel T CD8+ yang menyebabkan sel T melimpah di paru-paru penderita PPOK.

18

Selanjutnya sel T CD8+ dan CD4+ akan mengekspresikan reseptor kemokin spesifik jaringan seperti CXCR3, CCR5, dan CXCR6 dimana ekspresi dari reseptor dan ligan ini berkorelasi dengan keparahan penyakit PPOK.Kegagalan ringan dari mekanisme pengaturan ini menghasilkan GOLD derajat 1 atau derajat 2; kegagalan berat menjadi GOLD derajat 3 atau tahap 4.18

Asap rokok dapat mencetuskan pelepasan sitokin inflamasi dari berbagai sel termasuk IL-6, TNFα, IL-1β, TGF-β1, dan GM-CSF. Inhalasi asap rokok juga

(34)

menyebabkan terjadinya ROS yang akan manghambat aktivitas mediator anti protease terutama α1-antitripsin yang menyebabkan defisiensi anti protease. Masuknya IL-8 dan

netrofil ke parenkim paru akan diikuti oleh makrofag dan sel T CD8+. Makrofag akan aktif dan melepaskan sejumlah MMP (MMP1, MMP2, MMP9, MMP12 dan MMP15) yang akan mendegradasi baik elastin dan kolagen. Netrofil juga berperan menghasilkan oksidan endogen dengan konsentrasi tinggi. Oksidan ini bersama dengan sitokin masuk ke sistem vaskular.19

Efek nikotin di seluruh saluran napas diperkirakan memicu pelepasan fibronektin yang mengakibatkan terjadinya fibrosis yang dimediasi oleh IL-8 dan TGF-β1. Pada penderita PPOK terjadi apoptosis struktur sel (sel epitel dan endotel) dan sel-sel inflamasi (neutrofil polimorfik) yang tidak teratur, sehingga terjadi peningkatan IL-6 dan IL-8. Aktivasi NF-kB berkaitan dengan penghambatan apoptosis, sehingga akan memperpanjang umur netrofil dan remodeling.

Jumlah sel CD4+ mengekspresikan IFN-γ dan berkorelasi dengan derajat obstruksi aliran napas. Perekrutan dan aktivasi sel-sel inflamasi, makrofag, neutrofil, eosinofil, sel T CD4+ dan CD8+, dan sel B memperburuk PPOK. Pada PPOK interaksi antara kemokin CXCL10 dan CXCL9, akan meningkatkan produksi MMP-12 sehingga menyebabkan kerusakan paru-paru. Fungsi sel dendritik yang meningkat, kecenderungan genetik, dan kegagalan regulasi imunitas adaptip dan penyakit berat (GOLD tahap 3 atau tahap 4).

19

18

(35)

Gambar 1. Inflamasi pada PPOK. Paparan rokok yang kronik mengakibatkan aktifasi netrofil, makrofag, sel epitel, sel dendritik, sel T, sel B, fibroblast dan sel otot polos saluran napas sehingga terjadi pengeluaran sitokin, kemokin, dan protease. Amplifikasi sinyal sangat berperan dalam hal menambah respon inflamasi yang akan mempengaruhi derajat berat PPOK.20

1. Tekanan Oksidatif

(36)

2. Ketidakseimbangan protease-antiprotease

Proteinase berperan penting dalam patogenesis PPOK. Hipotesa proteinase-antiproteinase menyatakan bahwa kerusakan paru-paru penderita PPOK terjadi jika aksi proteinase tidak lagi dikendalikan oleh antiproteinase. Ini dapat terjadi ketika ada kelainan genetik antiproteinase, seperti defisiensi α1-antitrypsin, atau kehilangan fungsi

antiproteinase dikarenakan proteolitik atau kerusakan oksidatip. Ketidakseimbangan juga dapat terjadi karena perekrutan yang berlebihan atau aktivasi proteinase.

Proteinase diklasifikasikan sebagai serine proteinase, sistein proteinase, dan MMP. Peran MMP dalam PPOK adalah mendegradasi protein matriks, antiproteinase seperti α1-antitipsin dan α1-antichymotrypsin, memodifikasi sitokin dan menurunkan

sejumlah protein seperti faktor adhesi dan substansi P.

21

21

3. Remodeling saluran napas kecil

Interaksi antara inflamasi dan remodeling saluran napas kecil telah diketahui mekanismenya melalui binatang percobaan. Ekspresi berlebihan dari Th2 sitokin IL-10 menyebabkan metaplasia sel mukus, sel B, sel T dan fibrosis subepitel saluran napas. Respon ini melibatkan banyak mekanisme. Metaplasia mukus tergantung pada sinyal IL-13/IL-4 reseptor-α / STAT6. Selanjutnya ekspresi berlebihan dari IL-1β menginduksi fibrosis peribronkial. Pada kultur trakea tikus, asap rokok menyebabkan peningkatan regulasi TGF-β1.

Sinyal faktor pertumbuhan fibroblast dan reseptor FGF (FGFR) tampaknya terkait dengan saluran napas dan remodeling pembuluh darah pada bronkitis kronis. Studi imunohistokimia jaringan paru-paru dari pasien PPOK menunjukkan bahwa FGF-1 dan reseptor FGFR-1 terdeteksi dalam otot polos pembuluh darah dan saluran

(37)

napas serta sel epitel saluran napas. Dasar FGF/FGF-2 terlokalisasi di sitoplasma, inti epitel saluran napas, otot polos pembuluh darah dan sel endotel.22

Gambar 2. Inflamasi perifer di paru dapat masuk ke sirkulasi sistemik.

