• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Kadar Fibrinogen Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Eksaserbasi Akut Dengan Ppok Stabil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Perbandingan Kadar Fibrinogen Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Eksaserbasi Akut Dengan Ppok Stabil"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I I

T I N J AU AN PU ST AK A

2 .1 . PPOK

2.1.1. Definisi PPOK

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit yang umumnya dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan adanya keterbatasan aliran udara yang terus-menerus

yang biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi kronis ditingkat saluran

napas dan paru-paru terhadap partikel atau gas berbahaya. Eksaserbasi dan komorbiditas

berkontribusi terhadap tingkat keparahan seluruh individu pasien.

Keterbatasan aliran udara yang kronis pada penyakit paru obstruktif kronis disebabkan

oleh kombinasi antara penyakit jalan nafas kecil dan destruksi parenkim. Inflamasi kronis

menimbulkan perubahan struktural dan penyempitan saluran nafas kecil. Destruksi dari

parenkim paru yang juga disebabkan oleh proses peradangan menyebabkan hilangnya

perlekatan alveolus terhadap jalan nafas kecil dan menurunkan elastisitas paru, sehinga

perubahan tersebut mengurangi kemampuan jalan napas untuk tetap terbuka saat ekspirasi. 18

PPOK merupakan penyakit yang progresivitasnya lambat, meskipun tingkat

progresivitasnya bervariasi. Ini merupakan suatu konsep yang penting atas dampak

perkembangan PPOK kedepan berdasarkan aktifitas penyakit, tingkat keparahan dan dampak

pada pasien. Aktivitas dari penyakit mempengaruhi proses dari keparahan penyakit kedepan

yang tergantung dari saat terjadinya serangan penyakit seperti proses yang sangat aktif akan

menghasilkan penyakit yang lebih parah pada usia lebih muda. Demikian pula, tingkat

keparahan penyakit akan memiliki dampak yang berbeda-beda pada pasien, hal ini

tergantung pada tingkat perkembangan dari PPOK. Perubahan kecil yang berkembang cepat

lebih cenderung memiliki dampak yang lebih besar pada pasien dengan usia lebih muda

dibandingkan perubahan yang sama yang berkembang secara berlahan-lahan terjadi pada

pasien usia lebih tua.

18

19

(2)

Hal ini, semakin diperkuat dengan adanya perubahan besar pada spirometri, yang

memiliki beberapa fenotipe yang berbeda-beda, baik secara klinis dan patologis, terjadinya

komorbiditas yang mungkin memiliki beberapa kesamaan secara fisiologis, namun berbeda

dalam mekanisme patologis.

2.1.2. EPIDEMIOLOGI PPOK

19

Di masa lalu, definisi dan variabel yang tepat terhadap PPOK mengalami kesulitan dalam mengukur prevalensi, morbiditas, dan mortalitas. Selain itu, ketidak tahuan dan

kesalahan diagnosa PPOK menyebabkan tidak signifikan dilaporkan. Hal tersebut tersebar

luas diseluruh negara dan tergantung pada tingkat kesadaran dan pemahaman tentang PPOK

diantara profesional kesehatan, organisasi pelayanan kesehatan dan ketersediaan obat untuk

pengobatan PPOK.

Akhir-akhir ini PPOK semakin menarik untuk dibicarakan oleh karena prevalensi dan

angka mortalitas yang terus meningkat. Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki

peringkat ke empat setelah penyakit jantung, kanker dan penyakit serebro vaskuler. Biaya

yang dikeluarkan untuk penyakit ini mencapai $ 24 milyar per tahunnya. 20

Prevalensi, morbiditas, dan mortalitas PPOK bervariasi di seluruh negara. Seringkali,

prevalensi PPOK secara langsung berkaitan dengan prevalensi merokok, meskipun di banyak

negara, baik itu pekerja yang merokok di luar maupun didalam ruangan menyebabkan polusi

udara. Ada juga polusi yang diakibatkan oleh pembakaran kayu dan bahan bakar lainnya

merupakan faktor risiko utama terjadinya PPOK. Prevalensi penduduk di dunia terhadap

PPOK diproyeksikan meningkat dalam dekade mendatang akibat paparan terus menerus

terhadap faktor risiko.

21

Begitu kompleksnya, dari data yang ada dapat diambil beberapa kesimpulan

mengenai prevalensi PPOK, paling tidak dapat meningkatkan kualitas data. Suatu tinjauan

secara sistematis dan studi meta analisis yang dilakukan di 28 negara antara tahun 1990 dan

2004 serta studi tambahan dari Jepang, memberikan bukti bahwa prevalensi PPOK cukup

tinggi pada perokok dan bekas perokok dibandingkan tidak perokok terhadap usia ≥ 40

tahun daripada usia ≤ 40 tahun, dan Pria dibandingkan Wanita. 20

11

(3)

kesehatan rumah tangga Dep. Kes. RI tahun 1992, PPOK bersama asma bronkial menduduki

peringkat ke enam.

The Latin American Project for the Investigation of Obstructive Lung Disease

(PLATINO) meneliti prevalansi keterbatasan aliran udara paska bronkodilator diantara

orang-orang usia ≥ 40 tahun pada 5 kota terbesar di Amerika Latin; Brazil, Chili. Meksiko,

Uruguay dan Venezuela. Di setiap negara, prevalensi PPOK meningkat tajam dengan

bertambahnya usia, dimana prevalensi tertinggi usia ≥ 60 tahun, mulai dari yang terendah

7,8% di kota Mexiko, dan tertingi 19,7% di Montevideo Uruguay. Pada semua negara

prevalensi dari PPOK Pria dan Wanita, sama dengan temuan dari kota-kota Eropa seperti di

Salzburg.

21

18

Morbiditas pasien PPOK diperoleh dari kunjungan ke dokter, pelayanan gawat darurat,

dan pasien rawat inap di rumah sakit. Morbiditas akibat PPOK meningkat dengan

bertambahnya usia dan dipengaruhi oleh kondisi komorbiditas penyakit kronis lain

(misalnya, penyakit jantung, gangguan muskuloskeletal, diabetes mellitus) yang sering pada

pasien dengan PPOK dan dapat berdampak pada status kesehatan pasien, serta mengganggu

manajemen dari PPOK.

