• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KADAR VITAMIN D DENGAN DERAJAT OBSTRUKSI PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) STABIL TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN KADAR VITAMIN D DENGAN DERAJAT OBSTRUKSI PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) STABIL TESIS"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KADAR VITAMIN D DENGAN DERAJAT OBSTRUKSI PADA PASIEN PENYAKIT PARU

OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) STABIL

TESIS

dr. Syahni Wirdani Pulungan NIM : 137111012

ROGRAM MAGISTER KLINIK-SPESIALIS PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

SUMATERA UTARA

RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

2018

(2)

HUBUNGAN KADAR VITAMIN D DENGAN DERAJAT OBSTRUKSI PADA PASIEN PENYAKIT PARU

OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) STABIL

TESIS

Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang Patologi Klinik/M.Ked (ClinPath) pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

dr. Syahni Wirdani Pulungan NIM : 137111012

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK SPESIALIS PATOLOGI KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

(3)

i

(4)
(5)

iii 5

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan karuniaNya sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Hubungan Kadar Vitamin D Dengan Derajat Obstruksi pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Stabil. Tesis ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di bidang Ilmu Patologi Klinik/M.Ked (Clin.Path) pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Selama penulis mengikuti pendidikan dan proses penyelesaian penelitian untuk karya tulis ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan, petunjuk, bantuan dan pengarahan serta dorongan baik moril dan materil dari berbagai pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan karya tulis ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan serta kritikan yang membangun sehingga tesis ini bisa bermanfaat dimasa yang akan datang.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan penghormatan dan ucapan terima kasih yang tiada terhingga kepada :

1. Yth, Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S (K), selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara yantelah memberikan kesempatan

iii

(6)

kepada saya untuk engikuti pendidikan di program Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Bidang Patologi Klinik.

2. Yth. Dr.dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked (Oph), Sp. M (K) selaku Ketua Program Studi Program Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengiuti pendidikan di Program Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Bidan Patologi Klinik.

3. Yth, dr. Zulfikar Lubis. SpPK (K), sebagai Pembimbing I saya yang telah bersusah payah dan bersedia meluangkan waktu dan pikirannya setiap saat dalam memberikan banyak bimbingan, petunjuk, pengarahan dan bantuan mulai dari penyusunan proposal, selama dilaksanakan penelitian sampai selesainya tesis ini. Saya memohon doa semoga semua kebaikan beliau dibalas oleh Allah SWT.

4. Yth, Dr.dr. Amira Permatasari Tarigan, M.Ked (Paru), SpP (K) , sebagai pembimbing II dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK- USU/RSUP. H. Adam Malik Medan, yang sudah bersedia menyediakan waktu dan memberikan banyak bimbingan, petunjuk, pengarahan dan bantuan mulai dari penyusunan proposal, selama dilaksanakan penelitian sampai selesainya tesis ini.

5. Yth, Dr. Ricke Loesnihari, M.Ked(ClinPath), Sp.PK-K, sebagai Ketua Departemen Patologi Klinik FK USU dimana beliau telah banyak memberikan bimbingan, petunjuk, dan pengarahan kepada saya selama mengikuti pendidikan dan dalam melaksanakan penelitian ini sampai selesai.

(7)

7

6. Yth, Prof. DR. dr. Ratna Akbari Ganie, Sp.PK-KH, sebagai Ketua Program Studi di Departemen Patologi Klinik FK USU yang memberikan kesempatan kepada saya sebagai peserta Program Magister dan Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik serta beliau juga telah banyak membimbing, mengarahkan dan memotivasi saya sejak awal pendidikan sampai selesai.

7. Yth, Dr. Malayana Rahmita Nasution, M.Ked(ClinPath), Sp.PK, sebagai Sekretaris Departemen Patologi Klinik FK USU yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti pendidikan.

8. Yth, Dr. Jelita Siregar, M.Ked(ClinPath), Sp.PK-K, sebagai Sekretaris Program Studi di Departemen Patologi Klinik FK USU, yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukan dan memotivasi selama saya mengikuti pendidikan.

9. Yth, Prof. Dr. Adi Koesoema Aman, Sp.PK-KH, yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti pendidikan dan didalam menyelesaikan penulisan tesis ini

10. Yth, Prof. Dr. Herman Hariman, PhD, Sp.PK-KH, yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti pendidikan dan didalam menyelesaikan penulisan tesis ini

11. Yth, Prof. Dr. Burhanuddin Nasution, Sp.PK-KN, KGEH, yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti pendidikan.

12. Yth, Dr. Muzahar, DMM, Sp.PK-K, Dr. Tapisari Tambunan, Sp.PK-K, Dr. Nelly Elfrida Samosir, Sp.PK, Dr. Ida Adhayanti, Sp.PK, Dr. Ranti

v

(8)

Permatasari, Sp.PK-K, Dr. Nindia Sugih Arto, M.Ked(ClinPath), Sp.PK, Dr. Dewi Indah Sari Siregar, M.Ked(ClinPath), Sp.PK, Dr. Almaycano Ginting , M.Ked (ClinPath), SpPK dan semua guru-guru saya yang telah banyak memberikan bimbingan, nasehat, arahan, dan dukungan selama saya mengikuti pendidikan.

13. Yth, Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H.

Adam Malik yang telah memberikan kesempatan dan menerima saya untuk mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik di bidang Patologi Klinik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik.

14. Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada seluruh teman sejawat Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik FK USU, Terutama seangkatan saya Dr. Kamelia S (ClinPath) SpPK, Dr. Vinisia (ClinPath) SpPK, Dr.

Vera L.S (ClinPath) SpPK, dr. Rina H (ClinPath) SpPK, Dr. Ade H, Dr.Hairiah A, Dr. Derry H, Dr. Fauzan L, Dr. Dahlan S. serta para analis dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, atas bantuan dan kerjasama yang diberikan kepada saya, sejak mulai pendidikan dan selesainya tesis ini.

15. Terima kasih yang setulus-tulusnya saya sampaikan kepada kedua orang tua saya, Ayahanda tercinta (Alm) H. Wahid Pulungan dan Ibunda tersayang Hj. Mastika Siregar atas cinta kasih sayangnya, pengorbanan dan kesabaran mereka yang telah membesarkan, mendidik, mendorong dan memberikan dukungan moril maupun materil serta selalu tanpa bosan-bosannya

(9)

mendoakan saya sehingga dapat menyelesaikan pendidikan sampai saat ini.

Semoga Allah SWT membalas semua budi baik dan kasih sayangnya. Juga kepada Kakak saya Rimawati Sjahrona Pulungan SAg, Ria Wahmayanti Pulungan SH, dan adik saya Mangedar Pulungan SH, Donna Suciana Pulungan Amd. serta kepada abang dan adik ipar saya, serta semua ponakan- ponakan yang menggemaskan Zahra R, Nafisyah H, Chalisya A, M.Dafi Al-jailani, Apika Marwah Pulungan, Raffif Al-Gibran Pulungan,

Allsyah Zahira Sarumpaet yang tidak henti-hentinya memberikan semangat selama saya mengikuti pendidikan. Semoga Allah SWT selalu melindungi mereka.