Pada pasien PPOK terutama saat eksaserbasi terdapat keterlibatan dari beberapa sitokin inflamasi mencakup TNFα, IL-6, CXCL8 (IL-8), IL-18, dan protein fase akut

(CRP, SAA, fibrinogen) pada inflamasi sistemik. Sitokin ini juga mengalami peningkatan di sputum dan cairan BAL pasien PPOK, hal ini menjadikan sebagian ahli memandang bahwa sitokin sistemik berasal dari tumpahan mediator inflamasi perifer (paru). Namun hubungan antara mediator di sputum dan di darah tidaklah erat, sehingga keterlibatan faktor lain diperkirakan berperan dalam proses ini. Akibat dari keterbatasan aliran udara yang progresif menimbulkan aktivitas

23

fisik menjadi tidak aktif, hal ini merupakan faktor penting dalam mencetuskan beberapa penyakit penyerta, seperti kelemahan otot rangka, osteoporosis, dan penyakit kardiovaskular.

PPOK mencakup proses inflamasi dan aterosklerosis diketahui berperan penting sebagai komponen inflamasi kronik, CRP yang merupakan petanda inflamasi sistemik dan indikator penting pada penyakit kardiovaskular ditemukan juga meningkat pada pasien PPOK dan berkontribusi terhadap progresivitas aterosklerosis. Hal ini menjadikan

(38)

sebagian ahli memandang bahwa proses inflamasi di paru adalah salah satu bagian dari manisfestasi atau ekspresi proses inflamasi sistemik pada penderia PPOK. Akibat perbedaan konsep ini maka berbeda pula cara pandangnya terhadap penanganan PPOK, dimana konsep pertama menekankan terapi pada paru sedangkan pada konsep yang kedua lebih menekankan pengendalian inflamasi sistemik.24

2.1.4. Patologi

1. Saluran napas sentral

(39)

2. Saluran napas perifer

Pada perokok hambatan aliran udara yang terkait dengan perubahan patologis lebih lanjut di saluran napas perifer termasuk remodeling saluran napas (fibrosis dan hipertrofi otot polos) dan inflamasi. Selain itu, peradangan dinding saluran napas dapat berkontribusi terhadap kerusakan dinding alveolar yang melekat pada saluran napas yang memungkinkan kerusakan dinding saluran napas dan penyempitan lumen.

Mekanisme selanjutnya berkontribusi terhadap keterbatasan aliran udara pada perokok yang melibatkan sekresi mukus. Hiperplasia sel goblet pada perokok dapat berkontribusi terhadap pengembangan keterbatasan aliran udara kronis dengan memproduksi kelebihan mukus yang bisa mengubah tegangan permukaan jalan napas. Menariknya, pada epitel aliran udara perifer perokok, hiperplasia sel goblet berhubungan dengan peningkatan jumlah neutrofil. Sebagaimana neutrofil elastase adalah penghasil sekresi mediator inflamasi yang sangat potensial, lokasi neutrofil dalam epitel dapat berperan penting untuk mengaktifkan fungsi sekresi sel goblet.

25

25

3. Parenkim paru

Komponen yang paling penting dari definisi emfisema adalah proses destruksi. Tergantung pada bagaimana asinus hancur, emfisema dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis: (1) emfisema sentriasinar (atau sentrilobular), yang ditandai dengan kehancuran terbatas pada bronkiolus dan bagian tengah dari asinus, dikelilingi oleh parenkim paru-paru normal, dan (2) emfisema panasinar (atau emfisema panlobular), di mana keseluruhan asinus terlibat.

25

(40)

Saat ini telah diketahui dengan jelas tentang mekanisme patofisiologis yang mendasari PPOK sampai terjadinya gejala yang khas, misalnya penurunan VEP1 yang

disebabkan peradangan dan penyempitan saluran napas perifer, sementara transfer gas yang menurun terjadi akibat kerusakan parenkim paru pada emfisema.14

1. Keterbatasan aliran udara dan hambatan udara

Tingkat peradangan, fibrosis dan cairan eksudat di lumen saluran napas kecil berkorelasi dengan penurunan VEP1 dan rasio VEP1/KVP. Penurunan VEP1 merupakan

gejala yang khas pada PPOK, obstruksi jalan napas perifer ini menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan hiperinflasi.

Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas residual fungsional, khususnya selama latihan (kelainan ini dikenal sebagai hiperinflasi dinamis), yang terlihat sebagai sesak napas dan keterbatasan kapasitas latihan. Hiperinflasi yang berkembang pada awal penyakit merupakan mekanisme utama timbulnya sesak napas pada aktifitas. Bronkodilator yang bekerja pada saluran napas perifer mengurangi hambatan udara, sehingga mengurangi volume residu dan gejala serta meningkatkan keterbatasan kapasitas latihan.

14

14

2. Mekanisme pertukaran gas

(41)

Ketidaksamaan rasio ventilasi/perfusi merupakan mekanisme utama yang menyebabakan hipoksemia pada PPOK, dengan tanpa melihat tingakatan penyakit. Hiperkapnia kronik biasanya menunjukkan disfungsi otot inspirasi dan hipoventilasi alveolar.