PPOK sering terdaftar sebagai kontribusi penyebab kematian oleh karena itu The

Global Burden of Disease Study memproyeksikan bahwa PPOK menjadi peringkat keenam

sebagai penyebab kematian pada tahun 1990, dan menjadi penyebab utama ketiga kematian

di seluruh dunia pada tahun 2020, selanjutnya PPOK diperkirakan akan menjadi penyebab

utama kematian keempat pada tahun 2030. Namun demikian PPOK adalah salah satu

penyebab paling penting dari kematian di sebagian besar negara. Peningkatan mortalitas ini

terutama didorong oleh perluasan epidemi merokok, berkurangnya penyebab umum dari

kematian yang lain, dan meningkatnya proses penuaan pada populasi dunia. 20

2.1.3. Patologi, Patogenesis Dan Patofisiologi

18

2.1.3. A. Patologi

Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya seperti asap dari bahan bakar

menyebabkan radang paru-paru, sebagai respon normal yang terjadi pada pasien yang

(4)

mengalami PPOK. Respon inflamasi kronis ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan

parenkim dan mengganggu perbaikan dan mekanisme pertahanan normal yang

mengakibatkan fibrosis saluran napas kecil. Perubahan patologis menyebabkan

terperangkapnya udara dan keterbatasan aliran udara yang progresif. Suatu gambaran singkat

berikut perubahan patologis pada PPOK, mekanisme seluler dan molekuler serta bagaimana

kelainan ini mendasari dan gejala karakteristik penyakit secara fisiologis.

Perubahan inflamasi kronis dengan peningkatan jumlah dari jenis sel inflamasi serta

perubahan struktural yang dihasilkan dari cedera berulang dan perbaikan, ditemukan di

saluran napas, parenkim paru dan pembuluh darah paru pada pasien PPOK. Secara umum,

perubahan ini meningkat dengan keparahan penyakit dan menetap meskipun telah berhenti

merokok.

22

18

(Gambar 2.1.3.1)

2.1.3. B. Patogenesis

Patogenesis dari Peradangan pada saluran pernapasan pasien PPOK menunjukkan

perubahan dari respon inflamasi pada saluran pernafasan terhadap iritasi kronis seperti asap

rokok. Mekanisme peradangan ini terjadi pada PPOK namun belum dipahami secara

genetik. Peradangan pada paru-paru dapat berlanjut walaupun sudah berhenti merokok

melalui mekanisme yang tidak diketahui, meskipun auto antigen dan mikro organisme

persisten yang mungkin memainkan peranan. Stres Oksidative dan kelebihan proteinase di

(5)

paru-paru menyebabkan perubahan lebih lanjut pada peradangan paru. Bersamaan dengan

mekanisme ini menyebabkan perubahan patologis karakteristik pada PPOK.

Stres oksidatif mungkin merupakan mekanisme penting dalam memperkuat terjadinya

PPOK. Biomarker stres oksidatif meningkat dalam pernapasan, dahak dan sirkulasi sistemik

pada PPOK. Stres oksidatif semangkin meningkat pada PPOK eksaserbasi. Oksidan yang

dihasilkan oleh asap rokok dan partikel inhalasi lainnya dilepaskan dari aktivitas sel-sel

inflamasi seperti makrofag dan neutrofil.

23

18,24

Bukti ini semakin diperkuat dengan ketidakseimbangan protease dan antiprotease di

paru-paru pada pasien PPOK, dimana protease bekerja menghancurkan komponen jaringan

ikat dan antiprotease melindungi paru terhadap kerja dari protease. Beberapa protease, yang

berasal dari sel-sel inflamasi dan sel epitel meningkat pada pasien PPOK dan mereka dapat

berinteraksi satu sama lain. Protease memediasi penghancuran elastin, suatu komponen

utama jaringan ikat di parenkim paru yang diyakini menjadi gambaran penting dari emfisema

dan mungkin bersifat Irreversibel.

18,22

(Gambar 2.1.3.2)

Gambar 2.1.3.2. Proses Patologi yang terlibat dalam Empisema. Keterangan:

19

1. Asap rokok mengaktifkan makrofag. A. Deteksi Marker yang mempenga 2. Sel epitel ruhi saluran napas.

3. Neutrofil pada saluran nafas B. LTB4, leukotriene B4; 4. Terlepasnya sitokin pro inflamasi IL8, Interlaukin 8

(6)

dan Neutropil kemo atraktan. C. Reflek dari peristiwa (migrasi

5. Produksi Mukus yang berlebihan. Neutropil dan aktivitas makropag) 6. Terjadinya adhesi dan migrasi.

2.1.3. C. Patofisiologi

Keterbatasan aliran udara dan terperangkapnya udara akibat peradangan dan

penyempitan saluran napas di perifer menyebabkan penurunan FEV1. Rusaknya parenkim

karena emfisema juga berkontribusi terhadap keterbatasan aliran udara disebabkan

berkurangnya elastisitas. Kombinasi dari keduanya semakin memperberat keterperangkapan

udara selama ekspirasi, mengakibatkan hiperinflasi.25 Hiperinflasi didefinisikan sebagai

peningkatan volume udara yang tersisa di paru-paru pada akhir ekspirasi spontan, terjadi

ketika beristirahat FRC (fungsional residual capacity) atau end expiratory lung volume

(EELV) meningkat di atas normal.

Ketidak normalan pertukaran udara dapat mengakibatkan hipoksemia, hiperkapnia

dan beberapa mekanisme yang dapat terjadi pada PPOK. Yang utama adalah ventilasi 26

-perfusi

(VA/Q). Penurunan pergerakan ventilasi dapat menyebabkan retensi karbon dioksida,

terutama bila dikombinasikan dengan berkurangnya pergerakan perfusi.

Hipersekresi mukus, menghasilkan batuk produktif yang kronis, adalah gambaran dari

bronkitis kronis dan tidak selalu berhubungan dengan keterbatasan aliran udara. Sebaliknya,

tidak semua pasien dengan PPOK memiliki gejala hipersekresi mukus. Bila ada, itu adalah

karena peningkatan jumlah sel goblet dan pembesaran kelenjar submukosa sebagai respons

terhadap iritasi kronik jalan napas.

27

Hipertensi pulmonal akibat dari perkembangan perjalanan dari PPOK. Hal ini dapat

disebabkan oleh vasokonstriksi arteri pulmonalis kecil yang mengalami hipoksia, akhirnya

mengakibatkan perubahan struktural yang meliputi hiperplasia intima dan hipertrofi otot

polos dan hilangnya ruang kapiler paru karena emfisema. Pada pembuluh darah paru, respon

inflamasi mirip dengan yang terlihat di saluran napas. Hipertensi pulmonal berat dapat

menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan dan akhirnya gagal jantung kanan. 28

(7)

Gejala eksaserbasi pernafasan sering terjadi pada pasien dengan PPOK, ini dipicu

oleh infeksi bakteri atau virus, polusi lingkungan atau faktor yang tidak diketahui. Selama

eksaserbasi, sering terjadi kekambuhan peradangan, peningkatan hiperinflasi dan

terperangkapnya udara, berkurangnya aliran ekspirasi, dan meningkatnya gejala sesak. Disini

juga terjadi penurunan dari VA/Q yang tidak normal, yang dapat mengakibatkan

hipoksemia dan hiperkapnia. Kondisi medis lainnya seperti pneumonia, tromboemboli, dan

gagal jantung akut dapat memperburuk eksaserbasi PPOK.29

2.1.4. Diagnosa Dan Penilaian

2.1.4. A. Diagnosa

Diagnosis klinis PPOK harus dipertimbangkan dalam setiap pasien yang memiliki

dyspnea, batuk kronis dan produksi sputum serta riwayat paparan terhadap faktor risiko

untuk penyakit ini. Spirometri diperlukan untuk membuat diagnosa klinis dalam konteks

tersebut.

