• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Penyakit Paru Obstruksi Kronis

2.3.11. Kerangka Teori

Inhalasi Bahan Berbahaya, Oksidan/ anti oksidan, Infeksi, Genetik, Merokok

Vitani D dalam Vitamin D dalam

Inflamasi

Mekanise Mekanisme

perlindungan perbaikan

Kerusakan Jaringan Paru

PPOK

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat analitik observasional, dengan rancangan penelitian potong lintang ( Prospective Cross sectional ) .

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Patologi Klinik FK-USU/RSUP Haji Adam Malik Medan bekerja sama dengan Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUP H. Adam Malik Medan.Penelitian ini dimulai pada bulan September 2017 sampai dengan Mei 2018. Penelitian akan dihentikan apabila jumlah sampel sudah terpenuhi atau sudah memenuhi batas waktu yang ditentukan.

3.3. Populasi dan Subjek Penelitian 3.3.1. Populasi Penelitian:

1. Populasi target : Penderita PPOK

2. Populasi terjangkau : Penderita PPOK yang berobat ke SMF Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUP. H. Adam Malik Medan pada bulan September 2017 sampai dengan Mei 2018.

3.3.2. Subjek Penelitian :

Penderita PPOK yang berobat ke SMF Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUP. H. Adam Malik Medan bulan September 2017 sampai dengan

Mei 2018 yang memenuhi kriteria inklusi. Dengan jumlah totol pasien 55 orang, Pasien yang berobat 5 – 10 orang / hari dengan diagnosa PPOK dan komorbid.

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1. Kriteria Inklusi

1. Penderita PPOK yang berobat ke SMF Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUP. H. Adam Malik Medan.

2. Berusia > 40 tahun.

3. Bersedia ikut dalam penelitian.

3.4.2. Kriteria Eksklusi

1. Jumlah leukosit < 4000 μ/L atau > 11.000 /L

2. Pasien pengguna obat-obatan yang mempengaruhi kadar 25(OH) vitamin D total.

3. Pasien yang sudah mendapat suplemen Vitamin D.

4. Pasien sedang dalam kondisi eksaserbasi akut.

5. Pasien yang mempengaruh faal paru - Kardiomegali

- Ca. Paru - Asma Brochial

3.5. Ethical Clearance dan Informed Consent

Ethical Clearance diperoleh dari Komite Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.Informed Consent diminta secara tertulis dari subjek penelitian atau diwakili oleh keluarganya yang ikut

bersedia dalam penelitian setelah mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian.

3.6. Perkiraan Besar Sampel

Digunakan rumus besar sampel untuk uji korelasi . Besar sampel ditentukan dengan rumus:

dimana :

Z (0.5/ 2)= deviat baku alpa. utk= 0,05 maka nilai baku normalnya 1,96

Z(0.5-β)= deviat baku beta. utk  = 0,10 maka nilai baku normalnya 1,282

r = koef. korelasi = 0.83

Menurut rumus di atas maka diperlukan sampel minimal sebanyak 54,7 (55 orang).

3.7. Definisi Operasional

a. Penderita PPOK adalah penderita PPOK yang datang berobat ke SMF Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUP Haji Adam Malik Medan dengan gejala klinis yang sesuai. Telah dilakukan pemeriksaan spirometri dan ditegakkan sebagai PPOK.

b. Vitamin D adalah vitamin yang larut dalam lemak prohormon, 2 bentuk utamanya adalah vitamin D2 atau ergokalsiferol dan vitamin D3

atau kolekalsiferol. Dalam penelitian ini yang diperiksa adalah kadar vitamin D total yang terdapat dalam serum menggunakan alat Mini Vidas.

c. VEP1 (volume ekspirasi paksa detik pertama) adalah jumlah udara dalam liter yang dapat diekspirasi maksimal secara paksa pada detik pertama setelah inspirasi maksimal. VEP1 dapat diukur setelah pasien melakukan perasat KVP (kapasitas vital paksa).

d. VEP1/KVP (Volume ekspirasi detik pertama / Kapasitas vital paksa).

Perbandingan niali VEP1 dan KVP yaitu: perbandingan udara yang dapat ditarik dan dihembuskan dalam satu kali bernafas penuh dalam satu detik.