Hipertensi pulmonal dapat terjadi pada PPOK dikarenakan vasokonstriksi yang diakibatkan hipoksia dari arteri pulmonal yang kecil, yang mengakibatkan perubahan struktural termasuk hiperplasia intima dan selanjutnya hipertropi otot polos dan hiperplasia. Adanya respons inflamasi dalam pembuluh darah sering terlihat di saluran napas dan merupakan bukti dari disfungsi sel endotel. Jika hipertensi pulmonal terus berlangsung dapat menyebabkan hipertropi ventrikel kanan dan biasanya menjadi gagal jantung kanan (cor pulmonale).

26

14

3. Eksaserbasi

Eksaserbasi merupakan peningkatan lebih lanjut respons inflamasi dalam saluran napas pasien PPOK. Keadaan ini dapat dipicu oleh infeksi bakteri atau virus atau polusi lingkungan. Mekanisme inflamasi yang mengakibatkan eksaserbasi PPOK masih banyak yang belum diketahui. Pada eksaserbasi ringan dan sedang terdapat peningkatan netrofil, beberapa studi lainnya juga menemukan eosinofil dalam sputum dan dinding saluran napas. Hal ini berkaitan dengan peningkatan konsentrasi mediator tertentu, termasuk TNF-α, LTB4 dan IL-8, serta peningkatan biomarker stress oksidatip.

Pada eksaserbasi berat masih banyak hal yang belum jelas, meskipun salah satu penelitian menunjukkan peningkatan neutrofil pada dinding saluran napas dan peningkatan ekspresi kemokin. Selama eksaserbasi terlihat peningkatan hiperinflasi dan terperangkapnya udara, dengan pengurangan aliran ekspirasi, sehingga terjadi

(42)

peningkatan sesak napas. Terjadi juga perburukan yang mengakibatkan hipoksemia berat.14

2.1.6 Diagnosis

Beberapa hal yang berhubungan dengan risiko timbulnya PPOK sampai saat ini yaitu asap rokok, polusi udara (dalam ruangan, diluar ruangan) tekanan oksidatif, gen, tumbuh kembang paru, sosial ekonomi. Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok (Indeks Brinkman). Tidak semua perokok berkembang manjadi PPOK secara klinis, karena dipengaruhi oleh faktor resiko genetik pada setiap individu. Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan hingga berat. Gejala klinis yaitu berupa:

1. Sesak napas yang progresip dan bertambah berat seiring berjalannya waktu dan aktifitas, dan persisten

2. Batuk kronik yang hilang timbul dan mungkin tidak berdahak. 3. Batuk kronik berdahak

4. Riwayat terpajan faktor resiko berupa asap rokok, debu, bahan kimia di tempat kerja, asap dapur.

Pemeriksaan fisis pada PPOK dini umumnya tidak dijumpai kelainan. Dari inspeksi dapat ditemukan:

27

1. Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucut) yaitu sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang.

2. Barrel chest (diameter anteroposterior dan transversal sebanding). 3. Penggunaan otot bantu napas.

(43)

5. Pelebaran sela iga.

6. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai.

7. Penampilan pink puffer yaitu gambaran yang khas pada emfisema, pasien kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed-lips breathing, atau blue bloater yaitu gambaran khas pada bronkitis kronik, pasien gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.

Pada palpasi biasanya ditemukan fremitus melemah, sela iga melebar. Perkusi pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah. Pada Auskultasi terdengar suara napas vesikuler normal atau melemah dan terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang, bunyi jantung terdengar jauh.

27

27

Gambar 3. Gambaran radiologi penderita PPOK.

Foto toraks PA dan lateral tidak direkomendasikan untuk mendiagnosis PPOK tetapi dapat digunakan untuk menyingkirkan penyakit lain yang juga dapat menimbulkan gejala obstuksi saluran napas (bronkiektasis, kanker paru dan lain-lain). Temuan pada foto toraks dapat berupa: hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar, jantung pendulum (jantung menggantung).

28

Spirometri merupakan baku emas untuk mendiagnosa PPOK. Hasil pengukuran spirometri penderita PPOK, didapati penurunan volume ekspirasi paksa 1 detik (VEP

27

(44)

dan penurunan kapasitas vital paksa (KVP). Nilai VEP1/KVP selalu kurang dari 80%

nilai normal. VEP1% merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai

beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.

Tabel 1. Pembagian hambatan aliran udara berdasarkan spirometri setelah pemberian bronkodilator.

Note: When assessing risk, choose the highest risk according to GOLD grade or exacerbation history PENILAIAN PPOK MENURUT GOLD 2011

RESIKO

Gambar 4. Penilaian PPOK menurut GOLD 2011.14

2.1.7. Penatalaksanaan PPOK

Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah meliputi beberapa komponen yaitu: mengurangi gejala, mencegah progresivitas penyakit, meningkatkan toleransi latihan, meningkatkan status kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi, mencegah dan menangani eksaserbasi, menurunkan kematian. Penatalaksanaan secara umum PPOK

Pasien dengan VEP1/FVC <70%

GOLD 1 Ringan VEP1≥ 80% prediksi

GOLD 2 Sedang 50 % ≤ VEP1 < 80% prediksi GOLD 3 Berat 30 % ≤ VEP1 < 50% prediksi GOLD 4 Sangat Berat VEP1< 30% prediksi

