• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Vitamin D dan Inflamasi

Matriks metalloproteinase (MMP) merupakan jaringan kolagen yang dapat merusak matriks ekstrseluler paru dan berperan dalam timbulnya cavitasi pada pasien sindrom obstruksi post TB (SOPT). Pemberian 1α,25(OH)2D3 menunjukkan penurunan ekspresi MMP akibat rangsangan Mtb seperti MMP-7, MMP-9, dan MMP-10. (Khoo, et al (2011) juga melaporkan bahwa 1α,25(OH)2D3 menunjukkan kemampuan menekan respon inflamasi dengan menurunkan ekspresi TLR2 (Toll-Like Receptor) dan TLR4 pada monosit yang mencegah aktivasi TLR yang berlebihan selama infeksi (Khoo et al, 2011).

Aktivasi dari NADPH oksidase (Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate-Oxidase) juga ikut didalam proses 1α,25(OH)2D3 menginduksi ekspresi cathelicidin. Beberapa penelitian melaporkan bahwa defisiensi vitamin D berhubungan dengan menurunnya ekspresi CAMP (Cathelicidin Anti Microbial Peptide) yang berhubungan dengan tingkat kerentanan terhadap infeksi (Dixon et al, 2012).

1α,25(OH)2D3 juga menunjukkan pengaruh terhadap sistem pertahanan

mendegradasi komponen sel dalam sistem lisosom. Hal penting lain adalah didapatinya bukti bahwa peningkatan zat besi intraseluler akan meningkatkan kemampuan mikroba untuk bertahan dan berkembang dalam makrofag. Terhadap hal ini 1α,25(OH)2D3 justru mampu menekan ekspresi dari hepcidin antimicrobial peptide (HAMP) yang berperan sebagai transport zat besi intraseluler (Bacchetta et al, 2013).

1α,25(OH)2D3 juga menekan diferensiasi dan maturasi dari sel dendritik dengan menurunkan transkripsi dari gen sel B yang mempengaruhi NF-kB (the Nuclear Faktor-Kappa B) signaling. Saat ini telah dilaporkan bahwa 1α,25(OH)2D3 meningkatkan kemampuan monosit untuk mempresentasikan antigen (Tung et al, 2013)

Penelitian Chandra et al (2004) menunjukkan bahwa 1α,25(OH)2D3 secara spontan dapat meningkatkan respon sistem limfosit namun 1α,25(OH)2D3 akan menekan respon limfosit terhadap antigen mikobakterial pada subjek yang sehat.

Keseimbangan antara respon pro-inflamatori dengan anti-inflamatori menjadi faktor yang sangat penting terhadap kerentanan terhadap infeksi bakteri.

Peranan 1α,25(OH)2D3 dalam memodulasi sistem imun terlihat jelas pada sel Th1, dimana 1α,25(OH)2D3 meregulasi proliferasi sel T dan produksi sitokin.

1α,25(OH)2D3 menekan respon Th1 dengan menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IFNϫ, IL-6, IL-2, TNF- α dan kemokin (Khoo et al, 2012;

Selvaraj et al, 2012).

1α,25(OH)2D3 justru akan merangsang sel Th2 yang meningkatkan produksi sitokin anti-inflamasi seperti IL4 dan IL-10. Beberapa penelitian klinis melaporkan bahwa pemberian suplementasi vitamin D akan meningkatkan jumlah sel T regulator (Pretl et al 2010; Bock et al, 2011).

2.3. Penyakit Paru Obstruktif Kronis 2.3.1. Definisi

PPOK merupakan penyakit paru yang dapat dicegah dan ditanggulangi.

Ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun / berbahaya, disertai efek ekstra paru yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit dengan gejala utama PPOK adalah sesak napas yang memberat saat aktivitas, batuk dan produksi sputum (PDPI, 2010,GOLD 2017).

2.3.2. Anatomi dan Fisiologi Paru 2.3.2.1. Anatomi Paru

Paru-paru merupakan organ tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung-gelembung. dimana gelembung hawa ini disebut alveoli. Gelembung-gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya mencapai ± 90 m2 yang mana pada lapisan inilah terjadi pertukaran udara O2 masuk ke dalam darah dan C02 dikeluarkan dari darah.