Rasio kurang dari 75% menunjukkan obstruksi saluran napas.

e. ELFA ( Enzyme-Linked fluorescent Assay) adalah modifikasi pemeriksaan serologi konvensional dari enzym-Linked Imminosorbent Assay (ELISA). Yaitu mendeteksi keberadaan antibodi menggunakan enzim yang terkonjugasi, konjugat peroksidase-antibodi. Subtrat yang digunakan adalah asam p-hydroxyphenylacetin, produk fluorescent yang stabil dan tidak dapat dipengaruhi oleh cahaya.

3.8. Kerangka Konsep

MEROKOK

INFEKSI KRONIK OKSIDAN

INHALASI

PPOK

BAHAN

GENETIK BERBAHAYA

Penyakit Paru

Obstruktif

VITAMIN D

3.9. Bahan dan Cara Kerja 3.9.1. Bahan yang diperlukan

Bahan pemeriksaan laboratorium berupa darah tanpa antikoagulan untuk pemeriksaan kadar serum Vitamin D.

3.9.2. Cara kerja

a. Subjek penelitian yaitu penderita PPOK dilakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis.

b. Setelah memenuhi kriteria diagnosis, kemudian ditentukan memenuhi kriteria inklusi dan tidak kriteria eksklusi.

c. Penderita yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan informed consent dan mengisi surat persetujuan mengikuti penelitian.

d. Dilakukan pengambilan sampel darah.

e. Pengambilan dan Pengolahan Bahan

1. Bahan darah subjek diambil melalui vena punksi dari vena mediana cubiti. Tempat vena punksi terlebih dahulu dibersihkan dengan alkohol 70% dan dibiarkan kering. Darah diambil dengan menggunakan venoject sebanyak 10 ml dan dibagi dua pada tabung vacutainer gel clot activator (3 ml). Masing-masing berisi 5 ml.

Darah pada tabung vacutainer gel clot activator dibiarkan membeku selama 20 menit pada suhu ruangan, dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 20 menit, serum dipisahkan dan dimasukkan ke dalam tabung plastik (aliquot) 1 ml untuk bahan pemeriksaan kadar vitamin D serum.

2. Untuk pemeriksaan vitamin D, serum disimpan dalam freezer - 20°C sampai waktu pemeriksaan yang telah ditentukan (maksimum 6 bulan). (Hansson, 2005).

2.9.3. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan kadar 25(OH) Vitamin D

Pemeriksaan kadar 25(OH) vitamin D Total dilakukan dengan menggunakan alat MINI VIDAS BRAHMS. Prinsip pemeriksaan 25(OH) vitamin D Total dengan metode Enzyme-Linked Fluourescent Assay (ELFA) sesuai rekomendasi The Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI).

Solid Phase Respectacle (SPR®) berfungsi sebagai fase padat serta perangkat pipetting untuk pengujian tersebut. Reagen untuk pengujian telah tersedia siap digunakan dan telah terbagi di setiap strip reagen yang tersegel. Semua langkah-langkah uji yang dilakukan secara otomatis oleh instrumen. Media reaksi dengan siklus masuk dan keluar dari SPR beberapa kali.

Tabel 3.1. Deskripsi strip vitamin D (Vidas, 2015)

Wells Reagents

1 Sample Well.

2 Conjugate: TRIS, NaCl + anti-vitamin D antibody conjugated with alkaline

phosphatase + stabilizer of human origin* + preservative (300 μL).

3 Pre-treatment solution: TRIS, NaCl + dissociation agent + surfactant + methanol**

(600 μL).

4,5,6 Empty well

7,8,9 Wash buffer: TRIS, NaCl + preservative + surfactant (600 μL).

10 Reading cuvette with substrate: 4-Methyl-umbelliferyl phosphate (0.6 mmol/l) +

diethanolamine*** (DEA) (0.62 mol/L or 6.6%, pH 9.2) + 1 g/L sodium azide (300)

Sampel dicampur dengan reagen preparasi untuk memisahkan vitamin D dari protein pengikat. Sampel preparasi kemudian dikumpulkan dan dipindahkan ke dalam sumur yang berisi alkaline phosphatase (ALP) - labeled anti-vitamin D antibody (konjugat). Vitamin D antigen berada dalam sampel dan vitamin D antigen melapisi bagian interior SPR dan bersaing untuk berikatan dengan anti-vitamin D antibodi-ALP konjugat.