(45)

meliputi beberapa hal yaitu edukasi, berhenti merokok, obat-obatan, rehabilitasi, terapi oksigen, ventilasi mekanis, dan nutrisi.27

2.2 C-reactive protein (CRP)

CRP ditemukan oleh Tillett dan Francis pada tahun 1930, dinamai CRP karena kemampuannya untuk mengendapkan C-polisakarida dari Streptococcus pneumoniae. CRP merupakan protein fase akut yang memiliki kemampuan untuk mengikat bakteri kemudian memfasilitasi pengikatan komplemen yang diperlukan untuk memfagositosis bakteri. CRP merupakan penanda sistemik yang sangat peka terhadap reaksi inflamasi dan kerusakan jaringan. Respon fase-akut meliputi respon nonspesifik yang fisiologis dan biokimia terhadap berbagai bentuk kerusakan jaringan, infeksi, peradangan, dan keganasan. Protein fase-akut terdiri atas penghambat proteinase, koagulasi, komplemen dan protein transport, tetapi hanya molekul protein SAA yang memiliki sensitifitas, dan kecepatan respon yang sebanding dengan CRP.1

2.2.1 Struktur dan filogeni CRP

CRP termasuk dalam famili pentraksin dari protein plasma calcium-dependent

ligand-binding, yang pada manusia merupakan komponen dari SAP. Molekul CRP pada

manusia terdiri dari lima polipeptida yang identik, masing-masing terdiri atas 206 residu asam amino.

Secara struktural CRP adalah molekul simetris yang terdiri dari lima protomers

tidak kovalen yang berhubungan dengan promoter. Setiap protomer memiliki dua ion kalsium yang bertanggung jawab untuk pengikatan posfoklorin spesifik. Posfoklorin merupakan unsur utama dari polisakarida bakteri dan jamur dan yang paling banyak pada

(46)

sel membran biologis, seperti residu posfoklorin dari C (kapsuler)-polisakarida dari

Streptococcuspneumoniae. Protein ini dinamakan "C-reactive" karena reaksi ini.

Monosit memiliki reseptor untuk CRP dan selanjutnya CRP akan meningkatkan produksi sitokin. CRP berperan juga dalam proses atherogenesis. Aktifasi CRP lebih lanjut dapat mengakibatkan produksi sitokin pro-inflamasi dan diferensiasi monosit menjadi makrofag. Dengan keberadaan lipoprotein teroksidasi densitas rendah, CRP akan memfasilitasi produksi sel-sel busa yang akan menjadi plak aterosklerotik.

30

31

Gambar 5. CRP pada patogenesis PPOK. LPS: lipopolisakarida; PAH:

polyaromatic hydrocarbons; BEC: bronchial epithelial cell; GM-CSF: granulocyte-monocyte colony-stimulating factor; MPO: myeloperoxidase; MØ: macrophage; TIMP:

tissue inhibitors of metalloproteinase; aAT: a1-antitrypsin; VEGF: vascular endothelial growth factor; END: endothelial cell; CRP: C-reactive protein.19

2.2.2 Fungsi CRP

(47)

antigen melalui mekanisme yang melibatkan kalsium yang berperan menambah aktifitas proses fagositosis. Konsentrasi serum CRP mencapai kadar patologis jika diatas 5 mg/l. CRP dapat digunakan untuk memonitor inflamasi akibat dari infeksi maupun tidak infeksi, dan untuk menilai kemajuan terapi.

Nakou

32

dkk (2008) dalam analisanya menyimpulkan CRP dapat berperan dalam menginduksi apoptosis sel otot polos pembuluh darah koroner, dapat menginduksi pelepasan IL-1 dan TNFα oleh monosit, meningkatkan pembentukan radikal oksigen dengan monosit dan netrofil, menginduksi aktivasi komplemen, menginduksi ekspresi dari molekul adhesi melalui sel endotel (ICAM-1, VCAM-1, E-selektin) dan menginduksi produksi dari tissue factor dari monosit.33

Gan dkk. (2004) dalam studi metaanalisanya menganalisa 14 studi original dengan membandingkan kadar serum CRP, fibrinogen, leukosit dan TNF-α , IL-6, dan IL-8 pada pasien PPOK dan kontrol sehat. Hasilnya adalah pasien PPOK secara signifikan mengalami peningkatan kadar CRP, fibrinogen, leukosit dan TNF-α dibandingkan dengan kontrol yang sehat, yang mengindikasikan bahwa inflamasi sistemik persisten terjadi pada PPOK. Ditemukan juga bahwa pada pasien PPOK yang telah berhenti merokok terdapat bukti adanya inflamasi sistemik yang rendah. Hal ini menjelaskan bahwa ketika terjadi PPOK, berhenti merokok tidak sepenuhnya menepis proses inflamasi yang berhubungan dengan kondisi ini.34

(48)

kehilangan berat badan, kaheksia, osteoporosis, dan penyakit kardiovaskular. Hubungan antara PPOK, peradangan sistemik, dan penyakit kardiovaskular sangat erat dimana lebih dari setengah pasien dengan PPOK meninggal karena penyakit kardiovaskular. Selain itu, selama periode eksaserbasi terjadi peningkatan secara signifikan kadar plasma CRP, fibrinogen dan kadar serum IL-6, yang selanjutnya dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada pasien dengan PPOK.