Akhir kata sebagai manusia biasa tentunya tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan, pada kesempatan ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Sudikiranya tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan Rahmat dan Hidayah Nya kepada kita semua. Amin Ya Rabbal Alamin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Medan, Agustus 2018 Penulis,

dr. Syahni Wirdani Pulungan

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN TESIS ... i

LEMBAR PENETAPAN PANITIA UJIAN... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

ABSTRAK ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Hipotesis Penelitian ... 4

1.4. Tujuan Penelitian ... 4

1.4.1 Tujuan Umum ... 4

1.4.2 Tujuan Khusus ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 4

1.5.1. Bagi Dokter Klinis ... 4

1.5.2. Bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan ... 5

1.5.3. Bagi Masyarakat ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Vitamin D... 6

(11)

2.1.1. Struktur Kimia Vitamin D ... 6

2.1.2. Sejarah Vitamin D ... 6

2.1.3. Epidemiologi Vitamin D ... 7

2.1.4. Manfaat Vitamin D ... 9

2.1.5. Kebutuhan Vitamin D ... 10

2.1.6. Metabolisme Vitamin D ... 11

2.1.6.1. Metabolisme Vitamin D3 ... 14

2.2. Vitamin D dan Inflamasi ... 15

2.3. Penyakit Paru Obstruksi Kronis... 17

2.3.1. Definisi ... 17

2.3.2. Anatomi dan Fisiologi Paru ... 17

2.3.2.1. Anatomi Paru... 17

2.3.2.2. Fisiologi Paru ... 19

2.3.3. Patofisiologi PPOK ... 19

2.3.4. Berdasarkan GOLD, 2017 ... 21

2.3.5. Etiologi ... 22

2.3.6. Tanda dan Gejala Klinis ... 23

2.3.7. Pemeriksaan Penunjang ... 23

2.3.7.1. Pemeriksaan Spirometri ... 23

2.3.7.2. Pemeriksaan Penunjang Lain ... 24

2.3.8. Penatatalaksanaan PPOK ... 25

2.3.9. Combined COPD Assessment ... 27

2.3.10. Progonosis ... 31

(12)

2.3.11. Kerangka Teori ... 33

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian ... 32

3.2. Waktu dan Waktu Penelitian ... 32

3.3. Populasi dan Subjek Penelitian ... 32

3.3.1. Populasi Penelitian ... 32

3.3.2. Subjek Penelitian ... 32

3.4. Kriteria Inklusi dan Ekslusi ... 33

3.4.1 Kriteria Inklusi... 33

3.4.2 Kriteria Eksklusi ... 33

3.5. Ethical Clearance dan Informed Consent ... 33

3.6. Perkiraan Besar Sampel ... 34

3.7. Definisi Operasional ... 34

3.8. Kerangka Konsep ... …. 36

3.9. Bahan dan Cara Kerja ... 37

3.9.1. Bahan Yang Diperlukan... 37

3.9.2. Cara Kerja ... 37

3.9.3. Pemeriksaan Laboratorium ... 38

3.10. Pemantauan Kualitas ... 42

3.11. Analisa Data Statistik ... 44

3.12. Alur Penelitian ... 45

BAB IV HASIL ... 46

4.1 Karakteristik Subjek Penelitian ...46

(13)

xi

4.2 Analisis Bivariat antara Umur dengan VEP1, VEP!/KVP,

kadar Vitamin D & Leukosit ... 47

4.3 Analisis Bivariat antara Nilai VEP1 dengan Nilai VEP1/KVP, Kadar Vitamin D & Leukosit. ... 48

4.4 Analisis Bivariat antara niali VEP1/KVP dengan kadar Vitamin D & leukosit ... 49

BAB V PEMBAHASAN ... 50

5.1 Karakteristik Penelitian.. ... 50

5.2 Analisis Bivariat antara Umur dengan VEP1, VEP1/KVP Kadar Vitamin D & Leukosit... ... 53

5.3 Analisis Bivariat antara Nilai VEP1 dengan Nilai VEP1/KVP, Kadar Vitamin D & Leukosit... ... 53

5.4 Analisis Bivariat antara Nilai VEP1/KVP dengan kadar Vitamin D & Leukosit... ... 54

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN... .. 56

6.1 Simpulan ... 56

6.2 Saran ... 56

6.2.1 Untuk Penelitian Selanjutnya... 56

6.2.2 Untuk Para Klinisi ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58

LAMPIRAN ... 62

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Struktur Kimia Vitamin D (Harper Biochemistry, 2013) 7 Gambar 2.2. Grafik Kebutuhan Vitamin D pada Manusia 11

Gambar 2.3 Metabolisme Vitamin D 12

Gambar 2.4 Anatomi Paru 18

Gambar 2.5 Combined COPD Assessment 28

Gambar 2.6 Kerangka Teori 31

Gambar 3.1 Kerangka Konsep 36

Gambar 3.2 Kualitas kontrol Vitamin D 42

Gambar 3.3 Kualitas kontrol Leukosit 43

Gambar 3.4 Kualitas kontrol Spirometri 43

Gambar 3.5 Alur Penelitian 45

(15)

Tabel 2.1.

Tabel 2.2 Tabel 2.3

Tabel 3.1 Tabel 4.1

Tabel 4.2

DAFTAR TABEL

Halaman

Klasifikasi PPOK Berdasarkan GOLD 22

COPD Assessment Test 29

Grading mMRC 30

Deskripsi strip vitamin D (Vidas,2015) 39

Karakteristik subjek penelitian 46

Distribusi subjek penelitian berdasarkan GOLD 47

Tabel 4.3

Tabel 4.4

Tabel 4.5

Hubungan Umur, VEP1, VEP1/KVP, kadar Vitamin D

& Leukosit

Hubungan VEP1 dengan VEP1/KVP dengan kadar Vitanim D & Leukosit.

Hubungan VEP1/KVP dengan kadar Vitamin D

& Leukosit.

47

48

49

(16)

DAFTAR SINGKATAN

APC APL

BLVR CAMP

CAT CHF CLSI

COAD COLD

COPD CT DEFB2

ELFA FRC

GOLD HAMP

: Antigen Presenting Cells : Alkaline Phosphatase

: Bronchoscopic Lung Volume Reduction : Cathelicidin AntiMicrobial Peptide

: The COPD Assessment Test : Congestive Heart Failure

: The Clinical and Fluorescent Institute

: Chronic Obstructive Airway Disease : Chronic Obstructive Lung Diseases

: Didalam Chronic Obstrukctive Pulmonary Disease : Computed tomography

: β-defensin-2

: Enzyme-linked Fruorescent Assay : Fungsional Residu Capacity

: Global Intiative for Chronic Obstructive Lung Disrase : Hepcidin AntiMicrobial Peptide

(17)

hCAP18 IFN

IgE IL

IOM KPT

KV KVP

LVRS MMO MMP-9

mMRC MCP

mRNA Mtb mVDR

NADPH

: Human cathelicidin antimicrobial peptide : Inter Feron Nukleat

: Imunoglobulin E : InterLeukin

: Institute of Medicine : Kapasitas Totas Paru

: Kapasita Vital

: Kapasitas Vital Paksa

: Lung Volume Reduction Surgery : Matriks Metalloproteinase : Matriks Metalloproteinase-9

: Modified Medical Research Council : Monocyte Chemotactic Peptide

: Micro-Asam RiboNukleat : Mycobacterium Tuberculosis

: Membrane Vitamin D Reseptor

: Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate

(18)

NF-kB

NHANES nVDR

PDPI PL

PMN POCT PPM

PPOK PTH

RANK RFV

ROS RV RXR

SOPT SPSS

: The Nuclear Faktor-Kappa B

: National Health and Nutritional Examination Survey

: Nucleus Vitamin D Reseptor

: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

: Penyehatan Lingkungan

: Polimorfonuklear : Point Of Care Testing

: Pemberantasa Penyakit Menular

: Penyakit Paru Obstruktif Kronik : Parathyroid Hormone

: Receptor Activator of Nuklear : Relative Fluorescence Value

: Reactive Oxygen Species : Residu Volume

: Reseptor asam Retinoic-X

: Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis : Statistical Package for Social Sciences

(19)

TACO

TB TLR

Th TNF-a

VE

VEP1

VDR

VDRE WHO

: Tryptophan-Aspartate-Containing

: Tuberkulosis : Toll-Like Receptor

: The Helper

: Tumor Necrosis Factor Alpha

: Volume ekspirasi

: Volume Ekpirasi Paksa detik pertama : Vitamin D Reseptor

: Elemen respon terhadap vitamin D : World Health Organization

(20)

HUBUNGAN KADAR VITAMIN D DENGAN DERAJAT OBSTRUKSI PENYAKIT PADA PASIEN (PPOK) STABIL

Syahni Wirdani Pulungan1 Amira Permatasari Tarigan2 Zulfikar Lubis3

1Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan, Indonesia. 2Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H.

Adam Malik Medan, Indonesia. 3Divisi Onkologi, departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan,

Indonesia ABSTRAK

Latar Belakang: Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan masalah Kesehatan global. Beberapa penelitian menemukan fakta bahwa konsumsi multivitamin dapat meningkatkan fungsi paru. Hubungan yang erat antara defisiensi vitamin D dengan PPOK didukung oleh data epidemiologis National Health and Nutritional Examination Survey III (NHANES III) yang menunjukkan serum vitamin D yang rendah pada pasien PPOK.