Kriteria spirometri untuk keterbatasan aliran udara ditetapkan setelah

pasca-bronkodilator dengan perbandingan rasio FEV1/FVC kurang dari 0.70. Kriteria ini

sederhana, independen dari nilai referensi dan telah digunakan dalam berbagai bentuk uji

klinis sebagai bukti dasar dari beberapa rekomendasi pengobatan yang digunakan. Meskipun

pasca 18

-bronkodilator spirometri diperlukan untuk diagnosis dan penilaian keparahan PPOK,

derajat reversibilitas dari keterbatasan aliran napas (misalnya, mengukur FEV1 sebelum dan

sesudah bronkodilator atau kortikosteroid ) tidak lagi dianjurkan.

Gejala karakteristik dari PPOK bersifat kronis dan sesak nafas yang progresif, batuk,

dan produksi dahak. Batuk kronis dan produksi dahak dapat berkembang menjadi

keterbatasan aliran napas yang dialami bertahun-tahun. Pada individu, khususnya mereka

yang terpapar faktor risiko PPOK dengan gejala harus diperiksa untuk mencari dasar

penyebab dan mengambil tindakan yang tepat.

30

Suatu riwayat kesehatan secara rinci terhadap pasien baru harus diketahui dan diduga

memilik PPOK,harus ditanya :

31

• Terpapar dengan faktor risiko

• Riwayat kesehatan terdahulu

(8)

• Riwayat keluarga PPOK atau penyakit pernapasan kronis yang lain

• Riwayat eksaserbasi PPOK atau rawat inap sebelumnya terhadap gangguan pernafasan

• Adanya komorbiditas

• Dampak penyakit pada kehidupan pasien

• Keadaan sosial dan tersedianya dukungan keluarga terhadap pasien

• Kemungkinan untuk mengurangi faktor risiko, terutama berhenti merokok

Meskipun pemeriksaan fisik bagian penting dari perawatan pasien, namun jarang

dilakukan untuk diagnosa pasti pada PPOK. Tanda-tanda fisik terhadap keterbatasan aliran

napas pada awalnya tidak signifikan sampai adanya penurunan dari fungsi paru sehinga

deteksi ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang relatif rendah.32

2.1.4. B. Penilaian Terhadap Penyakit.

Tujuan dari penilaian PPOK adalah untuk menentukan :

1. Dampak penyakit terhadap status kesehatan pasien. 2. Keparahan dari keterbatasan aliran napas.

3. Risiko terjadinya peristiwa kedepan seperti terjadinya exaserbasi, rawat inap dirumah sakit dan kematian.

yang pada akhirnya dapat menentukan pilihan terapi yang tepat.

Ada beberapa kuesioner yang divalidasi untuk menilai gejala pada pasien PPOK yang

digunakan untuk membedakan pasien dengan gejala yang lebih ringan dan pasien dengan

gejala yang lebih berat. GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease)

telah merekomendasikan penggunaan modifikasi British Medical Research Council (mMRC)

suatu kuesioner pada sesak napas atau COPD Assessment Test (CAT), yang keduanya

memiliki cakupan yang lebih luas terhadap dampak PPOK pada kehidupan sehari-hari dan

kesejahteraan pasien. Skala gejala lain dapat juga digunakan, misalnya Clinical Quesioner

(9)

2.

Spirometri secara kusus digunaka untuk menentukan cut of poin. Spirometri harus

dilakukan setelah pemberian yang memadai dosis bronkodilator inhalasi kerja singkat untuk

mengurangi eksaserbasi. Semakin memberatnya keterbatasan aliran udara dikaitkan dengan

Tabel 2.1.4.3. Penilaian dari keterbatasan aliran udara pada PPOK.20 ( Berdasarkan Post Bronkodilator FEV1 )

Tabel 2.1.4.1. Modifikasi British Medical Research Council (mMRC)18

Tabel 2.1.4.2. COPD Assessment Test ( CAT )18 ( Score CAT < 10 Gejala Ringan dan CAT > 10 Gejala Berat )

(10)

peningkatan prevalensi eksaserbasi dan risiko kematian. Tabel di bawah ini menunjukkan

klasifikasi keparahan keterbatasan aliran udara pada PPOK.

20

FEV1 merupakan suatu penilaian yang sangat penting terhadap derajat keparahan

PPOK, dimana kegunaannya diperlihatkan oleh berbagai penelitian. Suatustudi penting dari

Fletcher dan Peto yang dilakukan sejak 30 tahun yang lalu dengan mengukur FEV1 setiap 6

bulan selama 8 tahun yang terdiri dari 792 laki-laki pekerja, didapati penurunan FEV1 yang

progresif dari waktu ke waktu pada pasien PPOK seiring dengan bertambahnya usia.

Pada penelitian oleh Luigi G. Francios et all. menemukan nilai FEV

33

1 secara statistik

berhubungan dengan derajat keparahan pada PPOK.34 Donaldson et al. melaporkan bahwa

pasien dengan PPOK berat (GOLD derajat III) memiliki frekuensi terjadinya eksaserbasi

3,43 % per tahun dibandingkan PPOK sedang (GOLD derajat II) dengan kejadian 2,68 %

per tahun dimana p = 0.029. PAGGIARO et al. melaporkan, pada pasien dengan FEV1 >

60% prediksi, dengan rerata dan SD 1,6 ± 1,5% mengalami eksaserbasi per tahun,

dibandingkan FEV1 59% - 40% prediksi dengan rerata dan SD 1,9 ± 1,8 % yang mengalami

eksaserbasi dan FEV1 <40% prediksi dengan rerata dan SD 2,3 ± 1,9% yang mengalami

eksaserbasi pada pasien PPOK.