Selama langkah deteksi akhir, substrat (4-Methylumbelliferyl fosfat) dengan siklus masuk dan keluar dari SPR. Enzim konjugat

mengkatalisis proses hidrolisis substrat ini menjadi produk fluoresensi (4-Methylumbelliferone), fluoresensi akan diukur pada gelombang 450 nm.

Intensitas fluoresensi adalah berbanding terbalik dengan konsentrasi vitamin D antigen yang terdapat dalam sampel.

Pada akhir tes ini, hasil secara otomatis dihitung oleh instrumen dengan kurva kalibrasi yang disimpan dalam memori, dan kemudian dicetak.

b. Jenis Sampel dan Stabilitas Sampel

Jenis sampel yang digunakan adalah serum atau plasma (Lithium Heparin). Serum atau plasma dapat disimpan pada tabung biasa pada suhu 18-25 ºC dan stabil hingga 8 jam sebelum pemeriksaan. Dan dapat juga disimpan juga pada tabung aliquot dengan suhu 2-8 ºC stabil untuk lima hari, dan pada suhu -25 ±6 ºC sampel satabil untu 3 bulan seblum dilakukan pemeriksaan.

c. Cara Kerja alat.

1. Keluarkan reagen yang hanya diperlukan dari kulkas. Reagen dapat digunakan segera.

2. Gunakan satu "VITD" strip dan satu "VITD" SPR® dari kit untuk setiap sampel, kontrol atau kalibrator yang akan diuji. Pastikan kantong penyimpanan telah disegel kembali setelah SPRs yang diperlukan telah diambil.

3. Tes diidentifikasi dengan kode "VITD" pada instrumen. Kalibrator diidentifikasi dengankode "S1", dan diuji dalam rangkap dua. Jika yang di test adalah kontrol adala, diidentifikasi dengan kode "C1".

4. Jika perlu, jernihkan sampel dengan sentrifugasi.

5. Campur kalibrator, kontrol dan sampel menggunakan pusaran mixer (untuk memisahkan serum atau plasma dari bekuan sel).

6. Sebelum pipetting pastikan bahwa sampel, kalibrator, kontrol dan pengencer bebas gelembung.

7. Untuk tes ini, kalibrator itu, kontrol, dan bagian uji sampel adalah 100 mL.

8. Masukkan "VITD" SPRs dan "VITD" strip ke dalam instrumen.

Periksa untuk memastikan label warna dengan kode assay pada SPRs dan Strips Reagen sama.

9. Lakukan uji sebagaimana diarahkan dalam Buku Manual. Semua langkah-langkah uji yang dilakukan secara otomatis oleh instrumen.

10. Tutup kembali botol dan kembalikan ke penyimpanan suhu 2-8 ° C setelah pipetting.

11. Tes uji akan selesai dalam waktu kurang lebih 40 menit. Setelah uji selesai, keluarkan SPRs dan strip dari instrumen.

d. Dilakukan analisa data.

3.10. Pemantapan Kualitas

a. Pemantapan kualitas pemeriksaan Vitamin D

Kalibrasi dan Kontrol 25 (OH) vitamin D, menggunakan kalibrator dan kontrol yang disediakan dalam kit, kalibrasi dan kontrol harus dilakukan setiap reagen baru dibuka dengan memasukka nomor LOT baru. Setelah data LOT telah dimasukkan, kalibrasi kemudian harus dilakukan setiap 28 hari.

Kalibrator, diidentifikasi dengan S1. Nilai kalibrasi harus berada dalam set RFV (Relative Fluorescence Value). Jika nilai kalibrasi tidak sesuai, kalibrasi ulang S1. Nilai kontrol harus berada dalam rentang nila kontrol yang tertera dalam LOT.

Gambar 3.2. kualiti kontrol vitamin D

Pemantapan kualitas pemeriksaan Leukosit

Gambar 3.3 kualiti kontrol leukosit

b. Pementaoan kualitas pemeriksaan Spirometri

Gambar 3.4 kualiti kontol Spriometri

3.11. Analisa Data Statistik

Analisa data dilakukan menggunakan software SPSS (Statistical Package for Social Sciences, Chicago, IL, USA) untuk Windows. Gambaran karakteristik pada subjek penelitian disajikan dalam bentuk tabulasi dan dideskripsikan. Hubungan karakteristik klinis dengan status vitamin dipakai uji Spaearman. Korelasi kadar 25 (OH) Vitamin D dengan derajat penyakit PPOK diuji dengan test Pearson. Semua uji statistik dengan nilai p < 0,05 dianggap bermakna.