Banyaknya gelembung paru ini ± 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan).

Paru-paru dibagi 2 (dua) :

a. Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus yaitu lobus dekstra superior, lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh beberapa lobulus.

b. Paru-paru kiri, terdiri dari lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobulus terdiri dari belahan-belahan yang lebih kecil bernama segmen. Paru-paru

kiri mempunyai 10 segmen yaitu; 5 (lima) buah segment pada lobus superior, dan 5 (lima) buah segment pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yaitu; 5 (lima) buah segmen pada lobus superior; 2 (dua) buah segmen pada lobus medialis, dan 3 (tiga) buah segmen pada lobus inferior.

Diantara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang berisi pembuluh-pembuluh darah, pembuluh getah bening dan saraf-saraf. Di dalam tiap-tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus.Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang-cabang ini disebut duktus alveolus.

Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2–0,3 mm (Tabrani, 2010)

Gambar 2.4. Anatomi Paru

2.3.2.2. Fisiologi Paru

Kapasitas paru-paru merupakan kesanggupan paru-paru dalam menampung udara didalamnya. Kapasitas paru-paru dapat dibedakan sebagai berikut

1. Kapasitas total paru (KPT) Yaitu jumlah udara yang dapat mengisi paru-paru pada inspirasi sedalam-dalamnya. Besarnya tergantung pada kondisi paru-paru, umur, sikap dan bentuk tubuh seseorang.

2. Kapasitas vital (KV) Yaitu: jumlah udara yang dapat dikeluarkan setelah ekspirasi maksimal. Dalam keadaan yang normal kedua paru-paru dapat menampung udara sebanyak ± 5 liter.

3. Volume ekspirasi (VE) Di dalam paru-paru kita saat bernafas masih tertinggal 3 liter udara. Pada waktu kita bernapas biasa udara yang masuk ke dalam paru-paru 2.600 cm3 (2,5 liter).

4. Jumlah pernapasan. Dalam keadaan yang normal = Orang dewasa:

16–18 x/menit, Anak-anak kira-kira : 24 x/menit, Bayi kira-kira : 30 x/menit, Dalam keadaan tertentu keadaan tersebut akan berubah, misalnya akibat dari suatu penyakit, pernafasan bisa bertambah cepat dan sebaliknya (Tabrani R, 2010, GOLD, 2017)

2.3.3. Patofisiologi PPOK

Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya

peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran nafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas mengecil dan berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit (Tabrani R, 2010: Sooeroto AY, 2014)

Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru. Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidatif, dan selanjutnya akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid ini akan menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar dimana aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya faktor kemotaktik neutrofil seperti interleukin 8, leukotrien B4, tumor necrosis factor (TNF), monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive oxygen species (ROS) (Zitterman A, et al. 2016).

Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar dan hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8 dan menyebabkan kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan makrofag dan neutrofil akan mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion superoksida dengan

bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik akan diubah menjadi OH dengan menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero dengan halida akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl) (Zitermann A et al. 2016).

Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk kronis sehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi alveoli akan menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit dan polusi dan asap rokok (GOLD, 2017).

Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi bronkus kecil (bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau obstruksi awal fase ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada saat ekspirasi banyak terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara (air trapping). Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan segala akibatnya.

Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru: ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan mengalami gangguan (PDPI, 2010)

2.3.4. Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD 2017)

PPOK dibagi berdasarkan hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator, yang kemudian dibagi menjadi GOLD 1, 2, 3, dan 4.

paksa dari titik inspirasi maksimal kapasitas vital paksa (KVP), kapasitas udara yang dikeluarkan pada detik pertama atau volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio kedua pengukuran tersebut (VEP1/KVP). Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut (Vestbo, etal. 2014).