2.1.5. PPOK Eksaserbasi Akut

35

PPOK eksaserbasi akut adalah peristiwa akut yang ditandai dengan memburuknya

gejala pernapasan pasien yang melebihi variasi normal sehari-hari dan menyebabkan

perubahan dalam pengobatan.18 Pasien yang mengalami eksaserbasi akut dapat ditandai

dengan gejala yang khas seperti sesak nafas yang semakin bertambah, batuk produktif

dengan perubahan volume atau purulensi sputum. Terkadang dapat juga memberikan gejala

yang tidak khas seperti malaise, fatigue dan gangguan susah tidur.22

(11)

Menurut Roisin gejala klinis PPOK eksaserbasi akut dapat dibagi menjadi dua yaitu

gejala respirasi berupa sesak napas yang semakin bertambah berat, peningkatan volume dan

purulensi sputum, batuk yang semakin sering, napas yang dangkal dan cepat. Sedangkan

gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi serta

gangguan status mental pasien.

PPOK eksaserbasi akut merupakan peristiwa penting dalam perjalanan penyakit oleh karena : 22

-Dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien yang semakin buruk.

-Memiliki efek pada gejala dan fungsi paru-paru yang memakan waktu beberapa minggu untuk pulih kembali dengan pengobatan.

-Mempercepat terjadinya penurunan fungsi paru-paru.

-Berhubungan dengan kematian, terutama pada pasien yang membutuhkan rawat inap.

-Membutuhkan biaya sosial ekonomi yang tinggi.

Prevalensi terjadinya mortalitas di rumah sakit pada pasien eksaserbasi akut dengan

komplikasi hiperkapnia dan asidosis diperkirakan10%. Kematian dalam 1 tahun mencapai

40% setelah mendapatkan bantuan alat pernafasan. 18

Penyebab tersering pada eksaserbasi akut adalah infeksi pada saluran pernafasan

trakheobronkial (virus dan bakteri) dan polusi udara, namun sekitar sepertiga kasus

eksaserbasi akut tidak dapat diketahui penyebabnya. Peranan infeksi bakteri pada PPOK

eksaserbasi masih kontroversi, tetapi penelitian terbaru menyatakan setidaknya 50 %

penderita mempunyai populasi bakteri yang tinggi pada saluran nafas bagian bawah. 18

Tingkat di mana terjadinya eksaserbasi sangat bervariasi antara pasien. Prediktor

terbaik menilai riwayat peristiwa seringnya eksaserbasi sebelum diobati. Keparahan

eksaserbasi biasanya diklasifikasikan sebagai ringan saat gejala eksaserbasi pernafasan

membutuhkan pengobatan inhalasi terhadap pasien, moderat ketika gejala eksaserbasi

pernafasan membutuhkan intervensi medis termasuk pemberian antibiotik dan oral steroid,

dan berat saat gejala eksaserbasi pernafasan memerlukan rawat inap.

2

mMRC atau CAT skala direkomendasikan untuk menilai gejala, dengan tingkat

mMRC ≥ 2 atau CAT skor ≥ 10 menunjukkan tingkat gejala berat. Cut off ini harus 36,37

(12)

digunakan sebagai indikator. Tujuan utamanya adalah untuk memisahkan pasien dengan

beban gejala yang berat dari gejala ringan. Ada dua metode untuk menilai resiko

eksaserbasi. Salah satunya adalah metode berbasis populasi menggunakan GOLD Klasifikasi

spirometri dengan kategori GOLD 3 atau GOLD 4 menunjukkan risiko berat. Yang lain

didasarkan pada riwayat individu pasien yang mengalami eksaserbasi dua atau lebih

pertahun sebelumnya yang menunjukkan risiko berat. Keterangan tentang mMRC, CAT

skala dan klasifikasi spirometri berdasarkan kriteria GOLD sudah dijelaskan sebelumnya.

Pada gambar dibawah ini diterangkan bagaimana penilaian kombinasi pengobatan terhadap

PPOK.

Gambar 2.1.5.1. Gabungan penilaian dari PPOK.

18,20

18

Keterangan Gambar 2.1.5.1.

Pertama menilai gejala dan menentukan apakah pasien milik kotak sisi kiri dengan gejala sedikit (seperti yang ditunjukkan oleh tingkat mMRC 0-1 atau CAT < 10) atau kotak sisi kanan dengan gejala banyak ( seperti yang ditunjukkan oleh tingkat mMRC > 2 atau CAT > 10 ). Selanjutnya, menilai risiko eksaserbasi untuk menentukan apakah pasien milik kotak bagian bawah beresiko rendah atau kotak bagian atas beresiko tinggi.

(13)

(GOLD 1 dan 2 mengindikasikan risiko rendah, sedangkan GOLD 3 dan 4 menunjukkan

risiko tinggi ); atau (2) Menilai jumlah eksaserbasi pasien yang dimiliki sebelumnya dalam 12 bulan ( nol atau

satu menunjukkan risiko rendah, sedangkan dua atau lebih eksaserbasi menunjukkan risiko tinggi ).18,20

Saat ini, diagnosis eksaserbasi dilakukan secara eksklusif berdasarkan presentasi klinis

pasien yang mengeluh terjadinya perubahan gejala akut (dyspnea, batuk, dan produksi

sputum) yang berada di luar keadaan normal yang bervariasi dari hari ke hari. Penilaian dari

suatu eksaserbasi didasarkan pada riwayat penyakit terdahulu dan keluhan klinis yang

memperberat pasien. Kedepannya, dibutuhkan biomarker yang memungkinkan untuk

diagnosis dan etiologi yang lebih tepat.2,18

Tabel 2.1.5.1. Penilaian PPOK Eksaserbasi Akut Berdasarkan Riwayat

( Tabel 2.1.5.1. dan 2.1.5.2)

Kesehatan.18

Tabel 2.1.5.2. Penilaian PPOK Eksaserbasi Akut Berdasarkan Tanda- Tanda Keparahan.18

2.1.6. PPOK Stabil

Tujuan dari penatalaksanaan PPOK Stabil adalah untuk mempertahankan fungsi paru,

meningkatkan kualitas hidup, mencegah eksaserbasi akut terhadap pasien PPOK. Dikatakan

PPOK stabil bila memenuhi kriteria sebagai berikut:

(14)

 Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik.

 Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas

darah menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2

 Dahak jernih tidak berwarna.

> 60 mmHg.

 Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil

spirometri).

 Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan.

 Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan.

Tujuan terapi untuk PPOK Stabil adalah :

38

1. Mengurangi gejala

■ Meredakan gejala

■ Meningkatkan toleransi terhadap latihan

■ Meningkatkan status kesehatan

2. Mengurangi Resiko.

● Mencegah progresivitas penyakit ● Mencegah eksaserbasi

● Mengurangi Mortalitas

Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi berkala atau

dirumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah eksaserbasi. 19

Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk mempertahankan PPOK yang stabil. Beberapa hal

yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh pasien sendiri maupun oleh

keluarganya.