Olafsdottir dkk. (2007) dalam studi kohort mengikutsertakan 53 pasien PPOK. Dengan hasil bahwa kadar CRP lebih besar pada penderita PPOK dibanding yang tidak (1,4 mg/l vs 1,0 mg/l, p=0,003), subjek dengan peningkatan kadar CRP (OR (95% CI) 3.21 (1.13–9.08)) memiliki resiko menderita PPOK dan penurunan FEV

34

1 pada laki-laki

(rata-rata 44 mL) dan perempuan (rata-rata 31 mL). Laki-laki dengan kadar CRP > 0,46 mg/l mengalami penurunan FEV1 sementara pada kadar yang sama perempuan tidak

mengalami penurunan FEV1 yang signifikan. Hubungan negatif antara CRP dan FEV1

terjadi lebih besar pada laki-laki dibanding perempuan (p=0,04), terdapat hubungan kadar CRP dan FVC (p=0,01) pada laki-laki saja.

Olafsdottir (2011) dalam disertasinya menyimpulkan terdapat hubungan antara kadar CRP dan gejala respirasi seperti mengi, sesak napas yang berhubungan dengan aktifitas, batuk malam hari, dimana hal ini menunjukkan bahwa penanda inflamasi sistemik tidak hanya bermanfaat sebagai penanda penyakit tahap lanjut tetapi juga untuk menilai perjalanan penyakit.

35

36

2.2.3 Kadar CRP

(49)

deteksi sesuai dengan nama dagangnya seperti metode immulite automated analyzer

dengan batas deteksi pengukuran 0,10 – 500 mg/l, berdasarkan BNA nephelometer

dengan batas deteksi pengukuran 0,18-115 mg/l, berdasarkan immage dengan batas deteksi pengukuran 0,2-1440 mg/l.

Kao dkk. (2006) menuliskan bahwa populasi Asia memiliki kadar serum CRP yang lebih rendah dibandingkan dengan populasi Eropa sehingga diperlukan pemeriksaan yang lebih sensitif untuk menilai kadar CRP pada populasi Asia.

37

30

Jika ada perangsangan terhadap protein fase akut ini, nilainya dapat meningkat antara lebih < 50 ug/l sampai > 500 mg/l, yaitu 10.000 kali lipat. Kadar CRP plasma diproduksi oleh sel hati, terutama di bawah kontrol transkripsi sitokin IL-6, TNF-a dan IL-1 meskipun telah pernah dikemukakan kemungkinan sumber lain dapat membentuk CRP lokal.38 Broz BR dalam studinya menyatakan bahwa parenkim paru dan jaringan bronkus juga dapat mensintesa CRP.

Hutchinson dkk. (2000) dalam studi epidemiologi menilai kadar CRP pada populasi dewasa dari Augsburg (2291 laki-laki, 2203 perempuan, usia 25-74 tahun), Glasgow (604 laki-laki, 650 perempuan, usia 25-64 tahun) dengan hasil bahwa kadar CRP hampir sama pada kedua populasi yaitu 1 mg/l pada usia muda dan 2 mg/l pada usia tua, dimana kadarnya lebih tinggi pada wanita. Rata-rata kadar CRP pada kedua populasi yaitu 0,75 sampai 2,40 mg/l.

39

Dalam semua kondisi (baik normal ataupun dalam kondisi sedang mengalami inflamasi) maka waktu paruh plasma CRP adalah sekitar 19 jam, hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar CRP dalam sirkulasi akan berkurang dalam sebanyak 50% setiap 19 jam jika individu tersebut diberi stimulus yang memperbaiki penyebab peningkatan CRP, jika dibanding dengan parameter biokimia lain (viskositas plasma atau sedimentasi eritrosit), maka kadar sirkulasi CRP lebih akurat.

40

38

(50)

Lacoma dkk. (2011) dalam studinya memeriksa kadar PCT, CRP dan neopterin, pada 46 pasien PPOK stabil, 217 PPOK eksaserbasi, 55 PPOK dengan pneumonia dengan hasil PCT dan CRP meningkat pada pasien pneumonia kemudian eksaserbasi (p<0,0001), sementara neopterin tidak menunjukkan perubahan. Ketiga biomarker ini meningkat lebih tinggi pada pasien yang meninggal dalam waktu satu bulan setelah pemeriksaan darah dibanding dengan yang meninggal dalam waktu lebih dari satu bulan. Dari 217 pasien PPOK eksaserbasi, 23 orang pasien diperiksakan kembali menemukan kadar PCT, CRP dan neopterinnya satu bulan kemudian dan hasilnya bahwa kadar PCT (P=฀0.0788) dan CRP (P=฀0.0181) mengalami penurunan setelah satu bulan episode eksaserbasi (fase pemulihan) sementara kadar neopterin meningkat (P =฀0.0325).

Halvani dkk. (2006) dalam studi komperatif-deskriptif pada 45 pasien PPOK stabil dengan jenis kelamin laki-laki tanpa penyakit jantung iskemi dan 45 orang sehat sebagai kontrol menemukan bahwa kadar hsCRP pada pasien PPOK secara signifikan (p=0,04) berhubungan dengan derajat sesak napas dengan berdasarkan skala MMRC dimana derajat I, II, III masing-masing 22,78 ng/ml; 28,88 ng/ml dan 36.90 ng/ml. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kadar CRP dan beratnya penyakit, episode eksaserbasi dan penggunaan kortikosteroid inhalasi. CRP merupakan marker inflamasi sistemik dan faktor utama yang menyebabkan komplikasi ekstrapulmonal.