Metode: Penelitian ini bertujuan melihat hubungan kadar vitamin D dengan derajat obstruksi penyakit pada pasien PPOK. Penelitian ini bersifat analitik observasional, dengan rancangan penelitian Prospective Cross sectional.

Penelitian dilakukan di Departemen Patologi Klinik FK-USU/RSUP Haji Adam Malik Medan bekerja sama dengan Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian dihentikan apabila jumlah sampel sudah terpenuhi atau sudah memenuhi batas waktu yang ditentukan.

Populasi pada penelitian ini adalah penderita PPOK di SMF Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUP. H. Adam Malik Medan pada bulan September 2017 sampai dengan Mei 2018.

Hasil:Rerata usia penderita PPOK adalah 64.24 ± 6,21 tahun dengan VEP1 32,39

± 13.41 %. Nilai VEP1/KVP didapati sebesar 65.42 ± 11,69 %. Nilai kadar vitamin D subjek penelitian adalah 25,25 ± 6,22 ng/mL, sedangkan median jumlah leukosit adalah 5800 (4980 – 13.110/µL). Dari analisis bivariat didapatkan nilai VEP1/KVP pasien berhubungan dengan kadar vitamin D dengan nilai p = 0.037; r = 0.282. Korelasi antara kadar vitamin D dengan nilai VEP1/KVP menunjukkan korelasi positif lemah.

Kesimpulan: Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan nilai VEP1/KVP memiliki hubungan yang signifikan dengan kadar vitamin D sebagai penanda tingkat obstruksi saluran nafas pada pasien PPOK.

Kata Kunci: PPOK, Vitamin D, VEP1, KVP.

(21)

RELATIONSHIP BETWEEN VITAMIN D LEVELS WITH DISEASE OBSTRUCTION IN COPD PATIENTS

Syahni Wirdani Pulungan1 Amira Permatasari Tarigan2 Zulfikar Lubis3

1Department of Clinical Pathology, Faculty of Medicine, University of North Sumatra / H. Adam Malik General Hospital Medan, Indonesia.

2Department of Pulmonology and Medicine Respiration Faculty of Medicine, University of North Sumatra / H. Adam Malik General Hospital Medan,

Indonesia.

3Division of Oncology, Clinical Pathology department, Faculty of Medicine, University of North Sumatra / H. Adam Malik General Hospital Medan, Indonesia

ABSTRACT

Background: Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a global Health problem. Several studies have found the fact that consumption of multivitamins can improve lung function. The close relationship between vitamin D deficiency and COPD is supported by National Health and Nutritional Examination Survey III (NHANES III) epidemiological data which show low serum vitamin D in COPD patients.

Methods:This study aims to look at the relationship between vitamin D levels and the degree of obstruction of disease in COPD patients. This research is observational analytical, with a prospective cross sectional research design. The study was conducted at the FK-USU Clinical Pathology Department / Haji Adam Malik General Hospital Medan in collaboration with the Department of Pulmonology and Medicine Respiration H. Adam Malik General Hospital Medan.

The study is stopped if the number of samples has been met or has met the specified time limit. The population in this study were patients with COPD in RSUP Pulmonology and Medicine Respiratory Hospital. H. Adam Malik Medan from September 2017 to May 2018.

Result: The mean age of COPD patients was 64.24 ± 6.21 years with VEP1 32.39

± 13.41%. VEP1 / KVP values were found to be 65.42 ± 11.69%. The value of vitamin D levels in the study subjects was 25.25 ± 6.22 ng / mL, while the median number of leukocytes was 5800 (4980 - 13,110 / µL). From the bivariate analysis, the VEP1 / KVP value of the patient was associated with vitamin D levels with p

= 0.037; r = 0.282. The correlation between vitamin D levels and VEP1 / KVP values showed a weak positive correlation.

Conclusion

From this study it can be concluded that the value of VEP1 / KVP has a significant relationship with vitamin D levels as a marker of the level of airway obstruction in COPD patients.

Keywords: COPD, Vitamin D, VEP1, KVP.

(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan masalah Kesehatan global. Data prevalensi, morbiditas, dan mortalitas berbeda tiap negara namun secara umum terkait langsung dengan prevalensi merokok dan pada beberapa negara dengan polusi udara akibat pembakaran kayu, gas dan partikel berbahaya.

Satu meta-analysis dari studi-studi yang dilaksanakan di 28 negara antara 1990 sampai 2004, menunjukkan bukti bahwa prevalensi PPOK adalah lebih tinggi pada perokok dibanding pada yang bukan perokok, pada mereka yang berusia >

40 tahun dibanding mereka yang berusia < 40 tahun, dan pada pria lebih banyak dibanding wanita. (GOLD, 2017; PDPI, 2010)

GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) memperkirakan PPOK sebagai penyebab kematian ke-6 pada tahun 1990, akan meningkat menjadi penyebab kematian ke-3 pada tahun 2020 di seluruh dunia.

Data yang ada menunjukkan bahwa morbiditas karena PPOK meningkat dengan usia dan lebih besar pada pria dibanding wanita. (GOLD 2017)

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko. Faktor pejamu diduga sangat berhubungan dengan kejadian PPOK dimana semakin banyaknya jumlah perokok

(23)

khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam maupun di luar ruangan terutama di tempat kerja (Matherrs CD; Loncar D, 2006, GOLD, 2017).

PPOK berdampak negatif terhadap kualitas hidup penderita terutama pada pasien yang berumur >40 tahun yang akan menyebabkan disabilitas penderitanya.

Padahal kelompok usia ini masih dalam kelompok usia produktif namun tidak dapat bekerja maksimal karena sesak napas yang kronik. Co-morbiditas PPOK dengan faktor resiko usia > 40 tahun dan merokok akan menghasilkan penyakit kardiovaskuler, karsinoma paru, infeksi paru-paru, tromboembolik disorder, asma, hipertensi, osteoporosis, sakit sendi, depresi dan anxiety (Sonia, B. 2006, GOLD, 2017).

Tsiligianni dan van der Molen (2010) dari Universitas Medical Center Groningen Belanda mengemukakan bahwa, bermacam vitamin (vitamin C, D, E, A, beta karoten dan alpha) berhubungan dengan perbaikan kondisi klinis pasien PPOK. Mereka menemukan fakta bahwa konsumsi multivitamin dapat meningkatkan fungsi paru, mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki gejala klinis pasien. Dikatakan juga bahwa asupan vitamin yang tinggi dapat mencegah proses kerusakan jaringan paru. Ini kemudian diusulkan menjadi salah satu terapi PPOK, namun sampai saat ini belum ada bukti secara empiris untuk membuktikan hipotesis tersebut (Tsiligianni I; Molen. 2010).

Christian Herr (2011) dari Universitas Marburg, Jerman mengungkapkan hanya vitamin D yang memiliki efek protektif terhadap jaringan paru. Vitamin D

(24)

yang selama ini dikenal karena perannya terhadap homeostasis tulang ternyata dapat memodulasi sistem imun di jaringan paru (Herr C, et al. 2011).

Hubungan yang erat antara defisiensi vitamin D dengan PPOK didukung oleh data epidemiologis National Health and Nutritional Examination Survey III (NHANES III) yang menunjukkan tingkat serum vitamin D yang rendah pada pasien PPOK. Beberapa penelitian lain juga telah melaporkan adanya defisiensi 25-(OH)D3 pada pasien PPOK. Forli et al (2004) menemukan defisiensi vitamin D (<20 ng/ml) pada lebih dari 50% pasien transplantasi paru-paru akibat PPOK.

Demikian juga dalam sebuah studi pada pasien rawat jalan PPOK di Denmark, sekitar 68% responden memiliki osteoporosis atau osteopenia (Forli et al. 2004).

Sebuah studi lain juga menunjukkan bahwa kekurangan vitamin D sangat lazim pada PPOK dan berkorelasi dengan gen protein pengikat vitamin D.

Mekanisme yang tepat yang mendasari data ini belum sepenuhnya diketahui, namun vitamin D tampaknya berdampak pada fungsi sel-sel peradangan, termasuk sel dendritik, limfosit, monosit, dan sel-sel epitel (Janssens W etal. 2010).