3.12. Alur Penelitian

Penderita PPOK

Kriteria Inklusi

Pemeriksaan Spirometri dan Combined COPD Assessment

Klasifikasi A-D

Kadar Vitamin D

Analisa Data

BAB IV HASIL

4.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Penelitian ini melibatkan 55 orang pasien yang telah didiagnosa sebagai penderita PPOK. Subjek penelitian diambil dari poli klinik penyakit Paru RSUP Haji Adam Malik Medan. Subjek penelitian merupakan pasien yang berobat sejak September 2017 sampai Mei 2018. Adapun karakteristik subjek penelitian digambarkan dalam tabel berikut :

Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Variabel Mean ± SD Satuan

Umur 64.24 ± 6.21 Tahun

VEP1 32.39 ± 13.41 %

VEP1/KVP 65.42 ± 11.69 %

Vitamin D 25.25 ± 6.22 ng/mL

Leukosit 5800 (4980-13.110) /µL

Pada tabel 4.1. Terlihat bahwa usia penderita PPOK mean ± SD adalah 64.24 ± 6,21 tahun dengan VEP1 mean ± SD adalah 32,39 ± 13.41 % dengan nilai min-maks adalah 12.70 – 77.30 %. Nilai VEP1/KVP didapati sebesar mean ± SD 65.42

± 11,69 %. Nilai kadar vitamin D mean ± SD subjek penelitian adalah 25,25

± 6,22 ng/mL, sedangkan median jumlah leukosit adalah 5800 (4980 – 13.110/µL).

Tabel 4.2. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan GOLD

Variabel Keterangan Frekuensi %

Pada Tabel 4.2. tampak distribusi subjek penelitian berdasarkan klasifikasi GOLD berdasarkan nilai VEP1 yang terbanyak adalah subjek GOLD 4 dengan jumlah 47.27 %.

4.2. Analisis Bivariat antara umur dengan VEP1, VEP1/KVP, kadar vitamin D, dan Leukosit

Menggunakan analisis bivariat dicari hubungan antara umur dengan VEP1, VEP1/KVP, kadar vitamin D, dan Leukosit. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.3. Hubungan umur dengan VEP1, VEP1/KVP, kadar vitamin D, dan Leukosit

VEP1 VEP1/KVP Vitamin D Leukosit Umur p = 0.731 p = 0.151 p = 0.516 p = 0.597 r = 0.047 r = - 0.196 r = 0.089 r = - 0.073

Pada tabel 4.3 terlihat bahwa umur pasien tidak berhubungan dengan nilai VEP1, VEP1/KVP, kadar vitamin D maupun jumlah leukosit. dengan nilai VEP1 – umur p = 0.731 r = 0.047, VEP1/KVP – umur p = 0.151 r = - 0.196, Vitamin D – umur p = 0.516 r = 0.089, Leukosit – umur p = 0.597 r = - 0.073.

4.3. Analisis Bivariat antara nilai VEP1 dengan nilai VEP1/KVP, kadar vitamin D dan leukosit.

Menggunakan analisis bivariat dicari hubungan antara VEP1 dengan VEP1/KVP, kadar vitamin D, dan leukosit. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.4. Hubungan VEP1 dengan VEP1/KVP, kadar vitamin D, dan Leukosit

VEP1/KVP Vitamin D Leukosit

VEP1 p = 0.80 p = 0.588 p = 0.644

r = 0.238 r = - 0.075 r = 0.064

Dari tabel 4.4. terlihat bahwa nilai VEP1 pasien tidak berhubungan dengan nilai VEP1/KVP, kadar vitamin D maupun jumlah leukosit. dengan nilai VEP1 - VEP1/KVP p = 0.80 r = 0.238, VEP1 - Vitamin D p = 0.588 r = -0.075, VEP1 – Leukosit p = 0.644 r = 0.064.