Tabel 2.1 Klasifikasi PPOK berdasarkan GOLD

Pada Pasien dengan VEP1 / KVP < 0,7 GOLD 1 Ringan VEP1 ≥ 80% prediksi GOLD 2 Sedang 50% ≤ VEP1 < 80% prediksi GOLD 3 Berat 30% ≤ VEP1 < 50% prediksi GOLD 4 Sangat Berat VEP1 < 30% prediksi

2.3.5. Etiologi

Etiologi penyakit ini belum diketahui secara pasti. Penyakit ini dikaitkan dengan faktor-faktor risiko yang terdapat pada penderita antara lain:

- Merokok sigaret yang berlangsung lama. Rokok dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput lendir bronkus sehingga drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir tersebut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri

- Polusi udara

- Infeksi paru berulang

- Infeksi TB. Pada sebagian penderita, secara klinik timbul gejala sesak terutama pada aktivitas, radiologik menunjukkan gambaran bekas TB (fibrotik klasifikasi) yang minimal, dan uji faal paru menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas yang tidak reversibel. Kelompok

penderita tersebut dimasukkan dalam kategori penyakit Sindrom Obstruksi Pascatuberkulosis (SOPT).

- Umur

- Jenis kelamin - Ras

- Defisiensi alfa-1 antitripsin - Defisiensi anti oksidan

2.3.6. Tanda dan Gejala klinis

Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe pokok yaitu gambaran klinik dominant kearah bronkitis kronis (blue bloater) atau gambaran klinik kearah emfisema (pink puffers). Secara umum pasien datang dengan keluhan sebagai berikut : badan lemah, sesak napas saat aktivitas, batuk berdahak, dan napas berbunyi (mengi).

Pada pemeriksaan fisik akan sering dijumpai ekspirasi yang memanjang, bentuk dada tong (Barrel Chest), penggunaan otot bantu pernapasan, suara napas melemah, pernapasan paradoksal, edema kaki, asites dan jari tabuh (Fauci, et al.

2008, GOLD, 2017)

2.3.7. Pemeriksaan Penunjang 2.3.7.1. Pemeriksaan Spirometri

Pasien yang dicurigai PPOK harus ditegakkan diagnosisnya menggunakan spirometri. Spirometri direkomendasikan untuk semua perokok 45

atau dahak persisten.(PDPI 2010, GOLD 2017). Meskipun spirometri merupakan gold standard dengan prosedur sederhana yang dapat dilakukan di tempat, tetapi itu kurang dimanfaatkan oleh praktisi kesehatan.

Kunci pada pemeriksaan spirometri ialah rasio VEP1 (Volume Eskpirasi Paksa detik pertama) dan KVP (Kapasitas Vital Paksa). VEP1 adalah volume udara yang pasien dapat keluarkan secara paksa dalam satu detik pertama setelah inspirasi penuh. VEP1 pada pasien dapat diprediksi dari usia, jenis kelamin dan tinggi badan. KVP adalah volume maksimum total udara yang pasien dapat hembuskan secara paksa setelah inspirasi penuh (Vestbo,et al.2014, GOLD, 2017)

2.3.7.2. Pemeriksaan penunjang lain

Radiografi dada harus dilakukan untuk mencari bukti nodul paru, massa, atau perubahan fibrosis. Radiografi berulang atau tahunan dan pemeriksaan computed tomography (CT) untuk memonitor kanker paru-paru. Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan untuk menyingkirkan anemia atau polisitemia.

Perlu untuk melakukan elektro kardiografi dan ekokardiografi pada pasien dengan tanda-tanda corpulmonale untuk mengevaluasi tekanan sirkulasi paru. Pulse oksimetri saat istirahat, dengan pengerahan tenaga, dan selama tidur harus dilakukan untuk mengevaluasi hipoksemia dan kebutuhan oksigen tambahan.

Kultur sputum juga penting dilakukan untuk mengetahui jika ada patogen penyebab infeksi.

2.3.8. Penatalaksanaan PPOK

Penatalaksanaan PPOK dibedakan atas penatalaksanaan pada keadaan stabil dan penatalaksanaan pada saat eksaserbasi akut. Penatalaksanaan dilakukan dengan dua cara yaitu terapi non-farmakologis dan terapi farmakologis. Tujuan terapi tersebut adalah mengurangi gejala, mencegah progresivitas penyakit, mencegah dan mengatasi ekserbasasi dan komplikasi, menaikkan keadaan fisik dan psikologis pasien, meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi angka kematian (Soeroto AY, 2014, GOLD, 2017).