41

42

2.2.4 Cut off CRP

Hurst dkk. dalam studi kohort menyimpulkan bahwa cutoff CRP dapat dipilih untuk memaksimalkan sensitivitas dan spesifisitas sesuai kebutuhan. Namun CRP saja tidak cukup sensitif maupun spesifik untuk mengkonfirmasi eksaserbasi.

Bircan dkk. (2008) dalam studinya pada 30 pasien PPOK stabil, 51 pasien PPOK eksaserbasi, 32 pasien PPOK dengan foto thorax pneumonia (PCOPD) , 30 pasien

(51)

laki normal sebagai control, dengan kesimpulan bahwa nilai cutoff CRP untuk mendiagnosa PPOK atau infeksi bakteri sebagai penyebab eksaserbasi akut masih belum diketahui. Dalam studinya Bircan dkk. menggunakan cutoff CRP 10 mg/l untuk eksaserbasi akut dengan sensitivitas dan spesifisitas 72,5% dan spesifisitas 100%. Nilai kisaran normal yang digunakan adalah 0-10 mg/l. Hasilnya yaitu rata-rata kadar CRP pada PCOPD adalah 108.1 + 61.8 mg/l, SCOPD: 3,9 + 1,4 mg/l, AECOPD: 36,8+ 43,9 mg/l, kontrol normal : 2.1+ 0.9 mg/l. Hasil ini menunjukkan tidak satupun dari kontrol yang sehat dan pasien PPOK stabil memiliki kadar CRP >10 mg/l, sementara semua pasien PPOK eksaserbasi memiliki kadar CRP >10 mg/l.

Broekhuizen dkk (2006) dalam studinya pada 102 penderita PPOK dengan hasil penderita PPOK dengan GOLD derajat III dan IV memiliki kadar CRP yang lebih tinggi dibanding GOLD derajat II (II: 1.92 (0.36–16.00) mg/l; III: 4.43 (0.47–75.60) mg/l; IV: 4.90 (0.47–65.70) mg/l; p<0.03). Nilai cut off yang digunakan untuk membedakan kadar CRP orang normal (rata-rata 1,49 mg/l) dan yang mengalami peningkatan (rata – rata 12,50 mg/l) adalah 4,21 mg/l.

43

44

2.2.5 Faktor – faktor yang mempengaruhi kadar CRP

Telah banyak laporan bahwa pada beberapa populasi kadar CRP pada wanita lebih tinggi dibanding pria. Data dari Ausburg juga menunjukkan demikian bahwa kadar CRP pada wanita (2,9 mg/L) secara signifikan lebih tinggi dibanding pria (1,5 mg/L) dan kebalikannya ditemukan pada populasi di Jepang.

Alavi dkk. (2011) berdasarkan studinya menyatakan bahwa kadar hsCRP meningkat pada penderita PPOK eksaserbasi dengan BMI yang dibawah normal dan diatas normal dibandingkan dengan yang normal, pasien dengan PaCO

45

2 yang lebih tinggi

(52)

Sin dkk. (2004) dalam studinya mengikutsertakan 41 pasien PPOK ringan sampai sedang, menemukan efek prednisolon oral 30 mg/hari menurunkan kadar CRP 71% dan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi (flutikason 1000 dan 2000 μg/hari) menurunkan kadar CRP 50% pada pasien PPOK ringan sampai berat.

Pinto-plata dkk. (2006) dalam studinya mengikutsertakan 88 pasien PPOK dan 33 kontrol merokok dan 38 kontrol tidak merokok, dengan hasil bahwa kadar CRP sekitar 20% lebih rendah pada pasien yang menggunakan dosis tinggi kortikosteroid inhalasi budesonid 800-1200 μg/hari, kadar CRP lebih tinggi pada pasien PPOK (rata -rata 1,51 mg/l) dibanding orang sehat baik merokok (1,04 mg/l) maupun tidak merokok (1,04 mg/l).

46

47

Sementara itu Karadag dkk. (2008) menemukan tidak ada perbedaan kadar serum CRP, TNF-alfa atau IL-6 pada pasien PPOK yang sedang ataupun yang sudah berhenti menggunakan steroid inhalasi dengan dosis medium budesonide 400-800 μg/hari. Kadar CRP juga diketahui secara signifikan lebih tinggi pada pasien PPOK

dengan BMI yang rendah.

Kherad dkk. (2010) dalam studinya memeriksa kadar CRP (86 orang) dan PCT (81orang) penderita AECOPD dengan hasil medium kadar CRP 33 mg/l dan PCT 0,06 μg/l pada kasus yang ditemukan infeksi bakteri. Dan pada kasus yang ditemukan infeksi virus kadar medium CRP dan PCT adalah 45 mg/l dan 0,08 μg/l, namun hasil ini tidak

ada perbedaan secara signifikan dengan pasien tanpa infeksi bakteri maupun virus.

48

(53)

2.3. Kerangka konsep

Gambar 6. Kerangka konsep penelitian 2.4 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

(54)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Rancangan penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan cross

sectional.

3.2. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di Poli Paru dan ruang rawat inap paru RS. H.Adam Malik Medan /Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU. Penelitian dilaksanakan mulai Desember 2012 - Mei 2013.