4.4. Analisis Bivariat antara nilai VEP1/KVP dengan kadar vitamin D dan leukosit.

Menggunakan analisis bivariat dicari hubungan antara VEP1/KVP, kadar vitamin D, dan leukosit. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.5. Hubungan VEP1/KVP dengan kadar vitamin D, dan

Leukosit

Vitamin D Leukosit

VEP1/KVP p = 0.037 p = 0.820

r = 0.282 r = 0.031

Pada tabel 4.5 terlihat bahwa nilai VEP1/KVP pasien berhubungan dengan kadar vitamin D dengan nilai p = 0.037; r = 0.282. Korelasi antara kadar vitamin D dengan nilai VEP1/KVP menunjukkan korelasi positif yang lemah dimana peningkatan kadar vitamin D akan disertai dengan peningkatan nilai VEP1/KVP.

BAB V PEMBAHASAN

5.1. Karakteristik penelitian

Penelitian ini melibatkan 55 orang pasien laki-laki yang telah didiagnosa sebagai penderita PPOK. Subjek penelitian diambil dari poli Penyakit Paru RSUP Haji Adam Malik Medan. Subjek penelitian merupakan pasien yang berobat sejak September 2017 sampai Mei 2018.

Pada tabel 4.1. terlihat bahwa usia rata-rata penderita PPOK adalah 64.24

± 6.21 tahun. Data ini tidak jauh berbeda dengan data penelitian meta analisis bahwa prevalensi PPOK adalah lebih tinggi pada mereka yang berusia > 40 tahun dibanding mereka yang < 40 tahun, dan pada pria lebih banyak dibanding wanita, walaupun pada penelitian ini seluruh subjek penelitian yang diambil adalah pria.

(GOLD, 2017; PDPI, 2010). Hal ini juga disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko. Faktor pejamu sendiri diduga sangat berhubungan dengan kejadian PPOK yakni semakin banyaknya jumlah perokok dari usia muda hingga diusia tua, setelah dianamnese riwayat perokok ± 15 – 20 tahun dan menghabiskan ± 25 batang / hari. serta meningkatnya pencemaran udara di dalam maupun di luar ruangan terutama di tempat kerja (Matherrs CD; Loncar D, 2006, GOLD, 2017).

Pada tabel 4.1 juga terlihat bahwa nilai mean VEP1 adalah 33.39 ± 13.41%

dengan nilai min-maks adalah 12.70 – 77.30%. Hal ini menunjukkan menurunnya nilai VEP1 pada subjek PPOK yang diperiksa. Pada populasi normal nilai VEP1

adalah 3.2 liter, kurang lebih 80% dari nilai KVP yang pada populasi normal adalah 4 liter. VEP1 sendiri adalah jumlah udara yang dapat dihembuskan paksa pada detik pertama pada pemeriksaan spirometri. Nilai rata-rata VEP1/KVP didapati sebesar 65.42 ± 11.69%, Normal yaitu 75 - 80%. Pada pasien PPOK terjadi ganggu pengeluaran udara (unable to get air out) dimana jalan nafas yang menyempit akan mengurangi volume udara yang dapat dihembuskan pada satu detik pertama ekspirasi. Semakin rendah rasionya menunjukkan semakin parah obstruksinya (Zulliesikawati, 2017)

Tabel 4.1 juga menunjukkan nilai rerata kadar vitamin D subjek penelitian adalah 25.24 ± 6.22 ng/mL. Menggambarkan bahwa pada pasien PPOK yang diteliti dijumpai kadar vitamin D yang rendah. Menurut pedoman Endocrine Society, status vitamin D didefinisikan sebagai sufisiensi bila kadar calcifediol 31 sampai 60 ng/mL, insufisiensi bila kadar calcifediol 21 sampai 30 ng/mL dan defisiensi bila kadar calcifediol ≤ 20 ng/mL (Lee, 2013). Pedoman ini menggolongkan subjek pada penelitian ini dalam kelompok insufisiensi vitamin D.

Data ini sesuai dengan data epidemiologis dari National Health and Nutritional Examination Survey III (NHANES III) yang menunjukkan tingkat serum vitamin D yang rendah pada pasien PPOK. Forli et al (2004) juga menemukan defisiensi vitamin D (<20 ng/ml) pada lebih dari 50% pasien transplantasi paru-paru akibat PPOK. Demikian juga dalam sebuah studi pada pasien rawat jalan PPOK di Denmark, sekitar 68% responden memiliki

osteoporosis atau osteopenia yang berkaitan dengan kurangnya kadar serum vitamin D (Forli et al. 2004).