Terapi non-farmakologis dapat dilakukan dengan cara menghentikan kebiasaan merokok, meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan pernapasan serta memperbaiki nutrisi. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangkan panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang bersifat irreversible dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan penyakit.

Pada terapi farmakologis, obat-obatan yang paling sering digunakan dan merupakan pilihan utama adalah bronkodilator .Penggunaan obat lain seperti kortikosteroid, antibiotik dan antiinflamasi diberikan pada beberapa kondisi tertentu. Bronkodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit.

Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat

lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting) (Tabrani 2010, GOLD 2017)

Macam-macam bronkodilator :

a. Golongan antikolinergik. Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir.

b. Golongan β-2 agonis. Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak nafas dimana peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut dan tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.

c. Kombinasi antikolinergik dan β–2 agonis. Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.

d. Golongan xantin. Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat.

Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.

Pada keadaan kerusakan irreversibel yang sangat parah dapat dilakukan reduksi volume paru secara pembedahan (LVRS/ Lung Volume Reduction Surgery) atau endoskopi (transbronkial) (BLVR/ Bronchoscopic Lung Volume Reduction) (PDPI, 2010)

2.3.9. Combined COPD Assessment

Combined COPD Assessment melakukan penilaian efek PPOK terhadap masing-masing penderitanya berdasarkan assessment terhadap gejala yang dialami, klasifikasi spirometri berdasarkan GOLD (The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease) dan kejadian eksaserbasi. (Vestbo J, et al. 2014, GOLD 2017).

Klasifikasi pasien berdasarkan Combined COPD Assessment adalah : 1. Kelompok A-Rendah Risiko, Sedikit Gejala Pasien dengan klasifikasi

GOLD 1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling banyak 1 kali dalam setahun dan tidak pernah mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score <10 atau mMRC grade 0-1.

2. Kelompok B-Rendah Risiko, Banyak Gejala Pasien dengan klasifikasi GOLD 1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling banyak 1 kali dalam setahun dan tidak pernah mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score ≥10 atau mMRC grade ≥ 2.

3. Kelompok C-Tinggi Risiko, Sedikit Gejala Pasien dengan klasifikasi GOLD 3 atau 4, dan/atau mengalami eksaserbasi sebanyak ≥ 2 kali per tahun atau ≥ 1 kali mengalami perawatan rumah sakit akibat

4. Kelompok D-Tinggi Risiko, Banyak Gejala Pasien dengan klasifikasi GOLD 3 atau 4, dan/atau mengalami eksaserbasi sebanyak ≥ 2 kali per tahun atau ≥ 1 kali mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score ≥ 10 atau mMRC grade ≥ 2. (GOLD 2017)

Gambar 2.5. Combined COPD Assesment

COPD Asssessment Test (CAT) dikembangkan untuk mengukur dampak PPOK terhadap kesehatan pasien dan meningkatkan pemahaman antara dokter dan pasien terhadap dampak penyakit untuk mengoptimalkan pengelolaan pasien dan mengurangi beban penyakit. CAT merupakan kuesioner yang sudah tervalidasi dan terstandarisasi yang digunakan untuk menilai status kesehatan pasien PPOK. CAT terdiri dari 8 item pertanyaan yang mudah dimengerti dan dijawab oleh pasien. CAT memiliki skor dari 0-40.

Dengan 8 item pertanyaan, CAT sudah dapat menunjukkan efek yang jelas terhadap status kesehatan dan kehidupan sehari-hari pasien.CAT bukan merupakan alat diagnostik seperti spirometri. Namun CAT dapat digunakan bersama-sama dengan spirometri dalam penilaian klinis pasien PPOK untuk mengetahui apakah penatalaksanaan sudah optimal.CAT juga dapat membantu dalam memonitor efek terapi.