Vitamin D tidak hanya memiliki peran pada matriks ekstraselular jaringan tulang tetapi juga pada parenkim paru-paru. Boyan et al. (2007) menegaskan vitamin D berfungsi sebagai regulator autokrin matriks ekstraseluler. Berdasarkan data diatas maka dapat diambil perumusan masalah tersebut :

1.2. Perumusan Masalah

Apakah ada hubungan kadar vitamin D dengan derajat obstruksi penyakit pada pasien PPOK

(25)

1.3. Hipotesis Penelitian

Ada hubungan antara Kadar Vitamin D dengan derajat obstruksi penyakit pada pasien PPOK.

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

Untuk melihat hubungan kadar vitamin D dengan derajat obstruksi penyakit pada pasien PPOK.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui karakteristik penderita PPOK yang berobat di RSUP Haji Adam Malik Medan.

2. Mendapatkan data kadar vitamin D dalam serum penderita PPOK.

3. Mendapatkan data derajat obstruksi nilai VEP1 % pasien PPOK 4. Mengetahui hubungan antara kadar vitramin D serum dengan derajat

obstruksi PPOK.

1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Bagi dokter klinisi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang pengaruh kadar vitamin D pada derajat obstruksi penderita PPOK sehingga dapat dipakai pada penatalaksanaan kasus PPOK.

(26)

1.5.2. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai pengaruh kadar vitamin D terhadap derajat obstruksi penderita PPOK sehingga dapat digunakan sebagai pengetahuan terhadap patogenesa pada penyakit PPOK.

1.5.3. Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan informasi ke masyarakat mengenai manfaat pemeriksaan vitamin D sebagai suatu pemeriksaan noninvasive dalam mengetahui derajat obstruksi penyakit PPOK.

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. VITAMIN D

2.1.1. Struktur kimia vitamin D

Vitamin D adalah grup sterol, merupakan vitamin yang larut dalam lemak prohormon, 2 bentuk utamanya adalah vitamin D2 atau ergokalsiferol dan vitamin D3 atau kolekalsiferol. Vitamin D juga merujuk pada metabolit dan analogi lain dari substansi ini. Perkursor vitamin D2 adalah ergosterol dalam tanaman, dimana D2 dapat disintesis oleh radiasi ultraviolet dari ergosterol dari ragi. Vitamin D3 diproduksi di dalam kulit yang terpapar sinar matahari, terutama radiasi ultraviolet B (ultraviolet B, panjang gelombang 280 - 315 nm dan foto isomerase 7- dehidroksikolesterol). Molekul aktif dari vitamin D,1,25(OH)2D3 merupakan pemeran utama dalam metabolisme absorpsi kalsium ke dalam tulang, fungsi otot, sekaligus sebagai immunomodulator yang berpengaruh terhadap sistem kekebalan untuk melawan beberapa penyakit. Disintesis di kulit dan diserap di saluran gastrointestinal (Harper, 2013).

2.1.2. Sejarah vitamin D

Pada tahun 1920, Mellanby dan Huldschinsky mendapatkan bahwa rakitis dapat dicegah ataupun diobati dengan minyak ikan atau dengan sinar matahari yang cukup. Ternyata sterol yang terdapat pada hewan atau tumbuh-tumbuhan merupakan provitamin D yang dengan penyinaran ultraviolet akan diubah menjadi vitamin D. Provitamin yang terutama didapatkan pada jaringan hewan adalah 7-

(28)

dehidrokolesterol yang akan diubah menjadi vitamin D3 (kolekalsiferol).

Provitamin yang terdapat pada ragi dan jamur adalah ergosterol yang akan diubah menjadi vitamin D2 (ergokalsiferol). Setelah percobaan tersebut, vitamin D mulai dikenal dan dibedakan dari vitamin A di dalam minyak ikan, yang sanggup menghindarkan penyakit rickets (Nair, 2012).

Gambar 2.1. Struktur Kimia Vitamin D (Harper Biochemistry, 2013)

2.1.3. Epidemiologi vitamin D

Mula-mula disangka hanya terdapat satu ikatan kimia dengan aktifitas vitamin D, tetapi ternyata kemudian terdapat beberapa ikatan organik yang mempunyai aktifitas vitamin D ini.

Berbagai jenis vitamin D ini terdapat dari hasil penyinaran beberapa jenis kolesterol dengan sinar ultraviolet antara lain :

1. Vitamin D1 yang terdapat pada penyinaran ergosterol dari bahan

(29)

nama Vitamin D2 dan vitamin D3, sedangkan struktur molekuler vitamin D1 sendiri sebenarnya tidak ada.

2. Vitamin D3 didapat dari bahan hewani, 7-dehidrokolesterol, suatu minyak yang terdapat dibawah kulit. Pada manusia pun vitamin D3 terbentuk dibawah kulit dari 7-dehidrokolesterol tersebut dengan penyinaran ultraviolet yang berasal dari sinar matahari vitamin D3 disebut juga kolekalsiferol.

3. Vitamin D2 atau ergokalsiferol. Ergokalsiferol yang dilarutkan di dalam minyak terdapat di pasaran dengan nama viosterol.

4. Ada lagi vitamin D4 yang berasal dari minyak nabati yang mengandung 22-dehidrokolesterol, setelah disinari ultraviolet .

Terdapat lebih kurang 10 derivat sterol yang memiliki aktivitas vitamin D, namun ergosterol dan 7α-dehidrokolesterol, merupakan provitamin D utama yang menghasilkan secara berturut-turut D2 dan D3. (Schottker B, 2016).

Tanpa adanya vitamin D, hanya 10% sampai 15% dari kalsium dan sekitar 60% fosfor yang diserap di usus (Nair 2012). Institute of Medicine (IOM) melaporkan risiko terjadinya rickets, fraktur, dan kelainan tulang lainnya lebih tinggi pada orang dengan kadar calcifediol < 12 ng/mL. Kekurangan vitamin D mempengaruhi hampir 50% dari populasi di seluruh dunia (Nair, 2012).

Diperkirakan 1 miliar orang di seluruh dunia, semua etnis dan kelompok usia, mengalami kekurangan vitamin D (Gordon, 2004). Ini pandemi hipovitaminosis D yang terutama dikaitkan dengan gaya hidup dan faktor lingkungan dimana

(30)

kurangnya paparan terhadap sinar matahari untuk mensintesis vitamin D di kulit (Nair 2012).

Sumber utama vitamin D untuk anak-anak dan orang dewasa adalah paparan sinar matahari alami. Dengan demikian, penyebab utama dari kekurangan vitamin D adalah kurangnya paparan sinar matahari. Menggunakan tabir surya dengan faktor perlindungan sinar matahari 30 mengurangi pembentukan vitamin D di kulit lebih dari 95% (Nair 2012 & Holick 2011).

2.1.4. Manfaat vitamin D

Vitamin D merupakan faktor kesehatan penting dari lahir dan seterusnya atau bahkan sebelum itu. Peran yang paling terkenal dari vitamin D adalah kesehatan tulang. Kekurangan vitamin D pada bayi dan anak-anak bisa berakhir di rakhitis gizi yang merupakan pelunakan tulang, kelemahan otot, nyeri tulang dan kelainan bentuk gejala dan tanda-tanda pada kasus-kasus ringan. (Mehrnoush K, 2014).

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa manfaat vitamin D dapat memperpanjang sistem muskuloskeletal secara keseluruhan. Vitamin D sangat penting untuk kalsium, homeostasis fosfat dan untuk mineralisasi kerangka, khususnya selama periode pertumbuhan yang cepat. Kekurangan Vitamin D menyebabkan rakhitis (pada anak-anak) dan osteomalacia (pada orang dewasa).

Vitamin D merupakan salah satu faktor penting yang diperlukan untuk perkembangan tulang dan pemeliharaan massa tulang serta faktor utama untuk kalsium normal dan homeostasis fosfat (Elhoseiny SM, 2015).

(31)

Vitamin D juga terlibat dalam mengatur sistem kekebalan tubuh dan sel, dimana mungkin membantu mencegah berbagai penyakit. Molekul aktif dari vitamin D, yaitu 1,25(OH)2D3 merupakan pemeran utama dalam metabolisme absorpsi kalsium ke dalam tulang, fungsi otot, sekaligus sebagai immunomodulator yang berpengaruh terhadap sistem kekebalan untuk melawan diabetes dan kanker.