Data jumlah leukosit pasien pada tabel 4.1 menunjukkan nilai median jumlah leukosit subjek penelitian adalah 5800 ± 3503.93 dan nilai min-maks adalah 4.980–13.110/µL. Data leukosit ini menunjukkan bahwa sebagian besar pasien PPOK yang diteliti masih memiliki jumlah leukosit dalam rentang normal.

Hal ini didukung teori tentang patofisiologi dari PPOK itu sendiri yang merupakan suatu proses hambatan aliran udara diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Proses infeksi sendiri merupakan sekunder yang tidak selalu terjadi pada pasien dengan PPOK. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen bangian dalam dinding luar saluran nafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas mengecil dan berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai beratnya sakit (Tabrani R, 2010: Sooeroto AY, 2014)

Tabel 4.2. menunjukkan distribusi subjek penelitian berdasarkan klasifikasi GOLD dimana didapati berdasarkan VEP1 yang terbanyak adalah subjek dengan GOLD 4. GOLD 4 berdasarkan nilai VEP1 menunjukkan penurunan nilai VEP1 yang berat pada subjek penelitian, dimana GOLD 4 bernilai <30% nilai populasi normal (berdasarkan tabel nilai normal menurut jenis kelamin dan umur).

5.2. Analisis Bivariat antara umur dengan VEP1, VEP1/KVP, kadar vitamin D, dan Leukosit

Dengan analisis bivariat didapati bahwa umur pasien tidak berhubungan dengan nilai VEP1, VEP1/KVP, kadar vitamin D maupun jumlah leukosit dengan nilai secara berurutan adalah p=0.731 r =0.047 ; p= 0.151 r = - 0.196; p=0.516 r

=0.089 dan p=0.597 r = - 0.073. Hal ini dapat disebabkan usia subjek penelitian yang hampir sama pada penelitian ini sehingga faktor usia ini tidak menunjukkan hubungan maupun perbedaan yang signifikan dalam nilai VEP1, VEP1/KVP,kadar vitamin D, maupun jumlah leukosit.

5.3. Analisis Bivariat antara nilai VEP1 dengan nilai VEP1/KVP, kadar vitamin D dan leukosit.

Dengan analisis bivariat didapati bahwa nilai VEP1 pasien tidak berhubungan dengan nilai VEP1/KVP, kadar vitamin D maupun jumlah leukosit dengan nilai adalah VEP1 – VEP1/KVP p= 0.80 r = 0.238; VEP1-Vitamin D p=0.588 r = - 0.075 dan VEP- Leukosit p= 0.644 r = 0.064. Saat diuji dengan Mann Whitney Test nilai VEP1 dan VEP1/KVP justru menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan nilai p = 0.0001.

Nilai VEP1 yang tidak berhubungan dengan nilai VEP1/KVP kemungkinan disebabkan karena perbedaan nilai KVP dari subjek penelitian. Nilai KVP merupakan pengukuran terhadap perubahan kapasitas volume paru-paru pada pernafasan yang dipaksakan sementara VEP1 diukur hanya pada detik pertama. Pada pasien PPOK didapati kondisi ekspirasi memanjang sehingga nilai KVP

dapat berbeda pada pasien dengan nilai VEP1 yang tidak terlalu berbeda. . Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru yang lainnya seperti ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan mengalami gangguan juga pada pasien dengan PPOK (PDPI, 2010)

5.4. Analisis Bivariat antara nilai VEP1/KVP dengan kadar vitamin D dan leukosit.

Dengan analisis bivariat didapati bahwa nilai VEP1/KVP pasien berhubungan dengan kadar vitamin D dengan nilai p=0.037; r=0.282 namun tidak berhubungan dengan jumlah leukosit dengan nilai p=0.820. Hubungan yang signifikan antara VEP1/KVP dengan kadar vitamin D ini sesuai dengan banyak penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dimana rasio VEP1/KVP merupakan ukuran atau penanda fungsi faal paru. Pada pasien PPOK penurunan nilai VEP1/KVP menunjukkan benar adanya suatu kondisi obstruksi dari saluran nafas.

Kondisi obstruksi ini sendiri disebabkan oleh peningkatan penebalan saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran nafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas.