3.3. Subyek penelitian

Populasi adalah semua penderita PPOK eksaserbasi dan stabil yang berobat jalan ke Poli Paru dan yang dirawat inap di RS. H.Adam Malik Medan/Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU periode Desember 2012 - Mei 2013.

3.4. Kriteria inklusi

1. Penderita PPOK stabil (kelompok I) 2. Penderita PPOK eksaserbasi (kelompok II) 3. Berusia di atas 40 - 65 tahun

3.5. Kriteria eksklusi

(55)

2. Penderita PPOK dengan gangguan fungsi hati.

3. Penderita PPOK yang mengkonsumsi obat yang menurunkan kadar CRP (statin, aspirin, Vit. C, Vit. E, antibiotika, steroid sistemik)

4. Penderita penyakit menahun yang disingkirkan dengan melakukan anamnesis 5. Penyakit paru lainnya seperti bronkiektasis, tuberkulosis atau asma

6. Penderita sindroma metabolik

3.6. Besar sampel

Berdasarkan rata-rata kunjungan pasien PPOK ke Poli RS H. Adam Malik dalam satu tahun adalah 82 orang. Sehingga rata-rata kunjungan diperoleh 7 orang dalam satu bulan dengan asumsi penderita eksaserbasi dan stabil sama maka perkiraan penderita PPOK stabil adalah 30 orang dan PPOK eksaserbasi adalah 30 orang. Karena dalam penelitian ini terdiri atas dua kelompok maka diasumsikan besar sampel adalah sama. Jumlah pengamatan total adalah 60 orang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3.7. Kerangka operasional

(56)

3.8. Defenisi operasional

1. Pendidikan adalah pendidikan formal yang ditentukan dari ijasah tertinggi yang diterima pasien dari institusi formal

2. Pekerjaan adalah ditentukan dari pekerjaan pasien yang ditekuni pasien minimal 6 bulan terakhir ketika datang berobat ke RSHAM

3. Umur adalah ditentukan dari sejak pasien lahir sampai pasien tercatat (dalam hitungan waktu tahun) sebagai sampel penelitian, dikelompokkan:

- 40 - 44 tahun - 60 - 64 tahun - 45 - 49 tahun - 65 - 69 tahun - 50 - 54 tahun - > 70 tahun - 55 - 59 tahun

4. Pemeriksaan fisis pasien PPOK didapati tanda-tanda sebagai berikut yaitu inspeksi: bentuk dada barrel chest, atau normal, penggunaan otot bantu napas, pelebaran sela iga, hipertropi otot bantu napas. Dari palpasi didapati: fremitus melemah, sela iga melebar dan dari perkusi dijumpai hipersonor; dari auskultasi ditemukan suara napas vesikuler melemah atau normal dan ekspirasi memanjang.

5. Penderita PPOK eksaserbasi adalah subjek yang ditegakkan menderita PPOK melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, foto thoraks dan spirometri yang secara klinis sedang mengalami gejala eksaserbasi yaitu sesak bertambah, produksi sputum meningkat, perubahan warna sputum (sputum menjadi purulen). 6. Penderita PPOK stabil adalah subyek yang ditegakkan menderita PPOK

(57)

- Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik,

- Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisis gas darah menunjukkan PH normal PCO2 > 60mmHg dan PO2

- Sputum tidak berwarna atau jernih

< 60 mmHg,

- Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri)

- Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan - Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan.

7.

CRP

adalah high sensitive C-Reactive Protein yang diambil dari serum

subyek yang telah disentrifus 3000 rpm selama 10 menit, dan dinilai secara metode immunotubidimetri, dengan nilai normal 0,00 – 5,00 mg/L.

8. Uji bronkodilator,

- Dilakukan pada penderita PPOK stabil, dengan menggunakan spirometri - Pasien sebaiknya tidak menggunakan bronkodilator inhalasi kerja cepat

enam jam sebelum uji, bronkodilator kerja lama 12 jam sebelum uji, atau teofilin lepas lambat 24 jam sebelum uji. Dilakukan pengukuran VEP1

- Kemudian diberikan 400 μg bronkodilator β sebelum pemakaian bronkodilator

2

- Bila didapati peningkatan kurang dari 20% atau kurang dari 200 ml paska bronkodilator dibandingkan dengan hasil pre bronkodilator, maka dipastikan didapati adanya hambatan aliran udara yang bersifat non reversibel.

agonis kerja singkat melalui Metered-Dose Inhaler. Dilakukan pengukuran setelah 10-15 menit setelah pemberian inhalasi bronkodilator

(58)

- Ringan : 0-199 - Sedang : 200-599 - Berat : > 600

10. Status merokok adalah riwayat mengenai perilaku merokok pada pasien PPOK dan dikategorikan berdasakan:

- Perokok : orang yag telah merokok 20 bungkus/tahun atau 1 batang rokok perhari selama 1 tahun dan masih merokok dalam 1 bulan terakhir.

- Bekas perokok : perokok yang telah berhenti merokok pada 1 bulan terakhir.

- Bukan perokok : orang yang tidak merokok atau merokok kurang dari 100 batang

11.Sindroma metabolik didefenisikan berdasarkan the IDF Consensus Worldwide definition of the metabolic syndrome yaitu seseorang yang memiliki obesitas sentral (lingkar pinggang > 102 cm untuk pria, dan > 88 cm untuk wanita ditambah 2 dari empat faktor dibawah ini:

- Kadar trigliserida > 150 mg/dl.