2.1.5. Kebutuhan vitamin D

Kadar calcifediol merupakan penanda yang digunakan secara luas untuk menentukan status vitamin D di dalam tubuh kita, karena calcifediol mewakili sintesis vitamin D endogen di kulit setelah terpapar sinar ultraviolet dan juga asupan makanan yang mengandung vitamin D (Ganji, 2012). Institute of Medicine mengestimasi bahwa kadar calcifediol sebesar 16 ng/mL adalah sasaran yang perlu dicapai untuk anak-anak dan dewasa. Kadar calcifediol sebesar 20 ng/mL digunakan sebagai batasan yang dapat melindungi kesehatan tulang dari 97,5%

populasi (Ganji, 2012). Menurut pedoman Endocrine Society, status vitamin D didefinisikan sebagai sufisiensi bila kadar calcifediol 31 sampai 60 ng/mL, insufisiensi bila kadar calcifediol 21 sampai 30 ng/mL dan defisiensi bila kadar calcifediol ≤ 20 ng/mL (Lee, 2013).

(32)

Gambar 2.2. Grafik Kebutuhan Vitamin D pada manusia (Harper Bisochemistry, 2013)

2.1.6. Metabolisme Vitamin D

Vitamin D, selain berasal dari produk konversi sinar ultraviolet terhadap 7- dehydrocholesterol di kulit, juga dapat diperoleh dari asupan makanan, seperti telur, ikan, mentega, produk susu difortifikasi dan suplemen yang mengandung vitamin D. Vitamin D kemudian dikonversi ke bentuk sirkulasi utama, 25- hydroxyvitamin D (calcifediol) oleh hati dengan enzim 25-hydroxylase (CYP2R1) dan kemudian diubah menjadi 1,25-dihydroxy vitamin D atau calcitriol oleh ginjal dgn enzim 1-α-hydroxylase (CYP27B1) untuk meningkatkan efisiensi penyerapan usus terhadap kalsium sebagai fungsi klasik (Nair, 2012).

Vitamin D diangkut ke hati dan hidroksilasi 25-hidroksi vitamin D3 25(OH)D. Diatur oleh hormon paratiroid, hidroksilasi tambahan untuk 1,25- dihydroxy vitamin D3 berlangsung di ginjal. Metabolit beredar utama vitamin D

(33)

indikator terbaik status vitamin D dan mencerminkan tingkat dari asupan makanan dan sintesis di kulit. Kadar 25(OH)D dalam darah bervariasi antara 20–200 nmol/L (8 – 80 ng/ml). Individu yang mendapat sinar matahari sangat kuat dapat mempunyai kadar 25(OH)D mencapai 250 nmol/L (100 ng/ml). Apabila < 25 nmol/L (10 ng/ml) umumnya dianggap kekurangan; tingkat <80 nmol/L (32 ng /ml) dianggap insufficient. (Soliman A, 2013).

Gambar 2.3. Metabolisme Vitamin D (Ganong, 2010)

Pembuatan 25(OH)D di hati diatur oleh mekanisme umpan balik, yakni peningkatan konsumsi diet dan produksi endogen vitamin D3, Kadarnya dapat meningkat sampai 500 ng/ml. Serum 25(OH) menurun pada penyakit hati kronik berat. Reseptor vitamin D (VDR) merupakan reseptor golongan steroid-retinoid- thyroid hormone-vitamin D. VDR berinteraksi dengan reseptor asam retinoic-X (RXR) ke bentuk kompleks heterodinamik (RXR-VDR) dan mengikat DNA spesifik serta dinamakan vitamin D respon elemen (VDRE). Di usus VDR

(34)

mengaktivasi sintesis protein pengikat kalsium, sedangkan di tulang merangsang produksi osteocalcin, osteopontin, dan alkali fosfatase.

1,25(OH)2D meningkatkan transpor kalsium dari ekstrasel ke intrasel dan memobilisasi kalsium dari intrasel. Disini 1,25(OH)2D merangsang transpor kalsium dan fosfat dari lumen usus halus ke sirkulasi. 1,25(OH)2D meningkatkan resorpsi tulang yang sinergis dengan parathyroid hormone (PTH). PTH dan 1,25(OH)2D berinteraksi dengan reseptor osteoblas dan stroma fibroblas serta merangsang produksi ligan RANK (Receptor Activator of Nuklear factor ƙβ Ligand) pada permukaan sel osteoblas. Ligan RANK berinteraksi dengan reseptornya pada osteoklas imatur merangsang prekursor osteoklas imatur ke osteoklas matur. Ablasi vitamin D reseptor (VDR) berakibat gangguan absorpsi kalsium usus dan hiperparatiroisdisme sekunder.

Dalam proses bioaktifasi vitamin D formasi bentuk 1,25(OH)2D dari 1,25(OH)D dalam kondisi fisiologi normal, utamanya dilakukan di ginjal, tetapi ternyata terdapat beberapa organ lain yang dapat melakukan perubahan tersebut terutama dalam kondisi spesifik (kehamilan, gagal ginjal kronik, sarkoidosis, tuberkulosis, kelainan granulomatosa, dan rheumatoid arthritis). Bagaimanapun juga produksi 1,25(OH)2 dari ekstra renal utamanya digunakan sebagai faktor autokrin/parakrin dengan fungsi sel yang spesifik. Estrogen, prolaktin, hormon pertumbuhan dapat mengubah produksi 1,25(OH)2D. Peningkatan kebutuhan kalsium selama pertumbuhan, hamil, dan menyusui meningkatkan absorpsi kalsium susu dan meningkatkan aktivitas 25(OH)D-1α-hydroxylase (Ganong, 2010).

(35)

2.1.6.1. Metabolisme vitamin D3

Vitamin D3 di dalam hati diubah menjadi bentuk aktif 25-hidroksi kolekalsiferol [25(OH)D3] yang lima kali lebih aktif dari pada vitamin D3.

Bentuk ini paling banyak didapati di dalam darah dan banyaknya bergantung pada konsumsi dan paparan tubuh terhadap cahaya matahari. Kalsitriol merupakan bentuk paling aktif yaitu 10 kali lebih aktif dari vitamin D3 dan dibuat di ginjal.

Pada usus halus, kalsitriol meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfor dan pada tulang akan meningkatkan mobilisasinya.

Taraf kalsium dan fosfor dalam serum mengatur sintesis kalsitriol.

Paratyiroid hormone (PTH) yang dikeluarkan bila kalsium dalam serum rendah meransang produksi [1,25(OH)2D3] oleh ginjal. Kadar kalsium serum yang rendah menggambarkan taraf konsumsi kalsium yang rendah. Ini akan mempengaruhi sekresi PTH dan peningkatan sintesis kalsitriol oleh ginjal. Taraf fosfat dari makanan mempunyai pengaruh yang sama, tetapi tidak membutuhkan PTH.

Enzim 25 hidroksilase bekerja tanpa kontrol yang ketat, sedangkan enzim 1α,25(OH)2D3 hidroksilase dikontrol oleh beberapa mekanisme kontrol dan umpan balik. Ginjal akan menghasilkan hormon steroid melalui enzim 1 hidroksilase (atau 1α,25(OH)2D3 hidroksilase) dihasilkan 1α,25(OH)2D3 (kalsitriol) dan bila kalsitriol sudah cukup tersedia. Maka enzim 24 hidroksilase (atau 24R,25(OH)2D3 hidroksilase) akan meningkat di ginjal untuk membentuk 24R,25(OH)2D3. Diduga 24R,25(OH)2D3 berperan pada mineralisasi tulang.

(36)

Regulasi hormon 1α,25(OH)2D3 diatur oleh peningkatan PTH, kadar kalsium rendah, kadar fosfat rendah, dan status vitamin D. Peningkatan PTH, kadar kalsium rendah, kadar fosfat rendah dapat meningkatkan 1α,25(OH)2D3 hidroksilase. 25(OH)D3 memiliki aktivitas biologi 5x lebih kuat dari pada vitamin D3 sedangkan 1,25(OH)2D3 memiliki aktivitas biologi 10x lebih kuat dari pada vitamin D3.