Tujuan penatalaksanaan di rumah : 38

a. Menjaga PPOK tetap stabil

b. Melaksanakan pengobatan pemeliharaan c. Mengevaluasi dan mengatasi eksaserbasi dini

d. Mengevaluasi dan mengatasi efek samping pengobatan e. Menjaga penggunaan ventilasi mekanik

(15)

Penatalaksanaan di rumah ditujukan juga bagi penderita PPOK berat yang harus

menggunakan oksigen atau ventilasi mekanik.

Adapun penatalaksanaan PPOK stabil dibagi atas :

1. Penatalaksanaan PPOK stabil ringan. ( Gambar 2.1.6.1 )

2. Penatalaksanaan PPOK stabil sedang dan berat.38

( Gambar 2.1.6.2 )

Gambar 2.1.6.1 Penatalaksanaan PPOK Stabil Ringan.38

(16)

Gambar 2.1.6.1. Penatalaksanaan PPOK Stabil Sedang dan Berat.

38

2 .2 . SPI ROM ET RI

Spirometri adalah suatu alat yang digunakan untuk menghasilkan secara obyektif untuk mengukur hambatan aliran udara yang ada. Spirometri pada dasarnya dilakukan untuk

mengetahui apakah kerja pernafasan seseorang mampu mengatasi kedua resistensi yang

mempengaruhi kerja pernafasan kita yaitu resistensi elastik dan non elastik sehingga dapat

menghasilkan fungsi ventilasi yang optimal.

Resistensi elastik dihasilkan oleh sifat elastis paru (tegangan permukaan cairan yang

membatasi alveolus dan serabut elastik yang terdapat diseluruh paru) dan rongga toraks

(17)

tahanan gesekan terhadap aliran udara dalam saluran nafas, dalam jumlah kecil yang juga

disebabkan karena viskositas jaringan paru.

Parameter yang digunakan untuk menilai kemampuan kerja pernafasan dalam

mengatasi kedua resistensi tersebut adalah volume paru, baik volume statis maupun dinamis.

Volume statis menggambarkan kemampuan kerja pernafasan dalam mengatasi resistensi

elastik, sedangkan volume dinamik mengukur cepatan aliran udara dalam saluran pernafasan

dibandingkan dengan fungsi waktu yang digunakan untuk menilai kemampuan kerja

pernafasan mengatasi resistensi non elastik. 2

Adapun volume dinamis tersebut antara lain:

18

■ Kapasitas Vital Paksa / Forse Vital Capacity (FVC)

Pengukuran kapasitas vital yang didapat pada ekspirasi yang dilakukan secepat dan sekuat

mungkin.

■ Kapasitas Vital Lambat / Slow Vital Capacity ( SVC )

Volume gas yang diukur pada ekspirasi lengkap yang dilakukan secara berlahan setelah

atau sebelum inspirasi maksimal.

■ Volume Ekspirasi Paksa pada Detik Pertama/Force expiration Volume (FEV1) Jumlah udara yang dikeluarkan sebanyak-banyaknya dalam 1 detik pertama pada waktu ekspirasi

maksimal setelah inspirasi maksimal (volume udara yang dapat di ekspirasi dalam waktu

standar selama pengukuran kapasitas vital paksa).

■ Maximal Voluntary Ventilation ( MVV )

Jumlah udara yang bisa dikeluarkan sebanyak-banyaknya dalam 2 menit dengan bernafas

cepat dan dalam secara maksimal.

Puncak aliran ekspirasi diukur sendiri tetapi tidak dapat diandalkan untuk digunakan

sebagai satu-satunya test diagnostik, meskipun sensitivitasnya baik, namun spesifisitas yang

lemah. Kualitas pengukuran spirometri digunakan dalam penilaian perawatan dalam

kesehatan dan semua pelayanan kesehatan yang merawat pasien dengan PPOK harus

(18)

Fibrinogen adalah larutan glikoprotein yang ditemukan dalam plasma, dengan berat molekul 340 kDa, terdiri dari tiga pasang rantai polipeptida non identik (rantai alpha, beta

dan gamma), dimana satu sama lain dihubungkan dengan ikatan disulfida. Fibrinogen

memiliki waktu paruh sekitar 100 jam dan disintesa terutama di dalam hati. Sebagai faktor

pembekuan, fibrinogen merupakan komponen penting pada sistem pembekuan darah, dan

menjadi prekursor fibrin. Namun, biasanya konsentrasi kadar fibrinogen plasma 1,5 - 3,5 g/l,

jauh melebihi konsentrasi minimum 0.5-1g/l yang diperlukan untuk hemostasis.

Pada studi epidemiologi menunjukkan kadar plasma fibrinogen yang tinggi

berhubungan dengan peningkatan risiko gangguan kardiovaskular, termasuk penyakit jantung

iskemik (IHD), stroke, penurunan fungsi paru dan thromboembolism. Dimana peningkatan

kadar plasma fibrinogen dapat mengaktifkan prothrombotik atau kondisi hiperkoagulasi dan

mengakibatkan risiko stroke dan tromboemboli terutama dalam keadaan seperti fibrilasi

atrium (AF).

40

40

Hubungan antara hiperfibrinogenemia, aterosklerosis dan trombosis merupakan satu

kesatuan yang kompleks. Sebagai proses trombogenesis sangat erat hubungan dengan

pembentukan ateroma (atherogenesis). Faktor-faktor thrombogenesis seperti fibrinogen

mungkin memainkan kunci penting dalam proses pembentukan lesi aterosklerosis, dengan

efek pada penyakit kardiovaskular.

Plasma fibrinogen juga dipengaruhi oleh banyak faktor. Adapun faktor yang

meningkatkan plasma fibrinogen adalah usia, indeks massa tubuh, merokok, diabetes, pasca

menopause, low density lipoprotein (LDL) kolesterol dan jumlah leukosit. Sebaliknya

berkurang dengan asupan alkohol, aktivitas fisik, meningkatan high-density lipoprotein

(HDL) kolesterol, dan terapi pengganti hormon.

2.3.2. Patofisiologi

41

Fibrinogen memainkan peran penting dalam sejumlah proses fisiopatologis dalam

tubuh, termasuk peradangan, aterosklerosis dan trombogenesis. Namun demikian,

pemahaman kita tentang mekanisme kerja dari atherothrombogenesis fibrinogen

berbeda-beda. Mekanisme yang ada meliputi infiltrasi fibrinogen ke dinding pembuluh darah, efek

(19)

agregasi platelet dan trombus. Disamping itu, fibrinogen plasma merupakan acute phase

protein yang disintesa oleh hepatosit dan dilepas dalam jumlah besar ke sirkulasi darah

dalam menanggapi stimulasi dari interleukin 6 (IL-6). IL-6 mempunyai kemampuan

memodulasi jumlah dan aktivitas sel inflamasi yang penting terhadap proses peradangan dan

protease. Dengan demikian, peningkatan konsentrasi fibrinogen, merupakan proses sekunder

terhadap inflamasi atau infeksi yang meningkatkan reaktivitas trombosit.