Para ahli yang terlibat dalam pengembangan CAT menyarankan pasien PPOK untuk melengkapi kuesioner CAT ketika menunggu untuk pemeriksaan atau saat di rumah sebelum berangkat konsultasi karena CAT hanya membutuhkan beberapa menit untuk diisi Kuesioner CAT yang sudah dilengkapi dapat membantu dalam menyusun langkah penatalaksanaan pasien. CAT Development Steering Group and GOLD menyarankan agar pasien mengisi kuesioner CAT setiap 2-3 bulan untuk menilai perubahan.

Tabel 2.2. COPD Asessment Test

Tabel 2.3. Grading mMRC

2.3.10. Prognosis

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang progresif, artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup dan semakin memburuk secara lambat dari tahun ke tahun. Dalam perjalanan penyakit ini terdapat fase-fase eksaserbasi akut. Berbagai faktor berperan pada perjalanan penyakit ini, antara lain faktor resiko yaitu faktor yang menimbulkan atau memperburuk penyakit seperti kebiasaan merokok, polusi udara, polusi lingkungan, infeksi, genetik dan perubahan cuaca. Derajat obtruksi saluran nafas yang terjadi, dan ketepatan identifikasi komponen penyebab memungkinkan adanya reversibilitas (PDPI 2010, GOLD 2017).

Tahap perjalanan penyakit dan penyakit saluran nafas lain diluar paru seperti sinusitis dan faringitis kronik juga mempengaruhi prognosis penyakit ini.

Pada akhirnya faktor-faktor tersebut membuat perburukan makin lebih cepat terjadi sehingga usaha mengatasi penyakit penyerta lain menjadi hal yang penting untuk memperbaiki prognosis pasien (Tabrani, 2010).

2.3.11. Kerangka Teori

Inhalasi Bahan Berbahaya, Oksidan/ anti oksidan, Infeksi, Genetik, Merokok

Vitani D dalam Vitamin D dalam

Inflamasi

Mekanise Mekanisme

perlindungan perbaikan

Kerusakan Jaringan Paru

PPOK

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat analitik observasional, dengan rancangan penelitian potong lintang ( Prospective Cross sectional ) .

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Patologi Klinik FK-USU/RSUP Haji Adam Malik Medan bekerja sama dengan Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUP H. Adam Malik Medan.Penelitian ini dimulai pada bulan September 2017 sampai dengan Mei 2018. Penelitian akan dihentikan apabila jumlah sampel sudah terpenuhi atau sudah memenuhi batas waktu yang ditentukan.

3.3. Populasi dan Subjek Penelitian 3.3.1. Populasi Penelitian:

1. Populasi target : Penderita PPOK

2. Populasi terjangkau : Penderita PPOK yang berobat ke SMF Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUP. H. Adam Malik Medan pada bulan September 2017 sampai dengan Mei 2018.

3.3.2. Subjek Penelitian :

Penderita PPOK yang berobat ke SMF Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUP. H. Adam Malik Medan bulan September 2017 sampai dengan

Mei 2018 yang memenuhi kriteria inklusi. Dengan jumlah totol pasien 55 orang, Pasien yang berobat 5 – 10 orang / hari dengan diagnosa PPOK dan komorbid.

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1. Kriteria Inklusi

1. Penderita PPOK yang berobat ke SMF Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUP. H. Adam Malik Medan.

2. Berusia > 40 tahun.

3. Bersedia ikut dalam penelitian.

3.4.2. Kriteria Eksklusi

1. Jumlah leukosit < 4000 μ/L atau > 11.000 /L

2. Pasien pengguna obat-obatan yang mempengaruhi kadar 25(OH) vitamin D total.

3. Pasien yang sudah mendapat suplemen Vitamin D.

4. Pasien sedang dalam kondisi eksaserbasi akut.

5. Pasien yang mempengaruh faal paru - Kardiomegali

- Ca. Paru - Asma Brochial

3.5. Ethical Clearance dan Informed Consent

Ethical Clearance diperoleh dari Komite Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.Informed Consent diminta secara tertulis dari subjek penelitian atau diwakili oleh keluarganya yang ikut

bersedia dalam penelitian setelah mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian.