2.2 Vitamin D dan inflamasi

Matriks metalloproteinase (MMP) merupakan jaringan kolagen yang dapat merusak matriks ekstrseluler paru dan berperan dalam timbulnya cavitasi pada pasien sindrom obstruksi post TB (SOPT). Pemberian 1α,25(OH)2D3 menunjukkan penurunan ekspresi MMP akibat rangsangan Mtb seperti MMP-7, MMP-9, dan MMP-10. (Khoo, et al (2011) juga melaporkan bahwa 1α,25(OH)2D3 menunjukkan kemampuan menekan respon inflamasi dengan menurunkan ekspresi TLR2 (Toll-Like Receptor) dan TLR4 pada monosit yang mencegah aktivasi TLR yang berlebihan selama infeksi (Khoo et al, 2011).

Aktivasi dari NADPH oksidase (Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate-Oxidase) juga ikut didalam proses 1α,25(OH)2D3 menginduksi ekspresi cathelicidin. Beberapa penelitian melaporkan bahwa defisiensi vitamin D berhubungan dengan menurunnya ekspresi CAMP (Cathelicidin Anti Microbial Peptide) yang berhubungan dengan tingkat kerentanan terhadap infeksi (Dixon et al, 2012).

1α,25(OH)2D3 juga menunjukkan pengaruh terhadap sistem pertahanan

(37)

mendegradasi komponen sel dalam sistem lisosom. Hal penting lain adalah didapatinya bukti bahwa peningkatan zat besi intraseluler akan meningkatkan kemampuan mikroba untuk bertahan dan berkembang dalam makrofag. Terhadap hal ini 1α,25(OH)2D3 justru mampu menekan ekspresi dari hepcidin antimicrobial peptide (HAMP) yang berperan sebagai transport zat besi intraseluler (Bacchetta et al, 2013).

1α,25(OH)2D3 juga menekan diferensiasi dan maturasi dari sel dendritik dengan menurunkan transkripsi dari gen sel B yang mempengaruhi NF-kB (the Nuclear Faktor-Kappa B) signaling. Saat ini telah dilaporkan bahwa 1α,25(OH)2D3 meningkatkan kemampuan monosit untuk mempresentasikan antigen (Tung et al, 2013)

Penelitian Chandra et al (2004) menunjukkan bahwa 1α,25(OH)2D3 secara spontan dapat meningkatkan respon sistem limfosit namun 1α,25(OH)2D3 akan menekan respon limfosit terhadap antigen mikobakterial pada subjek yang sehat.

Keseimbangan antara respon pro-inflamatori dengan anti-inflamatori menjadi faktor yang sangat penting terhadap kerentanan terhadap infeksi bakteri.

Peranan 1α,25(OH)2D3 dalam memodulasi sistem imun terlihat jelas pada sel Th1, dimana 1α,25(OH)2D3 meregulasi proliferasi sel T dan produksi sitokin.

1α,25(OH)2D3 menekan respon Th1 dengan menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IFNϫ, IL-6, IL-2, TNF- α dan kemokin (Khoo et al, 2012;

Selvaraj et al, 2012).

(38)

1α,25(OH)2D3 justru akan merangsang sel Th2 yang meningkatkan produksi sitokin anti-inflamasi seperti IL4 dan IL-10. Beberapa penelitian klinis melaporkan bahwa pemberian suplementasi vitamin D akan meningkatkan jumlah sel T regulator (Pretl et al 2010; Bock et al, 2011).

2.3. Penyakit Paru Obstruktif Kronis 2.3.1. Definisi

PPOK merupakan penyakit paru yang dapat dicegah dan ditanggulangi.

Ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun / berbahaya, disertai efek ekstra paru yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit dengan gejala utama PPOK adalah sesak napas yang memberat saat aktivitas, batuk dan produksi sputum (PDPI, 2010,GOLD 2017).

2.3.2. Anatomi dan Fisiologi Paru 2.3.2.1. Anatomi Paru

Paru-paru merupakan organ tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung-gelembung. dimana gelembung hawa ini disebut alveoli. Gelembung- gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya mencapai ± 90 m2 yang mana pada lapisan inilah terjadi pertukaran udara O2 masuk ke dalam darah dan C02 dikeluarkan dari darah.

Banyaknya gelembung paru ini ± 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan).

(39)

Paru-paru dibagi 2 (dua) :

a. Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus yaitu lobus dekstra superior, lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh beberapa lobulus.

b. Paru-paru kiri, terdiri dari lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobulus terdiri dari belahan-belahan yang lebih kecil bernama segmen. Paru-paru

kiri mempunyai 10 segmen yaitu; 5 (lima) buah segment pada lobus superior, dan 5 (lima) buah segment pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yaitu; 5 (lima) buah segmen pada lobus superior; 2 (dua) buah segmen pada lobus medialis, dan 3 (tiga) buah segmen pada lobus inferior.

Diantara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang berisi pembuluh-pembuluh darah, pembuluh getah bening dan saraf-saraf. Di dalam tiap-tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus.Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang-cabang ini disebut duktus alveolus.

Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2–0,3 mm (Tabrani, 2010)

Gambar 2.4. Anatomi Paru

(40)

2.3.2.2. Fisiologi Paru

Kapasitas paru-paru merupakan kesanggupan paru-paru dalam menampung udara didalamnya. Kapasitas paru-paru dapat dibedakan sebagai berikut

1. Kapasitas total paru (KPT) Yaitu jumlah udara yang dapat mengisi paru-paru pada inspirasi sedalam-dalamnya. Besarnya tergantung pada kondisi paru-paru, umur, sikap dan bentuk tubuh seseorang.

2. Kapasitas vital (KV) Yaitu: jumlah udara yang dapat dikeluarkan setelah ekspirasi maksimal. Dalam keadaan yang normal kedua paru- paru dapat menampung udara sebanyak ± 5 liter.

3. Volume ekspirasi (VE) Di dalam paru-paru kita saat bernafas masih tertinggal 3 liter udara. Pada waktu kita bernapas biasa udara yang masuk ke dalam paru-paru 2.600 cm3 (2,5 liter).

4. Jumlah pernapasan. Dalam keadaan yang normal = Orang dewasa:

16–18 x/menit, Anak-anak kira-kira : 24 x/menit, Bayi kira-kira : 30 x/menit, Dalam keadaan tertentu keadaan tersebut akan berubah, misalnya akibat dari suatu penyakit, pernafasan bisa bertambah cepat dan sebaliknya (Tabrani R, 2010, GOLD, 2017)

2.3.3. Patofisiologi PPOK

Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya

(41)

peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran nafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas mengecil dan berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit (Tabrani R, 2010: Sooeroto AY, 2014)

Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru. Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidatif, dan selanjutnya akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid ini akan menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar dimana aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya faktor kemotaktik neutrofil seperti interleukin 8, leukotrien B4, tumor necrosis factor (TNF), monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive oxygen species (ROS) (Zitterman A, et al. 2016).

Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar dan hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8 dan menyebabkan kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan makrofag dan neutrofil akan mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion superoksida dengan

(42)

bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik akan diubah menjadi OH dengan menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero dengan halida akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl) (Zitermann A et al. 2016).

Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk kronis sehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi alveoli akan menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit dan polusi dan asap rokok (GOLD, 2017).

Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi bronkus kecil (bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau obstruksi awal fase ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada saat ekspirasi banyak terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara (air trapping). Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan segala akibatnya.

Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru: ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan mengalami gangguan (PDPI, 2010)

2.3.4. Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD 2017)

PPOK dibagi berdasarkan hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator, yang kemudian dibagi menjadi GOLD 1, 2, 3, dan 4.

(43)

paksa dari titik inspirasi maksimal kapasitas vital paksa (KVP), kapasitas udara yang dikeluarkan pada detik pertama atau volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio kedua pengukuran tersebut (VEP1/KVP). Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut (Vestbo, etal. 2014).