2.3.3. Fibrinogen dan Peradangan

9,40

Proses peradangan terutama dimediasi oleh interaksi dengan leukosit melalui reseptor

permukaan yang disebut integrin. Ada 2 reseptor utama tempat kerja fibrinogen pada

permukaan leukosit yaitu:

MAC-1 (CD11b / CD18, alpha M beta 2) dan alpha X beta 2 (CD11c / CD18, p150, 95).

Leukosit ( baik monosit dan mielosit ) khususnya dapat menginduksi MAC-1 reseptor

untuk mengikat fibrinogen. Kemampuan MAC-1 reseptor untuk mengikat fibrinogen

menghasilkan perubahan kematangan pada reseptor selama proses diferensiasi sel. Tempat

fibrinogen berinteraksi dengan MAC-1 tidak dipengaruhi oleh integrin lainnya.

Fibrinogen berikatan dengan Intercelluler Adhetion Molekul

40

-1 (ICAM-1), dan

meningkatkan interaksi monosit di endotel sel yang dijembatani oleh MAC 1 monosit di

ICAM 1 pada sel endotel. Dengan demikian, ICAM-1 sebagai permukaan sel yang

berikatan pada alpha L beta 2 dan alpha M beta 2 (MAC-1) integrin, dan memiliki peran

penting dalam adhesi leukosit pada endotel vaskular. Selain itu, fibrinogen meregulasi dan

meningkatkan konsentrasi dari ICAM-1 protein pada permukaan sel endotel, sehingga

meningkatkan adhesi leukosit pada permukaan sel endotel. Fibrinogen juga mengikat

ICAM-1 pada sel endotel yang memediasi adhesi trombosit. Interaksi fibrinogen dan sel

mengekspresikan ICAM-1 yang berhubungan dengan proliferasi selluler.

Fibrinogen mengikat reseptor integrin pada permukaan leukosit yang memfasilitasi

suatu respon chemotaktik, sehingga memainkan peran penting dalam proses inflamasi. Salah

satu mekanisme dari fibrinogen menginduksi perubahan proinflamasi leukosit mencakup

meningkatnya pelepasan kalsium intraseluler dan meningkatnya ekspresi penanda aktivasi 40

(20)

neutrofil. Proses ini menghasilkan peningkatan fagositosis, antibodi yang dimediasi oleh

toksisitas leukosit dan menunda apoptosis.

Fibrinogen juga terlibat dalam fasilitasi interaksi diantara sel dan matriks ekstraseluler

seperti kolagen. Dengan demikian, seperti dijelaskan di atas, fibrinogen adalah mediator

penting pada interaksi sel

40

-sel, adhesi dan peradangan.40

2.3.4. Fibrinogen Pada PPOK

2.3.4. A. Fibrinogen Pada PPOK Stabil

Kadar fibrinogen plasma direproduksi pada pasien PPOK stabil, tetapi peningkatan

kadar fibrinogen plasma ini derajat rendah dibandingkan PPOK eksaserbasi akut, terjadi

peningkatan derajat tinggi. Selain itu, inflamasi juga memproduksi peningkatan jumlah

leukosit darah, acute phase protein lainnya, dan sitokin.3,4 Hal ini diperkuat oleh Gan WQ,

dkk, menyatakan pasien PPOK stabil memiliki peningkatan jumlah leukosit, CRP dan

fibrinogen serta sitokin lainnya seperti IL-6, TNF-α.42

Inflamasi di saluran pernapasan pada pasien PPOK tampak sebagai respon modifikasi

inflamasi di saluran pernapasan akibat iritasi kronis seperti asap rokok. Mekanisme

terjadinya inflamasi ini tidak dapat dijelaskan, tetapi mungkin ditentukan secara genetik.

Pasien yang tidak merokok juga dapat menderita PPOK, tetapi respon inflamasi pada pasien

ini tidak diketahui. Stres oksidatif dan peningkatan proteinase di paru-paru selanjutnya

memodifikasi radang paru-paru. Bersamaan dengan mekanisme ini terjadi perubahan

patologis dari karakteristik pasien PPOK. Inflamasi di paru-paru tetap ada setelah pasien

berhenti merokok melalui mekanisme yang tidak diketahui, meskipun autoantigens dan

mikroorganisme persisten mungkin memainkan peranan.

Stres oksidatif mungkin menjadi mekanisme penting untuk memperkuat terjadinya

PPOK. Biomarker stres oxidative (seperti hidrogen peroksida, 8 - isoprostan) meningkat

konsentrasinya didalam pernapasan, dahak, dan sirkulasi sistemik pada pasien PPOK. Stres

oksidatif lebih meningkat pada eksaserbasi. Oksidan yang dihasilkan oleh asap rokok dan

partikel inhalasi lainnya, dilepaskan sehingga mengaktifkan sel-sel inflamasi seperti

(21)

akibat pengurangan faktor transkripsi yang disebut Nrf 2 yang mengatur banyak gen

antioksidan.

Bukti ini diperkuat dengan terjadinya ketidakseimbangan protease dan antiproteasi

pada paru-paru pasien PPOK. Beberapa protease, yang berasal dari sel-sel inflamasi dan sel

epitel, meningkat pada pasien PPOK. Beberapa bukti menyatakan bahwa protease ini dapat

berinteraksi satu sama lain. Protease memediasi penghancuran dari elastin, suatu komponen

utama dari jaringan ikat di parenkim paru, yang diyakini menjadi gambaran penting untuk

emfisema dan mungkin bersifat irreversibel. Berbagai macam mediator inflamasi

memperlihatkan peningkatan pada pasien PPOK, sel inflamasi bergerak ke sirkulasi darah

(faktor kemotaktik), menyebabkan pelepasan sitokin pro inflamasi dan menyebabkan

terjadinya perubahan struktural. 18

18

Inflamasi sistemik pada pasien PPOK juga mempengaruhi

adaptasi sistim imun, dimana beberapa penelitian menyatakan telah terjadi peningkatan kadar

immunoglobulin plasma pada pasien PPOK dibandingkan kontrol.

2.3.4.B. Fibrinogen Pada PPOK Eksaserbasi Akut

6,7

Kadar fibrinogen plasma meningkat pada saat eksaserbasi dan menurun secara

signifikan selama 4 - 6 minggu setelah stabil. Peningkatan kadar fibrinogen plasma pada

PPOK eksaserbasi akut merupakan penguatan lebih lanjut proses inflamasi dalam paru-paru.