3.6. Perkiraan Besar Sampel

Digunakan rumus besar sampel untuk uji korelasi . Besar sampel ditentukan dengan rumus:

dimana :

Z (0.5/ 2)= deviat baku alpa. utk= 0,05 maka nilai baku normalnya 1,96

Z(0.5-β)= deviat baku beta. utk  = 0,10 maka nilai baku normalnya 1,282

r = koef. korelasi = 0.83

Menurut rumus di atas maka diperlukan sampel minimal sebanyak 54,7 (55 orang).

3.7. Definisi Operasional

a. Penderita PPOK adalah penderita PPOK yang datang berobat ke SMF Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUP Haji Adam Malik Medan dengan gejala klinis yang sesuai. Telah dilakukan pemeriksaan spirometri dan ditegakkan sebagai PPOK.

b. Vitamin D adalah vitamin yang larut dalam lemak prohormon, 2 bentuk utamanya adalah vitamin D2 atau ergokalsiferol dan vitamin D3

atau kolekalsiferol. Dalam penelitian ini yang diperiksa adalah kadar vitamin D total yang terdapat dalam serum menggunakan alat Mini Vidas.

c. VEP1 (volume ekspirasi paksa detik pertama) adalah jumlah udara dalam liter yang dapat diekspirasi maksimal secara paksa pada detik pertama setelah inspirasi maksimal. VEP1 dapat diukur setelah pasien melakukan perasat KVP (kapasitas vital paksa).

d. VEP1/KVP (Volume ekspirasi detik pertama / Kapasitas vital paksa).

Perbandingan niali VEP1 dan KVP yaitu: perbandingan udara yang dapat ditarik dan dihembuskan dalam satu kali bernafas penuh dalam satu detik.

Rasio kurang dari 75% menunjukkan obstruksi saluran napas.

e. ELFA ( Enzyme-Linked fluorescent Assay) adalah modifikasi pemeriksaan serologi konvensional dari enzym-Linked Imminosorbent Assay (ELISA). Yaitu mendeteksi keberadaan antibodi menggunakan enzim yang terkonjugasi, konjugat peroksidase-antibodi. Subtrat yang digunakan adalah asam p-hydroxyphenylacetin, produk fluorescent yang stabil dan tidak dapat dipengaruhi oleh cahaya.

3.8. Kerangka Konsep

MEROKOK

INFEKSI KRONIK OKSIDAN

INHALASI

PPOK

BAHAN

GENETIK BERBAHAYA

Penyakit Paru

Obstruktif

VITAMIN D

3.9. Bahan dan Cara Kerja 3.9.1. Bahan yang diperlukan

Bahan pemeriksaan laboratorium berupa darah tanpa antikoagulan untuk pemeriksaan kadar serum Vitamin D.

3.9.2. Cara kerja

a. Subjek penelitian yaitu penderita PPOK dilakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis.

b. Setelah memenuhi kriteria diagnosis, kemudian ditentukan memenuhi kriteria inklusi dan tidak kriteria eksklusi.

c. Penderita yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan informed consent dan mengisi surat persetujuan mengikuti penelitian.

d. Dilakukan pengambilan sampel darah.

e. Pengambilan dan Pengolahan Bahan

1. Bahan darah subjek diambil melalui vena punksi dari vena mediana cubiti. Tempat vena punksi terlebih dahulu dibersihkan dengan alkohol 70% dan dibiarkan kering. Darah diambil dengan menggunakan venoject sebanyak 10 ml dan dibagi dua pada tabung vacutainer gel clot activator (3 ml). Masing-masing berisi 5 ml.

Darah pada tabung vacutainer gel clot activator dibiarkan membeku selama 20 menit pada suhu ruangan, dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 20 menit, serum dipisahkan dan dimasukkan ke dalam tabung plastik (aliquot) 1 ml untuk bahan pemeriksaan kadar vitamin D serum.

2. Untuk pemeriksaan vitamin D, serum disimpan dalam freezer - 20°C sampai waktu pemeriksaan yang telah ditentukan (maksimum 6 bulan). (Hansson, 2005).

2.9.3. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan kadar 25(OH) Vitamin D

a. Pemeriksaan kadar 25(OH) Vitamin D