Tabel 2.1 Klasifikasi PPOK berdasarkan GOLD

Pada Pasien dengan VEP1 / KVP < 0,7 GOLD 1 Ringan VEP1 ≥ 80% prediksi GOLD 2 Sedang 50% ≤ VEP1 < 80% prediksi GOLD 3 Berat 30% ≤ VEP1 < 50% prediksi GOLD 4 Sangat Berat VEP1 < 30% prediksi

2.3.5. Etiologi

Etiologi penyakit ini belum diketahui secara pasti. Penyakit ini dikaitkan dengan faktor-faktor risiko yang terdapat pada penderita antara lain:

- Merokok sigaret yang berlangsung lama. Rokok dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput lendir bronkus sehingga drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir tersebut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri

- Polusi udara

- Infeksi paru berulang

- Infeksi TB. Pada sebagian penderita, secara klinik timbul gejala sesak terutama pada aktivitas, radiologik menunjukkan gambaran bekas TB (fibrotik klasifikasi) yang minimal, dan uji faal paru menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas yang tidak reversibel. Kelompok

(44)

penderita tersebut dimasukkan dalam kategori penyakit Sindrom Obstruksi Pascatuberkulosis (SOPT).

- Umur

- Jenis kelamin - Ras

- Defisiensi alfa-1 antitripsin - Defisiensi anti oksidan

2.3.6. Tanda dan Gejala klinis

Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe pokok yaitu gambaran klinik dominant kearah bronkitis kronis (blue bloater) atau gambaran klinik kearah emfisema (pink puffers). Secara umum pasien datang dengan keluhan sebagai berikut : badan lemah, sesak napas saat aktivitas, batuk berdahak, dan napas berbunyi (mengi).

Pada pemeriksaan fisik akan sering dijumpai ekspirasi yang memanjang, bentuk dada tong (Barrel Chest), penggunaan otot bantu pernapasan, suara napas melemah, pernapasan paradoksal, edema kaki, asites dan jari tabuh (Fauci, et al.

2008, GOLD, 2017)

2.3.7. Pemeriksaan Penunjang 2.3.7.1. Pemeriksaan Spirometri

Pasien yang dicurigai PPOK harus ditegakkan diagnosisnya menggunakan spirometri. Spirometri direkomendasikan untuk semua perokok 45

(45)

atau dahak persisten.(PDPI 2010, GOLD 2017). Meskipun spirometri merupakan gold standard dengan prosedur sederhana yang dapat dilakukan di tempat, tetapi itu kurang dimanfaatkan oleh praktisi kesehatan.

Kunci pada pemeriksaan spirometri ialah rasio VEP1 (Volume Eskpirasi Paksa detik pertama) dan KVP (Kapasitas Vital Paksa). VEP1 adalah volume udara yang pasien dapat keluarkan secara paksa dalam satu detik pertama setelah inspirasi penuh. VEP1 pada pasien dapat diprediksi dari usia, jenis kelamin dan tinggi badan. KVP adalah volume maksimum total udara yang pasien dapat hembuskan secara paksa setelah inspirasi penuh (Vestbo,et al.2014, GOLD, 2017)

2.3.7.2. Pemeriksaan penunjang lain

Radiografi dada harus dilakukan untuk mencari bukti nodul paru, massa, atau perubahan fibrosis. Radiografi berulang atau tahunan dan pemeriksaan computed tomography (CT) untuk memonitor kanker paru-paru. Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan untuk menyingkirkan anemia atau polisitemia.

Perlu untuk melakukan elektro kardiografi dan ekokardiografi pada pasien dengan tanda-tanda corpulmonale untuk mengevaluasi tekanan sirkulasi paru. Pulse oksimetri saat istirahat, dengan pengerahan tenaga, dan selama tidur harus dilakukan untuk mengevaluasi hipoksemia dan kebutuhan oksigen tambahan.

Kultur sputum juga penting dilakukan untuk mengetahui jika ada patogen penyebab infeksi.

(46)

2.3.8. Penatalaksanaan PPOK

Penatalaksanaan PPOK dibedakan atas penatalaksanaan pada keadaan stabil dan penatalaksanaan pada saat eksaserbasi akut. Penatalaksanaan dilakukan dengan dua cara yaitu terapi non-farmakologis dan terapi farmakologis. Tujuan terapi tersebut adalah mengurangi gejala, mencegah progresivitas penyakit, mencegah dan mengatasi ekserbasasi dan komplikasi, menaikkan keadaan fisik dan psikologis pasien, meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi angka kematian (Soeroto AY, 2014, GOLD, 2017).

Terapi non-farmakologis dapat dilakukan dengan cara menghentikan kebiasaan merokok, meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan pernapasan serta memperbaiki nutrisi. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangkan panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang bersifat irreversible dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan penyakit.

Pada terapi farmakologis, obat-obatan yang paling sering digunakan dan merupakan pilihan utama adalah bronkodilator .Penggunaan obat lain seperti kortikosteroid, antibiotik dan antiinflamasi diberikan pada beberapa kondisi tertentu. Bronkodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit.

Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat

(47)

lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting) (Tabrani 2010, GOLD 2017)

Macam-macam bronkodilator :

a. Golongan antikolinergik. Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir.

b. Golongan β-2 agonis. Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak nafas dimana peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut dan tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.

c. Kombinasi antikolinergik dan β–2 agonis. Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.

d. Golongan xantin. Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat.

Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.

(48)

Pada keadaan kerusakan irreversibel yang sangat parah dapat dilakukan reduksi volume paru secara pembedahan (LVRS/ Lung Volume Reduction Surgery) atau endoskopi (transbronkial) (BLVR/ Bronchoscopic Lung Volume Reduction) (PDPI, 2010)

2.3.9. Combined COPD Assessment

Combined COPD Assessment melakukan penilaian efek PPOK terhadap masing-masing penderitanya berdasarkan assessment terhadap gejala yang dialami, klasifikasi spirometri berdasarkan GOLD (The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease) dan kejadian eksaserbasi. (Vestbo J, et al. 2014, GOLD 2017).

Klasifikasi pasien berdasarkan Combined COPD Assessment adalah : 1. Kelompok A-Rendah Risiko, Sedikit Gejala Pasien dengan klasifikasi

GOLD 1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling banyak 1 kali dalam setahun dan tidak pernah mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score <10 atau mMRC grade 0-1.

2. Kelompok B-Rendah Risiko, Banyak Gejala Pasien dengan klasifikasi GOLD 1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling banyak 1 kali dalam setahun dan tidak pernah mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score ≥10 atau mMRC grade ≥ 2.

3. Kelompok C-Tinggi Risiko, Sedikit Gejala Pasien dengan klasifikasi GOLD 3 atau 4, dan/atau mengalami eksaserbasi sebanyak ≥ 2 kali per tahun atau ≥ 1 kali mengalami perawatan rumah sakit akibat

(49)

4. Kelompok D-Tinggi Risiko, Banyak Gejala Pasien dengan klasifikasi GOLD 3 atau 4, dan/atau mengalami eksaserbasi sebanyak ≥ 2 kali per tahun atau ≥ 1 kali mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score ≥ 10 atau mMRC grade ≥ 2. (GOLD 2017)

Gambar 2.5. Combined COPD Assesment

COPD Asssessment Test (CAT) dikembangkan untuk mengukur dampak PPOK terhadap kesehatan pasien dan meningkatkan pemahaman antara dokter dan pasien terhadap dampak penyakit untuk mengoptimalkan pengelolaan pasien dan mengurangi beban penyakit. CAT merupakan kuesioner yang sudah tervalidasi dan terstandarisasi yang digunakan untuk menilai status kesehatan pasien PPOK. CAT terdiri dari 8 item pertanyaan yang mudah dimengerti dan dijawab oleh pasien. CAT memiliki skor dari 0-40.

(50)

Dengan 8 item pertanyaan, CAT sudah dapat menunjukkan efek yang jelas terhadap status kesehatan dan kehidupan sehari-hari pasien.CAT bukan merupakan alat diagnostik seperti spirometri. Namun CAT dapat digunakan bersama-sama dengan spirometri dalam penilaian klinis pasien PPOK untuk mengetahui apakah penatalaksanaan sudah optimal.CAT juga dapat membantu dalam memonitor efek terapi.

Para ahli yang terlibat dalam pengembangan CAT menyarankan pasien PPOK untuk melengkapi kuesioner CAT ketika menunggu untuk pemeriksaan atau saat di rumah sebelum berangkat konsultasi karena CAT hanya membutuhkan beberapa menit untuk diisi Kuesioner CAT yang sudah dilengkapi dapat membantu dalam menyusun langkah penatalaksanaan pasien. CAT Development Steering Group and GOLD menyarankan agar pasien mengisi kuesioner CAT setiap 2-3 bulan untuk menilai perubahan.

Tabel 2.2. COPD Asessment Test

(51)

Tabel 2.3. Grading mMRC

2.3.10. Prognosis

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang progresif, artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup dan semakin memburuk secara lambat dari tahun ke tahun. Dalam perjalanan penyakit ini terdapat fase-fase eksaserbasi akut. Berbagai faktor berperan pada perjalanan penyakit ini, antara lain faktor resiko yaitu faktor yang menimbulkan atau memperburuk penyakit seperti kebiasaan merokok, polusi udara, polusi lingkungan, infeksi, genetik dan perubahan cuaca. Derajat obtruksi saluran nafas yang terjadi, dan ketepatan identifikasi komponen penyebab memungkinkan adanya reversibilitas (PDPI 2010, GOLD 2017).

Tahap perjalanan penyakit dan penyakit saluran nafas lain diluar paru seperti sinusitis dan faringitis kronik juga mempengaruhi prognosis penyakit ini.

Pada akhirnya faktor-faktor tersebut membuat perburukan makin lebih cepat terjadi sehingga usaha mengatasi penyakit penyerta lain menjadi hal yang penting untuk memperbaiki prognosis pasien (Tabrani, 2010).

(52)

2.3.11. Kerangka Teori

Inhalasi Bahan Berbahaya, Oksidan/ anti oksidan, Infeksi, Genetik, Merokok

Vitani D dalam Vitamin D dalam

Inflamasi

Mekanise Mekanisme

perlindungan perbaikan

Kerusakan Jaringan Paru

PPOK

(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat analitik observasional, dengan rancangan penelitian potong lintang ( Prospective Cross sectional ) .

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Patologi Klinik FK-USU/RSUP Haji Adam Malik Medan bekerja sama dengan Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUP H. Adam Malik Medan.Penelitian ini dimulai pada bulan September 2017 sampai dengan Mei 2018. Penelitian akan dihentikan apabila jumlah sampel sudah terpenuhi atau sudah memenuhi batas waktu yang ditentukan.

3.3. Populasi dan Subjek Penelitian 3.3.1. Populasi Penelitian:

1. Populasi target : Penderita PPOK

2. Populasi terjangkau : Penderita PPOK yang berobat ke SMF Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUP. H. Adam Malik Medan pada bulan September 2017 sampai dengan Mei 2018.

3.3.2. Subjek Penelitian :

Penderita PPOK yang berobat ke SMF Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUP. H. Adam Malik Medan bulan September 2017 sampai dengan

(54)

Mei 2018 yang memenuhi kriteria inklusi. Dengan jumlah totol pasien 55 orang, Pasien yang berobat 5 – 10 orang / hari dengan diagnosa PPOK dan komorbid.

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1. Kriteria Inklusi

1. Penderita PPOK yang berobat ke SMF Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUP. H. Adam Malik Medan.

2. Berusia > 40 tahun.

3. Bersedia ikut dalam penelitian.

3.4.2. Kriteria Eksklusi

1. Jumlah leukosit < 4000 μ/L atau > 11.000 /L

2. Pasien pengguna obat-obatan yang mempengaruhi kadar 25(OH) vitamin D total.

3. Pasien yang sudah mendapat suplemen Vitamin D.

4. Pasien sedang dalam kondisi eksaserbasi akut.

5. Pasien yang mempengaruh faal paru - Kardiomegali

- Ca. Paru - Asma Brochial

3.5. Ethical Clearance dan Informed Consent

Ethical Clearance diperoleh dari Komite Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.Informed Consent diminta secara tertulis dari subjek penelitian atau diwakili oleh keluarganya yang ikut

(55)

bersedia dalam penelitian setelah mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian.

3.6. Perkiraan Besar Sampel

Digunakan rumus besar sampel untuk uji korelasi . Besar sampel ditentukan dengan rumus:

dimana :

Z (0.5/ 2)= deviat baku alpa. utk= 0,05 maka nilai baku normalnya 1,96

Z(0.5-β)= deviat baku beta. utk  = 0,10 maka nilai baku normalnya 1,282

r = koef. korelasi = 0.83

Menurut rumus di atas maka diperlukan sampel minimal sebanyak 54,7 (55 orang).

3.7. Definisi Operasional

a. Penderita PPOK adalah penderita PPOK yang datang berobat ke SMF Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUP Haji Adam Malik Medan dengan gejala klinis yang sesuai. Telah dilakukan pemeriksaan spirometri dan ditegakkan sebagai PPOK.

b. Vitamin D adalah vitamin yang larut dalam lemak prohormon, 2 bentuk utamanya adalah vitamin D2 atau ergokalsiferol dan vitamin D3

(56)

atau kolekalsiferol. Dalam penelitian ini yang diperiksa adalah kadar vitamin D total yang terdapat dalam serum menggunakan alat Mini Vidas.

c. VEP1 (volume ekspirasi paksa detik pertama) adalah jumlah udara dalam liter yang dapat diekspirasi maksimal secara paksa pada detik pertama setelah inspirasi maksimal. VEP1 dapat diukur setelah pasien melakukan perasat KVP (kapasitas vital paksa).

d. VEP1/KVP (Volume ekspirasi detik pertama / Kapasitas vital paksa).

Perbandingan niali VEP1 dan KVP yaitu: perbandingan udara yang dapat ditarik dan dihembuskan dalam satu kali bernafas penuh dalam satu detik.

Rasio kurang dari 75% menunjukkan obstruksi saluran napas.

e. ELFA ( Enzyme-Linked fluorescent Assay) adalah modifikasi pemeriksaan serologi konvensional dari enzym-Linked Imminosorbent Assay (ELISA). Yaitu mendeteksi keberadaan antibodi menggunakan enzim yang terkonjugasi, konjugat peroksidase-antibodi. Subtrat yang digunakan adalah asam p-hydroxyphenylacetin, produk fluorescent yang stabil dan tidak dapat dipengaruhi oleh cahaya.

(57)

3.8. Kerangka Konsep

MEROKOK

INFEKSI KRONIK OKSIDAN

INHALASI

PPOK

BAHAN

GENETIK BERBAHAYA

Penyakit Paru

Obstruktif

VITAMIN D

Gambar

Gambar 2.1. Struktur Kimia Vitamin D (Harper Biochemistry, 2013)
Gambar 2.2. Grafik Kebutuhan Vitamin D pada manusia  (Harper Bisochemistry, 2013)
Gambar 2.3. Metabolisme Vitamin D (Ganong, 2010)
Gambar 2.4. Anatomi Paru
+7

Referensi

Dokumen terkait

stick dimana batas tingkat paparan panas ini perlu dibandingkan dengan SNI 16-. 7063-2004 tentang Nilai Ambang Batas iklim kerja (panas),

Menu yang ada di cermin cembung sama dengan menu yang ada di cermin cekung, yaitu: menu untuk mencari jarak fokus, menu untuk mencari jarak benda, dan menu untuk

Dari hasil pendiskripsian teknis berdasarkan keinginan konsumen, hal yang dapat dilakukan oleh Arromanis Bakery adalah pelatihan karyawan dan durasi baking.. Dengan pelatihan

Dari 70 sampel ini, diperoleh prevalensi dan faktor resiko penyakit ginjal kronik adalah hipertensi sebanyak 21 orang (30%) dan ini merupakan penyebab yang

Sehubungan dengan itu, Lembaga Penelitian Universitas Negeri Padang bekerjasama dengan Pimpinan Universitas, telah memfasilitasi peneliti untuk melaksanakan penelitian

Apa saja yang menjadi kendala penegakan hukum terhadap pelaku usaha. tambang timah yang tidak memiliki IUP, IPR, dan IUPK di

Kesimpulan penelitian adalah terdapat hubungan yang positif antara antara kualitas produk dan kualitas pelayanan dengan kepuasan konsumen Matahari Dept Store pada warga RW

Pembelajaran advokasi merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang masih dianggap asing oleh banyak guru, oleh sebab itu guru diharapkan mampu mengembangkan model