Terjadinya eksaserbasi dipicu oleh satu atau lebih infeksi bakteri, infeksi virus, atau polusi

lingkungan, meskipun sepertiga terjadinya eksaserbasi tidak diketahui penyebabnya. Emboli

paru juga dapat menyebabkan eksaserbasi, dimana sekitar 25% dari pasien rawat inap dengan

PPOK eksaserbasi akut mungkin memiliki emboli paru. Dibandingkan dengan pasien yang

tidak mengalami eksaserbasi.

Selama eksaserbasi terjadi peningkatan hiperinflasi dan terperangkapnya udara

disaluran pernapasan, disertai menurunnya aliran ekspirasi, sehingga terjadi peningkatan

dyspnea. Ini juga mengakibatkan memburuknya VA/Q yang abnormal, sehingga

mengakibatkan hipoksemia. Kondisi lain seperti pneumonia, tromboemboli, dan gagal

jantung akut, dapat menyerupai gejala PPOK atau dapat memperburuk eksaserbasi PPOK. 3,7,18,43

Terjadinya inflamasi sistemik semakin diperkuat dengan banyaknya pasien pada PPOK

memiliki komorbiditas yang berdampak besar terhadap kualitas dan kelangsungan hidup. 18

(22)

Keterbatasan aliran udara dan khususnya hiperinflasi mempengaruhi fungsi jantung dan

pertukaran udara. Mediator inflamasi pada sirkulasi dapat berkontribusi terhadap penurunan

otot rangka dan cachexia, mungkin mengawali atau memperburuk komorbiditas seperti

penyakit jantung iskemik, gagal jantung, osteoporosis, anemia normositik, diabetes,

metabolik syndrom dan depresi.

Mekanisme hubungan terjadinya inflamasi pada PPOK stabil dan PPOK eksaserbasi

akut dijelaskan pada gambar dibawah ini. 18

7

Gambar 2.3.4.1 Mekanisme Terjadinya PPOK Eksaserbasi Akut Dan PPOK Stabil.7

Mekanisme terjadinya PPOK eksaserbasi akut, diakibatkan peningkatan Interleukin-6

yang merangsang pelepasan fibrinogen dan CRP kedalam sirkulasi darah. Interleukin -6 ( IL-

6 ) memegang peranan penting dalam proses inflamasi yang mampu memodulasi aktivitas

peradangan pada sel dan protease. IL- 6 disintesis oleh epitel saluran napas, makrofag, dan

beberapa sel lain pada lokasi inflamasi dalam menanggapi respon terhadap lingkungan

seperti merokok atau faktor lainnya (infeksi). IL- 6 memiliki efek sistemik sebagai respon

pada fase akut.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa kadar fibrinogen darah meningkat pada

pasien PPOK eksaserbasi akut dibandingkan PPOK stabil. Suatu penelitian dilakukan oleh

Mona Fattouh, dkk, 2014, di Rumah Sakit Universitas Sohag selama periode Januari 2013

(23)

dibagi dalam kelompok eksaserbasi dan kelompok stabil, sedangkan 30 orang yang sehat

sebagai kelompok kontrol. Didapatkan data kadar serum fibrinogen menunjukkan

peningkatan yang signifikan secara statistik pada pasien PPOK eksaserbasi akut dengan

rerata dan SD 5,09 ± 1,861 g / L dibandingkan PPOK stabil dengan rerata dan SD 2,299 ±

0,571 g/L dengan P <0,001. Begitu juga kadar serum fibrinogen PPOK eksaserbasi akut

dibandingkan kelompok kontrol dengan rerata dan SD 2,073 ± 0,575 g / L menunjukkan

peningkatan yang signifikan secara statistik dengan P <0,001. Mona Fattouh, dkk, juga

menyatakan terjadi peningkatan jumlah leukosit yang signifikan pada pasien PPOK

eksaserbasi akut dengan rerata dan SD 12.212 ± 6,175 x 109 / L dibandingkan PPOK stabil

dengan rerata dan SD 7,877 ± 2,118 x 109 /L dimana P < 0,001, sedangkan peningkatan

jumlah leukosit juga signifikan pada pasien PPOK eksaserbasi akut dibandingkan kelompok

kontrol dengan nilai rerata dan SD 7,943 ± 2,295 x 109 / L dimana P <0,001.

Zhang Yonghong, dkk, 2014, melakukan penelitian yang terdiri dari 44 pasien PPOK,

dibagi dalam 14 pasien PPOK eksaserbasi akut dengan kadar plasma fibrinogen rerata dan

SD

11

358.18±109.97 mg/dl yang dibandingkan dengan 30 pasien PPOK stabil dengan kadar

plasma fibrinogen rerata dan SD 258.32 ± 60.22 mg/dl, didapatkan hasil peningkatan yang

signifikan secara statistik dengan p < 0,01, begitu juga jumlah leukosit pada PPOK

eksaserbasi akut dengan rerata dan SD 7.54±3.45 x 109/L dibandingkan PPOK stabil dengan

rerata dan SD 5.68±1.85 x 109/L dinyatakan meningkat signifikan dengan p < 0,01.

Polatli Mehmed, dkk, 2007, yang terdiri dari 59 pasien PPOK yang dibagi dalam 2

kelompok: 33 pasien dengan kelompok PPOK stabil dan 26 pasien dengan kelompok PPOK

eksaserbasi akut, sedangkan 16 pasien sebagai kelompok kontrol. Didapatkan peningkatan

secara signifikan kadar serum fibrinogen dengan p = 0,001, pada kelompok PPOK

eksaserbasi akut dengan rerata dan SD 447.67 ± 128 mg/dl dibandingkan PPOK stabil

dengan rerata dan SD 346.88 ± 92.3 mg/dl dan PPOK eksaserbasi akut dengan rerata dan SD

447.67 ± 128 mg/dl dibandingkan kelompok kontrol dengan rerata dan SD 289.99 ± 39.9

mg/dl terjadi peningkatan yang signifikan dengan p < 0,001. Begitu juga pada kelompok

PPOK stabil dibandingkan kelompok kontrol dinyatakan meningkat secara signifikan dengan

p < 0,013.

12

13

Sedangkan Thomsen Mette, dkk, 2013, menyatakan terjadi peningkatan secara

bersamaan kadar plasma CRP, fibrinogen dan jumlah leukosit yang dihubungkan dengan

(24)

meningkatnya resiko mendapat eksaserbasi, pada pasien PPOK stabil yang lebih ringan dan

pada mereka yang tidak pernah mengalami eksaserbasi sebelumnya.