- Kadar kolesterol HDL< 40 mg/dl untuk pria dan < 50 mg/dl untuk wanita. - Peningkatan tekanan darah sistolik > 130 mmHg atau diastolik > 85

mmHg.

- Peningkatan kadar gula darah puasa > 110 mg/dl.

3.9. Cara penelitian

(59)

1. Anamnesis meliputi data pribadi yaitu nama, umur, tempat/tanggal lahir, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, tinggi badan, berat badan, riwayat merokok, lama menderita PPOK, pemakaian obat bronkodilator sehari-hari, keluhan utama.

2. Pemeriksaan fisik, meliputi pemeriksaan tanda vital, TB, BB, Indeks Massa Tubuh (IMT). Spirometri dilakukan untuk uji faal paru dan dilakukan pengukuran lingkar pinggang.

3. Pemeriksaan laboratorium yang meliputi darah rutin, uji faal hati, profil lemak, KGD puasa. AGDA dianalisa dengan subjek bernapas dengan udara ruangan dan posisi duduk. Kadar hsCRP diambil dengan sampel darah puasa sekitar 5 ml

3.10. Analisa data

Untuk menilai perbedaan antara kadar CRP penderita PPOK stabil dan eksaserbasi digunakan independent T test jika distribusi normal jika tidak normal digunakan uji Mann Whitney.

3.11. Jadwal kegiatan Tabel 2. Jadwal kegiatan

No Kegiatan I II III IV V VI

1 Persiapan V

2 Pengumpulan data V V V V

3 Pengolahan data V V

4 Penyusunan laporan V

(60)

3.12. Biaya Penelitian Tabel 3. Biaya penelitian

No Keterangan Jumlah

1 Pengumpulan kepustakaan Rp. 1.000.000,-

2 Pembuatan proposal Rp. 1.000.000,-

3 Pemeriksaan laboratorium Rp. 12.000.000,- 4 Seminar proposal Rp. 1.500.000,- 5 Pembuatan laporan penelitian Rp. 1.000.000,- 6 Seminar hasil penelitian Rp. 1.500.000,-

(61)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan tahun 2013 dengan sampel adalah penderita yang berobat ke Poli PPOK RSHAM dan yang dirawat di RSHAM, jumlah penderita PPOK stabil yang mengikuti penelitian ini adalah sebanyak 30 orang dan 30 penderita PPOK

eksaserbasi. Penderita PPOK stabil dan eksaserbasi ini didiagnosa berdasarkan keluhan pernapasan yang dirasakan penderita seperti sesak napas, batuk, batuk berdahak, dan wheezing, kemudian dilakukan pemeriksaan fisik dada umumnya didapati suara pernapasan yang melemah, ekspirasi memanjang atauhpun wheezing. Sampel yang belum pernah didiagnosa sebagai PPOK dilakukan pemeriksaan spirometri setelah dalam kondisi stabil. Setelah dilakukan penjelasan mengenai penelitian dan menandatangani surat inform consent, maka penderita PPOK stabil yang setuju dilakukan pemeriksaan kadar hsCRP untuk mengetahui kondisi inflamasi sistemiknya, sedangkan pada pasien PPOK eksaserbasi pemeriksaan kadar hsCRP dilakukan dengan menggunakan serum sampel pada saat mengalami eksaserbasi. Hasil penelitian yang telah dianalisa secara statistik disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.

Pada penelitian ini didapati bahwa kelompok umur terbanyak penderita PPOK eksaserbasi dan PPOK stabil adalah kelompok umur > 70 tahun masing-masing sebanyak 13 orang (43,3%) dan 10 orang (33,3%). Hasil uji statistik dengan

Gambar

Gambar 1. Inflamasi pada PPOK. Paparan rokok yang kronik mengakibatkan
Gambar 2. Inflamasi perifer di paru dapat masuk ke sirkulasi sistemik.23
Gambar 3.  Gambaran radiologi penderita PPOK.28
Gambar 4. Penilaian PPOK menurut GOLD 2011.(mMRC or CAT score)14
+7

Referensi

Dokumen terkait

Percaya kepada kitab-kitab Allah SWT hukumnya adalah wajib ‘ain atau wajib bagi seluruh warga muslim di seluruh

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah, aaktivitas guru dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar IPA sudah mencerminkan pembelajaran dengan pendekatan PAIKEM

Penelitian ini bertujuan menganalisa keberadaa~ tari Balanse Madam dar untuk mengungkapkan makna dan fungsi di balilc tarian tersebut dalam kepidupan sosial masyarakat suku

Klasifikasi adalah salah satu solusi dalam data mining untuk mengurai permasalahan tersebut, dengan mengklasifikasikan jenis-jenis penyakit yang berhubungan dengan

stick dimana batas tingkat paparan panas ini perlu dibandingkan dengan SNI 16-. 7063-2004 tentang Nilai Ambang Batas iklim kerja (panas),

[r]

Menu yang ada di cermin cembung sama dengan menu yang ada di cermin cekung, yaitu: menu untuk mencari jarak fokus, menu untuk mencari jarak benda, dan menu untuk

Dari hasil pendiskripsian teknis berdasarkan keinginan konsumen, hal yang dapat dilakukan oleh Arromanis Bakery adalah pelatihan karyawan dan durasi baking.. Dengan pelatihan