(Tabrani R, 2010: Sooeroto AY, 2014)

Perubahan pada saluran nafas ini dapat disebabkan oleh banyak hal termasuk proses inflamasi dan radikal bebas. Vitamin D sangat berperan dalam hal ini, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Molekul aktif dari vitamin D,1,25(OH)2D3 merupakan pemeran utama dalam metabolisme absorpsi kalsium

ke dalam tulang, fungsi otot, sekaligus sebagai immunomodulator yang berpengaruh terhadap sistem kekebalan untuk melawan beberapa penyakit (Harper, 2013).

Penelitian lain juga menunjukkan bahwa pemberian 1α,25(OH)2D3 menunjukkan penurunan ekspresi MMP. Matriks metalloproteinase (MMP) merupakan jaringan kolagen yang dapat merusak matriks ekstrseluler paru dan berperan dalam timbulnya cavitasi pada pasien obstruksi post TB (SOPT). (Khoo, et al (2011) juga melaporkan bahwa 1α,25(OH)2D3 menunjukkan kemampuan menekan respon inflamasi dengan menurunkan ekspresi TLR2 (Toll-Like Receptor) dan TLR4 pada monosit yang mencegah aktivasi TLR yang berlebihan selama infeksi (Khoo et al, 2011).

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1. SIMPULAN

- Nilai VEP1 tidak terdapat berhubungan dengan kadar vitamin D pasien PPOK.

- Dari hasil penelitian ini didapati hubungan yang signifikan antara nilai VEP1/KVP sebagai penanda tingkat obstruksi saluran nafas pada pasien PPOK dengan kadar vitamin D pasien.

- Korelasi yang ditunjukkan adalah korelasi positif yang berarti semakin tinggi kadar vitamin D pasien maka nilai VEP1/KVP akan semakin tinggi (tingkat obstruksi lebih rendah).

- Vitamin D berperan dalam patofisiologi PPOK.

6.2. SARAN

6.2.1. Untuk penelitian selanjutnya

- Perlu dilakukan penelitian dengan desain longitudinal study untuk melihat perubahan temporal dari kadar vitamin D dalam progresifitas terjadinya obstruksi saluran nafas pada pasien PPOK, Sehingga dapat diterangkan kepada pasien apakah perlu pemberian suplemen vitamin D atau cukup dengan sinar ultra violet saja.

- Perlu dilakukan penelitian lain dengan menggunakan jumlah subjek yang lebih besar dan bervariasi jenis kelamin dan umur.

- Perlu penelitian selanjutnya dari penelitian ini setelah diterapy apakah morbiditas dan mortalitas terjadi perubahan? Serta pada kualitas hidup pasien apakah semakin membaik?

6.2.2. Untuk para klinisi

- Pemeriksaan kadar vitamin D penting dilakukan pada pasien PPOK.

- Dengan adanya hasil pemeriksaan kadar vitamin D pada pasien PPOK, klinisi dapat menjadikannya sebagai point penting dalam mengobati dan mencegah progresifitas penyakit pada pasien PPOK.

DAFTAR PUSTAKA

Boyan BD, Wong KL, Fang M, Schwartz Z. 2007. 1alpha, 25(OH)2D3 is an autocrine regulator of extracellular matrix turnover and growth factor release via ERp60 activated matrix vesicle metalloproteinases. J Steroid Biochem Mol Biol,103:467-472

Buist Sonia, et al. Global Stategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of COPD.In : NHLBI/WHO Global Initiative for COPD Workshop

Summary : 2006

Cao Y, Wang X, Cao Z, Cheng X. Vitamin D receptor gene Fokl

polymorphisms and tuberculosis susceptibility: a meta analysis. Arch Med Sci 2016;12,5:1118-1134.

Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al. editors. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17th ed. New York:

Mc Graw Hill; 2008.

Forli L, Halse J, Haug E, Bjortuft O, Vatn M, Kofstad J, et al. 2004.

Vitamin D deficiency, bone mineral density and weight in patients with advanced pulmonary disease. J Intern Med, 256:56-62.

Ganji V, Zhang X, Tangpricha V. (2012) Serum 25-hydroxyvitamin D concentrations and prevalence estimates of hypovitaminosis D in the U.S.

Ganji V, Zhang X, Tangpricha V. (2012) Serum 25-hydroxyvitamin D concentrations and prevalence estimates of hypovitaminosis D in the U.S.