Hal ini berbeda terhadap penelitian oleh Valipour Arschang, dkk, 2008, terdiri dari 30

pasien PPOK eksaserbasi akut, 30 pasien PPOK stabil dan 30 pasien sebagai kontrol yang

menyatakan kadar serum fibrinogen pasien PPOK eksaserbasi akut dengan rerata 419 mg/dl (

329 – 470 mg/dl ) dibandingkan pasien PPOK stabil dengan rerata 424 mg/dl ( 358 -459

mg/dl ) tidak berbeda secara signifikan, tetapi terdapat perbedaan yang signifikan

peningkatan kadar fibrinogen plasma pada PPOK eksaserbasi akut dan PPOK stabil

dibandingkan kontrol dengan rerata 360 mg/dl ( 326 – 393 ) dengan p < 0,01.

14

15 Pada

penelitian oleh Fekri S. Mitra, dkk, 2010, terdiri dari 30 pasien PPOK dan 29 pasien sebagai

kontrol sehat menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan kadar serum fibrinogen

dengan rerata dan SD 3.81±0.93 mg/dl pada pasien PPOK dibandingkan kadar serum

fibrinogen dengan rerata dan SD 3.72±0.9 mg/dl pada pasien kontrol, dimana p = 0.82.

Kontribusi dari inflamasi sistemik juga menginduksi ekspresi faktor jaringan pada

permukaan sel leukosit, terutama monosit. Peningkatkan CRP berperan dalam memfasilitasi

interaksi sel monosit

16

-endotel dan meningkatkan Plasminogen Activator Inhibitor Type 1 (

PAI-1 ) dan faktor jaringan . CRP dapat berkontribusi mengaktifkan sistem komplemen dan

sistem koagulasi dalam berbagai cara.

Hal ini telah dibuktikan pada sejumlah studi menunjukkan aktivitas peningkatan

trombosit pada pasien PPOK ditemukan pada pasien dengan hiperkapnia dan hipoksemia,

serta petanda hiperkoagulasi : trombin 44

-antitrombin III kompleks (TAT), fibrinopeptida A,

dan aktivator plasminogen inhibitor tipe 1 (PAI-1), telah terbukti secara signifikan lebih

tinggi pada pasien dengan PPOK dibanding subyek kontrol sehat.

Fibrinogen juga berperan dalam mengikat Intercelluler Adhetion Molekul 1 (ICAM-1)

dalam meningkatkan Epidermal Growth Factor Reseptor ( EGFR ) untuk memproduksi

mukus di sel epitel saluran pernafasan manusia. Fibrinogen berada pada plug mukus,

meningkat pada saluran nafas pada pasien asma akut, PPOK, dan cystic fibrosis, dan ini

terbukti menginduksi ICAM 1 yang tergantung pada sel endotel dan immun. Efek dari

fibrinogen mengikat ICAM-1 pada saluran napas sel epitel belum diketahui. 45

(25)

Adaptasi dari Respon immun adalah ciri khas dari langkah yang mengarah ke

dominasi CD8 + limfosit sitotoksik di semua bagian saluran pernafasanan dan parenkim

paru. Fungsi sel-sel ini melibatkan apoptosis dan akhirnya destruksi jaringan. Namun,

limfosit CD4 dan limfosit B juga ditemukan banyak di saluran pernafasan pasien PPOK.

Leptin adalah hormon peptida yang diproduksi sebagian besar oleh sel adiposa. leptin

berfungsi sebagai proinflamasi sitokin dan terlibat dalam patogenesis inflamasi dan penyakit

autoimun, termasuk eksaserbasi akut PPOK. Selama eksaserbasi akut, konsentrasi leptin

telah terbukti berhubungan dengan gangguan keseimbangan energi dan respon inflamasi

sistemik. Disamping itu leptin dalam jumlah yang banyak berefek untuk terjadinya

aterogenik, seperti menginduksi disfungsi endotel, stimulasi reaksi inflamasi, stres oksidatif,

penurunan oxigenase, serta memainkan peran penting dalam modifikasi oksidatif lipoprotein

plasma, agregasi platelet, dan proliferasi otot polos pembuluh darah sel.

47

Adiponektin adalah adipokine yang paling dikenal karena perannya dalam regulasi

sensitivitas insulin dan ditemukan dalam sirkulasi pada konsentrasi tertinggi dalam bentuk

adipokine. Adiponektin memiliki efek antiinflamasi penting dalam mengurangi produksi dan

aktivitas TNF-a serta menghambat produksi IL

47

-6 dengan menginduksi antiinflamasi sitokin

IL-10 dan IL-1 sebagai receptor antagonis. Penghambatan faktor nuklir (NF) -kB oleh

adiponektin mungkin menjelaskan efek ini. Selain itu, adiponektin mengurangi induksi

adhesi endotel molekul ICAM-1 dan adhesi molekul 1 sel vaskular. Atas dasar efek yang

disebutkan di atas, tampak adiponektin bertindak sebagai molekul anti infla masi.48 (Gambar

2.3.4.2)

(26)

Gambar 2.3.4.2. Hubungan antara Sistem Mediator, Respon Imun,

Gambar

Gambar 2.1.3.2. Proses Patologi yang terlibat dalam Empisema.19
Gambar 2.1.5.1. Gabungan penilaian dari PPOK.18
Gambar 2.1.6.1 Penatalaksanaan PPOK Stabil Ringan.38
Gambar 2.1.6.1. Penatalaksanaan PPOK Stabil Sedang dan Berat.38
+2

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Menu yang ada di cermin cembung sama dengan menu yang ada di cermin cekung, yaitu: menu untuk mencari jarak fokus, menu untuk mencari jarak benda, dan menu untuk

Dari hasil pendiskripsian teknis berdasarkan keinginan konsumen, hal yang dapat dilakukan oleh Arromanis Bakery adalah pelatihan karyawan dan durasi baking.. Dengan pelatihan

The effect of extraction duration on the yield and of physic-chemistry properties of kachnar (Bauhinia purpurea L.) seed oil has been carried out in Laboratory of Natural

Seandainya produk yang dihasilkan dan dijual (diserahkan) oleh PT ABC tergolong sebagai barang dan jasa yang tidak dikenakan (tidak terutang) PPN, maka ketujuh PM yang terkait

Apa saja yang menjadi kendala penegakan hukum terhadap pelaku usaha. tambang timah yang tidak memiliki IUP, IPR, dan IUPK di

Kesimpulan penelitian adalah terdapat hubungan yang positif antara antara kualitas produk dan kualitas pelayanan dengan kepuasan konsumen Matahari Dept Store pada warga RW

bahwa dalam rangka pengelolaan perikanan secara bertanggungjawab ( responsible fisheries ), maka sesuai dengan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang